BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UKSW · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 2.1. Pendekatan Konsep . 2.1.1. Konsep...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UKSW · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 2.1. Pendekatan Konsep . 2.1.1. Konsep...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendekatan Konsep
2.1.1. Konsep Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri adalah bagian penting dari kebijakan yang dijalankan
oleh sebuah negara yang berdaulat. Dalam lingkungan internasional, kebijakan luar
negeri menjadi instrumen penting sebuah negara untuk bisa membaur dan
memenuhi apa yang menjadi kebutuhan di negaranya, karena kebijakan domestik
saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sebuah negara atas nama masyarakat
di dalamnya. Kebijakan luar negeri sangat erat kaitannya dengan kebijakan
domestik sebuah negara, karena kebijakan luar negeri cenderung diarahkan untuk
melengkapi kebijakan domestik serta menjadi salah satu upaya bagi sebuah negara
untuk mempertahankan eksistensinya dalam politik internasional. Setiap negara
tidak dapat secara maksimal memenuhi kepentingan nasionalnya melalui kebijakan
domestiknya, di sinilah kebijakan luar negeri lahir melalui ketergantungan sebuah
negara terhadap negara lain.
Mark R. Amstutz (1995) mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai
tindakan pemerintah yang secara implisit maupun eksplisit dirancang untuk
mempromosikan kepentingan nasional terhadap lingkungan intenasional. Melalui
definisi tersebut ada tiga penekanan utama, yakni tindakan atau kebijakan
pemerintah, pencapaian kepentingan nasional dan jangkauan kebijakan luar negeri
yang melampaui batas sebuah negara. Bagi Kegley dan Wittkopf (2003)
menekankan pengertian kebijakan luar negeri sebagai keputusan yang dibuat untuk
mencapai tujuan-tujuan internasional. Jemadu (2014) menekankan bahwa
kebijakan luar negeri sebuah negara harus memperhatikan nilai-nilai yang menjadi
tujuan dasar sebuah negara serta alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Selanjutnya menurut Howard Lenter (1974) kebijakan luar negeri harus
mencakup tiga hal utama, yakni penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection
of objective), sumber daya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut
9
(mobilization of means), dan pelaksanaan (implementation) dari kebijakan luar
negeri (Jemandu, 2014, hal. 49-50). Melalui beberapa definisi diatas terlihat jelas
bahwa acuan dalam mengambil sebuah kebijakan luar negeri berpengaruh dan
bergantung pada kebijakan domestik serta nilai-nilai yang berkaitan dengan
kepentingan nasional atau national interests.
Kebijakan luar negeri mengacu pada bagaimana sebuah negara berinteraksi
dengan aktor-aktor global lainnya. Bagi kaum realis, kebijakan luar negeri lahir
karena faktor-faktor eksternal dan secara eksplisit dibuat untuk mempengaruhi
negara-negara atau aktor lain dalam lingkungan internasional. Bagi mereka,
kepentingan nasional merupakan alasan utama hadirnya kebijakan luar negeri dan
untuk mempertahankan eksistensinya dalam politik internasional. Sedangkan bagi
kaum liberal, kebijakan luar negeri merupakan jembatan untuk berinteraksi dan
bekerja sama dengan negara lain maupun aktor lainnya dengan cara diplomasi.
Kebijakan luar negeri melibatkan strategi, tindakan, metode, tujuan, kesepakatan
serta pertimbangan penting karena tidak hanya mewakili kepentingan satu
kelompok. Presiden, perdana menteri, menteri luar negeri, menteri pertahanan,
menteri keuangan dan sebagainya pada umumnya merupakan aktor dalam
pengambilan kebijakan luar negeri (Jackson & Sorensen, 2014, hal. 439-440;
Mansbach & Rafferty, 2012, hal. 411-414).
Jemandu (2014, hal. 51-58) mengemukakan konsep dasar terkait kebijakan
luar negeri. Yang pertama adalah kepentingan nasional atau national interests, di
mana Nincic (1992) memaparkan tiga kriteria dalam mendefinisikan kepentingan
nasional. Pertama, kepentingan nasional harus signifikan sehingga pencapaiannya
menjadi sasaran utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan nasional
harus besinggungan dengan lingkungan internasional. Ketiga, kepentingan nasional
harus terpisah dari kepentingan kelompok bahkan individu, atau lembaga
pemerintahan dan harus benar-benar mencerminkan apa yang diinginkan dan
dibutuhkan oleh negara atas nama masyarakat. Kepentingan nasional juga
dibedakan berdasarkan sifatnya, yakni yang bersifat vital atau yang mencakup nilai-
nilai inti yang menjadi identitas kebijakan luar negeri dan akan menggunakan
10
berbagai instrumen untuk mempertahankannya termasuk kekuatan militer.
Sedangkan yang kedua yakni kepentingan non-vital atau sekunder, misalnya
pertukaran misi kebudayaan, kerja sama pariwisata, bantuan untuk penanggulangan
bencana, dan sebagainya. Konsep yang kedua adalah tujuan kebijakan luar negeri,
yakni mencakup prioritas utama sebuah negara dalam mengeluarkan kebijakan luar
negeri. Dalam sebuah negara birokrasi, Departemen Luar Negeri menjadi badan
yang merumuskan tujuan dari kebijakan luar negeri. Pencapaian sebuah tujuan
kebijakan luar negeri dapat ditentukan oleh peluang (opportunities) dan kendala
(constraints). Para pembuat kebijakan diharapkan dapat memaksimalkan peluang
yang ada dan mengurangi atau mengatasi kendala-kendala yang ada. Konsep yang
terakhir adalah kapabilitas nasional (national capability) yang bersifat tangible
(nyata, dapat diamati secara empiris dengan indikator pengukuran yang jelas) dan
yang bersifat intangible (abstrak dan pengukurannya bersifat kualitatif).
Kapabilitas nasional sebuah negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya
juga dapat dibedakan menjadi dua cara yakni soft power (melalui nilai-nilai,
diplomasi, kebudayaan) dan hard power (penggunaan kekuatan militer dan
teknologi).
2.1.2. Konsep Kerja sama Bilateral
Dalam mencapai kebutuhan dan kelangsungan hidup, sebuah negara
melakukan kerja sama dengan negara atau aktor internasional lainnya. Kerja sama
internasional juga sangat dibutuhkan karena negara-negara semakin bergantung
satu sama lain dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan perkembangannya.
Dalam melakukan sebuah kerja sama internasional, diperlukan prinsip
kepercayaan, menghargai dan menghormati agar sebuah kerja sama dapat
terlaksana dengan baik dan menguntungkan masing-masing pihak yang terlibat.
Ikbar (2014) mendeskripsikan sebuah kerja sama internasional sebagai bentuk
hubungan yang terjadi antara satu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan kepentingan negara-negara di dunia. Kerja
sama internasional dapat meliputi kerja sama dalam bidang ekonomi, politik, sosial,
pertahanan keamanan, dan kebudayaan. Negara-negara yang terlibat kerja sama
11
internasional mendasarkan tujuan kerja samanya berdasarkan politik luar negeri
(hal. 273-274). Kalevi Jaakko Holsti mendefinisikan kerja sama internasional
sebagai pandangan mengenai dua kepentingan atau lebih dengan tujuan untuk
saling bertemu dan menghasilkan sesuatu, dipromosikan atau digenapi oleh semua
pihak terkait atau menyetujui masalah-masalah tertentu untuk memanfaatkan
persamaan kepentingan antar pihak yang terkait kerja sama (1988, hal. 652-653).
Berdasarkan jumlah negara yang terlibat dalam kerja sama, ada beberapa
bentuk dari kerja sama internasional, yakni kerja sama bilateral, kerja sama regional
dan kerja sama multilateral. Dalam penelitian ini, penulis fokus pada kerja sama
bilateral, di mana kerja sama bilateral adalah kerja sama yang dilakukan oleh dua
negara, dalam hal ini kerja sama dapat dilakukan melalui hubungan diplomatik,
ekonomi dan perdagangan, politik, keamanan, kebudayaan dan sosial (Ikbar, 2014,
hal. 273). Kerja sama bilateral adalah wadah untuk melakukan kerja sama secara
spesifik dengan satu negara asing yang biasanya memiliki keterkaitan erat untuk
memenuhi kepentingan nasional sebuah negara.
2.2. Pendekatan Teori
2.2.1. Rational Choice Theory (RCT)
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan Rational Choice Theory
(RCT) sebagai alat analisis kasus yang dibahas. Tujuan dari RCT adalah untuk
menjelaskan fenomena sosial dengan mengasumsikan pilihan rasional pada level
aktor dan juga harus menjelaskan tindakan aktor dalam menentukan pilihan.
Rational Choice Theory mengasumsikan bahwa seorang aktor dapat memilih
sebuah alternatif yang menurutnya membawa hasil yang paling menguntungkan
sehingga dia dapat mengoptimalkan pilihannya. Ada lima elemen penting yang
saling berkaitan dalam menentukan sebuah pilihan rasional menurut Yoshimichi
Sato dalam jurnalnya (2013, hal. 1-3), yakni kendala, alternatif, dampak sosial,
manfaat, serta keyakinan. Kendala atau constraints dapat mempengaruhi
keuntungan maupun kerugian dari pilihan yang akan ditetapkan atau bahkan dapat
merubah arah kebijakan karena pertimbangan-pertimbangan alternatif. Kendala
12
yang dihadapi oleh seorang pengambil keputusan bersifat subjektif dan sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipercaya atau diyakini.
Selain itu kendala yang dihadapi seorang aktor dalam mengambil keputusan
juga dapat dipengaruhi berdasarkan hal-hal yang objektif yakni kekayaan, aset,
kehormatan, jabatan dan lainnya. Dalam kondisi sosial saat aktor A berinteraksi
dengan aktor lainnya, pilihan atau kebijakan aktor lain dapat menjadi kendala dan
mempengaruhi pillihan dan kebijakan aktor A dan begitu juga sebaliknya. Dalam
kondisi yang diperhadapkan dengan berbagai kendala (subjektif, objektif, bahkan
pengaruh aktor lain), seorang aktor akan mempertimbangkan pilihan alternatif,
yang dengan sendirinya akan menggambarkan dampak secara sosial. Perlu
ditekankan bahwa dampak atau hasil yang diperoleh tidak bersifat individual,
namun berpengaruh untuk kepentingan bersama (social outcomes). Pilihan aktor
juga dapat dipengaruhi oleh dasar-dasar yang diyakininya tentang keadaan dunia,
tentang pilihan aktor lain, dan kendala yang ada. Menurut Yoshimichi, kepercayaan
atau keyakinan seorang aktor dapat dipengaruhi oleh perkembangan informasi yang
berkaitan dengan kebijakan atau pilihannya.
Informasi mengenai altenatif pilihan atau kebijakan akan mempengaruhi
cara pandang aktor dalam menentukan pilihan dan mempermudah melihat
keuntungan maupun kerugian di dalam pilihan tersebut. Namun informasi yang
tersedia juga tidak sepenuhnya bisa diperoleh dengan mudah karena tiga
mekanisme dasar. Pertama, aktor tidak dapat secara pasti memprediksi apa yang
akan terjadi di masa depan. Kedua, aktor pengambil keputusan terkadang tidak
paham mengenai kondisi atau situasi yang terjadi sebagai hasil dari pilihan aktor
pada masa lalu. Ketiga, seorang aktor tidak dapat mengetahui apa yang menjadi
tujuan kebijakan aktor lain dan apa yang akan menjadi pilihan aktor lain di masa
yang akan datang.
Teori ini melihat perilaku rasional seorang individu sebagai subjek dalam
penentuan pilihan memiki perilaku yang terarah, yakni seorang aktor akan
berperilaku rasional jika pilihannya dirancang untuk mencapai hasil yang konsisten
13
sesuai dengan tujuannya. Dalam konsep pengambil keputusan, aktor yang rasional
akan memperlakukan pilihannya dalam mengambil sebuah kebijakan luar negeri
berdasarkan urutan berikut. Pertama, aktor akan mempertimbangakan tujuan
kebijakan luar negeri sebuah negara dan menentukan prioritasnya dari sekian
kebijakan yang ada. Kemudian, seorang pengambil keputusan akan
mengidentifikasi dan menganalisis berbagai pilihan yang tersedia. Dalam
analisisnya, akan ditemukan berbagai manfaat dan timbal-balik yang terkait dengan
setiap pilihan, kemudian akan mempertimbangkan konsekuensi dari kebijakan
tersebut. Berbagai pertimbangan untuk merumuskan sebuah kebijakan akan
mendorong aktor untuk menentukan pilihan dan tindakan yang optimal.1
2.2.2. Teori Realisme Klasik
Teori Realisme merupakan salah satu teori utama dalam menganalisis
perilaku negara dalam politik internasional. Asumsi dasar kaum realis klasik yakni
pandangan pesimis terhadap sifat manusia; meyakini bahwa keadaan internasional
antar negara-negara pada dasarnya konfliktual dan satu-satunya cara untuk
menyelesaikan konflik tersebut adalah melalui perang; mengutamakan nilai-nilai
keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; serta skeptisme mendasar pada
perkembangan dalam politik internasional seperti yang terjadi pada politik
domestik. Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama, dan studi mengenai
hubungan internasional berfokus pada unit negara. Aktor non-negara seperti
perusahaan multinasional, serta berbagai organisasi transnasional merupakan unit
yang kurang penting dalam hubungan internasional. Organisasi internasional
seperti PBB atau NATO, dan sebagainya, bukanlah aktor yang berdikari karena
keberadaannya terbentuk berdasarkan kedaulatan dan otonomi negara-negara yang
secara terarah menentukan apa yang menjadi tujuan organisasi atau aktor tersebut.
Singkatnya, bagi kaun realis fokus politik internasional berada pada hubungan antar
negara (Jackson, 2013, hal.112; Viotti, 1993, hal.35).
1 Slantchev, Branislav L. Introduction to International Relations Lecture 3: The Rational Actor
Model. (April 2005). San Diego: Department of Political Science, University of California.
14
Viotti & Kauppi (1993) menggambarkan bahwa kaum realis melihat negara
sebagai aktor yang unitary atau memiliki kesatuan dan rational. Disebut memiliki
kesatuan karena dalam sebuah negara terdapat aktor-aktor yang berperan penting
dalam mengambil keputusan. Perbedaan pandangan dan pendapat diantara
pemimpin politik dan birokrasi dalam sebuah negara dapat disaring sehingga
membentuk sebuah keputusan yang disepakati bersama, dengan memprioritaskan
kepentingan negara, khususnya dalam memutuskan kebijakan luar negeri. Dalam
kasus penggambilan kebijakan luar negeri, satu kebijakan sebuah negara dapat
mencakup sejumlah kepentingan badan-badan pemerintahan domestik. Negara juga
merupakan aktor yang rasional, karena dalam mencapai kebijakan-kebijakannya
negara akan mempertimbangkan berbagai alternatif yang layak untuk mencapai
tujuannya. Kaum realis juga melihat berbagai kendala bagi aktor untuk
memaksimalkan kebijakannya karena kurangnya informasi dari negara lain,
ketidakpastian dan keadaan yang bias. Namun pengambil keputusan memegang
peran penting dalam memperjuangkan kebijakan meskipun dihadapkan dengan
berbagai kendala (hal. 35-36).
Sebagai aktor kunci dalam politik internasional, negara harus mengejar
kekuasaan – sesuai dengan sifat dasar manusia yang dipercaya oleh kaum realis –
dengan cara memaksimalkan langkah-langkah untuk mempertahankan
kelangsungan hidup negara dalam lingkungan internasional yang mengancam. Hal
ini didasarkan pada anggapan kaum realis yang percaya bahwa hubungan antar
negara berada dalam anarki internasional, yaitu sistem tanpa kekuasaan yang
memiliki otoritas tertinggi yang berdikari untuk mengatur hubungan antar negara.
Dalam sistem internasional, kaum realis tidak percaya dengan keberadaan prinsip
moral. Kaum realis percaya pada moral yang diterapkan secara domestik dan
berlaku bagi seluruh penduduk dalam sebuah wilayah atau negara, namun tidak
demikian dengan sistem internasional. Dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan nasionalnya, negara dapat mengambil berbagai tindakan tanpa perlu
memperhatikan moral. Karena pada dasarnya negara akan selalu diperhadapkan
dengan berbagai pilihan yang sulit untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
15
dalam politik internasional. Berbagai cara dapat dilakukan, termasuk keadaan
perang. Bagi kaum realis, tidak ada yang dapat menentukan standar perilaku setiap
negara dalam sistem internasional karena tidak ada lembaga supranasional yang
dapat menjamin kepentingan nasionalnya, sehingga kesamaan perilaku, nilai dan
moral, merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam politik internasional
(Baylis, 2011, hal.86; Rachmawati, 2012, hal.19-20).
Ada tiga elemen penting saat mengidentifikasikan teori realisme klasik,
yakni statism, survival, dan self-help. Statism adalah istilah untuk menjelaskan
keberadaan negara sebagai representatif yang sah atas kehendak rakyat. Kekuasaan
sebuah negara hanya berlaku atas satu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan
bagi realis, keadaan di luar wilayah tersebut adalah keadaan yang anarki. Keadaan
anarki yang dimaksud adalah keadaan di mana tidak ada otoritas yang mengatur
hubungan antar negara, sehingga setiap negara memiliki hak untuk melakukan
apapun demi mempertahankan eksistensinya. Realisme klasik juga membedakan
antara politik domestik dan politik internasional. Struktur dasar dari politik
internasional adalah keadaan anarki di mana negara berdaulat menganggap dirinya
sebagai otoritas yang paling tinggi dan tidak mengakui adanya kekuatan lain yang
lebih tinggi. Namun sebaliknya, politik domestik sering diartikan sebagai sebuah
struktur hirarki di mana ada berbagai aktor politik yang saling bergantung satu sama
lain. Dalam kondisi yang anarki, negara harus mampu bertahan hidup (survival).
Negara dengan power yang besar akan cenderung lebih mampu bertahan hidup
dibandingkan negara dengan power yang kecil. Bagi kaum realis, definisi power
lebih ditekankan pada kemampuan militer sebuah negara dengan tujuan utama
untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Elemen terakhir adalah self-help,
di mana negara harus mampu bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan
dan kelangsungan hidupnya. Bagi kaum realis, kelangsungan dan keamanan negara
tidak dapat ditentukan oleh keberadaan pihak lain, termasuk PBB. Negara pada
intinya tidak boleh bergantung pada negara lain untuk menjamin keamanannya.
Berdasarkan prinsip mengenai self-help, negara dapat bertindak berdasarkan
16
kapabilitasnya sebagai kekuasaan tertinggi untuk melindungi dirinya sendiri
(Baylis, 2011, hal. 87-88).
Dalam perkembangannya, ada banyak pemikir realisme yang
mengemukakan pandangan mereka mengenai politik internasional dan negara,
salah satunya Niccolo Machiavelli. Machiavelli percaya bahwa negara harus
bertindak demi kepentingan massa, sehingga perlu ditekankan bahwa dalam
berperilaku negara harus melakukannya demi kepentingan bersama. Machiavelli
juga mengungkapkan pandangannya bahwa kedaulatan sebuah negara seharusnya
tidak didominasi oleh kepentingan individu maupun kelompok tertentu. Baginya,
urusan dalam negeri harus mendominasi prioritas negara karena tanpa stabilitas
domestik, negara tidak dapat fokus terhadap hubungan internasional. Machiavelli
juga menganggap praktik diplomasi penting bagi negara untuk mempertahankan
kekuasaan dan membangun reputasi dalam politik internasional, Aspek hubungan
internasional adalah bagian penting dari kelangsungan hidup sebuah negara
(Machiavelli, 2015, hal.3-16). Machiavelli memandang negara sebagai kekuatan
terorganisir dan memiliki otoritas tertinggi dalam mengendalikan urusan dalam dan
luar negerinya. Negara harus memastikan keamanan dan pertahanan nasional
bersama dengan keadilan sosial dan peraturan perundang-undangan.
Inti dari teori realis Machiavelli adalah gambaran mengenai singa dan rubah
dalam diri seorang penguasa. Machiavelli percaya akan dua alat penting dalam
melaksanakan kebijakan luar negeri, yakni kekuasaan yang disimbolkan dengan
singa dan penipuan yang dilambangkan dengan rubah. Baginya, penguasa dalam
sebuah negara memegang peran penting dalam menjalankan sebuah pemerintahan.
Tanggung jawab utama seorang penguasa adalah keinginan untuk selalu
mempertahankan kepentingan dan kelangsungan hidup negaranya. Negara harus
memiliki kekuasaan, karena jika sebuah negara tidak memiliki kekuatan maka
dapat mendorong negara lain untuk menjatuhkannya; dan penguasa harus menjadi
seperti singa, memiliki kekuasaan dan kekuatan yang mutlak. Selain itu, seorang
penguasa juga harus memiliki kecerdikan dan kekejaman – jika diperlukan – seperti
seekor rubah, agar tidak kehilangan kesempatan yang dapat memberikan
17
keuntungan besar bagi negaranya. Berangkat dari asumsi dasar bahwa dunia
merupakan tempat yang berbahaya namun juga dapat menjadi tempat yang
menguntungkan, membawa Machiavelli dalam sebuah pandangan mengenai sifat-
sifat penguasa dalam mengambil keputusan, terlebih dalam membaca situasi dan
keadaan dalam hubungan internasional. Machiavelli menyarankan beberapa hal
yang diperlukan oleh penguasa dalam politik internasional, yaitu: seorang
pemimpin harus siap untuk berbagai konsekuensi perang, dan penting untuk
bertindak sebagai seorang prajurit perang untuk menghindari serangan yang dapat
datang lebih dulu, sehingga dalam keadaan damai sekalipun, seorang penguasa
harus mampu bersifat antisipatif; seorang pemimpin bahkan tidak harus mentaati
prinsip-prinsip umat Kristiani mengenai moral dan kebaikan, karena baginya hal
ini dapat menjadi perangkap bagi negara dan penguasa dalam mencapai
kepentingannya; yang terakhir adalah pemahaman mengenai kode politik
kekuasaan, ketatanegaraan, keamanan dan kesejahteraan negaranya. Hal ini juga
terkait dengan kemampuan seorang penguasa untuk membaca situasi yang sedang
terjadi dalam politik internasional sehingga dapat memaksimalkan kebijakannya
terhadap negara lain. Seorang penguasa yang bijaksana haruslah bertindak untuk
menghindari ancaman yang berasal dari aktor lainnya (Jackson, 2013:118-120;
Rachmawati 2012:24-25).
2.3. Penelitian Terdahulu
No. Penelitian Hasil Penelitian Pengembangan
Penelitian
1. Murray Hiebert,
Phuong Nguyen,
Gregory B. Poling,
A Report of the
CSIS Sumitro
Chair for
Southeast Asia
Secara keseluruhan penelitian
ini menyimpulkan bahwa:
1. Kebijakan luar negeri
Filipina terkait
hubungan bilateralnya
dengan Amerika
serikat memasuki era
Dalam penelitian
terdahulu ini, Muray
& Phuong hanya
memfokuskan
subjek analisisnya
pada hubungan kerja
sama Filipina-AS di
18
Studies, Building a
More Robust U.S.-
Philippines
Alliance, CSIS
(Center for
Strategic &
International
Studies), Agustus
2015
baru melalui sejumlah
kerja sama dalam
bidang militer antara
kedua negara. Filipina
menjadi salah satu dari
sekian negara sekutu
AS di Asia Pasifik
yang menginvestasikan
kerja sama militernya
dengan Amerika
Serikat terutama pada
masa pemerintahan
Presiden Aquino III
yang menghadapi
perselisihan dengan
China terkait sengketa
Laut China Selatan.
Hal ini mendorong
kedua negara untuk
membentuk Enchanced
Defense Cooperation
Agreement (ECDA)
pada tahun 2014, di
mana perjanjian ini
memperbolehkan AS
untuk mengaplikasikan
kekuatan militernya di
wilayah Filipina.
Menurut peneliti,
pemerintah kedua
negara harus
masa pemerintahan
Aquino III.
Sedangkan dalam
pengembangannya,
penulis akan lebih
mengembangkan
analisis terkait
hubungan bilateral
kedua negara hingga
masa presiden
pertahana, Rodrigo
Duterte. Penulis
akan menggunakan
penelitian
sebelumnya sebagai
sumber pada bagian
pembahasan
mengenai kerja
sama kedua negara
pada pemerintahan
Aquino III sehingga
mempermudah
analisis mengenai
perbedaan terkait
kebijakan luar
negeri Filipina
terhadap AS pada
pemerintahan
Duterte.
19
mempertimbangkan
faktor geografi dan
cakupan dari perjanjian
pertahanan bersama
kedua negara. Peneliti
juga menyarankan
pentingnya
mempertimbangkan
sengketa wilayah
maritim yang dialami
oleh Filipina-China
dengan berkaca
melalui sengekata
pulau Senkaku/Diayou
antara Jepang-China.
2. Dalam bidang
ekonomi, AS
merupakan mitra
dagang Filipina yang
paling penting,
meskipun
perekonomian Filipina
bisa dibilang masih
berada beberapa level
di bawah negara-
negara dengan potensi
ekonomi besar di Asia
Tenggara seperti
Singapura, Malaysia,
Thailand, Vietnam, dan
Indonesia. Beberapa
20
faktor penghambat
ekspor AS ke Filipina
adalah tarif yang tinggi
serta produk-produk
yang diminati oleh
masyarakat Filipina.
Filipina menarik
sekitar US$. 6 miliar
FDI (Foreign Direct
Investment) tahun 2015
yang angkanya 65%
meningkat
dibandingkan tahun
2014, sebagian besar
berasal dari AS.
Investasi Amerika
Serikat di Filipina
berfokus pada sektor
manufaktur, nonbank
holding companies,
dan sektor
perdagangan.
2. Renato Cruz De
Castro, Jurnal, The
Duterte
Admisnistration’s
Foreign Policy:
Unravelling the
Aquino
Administration’s
Balancing Agenda
Secara keseluruhan hasil dari
penelitian ini adalah:
1. Sejak tahun 2011
sampai 2016
pemerintahan Benigno
Aquino III menerapkan
kebijakan dengan
menyeimbangkan
Dalam penelitian
yang terdahulu ini,
Renato Cruz De
Castro memaparkan
kebijakan-kebijakan
Presiden Duterte
yang sejak masa
awal
pemerintahannya
21
on an Emergent
China, Journal of
Current Souhteast
Asian Affairs,
2016.
pengaruh China di Laut
China selatan dengan
mempromosikan kerja
sama keamanan yang
erat dengan AS.
Benigno memfokuskan
AFP (Armed Force of
the Philippines) ke
bagian pertahanan,
memperoleh peralatan
militer AS, mendorong
pengaturan keamanan
yang lebih erat dengan
AS serta meminta AS
menjamin keamanan
khususnya di bagian
perbatasan berdasarkan
MDT (Mutual Defense
Treaty) 1951.
2. Dalam kebijakan luar
negerinya, hal yang
paling disorot
mengenai hubungan
bilateral Filipina-AS
adalah
ditandatanganinya
EDCA (Enchanced
Defense Cooperation
Agreement). Perjanjian
ini memberi
kesempatan pada
mulai menunjukkan
adanya perubahan
jika dibandingkan
dengan
pemerintahan
Presiden Aquino III.
Perubahan kebijakan
tersebut juga
dikaitan penulis
dengan teori
Geopolitik.
Jika Renato C. De
Castro melihat dari
pandangan teori
Geopolitik, penulis
dalam penelitian
selanjutnya akan
mengembangkan
penelitian dilihat
dari teori Realisme
Klasik milik Niccolo
Machiavelli dan
juga menganalisis
faktor-faktor yang
mempengaruhi
perubahan kebijakan
luar negeri Presiden
Duterte melalui
Rational Choice
Theory.
22
pasukan AS untuk
melakukan kegiatan
strategis di wilayah
Filipina serta akses
yang luas ke fasilitas
militer Filipina
3. Duterte lebih memilih
menyeimbangkan kerja
sama dengan China dan
upayanya untuk
melibatkan China ke
beberapa proyek
infrastruktur dan
inverstasi di Filipina.
Presiden Duterte lebih
tertarik untuk lebih
dekat ke China saat
hubungan keamanan
Filipina-AS berada di
titik yang rendah.
Ironisnya, sementara
Presiden Duterte
membangun hubungan
bilateral yang intim
dengan Beijing, dia
juga membina
kemitraan keamanan
dengan saingan utama
China di Asia Timur,
yaitu Jepang.
Meskipun Duterte
23
sangat kritis terhadap
aliansi militer
negaranya dengan
Amerika Serikat,
beliau tidak pernah
secara terbuka
mengkritik atau
menyebutkan
kemitraan
keamaaannya dengan
Jepang. Namun begitu,
kerja sama militer
Filipina-Jepang bisa
menjadi faktor kontra
yang dapat
mempengaruhi kerja
sama ekonominya
dengan China.
4. Presiden Duterte lebih
memilih bekerja sama
dengan China dan
menyarankan
kemungkinan
eksplorasi bersama
sumber daya alam Laut
China Selatan dan
menyatakan bahwa dia
ingin bekerja sama
untuk pembangunan rel
kereta api di pulau
Mindanao dengan
24
imbalan keheningan
sementara terhadap
sengketa maritim
antara kedua negara.
Prinsip Duterte tidak
seperti pendahulunya,
beliau lebih memilih
untuk bernegosiasi dan
berhenti untuk
mengklaim apa yang
dianggapnya sebagai
wilayah kedaulatannya
sendiri.
3. Jennifer Beatrice
G. P., Skripsi,
Kebijakan Politik
Luar Negeri
Filipina Pada
Masa
Pemerintahan
Rodrigo Duterte
tentang Laut
China Selatan,
Universitas
Hasanuddin
Makassar, 2017.
Secara keseluruhan
kesimpulan dari penelitian ini
adalah:
1. Kebijakan politik luar
negeri Filipina
memasuki era baru saat
masa jabatan Presiden
Rodrigo Duterte pada
tahun 2016. Seorang
presiden menjadi sosok
yang mementukan arah
kebijakan dan tujuan
politik luar negerinya
sesuai dengan
konstitusi yang berlaku
di Filipina. Sehingga
kepribadian dan nilai-
Perubahan arah
kebijakan luar
negeri Filipina pada
pemerintahan
Presiden Duterte
sangat terlihat
melalui
penyelesaian
perselisihannya
dengan China di
wilayah Laut China
Selatan. Jika
sebelumnya
Presiden Aquino III
memilih
penyelesaian
melalui Arbitrase
Internasional dan
25
nilai yang dianut oleh
presiden yang
menjabat akan sangat
berpengaruh pada
kebijakan luar negeri
Filipina. Dari masa ke
masa, kebijakan politik
luar negeri Filipina
mengikuti dinamika
domestik yang terjadi
di Filipina, di mana
rakyat Filipina sangat
terpengaruh dengan
nilai dan budaya AS
sehingga hubungan
kedua negara pun
sangat erat dari
berbagai bidang.
2. Amerika Serikat dan
Republik Rakyat China
merupakan dua negara
yang menjadi sekutu
dan lawan Filipina.
Dalam kaitannya
dengan sengketa Laut
China Selatan, AS
merupakan sekutu bagi
Filipina sedangkan
China adalah musuh
atau lawan. Namun
berbeda pada masa
mendorong adanya
peningkatan militer
dengan bantuan AS
di wilayah sengketa,
tidak demikian
dengan Duterte yang
lebih memilih usaha
diplomatik antar
Filipina-China dan
menghapus
keikutsertaan militer
AS untuk
melakukan patroli di
wilayah kepulauan
Spratly. Penelitian
terdahulu ini akan
dikembangkan
penulis untuk
menggambarkan
perubahan kebijakan
luar negeri pada
pemerintahan
Duterte, di mana
penulis akan
memberi
perbandingan
dengan penanganan
terkait sengketa Laut
China Selatan pada
pemerintahan
Aquino III, namun
26
kepemimpinan Duterte
yang menempuh
kebijakan luar negeri
baru, yaitu “berpisah”
dengan AS dan
mendekat ke China.
3. Kebijakan luar negeri
Filipina pada
pemerintahan Duterte
merupakan refleksi
dari kebijakan dalam
negerinya. Kebijakan
dalam negerinya,
Duterte berusaha untuk
membersihkan
negaranya dari kasus
yang terkait dengan
narkoba dengan sanksi
tegas kepada
penggunanya, yakni
hukuman mati. Ribuan
korban jiwa berjatuhan
akibat kebijakan
tersebut dan hal ini
memicu kecaman
internasional dari PBB
dan Parlemen Uni
Eropa karena dinilai
berlebihan dan
melanggar HAM.
Amerika Serikat pun
tidak berpusat pada
sengketa tersebut.
27
ikut angkat bicara dan
mengkritik kebijakan
ini, namun tidak
mendapat tanggapan
positif dari Duterte dan
justru memunculkan
pandangan negatif
Duterte terhadap
negara barat tidak
terkecuali AS.
Kebijakan luar negeri
Duterte juga
berdasarkan pada
pertimbangannya
terhadap pentingnya
Laut China Selatan
bagi Filipina sehingga
dia lebih memilih
untuk meredahkan
ketegangan dengan
China dan memilih
bekerja sama.
Pada pemerintahan sebelum Duterte, Filipina dan Amerika Serikat memiliki
hubungan yang sangat erat, namun sebaliknya dengan Duterte. Untuk itu penulis
penulis akan membahas faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan Presiden
Filipina, Rodrigo Duterte, dalam mengambil kebijakan luar negeri yang secara
khusus memperlihatkan adanya perubahan hubungan bilateral antara Filipina-
Amerika Serikat. Selain faktor penyebab adanya perubahan arah kebijakan luar
negeri yang secara khusus mempengaruhi hubungan Filipina-Amerika Serikat,
28
penulis juga akan mencoba memaparkan pengaruh apa saja yang bisa terjadi
melalui perubahan arah kebijakan luar negeri Duterte. Kedua bahasan utama ini
akan penulis kaitkan dengan realisme klasik Machiavelli dan rational choice theory
sebagai alat analisis sebelum menyimpulkan hasil penelitian.
2.4. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
Dalam melihat kebijakan luar negeri Filipina pada pemerintahan Presiden
Rodrigo Duterte, pada bagian pembahasan penulis akan mendeskripsikan sejarah
Sejarah kerja sama
bilateral Filipina-AS
Amerika
Serikat
Masa Pemerintahan
Presiden Duterte
Faktor-faktor yang
mempengaruhi KLN
Duterte
Pengaruh KLN
Duterte terhadap
Hubungan Bilateral
Filipina-AS
Kebijakan Luar
Negeri Filipina
Keterangan:
: Teori Realisme Klasik Machiavelli
: Rational Choice Theory
29
kerja sama bilateral antara pemerintah Filipina dengan Amerika Serikat. Hal
tersebut mencakup kebijakan luar negeri Filipina dan pengaruhnya terhadap
hubungan bilateral kedua negara. Kemudian penulis akan mengkaitkan sejarah
kerja sama antara Filipina dan AS dengan kebijakan yang diusung pemerintahan
Presiden Duterte. Selanjutnya, penulis akan masuk pada pembahasan mengenai
kebijakan luar negeri Presiden Duterte, mulai dari gagasan dasar kebijakan luar
negerinya hingga realisasi yang ada. Pada bagian ini penulis akan menganalisis
kebijakan luar negeri Duterte menggunakan teori Realisme Klasik terkait
kepentingan Filipina dalam politik global. Kemudian bagian selanjutnya penulis
akan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Duterte
yang mulai mengurangi relasinya dengan Amerika Serikat menggunakan Rational
Choice Theory. Pada bagian terakhir penulis akan menjelaskan mengenai pengaruh
kebijakan Duterte terhadap hubungan bilateral Filipina-Amerika Serikat.