BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfGambar tabung sinar-X ditunjukkan pada Gambar 2.1....
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfGambar tabung sinar-X ditunjukkan pada Gambar 2.1....
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sinar-X
Sinar-X dapat diproduksi dengan jalan menembaki target logam dengan elektron
cepat dalam tabung sinar katoda. Elektron sebagai proyektil dihasilkan dari filament
panas yang juga berfungsi sebagai katoda. Elektron dari filamen dipercepat gerakanya
menggunakan tegangan listrik berorde 102-10
6 Volt. Sinar-X memiliki panjang
gelombang dalam orde 1 Ǻ dengan kecepatan cahaya sebesar 3x108
m/s. Gambar tabung
sinar-X ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Tabung sinar-X (Akhadi, 2000)
Pada saat berkas elektron menumbuk target, sebagian besar energi elektron
tersebut hilang dalam bentuk panas, dan sebagian energinya hilang untuk memproduksi
sinar-X. Namun ada pula kemungkinan semua energi kinetik tersebut diubah menjadi
foton sinar-X. elektron yang bergerak sangat cepat yang akhirnya ditumbukkan ke target
logam bernomor atom dan suhu lelehnya tinggi. Ketika elektron menabrak target logam,
maka sinar-X akan terpancar dari permukaan logam tersebut. Sinar-X dalam proses ini
disebut sinar-X bremsstrahlung. Sinar-X dapat pula terbentuk melalui proses
perpindahan elektron atom dari tingkat energi yang tinggi menuju ke tingkat energi
yang rendah yang disebut sinar-X karakteristik.
5
Besarnya energi elektron yang dipercepat dengan beda potensial V secara matematis
dirumuskan pada Persamaan 2.1 (Akhadi, 2000).
E = V. e (2.1)
Dimana :
E : energi elektron (eV)
V : beda potensial (Volt)
e : Muatan elememter elektron ( 1,6 x 10-19
C)
2.2 Besaran dan Satuan Dosimetri
Dosimetri merupakan kegiatan pengukuran dosis radiasi dengan tehnik
pengukurannya didasarkan pada pengukuran ionisasi yang disebabkan oleh radiasi
dalam gas, terutama udara. Besaran yang dipakai dalam pengukuran jumlah radiasi
selalu didasarkan pada jumlah ion yang terbentuk dalam keadaan tertentu atau pada
jumlah energi radiasi yang diserahkan kepada bahan. Ada beberapa besaran dan satuan
dasar yang berhubungan dengan radiasi pengion ini disesuaikan dengan kriteria
penggunaannya. Adapun besaran dan satuan dasar dalam dosimetri adalah sebagai
berikut :
2.2.1 Paparan
Paparan merupakan besaran untuk menyatakan intensitas sinar-X yang dapat
menghasilkan ionisasi di udara dalam jumlah tertentu. Secara matematis dirumuskan
pada Persamaan 2.2 (Akhadi, 2000).
(2.2)
dimana :
X : paparan (C.kg-1
)
dQ : perubahan jumlah muatan pasangan ion (C)
dm : jumlah massa (kg)
Satuan besaran paparan yaitu coulomb per kilogram-udara (C.kg-1
) dan diberi nama
khusus yaitu rontgen, disingkat R. Satu rontgen didefinisikan sebagai intensitas sinar-X
yang dapat menghasilkan ionisasi di udara sebanyak 1,16 x 1015
pasangan ion per kg
udara.
6
2.2.2 Dosis Serap
Dosis serap merupakan jumlah energi radiasi yang diberikan oleh radiasi pengion
kepada medium. Dalam satuan SI (Satuan Internasional) besaran dosis serap diberi
satuan khusus, yaitu gray (Gy) dimana 1 Gy = 1 J.kg-1. Secara matematis, dosis serap
(D) dirumuskan dengan Persamaan 2.3 (Akhadi, 2000).
(2.3 )
Dimana :
D : dosis serap (J. kg-1)
dE : energi yang diserap oleh medium ( J)
dm : jumlah massa (kg)
Jika dE dalam Joule (J) dan dm dalam kilogram (kg), maka satuan dari D adalah
J.kg-1
. Dalam satuan SI besaran dosis serap diberi satuan khusus yaitu Gray dan
disingkat Gy, dimana 1 Gy = 1 J. kg-1. Satuan Gy menunjukan nilai dosis serap yang
sangat tinggi. Untuk nilai dosis serap yang lebih rendah biasanya digunakan satuan
mGy (10-3
Gy). Turunan dosis serap terhadap waktu disebut laju dosis serap dan
dirumuskan dengan persamaan 2.4
=
(2.4)
Laju dosis serap mempunyai satuan dosis serap per satuan waktu. Dalam sitem SI, laju
dosis serap dinyatakan dalam Gy.s-1
.
2.3 Tingkat Panduan Dosis
Berdasarkan peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir No. 8 Tahun 2011
tentang keselamatan radiasi dalam penggunaan pesawat sinar-X radiologi diagnostik
dan intervensional disebutkan tingkat panduan paparan medik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 36 ayat 2 dijelaskan bahwa penerapan optimasi proteksi dan keselamatan
radiasi harus diupayakan agar pasien menerima dosis radiasi serendah mungkin sesuai
dengan yang diperlukan agar mencapai tujuan diagnostik. Dalam pasal 40 menerapkan
panduan paparan medik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (3) huruf b
diterapkan untuk radiografi dan fluroskopi. Pasal 40 ayat 1 tingkat panduan medik
yang dimaksud pada ayat 1 dapat dilampaui apabila ada justifikasi berdasarkan
7
kebutuhan klinis. Tingkat panduan paparan medik tersebut diukur pada pasien dewasa
dengan nilai dosis yang diperlihatkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1. Tingkat panduan dosis radiografi diagnostik untuk setiap pasien dewasa (Perka BAPETEN
No. 8 tahun 2011)
No Jenis Pemeriksaan
Posisi
Pemeriksaan
Dosis Permukaan Masuk
per Radiografi ( mGy)
1
Lumbal tulang belakang
( lumbal spine)
AP
LAT
LSJ
10
30
40
2
Organ ginjal , empedu
(abdomen, intravenous
urography
dan cholecystography)
AP
10
3 (Pelvis) AP 10
4
Sendi panggul
(hip joint)
AP
10
5
Paru
(chest)
PA
LAT
0,4
1,5
6
Tulang bagian belakang
(thoracic spine)
AP
LAT
7
20
7
Gigi
(dental)
periapical
AP
7
5
8
Kepala (skull)
PA
LAT
5
3
2.4 Teknik foto thorax
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KEMENKES) No.1250 tahun 2009
tentang pedoman kendali mutu untuk pengujian paparan radiasi, pasien digantikan
dengan phantom. Dalam pengukuran dosis paparan radiasi sifat fisis material phantom
ekuivalen dengan jaringan lunak pada tubuh manusia serta mudah diperoleh. Sehingga
proses pengukuran dosis dapat dilakukan berulang-ulang dengan variasi jarak yang
diinginkan. Salah satu proyeksi yang biasa digunakan untuk teknik pemeriksaan foto
thorax adalah proyeksi PA dan LAT.
8
2.4.1 Proyeksi PA
Pada proyeksi ini pasien diposisikan berdiri tegak menghadap kaset, dagu diangkat
keatas, tangan diletakkan dibelakang dan dibawah pinggul. Thorax harus diposisikan
secara simetris relatif terhadap film, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Sumber radiasi diposisikan di belakang pasien dengan jarak fokus ke film sejauh mulai
dari 150-180 cm, dan pancaran sinar-X ditransmisikan ke pasien.
Gambar 2.2 Proyeksi PA pada Pasien (Withley, 2005)
Pada penelitian ini proyeksi PA menggunakan phantom diperlihatkan pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Skema proyeksi PA phantom
9
Pada Gambar 2.3 ditunjukkan skema proyeksi PA yang digunakan adalah phantom
dengan luas lapangan penyinaran yang berukuran 30 x 30 cm dimana variasi jarak dari
titik fokus ke detektor mulai dari 100-180 cm. Detektor dihubungkan dengan
elektrometer dan ditempatkan diluar ruangan. Teknik pengukuran dosis penyinaran
dilakukan pada arah vertikal dengan cara menggeser stand tabung sinar-X menjauhi
detektor.
2.4.2 Proyeksi LAT
Proyeksi LAT pada pasien dapat dilakukan dengan dua sisi yaitu miring
menyamping ke kiri atau kanan. Pasien diposisikan berdiri tegak disamping kaset,
lengan dilipat dan dinaikkan diatas kepala. Sagital median sejajar disesuaikan dengan
kaset. Sumber sinar-X diarahkan dari disamping pasien dengan jarak fokus ke film
mulai dari 150-180 cm. Proyeksi LAT pada pasien dapat ditunjukkan pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Proyeksi LAT pada Pasien (Withley, 2005)
Skema proyeksi LAT phantom yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 luas lapangan
penyinaran berukuran 20 x 30 cm dan variasi jarak dari titik fokus ke detektor mulai
dari 100-180 cm. Detektor dihubungkan dengan elektrometer dan ditempatkan diluar
ruangan. Setiap dosis radiasi yang masuk akan terbaca pada elektrometer. Teknik
10
pengukuran dosis penyinaran dilakukan pada arah vertikal dengan cara menggeser stand
tabung sinar-X menjauhi detektor.
Gambar 2.5 Skema Proyeksi LAT phantom
2.5 Pengaturan Jarak
Faktor jarak berkaitan erat dengan fluks ( ) radiasi. Fluks radiasi pada suatu titik
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara titik tersebut dengan sumber radiasi.
Untuk mengetahui pengaruh jarak terhadap fluks radiasi, diberikan sumber yang
memancarkan radiasi dengan jumlah pancaran S (radiasi/s). Fluks radiasi didefinisikan
sebagai jumlah radiasi yang menembus luas permukaan (dalam cm2) per satauan waktu
(s) (Akhadi, 2000). Hubungan jumlah pancaran (S) dengan fluks radiasi ( ) pada jarak r
dituliskan sebagai berikut:
(2.5)
Dari persamaan 2.5 terlihat bahwa fluks radiasi pada suatu titik berbanding
terbalik dengan kuadrat jarak titik tersebut terhadap sumber radiasi. Laju dosis radiasi
berbanding lurus dengan fluks radiasi, sehingga laju dosis pada suatu titik juga
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak titik tersebut terhadap sumber. Namun
ketentuan ini hanya berlaku apabila sumber radiasi berbentuk titik dan tidak ada
absorbsi radiasi oleh medium.
11
Dari persamaan 2.5 laju dosis pada suatu titik dapat dirumuskan dengan Persamaan 2.6.
atau
(2.6)
di mana:
= laju dosis serap pada suatu titik (R/s)
R = jarak antara titik dengan sumber radiasi (cm)
Sedangkan untuk radiasi elektromagnetik (sinar-X dan ) dapat pula dinyatakan
dalam laju paparan , sehingga persamaan 2.6 dapat pula ditulis :
(2.7)
= laju dosis paparan pada suatu titik (R/s)
R = jarak antara titik dengan sumber radiasi (cm)
Dari persamaan (2.5), (2.6) dan (2.7) maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika
jarak menjadikan dua kali lebih besar, laju dosis berkurang menjadi 1/(2)2 atau 4 kali
lebih kecil. Jika jarak diperbesar 3 kali, laju dosis berkurang menjadi 1/(3)2 atau 9 kali
lebih kecil. Sebaliknya bila jarak sumber radiasi diperpendek 1/2 kali, laju dosis radiasi
akan menjadi 4 kali lebih besar dan bila jarak diperpendek menjadi 1/3 kali, maka laju
dosis menjadi 9 kali lebih besar. Jadi bila penyinaran terlalu dekat pada sumber, maka
laju dosis berlipat ganda besarnya yang artinya semakin besar jarak, semakin kecil dosis
radiasi yang terukur.
2.6 Alat Ukur Radiasi
Alat ukur radiasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari sistem yang terdiri dari
detektor dan peralatan penunjang. Alat ukur yang dapat memberikan informasi dosis
seperti paparan dalam roentgen, dosis serap dalam rad atau gray dan dosis ekivalen
dalam rem atau sievert/Sv. (Akhadi, 2000).
12
2.6.1 Detektor Isian Gas
Detektor isian gas merupakan detektor yang paling sering digunakan untuk
mengukur radiasi. Detektor ini terdiri dari dua elektroda, positif dan negatif, serta
berisi gas di antara kedua elektrodanya. Elektroda positif disebut sebagai anoda, yang
dihubungkan ke kutub listrik positif, sedangkan elektroda negatif disebut sebagai
katoda, yang dihubungkan ke kutub negatif. Ada tiga jenis detektor isian gas yaitu
detektor kamar ionisasi yang bekerja di daerah ionisasi, detektor proposional yang
bekerja di daerah proposional serta detektor geiger mueller (GM) yang bekerja di
daerah geiger mueller (Cember, 1956).
Salah satu jenis detektor isian gas yang sering digunakan adalah detektor kamar
ionisasi (ionization chamber). Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder dengan
sumbu yang berfungsi sebagai anoda dan dinding silindernya sebagai katoda. Radiasi
yang memasuki detektor akan mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion positif dan
ion-ion negatif (elektron). Jumlah ion yang dihasilkan sebanding dengan dengan energi
radiasi. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor akan memberikan kontribusi
terbentuknya pulsa listrik ataupun arus listrik.
Gambar 2.6 Proses terbentuknya ion positif dan negatif (BATAN, 2013)
Terbentuknya arus listrik disebabkan oleh ion-ion yang dihasilkan oleh radiasi dan
memasuki detektor. Ion yang memasuki detektor disebut sebagai ion primer sedangkan
ion-ion yang dihasilkan oleh ion primer disebut ion sekunder. Bila medan listrik
diantara dua elektroda semakin tinggi maka energi kinetik primer akan semakin tinggi
sehingga mampu membedakan ionisasi lain dan jumlah yang dihasilkan sebuah radiasi
akan sangat banyak. Keuntungan detektor ini adalah dapat membedakan energi yang
memasukinya dan tegangan kerja yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi. (Samsun, 2008).
13
2.6.2 Detektor Semikonduktor
Sebuah detektor semikonduktor menggunakan semikonduktor (biasanya silikon
atau germanium) untuk mendeteksi melintasi partikel bermuatan atau penyerapan foton.
Detektor ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan
detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta mempunyai resolusi yang lebih
baik dari pada detektor sintilasi. Dengan demikian, detektor semikonduktor terutama
berguna untuk spektroskopi nuklir (Cember, 1956).
2.6.3 Detektor Sintilasi
Detektor sintilasi bekerja memamfaatkan radiasi fluoresensi yang dipancarkan
ketika elektron dalam keadaan tereksitasi ke keadaan dasar di pita valensi. Ada
bermacam-macam bahan yang memancarkan kerlipan cahaya (scintillator) apabila
berinteraksi dengan radiasi pengion. Bahan ini bisa berupa zat padat, zat cair baik
organik maupun anorganik (Akhadi, 2000).
2.6.4 Keunggulan dan Kelemahan Detektor
Terdapat beberapa karakteristik detektor yang membedakan satu jenis detektor
dengan lainnya yaitu efisiensi, kecepatan dan resolusi (BATAN, 2010). Adapun
keunggulan dan kelemahan detektor ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Spesifikasi keunggulan dan kelemahan detektor (BATAN, 2010)
Jenis Detektor Keunggulan Kelemahan
Isian Gas
Sintilasi
Semikonduktor
Kontruksi sederhana
Efisiensi tinggi dan
Respon cepat
Resolusi tetinggi
Efisiensi terendah
Resolusi terendah dan
kontruksi rumit
Kontruksi rumit
Pemilihan detektor harus mempertimbangkan spesifikasi keunggulan dan
kelemahan sebagaimana tabel di atas. Salah satunya adalah detektor yang digunakan
pada alat ukur yang mudah dibawa sebaiknya adalah detektor isian gas, detektor yang
digunakan pada alat ukur untuk radiasi alam (intensitas sangat rendah) sebaiknya
adalah detektor sintilasi, sedangkan detektor pada sistem spektroskopi untuk
menganalisis bahan sebaiknya detektor semikonduktor (BATAN, 2010).
14
Langkah penting yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan detektor adalah
memeriksa sertifikat kalibrasi. Pemeriksaan sertifikat kalibrasi harus memperhatikan
faktor kalibrasi alat dan memeriksa tanggal validasi sertifikat. Faktor kalibrasi
merupakan suatu parameter yang membandingkan nilai yang ditunjukkan oleh alat
ukur standard dan nilai dosis (BATAN, 2013). Untuk mengukur nilai dosis sebenarnya
menggunakan Persamaan 2.8 (Wahyu, 2015).
Ds = Du . Fk (2.8)
dimana :
Fk = faktor kalibrasi
Ds = nilai dosis sebenarnya (mGy)
Du = nilai yang ditampilkan alat ukur (pC)
2.7 Faktor Kalibrasi
Definisi kalibrasi menurut ISO/IEC Guide17025:2005 dan Vocabulary of
International Metrology (VIM) adalah serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan
antara nilai yang ditunjukkan oleh instrumen ukur atau sistem pengukuran, atau nilai
yang diwakili oleh bahan ukur. Dengan nilai-nilai yang sudah diketahui yang berkaitan
dari besaran yang diukur dalam kondisi tertentu atau kegiatan untuk menentukan
kebenaran konvensional nilai penunjukkan alat ukur dan bahan ukur dengan cara
membandingkan terhadap standar ukur (traceable) ke standar nasional untuk satuan
ukuran dan internasional (BATAN, 2013). Alat ukur radiasi memegang peranan
penting dalam setiap kegiatan yang memamfaatkan radiasi. Alat ukur yang baik dan
stabil memberikan informasi hasil pengukuran radiasi yang akurat. Oleh sebab itu dalam
setiap melakukan pengukuran diperlukan alat ukur yang dapat menjamin kebenaran
nilai penunjukkannya (Akhadi, 2000).
Sudah merupakan suatu ketentuan bahwa setiap alat ukur proteksi radiasi harus di
kalibrasi secara periodik oleh instansi yang berwenang. Hal ini dilakukan untuk menguji
ketepatan nilai yang ditampilkan alat terhadap nilai sebenarnya. Perbedaan nilai antara
yang ditampilkan dan yang sebenarnya harus dikoreksi dengan suatu parameter yang
disebut sebagai faktor kalibrasi (Fk). Dalam melakukan pengukuran, nilai yang
ditampilkan alat harus dikalikan dengan faktor kalibrasinya. Faktor Kalibrasi dapat
dihitung dengan Persamaan (2.9) (BATAN, 2013). Faktor kalibrasi biasanya sudah
15
tertera pada label yang tertempel di alat ukur. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di
Gambar 2.8.
(2.9)
dimana :
Fk : faktor kalibrasi
Ds : nilai dosis sebenarnya (mGy)
Du : nilai yang ditampilkan alat ukur (pC)
Gambar 2.7 Elektrometer PTW (Instalasi Radiologi RSUP SANGLAH)
Gambar 2.8 Label kalibrasi (Instalasi Radiologi RSUP SANGLAH)
16
Gambar 2.9 Detektor ionisasi chamber tipe TM 30013 No seri S/N 04874
(Instalasi Radiologi RSUP SANGLAH)
2.8 Phantom
Phantom merupakan suatu bentuk permodelan dari objek manusia yang digunakan
dalam bidang radiologi baik radiodiagnostik maupun radioterapi untuk evaluasi
kualitas gambar radiograf secara realistis (Vassileva, 2002). Phantom yang banyak
digunakan yaitu phantom yang terbuat dari akrilik karena mempunyai rapat masa yang
hampir sama dengan kerapatan air yakni 0.994 gr/cm3, hal ini dilakukan karena
manusia terdiri dari 75 % molekul air (Pratiwi, 2006). Phantom geometris sederhana
salah satunya yaitu phantom LucAl (standar dosimetrik) dirancang dalam pencitraan
dan tujuan dosimetrik pada kisaran tegangan tabung 20 kV - 150 kV. Phantom yang
digunakan dalam proses penelitian ditunjukkan pada Gambar 2.11
Gambar 2.10 Phantom air tipe T41001-00116 (Instalasi Radiologi RSUP Sanglah)
17
2.9 Quality Anssurace dan Quality Control
Program keselamatan dan kesehatan kerja dalam medan radiasi pengion dilakukan
secara berkala pada jangka waktu tertentu, sehingga dapat mendeteksi perkembangan
ketidaknormalan fungsi peralatan dan sekaligus dapat diketahui tindakan perbaikan
yang mungkin sangat diperlukan sebelum terjadi kerusakan yang signifikan terhadap
kualitas citra. Program ini disebut program jaminan kualitas (Quality Anssurance) dan
program control kualitas (Quality Control) yang bertujuan meyakinkan bahwa fasilitas
sinar-X diagnostik akan menghasilkan gambar berkualitas tinggi secara konsisten
dengan minimal paparan kepada pasien dalam segi penyembuhan personal.
Beberapa kegiatan uji yang termasuk dalam program quality control terdiri dari
reproduksibilitas keluaran radiasi sinar-X, reproduktifitas dan akurasi dari timer,
reproduktifitas dan akurasi dari kVp, akurasi sumber ke film indikator jarak,
cahaya/sinar-X bidang kongruensi, nilai HVL (filter Aluminium), konsistensi titik fokus
dan entrance skin exposure, linearitas dan kemampuan untuk memproduksi nilai mA.
(Ismail et al., 2013).