Bab II TINJAUAN UMUM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN ...repository.radenfatah.ac.id/6548/2/Bab...
Transcript of Bab II TINJAUAN UMUM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN ...repository.radenfatah.ac.id/6548/2/Bab...
Bab II
TINJAUAN UMUM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN PENYELESAIAN
SENGKETA DALAM ISLAM
Sistem Ekonomi Syariah
Gagalnya kapitalisme maupun sosialisme dalam menciptakan kesejahteraan
masyarakat, mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu, negara-negara muslim sangat
membutuhkan suatu sistem yang lebih baik yang mampu memberikan semua elemen
berperan dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia sejati.
(Ka’bah 2006, hlm. 12)
Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada
ketentuan Alquran dan Sunnah berisi tentang nilai persaudaraan, rasa
cinta, penghargaan kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun sistem
ekonomi Islam Menurut Danupranata (2006, hlm. 26) meliputi antara
lain :
1.Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan
masyarakat.
2. Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan
berdasarkan potensi masing-masing.
3.Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat terutama
dalam pemenuhan kebutuihan pokok manusia .
4.Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang
yang memiliki kekuasaan lebih.
25
5. Melarang praktek penimbunan barang sehingga mengganggu
distribusi dan stabilitas harga.
6. Melarang praktek asosial.
Macam-Macam Aktivitas Ekonomi Syariah
Aktivitas ekonomi syariah atau ekonomi Islam sangatlah luas dan didalam aktivitas
kehidupan manusia untuk memperoleh kesejahteraan kehidupan di dunia ini tidak lepas dari
aktivitas tersebut, sebab menusia memang diperintahkan untuk memenuhi kesejahteraannya
di dunia ini tanpa melupakan kebahagiannya di akhirat kelak.
Namun dalam hal ini akan dibatasi pada aktivitas-aktivitas ekonomi syariah yang
sudah populer dan melembaga di Indonesia, sebagaimana yang tercantum didalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Untuk itu berikut ini akan diuraiakan
beberapa aktivitas ekonomi syariah yang berkembang di Indonesia , diantaranya :
1. Bank Syariah
Pengertian
Bank Islam atau bank syariah secara teknis mempunyai persamaan pengertian. Para
Pakar perbankan Islam memberikan beberapa definisi.
Menurut Karnaen A. Perwaatmadja (2005, hlm. 18) bahwa bank syariah adalah bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan
operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus
dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.
Sedangkan Warkum Sumitro (1997, hlm.5) mengatakan bahwa bank Islam berarti
bank yang tata cara operasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islami, yakni
mengacu kepada ketentuan-ketentuan Alquran dan Hadis. Dalam operasionalisasinya, bank
26
Islam harus mengikuti atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan pada
zaman Rasulullah SAW, bentuk-bentuk yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang
oleh Rasulullah bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau
cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Alquran dan Hadis.
Senada dengan pengertian di atas, Amin Azis yang didapat melalui website beliau
(www.aminazizcenter.com) juga berpendapat bahwa bank Islam adalah lembaga perbankan
yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan syariah Islam. Hal ini berarti,
operasional bank syari ’ah harus sesuai dengan tuntunan Alquran maupun Hadis, yaitu
menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya sesuai dengan syariah Islam.
Sedangkan menurut Sudarsono (2004, hlm. 10) bahwa Bank Syariah adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah.
Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008 Bank Syariah
ialah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut
jenisnya terdiri atas Bank umum syariah dan Bank pembiayaan rakyat syariah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan
menyalurkannya kepada masyarakat. Di mana sistem, tata cara, dan mekanisme kegiatan
usahanya berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Alquran dan Hadis.
Dalam Alquran, istilah bank tidak pernah disebutkan secara eksplisit, tetapi menurut
Arifin, jika yang dimaksud merujuk pada sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti
struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas
seperti zakat, shodaqoh, ghanimah, bai’, dan sebagainya., atau segala sesuatu yang
27
memiliki fungsi atau peran tertentu yang dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi (Arifin
2000, hlm.20)
Bank Syariah di Indonesia secara resmi yuridis diperkenalkan pada tahun 1992
sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 07 tahun 1992 tentang Perbankan.
Lahirnya undang-undang ini menandakan adanya kesepakatan rakyat dan bangsa Indonesia
untuk menerapkan dual banking system atau sistem perbankan ganda di Indonesia
(Perwaatmadja 2005, hlm. 1)
Prinsip-Prinsip Prilaku Bisnis Syariah
Untuk menyesuaikan dengan aturan dan norma-norma Islam, sudah semestinya
diterapkan dalam perilaku bisnis termasuk dalam hal ini praktek perbankan Islam, lima
prinsip sebagai berikut :
1). Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba);
2). Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat;
3). Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem nilai
Islam (haram);
4). Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maisir (judi) dan gharar
(ketidakpastian);
5). Penyediaan Takaful (asuransi Islam) (Algaud 2005, hlm. 48)
2. Reksadana Syariah
Memahami Reksadana Syariah
Menurut Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995, Pasal 1 ayat 27,
Reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer
28
investasi yang telah mendapat izin dari Bapepam. Reksadana dapat terdiri dari berbagai
macam instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau
campuran dari instrumen-instrumen di atas.
Dengan demikian, sebuah reksadana merupakan hubungan trilateral karena
melibatkan beberapa pihak yang terikat sebuah kontrak atau trust deed secara legal. Mereka
adalah pemilik modal, manajer investasi, dan bank kustodian.
Manajer investasi biasanya berbentuk perusahaan yang kegiatan usahanya
mengelola portofolio efek. Perusahaan pengelola disebut dengan fund management
company. Di samping sebagai pengelola investasi, fund management company juga
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pemasaran dan adaministrasi dana.
Portofolio efek adalah kumpulan (kombinasi) sekuritas, atau surat berharga atau efek, atau
instrumen yang dikelola.
Reksadana Syariah (Islamic Investment Funds) dalam hal ini memiliki pengertian
yang sama dengan reksadana konvensional, hanya saja cara pengelolaan dan kebijakan
investasinya harus berdasarkan pada syariat Islam, baik dari segi akad, pelaksanaan
investasi, maupun dari segi pembagian keuntungan.
Islamic Investment Fund merupakan lembaga intermediaris yang membantu
surplus unit melakukan penempatan dan untuk diinvestasikan. Salah satu tujuan dari
Reksadana Syariah adalah memenuhi kebutuhan kelompok investor yang ingin
memperoleh pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih dan dapat
dipertanggungjawabkan secara religius, serta sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
Dengan demikian, Reksadana Syariah adalah suatu wadah yang -digunakan oleh
masyarakat untuk berinvestasi secara kolektif, di mana pengelolaan dan kebijakan
investasinya mengacu pada syari’at Islam.
29
Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta
dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan kemampuan menanggung
resiko yang sedikit. Reksadana memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian
nasional karena dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan
perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi lain, reksadana
memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa keamanan dan keuntungan materi yang
meningkatkan kesejahteraan material (Ghufron 2005, hlm. 13)
Dari sisi tujuan Reksadana Syariah dapat disejajarkan dengan Sosial Responsible
Investment (SRI) atau Etical Investment , Sosially Aware Investment, dan Value-based
investment. Tujuan utama Reksadana Syariah bukan semata-mata mencari keuntungan,
tetapi juga memiliki tanggungjawab sosial terhadap lingkungan, komitmen terhadap nilai-
nilai yang diyakini tanpa harus mengabaikan keinginan investornya.
Oleh karena itu, Reksadana Syariah tidak boleh menginvestasikan dananya pada
bidang-bidang yang bertentangan dengan Syariat Islam, misalnya saham-saham atau
obligasi-obligasi dari perusahaan yang pengelolaan dan produknya bertentangan dengan
syariat islam; pabrik makanan atau minuman yang mengandung alkohol, daging babi,
rokok, tembakau, jasa keuangan konvensional, pornografi, pelacuran, serta bisnis hiburan
yang berbau maksiat (Ghufron 2005, hlm. 16)
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001,
Reksadana Syariah adalah :
“ Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal/rabb al maal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi.”
30
Ciri-Ciri dan Mekanisme Operasional Reksadana Syariah
Ciri-Ciri Operasional Reksadana Syariah :
1). Mempunyai Dewan Syariah yang bertugas memberikan arahan kegiatan Manajer
Investasi (MI) agar senantiasa sesuai dengan syariah Islam.
2). Hubungan antara investor dari perusahaan didasarkan pada sistem mudharabah, di mana
satu pihak menyediakan 100% modal (investor), sedangkan satu pihak lagi sebagai
pengelola (manajer investasi).
3). Kegiatan usaha atau investasinya diarahkan pada hal-hal yang tidak bertentangan
dengan syariah Islam.
Mekanisme Operasional Reksadana Syariah
Perbedaan paling mendasar antara reksadana konvensional dan reksadana syariah
adalah terletak tada proses screening dalam mengkonstruksi portofolio. Filterisasi menurut
prinsip syariah adalah mengeluarkan saham-saham yang memiliki aktifitas haram seperti
riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok dan lain sebagainya. Di samping itu,
proses filterisasi juga dilakukan dengan cara membersihkan pendapatan yang dianggap
diperoleh dari kegiatan haram dan membersihkannya dengan cara charity.
Dalam mekanisme kerja yang terjadi di reksadana ada tiga pihak yang terlibat
dalam pengelolaan dan, yaitu:
1). Manajer investasi sebagai pengelola investasi. Manajer investasi ini
bertanggungjawab atas kegiatan investasi, yang meliputi analisa dan pemilihan jenis
investasi, mengambil keputusan-keputusan investasi, memonitor pasar investasi, dan
melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk kepentingan investor,. Manajer
investasi (perusahaan pengelola) dapat berupa:
31
a). Perusahaan efek, dimana umumnya berbentuk devisi tersendiri atau PT
yang khusus menangani reksa dana.
b). Perusahaan yang secara khusus bergerak sebagai perusahaan manajemen
investasi (PMI) atau investment manajemen company.
2). Bank kustodian adalah bagian dari kegiatan usaha suatu bank yang bertindak
sebagai penyimpan kekayaan (safe keeper) serta administrator reksadana. Dana yang
terkumpul dari sekian banyak investor bukan merupakan bagian kekayaan manajer
investasi maupun bank kustodian, tetapi milik para investor yang disimpan atas nama
reksadana dari bank kustodian. Baik manajer investasi maupun bank kustodian yang akan
melakukan kegiatan ini terlabih dahulu harus mendapat ijin dari Bapepam.
3). Pelaku (perantara) di pasar modal (broker, underwriter) maupun di pasar uang
(bank) dan pengawas yang dilakukan oleh Bapepam.
Jenis dan Instrumen Investasi
Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan
syariah Islam, yaitu :
1). Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian deviden
didasarkan atas tingkat laba usaha.
2). Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syariah.
3) Surat hutang jangka panjang dan jangka pendek yang sesuai dengan prinsip
syariah.
Berikut ini adalah kaidah-kaidah syariah yang telah dipenuhi dalam instrumen
saham :
1). Kaidah syar’iah untuk saham :
a). Bersifat musyarakah jika saham ditawarkan secara terbatas;
32
b). Bersifat mudharabah jika saham ditawarkan secara terbatas.
c).Tidak boleh ada perbedaan jenis saham karena resiko harus ditanggung oleh
semua pihak.
d).Seluruh keuntungan akan dibagi hasil, dan jika terjadi kerugian akan dibagi
rugi bila perusahaan dilikuidasi.
e). Investasi pada saham tidak dapat dicairkan kecuali setelah likuidasi.
2). Kaidah syariah untuk emiten :
a). Produk/jasa yang dihasilkan dikategorikan halal. Dalam hal ini, JII (Jakarta
Islamic Index) telah melakukan penyaringan terhadap saham yang listing.
Berdasarkan fatwa DSN, BEJ memilih emiten yang unit usahanya sesuai
dengan syariah.
b). Hasil usaha tidak mengandung unsur riba dan tidak bersifat zalim.
c). Tidak menempatkan investor dalam kondisi gharar atau maysir.
_ Memberi informasi yang transparan
_ Resiko usaha yang wajar dan memenuhi ketentuan.
_ Manajemen Islami
_ Menghormati HAM
_ Menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup.
3). Kaidah syariah untuk pasar perdana :
a). Semua akad harus berbasis pada transaksi yang riil (dengan penyerahan) atas
produk dan jasa yang halal dan bermanfaat.
b). Tidak boleh menertibkan efek hutang untuk membayar kembali hutang.
c). Dana hasil penjualan efek yang diterbitkan akan dietrima oleh perusahaan.
33
d). Hasil investasi yang akan diterima pemodal merupakan fungsi dan manfaat
yang diterima emiten dari modal yang diperoleh dari dana hasil penjualan
efek dan tidak boleh semata-mata merupakan fungsi dari waktu..
4). Kaidah syariah untuk pasar sekunder :
a). Semua efek harus berbasis pada transaksi riil (dengan penyerahan)
atas produk dan jasa yang halal.
b). Tidak boleh membeli efek hutang dengan dana dari hutang atau menerbitkan
surat hutang.
c). Tidak boleh membeli berdasarkan tren atau indek.
d). Tidak boleh memperjual belikan hasil yang diperoleh dari suatu efek (misalnya
kupon, dividen) walaupun efeknya sendiri dapat diperjualbelikan.
e). Tidak boleh melakukan transaksi murabahah dengan menjadikan objek
transaksi sebagai jaminan.
f). Transaksi tidak menyesatkan, seperti penawaran palsu dan cornering
Salah satu faktor utama yang menyebabkan gerakan yang tidak stabil dalam harga
saham adalah spekulasi dalam pembayaran uang muka atau obral saham dengan harga
marjinal. Para spekulan mencari keuntungan perbedaan harga dalam transaksi jangka
pendek.
Spekulan berbeda kontras dengan investor. Tujuan investor yang sungguh-sungguh
adalah mencari jalan keluar dari tabungan saham yang mereka miliki jika mereka benar-
benar mau menjual di kemudian hari. Investor yang sesungguhnya tidak tertarik pada
transaksi berjangka pendek dan tujuan mereka, setidaknya saat pembelian, adalah
memegang saham dalam jangka panjang. Oleh karena itu, ada tiga hal yang mencirikan
suatu inventasi di pasar modal yaitu ;
34
a). Mengambil saham yang telah dibeli,
b) Melakukan pembayaran penuh,
c) Keinginan pada saat membeli untuk memegang saham dalam jangka waktu yang
tidak tertentu (Ghufron 2005, hlm. 36)
Gadai Syariah
Rukun dan Syarat Transaksi Gadai
Setiap akad harus memenuhi syarat syah dan rukun yang telah ditetapkan oleh para
ulama fiqih. Walaupun terdapat perbedaan mengenai hal ini, namun secara syarat syah dan
rukun dalam menjalankan pegadaian sebagai berikut:
Rukun Gadai :
1). Shighat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang
menerima gadai (murtahin).
3). Harta / barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Hutang (Marhun bih)
Syarat Sah Gadai :
1). Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang
akan datang. Misalnya; rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhunbih
habis dan marhunbih belum terbayar, maka rahin dapat diperpanjang satu bulan.
Kecuali jika syarat tersebut mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan
seperti pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang.
2). Orang yang berakad. Baik rahin maupun martahin harus cakap dalam melakukan
tindakan hukum, baligh dan berakal sehat, serta mampu melakukan akad. Bahkan
35
menurut ulama Hanafiyah, anak kecil yang mumayyis dapat melakukan akad,
karena ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
3). Marhun bih
a). Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.
b).Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat dimanfaatkan,
maka tidak syah.
c). Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4). Marhun
a). Harus berupa harta yang bisa dijual dan nilainya seimbang dengan marhun
bih.
b). Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
c). Harus jelas dan spesifik.
d). Marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin.
e). Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)
1). Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :
(a). Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi
kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat
digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan
kepada rahin.
(b). Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan
untuk menjaga keselamatan marhun.
36
(c). Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai
yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.) Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :
(a). Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai,
apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
(b). Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
(c). Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan
pelelangan barang gadai.
Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
1). Hak pemberi gadai adalah:
(a). Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia melunasi
pinjaman.
(b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya
barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.
(c). Pembari gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi
biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
(d). Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima gadai
diketahui menyalahgunakan barang gadai.
2). Kewajiban pembari gadai:
(a) Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang
waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima
gadai.
37
(b) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila
dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi
pinjamannya.
Akad Perjanjian Transaksi Gadai
Untuk mempermudah mekanisme perjanjian gadai antara rahin (pemberi gadai) dan
murtahin (penerima gadai), maka dapat menggunakan tiga akad perjanjian, antara lain:
Akad Qardh al-Hasan
Akad ini biasanya dilakukan pada nasabah yang ingin menggadaikan barangnya
untuk tujuan konsumtif. Untuk itu, nasabah (rahin) dikenakan biaya berupa upah / fee
kepada pihak pegadaian (murtahin) karena telah menjaga dan merawat barang gadaian
(marhun).
Sebenarnya, dalam akad qard al-hasan tidak diperbolehkan memungut biaya kecuali
biaya administrasi. Namun demikian, ketentuan untuk biaya administrasi pada pinjaman
dengan cara:
Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase.
Sifatnya harus jelas, nyata dan pasti serta terbatas pada hal-hal
yang mutlak diperlukan dalam kontrak.
Mekanisme pelaksanaan akad qard al-hasan:
(a). Barang gadai (marhun) berupa barang yang tidak dapat dimanfaatkan, kecuali
dengan jalan menjualnya dan berupa barang bergerak saja, seperti emas, barang
elektronik, dan sebagainya.
(b). Tidak ada pembagian bagi hasil, karena akad ini bersifat sosial. Tetap
diperkenankan menerima fee sebagai pengganti biaya administrasi yang
biasanya diberikan pihak pemberi gadai (rahin) kepada penerima gadai.
38
Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah akad yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha atau pembiayaan yang bersifat produktif.
Dengan akad ini, nasabah (rahin) akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan
yang didapat nasabah kepada pegadaian (marhum) sesuai dengan kesepakatan, sampai
modal yang dipinjam dilunasi.
Jika barang gadai (marhun) dapat dimanfaatkan, maka dapat diadakan kesepakatan
baru mengenai pemanfaatan barang gadai, dengan jenis akad yang dapat disesuaikan
dengan jenis barangnya. Jika pemilik barang gadai tidak berniat memanfaatkan barang
gadai tersebut, penerima gadai dapat mengelola dan mengambil manfaat dari barang itu.
Akan tetapi hasilnya harus diserahkan kepada pemilik barang gadai sebagian.
Ketentuan akad mudharabah:
.(a). Jenis barang gadai dalam akad ini adalah semua jenis barang asal bisa
dimanfaatkan, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
Seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, tanah, rumah, bangunan dan
lain sebagainya.
(b). Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik barang gadai adalah keuntungan
setelah dikurangi biaya pengelolaan. Adapun ketentuan persentase nisbah
bagi hasil sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Akad Ba’i Muqayyadah
Akad Ba’i Muqayyadah adalah akad yang dilakukan apabila nasabah (rahin) ingin
menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Seperti pembelian peralatan untuk
39
modal kerja. Untuk memperoleh pinjaman, nasabah harus menyerahkan barang sebagai
jaminan berupa barang-barang yang dapat dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun
murtahin. Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas barang
yang dibelikan oleh murtahin. Atau dengan kata lain, murtahin (pihak pegadaian) dapat
memberikan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan akad jual beli, sehingga
murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut
sesuai dengan kesepakatan antara keduanya.
Akad Ijarah
Akad Ijarah adalah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa
tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat. Dalam
kontrak ini ada kebolehan untuk menggunakan manfaat atau jasa dengan ganti berupa
kompensasi.
Dalam gadai syariah, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat
penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang titipan dapat berupa barang
yang menghasilkan manfaat maupun tidak menghasilkan manfaat. Pemilik yang
menyewakan disebut muajjir (pegadaian), sementara nasabah (penyewa) disebut mustajir,
dan sesuatu yang diambil manfaatnya disebut major, sedangkan kompensasi atau balas jasa
disebut ajron atau ujrah.
Asuransi Syariah
Pengertian Asuransi Syariah
40
Sebagaimana telah diterangkan pada bab terdahulu, dalam konsep agama Islam
terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum
minallah) di satu sisi dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas) dan
lingkungan sekitarnya (hablum minal alam) di sisi lainnya. Hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah bersifat limitatif
(ta’abudi) artinya tidak dimungkinkan bagi manusia untuk mengembangkannya.
Sedangkan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan
lingkungan alam di sekitarnya adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Alquran
hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka
bagi mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya.
Lapangan kehidupan ekonomi termasuk di dalamnya usaha perasuransian,
digolongkan di dalam hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
yang disebut dengan hukum muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam
pengembangannya. (Dewi 2007, hlm. 135)
Pengertian kehidupan ekonomi dalam konteks perusahaan asuransi menurut syariah
atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi
konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah
mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator
hubungan struktural antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima
pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering diistilahkan
dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan
pada syarat Islam dengan mengacu kepada Alquran dan As-Sunnah. (Dzajuli 2002, hlm.
120)
41
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat
beberapa istilah, antara lain takaful (bahsa Arab), ta’min (bahasa arab) dan Islamic
insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama
lain yang mengandung makna pertanggungan atau menanggung. Namun dalam prakteknya
istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling
banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah tafakul. Istilah
tafakul ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Islami , sebuah perusahaan asuransi
Islam di Genewa yang berdiri pada tahun 1983.
Istilah tafakul dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-
yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata
takaful tidak dijumpai dalam Alquran namun demikian ada sejumlah kata yang seakar
dengan kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20) : 40 :
Artinya :"Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" ِ
Apabila kita memasukkan asuransi tafakul ke dalam lapangan kehidupan
muamalah, maka tafakul dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling
menanggung resiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya
menjadi penanggung atas resiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai
asuransi tafakul berkaitan dengan unsur saling menanggung resiko di antara para peserta
asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung
menanggung resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan
dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung resiko
tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator saling
menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang membedakan antara
42
asuransi tafakul dengan asuransi konvensional, di mana dalam asuransi konvensional
terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.
Prinsip-prinsip Asuransi Syariah
Prinsip utama dalam asuransi syariah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa al-taqwa
(tolong –menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa aman).
Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar
yang satu dengan yang lainnya saling menjamin dan menanggung resiko. Hal ini
disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi tafakul adalah akad takafuli (saling
menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh
asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi
tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:
1). Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa
tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang
mengalami musibah atau kerugian dengan ikhlas, karena memikul tanggung
jawab dengan niat akhlas adalah ibadah.
Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim.
Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai,
saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan
kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa
dan harmonis.
Dengan prinsip ini, maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah SWT
dalam Alquran dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang kewajiban untuk
43
tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata tetapi juga mesti
mementingkan orang lain atau masyarakat.
2). Saling bekerjasama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta asuransi
tafakul yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan saling tolong
menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang
diderita.
Dengan prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam
Alquran dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang kewajiban hidap bersama
dan saling menolong di antara sesama unat manusia.
3). Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta
asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi musibah yang di deritanya.
Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT tentang
kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.
Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi takaful yang
sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada yakni prinsip
menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi
syariah yaitu:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerja sama atau saling membantu;
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, dan
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba. (Antonio 1994, hlm 148)
Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar bentuk usaha asuransi dapat
terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.
1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian ada dua bentuk:
44
a. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis. Secara konvensional,
kontrak dan perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikatagorikan sebagai akad
tabaduli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang
pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang
dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar)
karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan),
tetapi tiadak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena
hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep syariah
keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau
tolong menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi
penolong dan penjamin satu sama lainnya.
b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang klaim itu
sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari
dana pertanggungan ysng diberikan perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya
tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful,
setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening
pemegang polis dan satu lagi di masukkan ke rekening khusus peserta yang
harus di niatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain.
Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana tabarru’
yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang di berikan oleh para peserta.
2. Maisir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di pihak lain
justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila
selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka
peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya.
45
Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota
(jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh
lebih besar.
Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah
selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor
kecuali dana yang di masukkan ke dalam dana tabarru’.
3. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan
usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar
bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan
prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.
Baitul Mal Wa at-Tamwil (BMT)
Pengertian
Baitul Maal Wat at Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah
lembaga keuangan mikro yang di oprasikan dengan prinsip bagai hasil, menumbuh-
kembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta
membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salam :
keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan.
a. Asas dan prinsip dasar
BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salam, yaitu penuh
keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Prinsip Dasar BMT, adalah :
46
1). Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu ‘amala
(memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai salam: keselamatan,
kedamaian, dan kesejahteraan
2). Barokah, artinya berdayaguna, berhasil guna, adanya penguatan jaringan,
transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada
masyarakat.
3). Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah).
4). Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
5). Keadilan sosial dan kesetaran jender, non-diskriminatif.
6). Ramah lingkungan.
7). Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal, serta keanekaragaman
budaya.
8). Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan
diri dan lembaga masyarakat lokal.
b. Sifat, peran dan fungsi
BMT bersifat terbuka, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan
pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan
kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin.
Peran BMT di masyarakat, adalah sebagai berikut:
1). Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak.
2). Ujung tombak pelaksanaan sitem ekonomi syariah.
3). Penghubung antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin).
4).Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang berkah, ahsanu
‘amala, dan salam melalui spiritual communication dan dzikir qalbiyah ilahiah.
47
Fungsi BMT di masyarakat adalah untuk:
1). Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi lebih
profesional, salam (selamat, damai dan sejahtera), dan amanah sehingga semakin
utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha (beribadah) menghadapi tantangan
hidup.
2). Mengorganir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat
dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar organisasi untuk
kepentingan rakyat banyak.
3). Mengembangkan kesempatan kerja.
4). Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk anggota.
5). Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan sosial
masyarakat banyak.
d. Pendirian BMT
BMT dapat didirikan oleh :
1). Sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.
2. Satu pendiri dengan yang lainnya tidak memiliki hubungan keluarga vertikal dan
horisontal satu kali.
3). Sekurang-kurangnya 70% anggota pendiri bertempat tinggal di sekitar daerah kerja
BMT.
4). Pendiri dapat bertambah dalam tahun-tahun kemudian jika disepakati oleh rapat para
pendiri.
e.Permodalan BMT
Modal BMT, terdiri dari:
1). Simpanan Pokok (SP) yang ditentukan besarnya sama besar untuk semua anggota.
48
2) Simpanan Pokok Khusus (SPK) , yaitu simpanan pokok yang khusus diperuntukkan
untuk mendapatkan sejumlah modal awal sehingga memungkinkan BMT
melakukan persiapan-persiapan pendirian dan memulai operasinya. Jumlahnya
dapat berbeda antar anggota pendiri. Pada pendirian BMT, para pendiri dapat
bersepakat agar dalam waktu 4 (empat) bulan sejak disepakati dapat berkumpul
uang sejumlah:
(a). Minimal Rp 75 juta untuk wilayah JABOTABEK.
(b). Minimal Rp 50 juta untuk wilayah ibukota propinsi.
(c). Minimal Rp 30 juta untuk wilayah ibukota kabupaten / kota.
(d). Minimal Rp 20 juta untuk wilayah ibukota kecamatan
(e). Minimal Rp 15 juta untuk daerah pedesaan.
f.Status BMT
Status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut:
1). Pada awal pendiriannya hingga mencapai aset lebih kecil dari Rp 100 juta BMT
adalah Kelompok Swadaya masyarakat yang berhak meminta /mendapakan
Sertifikat Kemitran dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).
2). Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT diharuskan
melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris setempat, antara lain
dapat berbentuk:
a). Koperasi Syariah (KOPSYAH).
b).Unit Usaha Otonomi Syariah dari KSP (koperasi Simpan Pinjam), KSU (Koperasi
Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren (Koperasi Pondok
Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi otonom termasuk pelaporan dan
pertanggung jawabannya.
49
g.Anggota BMT
Anggota BMT, terdiri dari :
1). Anggota pendiri BMT, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok, simpanan
wajib, dan simpanan-simpanan pokok khusus minimal 4% dari jumlah modal awal
BMT yang direncanakan.
2). Anggota biasa, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok dan simpanan wajib.
3). Calon anggota, yaitu mereka yang memanfaatkan jasa BMT tetapi belum melunasi
simpanan wajib.
4). Anggota kehormatan, Yaitu anggota yang mempunyai kepedulian untuk ikut serta
memajukan BMT baik moral amupun materiil tetapi tidak bisa ikut serta secara
penuh sebagai anggota BMT.
h. Cara Kerja BMT
Cara kerja BMT adalah sebagai berikut:
1). Pendamping atau beberapa pemrakarsa yang mengetahui tentang BMT,
menyampaikan dan menjelaskan ide atau gagasan ini kepada rekan-rekannya sebagai
upaya untuk menarik beberapa orang sebagai pemrakarsa awal hingga mencapai lebih
dari 20 (dua puluh) orang.
2). Dua puluh orang atau lebih tersebut kemudian menyepakati pendirian BMT di desa,
kecamatan, pasar, atau masjid dan bersepakat mengumpulkan modal awal pendirian
BMT.
3). Modal awal kemudian ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak harus
sama jumlahnya antara pemrakarsa, hingga mencapai jumlah yang telah ditentukan
untuk pendirian sebuah BMT.
4). Pemrakarsa membuat rapat untuk memilih pengurus BMT.
50
5). Pengurus BMT kemudian merapatkan dan merekrut pengelola / manajeman BMT dari
lingkungan tersebut yang memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, fatonah dan benar-
benar menguasai visi, misi, tujuan, dan usaha-usaha BMT, serta memiliki keinginan
keras dan dengan sepenuh hati untuk mengembangkan BMT.
6). Pengurus BMT menghubungi PINBUK setempat untuk memberikan pelatihan kepada
calon pengelola / manajemen BMT tersebut (umumnya 2 minggu pelatihan dan
magang).
7). Pengelola yang telah diberi pelatihan kemudian membuka kantor dan menjalankan
BMT, dengan giat menggalakkan simpanan masyarakat dan memberikan pembiayaan
pada usaha mikro dan kecil di sekitarnya.
8). Pembiayaan pada usaha mikro dilakukan dengan menerapkan sistem bagi hasil yang
disampaikan sesuai dengan akad yang telah disepakati.
9). Hasil bagi hasil ini kemudian digunakan oleh para pengelola untuk membayar honor
para pengelola dan membayar kegiatan operasional BMT.
10).Hasil bagi hasil juga digunakan untuk membayar bagi hasil kepada penyimpan dana,
diupayakan agar nilai bagi hasil yang diperoleh para penyimpan dana busa lebih besar
dari bunga konvensional. (PKES 2006, hlm. 28)
Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”dan
“dispute”yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan
kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata
conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata
dispute”dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa.” Sebuah konflik, yakni
sebuah situasi di mana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan,
51
tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan
hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatiannya. Sebuah konflik berubah atau
berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang
dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. (Adam 1997, hlm. 1)
Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan
berubah menjadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik akan diartikan
“pertentangan” di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak
terselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para
pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka sengketa tidak akan
terjadi. Namun, bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang timbul. Penyelesaian
sengkata dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni melalui badan Peradilan (Litigasi)
dan di luar badan Peradilan (Non Litigasi).
Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia
itu sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia, membawa manusia itu ke dalam bermacam-macam konflik, baik dengan manusia
lain, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Namun, karena kodrat manusia
juga,maka manusia selalu berusaha mencari cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk
selalu mencapai posisi keseimbangan dan agar tetap dapat berusaha hidup. Sejarah
menunjukkan bahwa peradaban manusia berkembang sesuai dengan alam lingkungannya,
kebutuhannya, serta nilai-nilai baru yang berkembang kemudian. Demikian pula konflik
dan cara-cara penyelesaiannya pun berkembang sejajar dengan perkembangan peradaban
manusia itu sendiri. Pada saat posisi individualitas manusia masih tenggelam dalam
52
kepentingan kelompok, konflik individu, baik ia dengan individu dalam kelompok yang
sama maupun antara ia dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, akan
ditransformasi manjadi konflik kelompok dan penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian
kelompok. Peradaban manusia yang berkembang semakin komplek membawa serta
perubahan posisi manusia dari ketertenggelamannya dalam kepentingan kelompok menjadi
individu-individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak dapat
begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik, cara penyelesaiannya,
serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu pun ikut mengalami perkembangan.
(Roedjiono 1996, hlm. 1)
Pada saat kepentingan manusia masih bertumpu pada kekuasaan atau kekuatan
fisik, nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu menang atau kalah, jaya atau hancur,
tanpa kompromi. Setelah kekuasaan atau kekuatan fisik itu mulai ditransformasiakan ka
dalam hukum, nilai menang atau kalah masih kuat melekat pada tujuan menyelesaikan
konflik tersebut, meskipun cara penyelesaiannya tidak lagi mengandalkan pada kekuatan
atau kekuasaan fisik, tetapi dengan mengadu pembuktian di depan hukum. Ekses
perkembangan hukum yang semakin memberikan perlindungan atas hak-hak yang dimiliki
oleh seseorang dari perbuatan orang lain yang merugikannya, tata pergaulan dunia baru
pasca Perang Dunia 11, semakin langkanya sumber daya alam, pandangan sustainable
business relationship, telah memberikan sumbangan bagi munculnya cara-cara
penyelesaian sengketa yang tidak melulu bertumpu pada nilai-nilai menang atau kalah, jaya
atau hancur sama sekali.
Penyelesain sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses penyelesaian
sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi
53
menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam
penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan
permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar
pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “ win-win solution” , dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
proseduraldan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam
kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara-negara tertentu
proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan proses nonlitigasi ini sifat
kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil keputusannya pun tidak
dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan
Alternative Dispute Resolution (ADR). (Roedjiono 1996, hlm. 5)
Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resolution (ADR) ini
merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian sengketa
bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving quickly”, menuntut cara-cara yang
“informal procedure and be put in motion quickly” . Sejak tahun 1980, di berbagai negara
Alternative Dispute Resolution (ADR) ini dikembangkan sebagai jalan terobosan alternatif
atas kelemahan penyelesaian litigasi dan arbitrase, mengakibatkan terkuras sumberdaya,
dana, waktu dan pikiran dan tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha ke arah
kehancuran. (Harahap 1997, hlm 280)
Atas dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaiakan sengketa di luar
proses litigasi. (Usman 2003, hlm. 4)
Sengketa berarti terjadinya perbedaan kepentingan antara dua pihak atau lebih
yang saling terkait. Baik antara pihak Bank dengan Nasabah atau antara mudharib dengan
54
baitul mal maupun antara rahin dengan murtahin. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya
hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya oleh pihak-pihak yang terkait. Sungguh
pun aktivitas ekonomi syariah telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-
prinsip syariah, namun dalam proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya
sengketa antara pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi yang dimaksudkan dengan sengketa
dalam bidang ekonomi syariah adalah sengketa didalam pemenuhan hak dan kewajiban
bagi pihak-pihak yang terikat dalam akad aktivitas ekonomi syariah.
Menurut Hakim Agung Habiburrahman, sengketa di bidang ekonomi syariah
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi :
1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
2. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah;
3. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang
dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha
yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Oleh karena itulah dalam hal ini diperlukan suatu konsep penyelesaian sengketa
yang menjamin rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Uraian berikut ini dicoba
untuk memaparkan beberapa alternatif penyelesaian sengketa dalam bidang perekonomian
syariah.
1. Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah berdasarkan tradisi Islam Klasik
1.1. Al-Shulh (Perdamaian).
Secara bahasa, “Shulh” menurut Munawir (2002, hlm. 788) artinya ialah
perdamaian, dan berasal dari kata “solaha yaslahu, soluhan wa solahiyatan” yang artinya
55
baik dan bagus, sedangkan menurut istilah “shulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian
untuk mengakhiri perselisihan/ pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara
damai. Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara
sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa ayat 126
yang artinya: “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. (Munawir 2002, hlm. 843)
Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus
dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafadz dari perjanjian
damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung
sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum, yang
masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa
perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak, jika ada
pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas
persetujuan kedua belah pihak.
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada beberapa
hal sebagai berikut::
a. Hal yang menyangkut subyek.
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang
cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu orang yang melaksanakan
perdamaian harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang
untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian
tersebut. Belum tentu setiap orang yang cakap bertindak mempunyai kekuasaan
atau wewenang. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak
mempunyai wewenang memeiliki seperti pertama: wali atas harta benda orang
yang berada dibawah perwaliannya, kedua: pengampu atas harta benda orang
56
yang berada dibawah pengampunannya, ketiga: nazir (pengawas) wakaf atas hak
milik wakaf yang ada dibawah pengawasannya.
b. Hal yang menyangkut obyek.
Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni
pertama: berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak
milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan
bermanfaat, kedua: dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan
kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan
pertikaian baru terhadap obyek yang sama.
c. Persoalan yang boleh didamaikan (dishulh-kan)
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh
didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan
sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain.
Persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja.
Sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan.
d. Pelaksanaan Perdamaian.
Pelaksanaan perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara,
yakni diluar sidang pengadilan atau melalui sidang pengadilan. (Manan 2007,
hlm. 3).
1.2. Tahkim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”.
Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan
seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian
57
yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau
lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan
perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
(Ma’luf t.t, hlm. 146)
Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawwar (1994, hlm. 48) menyatakan
bahwa pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah
memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang
mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara
umum. Sedangkan pengertian “tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafi’iyyah
yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah
atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib
dilaksanakannya.
Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam, pada saat itu, meskipun
belum terdapat sistem peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada persengketaan
mengenai hak milik, harta waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui juru
damai yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Lembaga juru damai ini terus berlanjut
dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang
pernah berlaku pada masa pra Islam, tradisi arbitrase ini lebih berkembang pada masyarakat
Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka.
Ada juga yang berkembang di Madinah, tetapi lebih banyak yang berhubungan dengan
kasus-kasus dibidang pertanian, sebab daerah Madinah dikenal dengan daerah agraris. Nabi
Muhammad SAW sendiri sering menjadi mediator dalam berbagai sengketa yang terjadi
baik di Mekkah maupun di Madinah. Ketika daerah sudah berkembang semakin luas,
mediator ditunjuk dari kalangan sahabat dan dalam menjalankan tugasnya tetap
58
berpedoman pada Alquran, al-hadis dan ijtihad menurut kemampuannya. (Manan 2007,
hlm. 7).
Para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah
sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam (arbiter) langsung mengikat
kepada pihak-pihak yang bersengketa, tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua belah
pihak. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian ahli hukum di kalangan mazhab Syafi’i.
Alasan mereka ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa
apabila mereka sudah sepakat mengangkat hakam untuk menyelesaikan persengketaan
yang diperselisihkannya, kemudian putusan hakam itu tidak mereka patuhi, maka bagi
orang yang tidak mematuhinya akan mendapat siksa dari Allah SWT. Disamping itu,
barang siapa diperbolehkan oleh syariat untuk memutus suatu perkara, maka putusannya
adalah sah, oleh karena itu putusannya mengikat, sama halnya dengan hakim di Pengadilan
yang telah diberi wewenang oleh penguasa untuk mengadili suatu perkara. (Manan 2007,
hlm.9)
1.3. Wilayat al-Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a. al-Hisbah
Al-Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk
menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak
memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Menurut Imam al-Mawardi
sebagaimana dikutip oleh. Abdul Manan (2007, hlm, 10) bahwa kewenangan lembaga
hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni pertama dakwaan yang terkait dengan kecurangan
dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua dakwaan yang terkait dengan penipuan
59
dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar dan
menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga dakwaan yang terkait dengan
penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya.
b. al-Mazalim
Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orang-orang teraniaya akibat
sikap semena-mena dari pembesar negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk
diselesaikan oleh Pengadilan biasa dan kekuatan hisabah. Kewenangan yang dimiliki oleh
lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan
pemerintah yang merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara ini
disebut dengan nama wali al-Muzalim atau al Nadir. (Manan 2007, hlm. 11)
c. al Qadha (Peradilan)
Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut
istilah berarti “menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk
menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh
lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan
masalah keperdataan, termasuk di dalamnya hukum keluarga dan hukum pidana. (Manan
2007, hlm. 12)
Melihat ketiga wilayah al-Qadha (kekuasaan kehakiman) sebagaimana tersebut
diatas, bila dipadankan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia, nampaknya dua dari
tiga kekuasaan kehakiman terdapat kesamaan dengan peradilan yang ada di Indonesia. Dari
segi substansi dan kewenangannya, wilayah al-Mazalim bisa dipadankan dengan Peradilan
Tata Usaha Negara, wilayah al-Qadha bisa dipadankan dengan lembaga Peradilan Umum
60
dan peradilan agama. Sedangkan wilayatul hisbah secara substansi tugasnya mirip dengan
Polisi atau kamtibmas ataupun Satpol PP. (Manan 2007, hlm.13)
Skema Mekanisme Penyelesaian Sengketa berdasarkan tradisi Islam klasik.
2. Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah berdasarkan tradisi Hukum Positif
Indonesia.
1. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu istilah asing yang perlu
dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Berbagai istilah dalam bahasa Indonesia
telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti Pilihan Penyelesaian
Sengketa (PPS), mekanisme alternative penyelesaian sengketa (MAPS), Pilihan
61
Penyelesaian Sengketa dalam Islam
Al-QadhaTahkim(Arbitrase)
As-Shulh(Perdamaian)
WilayahHisbah
WilayahQadha
WilayahMazalim
penyelesaian sengketa (PPS) diluar pengadilan, dan mekanisme penyelesain sengketa
secara kooperatif (cooperation conflict management). Dengan demikian, dilihat dari
beberapa peristilahan diatas, maka sesungguhnya Alternatife Dispute Resolution (ADR)
merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai
(Margono 2000, hlm. 35).
Konsep perdamaian atau shulh sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab
Fiqh merupakan satu doktrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk
menyelesaikan sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang
harus ada) dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian
bukanlah sutau pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap
manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu,
tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan
demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia. (Manan 2007, hlm.
13)
Menurut Suyud Margono (2000, hlm. 82) bahwa kecenderungan memilih
Alternative Dispute Resolution (ADR) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan atas
pertimbangan antara lain kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama
sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding pengadilan,
sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka dan cenderung mencari alternatif lain dalam
upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya dengan jalan arbitrase.
Bentuk-bentuk dari Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu:
1. Konsultasi.
Dari rumusan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana
dikutip oleh Hasan (2009, hlm. 181) bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan
62
suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut
dengan klien dengan pihak lain yang merupakan konsultan memberikan
pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan
atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh
pihak konsultan. Ini berarti klien adalah bebas untuk menentukan sendiri, walau
demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat
yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi,
sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari
konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak
dominan sama sekali. Konsultan hanyalah memberikan pendapat sebagaimana
diminta oleh kliennya, selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa
tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak. Meskipun adakalnya pihak
konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa
tersebut.
2. Negoisasi.
Negoisasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada
saat negoisasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para
pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar
menawar, sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang
bersengketa sudah barang tentu telah berdiskusi atau bermusyawarah sedemkian
63
rupa agar kepentingan-kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi
kepentingan/ kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya
kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis (Usman 2003, hlm. 55).
Selain itu menurut Pasal 130 HIR yang perlu digaris bawahi bahwa negoisasi
merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar
pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses
persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan
(Hasan 2009, hlm. 182).
3. Konsiliasi.
Seperti halnya konsultasi dan negoisasi, pada Undang-Undang Nomor 30
tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau
definisi dari Konsiliasi ini. Bahkan tidak ditemui satu ketentuanpun dalam
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 mengatur konsiliasi. Perkataan konsiliasi
sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan
dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 30 tahun 1999 tersebut (Hasan 2009, hlm. 185).
Dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Hasan (2009, hlm.
186) bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian. Dalam hal yang
demikian, sebagaimana yang duatur dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1864
Bab Kedelapan belas buku III Hukum Perdata, berarti melalui konsiliasi tunduk
pada ketentuan KUHPerdata, dan secara khusus Pasal 1851 sampai dengan pasal
1864. ini berarti hasil kesepakatan melalui alternatif penyelesaian sengketa
konsiliasi ini pun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama
oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (7) Jo.
64
Pasal 6 ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. kesepakatan tertulis hasil
konsiliasi tersebut harus didaftarkan di Pengadilan negeri dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di pengadilan negeri.
Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak.
4. Pendapat atau Penilaian ahli.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 juga mengenal istilah pendapat atau
penilaian ahli sebagai dari alternatif penyelesaian sengketa. Dan bahwa ternyata
arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para pihak dalam suatu perjanjian.
Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu masukan
bagi para pihak (Hasan 2009, hlm. 187).
Bila melihat sejarah perkembangan Alternative Dispute Resolution (ADR),
Menurut Usman (2003, hlm. 9) maka pengembangan cara semacam ini dilatar belakangi
oleh :
1. Mengurangi banyaknya kasus di pengadilan yang menyebabkan proses
pengadilan sering kali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang
tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.
3. Memperlancar serta memperluas akses ke Pengadilan.
4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan
memuaskan.
2. Arbitrase
65
Kata Arbitrase berasal dari kata “arbitrase” (latin), “arbitrage” (belanda),
“arbitration” (inggris) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit (Usman 2003, hlm. 107).
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “Arbitrase
adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa atau peradilan wasit yang disepakati
kedua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan keputusan yang akan ditaati oleh
kedua belah pihak”.
Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang
bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999, adapun
ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase mengikuti
ketentuan syarat sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat-syarat
obyektif yang dipahami dalam pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif dan
syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. hal ini
didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu
kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para
pihak (Mannan 2007, hlm. 34).
Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, disamping cara lainnya
melalui konsultasi, negoisasi, konsiliasi dan pendapat ahli. Akan tetapi perlu digaris bawahi
bahwa tidak semua sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh
para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka (Usman 2003, hlm. 110).
66
Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai
sengketa bisnis yang terjadi, antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
3. Proses Litigasi (Peradilan)
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui shulh (perdamaian) maupun
secara arbitrase akan diselesaikan melalui lembaga peradilan sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi :
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Dalam konteks ekonomi syariah, lembaga peradilan agama melalui Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi
kewenangan lembaga Peradilan Agama (Manan 2007, hlm. 25).
Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara
hukum materiil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama
yang juga merupakan representasi lembaga peradilan Islam, dan juga selaras dengan para
aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam (Manan 2007,
hlm. 26).
67
Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Badan PeradilanArbitrasePerdamaian/ ADR
KonsultasiMediasiNegosiasiKonsiliasiPenilaian Ahli
PTUN
P. Militer
P. Umum
P. Agama
Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Badan PeradilanArbitrasePerdamaian/ ADR
Skema Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Indonesia.
Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa.
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di lingkungan
Pengadilan Agama, perlu dicermati sumber-sumber hukum yang berkaitan. Sumber-sumber
hukum tersebut meliputi sumberber hukum formil (acara) dan sumber hukum materiil.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada pokoknya menyatakan bahwa
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku di
Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut.
Untuk mengadili sengketa ekonomi syariah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 belum mengatur secara
khusus, sehingga berpedoman kepada Hukum Acara yang sekarang berlaku di
Peradilan Umum. Pada dasarnya hukum acara yang dipergunakan mengacu kepada
hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum, selain itu juga dipedomani
kaidah-kaidah fiqhiyah yang berkaitan.
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Niaga) adalah antara lain:
a. Herzeine Inlandsch Reglement (HIR) untuk daerah Jawa-Madura;
68
1. Konsultasi2. Mediasi3. Negosiasi4. Konsiliasi5. Penilaian
AhliPTUN
P. Militer
P. Umum
P. Agama
b. Rechtsrglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk daerah luar Jawa-Madura;
c. Burgerlijk Wetboek (BW), dikenal dengan KUHP Perdata khususnya buku IV
tentang Pembuktian;
d. Reglement op de Bourgerlijke Rechtsvordering (Rv);
e. Wetboek Van Koophandel (WvK) dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, khususnya tentang Acara Kepailitan;
f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU.
Selain itu perlu diperhatikan pula asas-asas yang berlaku dalam hukum acara perdata,
sehingga seorang hakim maupun para pihak pencari keadilan didalam beracara tidak perlu
harus melanggar asas yang berlaku yang oleh karenanya putusan hakim bisa dinyatakan
batal demi hukum.
Asas-asas tersebut adalah denagai berikut :
1. Hakim Bersifat Menunggu
Nemo Yudek Sine Aktore : Tak ada tuntutan hak, tak ada hakim
Ius curia novit : Hakim dianggap tahu
2. Hakim Pasif
Verharlungs maxime : Para pihak yang wajib membuktikan
Unterlungs maxime : Hakim wajib mengumpulkan bahan.
3. Sifat Terbuka Persidangan: Terbuka untuk umum, tujuan memberi perlindungan hak
asasi manusia, menjamin obyektifitas, pemeriksaan fair, tidak memihak, putusan yang
adil.
4. Mendengar Kedua Belah Pihak (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970)
69
5. Tidak memihak (audi et alteram partem) : Tidak boleh menerima keterangan satu
pihak sebagai benar, pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang
dihadiri kedua pihak (Pasal 132a,121 ayat (2) HIR, 145 ayat(2), 157 RBg., Pasal. 47
Rv).
6. Beracara Dengan Biaya : (Pasal 4 ayat(2) ,Pasal 5 ayat(2) Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 , Pasal 121 ayat ( 4 ) ,182,183, HIR).
7. Putusan Harus Disertai Alasan (Pasal 23. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970,
Pasal 184 ayat (1), 319 HIR) : Sebagai pertanggungjawaban hakim, nilai obyektif.
8. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan : yang bersangkutan yang tahu persoalan
9. Sederhana, Cepat, Biaya Ringan:
Sederhana : Acara yang jelas, mudah difahami, tidak berbelit-belit, sederhana
formalitasnya.
Cepat : Jalannya peradilan, baik di muka sidang, penyelesaian berita acara sampai
dengan penandatanganan putusan hakim.
Biaya ringan: terpikul oleh rakyat.
10. Obyetifitas, Fair Trial : (Pasal. 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) : dikenal
hak ingkar, susunan majelis, 2 tingkat pemeriksaan, tingkat pertama dan tingkat
banding sebagai yudex facti.
Nemo yudex idoneus in propria causa : tak seorang pun dapat menjadi hakim dalam
perkaranya sendiri.
Wraking : Penolakan memimpin persidangan sampai derajat tertentu oleh hakim
dengan alasan sebagai berikut:
a.Punya kepentingan secara pribadi.
70
b.Karena hubungan suami istri, keluarga derajat dengan pihak-pihak
yang berperkara.
Tingkat pertama : Pengadilan Agama : Original yuridiction Segi peristiwa dan
hukum.
Tingkat banding : Pengadilan Tinggi Agama : Apellate yurisdiction mengulangi.
Tingkat Kasasi : M.A terakhir: penerepan hukum : sebagai yudex yuris.
11. Bebas dari campur tangan diluar kekuasaan Kehakiman.
(Musthofa 1985, hlm. 9)
2. Sumber Hukum Materiil
a. Alquran dan As-Sunnah khususnya yang berkaitan dengan muamalat atau ekonomi
Islam;
b. Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku menurut Mannan (2008, hlm. 58)
terdiri dari:
1).Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan beserta aturan pelaksanaannya baik peraturan Bank
Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia;
2). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria ;
3). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang BUMN;
4).Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
5).Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Perasuransian
6).Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
7 ).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
71
8).Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia;
9 ).Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
10).Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS;
11). Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf;
12). Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
13Undang-Undang Nomor 03 tahun 2006 yang telah diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 50 tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
14 ).Beberapa peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan pertanahan,
perusahaan, perseroan terbatas dan pasar modal;
15).Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (Fatwa DSN-MUI )
yang hingga tahun 2006 sudah mencapai 53 buah;
c. Aqad/Perjanjian (Kontrak)
Salah satu asas dari akad / perjanjian adalah keridhaan kedua belah pihak,
konsekuensinya apa yang telah disepakati bersama dalam akad harus dilaksanakan.
(Dewi 2005, hlm. 36)
Menurut Taufiq, dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syariah, termasuk
di dalamnya perbankan syariah, sumber hukum utamanya adalah perjanjian,
kedudukan perjanjian sama dengan Undang-Undang. Isi perjanjian lebih khusus
jika dibanding dengan Undang-Undang. Sesuai kaidah lex specialis derogat legi
generalis, maka isi perjanjian didahulukan daripada Undang-Undang. Dalam
72
hubungan ini berlaku asas “Pacta Sunt Servanda” yaitu perjanjian yang sah
merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. (Taufiq 2006, hlm. 3)
Dalam hukum bisnis, perjanjian sering disebut dengan nama “kontrak”,
sedangkan dalam hukum perikatan Islam, perjanjian dikenal dengan nama “akad”.
Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya. Akad merupakan salah satu bentuk
perbuatan hukum yang disebut “tasharruf” . Sedangkan tasharruf adalah segala
sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’
menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum yaitu hak dan kewajiban. (Burton
2003, hlm. 27)
d. Yurisprudensi
Yurisprudensi mengandung banyak arti, di antaranya adalah:
1). Putusan hakim mengenai kasus tertentu (judge’s decesion in aparticular case).
2). Putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan
perkembangan hukum, sehingga pada hakekatnya kasus yang diputuskan
berkaitan erat dengan perubahan sosial;
3). Putusan terhadap kasus yang kemungkinan besar belum diatur dalam
Perundang-Undangan, sehingga diperlukan penciptaan hukum baru. (Tim
Mahkamah Agung 1995, hlm. 38)
Di Indonesia, Yurisprudensi diartikan sebagai putusan pengadilan atau hukum
pengadilan (rechterrechts/judge made law). Menurut Subekti, yurisprudensi adalah
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung sebagai peradilan negara tertinggi. (Subekti 1987, hlm.97)
73
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi yang berhubungan dengan sengketa
ekonomi syariah atau khususnya perbankan syariah. Yurisprudensi yang ada hanya
putusan dari lingkungan Peradilan Umum termasuk di dalamnya putusan
Pengadilan Niaga tentang perbankan konvensional atau ekonomi konvensional.
Yurisprudensi ini dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara niaga syariah atau perbankan
syariah (Mannan 2008, hlm. 69).
e. Fiqh dan Ushul Fiqh
Fiqh merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah termasuk perbankan syariah. Demikian
pula kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh, sebab kaidah-kaidah ini sangat berguna
dalam menyelesaikan sengketa perkara muamalat. Kitab-kitab fiqh yang dapat
dipedomani menurut Taufiq (2006, hlm. 3) antara lain :
Fiqhul Islam Waadillatuhu oleh Wahbah Zuhaili Juz IV dan V;
Fiqhus-Sunnah oleh Sayyid Sabiq Juz II;
Al-Milkiyah wa Nadhariyyatul Uqud oleh Abu Zahrah;
Hukum Muamalat oleh Ahmad Azhar Basyir;
Kitab Hukum Perdata Islam, terjemahan dari Majallah al-‘Adliyyah oleh Prof.
Djazuli.
Fiqh Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof. Dr. Abdullah al-Muslih;
Pertumbuhan Hukum Bisnis Syariah Indonesia oleh Prof.Dr. Sholah as-Shawi.
f. Perjanjian Internasional.
Adanya perjanjian antara Indonesia dengan negara lain, misalnya
kesepakatan mengadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen-dokumen
74
pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam perkara hukum perdata dan dagang.
Warga negara kedua belah pihak akan mendapat keleluasaan berperkara dan
menghadap pengadilan di wilayah pihak lainnya dengan syarat-syarat yang sama
seperti warga negara pihak itu (Mannan 2008, hlm. 65).
g. Ilmu Pengetahuan atau Doktrin.
Kewibawaan ilmu pengetahuan yang dikemukakan oleh para ahlinya, dan
didukung oleh para pengikutnya, dan juga karena sifatnya yang obyektif dari ilmu
pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai obyektif juga.
Doktrin bukanlah hukum, melainkan menjadi sumber hukum di mana hakim dapat
menggali hukum dari doktrin atau pendapat para ahli hukum (Buchori 1999, hlm.
116).
h. Adat Kebiasaan.
Islam sengaja tidak menjelaskan semua persoalan hukum, terutama dalam
bidang muamalah didalam Alquran dan as-Sunnah. Islam meletakkan prinsip-
prinsip umum yang dapat dijadikan pedoman oleh para mujtahid untuk berijtihad
menentukan hukum terhadap masalah-masalah baru yang sesuai dengan tuntutan
zaman. Inilah diantaranya yang menjamin eksistensi dan fleksibilitas hukum Islam,
sehingga hukum Islam akan tetap Shalihun likulli zamanin wa makanin (baik
disetiap waktu dan tempat), maka jika masalah-masalah baru yang timbul saat ini
tidak ada dalilnya dalam Alquran dan As-Sunnah, serta tidak ada prinsip-prinsip
umum yang dapat disimpulkan dari peristiwa itu, maka dibenarkan untuk
75
mengambil nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sepanjang nilai-nilai tersebut
tidak bertentangan dengan syariat Islam (Mannan 2008, hlm. 68).
76