BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat...

21
6 BAB II Tinjauan Pustaka Biodiversitas merupakan peristilahan populer yang mengacu pada daftar mahluk hidup yang berada pada habitat atau ekosistem tertentu. Definisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh DeLong (1996): biodiversitas merupakan atribut suatu area dan secara spesifik merujuk kepada biodiversitas di dalam dan di antara organisme hidup, kumpulan organisme hidup, komunitas biotik dan proses biotik, yang terjadi secara alami atau dimodifikasi oleh manusia. Biodiversitas dapat dilihat dari segi diversitas genetik dan identitas serta jumlah macam spesies berbeda, kumpulan spesies, komunitas biotik, dan proses biotik, serta kuantitas (seperti kelimpahan, biomasa, laju) dan struktur masing-masing. Istilah biodiversitas telah banyak digunakan dalam mikrobiologi, akan tetapi kesulitan untuk melakukan studi yang mendalam terhadap biodiversitas mikroba masih cukup besar, sekalipun dari habitat yang paling sederhana. Pengamatan biodiversitas spesies prokariot yang berukuran sangat kecil jauh lebih sulit dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan yang berukuran lebih besar (Huber et al., 2000). Biodiversitas mikroba yang menempati suatu habitat ditentukan oleh sifat fisik dan kimia lingkungannya. Perbedaan kondisi seperti pH, temperatur, ketersediaan air, cahaya dan oksigen, serta jenis dan jumlah nutrien suatu habitat menentukan niche untuk organisme tertentu. Kumpulan mikroba yang berada pada tempat yang sama dinamakan sebagai komunitas mikroba. Di dalam komunitasnya, masing-masing populasi mikroba dapat memiliki fungsi dan aktivitas yang berbeda dalam interaksi yang kompleks (Madigan dan Martinko, 2006). II.1 Keberadaan Mikroba di Alam Mikroba menempati hampir semua bagian muka bumi dalam habitat yang sangat beragam. Walaupun demikian, hanya sedikit tempat yang didominasi oleh mikroba. Tempat-tempat tersebut terutama ditemukan pada lingkungan dengan kondisi ekstrim, seperti kondisi suhu yang sangat tinggi atau rendah, kondisi pH

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat...

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

6

BAB II Tinjauan Pustaka

Biodiversitas merupakan peristilahan populer yang mengacu pada daftar mahluk

hidup yang berada pada habitat atau ekosistem tertentu. Definisi yang lebih

komprehensif dikemukakan oleh DeLong (1996): biodiversitas merupakan atribut

suatu area dan secara spesifik merujuk kepada biodiversitas di dalam dan di antara

organisme hidup, kumpulan organisme hidup, komunitas biotik dan proses biotik,

yang terjadi secara alami atau dimodifikasi oleh manusia. Biodiversitas dapat

dilihat dari segi diversitas genetik dan identitas serta jumlah macam spesies

berbeda, kumpulan spesies, komunitas biotik, dan proses biotik, serta kuantitas

(seperti kelimpahan, biomasa, laju) dan struktur masing-masing.

Istilah biodiversitas telah banyak digunakan dalam mikrobiologi, akan tetapi

kesulitan untuk melakukan studi yang mendalam terhadap biodiversitas mikroba

masih cukup besar, sekalipun dari habitat yang paling sederhana. Pengamatan

biodiversitas spesies prokariot yang berukuran sangat kecil jauh lebih sulit

dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan yang berukuran lebih besar (Huber et

al., 2000).

Biodiversitas mikroba yang menempati suatu habitat ditentukan oleh sifat fisik

dan kimia lingkungannya. Perbedaan kondisi seperti pH, temperatur, ketersediaan

air, cahaya dan oksigen, serta jenis dan jumlah nutrien suatu habitat menentukan

niche untuk organisme tertentu. Kumpulan mikroba yang berada pada tempat

yang sama dinamakan sebagai komunitas mikroba. Di dalam komunitasnya,

masing-masing populasi mikroba dapat memiliki fungsi dan aktivitas yang

berbeda dalam interaksi yang kompleks (Madigan dan Martinko, 2006).

II.1 Keberadaan Mikroba di Alam

Mikroba menempati hampir semua bagian muka bumi dalam habitat yang sangat

beragam. Walaupun demikian, hanya sedikit tempat yang didominasi oleh

mikroba. Tempat-tempat tersebut terutama ditemukan pada lingkungan dengan

kondisi ekstrim, seperti kondisi suhu yang sangat tinggi atau rendah, kondisi pH

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

7

yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi,

atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada lingkungan

ekstrim tersebut dinamakan kelompok ekstremofil (Madigan dan Oren, 1999).

Pada tahun 1969, ketika metode biologi molekul mulai berkembang, Whittaker

merangkumkan pemikiran evolusi dalam Five Kingdom kehidupan: hewan,

tumbuhan, fungi, protista (protozoa), dan monera (bakteria). Berdasarkan

taksonomi tradisional tersebut, empat di antara lima kingdom merupakan

kelompok eukariot, terutama dalam bentuk multi sel. Sejalan dengan

perkembangan teknik-teknik biologi molekul dalam menganalisis biodiversitas

mikroba dan pesatnya kemajuan teknik penentuan urutan nukleotida dan protein,

pengelompokan mikroba berdasarkan urutan gen banyak mengubah persepsi

mengenai biodiversitas mikroba (Pace, 1997). Informasi fenotip yang secara

klasik menjadi dasar dalam pengelompokan mikroba (seperti morfologi dan

kriteria nutrisi) kurang memberikan informasi mengenai hubungan evolusi pada

mikroba dibandingkan dengan informasi genetik (Woese, 1987; Pace, 1997).

Konsep bahwa urutan nukleotida atau asam amino dapat digunakan untuk

menghubungkan organisme-organisme dalam bentuk pohon filogenetik

diformulasikan dengan jelas oleh Carl Woese dengan membandingkan urutan

nukleotida RNA ribosom. Berdasarkan perbandingan urutan tersebut organisme-

organisme dapat dikelompokan ke dalam tiga domain yaitu Eukarya, Archaea dan

Bakteria (Woese, 1987). Jadi, kingdom hewan, tumbuhan dan fungi dalam konsep

Five Kingdom hanya merupakan cabang kecil pada kelompok Eukarya. Pohon

filogenetik berdasarkan urutan gen rRNA subunit kecil yang mewakili organisme

yang ada saat ini dikelompokkan dalam Gambar II.1.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

8

Gambar II.1 Pohon filogenetik universal berdasarkan urutan rRNA subunit

kecil (disalin dari Pace, 1997)

II.2 Mikroba Termofilik dan Hipertermofilik

Temperatur pertumbuhan seringkali digunakan sebagai alat untuk pengelompokan

mikroba. Pembagian mikroba paling umum yang didasarkan pada temperatur

pertumbuhan adalah: psikrofil bagi mikroba yang tumbuh pada suhu sekitar –3°

sampai 20°C, mesofil untuk mikroba yang suhu pertumbuhannya antara 13°

sampai 45°C, dan termofil untuk mikroba dengan suhu pertumbuhan antara 42°

sampai 100°C atau lebih (Edward, 1990).

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

9

Berdasarkan temperatur pertumbuhannya, mikroba termofilik dapat

diklasifikasikan lagi menjadi beberapa kelompok. Mikroba termofilik fakultatif

memiliki temperatur maksimum antara 50° sampai 65° C dan juga tumbuh pada

temperatur ruang (di bawah suhu 30° C). Bacillus coagulans merupakan contoh

termofil fakultatif. Mikroba termofilik obligat tidak dapat tumbuh di bawah

temperatur 40° C dan memiliki temperatur pertumbuhan optimum pada 65°-70°C.

Beberapa strain B. stearothermophilus termasuk ke dalam kelas ini. Mikroba

termofilik ekstrim (caldoactive) memiliki temperatur maksimum >70°C,

temperatur optimium >65°C, dan temperatur minimum >40°C. Contoh dari

kelompok ini adalah Thermus themophilus dan Bacillus caldolyticus. Bakteri

termotoleran, seperti Bacillus subtilis, memiliki temperatur maksimum antara 45°

sampai 55° C dan juga tumbuh pada temperatur ruang (Edward, 1990). Mikroba

yang tumbuh optimum pada suhu 80°-110° C memiliki istilah lain yaitu

hipertermofil. Temperatur minimum kebanyakan kelompok hipertermofil adalah

sekitar 55° C. Mikroba hipertermofilik sebagian besar termasuk kelompok archaea

dan sedikit dari kelompok bakteri. Salah satu contoh bakteri hipertermofilik

adalah Thermotoga maritima (temperatur maksimum 90° C).

Lingkungan alami bagi mikroba termofilik dan hipertermofilik tersebar luas di

alam. Salah satu lingkungan tersebut terbentuk dari hasil aktivitas vulkanik atau

pergeseran patahan bumi pada sisi aktif tektonik yang melepaskan panas dari

kerak bumi dan menghasilkan air bertemperatur tinggi. Fenomena ini membentuk

sumber air panas atau geyser dengan kandungan mineral terlarut berbeda-beda

(Edward, 1990; Reysenbach dan Cady, 2001). Mikroba hipertermoflik juga

ditemukan di dasar laut atau daerah hidrotermal dan pada sumur-sumur

pengeboran minyak dan gas alam. Karena oksigen memiliki kelarutan yang

rendah pada suhu tinggi, habitat mikroba hipertermofilik biasanya bersifat anoksik

kecuali pada bagian permukaan kawah atau sumber air panas yang memiliki

kontak cukup luas dengan udara (Stetter, 1996). Selain itu, kompos, daerah

industri, tangki pemanas air dan pembangkit tenaga listrik juga merupakan habitat

lain bagi mikroba termofilik (Kawai et al., 2002; Horiuchi et al., 2003).

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

10

Semua organisme pada habitat geotermal memiliki strategi metabolisme untuk

memanfaatkan beragam sumber energi geokimia yang tersedia. Strategi

metabolisme ini diantaranya meliputi mikroaerofil, aerob, dan anaerob; heterotrop

(menggunakan karbon organik sebagai sumber energi), yang kadang-kadang

terikat dengan besi reduksi seperti pada Geolobus anangari; dan kemolitoautotrop

(menggunakan sumber energi anorganik) seperti pada archaea

Methanocaldococcus jannaschii dan bakteri Desulfaerobacterium

thermolithotrophum (Reysenbach dan Shock, 2002). Di samping itu, mikroba

termofilik dan hipertermofilik seringkali memiliki kemampuan beradaptasi yang

tinggi terhadap pH, kadar garam dan potensial redoks yang ekstrim. Dalam

habitatnya, mikroba ini membentuk ekosistem kompleks yang terdiri dari

produser utama dan kelompok pendegradasi senyawa organik. Mikroba yang

bertindak sebagai produsen merupakan kelompok kemolitoautotrop yang

menggunakan mineral anorganik dalam metabolismenya untuk menghasilkan

energi (Stetter, 1996).

Komposisi utama gas vulkanik yang dilepaskan dalam wilayah geotermal adalah

H2 dan H2S, selain CO2. Sumber air panas yang kaya akan hidrogen dan sulfida

seringkali dicirikan dengan biomassa kental yang terbentuk pada temperatur 70-

72°C. Berdasarkan komposisi kimia sumber air panas tersebut di atas, produsen

terbesar dalam ekosistem diduga merupakan mikroba termofilik pengoksidasi

hidrogen dan sulfur. Penemuan bakteri-bakteri yang termasuk orde Aquificales

dalam rasio tinggi (hasil studi biodiversitas berbasis biologi molekul) mendukung

dugaan ini (Yamamoto et al., 1998; Reysenbach et al., 1994, 2000; Skinisdottir et

al., 2001). Walaupun demikian, hanya sedikit spesies Aquificales yang telah

dikulturkan. Beberapa diantaranya termasuk genera Aquifex,

Hydrogenobacter/Calderobacterium, dan Termocrinis (Skinisdottir et al., 2001).

Isolat-isolat tersebut merupakan bakteri aerob, termofilik, dan obligat

kemolitoautotrop, yang menggunakan senyawa sulfur atau molekul hidrogen

sebagai donor elektron.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

11

Sumber air panas dengan perbedaan nilai pH menunjukkan pola keberadaan

spesies yang berbeda. Adaptasi terhadap pH diduga barada dalam rentang relatif

besar. Populasi yang dapat beradaptasi dalam suatu rentang pH kemungkinan

kompetitif pada pH tertentu. Sebagai contoh, Synechococcus cf lividus Copeland

dapat beradaptasi pada pH 6 sampai 8 tetapi kompetitif terutama pada pH 6 (Ward

et al., 1998).

Mikroba yang mampu hidup pada lingkungan dengan keasaman tinggi disebut

sebagai asidofil. Pada umumnya, mikroba yang biasa hidup pada area solfatar,

selain bersifat termofilik juga seringkali bersifat asidofilik. Beberapa mikroba

termoasidofilik dari kelompok archaea diantaranya termasuk dalam genus

Acidianus, Desulfurolobus, Metallosphaera, Stygiolobus, Sulfolobus,

Sulfurisphaera, Sulfurococcus, Thermoplasma, dan Picrophilus (Bertoldo et al.,

2004). Organisme- organisme tersebut ada yang bersifat aerob, aerob fakultatif

dan obligat anaerob. Mikroba termoasidofilik dari kelompok bakteri juga

ditemukan, dan diantaranya termasuk dalam genus (Cleaver et al., 2007; Mathur

et al., 2007). Mikroba asidofilik kemolitotrop seringkali merupakan produser

utama yang dominan dan kemungkinan juga berperan dalam siklus besi dan sulfur

melalui oksidasi senyawa sulfur anorganik tereduksi (Hamamura et al., 2005;

Cleaver et al., 2007; Mathur et al., 2007).

Sulfolobus adalah mikroba autotrop bersifat obligat aerob yang mengoksidasi S,

S2- dan H2 menjadi asam sulfat dan air. Sulfolobus merupakan mikroba dominan

pada kawah solfatar yang dicirikan dengan adanya lumpur hitam dan pH rendah.

Spesies Sulfolobus dipakai sebagai model pada kelompok archaea karena

jumlahnya yang banyak di alam (DeLong dan Pace, 2001). Beberapa spesies

Sulfolobus merupakan heterotrop yang hidup pada media yang mengandung gula,

ekstrak ragi dan pepton (Stetter, 1996).

Metallosphaera sedula memiliki kandungan G-C lebih tinggi pada DNA-nya

dibandingkan dengan spesies-spesies dari genus Sulfolobus. Spesies tersebut

merupakan oksidator bijih sulfida seperti pyrite, chalcophyrite dan sphalerite

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

12

menghasilkan asam sulfat. Organisme mirip Metallosphaera juga diketahui

sebagai pengoksidasi Fe(II) dan selanjutnya membentuk oksida Fe(III) dan dapat

tumbuh pada bijih sulfida atau sulfur (Kozubal et al., 2008). Acidianus tumbuh

secara anaerob dengan mereduksi belerang dengan H2 sebagai reduktor. Anggota

genus Acidianus mampu hidup pada lingkungan dengan kadar garam 4% dan telah

berhasil diisolasi dari daerah hidrotermal di dasar laut. Stygiolobus merupakan

golongan obligat anaerob dan kemolitoautotrop (Stetter, 1996).

Lingkungan hidrotermal pada temperatur di atas 80°C biasanya didominasi oleh

archaea walaupun beberapa termasuk dalam domain bakteria. Hipertermofil

paling ekstrim yang pernah diketahui, dengan temperatur optimum di atas 100°C,

menempati lubang hidrotermal di bawah laut. Dua contoh organisme tersebut di

antaranya Pyrolobus fumarii dan Methanopyrus kandleri. Kedua prokariot ini

adalah kemolitoautotrop pengoksidasi H2, pereduksi NO3- atau CO2, masing-

masing sebagai akseptor elektron. P. fumarii memiliki temperatur kardinal yang

paling tinggi untuk organisme yang diketahui. Walaupun pertumbuhan P. fumarii

terjadi sampai 113°C, mikroba ini dapat bertahan hidup pada temperatur yang

lebih tinggi. Kultur P. fumarii masih viable setelah perlakuan satu jam dalam

autoclave (121°C) (Madigan dan Oren, 1999).

Spesies hipertermofil menempati cabang paling dekat dengan akar pada pohon

filogenetik dari masing-masing domainnya seperti Aquifex dan Thermotoga dari

kelompok Bacteria, dan Pyrodictium, Pyrobaculum, Desulfurococcus, Sulfolobus,

Methanopyrus, Thermococcus, Methanothermus, Archaeoglobus dari kelompok

Archaea. Korarnochaeta, kingdom Archaea yang baru dikenali, juga berada pada

awal cabang kelompok hipertermofilik. Penemuan ini menyarankan bahwa

mikroba hipertermofilik lebih memberikan gambaran bentuk kehidupan awal

dibandingkan prokariot lainnya (Stetter, 1996).

Sekitar 54 spesies hipertermofil kelompok bakteria dan archaea telah diketahui.

Sifat fisiologi dan filogeni spesies-spesies ini beragam dan dikelompokkan

menjadi 25 genera dan 11 orde. Pada kelompok bakteria, Aquifex pyrophilus dan

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

13

Thermotoga maritima menunjukkan temperatur pertumbuhan paling tinggi,

masing-masing 95°C dan 90°C. Sedangkan pada archaea, mikroba yang memiliki

temperatur pertumbuhan paling tinggi (antara103°C sampai 110°C) adalah dari

genus Pyrobaculum, Pyrodictium, Pyrococcus, dan Methanopyrus (Stetter, 1996).

Genom beberapa spesies kelompok hipertermofilik telah ditentukan urutannya,

diantaranya Methanogen jannaschi dan Aquifex aeolicus. Genom M. jannaschii

merupakan genom archaea pertama yang telah ditentukan semua urutannya.

Lebih dari 50% gen M. jannaschii tidak memiliki padanannya dalam bakteria atau

eukarya. Genus Aquifex merupakan genus yang bersifat paling termofilik di antara

semua bakteria yang diketahui. Organisme tersebut juga diperkirakan merupakan

cabang paling awal pada pohon filogenetik bakteria. Genom A. aeolicus, hanya

sepertiga ukuran genom Escherichia coli dan merupakan genom terkecil yang

ditemukan saat ini dalam organisme autotrop (Madigan dan Oren, 1999).

Organisme hipertermofilik seringkali sulit ditumbuhkan dalam media padat.

Pengenceran berseri dalam media cair yang diulang paling sedikit tiga kali

digunakan sebagai alternatif. Akan tetapi, metode isolasi tersebut kurang aman.

Prosedur isolasi yang cepat dan efisien dari kultur campuran dan tidak bergantung

plating telah dikembangkan. Metode ini didasarkan pada pemisahan sel tunggal

dari kultur kaya dengan menggunakan mikroskop laser yang dikontrol dengan

penggunaan komputer (optical tweezer trap) dan selanjutnya ditumbuhkan. Laser

dapat difokuskan pada ukuran titik berdiameter kurang dari satu mikrometer.

Gabungan analisis urutan gen 16S rRNA, hibridisasi sel spesifik dalam kultur

kaya, dan isolasi sel tunggal yang diidentifikasi secara morfologi dengan optical

tweezer trap digunakan untuk mengisolasi archaea hipertermofilik baru dari

Obsidian Pool, Yellowstone National Park, USA (Huber et al., 2000).

II.3 Studi Komunitas Mikroba

Pada saat ini, para ahli mikrobiologi mengetahui bahwa hanya sebagian kecil saja

(kurang dari 1%) dari semua mikroba yang ada yang telah berhasil diisolasi dan

dikarakterisasi (Ward et al., 1998; Kirk et al., 2004; Sharma et al., 2005).

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

14

Perbandingan persentase bakteri terkulturkan dengan jumlah sel total pada habitat

yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat besar (Amann et al., 1995).

Salah satu alasan perbedaan ini kemungkinan adalah adanya saling

ketergantungan satu sama lain antara organisme-organisme berbeda (Fisher, 1990)

dan kurangnya pengetahuan tentang kondisi sebenarnya tempat mikroba tumbuh

dalam lingkungan alaminya (Muyzer dan Smalla, 1998).

II.3.1 Analisis tradisional

Metode mikrobiologi tradisional memiliki kelemahan dalam mengenali

keberadaan populasi individu dalam komunitas mikroba (Ward et al., 1998).

Ukuran mikroba yang relatif kecil dan kurangnya variasi morfologi menjadi

masalah dalam membedakan populasi secara mikroskopis dan memerlukan

kultivasi untuk identifikasinya. Beberapa ahli mikrobiologi meragukan

pendekatan seperti ini akan memberikan gambaran yang akurat mengenai

keberadaan mikroba-mikroba dalam habitat alaminya (Ward et al., 1998).

Beberapa teknik berbasis biokimia seperti selective plating dan direct viable

counts memiliki keterbatasan, diantaranya adalah sulitnya mengeluarkan bakteri

atau spora dari partikel tanah atau biofilm, adanya seleksi akibat ketidaksesuaian

medium pertumbuhan dan kondisi pertumbuhan (temperatur, pH), dan

ketidakmampuan mengkulturkan sebagian besar spesies mikroba dengan teknik

yang ada saat ini. Teknik lain, seperti pengamatan pola penggunaan sumber

karbon tunggal (sole source carbon utilization), berhasil digunakan untuk

mempelajari potensi biodiversitas metabolisme komunitas mikroba pada tempat

terkontaminasi, rizospera tanaman, tanah, atau inokulum mikroba. Akan tetapi,

keterbatasan profilling metabolik ini adalah selektif hanya untuk mikroba

terkulturkan yang dapat tumbuh pada kondisi eksperimen, menguntungkan bagi

mikroba yang tumbuh cepat, dan peka terhadap densitas inokulum (Kirk et al.,

2004).

Untuk mengatasi masalah berkaitan dengan ketidakmampuan kultivasi mikroba,

beberapa metode analisis telah dikembangkan, baik yang berbasis pengujian

biokimia maupun analisis molekular. Analisis FAME (fatty acid methyl ester)

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

15

merupakan salah satu metode biokimia yang tidak bergantung pada kultivasi

mikroba. Metode ini memberikan informasi mengenai komposisi komunitas

mikroba berdasarkan pengelompokan asam lemak (Ibekwe dan Kennedy, 1998).

Keterbatasan metode analisis asam lemak adalah spesies minoritas di dalam

populasi sulit terdeteksi (Kirk et al., 2004) dan komposisi asam lemak sel dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur dan nutrisi. Selain itu, setiap

individu sel bisa memiliki banyak asam lemak dan asam lemak yang sama bisa

berada pada lebih dari satu spesies (Bossio et al., 1998).

II.3.2 Analisis molekular terhadap komunitas mikroba

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai peranan biodiversitas

mikroba dalam memelihara ekosistem diperlukan pendekatan lain selain prosedur

mikrobiologi tradisional (Muyzer dan Smalla, 1998). Aplikasi teknik biologi

molekular untuk mendeteksi dan mengidentifikasi mikroorganime dengan

penanda molekul tertentu, seperti 16S rRNA atau gen pengkodenya, sekarang ini

lebih sering digunakan untuk mengeksplorasi biodiversitas mikroba dan

menganalisis struktur komunitas mikroba (Muyzer dan Ramsing, 1995; Case et

al., 2007). Aplikasi teknik-teknik molekular dalam mempelajari ekologi mikroba

telah menjadi suatu disiplin tersendiri yaitu ekologi mikroba molekular

(Akkermans et al., 1995). Sejauh ini, sebagian hasil-hasil dengan pendekatan

molekular telah diperoleh dengan cara kloning fragmen 16S rRNA yang diperoleh

baik setelah transkripsi balik rRNA (Weller et al 1991; Ward et al 1998), atau

setelah amplifikasi enzimatik DNA yang diekstraksi dari habitat yang berbeda-

beda, seperti sedimen (Grey dan Herwig, 1996), tanah (Liesack dan Stackebrandt,

1992; Borneman et al., 1996), sumber air panas (Barns et al., 1994), dan air laut

(Giovannoni et al., 1990; Fuhrman et al., 1993). Hasil studi-studi tersebut

memperlihatkan besarnya biodiversitas mikroba, dan pada saat yang sama

menunjukkan keterbatasan teknik kultivasi tradisional dalam menemukan

biodiversitas ini (Muyzer dan Smalla, 1998). Walaupun berhasil, studi ini hanya

difokuskan pada eksplorasi biodiversitas mikroba tetapi tidak memberikan

informasi mengenai dinamika kompleks, dimana komunitas mikroba dapat

berubah karena kematian dan fluktuasi musim atau adanya gangguan lingkungan.

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

16

Pendekatan kloning tidak bermanfaat dalam mempelajari interaksi antar mikroba

dan antara mikroba dengan lingkungannya karena memerlukan banyak waktu dan

tenaga, dan karenanya tidak sesuai untuk analisis sampel yang banyak (Muyzer

dan Smalla, 1998).

Pendekatan yang lebih baik untuk mengamati pergeseran populasi adalah

penggunaan penanda spesifik takson pada hibridisasi dot-blot ekstrak rRNA

(Stahl et al., 1988; Raskin et al., 1995) atau hibridisasi sel utuh (Amann et al.,

1995). Studi ini hanya difokuskan pada mikroba tertentu dimana penanda telah

dikembangkan. Oleh sebab itu, untuk mempelajari struktur kompleks komunitas

mikroba dan dinamikanya diperlukan teknik biologi molekul yang lain.

Beberapa teknik fingerprinting genetik telah dikembangkan untuk diterapkan

dalam analisis komunitas mikroba. Teknik fingerprinting genetik menyediakan

suatu pola atau profil biodiversitas genetik dalam komunitas mikroba (Muyzer

dan Smalla, 1998). Di antara teknik-teknik tersebut, yang paling banyak

digunakan antara lain adalah denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE),

single strand conformation polymorphism (SCCP), terminal restriction fragment

length polymorphism (TRFLP), dan ribosomal intergenic spacer analysis (RISA)

(Ikeda et al., 2006). Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan

kekurangannya. Prinsip dari keempat teknik fingerprinting ini diilustrasikan

dalam Gambar II.2.

Keterbatasan utama teknik fingerprinting DNA untuk analisis komunitas adalah

besarnya kompleksitas ekosistem dapat menyebabkan kompleksitas fragmen DNA

melebihi kekuatan pemisahan teknik elektroforesis saat ini (Nakatsu et al., 2000).

Selain itu, beberapa kelompok bakteri diketahui memiliki variasi panjang dan

urutan di antara kopi intragenomik operon ribosom (intercistronic heterogeneity),

untuk pengkode gen RNA maupun daerah intergenik (Maarit-Niemi et al., 2001).

Selanjutnya, spesies berbeda akan memiliki jumlah kopi gen yang berbeda pula

dan ini juga akan memberikan bias pada interpretasi hasil fingerprinting (Liu et

al., 1997).

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

17

Gambar II.2 Prinsip metode-metode fingerprinting DNA yang digunakan

untuk analisis komunitas mikroba. Semua metode menggunakan daerah sangat lestari pada gen RNA ribosom untuk mendesain primer (panah kecil). Gen rRNA subunit kecil digunakan untuk amplifikasi PCR pada DGGE, SCCP, dan T-RFLP, sedangkan daerah penghubung antar gen (intergenic spacer region) antara rRNA subunit kecil dan besar diamplifikasi pada RISA. Hasil PCR dipisahkan dengan menggunakan DGGE dan SCCP berdasarkan konformasi tiga dimensinya. Hasil PCR pada T-RFLP dan RISA dipisahkan secara linier, berdasarkan panjang fragmen DNA. Panah kotak menunjukkan arah elektroforesis (disalin dari Ikeda et al. 2006)

Dengan segala keterbatasannya, masing-masing teknik molekular tersebut telah

digunakan secara luas untuk analisis komunitas mikroba. DGGE dan SCCP

dinilai sebagai metode yang sangat sensitif. Akan tetapi, dibandingkan dengan

T-RFLP dan RISA, kedua metode tersebut juga memerlukan kondisi eksperimen

yang lebih sensitif untuk kebolehulangannya. Selain itu, mobilitas profil DNA

pada DGGE dan SCCP yang dipisahkan berdasarkan perbedaan urutan nukleotida

tidak benar-benar linier dibandingkan dengan T-RFLP dan RISA yang prinsip

pemisahannya didasarkan pada perbedaan ukuran amplikon. Akan tetapi, DGGE

dan SCCP dapat lebih sensitif dan efektif untuk beberapa sampel yang

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

18

memerlukan deteksi perbedaan urutan yang halus. Selain itu, beberapa primer

spesifik takson telah tersedia untuk analisis DGGE (Ikeda et al., 2004).

II.3.2.1 Denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE)

DGGE mulanya dikembangkan untuk mendeteksi mutasi titik pada urutan DNA,

tetapi Muyzer et al. (1993) menerapkan teknik ini untuk mempelajari biodiversitas

genetik mikroba. Analisis DGGE melibatkan pemisahan amplikon PCR fragmen

16S rRNA dalam gel akrilamid yang mengandung konsentrasi denaturan

meningkat. Pemisahan didasarkan pada perbedaan karakteristik melting fragmen

DNA untai ganda akibat perbedaan urutan basa. Pada proses DGGE, pembukaan

untai DNA berlangsung secara diskrit sehingga disebut melting domain: untaian

pasang basa dengan temperatur melting yang identik. Pada saat suatu domain

dengan temperatur melting paling rendah mencapai temperatur melting-nya (Tm)

pada posisi tertentu pada gel gradien denaturan, terjadi perubahan dari suatu

heliks menjadi molekul terbuka sebagian dan migrasi molekul akan terhenti.

Variasi urutan dalam domain-domain ini menyebabkan perbedaan temperatur

melting, dan pada akhirnya molekul dengan urutan berbeda akan berhenti

bermigrasi pada posisi yang berbeda di dalam gel.

Sebanyak 50% variasi urutan dalam fragmen DNA sampai ukuran 500 pb dapat

dideteksi dengan menggunakan DGGE (Myers et al., 1985). Prosentase ini dapat

ditingkatkan menjadi hampir 100% dengan menambahkan suatu urutan yang kaya

GC pada salah satu primer, disebut CG-clamp, sehingga menjadi bagian dari

fragmen DNA yang teramplifikasi (Myers et al., 1985; Sheffield et al., 1989).

Urutan kaya GC ini bertindak sebagai domain melting tinggi yang mencegah dua

untai DNA berdisosiasi sempurna menjadi untai tunggal.

DNA diekstraksi dari sampel dan diamplifikasi menggunakan primer PCR

universal. Ujung-5’ primer forward mengandung 30-40 pb CG clamp untuk

memastikan DNA tetap untai ganda. Hal ini penting untuk memisahkan fragmen

DNA pada gel poliakrilamid dengan gradien konsentrasi denaturan (urea dan

formamida) yang meningkat. Karenanya, DGGE dapat memisahkan fragmen

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

19

DNA berukuran sama yang memiliki urutan basa berbeda (Ikeda et al. 2006;

Ward et al., 1998). Secara teori, DGGE dapat memisahkan pita DNA yang

berbeda hanya satu pasang basa (Miller et al., 1999).

DGGE memiliki kapasitas mendeteksi perubahan halus dalam struktur komunitas

mikroba karena prinsip deteksinya. Pita-pita DGGE spesifik, juga dapat dipotong

dari gel, direamplifikasi, dan kemudian ditentukan urutannya atau ditransfer ke

membran dan dihibridisasi dengan penanda tertentu untuk memberikan informasi

lebih banyak mengenai biodiversitas struktur dan fungsi (Theron dan Cloete,

2000). Informasi mengenai mikroba spesifik dalam komunitas dapat ditentukan

dengan cara memotong dan mementukan urutan pita-pita. DGGE juga dapat

digunakan untuk mengamati biodiversitas bakteri dan fungi (Smalla et al., 2007).

Keterbatasan DGGE antara lain adanya bias PCR (Wintzingerode et al., 2000) dan

penanganan sampel di laboratorium yang dapat berpotensi mempengaruhi analisis

komunitas mikroba (Muyzer, 1999; Theron dan Cloete, 2000). Merancang primer

pada DGGE relatif sulit karena keterbatasan ukuran hasil PCR yang dapat

dianalisis (maksimum beberapa ratus pasang basa). Selain itu, fragmen DNA

dengan urutan berbeda dapat memiliki karakteristik mobilitas yang mirip pada gel

poliakrilamid (Ferris et al., 1996; Sekiguchi et al., 2001), dan adanya melting

domain lebih dari satu juga dilaporkan menjadi penyebab pita-pita yang tidak jelas

atau kabur (Kisand dan Wikner 2003), yang bisa menjadi masalah serius bagi

reamplifikasi dan kloning pita DNA yang diharapkan. Nikolausz et al. (2005)

telah menunjukkan bahwa tidak hanya urutan basa yang berbeda dengan reaksi

melting yang sama yang dapat bermigrasi bersama-sama, tetapi juga amplikon

dominan biasanya menyebar dalam suatu gel. Faktor lain yang mungkin

mempengaruhi reamplifikasi adalah pembentukan heterodupleks. Satokari et al.

(2001) dan Speksnijder et al. (2001) melaporkan bahwa heterodupleks selama

analisis DGGE menyebabkan penambahan jumlah pita. Karenanya, analisis urutan

pita-pita DGGE dilakukan dengan hati-hati, dan satu pita tunggal tidak selalu

mewakili satu spesies (Gelsomino et al. 1999).

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

20

II.3.2.2 Terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP)

T-RFLP adalah teknik yang dapat menutupi beberapa keterbatasan DGGE dan

SCCP (Tiedje et al. 1999). Pada T-RLFP, salah satu primer untuk

mengamplifikasi RNA ribosom ditandai dengan pewarna berpendar. Hasil

amplifikasi kemudian dipotong dengan enzim restriksi tertentu dan ditentukan

panjang fragmen ujungnya (ribotype). Hal ini memungkinkan deteksi hanya

fragmen restriksi terminal yang berlabel (Liu et al. 1997). Metode ini juga

menyederhanakan pola pita sehingga setiap pita yang nampak memungkinkan

hanya mewakili unit taksonomi operasional atau ribotype tunggal (Tiedje et al.

1999). Pola pita karenanya dapat digunakan untuk mengukur kelimpahan dan

kesamaan spesies selain kemiripan antara sampel (Liu et al. 1997).

Satu perbedaan utama antara T-RFLP dengan DGGE/SCCP adalah fingerprinting

komunitas berbeda dapat diperoleh dari hasil PCR yang sama dengan pemotongan

oleh enzim restriksi berbeda (Dunbar et al. 2000). Karena itu disarankan untuk

menggunakan paling sedikit dua sampai empat enzim restriksi berbeda (Tiedje et

al. 1999). Pemotongan tidak sempurna oleh enzim restriksi juga bisa

menyebabkan estimasi berlebih terhadap biodiversitas (Osborn et al. 2000). T-

RFLP juga memiliki kekurangan dalam hal biaya operasional dan fasilitas yang

tinggi, yang mencegah penggunaan secara rutin dalam pengukuran ekologi karena

memerlukan perangkat sampel yang besar. Selain itu, walaupun pendapat bahwa

spesies bersesuaian dengan masing-masing profil dalam T-RFLP dapat diterima

berdasarkan sisi konsensus enzim restriksi dan informasi ukuran fragmen, pada

teknik ini tidak ada metode untuk mengklon secara langsung pita-pita DNA yang

diinginkan. Walaupun demikian, T-RFLP dapat menjadi sarana yang sangat

bermanfaat untuk mempelajari biodiversitas mikroba pada lingkungan (Liu et al.

1997; Tiedje et al. 1999; Osborn et al. 2000). Beberapa kontroversi mengenai

keandalan T-RFLP disebabkan adanya variasi data yang dihasilkan dari

penggunaan enzim restriksi yang berbeda. Dunbar et al. (2000) melaporkan

ketidakkonsistenan pola pita pada T-RFLP tergantung enzim restriksi yang

digunakan.

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

21

II.4 Analisis Filogenetik

Suatu molekul yang urutannya mengalami perubahan secara acak terhadap fungsi

waktu dapat disebut sebagai kronometer atau alat ukur waktu (Woese, 1987).

Jumlah perubahan urutan yang terakumulasi dalam suatu kronometer (disebut

sebagai jarak) merupakan hasil kali laju (dimana mutasi menjadi menetap) dengan

satuan waktu (selama perubahan terjadi). Perubahan ini tidak dapat diukur dengan

membandingkan suatu keadaan awal dengan keadaan akhir karena tidak diketahui

pola keadaan awal nenek moyangnya. Dengan anggapan bahwa dua (atau lebih)

urutan berasal dari nenek moyang yang sama, perbedaan dua (atau lebih) urutan

yang mempresentasikan mikroba berbeda dapat diukur dengan menghitung

masing-masing perubahannya. Beberapa persyaratan harus dipenuhi oleh suatu

kronometer diantaranya (i) memiliki sifat seperti jam (perubahan dalam urutannya

harus seacak mungkin) (ii) laju perubahan harus proporsional dengan spektrum

jarak evolusi yang diukur (iii) ukuran molekul harus cukup besar untuk memuat

informasi yang memadai (Woese, 1987).

RNA ribosom merupakan molekul kronometer yang baik dan paling banyak

digunakan (Woese, 1987). Molekul ini menunjukkan tingkat kekonstanan yang

tinggi secara fungsional yang menjanjikan sifat seperti jam yang baik. Selain itu,

molekul rRNA terdapat pada semua organisme dan perubahan urutannya terjadi

pada posisi dan laju yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk menghitung

hubungan filogenetik termasuk yang kekerabatannya sangat jauh. rRNA

berukuran besar dan terdiri dari beberapa domain. Dalam struktur sekunder 16S

rRNA terdapat sekitar 50 heliks dan jumlahnya dua kali lipat untuk 23S rRNA

(Woese, 1987).

Pada saat ini, analisis urutan gen 16S rRNA telah banyak digunakan untuk

mengidentifikasi spesies bakteri dan mempelajari taksonomi (Chakravorty et al.,

2007). Gen 16S rRNA memiliki ukuran cukup besar untuk memberikan

perbedaan dan pengukuran yang valid secara statistik, yaitu sekitar 1550 pb

dengan polimorfisme interspesifik yang cukup (Clarridge, 2004). Di sepanjang

gen tersebut terdapat daerah-daerah dengan urutan lestari (conserved) yang

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

22

ditemukan pada semua atau sebagian besar prokariot dan juga daerah dengan

urutan bervariasi (daerah variabel). Pada umumnya, gen 16S rRNA bakteri

mempunyai 9 daerah hipervariabel yang menunjukkan biodiversitas urutan di

antara spesies berbeda dan dapat digunakan untuk identifikasi spesies (Baker et al.

2003; Van de Peer et al., 2003). Primer-primer untuk amplifikasi daerah yang

diinginkan biasanya dirancang komplemen dengan daerah-daerah lestari (Baker et

al., 2003; Lu et al., 2006).

Urutan gen 16S rRNA telah ditentukan untuk sejumlah besar galur mikroba. Dari

sekitar 20 juta urutan nukleotida yang tersimpan di GenBank, lebih dari 90 ribu

diantaranya adalah urutan gen 16S rRNA (Clarridge, 2004). Pada umumnya

perbandingan urutan gen 16S rRNA dapat membedakan organisme-organisme

pada level genus di antara semua filum utama bakteri, selain untuk

mengklasifikasikan strain pada level spesies dan subspesies. Penentuan urutan

keseluruhan daerah 1,5 kb kadang-kadang diperlukan untuk membedakan antara

taksa atau strain-strain tertentu atau ketika menggambarkan spesies baru. Akan

tetapi, urutan sepanjang 500 pb atau bahkan lebih pendek pada sebagian besar

bakteri memberikan perbedaan yang cukup untuk identifikasi (Clarridge, 2004).

Saat ini telah dikembangkan beberapa metode untuk menganalisis urutan

nukleotida ataupun protein menjadi informasi filogenetik. Metode-metode

tersebut pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu yang

mengoperasikan matriks jarak pasangan dan matriks karakter diskrit.

II.4.1 Metode Jarak (Distance Methods)

Metode jarak pada prinsipnya berusaha menyusun suatu pohon dengan suatu

matriks pasangan jarak genetik. Jarak setiap 2 urutan merupakan nilai tunggal

yang diperoleh dari jumlah fraksi posisi dimana kedua urutan nukleotida yang

dibandingkan berbeda (didefinisikan sebagai jarak-p) (Van de Peer, 2003). Jarak-p

bukan merupakan jarak genetik yang sebenarnya karena beberapa nukleotida yang

dijajarkan adalah hasil dari beberapa kejadian. Selain itu, karena mutasi menetap

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

23

di dalam gen, substitusi berulang pada posisi yang sama dapat terjadi selama

evolusi. Karenanya, pada metode berbasis jarak, jumlah substitusi yang

sebenarnya terjadi dicoba diestimasi dengan menerapkan suatu model evolusi

tertentu yang membuat asumsi mengenai kejadian alamiah perubahan evolusi

(Van de Peer, 2003). Jika keseluruhan jarak pasangan dari kumpulan urutan telah

dihitung, topologi pohon dapat disimpulkan menggunakan bermacam-macam

metode.

Estimasi jarak genetik yang benar sangat menentukan, dan dalam banyak kasus

lebih penting daripada memilih metode untuk menyimpulkan topologi pohon.

Penggunaan model evolusi yang tidak realistik dapat menyebabkan kesalahan

yang serius pada topologi pohon. Akan tetapi, karena kejadian evolusi urutan

nukleotida yang sebenarnya tidak diketahui maka metode yang terbaik untuk

mengestimasi jarak genetik bukan fakta yang penting.

Metode penyusunan pohon berdasarkan jarak diantaranya adalah analisis cluster

(kelompok) dan evolusi minimum. Metode cluster seperti UPGMA (unweighted-

pair group method with arithmetic means) dan WPGMA (weighted-pair group

method with arithmetic means) menggunakan algoritma pengelompokan bertahap

dan dengan asumsi laju evolusi adalah sama untuk semua cabang. Asumsi tersebut

hanya mungkin dipenuhi oleh suatu jam molekular. Akibatnya, metode cluster

sangat sensitif terhadap laju yang tidak sama pada garis keturunan berbeda.

Koreksi terhadap metode cluster diberikan oleh metode jarak transformasi dengan

cara membandingkan urutan yang dipelajari terhadap urutan referensi atau

outgroup (Van de Peer, 2003).

Untuk mengatasi keterbatasan metode cluster, algoritma yang merekonstruksi

metode tersebut dikembangkan dan diistilahkan sebagai additive distance trees

(pohon jarak aditif). Jarak aditif dapat disusun dengan tepat ke dalam pohon tak

berakar (unrooted trees) sedemikian sehingga jarak genetik sepasang OTUs

(operational taxonomic units) sama dengan jumlah panjang cabang yang

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

24

menghubungkannya. Minimum evolution (evolusi minimum) merupakan salah

satu metode jarak untuk menyusun pohon aditif. Metode ini diadopsi lebih lanjut

pada metode Neighbor Joining (NJ; penggabungan tetangga). NJ secara

konseptual berhubungan dengan clustering tetapi tanpa mengasumsikan sifat

seperti jam. NJ merupakan metode yang paling umum digunakan untuk

mengkonstruksi pohon jarak. Kombinasi NJ dengan analisis bootstrap dapat

menjadi jalan terbaik dalam mengevaluasi pohon-pohon berbasis jarak (Van de

Peer 2003).

II. 4.2 Metode Karakter Diskrit

Metode karakter diskrit tidak mereduksi perbedaan di antara urutan menjadi nilai

tunggal (suatu jarak) seperti pada metode berbasis jarak. Pada metode karakter

diskrit posisi-posisi pada urutan ditempatkan secara individu sebagai atribut atau

keadaan karakter (Van de Peer, 2003). Untuk data molekular, matriks keadaan

karakter merupakan kumpulan urutan DNA atau protein yang telah dijajarkan,

dimana nukleotida A, C, G, dan T (pada urutan DNA) atau simbol-simbol yang

mewakili 20 asam amino (pada urutan protein) adalah keadaan (states). Metode

karakter diskrit yang sering digunakan dalam filogenetik molekular adalah metode

maximum parsimony (penghematan maksimum) dan maximum likelihood

(kemungkinan maksimum).

Metode parsimony maksimum didasarkan pada asumsi bahwa pohon filogenetik

yang paling tepat adalah pohon yang paling hemat, yaitu pohon dengan jumlah

perubahan mutasi keseluruhan yang paling kecil (Woese, 1987). Ide dasar dari

analisis parsimony adalah sederhana yaitu mencari pohon atau kumpulan pohon

yang meminimalkan jumlah perubahan evolusi (transformasi satu keadaan

karakter menjadi keadaan yang lain) yang diperlukan untuk menjelaskan data.

Beberapa masalah dalam menemukan pohon-pohon optimal yang memenuhi

kriteria parsimony diantaranya (i) penentuan jumlah perubahan karakter atau

panjang pohon diperlukan oleh pohon yang diberikan; (ii) pencarian pohon yang

minimal panjangnya terhadap semua topologi pohon yang mungkin yang

jumlahnya bisa sangat besar (Swofford dan Sullivan, 2003). Metode parsimony

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

25

maksimum paling cocok digunakan untuk urutan-urutan yang mirip dan dalam

jumlah yang tidak terlalu besar.

Metode karakter diskrit yang berkembang kemudian adalah metode likelihood

maksimum yang menggunakan perhitungan kemungkinan maksimum dalam

menentukan pohon terbaik. Ide utama dalam penyusunan filogenetik dengan

kemungkinan maksimum adalah untuk menentukan topologi pohon, panjang

cabang, dan parameter model evolusi (seperti rasio transisi/transversi, frekuensi

basa, laju variasi di antara posisi-posisi) yang memaksimalkan kemungkinan

pengamatan urutan yang ada. Metode kemungkinan maksimum mirip dengan

metode parsimony maksimum dalam dalam anggapan bahwa pohon dengan

jumlah perubahan terkecil adalah paling mungkin. Akan tetapi, metode likelihood

maksimum mengevaluasi pohon dengan variasi laju mutasi pada garis keturunan

berbeda. Jadi, metode ini dapat digunakan untuk mengeksplorasi hubungan di

antara urutan yang lebih beragam, kondisi yang tidak ditangani dengan baik oleh

metode parsimony maksimum. Kelemahan utama metode likelihood maksimum

adalah metode ini memerlukan komputer yang lebih cepat proses perhitungannya

agar bisa digunakan secara lebih luas dan untuk model evolusi yang lebih

kompleks (von Haeseler dan Trimmer, 2003).

II.5 Kawah Kamojang

Wilayah geotermal Kamojang, Jawa Barat, berada pada rantai vulkanik yang luas,

dengan panjang sekitar 15 km dan lebar 4,5 km serta ketinggian sekitar 1500

meter, terbentang antara gunung Rakutak di sebelah timur dan gunung Guntur di

sebalah barat (Zuhro, 2004). Manifestasi permukaan ditemukan pada area yang

dinamakan Kawah Kamojang dalam bentuk fumarol, tanah beruap (steaming

ground), kolam lumpur (mud pools), dan sumber air panas (hot springs) dengan

luas sekitar 500 m2. Menurut Healy dan Mahon (1982), sebagian besar air panas

pada permukaan mengandung konsentrasi sulfat yang tinggi (1000-2000 ppm) dan

konsentrasi klorida yang sangat rendah (< 5 ppm). Bukti isotop menunjukkan

bahwa air tersebut merupakan air lokal yang telah dipanaskan oleh uap yang

mengandung hidrogen sulfida, yang dioksidasi menjadi sulfur untuk

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi, atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada

26

menghasilkan air dengan pH rendah dan konsentrasi sulfat yang tinggi (Utami dan

Bowne, 1999). Kandungan gas pada uap adalah sekitar 2% berat dan sebagian

besar merupakan gas CO2 dan H2S (Zuhro, 2004).

Area geotermal Kamojang telah dimanfaatkan sebagai sumber panas bumi dan

pembangkit listrik tenaga panas bumi sejak tahun 1983. Area ini bisa

menyediakan uap untuk memproduksi tenaga 30 MWe sejak tahun 1983. Sejak

tahun 1987, kapasitas produksi mencapai 140 MWe dan naik menjadi 200 MWe

pada tahun 2006. Pengeboran geothermal di area Kamojang dimulai pada tahun

1974-1975 ketika 5 sumur eksplorasi di sekitar area dibor sampai kedalaman 700

meter. Dua di antara sumur tersebut masih produktif menghasilkan uap kering

dengan temperatur 232°C yang berasal dari feed zones yang dangkal pada

kedalaman sekitar 600 m (Sudarman et al., 1995). Saat ini terdapat 72 sumur yang

telah dibor di area geothermal Kamojang.

Pada sumur geotermal Kamojang terdapat 2 campuran mineral hidrotermal

berbeda, yaitu campuran asam dan campuran netral. Campuran asam terletak pada

level yang lebih dangkal (dari dekat permukaan sampai 100-300 m) yang ditandai

dengan adanya kaolin dengan atau tanpa smectite, alunite, quartz, cristobalite, dan

pyrite. Campuran netral di bagian yang lebih dalam terdiri dari quartz, adularia,

albite, epidote, titanite, wairakite, laumontite, calcite, siderite, titanohematite,

pyrite, anhydrite, smectite, chlorite, illite, dan interlayered clays (Utami, 2000).