BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat...
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka - · PDF file7 yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat...
6
BAB II Tinjauan Pustaka
Biodiversitas merupakan peristilahan populer yang mengacu pada daftar mahluk
hidup yang berada pada habitat atau ekosistem tertentu. Definisi yang lebih
komprehensif dikemukakan oleh DeLong (1996): biodiversitas merupakan atribut
suatu area dan secara spesifik merujuk kepada biodiversitas di dalam dan di antara
organisme hidup, kumpulan organisme hidup, komunitas biotik dan proses biotik,
yang terjadi secara alami atau dimodifikasi oleh manusia. Biodiversitas dapat
dilihat dari segi diversitas genetik dan identitas serta jumlah macam spesies
berbeda, kumpulan spesies, komunitas biotik, dan proses biotik, serta kuantitas
(seperti kelimpahan, biomasa, laju) dan struktur masing-masing.
Istilah biodiversitas telah banyak digunakan dalam mikrobiologi, akan tetapi
kesulitan untuk melakukan studi yang mendalam terhadap biodiversitas mikroba
masih cukup besar, sekalipun dari habitat yang paling sederhana. Pengamatan
biodiversitas spesies prokariot yang berukuran sangat kecil jauh lebih sulit
dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan yang berukuran lebih besar (Huber et
al., 2000).
Biodiversitas mikroba yang menempati suatu habitat ditentukan oleh sifat fisik
dan kimia lingkungannya. Perbedaan kondisi seperti pH, temperatur, ketersediaan
air, cahaya dan oksigen, serta jenis dan jumlah nutrien suatu habitat menentukan
niche untuk organisme tertentu. Kumpulan mikroba yang berada pada tempat
yang sama dinamakan sebagai komunitas mikroba. Di dalam komunitasnya,
masing-masing populasi mikroba dapat memiliki fungsi dan aktivitas yang
berbeda dalam interaksi yang kompleks (Madigan dan Martinko, 2006).
II.1 Keberadaan Mikroba di Alam
Mikroba menempati hampir semua bagian muka bumi dalam habitat yang sangat
beragam. Walaupun demikian, hanya sedikit tempat yang didominasi oleh
mikroba. Tempat-tempat tersebut terutama ditemukan pada lingkungan dengan
kondisi ekstrim, seperti kondisi suhu yang sangat tinggi atau rendah, kondisi pH
7
yang sangat asam atau basa, kondisi garam yang sangat tinggi, tekanan tinggi,
atau kondisi ekstrim lainnya. Kelompok mikroba yang hidup pada lingkungan
ekstrim tersebut dinamakan kelompok ekstremofil (Madigan dan Oren, 1999).
Pada tahun 1969, ketika metode biologi molekul mulai berkembang, Whittaker
merangkumkan pemikiran evolusi dalam Five Kingdom kehidupan: hewan,
tumbuhan, fungi, protista (protozoa), dan monera (bakteria). Berdasarkan
taksonomi tradisional tersebut, empat di antara lima kingdom merupakan
kelompok eukariot, terutama dalam bentuk multi sel. Sejalan dengan
perkembangan teknik-teknik biologi molekul dalam menganalisis biodiversitas
mikroba dan pesatnya kemajuan teknik penentuan urutan nukleotida dan protein,
pengelompokan mikroba berdasarkan urutan gen banyak mengubah persepsi
mengenai biodiversitas mikroba (Pace, 1997). Informasi fenotip yang secara
klasik menjadi dasar dalam pengelompokan mikroba (seperti morfologi dan
kriteria nutrisi) kurang memberikan informasi mengenai hubungan evolusi pada
mikroba dibandingkan dengan informasi genetik (Woese, 1987; Pace, 1997).
Konsep bahwa urutan nukleotida atau asam amino dapat digunakan untuk
menghubungkan organisme-organisme dalam bentuk pohon filogenetik
diformulasikan dengan jelas oleh Carl Woese dengan membandingkan urutan
nukleotida RNA ribosom. Berdasarkan perbandingan urutan tersebut organisme-
organisme dapat dikelompokan ke dalam tiga domain yaitu Eukarya, Archaea dan
Bakteria (Woese, 1987). Jadi, kingdom hewan, tumbuhan dan fungi dalam konsep
Five Kingdom hanya merupakan cabang kecil pada kelompok Eukarya. Pohon
filogenetik berdasarkan urutan gen rRNA subunit kecil yang mewakili organisme
yang ada saat ini dikelompokkan dalam Gambar II.1.
8
Gambar II.1 Pohon filogenetik universal berdasarkan urutan rRNA subunit
kecil (disalin dari Pace, 1997)
II.2 Mikroba Termofilik dan Hipertermofilik
Temperatur pertumbuhan seringkali digunakan sebagai alat untuk pengelompokan
mikroba. Pembagian mikroba paling umum yang didasarkan pada temperatur
pertumbuhan adalah: psikrofil bagi mikroba yang tumbuh pada suhu sekitar –3°
sampai 20°C, mesofil untuk mikroba yang suhu pertumbuhannya antara 13°
sampai 45°C, dan termofil untuk mikroba dengan suhu pertumbuhan antara 42°
sampai 100°C atau lebih (Edward, 1990).
9
Berdasarkan temperatur pertumbuhannya, mikroba termofilik dapat
diklasifikasikan lagi menjadi beberapa kelompok. Mikroba termofilik fakultatif
memiliki temperatur maksimum antara 50° sampai 65° C dan juga tumbuh pada
temperatur ruang (di bawah suhu 30° C). Bacillus coagulans merupakan contoh
termofil fakultatif. Mikroba termofilik obligat tidak dapat tumbuh di bawah
temperatur 40° C dan memiliki temperatur pertumbuhan optimum pada 65°-70°C.
Beberapa strain B. stearothermophilus termasuk ke dalam kelas ini. Mikroba
termofilik ekstrim (caldoactive) memiliki temperatur maksimum >70°C,
temperatur optimium >65°C, dan temperatur minimum >40°C. Contoh dari
kelompok ini adalah Thermus themophilus dan Bacillus caldolyticus. Bakteri
termotoleran, seperti Bacillus subtilis, memiliki temperatur maksimum antara 45°
sampai 55° C dan juga tumbuh pada temperatur ruang (Edward, 1990). Mikroba
yang tumbuh optimum pada suhu 80°-110° C memiliki istilah lain yaitu
hipertermofil. Temperatur minimum kebanyakan kelompok hipertermofil adalah
sekitar 55° C. Mikroba hipertermofilik sebagian besar termasuk kelompok archaea
dan sedikit dari kelompok bakteri. Salah satu contoh bakteri hipertermofilik
adalah Thermotoga maritima (temperatur maksimum 90° C).
Lingkungan alami bagi mikroba termofilik dan hipertermofilik tersebar luas di
alam. Salah satu lingkungan tersebut terbentuk dari hasil aktivitas vulkanik atau
pergeseran patahan bumi pada sisi aktif tektonik yang melepaskan panas dari
kerak bumi dan menghasilkan air bertemperatur tinggi. Fenomena ini membentuk
sumber air panas atau geyser dengan kandungan mineral terlarut berbeda-beda
(Edward, 1990; Reysenbach dan Cady, 2001). Mikroba hipertermoflik juga
ditemukan di dasar laut atau daerah hidrotermal dan pada sumur-sumur
pengeboran minyak dan gas alam. Karena oksigen memiliki kelarutan yang
rendah pada suhu tinggi, habitat mikroba hipertermofilik biasanya bersifat anoksik
kecuali pada bagian permukaan kawah atau sumber air panas yang memiliki
kontak cukup luas dengan udara (Stetter, 1996). Selain itu, kompos, daerah
industri, tangki pemanas air dan pembangkit tenaga listrik juga merupakan habitat
lain bagi mikroba termofilik (Kawai et al., 2002; Horiuchi et al., 2003).
10
Semua organisme pada habitat geotermal memiliki strategi metabolisme untuk
memanfaatkan beragam sumber energi geokimia yang tersedia. Strategi
metabolisme ini diantaranya meliputi mikroaerofil, aerob, dan anaerob; heterotrop
(menggunakan karbon organik sebagai sumber energi), yang kadang-kadang
terikat dengan besi reduksi seperti pada Geolobus anangari; dan kemolitoautotrop
(menggunakan sumber energi anorganik) seperti pada archaea
Methanocaldococcus jannaschii dan bakteri Desulfaerobacterium
thermolithotrophum (Reysenbach dan Shock, 2002). Di samping itu, mikroba
termofilik dan hipertermofilik seringkali memiliki kemampuan beradaptasi yang
tinggi terhadap pH, kadar garam dan potensial redoks yang ekstrim. Dalam
habitatnya, mikroba ini membentuk ekosistem kompleks yang terdiri dari
produser utama dan kelompok pendegradasi senyawa organik. Mikroba yang
bertindak sebagai produsen merupakan kelompok kemolitoautotrop yang
menggunakan mineral anorganik dalam metabolismenya untuk menghasilkan
energi (Stetter, 1996).
Komposisi utama gas vulkanik yang dilepaskan dalam wilayah geotermal adalah
H2 dan H2S, selain CO2. Sumber air panas yang kaya akan hidrogen dan sulfida
seringkali dicirikan dengan biomassa kental yang terbentuk pada temperatur 70-
72°C. Berdasarkan komposisi kimia sumber air panas tersebut di atas, produsen
terbesar dalam ekosistem diduga merupakan mikroba termofilik pengoksidasi
hidrogen dan sulfur. Penemuan bakteri-bakteri yang termasuk orde Aquificales
dalam rasio tinggi (hasil studi biodiversitas berbasis biologi molekul) mendukung
dugaan ini (Yamamoto et al., 1998; Reysenbach et al., 1994, 2000; Skinisdottir et
al., 2001). Walaupun demikian, hanya sedikit spesies Aquificales yang telah
dikulturkan. Beberapa diantaranya termasuk genera Aquifex,
Hydrogenobacter/Calderobacterium, dan Termocrinis (Skinisdottir et al., 2001).
Isolat-isolat tersebut merupakan bakteri aerob, termofilik, dan obligat
kemolitoautotrop, yang menggunakan senyawa sulfur atau molekul hidrogen
sebagai donor elektron.
11
Sumber air panas dengan perbedaan nilai pH menunjukkan pola keberadaan
spesies yang berbeda. Adaptasi terhadap pH diduga barada dalam rentang relatif
besar. Populasi yang dapat beradaptasi dalam suatu rentang pH kemungkinan
kompetitif pada pH tertentu. Sebagai contoh, Synechococcus cf lividus Copeland
dapat beradaptasi pada pH 6 sampai 8 tetapi kompetitif terutama pada pH 6 (Ward
et al., 1998).
Mikroba yang mampu hidup pada lingkungan dengan keasaman tinggi disebut
sebagai asidofil. Pada umumnya, mikroba yang biasa hidup pada area solfatar,
selain bersifat termofilik juga seringkali bersifat asidofilik. Beberapa mikroba
termoasidofilik dari kelompok archaea diantaranya termasuk dalam genus
Acidianus, Desulfurolobus, Metallosphaera, Stygiolobus, Sulfolobus,
Sulfurisphaera, Sulfurococcus, Thermoplasma, dan Picrophilus (Bertoldo et al.,
2004). Organisme- organisme tersebut ada yang bersifat aerob, aerob fakultatif
dan obligat anaerob. Mikroba termoasidofilik dari kelompok bakteri juga
ditemukan, dan diantaranya termasuk dalam genus (Cleaver et al., 2007; Mathur
et al., 2007). Mikroba asidofilik kemolitotrop seringkali merupakan produser
utama yang dominan dan kemungkinan juga berperan dalam siklus besi dan sulfur
melalui oksidasi senyawa sulfur anorganik tereduksi (Hamamura et al., 2005;
Cleaver et al., 2007; Mathur et al., 2007).
Sulfolobus adalah mikroba autotrop bersifat obligat aerob yang mengoksidasi S,
S2- dan H2 menjadi asam sulfat dan air. Sulfolobus merupakan mikroba dominan
pada kawah solfatar yang dicirikan dengan adanya lumpur hitam dan pH rendah.
Spesies Sulfolobus dipakai sebagai model pada kelompok archaea karena
jumlahnya yang banyak di alam (DeLong dan Pace, 2001). Beberapa spesies
Sulfolobus merupakan heterotrop yang hidup pada media yang mengandung gula,
ekstrak ragi dan pepton (Stetter, 1996).
Metallosphaera sedula memiliki kandungan G-C lebih tinggi pada DNA-nya
dibandingkan dengan spesies-spesies dari genus Sulfolobus. Spesies tersebut
merupakan oksidator bijih sulfida seperti pyrite, chalcophyrite dan sphalerite
12
menghasilkan asam sulfat. Organisme mirip Metallosphaera juga diketahui
sebagai pengoksidasi Fe(II) dan selanjutnya membentuk oksida Fe(III) dan dapat
tumbuh pada bijih sulfida atau sulfur (Kozubal et al., 2008). Acidianus tumbuh
secara anaerob dengan mereduksi belerang dengan H2 sebagai reduktor. Anggota
genus Acidianus mampu hidup pada lingkungan dengan kadar garam 4% dan telah
berhasil diisolasi dari daerah hidrotermal di dasar laut. Stygiolobus merupakan
golongan obligat anaerob dan kemolitoautotrop (Stetter, 1996).
Lingkungan hidrotermal pada temperatur di atas 80°C biasanya didominasi oleh
archaea walaupun beberapa termasuk dalam domain bakteria. Hipertermofil
paling ekstrim yang pernah diketahui, dengan temperatur optimum di atas 100°C,
menempati lubang hidrotermal di bawah laut. Dua contoh organisme tersebut di
antaranya Pyrolobus fumarii dan Methanopyrus kandleri. Kedua prokariot ini
adalah kemolitoautotrop pengoksidasi H2, pereduksi NO3- atau CO2, masing-
masing sebagai akseptor elektron. P. fumarii memiliki temperatur kardinal yang
paling tinggi untuk organisme yang diketahui. Walaupun pertumbuhan P. fumarii
terjadi sampai 113°C, mikroba ini dapat bertahan hidup pada temperatur yang
lebih tinggi. Kultur P. fumarii masih viable setelah perlakuan satu jam dalam
autoclave (121°C) (Madigan dan Oren, 1999).
Spesies hipertermofil menempati cabang paling dekat dengan akar pada pohon
filogenetik dari masing-masing domainnya seperti Aquifex dan Thermotoga dari
kelompok Bacteria, dan Pyrodictium, Pyrobaculum, Desulfurococcus, Sulfolobus,
Methanopyrus, Thermococcus, Methanothermus, Archaeoglobus dari kelompok
Archaea. Korarnochaeta, kingdom Archaea yang baru dikenali, juga berada pada
awal cabang kelompok hipertermofilik. Penemuan ini menyarankan bahwa
mikroba hipertermofilik lebih memberikan gambaran bentuk kehidupan awal
dibandingkan prokariot lainnya (Stetter, 1996).
Sekitar 54 spesies hipertermofil kelompok bakteria dan archaea telah diketahui.
Sifat fisiologi dan filogeni spesies-spesies ini beragam dan dikelompokkan
menjadi 25 genera dan 11 orde. Pada kelompok bakteria, Aquifex pyrophilus dan
13
Thermotoga maritima menunjukkan temperatur pertumbuhan paling tinggi,
masing-masing 95°C dan 90°C. Sedangkan pada archaea, mikroba yang memiliki
temperatur pertumbuhan paling tinggi (antara103°C sampai 110°C) adalah dari
genus Pyrobaculum, Pyrodictium, Pyrococcus, dan Methanopyrus (Stetter, 1996).
Genom beberapa spesies kelompok hipertermofilik telah ditentukan urutannya,
diantaranya Methanogen jannaschi dan Aquifex aeolicus. Genom M. jannaschii
merupakan genom archaea pertama yang telah ditentukan semua urutannya.
Lebih dari 50% gen M. jannaschii tidak memiliki padanannya dalam bakteria atau
eukarya. Genus Aquifex merupakan genus yang bersifat paling termofilik di antara
semua bakteria yang diketahui. Organisme tersebut juga diperkirakan merupakan
cabang paling awal pada pohon filogenetik bakteria. Genom A. aeolicus, hanya
sepertiga ukuran genom Escherichia coli dan merupakan genom terkecil yang
ditemukan saat ini dalam organisme autotrop (Madigan dan Oren, 1999).
Organisme hipertermofilik seringkali sulit ditumbuhkan dalam media padat.
Pengenceran berseri dalam media cair yang diulang paling sedikit tiga kali
digunakan sebagai alternatif. Akan tetapi, metode isolasi tersebut kurang aman.
Prosedur isolasi yang cepat dan efisien dari kultur campuran dan tidak bergantung
plating telah dikembangkan. Metode ini didasarkan pada pemisahan sel tunggal
dari kultur kaya dengan menggunakan mikroskop laser yang dikontrol dengan
penggunaan komputer (optical tweezer trap) dan selanjutnya ditumbuhkan. Laser
dapat difokuskan pada ukuran titik berdiameter kurang dari satu mikrometer.
Gabungan analisis urutan gen 16S rRNA, hibridisasi sel spesifik dalam kultur
kaya, dan isolasi sel tunggal yang diidentifikasi secara morfologi dengan optical
tweezer trap digunakan untuk mengisolasi archaea hipertermofilik baru dari
Obsidian Pool, Yellowstone National Park, USA (Huber et al., 2000).
II.3 Studi Komunitas Mikroba
Pada saat ini, para ahli mikrobiologi mengetahui bahwa hanya sebagian kecil saja
(kurang dari 1%) dari semua mikroba yang ada yang telah berhasil diisolasi dan
dikarakterisasi (Ward et al., 1998; Kirk et al., 2004; Sharma et al., 2005).
14
Perbandingan persentase bakteri terkulturkan dengan jumlah sel total pada habitat
yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat besar (Amann et al., 1995).
Salah satu alasan perbedaan ini kemungkinan adalah adanya saling
ketergantungan satu sama lain antara organisme-organisme berbeda (Fisher, 1990)
dan kurangnya pengetahuan tentang kondisi sebenarnya tempat mikroba tumbuh
dalam lingkungan alaminya (Muyzer dan Smalla, 1998).
II.3.1 Analisis tradisional
Metode mikrobiologi tradisional memiliki kelemahan dalam mengenali
keberadaan populasi individu dalam komunitas mikroba (Ward et al., 1998).
Ukuran mikroba yang relatif kecil dan kurangnya variasi morfologi menjadi
masalah dalam membedakan populasi secara mikroskopis dan memerlukan
kultivasi untuk identifikasinya. Beberapa ahli mikrobiologi meragukan
pendekatan seperti ini akan memberikan gambaran yang akurat mengenai
keberadaan mikroba-mikroba dalam habitat alaminya (Ward et al., 1998).
Beberapa teknik berbasis biokimia seperti selective plating dan direct viable
counts memiliki keterbatasan, diantaranya adalah sulitnya mengeluarkan bakteri
atau spora dari partikel tanah atau biofilm, adanya seleksi akibat ketidaksesuaian
medium pertumbuhan dan kondisi pertumbuhan (temperatur, pH), dan
ketidakmampuan mengkulturkan sebagian besar spesies mikroba dengan teknik
yang ada saat ini. Teknik lain, seperti pengamatan pola penggunaan sumber
karbon tunggal (sole source carbon utilization), berhasil digunakan untuk
mempelajari potensi biodiversitas metabolisme komunitas mikroba pada tempat
terkontaminasi, rizospera tanaman, tanah, atau inokulum mikroba. Akan tetapi,
keterbatasan profilling metabolik ini adalah selektif hanya untuk mikroba
terkulturkan yang dapat tumbuh pada kondisi eksperimen, menguntungkan bagi
mikroba yang tumbuh cepat, dan peka terhadap densitas inokulum (Kirk et al.,
2004).
Untuk mengatasi masalah berkaitan dengan ketidakmampuan kultivasi mikroba,
beberapa metode analisis telah dikembangkan, baik yang berbasis pengujian
biokimia maupun analisis molekular. Analisis FAME (fatty acid methyl ester)
15
merupakan salah satu metode biokimia yang tidak bergantung pada kultivasi
mikroba. Metode ini memberikan informasi mengenai komposisi komunitas
mikroba berdasarkan pengelompokan asam lemak (Ibekwe dan Kennedy, 1998).
Keterbatasan metode analisis asam lemak adalah spesies minoritas di dalam
populasi sulit terdeteksi (Kirk et al., 2004) dan komposisi asam lemak sel dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur dan nutrisi. Selain itu, setiap
individu sel bisa memiliki banyak asam lemak dan asam lemak yang sama bisa
berada pada lebih dari satu spesies (Bossio et al., 1998).
II.3.2 Analisis molekular terhadap komunitas mikroba
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai peranan biodiversitas
mikroba dalam memelihara ekosistem diperlukan pendekatan lain selain prosedur
mikrobiologi tradisional (Muyzer dan Smalla, 1998). Aplikasi teknik biologi
molekular untuk mendeteksi dan mengidentifikasi mikroorganime dengan
penanda molekul tertentu, seperti 16S rRNA atau gen pengkodenya, sekarang ini
lebih sering digunakan untuk mengeksplorasi biodiversitas mikroba dan
menganalisis struktur komunitas mikroba (Muyzer dan Ramsing, 1995; Case et
al., 2007). Aplikasi teknik-teknik molekular dalam mempelajari ekologi mikroba
telah menjadi suatu disiplin tersendiri yaitu ekologi mikroba molekular
(Akkermans et al., 1995). Sejauh ini, sebagian hasil-hasil dengan pendekatan
molekular telah diperoleh dengan cara kloning fragmen 16S rRNA yang diperoleh
baik setelah transkripsi balik rRNA (Weller et al 1991; Ward et al 1998), atau
setelah amplifikasi enzimatik DNA yang diekstraksi dari habitat yang berbeda-
beda, seperti sedimen (Grey dan Herwig, 1996), tanah (Liesack dan Stackebrandt,
1992; Borneman et al., 1996), sumber air panas (Barns et al., 1994), dan air laut
(Giovannoni et al., 1990; Fuhrman et al., 1993). Hasil studi-studi tersebut
memperlihatkan besarnya biodiversitas mikroba, dan pada saat yang sama
menunjukkan keterbatasan teknik kultivasi tradisional dalam menemukan
biodiversitas ini (Muyzer dan Smalla, 1998). Walaupun berhasil, studi ini hanya
difokuskan pada eksplorasi biodiversitas mikroba tetapi tidak memberikan
informasi mengenai dinamika kompleks, dimana komunitas mikroba dapat
berubah karena kematian dan fluktuasi musim atau adanya gangguan lingkungan.
16
Pendekatan kloning tidak bermanfaat dalam mempelajari interaksi antar mikroba
dan antara mikroba dengan lingkungannya karena memerlukan banyak waktu dan
tenaga, dan karenanya tidak sesuai untuk analisis sampel yang banyak (Muyzer
dan Smalla, 1998).
Pendekatan yang lebih baik untuk mengamati pergeseran populasi adalah
penggunaan penanda spesifik takson pada hibridisasi dot-blot ekstrak rRNA
(Stahl et al., 1988; Raskin et al., 1995) atau hibridisasi sel utuh (Amann et al.,
1995). Studi ini hanya difokuskan pada mikroba tertentu dimana penanda telah
dikembangkan. Oleh sebab itu, untuk mempelajari struktur kompleks komunitas
mikroba dan dinamikanya diperlukan teknik biologi molekul yang lain.
Beberapa teknik fingerprinting genetik telah dikembangkan untuk diterapkan
dalam analisis komunitas mikroba. Teknik fingerprinting genetik menyediakan
suatu pola atau profil biodiversitas genetik dalam komunitas mikroba (Muyzer
dan Smalla, 1998). Di antara teknik-teknik tersebut, yang paling banyak
digunakan antara lain adalah denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE),
single strand conformation polymorphism (SCCP), terminal restriction fragment
length polymorphism (TRFLP), dan ribosomal intergenic spacer analysis (RISA)
(Ikeda et al., 2006). Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Prinsip dari keempat teknik fingerprinting ini diilustrasikan
dalam Gambar II.2.
Keterbatasan utama teknik fingerprinting DNA untuk analisis komunitas adalah
besarnya kompleksitas ekosistem dapat menyebabkan kompleksitas fragmen DNA
melebihi kekuatan pemisahan teknik elektroforesis saat ini (Nakatsu et al., 2000).
Selain itu, beberapa kelompok bakteri diketahui memiliki variasi panjang dan
urutan di antara kopi intragenomik operon ribosom (intercistronic heterogeneity),
untuk pengkode gen RNA maupun daerah intergenik (Maarit-Niemi et al., 2001).
Selanjutnya, spesies berbeda akan memiliki jumlah kopi gen yang berbeda pula
dan ini juga akan memberikan bias pada interpretasi hasil fingerprinting (Liu et
al., 1997).
17
Gambar II.2 Prinsip metode-metode fingerprinting DNA yang digunakan
untuk analisis komunitas mikroba. Semua metode menggunakan daerah sangat lestari pada gen RNA ribosom untuk mendesain primer (panah kecil). Gen rRNA subunit kecil digunakan untuk amplifikasi PCR pada DGGE, SCCP, dan T-RFLP, sedangkan daerah penghubung antar gen (intergenic spacer region) antara rRNA subunit kecil dan besar diamplifikasi pada RISA. Hasil PCR dipisahkan dengan menggunakan DGGE dan SCCP berdasarkan konformasi tiga dimensinya. Hasil PCR pada T-RFLP dan RISA dipisahkan secara linier, berdasarkan panjang fragmen DNA. Panah kotak menunjukkan arah elektroforesis (disalin dari Ikeda et al. 2006)
Dengan segala keterbatasannya, masing-masing teknik molekular tersebut telah
digunakan secara luas untuk analisis komunitas mikroba. DGGE dan SCCP
dinilai sebagai metode yang sangat sensitif. Akan tetapi, dibandingkan dengan
T-RFLP dan RISA, kedua metode tersebut juga memerlukan kondisi eksperimen
yang lebih sensitif untuk kebolehulangannya. Selain itu, mobilitas profil DNA
pada DGGE dan SCCP yang dipisahkan berdasarkan perbedaan urutan nukleotida
tidak benar-benar linier dibandingkan dengan T-RFLP dan RISA yang prinsip
pemisahannya didasarkan pada perbedaan ukuran amplikon. Akan tetapi, DGGE
dan SCCP dapat lebih sensitif dan efektif untuk beberapa sampel yang
18
memerlukan deteksi perbedaan urutan yang halus. Selain itu, beberapa primer
spesifik takson telah tersedia untuk analisis DGGE (Ikeda et al., 2004).
II.3.2.1 Denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE)
DGGE mulanya dikembangkan untuk mendeteksi mutasi titik pada urutan DNA,
tetapi Muyzer et al. (1993) menerapkan teknik ini untuk mempelajari biodiversitas
genetik mikroba. Analisis DGGE melibatkan pemisahan amplikon PCR fragmen
16S rRNA dalam gel akrilamid yang mengandung konsentrasi denaturan
meningkat. Pemisahan didasarkan pada perbedaan karakteristik melting fragmen
DNA untai ganda akibat perbedaan urutan basa. Pada proses DGGE, pembukaan
untai DNA berlangsung secara diskrit sehingga disebut melting domain: untaian
pasang basa dengan temperatur melting yang identik. Pada saat suatu domain
dengan temperatur melting paling rendah mencapai temperatur melting-nya (Tm)
pada posisi tertentu pada gel gradien denaturan, terjadi perubahan dari suatu
heliks menjadi molekul terbuka sebagian dan migrasi molekul akan terhenti.
Variasi urutan dalam domain-domain ini menyebabkan perbedaan temperatur
melting, dan pada akhirnya molekul dengan urutan berbeda akan berhenti
bermigrasi pada posisi yang berbeda di dalam gel.
Sebanyak 50% variasi urutan dalam fragmen DNA sampai ukuran 500 pb dapat
dideteksi dengan menggunakan DGGE (Myers et al., 1985). Prosentase ini dapat
ditingkatkan menjadi hampir 100% dengan menambahkan suatu urutan yang kaya
GC pada salah satu primer, disebut CG-clamp, sehingga menjadi bagian dari
fragmen DNA yang teramplifikasi (Myers et al., 1985; Sheffield et al., 1989).
Urutan kaya GC ini bertindak sebagai domain melting tinggi yang mencegah dua
untai DNA berdisosiasi sempurna menjadi untai tunggal.
DNA diekstraksi dari sampel dan diamplifikasi menggunakan primer PCR
universal. Ujung-5’ primer forward mengandung 30-40 pb CG clamp untuk
memastikan DNA tetap untai ganda. Hal ini penting untuk memisahkan fragmen
DNA pada gel poliakrilamid dengan gradien konsentrasi denaturan (urea dan
formamida) yang meningkat. Karenanya, DGGE dapat memisahkan fragmen
19
DNA berukuran sama yang memiliki urutan basa berbeda (Ikeda et al. 2006;
Ward et al., 1998). Secara teori, DGGE dapat memisahkan pita DNA yang
berbeda hanya satu pasang basa (Miller et al., 1999).
DGGE memiliki kapasitas mendeteksi perubahan halus dalam struktur komunitas
mikroba karena prinsip deteksinya. Pita-pita DGGE spesifik, juga dapat dipotong
dari gel, direamplifikasi, dan kemudian ditentukan urutannya atau ditransfer ke
membran dan dihibridisasi dengan penanda tertentu untuk memberikan informasi
lebih banyak mengenai biodiversitas struktur dan fungsi (Theron dan Cloete,
2000). Informasi mengenai mikroba spesifik dalam komunitas dapat ditentukan
dengan cara memotong dan mementukan urutan pita-pita. DGGE juga dapat
digunakan untuk mengamati biodiversitas bakteri dan fungi (Smalla et al., 2007).
Keterbatasan DGGE antara lain adanya bias PCR (Wintzingerode et al., 2000) dan
penanganan sampel di laboratorium yang dapat berpotensi mempengaruhi analisis
komunitas mikroba (Muyzer, 1999; Theron dan Cloete, 2000). Merancang primer
pada DGGE relatif sulit karena keterbatasan ukuran hasil PCR yang dapat
dianalisis (maksimum beberapa ratus pasang basa). Selain itu, fragmen DNA
dengan urutan berbeda dapat memiliki karakteristik mobilitas yang mirip pada gel
poliakrilamid (Ferris et al., 1996; Sekiguchi et al., 2001), dan adanya melting
domain lebih dari satu juga dilaporkan menjadi penyebab pita-pita yang tidak jelas
atau kabur (Kisand dan Wikner 2003), yang bisa menjadi masalah serius bagi
reamplifikasi dan kloning pita DNA yang diharapkan. Nikolausz et al. (2005)
telah menunjukkan bahwa tidak hanya urutan basa yang berbeda dengan reaksi
melting yang sama yang dapat bermigrasi bersama-sama, tetapi juga amplikon
dominan biasanya menyebar dalam suatu gel. Faktor lain yang mungkin
mempengaruhi reamplifikasi adalah pembentukan heterodupleks. Satokari et al.
(2001) dan Speksnijder et al. (2001) melaporkan bahwa heterodupleks selama
analisis DGGE menyebabkan penambahan jumlah pita. Karenanya, analisis urutan
pita-pita DGGE dilakukan dengan hati-hati, dan satu pita tunggal tidak selalu
mewakili satu spesies (Gelsomino et al. 1999).
20
II.3.2.2 Terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP)
T-RFLP adalah teknik yang dapat menutupi beberapa keterbatasan DGGE dan
SCCP (Tiedje et al. 1999). Pada T-RLFP, salah satu primer untuk
mengamplifikasi RNA ribosom ditandai dengan pewarna berpendar. Hasil
amplifikasi kemudian dipotong dengan enzim restriksi tertentu dan ditentukan
panjang fragmen ujungnya (ribotype). Hal ini memungkinkan deteksi hanya
fragmen restriksi terminal yang berlabel (Liu et al. 1997). Metode ini juga
menyederhanakan pola pita sehingga setiap pita yang nampak memungkinkan
hanya mewakili unit taksonomi operasional atau ribotype tunggal (Tiedje et al.
1999). Pola pita karenanya dapat digunakan untuk mengukur kelimpahan dan
kesamaan spesies selain kemiripan antara sampel (Liu et al. 1997).
Satu perbedaan utama antara T-RFLP dengan DGGE/SCCP adalah fingerprinting
komunitas berbeda dapat diperoleh dari hasil PCR yang sama dengan pemotongan
oleh enzim restriksi berbeda (Dunbar et al. 2000). Karena itu disarankan untuk
menggunakan paling sedikit dua sampai empat enzim restriksi berbeda (Tiedje et
al. 1999). Pemotongan tidak sempurna oleh enzim restriksi juga bisa
menyebabkan estimasi berlebih terhadap biodiversitas (Osborn et al. 2000). T-
RFLP juga memiliki kekurangan dalam hal biaya operasional dan fasilitas yang
tinggi, yang mencegah penggunaan secara rutin dalam pengukuran ekologi karena
memerlukan perangkat sampel yang besar. Selain itu, walaupun pendapat bahwa
spesies bersesuaian dengan masing-masing profil dalam T-RFLP dapat diterima
berdasarkan sisi konsensus enzim restriksi dan informasi ukuran fragmen, pada
teknik ini tidak ada metode untuk mengklon secara langsung pita-pita DNA yang
diinginkan. Walaupun demikian, T-RFLP dapat menjadi sarana yang sangat
bermanfaat untuk mempelajari biodiversitas mikroba pada lingkungan (Liu et al.
1997; Tiedje et al. 1999; Osborn et al. 2000). Beberapa kontroversi mengenai
keandalan T-RFLP disebabkan adanya variasi data yang dihasilkan dari
penggunaan enzim restriksi yang berbeda. Dunbar et al. (2000) melaporkan
ketidakkonsistenan pola pita pada T-RFLP tergantung enzim restriksi yang
digunakan.
21
II.4 Analisis Filogenetik
Suatu molekul yang urutannya mengalami perubahan secara acak terhadap fungsi
waktu dapat disebut sebagai kronometer atau alat ukur waktu (Woese, 1987).
Jumlah perubahan urutan yang terakumulasi dalam suatu kronometer (disebut
sebagai jarak) merupakan hasil kali laju (dimana mutasi menjadi menetap) dengan
satuan waktu (selama perubahan terjadi). Perubahan ini tidak dapat diukur dengan
membandingkan suatu keadaan awal dengan keadaan akhir karena tidak diketahui
pola keadaan awal nenek moyangnya. Dengan anggapan bahwa dua (atau lebih)
urutan berasal dari nenek moyang yang sama, perbedaan dua (atau lebih) urutan
yang mempresentasikan mikroba berbeda dapat diukur dengan menghitung
masing-masing perubahannya. Beberapa persyaratan harus dipenuhi oleh suatu
kronometer diantaranya (i) memiliki sifat seperti jam (perubahan dalam urutannya
harus seacak mungkin) (ii) laju perubahan harus proporsional dengan spektrum
jarak evolusi yang diukur (iii) ukuran molekul harus cukup besar untuk memuat
informasi yang memadai (Woese, 1987).
RNA ribosom merupakan molekul kronometer yang baik dan paling banyak
digunakan (Woese, 1987). Molekul ini menunjukkan tingkat kekonstanan yang
tinggi secara fungsional yang menjanjikan sifat seperti jam yang baik. Selain itu,
molekul rRNA terdapat pada semua organisme dan perubahan urutannya terjadi
pada posisi dan laju yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk menghitung
hubungan filogenetik termasuk yang kekerabatannya sangat jauh. rRNA
berukuran besar dan terdiri dari beberapa domain. Dalam struktur sekunder 16S
rRNA terdapat sekitar 50 heliks dan jumlahnya dua kali lipat untuk 23S rRNA
(Woese, 1987).
Pada saat ini, analisis urutan gen 16S rRNA telah banyak digunakan untuk
mengidentifikasi spesies bakteri dan mempelajari taksonomi (Chakravorty et al.,
2007). Gen 16S rRNA memiliki ukuran cukup besar untuk memberikan
perbedaan dan pengukuran yang valid secara statistik, yaitu sekitar 1550 pb
dengan polimorfisme interspesifik yang cukup (Clarridge, 2004). Di sepanjang
gen tersebut terdapat daerah-daerah dengan urutan lestari (conserved) yang
22
ditemukan pada semua atau sebagian besar prokariot dan juga daerah dengan
urutan bervariasi (daerah variabel). Pada umumnya, gen 16S rRNA bakteri
mempunyai 9 daerah hipervariabel yang menunjukkan biodiversitas urutan di
antara spesies berbeda dan dapat digunakan untuk identifikasi spesies (Baker et al.
2003; Van de Peer et al., 2003). Primer-primer untuk amplifikasi daerah yang
diinginkan biasanya dirancang komplemen dengan daerah-daerah lestari (Baker et
al., 2003; Lu et al., 2006).
Urutan gen 16S rRNA telah ditentukan untuk sejumlah besar galur mikroba. Dari
sekitar 20 juta urutan nukleotida yang tersimpan di GenBank, lebih dari 90 ribu
diantaranya adalah urutan gen 16S rRNA (Clarridge, 2004). Pada umumnya
perbandingan urutan gen 16S rRNA dapat membedakan organisme-organisme
pada level genus di antara semua filum utama bakteri, selain untuk
mengklasifikasikan strain pada level spesies dan subspesies. Penentuan urutan
keseluruhan daerah 1,5 kb kadang-kadang diperlukan untuk membedakan antara
taksa atau strain-strain tertentu atau ketika menggambarkan spesies baru. Akan
tetapi, urutan sepanjang 500 pb atau bahkan lebih pendek pada sebagian besar
bakteri memberikan perbedaan yang cukup untuk identifikasi (Clarridge, 2004).
Saat ini telah dikembangkan beberapa metode untuk menganalisis urutan
nukleotida ataupun protein menjadi informasi filogenetik. Metode-metode
tersebut pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu yang
mengoperasikan matriks jarak pasangan dan matriks karakter diskrit.
II.4.1 Metode Jarak (Distance Methods)
Metode jarak pada prinsipnya berusaha menyusun suatu pohon dengan suatu
matriks pasangan jarak genetik. Jarak setiap 2 urutan merupakan nilai tunggal
yang diperoleh dari jumlah fraksi posisi dimana kedua urutan nukleotida yang
dibandingkan berbeda (didefinisikan sebagai jarak-p) (Van de Peer, 2003). Jarak-p
bukan merupakan jarak genetik yang sebenarnya karena beberapa nukleotida yang
dijajarkan adalah hasil dari beberapa kejadian. Selain itu, karena mutasi menetap
23
di dalam gen, substitusi berulang pada posisi yang sama dapat terjadi selama
evolusi. Karenanya, pada metode berbasis jarak, jumlah substitusi yang
sebenarnya terjadi dicoba diestimasi dengan menerapkan suatu model evolusi
tertentu yang membuat asumsi mengenai kejadian alamiah perubahan evolusi
(Van de Peer, 2003). Jika keseluruhan jarak pasangan dari kumpulan urutan telah
dihitung, topologi pohon dapat disimpulkan menggunakan bermacam-macam
metode.
Estimasi jarak genetik yang benar sangat menentukan, dan dalam banyak kasus
lebih penting daripada memilih metode untuk menyimpulkan topologi pohon.
Penggunaan model evolusi yang tidak realistik dapat menyebabkan kesalahan
yang serius pada topologi pohon. Akan tetapi, karena kejadian evolusi urutan
nukleotida yang sebenarnya tidak diketahui maka metode yang terbaik untuk
mengestimasi jarak genetik bukan fakta yang penting.
Metode penyusunan pohon berdasarkan jarak diantaranya adalah analisis cluster
(kelompok) dan evolusi minimum. Metode cluster seperti UPGMA (unweighted-
pair group method with arithmetic means) dan WPGMA (weighted-pair group
method with arithmetic means) menggunakan algoritma pengelompokan bertahap
dan dengan asumsi laju evolusi adalah sama untuk semua cabang. Asumsi tersebut
hanya mungkin dipenuhi oleh suatu jam molekular. Akibatnya, metode cluster
sangat sensitif terhadap laju yang tidak sama pada garis keturunan berbeda.
Koreksi terhadap metode cluster diberikan oleh metode jarak transformasi dengan
cara membandingkan urutan yang dipelajari terhadap urutan referensi atau
outgroup (Van de Peer, 2003).
Untuk mengatasi keterbatasan metode cluster, algoritma yang merekonstruksi
metode tersebut dikembangkan dan diistilahkan sebagai additive distance trees
(pohon jarak aditif). Jarak aditif dapat disusun dengan tepat ke dalam pohon tak
berakar (unrooted trees) sedemikian sehingga jarak genetik sepasang OTUs
(operational taxonomic units) sama dengan jumlah panjang cabang yang
24
menghubungkannya. Minimum evolution (evolusi minimum) merupakan salah
satu metode jarak untuk menyusun pohon aditif. Metode ini diadopsi lebih lanjut
pada metode Neighbor Joining (NJ; penggabungan tetangga). NJ secara
konseptual berhubungan dengan clustering tetapi tanpa mengasumsikan sifat
seperti jam. NJ merupakan metode yang paling umum digunakan untuk
mengkonstruksi pohon jarak. Kombinasi NJ dengan analisis bootstrap dapat
menjadi jalan terbaik dalam mengevaluasi pohon-pohon berbasis jarak (Van de
Peer 2003).
II. 4.2 Metode Karakter Diskrit
Metode karakter diskrit tidak mereduksi perbedaan di antara urutan menjadi nilai
tunggal (suatu jarak) seperti pada metode berbasis jarak. Pada metode karakter
diskrit posisi-posisi pada urutan ditempatkan secara individu sebagai atribut atau
keadaan karakter (Van de Peer, 2003). Untuk data molekular, matriks keadaan
karakter merupakan kumpulan urutan DNA atau protein yang telah dijajarkan,
dimana nukleotida A, C, G, dan T (pada urutan DNA) atau simbol-simbol yang
mewakili 20 asam amino (pada urutan protein) adalah keadaan (states). Metode
karakter diskrit yang sering digunakan dalam filogenetik molekular adalah metode
maximum parsimony (penghematan maksimum) dan maximum likelihood
(kemungkinan maksimum).
Metode parsimony maksimum didasarkan pada asumsi bahwa pohon filogenetik
yang paling tepat adalah pohon yang paling hemat, yaitu pohon dengan jumlah
perubahan mutasi keseluruhan yang paling kecil (Woese, 1987). Ide dasar dari
analisis parsimony adalah sederhana yaitu mencari pohon atau kumpulan pohon
yang meminimalkan jumlah perubahan evolusi (transformasi satu keadaan
karakter menjadi keadaan yang lain) yang diperlukan untuk menjelaskan data.
Beberapa masalah dalam menemukan pohon-pohon optimal yang memenuhi
kriteria parsimony diantaranya (i) penentuan jumlah perubahan karakter atau
panjang pohon diperlukan oleh pohon yang diberikan; (ii) pencarian pohon yang
minimal panjangnya terhadap semua topologi pohon yang mungkin yang
jumlahnya bisa sangat besar (Swofford dan Sullivan, 2003). Metode parsimony
25
maksimum paling cocok digunakan untuk urutan-urutan yang mirip dan dalam
jumlah yang tidak terlalu besar.
Metode karakter diskrit yang berkembang kemudian adalah metode likelihood
maksimum yang menggunakan perhitungan kemungkinan maksimum dalam
menentukan pohon terbaik. Ide utama dalam penyusunan filogenetik dengan
kemungkinan maksimum adalah untuk menentukan topologi pohon, panjang
cabang, dan parameter model evolusi (seperti rasio transisi/transversi, frekuensi
basa, laju variasi di antara posisi-posisi) yang memaksimalkan kemungkinan
pengamatan urutan yang ada. Metode kemungkinan maksimum mirip dengan
metode parsimony maksimum dalam dalam anggapan bahwa pohon dengan
jumlah perubahan terkecil adalah paling mungkin. Akan tetapi, metode likelihood
maksimum mengevaluasi pohon dengan variasi laju mutasi pada garis keturunan
berbeda. Jadi, metode ini dapat digunakan untuk mengeksplorasi hubungan di
antara urutan yang lebih beragam, kondisi yang tidak ditangani dengan baik oleh
metode parsimony maksimum. Kelemahan utama metode likelihood maksimum
adalah metode ini memerlukan komputer yang lebih cepat proses perhitungannya
agar bisa digunakan secara lebih luas dan untuk model evolusi yang lebih
kompleks (von Haeseler dan Trimmer, 2003).
II.5 Kawah Kamojang
Wilayah geotermal Kamojang, Jawa Barat, berada pada rantai vulkanik yang luas,
dengan panjang sekitar 15 km dan lebar 4,5 km serta ketinggian sekitar 1500
meter, terbentang antara gunung Rakutak di sebelah timur dan gunung Guntur di
sebalah barat (Zuhro, 2004). Manifestasi permukaan ditemukan pada area yang
dinamakan Kawah Kamojang dalam bentuk fumarol, tanah beruap (steaming
ground), kolam lumpur (mud pools), dan sumber air panas (hot springs) dengan
luas sekitar 500 m2. Menurut Healy dan Mahon (1982), sebagian besar air panas
pada permukaan mengandung konsentrasi sulfat yang tinggi (1000-2000 ppm) dan
konsentrasi klorida yang sangat rendah (< 5 ppm). Bukti isotop menunjukkan
bahwa air tersebut merupakan air lokal yang telah dipanaskan oleh uap yang
mengandung hidrogen sulfida, yang dioksidasi menjadi sulfur untuk
26
menghasilkan air dengan pH rendah dan konsentrasi sulfat yang tinggi (Utami dan
Bowne, 1999). Kandungan gas pada uap adalah sekitar 2% berat dan sebagian
besar merupakan gas CO2 dan H2S (Zuhro, 2004).
Area geotermal Kamojang telah dimanfaatkan sebagai sumber panas bumi dan
pembangkit listrik tenaga panas bumi sejak tahun 1983. Area ini bisa
menyediakan uap untuk memproduksi tenaga 30 MWe sejak tahun 1983. Sejak
tahun 1987, kapasitas produksi mencapai 140 MWe dan naik menjadi 200 MWe
pada tahun 2006. Pengeboran geothermal di area Kamojang dimulai pada tahun
1974-1975 ketika 5 sumur eksplorasi di sekitar area dibor sampai kedalaman 700
meter. Dua di antara sumur tersebut masih produktif menghasilkan uap kering
dengan temperatur 232°C yang berasal dari feed zones yang dangkal pada
kedalaman sekitar 600 m (Sudarman et al., 1995). Saat ini terdapat 72 sumur yang
telah dibor di area geothermal Kamojang.
Pada sumur geotermal Kamojang terdapat 2 campuran mineral hidrotermal
berbeda, yaitu campuran asam dan campuran netral. Campuran asam terletak pada
level yang lebih dangkal (dari dekat permukaan sampai 100-300 m) yang ditandai
dengan adanya kaolin dengan atau tanpa smectite, alunite, quartz, cristobalite, dan
pyrite. Campuran netral di bagian yang lebih dalam terdiri dari quartz, adularia,
albite, epidote, titanite, wairakite, laumontite, calcite, siderite, titanohematite,
pyrite, anhydrite, smectite, chlorite, illite, dan interlayered clays (Utami, 2000).