Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileAsam lemak adalah asam monokarboksilat alifatik yang...
-
Upload
truongkhanh -
Category
Documents
-
view
226 -
download
5
Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileAsam lemak adalah asam monokarboksilat alifatik yang...
6
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Tinjauan Umum Tentang Fats (lemak) dan Oils (minyak)
Secara kimia, fats dan oils merupakan kombinasi dari gliserin dan fatty acid (asam
lemak). Referensi yang umum untuk fats dan oils adalah trigliserida. Secara fisik,
fats dan oils dibedakan yaitu fats berbentuk solid/padatan pada temperatur normal
ruang normal sedangkan oils adalah liquid/cairan pada temperatur ruang normal.
Perbedaan-perbedaan sifat tersebut secara luas ditentukan dengan komposisi asam
lemak dan lebih jauh terhadap adanya sifat jenuh dan tak jenuh. Aspek-aspek ini
diidentifikasikan dengan panjang rantai karbon dan jumlah atau posisi dari ikatan
rangkap (double bonds) dari individu asam lemak, dan posisinya pada gliserin.
Secara umum, fats padat diindikasikan dengan suatu suatu dominansi asam lemak
jenuh, dan oil cair mempunyai suatu level yang tinggi dari asam lemak yang tak
jenuh.
Asam lemak adalah asam monokarboksilat alifatik yang memiliki jumlah atom C
genap antara 4 sampai 24. Asam lemak didapatkan melalui hidrolisis lemak alam
karena asam lemak selalu ditemukan di alam dalam bentuk berikatan dengan
gliserol. Asam lemak jenuh adalah asam lemak yang tidak memiliki ikatan
rangkap, contohnya asam kaprilat, asam laurat, asam miristat, asam palmitat dan
asam stearat. Sedangkan asam lemak tak jenuh adalah asam lemak yang memiliki
ikatan rangkap. Ada dua jenis asam lemak tak jenuh, yaitu asam lemak tak jenuh
yang memiliki hanya satu ikatan rangkap (monounsaturated fatty acid) seperti
asam oleat, dan asam lemak Gliserol adalah alkohol trihidrat (mengandung 3
gugus hidroksil) yang dapat bereaksi dengan 1 asam lemak (membentuk
monogliserida), 2 asam lemak (membentuk digliserida) dan 3 asam lemak
(membentuk trigliserida). Trigliserida mempunyai dua macam bentuk, yaitu padat
dan cair. Jika berbentuk padat, trigliserida disebut fat/lemak; sedangkan jika
berbentuk cair disebut minyak. Trigliserida memiliki massa jenis lebih rendah
daripada air. Contoh trigliserida antara lain trilaurin, tristearin, tripalmitin, 1-
laurodipalmitin, dan lain-lain.
7
Panjang rantai karbon fats dan oils yang dapat dimakan (edible) bervariasi antara
4 samapi 24 atom karbon dengan lebih dari tiga ikatan rangkap. Tabel 2.1
merupakan review dari panjang rantai, nama yang umum, jenuh, dan tak jenuh
dari asam lemak yang umum yang diidentifikasi sebagai fats dan oils yang dapat
dimakan (edible). Asam lemak jenuh yang paling umum adalah laurat (C-12:0),
myristic (C-14:0), palmitat (C-16:0), stearat (C-18:0), arakidat (C-20:0), behenat
(C-22:0), dan lignoserat (C-24:0). Asam lemak mono-tak jenuh yang paling
penting adalah oleat (C-18:1) dan erusat (C-22:1). Asam lemak poly-tak jenuh
adalah linoleat (C-18:2) dan linolenat (C-18:3). Tabel 2.1 menampilkan ikatan
rangkap asam –asam lemak yang utama.
Tabel II.1. Asam lemak yang Utama, O’Brien (1998)
Ikatan Rangkap Asam Lemak Panjang Rantai
Mono (satu) di (dua) tri (tiga)
C-4 Butyric C-6 Caproic C-8 Caprylic C-10 Capric C-12 Lauric C-14 Myristic Mrystoleic C-15 Pentadecanoic C-16 Palmitic Palmitoleic C-17 Margaric Margaroleic C-18 Stearic Oleic Linoleic Linoleic C-20 Arachidic Gadoleic Eicosadienoic C-22 Behenic Erucic C-24 Lignoceric
Sifat-sifat fisik natural fats dan oils bervariasi secara luas, meskipun terdiri asam
lemak yang sama atau serupa. Perbedaan-perbedaan ini dihasilkan dari perbedaan
proporsi asam lemak dan struktur individu trigliserida. Diantara beberapa faktor
yang mempengaruhi komposisi asam lemak oils tumbuhan adalah kondisi iklim,
tipe tanah, musim pertumbuhan, kematangan tanaman, kesehatan tanaman, lokasi
benih mikrobiologi dalam bunga, dan variasi genetik tanaman. Komposisi fats dan
oils pada hewan bervariasi berdasarkan jenis hewan, diet, kesehatan, lokasi fat
pada kerangka, dan kematangan.
8
Sifat-sifat fisik dari suatu fat atau oil merupakan hal penting yang kritis dalam
menentukan karakteristik fungsionalnya atau penggunaannya dalam makanan.
Satu sifat fisik fundamental yang penting adalah adalah indikasi apakah suatu
lipid adalah cair atau padat pada temperatur ruang. Produk minyak tumbuhan
yang padat pada temperatur ambien dalam suatu iklim sedang adalah cair pada
temperatur ambient tropis dimana tanaman tersebut tumbuh.
2.1.1 Reaksi-reaksi penting trigliserida
Ada beberapa reaksi penting trigliserida yang sering dilakukan di dalam industri
kimia untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan, antara lain reaksi esterifikasi,
interesterifikasi, hidrogenasi, hidrolisis, gliserolisis, dan metanolisis.
Esterifikasi, merupakan reaksi yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan
gliserol ataupun ester. Berikut adalah reaksi esterifikasi secara umum.
Asam lemak + alkohol ester + H2O
Interesterifikasi, reaksi ini adalah reaksi redistribusi gugus-gugus asam di dalam
suatu campuran trigliserida (minyak / lemak). Biasanya reaksi ini dilakukan
untuk mengubah titik rentang dan titik tengah temperatur pelelehan lemak,
misalnya di dalam pembuatan lemak-coklat tiruan (cocoa butter substitute).
Trigliserida 1 + Trigliserida 2 Trigliserida 3 + Trigliserida 4
Hidrogenasi, reaksi ini disebut juga sebagai reaksi penjenuhan ikatan rangkap.
Pada reaksi ini trigliserida direaksikan dengan gas hidrogen membentuk senyawa
trigliserida baru dengan perubahan pada gugus asam lemaknya.
Trigliserida + H2 Trigliserida* (berubah gugus
asam lemaknya)
Hidrolisis, reaksi ini biasanya dilakukan untuk memperoleh asam-asam lemak.
Reaksi hidrolisis ini pada prinsipnya adalah memecah trigliserida menjadi asam-
asam lemaknya dengan direaksikan dengan air, dan produk samping yang
diperoleh adalah gliserol.
9
Trigliserida + 3 H2O Gliserol + Asam-asam lemak
Gliserolisis, reaksi ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan monogliserida
ataupun digliserida. Monogliserida merupakan agen pengemulsi yang handal.
Trigliserida + Gliserol Monogliserida + Digliserida
Metanolisis, reaksi ini melibatkan metanol dan trigliserida sebagai reaktan. Ester-
ester metil asam lemak bertitik didih kurang dari titik didih asam-asam lemaknya,
sehingga lebih mudah dipisahkan dengan cara distilasi.
Trigliserida + 3 metanol Gliserol + ester metil asam-
asam lemak
II.1.2 Karakteristik Fats (lemak) dan Oils (minyak)
Karakteristik-karakteristik dari minyak/lemak dapat diidentifikasikan dengan
beberapa parameter. Paragraf – paragraf berikut akan menjelaskan parameter-
parameter tersebut dengan lebih detil.
Komposisi asam lemak (% berat), merupakan komposisi asam lemak dari minyak
dan lemak yang seringkali diidentifikasi menggunakan kromatografi gas. Sampel
direaksikan dengan metanol agar asam lemaknya berubah menjadi turunan metil
ester yang relatif lebih volatil. Kemudian ester ini dimasukkan ke dalam aliran gas
yang inert. Aliran gas ini akan melalui fasa stasioner yang memperlambat gerak
molekul yang kepolarannya serupa dengan fasa stasioner. Keluaran alat ini berupa
kurva yang luasnya menunjukkan kuantitas komponen yang terelusi dalam kolom
kromatografi gas.
Angka asam (Acid Value) dalam mg KOH/gr minyak, angka asam merupakan
jumlah kalium (dalam miligram) yang diperlukan untuk menetralkan asam bebas
dalam satu gram minyak. Angka asam dapat pula didefinisikan sebagai ukuran
banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalm minyak/lemak (terbentuk via
deteriorasi hidrolitik reaktan maupun produk). Angka ini menunjukkan seberapa
10
banyak senyawa intermediet (asam lemak bebas) yang terbentuk, semakin kecil
berarti gliserida (mono-,di-, dan tri-) yang terbentuk semakin banyak.
Angka Saponifikasi (Saponification Value) dalam mg KOH/gr minyak,
merupakan ukuran banyaknya KOH (dalam miligram) yang dibutuhkan untuk
menyabunkan satu gram minyak/lemak. Angka ini menunjukkan ukuran berat
molekul rata-rata seluruh asam-asam lemak yang ada di dalam minyak/lemak.
Angka Iodium (Iodine Value) dalam mg I2/100 gram minyak, angka iodine adalah
ukuran banyaknya iodium (dalam gram) yang diabsorpsi oleh 100 gram
minyak/lemak. Angka ini menunjukkan ukuran kandungan ikatan rangkap di
dalam minyak/lemak (tingkat ketidak jenuhan).
Angka Hidroksil (OH value), angka hidroksil yaitu banyak KOH (dalam
miligram) yang ekuivalen dengan jumlah hidroksil (OH) dalam sampel. Angka ini
menunjukkan sisa hidroksil yang tersisa dalam reaksi.
Zat-Zat yang tak tersaponifikasi (Unsaponification Value) mempunyai satuan
dalam % berat. Zat-zat yang tak tersaponifikasi dalam lemak adalah komponen
yang terekstrak oleh heksan atau eter setelah sampel lemak direfluks dengan KOH
alkoholik atau banyaknya komponen tidak larut dalam air setelah minyak
disabunkan.
Range/ titik leleh, range/titik leleh dari suatu produk lemak adalah temperatur di
saat transisi dari keadaaan solid ke liquid dapat diamati. Tidak seperti zat murni
yang mempunyai titik leleh yang jelas, lemak adalah campuran dari trigliserida
yang memiliki range temperatur leleh. Metode yang mudah digunakan antara
lain, metode tube kapiler. Dengan metode ini, lelehan sampel lemak ditarik ke
dalam tube yang terbuka kedua ujungnya. Lemak ini lalu dikeraskan dengan
pendinginan dan dilelehkan dalam air dengan temperatur yang diatur
kenaikannya. Temperatur di saat lemak slip dan terlihat cair dan jernih dinamakan
titik atau range lelehnya.
11
Indeks refraktif, indeks refraktif suatu medium adalah perbandingan kecepatan
cahaya pada gelombang tertentu dalam vakum terhadap kecepatan cahaya pada
suatu medium tertentu. Refraktometer yang digunakan pada temperatur yang
spesifik untuk jenis sampel yang khusus. Alat ini berguna untuk identifikasi lemak
dan observasi reaksi yang berlangsung selama proses hidrogenasi.
II.2 Sumber Monogliserida
Monogliserida dapat dibuat dari berbagai minyak nabati. Tabel II.2
menampilkan komposisi asam-asam lemak dari sumber-sumber nabati (%-berat).
Tabel II.2. Komposisi Asam-asam Lemak Pada Berbagai Sumber Nabati,
Soerawidjaja ( 2002)
Jenis
Asam Lemak Kelapa Inti
Sawit Cokelat Sawit Biji
Kapas Jagung Kedelai
Kaproat (C-6:0) 0-1 Tapak
Kaprilat (C-8:0) 5-10 3-6
Kaprat (C-10:0) 5-10 3-5
Laurat (C-12:0) 43-53 40-52 tapak 0-1
Miristat (C-14:0) 15-21 14-18 tapak 0-2 0-2 tapak
Palmitat (C-16:0) 7-11 6-10 23-30 30-48 17-29 8-19 7-12
Stearat (C-18:0) 2-4 1-4 32-37 3-6 1-4 0-4 2-6
Arakhidat (C-20:0) <1 0-1 0-1 0-3
Behenat (C-22:0) 0,5 Tapak tapak
Oleat (C-18:1) 6-8 9-16 30-37 38-44 13-44 19-50 20-30
Gadoleat (C-20:1) Tapak 0-1
Linoleat (C-18:2) 1-3 1-3 2-4 9-12 33-58 34-62 48-58
Linolenat (C-18:3) 0-2 4-10
12
Indonesia adalah penghasil minyak nabati. Dimana minyak nabati yang paling
banyak dihasilkan adalah minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Dengan
kapasitas bahan baku yang melimpah dan produksi minyak kelapa dan sawit yang
besar seperti yang telah disebutkan sebelumnya maka perlu dipertimbangkan
untuk menambah daya guna minyak kelapa (alternatif pilihan) ataupun minyak
kelapa sawit tidak hanya sebagai minyak goreng, dalam hal ini sebagai bahan
baku produksi monoasilgliserol. Tabell II.3 menjelaskan komposisi asam lemak
minyak kelapa dan minyak inti sawit.
Tabel II.3. Komposisi Asam Lemak Dari Minyak Kelapa dan Minyak Inti Sawit,
Bailey (1996)
Jenis asam lemak Asam lemak Formula Minyak
kelapa (%)
Minyak inti kelapa sawit
Kaproat C6H12O2 0,2 – 0,8 0 – 1
Kaprilat C8H16O2 6 – 9 3 – 5
Kaprat C10H20O2 6 – 10 3 – 5
Laurat C12H24O2 46 – 50 44 – 51
Miristat C14H28O2 17 – 19 15 – 17
Palmitat C16H32O2 8 – 10 7 – 10
Asam lemak jenuh
Stearat C18H36O2 2 – 3 2 – 3
Oleat C18H34O2 5 – 7 12 – 19 Asam Lemak tak jenuh Linoleat C18H32O2 1 – 2,5 1 – 2
II.2.1. Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit/palm oil dibuat dari buah tanaman minyak kelapa sawit,
Elaesis guineensis. Buah tersebut tumbuh dalam suatu bunches/kumpulan yang
beratnya lebih dari 40 pounds, dengan 400 sampai 2000 buah. Masing-masing
buah terdiri dari daging buah luar, dimana merupakan sumber minyak kelapa
sawit mentah; suatu bagian dalam yang digunakan untuk fuel (bahan bakar); dan
13
dua atau tiga kernel/biji yang merupakan sumber dari tipe minyak yang lain- palm
kernel. Buah dari biji sawit dapat dilihat pada gambar II.1.
Gambar II.1. Buah dari pohon minyak sawit.
Kualitas minyak sawit yang diperoleh pada mill/penggilingan dan proses
sesudahnya adalah tergantung pada kumpulan buah yang dikirim ke
mill/penggilingan minyak. Buah yang terlalu masak dapat dimemarkan dengan
mudah, mempercepat kenaikan asam lemak bebas melalui hidrolisis enzimatik
dan secara berlawanan akan mempengaruhi kemampuan pemutihan pada minyak
yang telah diekstraksi. Setelah melalui penggilingan buah, ekstraksi minyak dari
buah diselesaikan dalam empat tahap seperti yang ditampilkan dalam bentuk
diagram proses pada gambar II.2.
14
Gambar II.2. Proses ekstraksi minyak dari buah kelapa sawit.
Gambar II.2 merupakan proses ekstraksi buah kelapa sawit secara umum. Proses
ekstraksi tersebut mempunyai beberapa tahap sebagai berikut : sterilisasi,
digestion, pressing, dan klarifikasi. Pada tahap sterilisasi, kumpulan buah sawit
digunakan untuk deaktivasi enzym dalam reaksi hidrolisis yaitu berfungsi untuk
melepaskan buah dari kumpulannya. Deaerisasi yang tidak tepat atau sterilisasi
yang berlebih akan menyebabkan masalah dalam proses bleaching/pemutihan.
Pada tahap digestion, buah kelapa sawit dibuburkan pada temperatur tinggi untuk
memisahkan sel yang dapat melepaskan partikel minyak. Pada tahap pengepresan
(screw preses), kompresi bertahap dan injeksi live steam digunakan untuk
mengekstrak minyak dari buah. Sedangkan pada tahap klsrifikasi, minyak setelah
keluar dari tangki klarifikasi disentrifugasi untuk memindahkan kelembaban dan
impuritis dengan pengeringan atmosferik atau vakum.
15
II.2.2 Komposisi dan Sifat Fisik Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit mentah mempunyai warna oranye-merah yang mengandung
karotene tinggi: 0,03 sampai 0,08%, dimana 90% mengandung alpha dan beta
karoten. Caustic refining (penyulingan minyak yang caustic) mempunyai
pengaruh yang kecil terhadap warna, tapi dapat dilakukan heat bleached untuk
mengurangi warna jika karoten belum dioksidasi dan ditetapkan; kesalahan
penggunaan minyak kelapa sawit mentah dapat menyebabkan warna coklat yang
sangat sulit untuk dihilangkan. Minyak kelapa sawit secara hati-hati diproses
untuk mempertahankan kandungan karoten, sebisa mungkin, digunakan sebagai
suatu pewarna natural untuk margarin dan produk-produk shortening.
Minyak kelapa sawit mentah mempunyai karakteristik rasa ”nutty” atau ”fruity”
yang dapat dihilangkan dengan mudah dengan penyulingan minyak (refining).
Minyak kelapa sawit yang telah diproses umumnya menyebabkan suatu warna
muda tersendiri seperti violet dengan oksidasi. Stabilitas oksidasi dari minyak
kelapa sawit dipengaruhi oleh adanya beta karoten dalam tingkat yang tinggi,
dimana berperan sebagai suatu pro-oksidan meskipun terdapat konsentrasi
tocopherol yang tinggi. Tipe dan karakteristik dari minyak kelapa sawit mentah
dapat dilihat pada tabel II.4.
16
Tabel II.4 Karakteristik minyak sawit, O’Brien (1998)
Typical Range
Specific gravity, at 99/5,50 C
at25/ 15,50 C 0,8919 to
0,874
Iodine value (mg I2 / g) 46,0 to 56,0 Saponification value (mg KOH / g) 196 to 202 Unsaponifiable matter, % 0,2 to 0,5
Melting range,0C 36,0 to 45,0 Carotene content, mg/kg 500 to 1600 Solids fat index, %
at 10,0 0C 34,5 30,0 to 39,0
at 21,1 0C 14 11,5 to 17,0
at 26.7 0C 11 8,0 to 14,0
at 33,3 0C 7,4 4,0 to 11,0
at 37,8 0C 5,6 2,5 to 9,0
at 40,0 0C 4,7 2,0 to 7,0
Mettler melting point, 0C 37,5 35,5 to 39,5 Fatty acid composition, % Lauric C-12:0 0,1 Myristic C-14:0 1 Palmitic C-16:0 44,3 Palmitoleic C-16:1 0,15 Stearic C-18:0 4,6 Oleic C-18:1 38,7 Linoleic C-18:2 10,5 Linolenic C-18:3 0,3 Arachidic C-20:0 0,3
II.2.3 Gliserol
Gliserol juga dikenal sebagai gliserin atau 1,2,3-propanetriol. Gliserol
mempunyai sifat fisik tidak berwarna, tidak berbau, higroskopik, merupakan
cairan viskos yang berasa manis. Gliserol merupakan gula alkohol dan
mempunyai tiga grup hidroksil hidrophilik alkoholik (-OH) yang bertanggung
jawab terhadap kelarutannya dalam air. Karena sifat higroskopiknya ini pula maka
gliserol dapat mengabsorp air dari udara, sifat inilah yang membuat gliserol
berharga sebagai pelembab dalam kosmetik. Gliserol hadir dalam bentuk esternya
(gliserida) dalam semua lemak dan minyak hewan dan tumbuhan.
17
Gliserol mencapai nilai komersialnya sebagai produk samping ketika lemak dan
minyak dihidrolisa menjadi asam lemak atau garam metalnya (sabun). Gliserol
juga disintesis pada skala komersial dari propilen (diperoleh dengan cracking
petroleum). Gliserol juga dapat diperoleh selama proses fermentasi gula jika
natrium bisulfat ditambahkan dengan yeast. Selain itu gliserol digunakan secara
luas sebagai solven, sebagai pemanis, dalam pembuatan dinamit, kosmetik, sabun
cair, permen, tinta, sebagai komponen campuran anti beku, sebagai sumber
nutrien untuk kultur fermentasi dalam produksi antibiotik, dan dalam obat-obatan.
Karakteristik dari gliserol dapat dilihat dari tabel II.5.
Tabel II.5 Karakteristik gliserol (www.wikipedia.org)
Gliserol Nama kimia 1,2,3-propanetriol Rumus kimia C3H8O3 Massa molekular 92.09 g/mol Titik leleh 18 0C Titik didih 290 0C Densitas 1,261 g/cm3 Energi makanan 4,32 kcal/g Nomor CAS 56-81-5 Nomor HS gliserol kasar : 1520.00.00 gliserol murni : 2905.45.00
II.3 Definisi Monogliserida
Monogliserida merupakan senyawa kimia penting dari turunan komersil yang
digunakan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, pelumas. Monogliserida
digunakan dalam banyak aplikasi sebagai surfaktan, terutama sebagai pengemulsi
dalam makanan, kosmetik dan farmasi. Monogliserida digunakan dalam yeast
pengembang makanan untuk retarding staling, cakes, icing dan dalam pembuatan
margarin. Secara keseluruhan, kelompok surfaktan ini sangat penting digunakan
18
dalam industri makanan, dimana 75% dari total produksi pengemulsi. Surfaktan
mempunyai aplikasi yang luas dengan semua proses yang melibatkan kerja pada
permukaan (interfaces). Surfaktan nonionik khususnya ester dari polyol
hidrophilik, seperti gliserin dengan asam lemak sangat diinginkan dalam industri.
Produk komersil yang paling penting adalah gliserol monostearat, monooleat, dan
monorisinoleat. Berdasarkan kemampuannya untuk membentuk emulsi yang
stabil, monogliserida seperti monooleat adalah sesuai sebagai komponen
pengemulsi dalam cairan fiber finishes, komponen minyak pelumas, minyak
mesin, dan pada pasta grinding dan polishing. Monogliserida juga mempunyai
sifat antibakteri dan dari perkembangan terakhir diketahui penggunaannya dalam
fasilitator pengiriman obat dan bioadhesive. Selain itu monogliserida juga
diketahui mempunyai efek pencegahan pada penyakit kardiovaskular.
II.3.1 Komposisi dan Karakteristik Monogliserida
Campuran ester monogliserida yang mempunyai rantai yang panjang, merupakan
asam lemak jenuh dan tak jenuh yang terdapat dalam lemak makanan, terdiri dari
tidak lebih dari 30% alfa monogliserida dan juga mengandung isomer
monogliserida yang lain, sama seperti halnya di- dan trigliserida, gliserol bebas,
asam lemak bebas, sabun dan kandungan air, biasanya diproduksi melalui
gliserolisis dari lemak atau minyak yang dapat dimakan, tetapi dapat juga dengan
esterifikasi dari asam lemak dengan gliserol, dengan atau tanpa produk didistilasi
molekular.
Rumus bangun dari monogliserida adalah dapat dilihat pada gambar II.3. Dimana
R merupakan gugus alkil dari monogliserida.
Gambar II.3. Rumus bangun monoasilgliserol (monogliserida)
19
Monogliserida berwarna putih atau krem dan mempunyai penampilan waxy atau
lemak yang keras, berupa produk plastik atau cairan viskos. Monogliserida tidak
larut dalam air, larut dalam etanol, kloroform dan benzene. Metoda analisa :
menentukan alfa-monogliserida dan kandungan gliserol bebas. Secara komersil
produk monogliserida terdapat dua kategori yang dikenal sebagai GMS (Glyceryl
Monostearate) dan GMO (Glyceryl Monooleate). Tabel II.6 berikut menampilkan
karakteristik monogliserida secara komersil.
Tabel II.6. Karakteristik Komersil Monogliserida
Glycerol monostearate Appearance White flakes or powder Warna (gardner) 3.0 max
Air Tidak lebih dari 2,0% (metode Karl
Fischer) Angka Iodine (g I2/100g) 3.0 max Freezing point, oC 55 -60 Angka asam (mg KOH/g) Tidak lebih dari 6 Angka penyabunan (mg KOH/g) 160 -175 (tidak lebih dari 6%) Gliserol bebas, % Tidak lebih dari 7% Arsenic (as AS), ppm 3 max (Tidak lebih dari 3 mg/kg) Heavy metals (as Pb), ppm 10 max (Tidak lebih dari 10 mg/kg) Iron (Fe), ppm 10 max
II.3.2 Sintesis Monogliserida
Monogliserida dapat dibuat dengan metode secara kimia ataupun enzimatik, yaitu
dengan mereaksikan trigliserida dengan gliserol (gliserolisis) atau mereaksikan
asam lemak dengan gliserol (esterifikasi) baik dengan menggunakan katalis
asam/alkali (metode kimia) maupun dengan bantuan enzim (enzimatik).
Monogliserida di dalam perdagangan merupakan campuran dari mono dan
diasilgliserol dan dapat berbentuk cair, padat elastis, atau lemak tergantung pada
jenis dan distribusi asm lemak di dalam molekul. Dan secara struktur
monogliserida adalah produk kondensasi satu molekul gliserol dengan satu atau
dua molekul asam. Berikut adalah rute-rute proses pembuatan monogliserida yang
pernah dilakukan.
20
II.3.2.1 Esterifikasi Asam Lemak Dengan atau Tanpa Pelarut Organik
Reaksi esterifikasi secara umum dapat dilihat pada gambar II.4. Reaksi ini
biasanya dilakukan untuk mendapatkan gliserol maupun ester.
estergliserolalkoholdaTrigliseri 33 ASAM KATALIS +⎯⎯⎯⎯⎯ →←+
Gambar II.4 Esterifikasi Asam Lemak
Asam lemak diperoleh melalui reaksi hidrolisis lemak/minyak. Reaksi esterifikasi
ini antara lain dapat dikatalisasi oleh asam (asam sulfat atau HCl) dan enzim
lipase. Enzim lipase yang digunakan untuk menghasilkan monoasilgliserol adalah
1,3-regioselektif lipase (Watanabe,2004). Reaksi esterifikasi merupakan reaksi
reversibel dengan reaksi hidrolisis. Agar produk lebih banyak dihasilkan
(selektifitas ke arah reaksi esterifikasi), air yang dihasilkan dalam reaksi harus
dipisahkan dari campuran reaksi. Air dapat dipisahkan antara lain dengan proses
distilasi, proses absorpsi dengan pelarut polar, dan dengan menciptakan kondisi
vakum pada reaktor (untuk reaksi yang dilakukan pada suatu reaktor tangki
berpengaduk) atau mensirkulasikan campuran reaksi ke suatu bejana bertekanan
rendah/vakum (untuk reaksi yang dilakukan pada suatu reaktor unggun tetap).
Proses esterifikasi dengan bantuan katalis enzim paling baik dilakukan dalam
suatu reaktor unggun tetap. Jika reaksi ini dilakukan dalam suatu reaktor tangki
berpengaduk, enzim terkekang tidak dapat digunakan pada larutan reaksi yang
memiliki massa jenis besar karena enzim terkekang akan rusak oleh adanya gaya
geser yang dihasilkan oleh proses pengadukan.
Reaksi esterifikasi tanpa pelarut organik biasanya diselenggarakan pada
temperatur relatif rendah (25 0C) tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pelarut organik yang biasa digunakan dalam proses esterifikasi adalah n-
heksan. Reaksi esterifikasi dengan pelarut organik, berlangsung pada daerah
antarmuka antara gliserol dengan asam lemak yang terlarut dalam pelarut
21
organik. Penambahan padatan (solid support) seperti silika gel pada campuran
reaksi esterifikasi dengan pelarut organik akan meningkatkan produk reaksi
secara signifikan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: a). meningkatnya luas
kontak (interfacial area) antara gliserol (bersifat hidrofil) yang teradsorbsi
oleh silika gel dengan pelarut organik n-heksan (bersifat hidrofobik). Asam
lemak yang digunakan dalam reaksi esterifikasi terlarut dalam pelarut organik
(n-heksan), b). air hasil reaksi esterifikasi akan teradsorbsi oleh silika gel,
sehingga reaksi kesetimbangan akan "bergeser" ke arah produk.
Peningkatan jumlah monogliserida atau digliserida yang dihasilkan dapat
dilakukan antara lain dengan menggunakan perbedaan kelarutan produk reaksi
dalam pelarut organik (n-heksan), menggunakan sifat spesifisitas enzim agar
produk yang diharapkan (monogliserida atau digliserida) lebih banyak
dihasilkan.
Monogliserida dan digliserida memiliki kelarutan dalam n-heksan sangat
rendah jika dibandingkan dengan kelarutan trigliserida dan asam lemak karena
monogliserida dan digliserida memiliki gugus hidroksi yang bersifat hidrofil.
Hal ini menyebabkan monogliserida dan digliserida yang dihasilkan akan
mengendap (precipitated) dalam reaktor. Hal ini akan mengakibatkan
bergesernya kesetimbangan ke arah produk (monogliserida dan digliserida).
Jika spesifisitas enzim yang digunakan memiliki tahap penentu laju
reaksi pada tahap pembentukan trigliserida (k1), monogliserida dan digliserida
akan terakumulasi dalam reaktor karena monogliserida dan digliserida yang
terbentuk akan segera mengendap (precipitated) sebelum terjadi
pembentukan trigliserida. Sebaliknya, jika spesifisitas enzim yang digunakan
memiliki tahap penentu laju reaksi pada tahap pembentukan monogliserida (k2),
digliserida akan terakumulasi dalam reaktor karena digliserida yang terbentuk
akan segera mengendap (precipitated) sebelum terjadi pembentukan
monogliserida.
22
II.3.2.2 Deasilasi Kimia
Deasilasi kimia dilakukan dengan menggunakan reagen Grignard (seperti etil
magnesium bromida). Reagen akan bereaksi secara acak dengan satu dari tiga
ikatan ester pada trigliserida dan menghasilkan digliserida serta alkohol tersier.
Reaksi dihentikan dengan penambahan asam asetat pada titik produksi
maksimum monogliserida. Produk monogliserida dipisahkan dengan
menggunakan TLC (Thin Layer Chromatography).
II.3.2.3 Gliserolisis Trigliserida
Reaksi secara gliserolisis merupakan reaksi alkoholis. Pada reaksi
gliserolisis, trigliserida direaksikan dengan gliserol membentuk
monogliserida dan digliserida. Secara umum reaksi gliserolisis trigliserida
dapat dilihat pada gambar II.5.
Gambar II.5. Reaksi Gliserolisis Trigliserida
Sebagian besar monogliserida dan digliserida di dalam industri diproduksi dengan
proses gliserolisis trigliserida. Pada proses ini, lemak (± 99% trigliserida)
direaksikan dengan gliserol pada temperatur tinggi. Reaksi gliserolisis merupakan
suatu reaksi kesetimbangan sehingga produk reaksi dapat ditingkatkan (reaksi
dapat “digeser” ke arah produk) dengan menggunakan gliserol berlebih. Gliserol
yang bersifat hidrofil tidak larut dalam lemak pada temperatur ruang, sehingga
reaksi gliserolisis dilangsungkan pada temperatur tinggi untuk meningkatkan
kelarutan gliserol di dalam lemak.
Monogliserida dan digliserida dapat diproduksi baik secara batch maupun
kontinyu. Sebagian besar produksi di Amerika Serikat masih menggunakan proses
batch dimana waktu reaksi, temperatur dan katalis yang digunakan bervariasi.
Untuk proses kontinyu, waktu proses biasanya lebih pendek sekitar 30 menit
dibandingkan waktu proses sistem batch.
23
Biasanya monogliserida dan digliserida diproduksi dengan gliserolisis
trigliserida atau lemak dan minyak. Pada proses ini, lemak atau minyak yang
diinginkan kekerasannya (produk yang diinginkan) dicampur dengan gliserol
berlebih pada kenaikan temperatur (220-240 0C atau 425-4400F) dengan
melibatkan katalis alkali, biasanya berupa natrium atau kalsium hidroksida
(0,1% berat minyak). Namun sebelumnya reaktan didehidrasi dahulu pada
temperatur 220-240 0F selama 30 menit. Selama proses reaksi, campuran
reaksi tetap dipertahankan sampai radikal asam lemak trigliserida
didistribusikan kembali secara random diantara grup hidroksil gliserol yang
tersedia. Reaksi dilakukan dengan pengadukan selama 30 sampai 60 menit.
Campuran reaksi kemudian didinginkan dengan pengadukan sampai
kesetimbangan dicapai dan kemudian katalis dideaktivasi dengan
menambahkan suatu asam makanan (food acid), biasanya berupa asam fosfor
(0,1%). Garam fosfat yang dihasilkan dari netralisasi katalis harus
dikeluarkan dengan filtrasi. Gliserol berlebih akan dipisahkan, sebagai
lapisan bawah selama pendinginan, secara parsial dengan dekantasi.
Sedangkan gliserol yang tersisa dalam campuran reaksi dapat dikeluarkan
melalui distilasi vakum yang sementara itu juga dilakukan steam stripping
untuk mengurangi kandungan asam lemak bebas dan memindahkan material
oksidasi yang menyebabkan rasa dan bau yang tidak diinginkan.
Dengan proses ini menghasilkan monogliserida dan senyawa lain yaitu
diasilgliserol, trigliserida dan gliserol bebas. Perbandingan monoasilgliserol
terhadap diasilgliserol dapat dikendalikan dengan perbandingan relatif reaktan,
temperatur, waktu, katalis, dan menggunakan stripping steam atau gas inert.
Distribusi normalnya adalah 50% monogliserida, 40% digliserida dan 10%
trigliserida; dimana sekitar 85% monogliserida teresterifikasi pada posisi alfa dari
gliserida. Pada Gambar 2.6 berikut ini adalah rute reaksi yang merupakan salah
satu contoh reaksi gliserolisis (produksi monogliserida dan digliserida) yang
dilangsungkan dengan sistem batch.
24
Gambar II.6. Skema Reaksi Gliserolisis Sistem Batch (O'Brien, 1998)
Reaksi gliserolisis trigliserida ini sudah dikenal sejak tahun 1946, dalam
eksperimen yang dilakukan oleh Feuge dan Bailey. Dalam penelitiannya,
campuran monogliserida, digliserida, dan trigliserida yang dibentuk dari reaksi
gliserolisis minyak cottonseed yang telah dihidrogenasi dengan menggunakan
25
katalis alkali (natrium hidroksida). Pada temperatur 200 0C, pada kesetimbangan
reaksi, dan pada rentang konsentrasi gliserol dimana produk reaksi homogen,
proporsi dari gliserol bebas, mono-, di-, dan trigliserida membentuk suatu pola
distribusi acak terhadap gugus OH yang teresterifikasi. Produk yang diproduksi
pada temperatur diatas 200 0C mengandung gliserol tinggi tapi sedikit α-
monogliserida. Hal ini mungkin terjadi karena produk mengalami polimerisasi,
seperti contohnya di-asam digliserol. Suatu penelitian juga menyatakan bahwa
komposisi produk reaksi yang mengandung gliserol dapat dikurangi dengan
distilasi steam pada temperatur tinggi dan tekanan vakum (deodorisasi). Minyak
yang digunakan adalah minyak cottonseed yang telah dihidrogenasi dengan nilai
iodine 0,7. Berat molekul rata-rata dari trigliserida, dihitung dari nilai netralisasi
dari asam lemak adalah 876,2. Perhitungan kandungan gliserol untuk tri-, di-, dan
monogliserida adalah 10,51%, 14,98% dan 26,05%. Reaksi antara minyak dan
gliserol berlangsung di dalam bejana gelas berpengaduk pada kondisi atmosferik
hidrogen. Pada semua operasi menggunakan katalis NaOH sebesar 0,1% dari
berat minyak yang digunakan.
Kinetika reaksi gliserolisis ini dapat ditingkatkan dengan bantuan katalis basa
lainnya (biasanya selain NaOH juga umum digunakan Ca(OH)2 dan
CH3COOK) atau katalis asam. Katalis CH3COOK (kalium asetat) paling
banyak digunakan karena dapat meminimalisasi terjadinya
discoloration/timbulnya warna kemerahan pada produk akhir reaksi yang pada
umumnya tidak dikehendaki. Sebelum penambahan katalis, biasanya minyak
(reaktan) terlebih dahulu dikeringkan (didehidrasi) agar aktivitas katalis lebih
balk. Campuran reaksi ini dipertahankan pada temperatur tinggi hingga radikal
asam lemak dari trigliserida mengalami redistribusi dan berikatan secara acak
dengan gugus-gugus hidroksil dari gliserol. Reaksi juga dilangsungkan pada
atmosfer inert (dengan memasukkan gas N2 atau CO2) untuk meminimumkan
perusakan warna.
Campuran reaksi didinginkan setelah kesetimbangan tercapai dan katalis
dideaktivasi dengan penambahan asam pangan, biasanya asam fosfat. Garam
26
fosfat yang dihasilkan dari proses deaktivasi katalis harus dipisahkan dengan
filtrasi. Kelebihan (ekses) gliserol akan terpisah pada fasa yang terletak di bagian
bawah campuran reaksi (pada proses pendinginan). Sebagian gliserol dapat
dipisahkan dengan cara dekantasi. Gliserol yang masih tersisa dalam campuran
reaksi dapat dipisahkan melalui destilasi vakum, bersamaan dengan itu juga
dilakukan steam stripping untuk mereduksi kandungan asam lemak bebas dan
memisahkan material pengoksidasi yang dapat merusak rasa dan bau.
Reaksi gliserolisis menggunakan katalis baik asam maupun alkali basa
berlangsung pada temperatur yang tinggi (200-240 0C). Hasilnya merupakan
suatu campuran kasar dari mono dan diasilgliserol (secara kasar hampir sama) dan
trigliserida yang tidak terkonversi (konversi keseluruhan adalah 90%). Produk
yang dihasilkan mempunyai beberapa kekurangan seperti yield yang diperoleh
sedikit, warna yang gelap/keruh. Proses pemisahan lebih lanjut biasanya
dilakukan dengan distilasi molekular yang menghasilkan kemurnian
monoasilgliserol (> 90%). Oleh sebab itu perhatian banyak teralih kepada rute
reaksi gliserolisis lemak menggunakan enzim lipase baik dengan melibatkan
solven atau tidak.
Selain biaya operasional menjadi mahal karena harga solven yang cukup mahal
ditambah dengan penggunaan katalis. Selain itu masih harus dilakukan perlakuan
khusus pada produk pada akhir reaksi.
Untuk mencapai yield monogliserida yang tinggi pada temperatur rendah, sangat
penting untuk menciptakan suatu lingkungan yang homogen dalam medium
reaksi. Kemudian dalam perkembangannya telah dilakukan studi gliserolisis asam
lemak untuk produksi monoasilgliserol dengan melibatkan solven. Hukum aksi
massa dapat beroperasi dengan memuaskan jika kedua reaktan gliserol dan lemak
dilarutkan dalam suatu solven yang sesuai selain itu reaksi dapat berlangsung
pada temperatur yang lebih rendah. Produk yang diperoleh menghasilkan yield
yang tinggi. Sehingga penggunaan co-solven sangat disarankan dalam banyak
literatur. Namun demikian sangat sedikit solven yang dapat secara simultan larut
27
baik dalam lemak maupun gliserol. Literatur yang menggunakan metode yang
menggunakan pyridine, 1,4-dioksan, kloroform, fenol, kresol, dan dimethyl
formamadide, dll sebagai solven dengan menggunakan katalis asam atau alkali.
Solven-solven tersebut bersifat toksik dan lebih lagi penggunaan katalis
memerlukan tahap netralisasi. Sehingga akan lebih menguntungkan jika
melakukan suatu reaksi dalam suatu solven yang memberikan kondisi lingkungan
reaksi yang homogen dan pada saat yang sama sangat aman digunakan dalam
menghasilkan monoasilgliserol dalam persiapan food grade.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Thengumpillil dkk. (2002),
disebutkan bahwa esterfikasi asam laurat dan gliserol dapat dilakukan dengan
melibatkan solven (asam laktat dan metil laktat) organik yang memenuhi standar
food grade. Reaksi berlangsung pada temperatur lebih rendah (130-150 0C) dan
tidak menggunakan katalis. Selektivitas proses dapat mencapai 98%. Persentasi
yang kecil dari lactylated monoasilgliserol (5-20%) yang terkonversi selama
reaksi berlangsung masih diperbolehkan dalam pengemulsi makanan. Aktivitas
permukaan lactylated- monoasilgliserol yang tinggi memberikan superior secara
fungsional terhadap produk itu sendiri. Sejauh ini penggunaan asam laktat dan
alkil laktat sebagai solven pada rekasi tersebut belum pernah dilakukan
(Thengumpillil dkk., 2002). Proses ini menghasilkan monogliserida dengan
struktur yang telah tertata ulang dan gliserol bebas. Selektivitas reaksi ke arah
produksi dapat dikontrol dengan pengaturan perbandingan komposisi reaktan,
temperatur reaksi, waktu reaksi. Perbandingan reaktan asam lemak/gliserol
adalah 1:1-1:10 (perbandingan mol), temperatur reaksi optimum berada dalam
rentang antara 130-150°C, waktu reaksi optimum dalam rentang antara 3 - 6
jam, dan jumlah solven dalam rentang antara 5% - 20%-berat asam lemak dan
gliserol dalam reaksi (Thengumpillil dkk., 2002). Namun penggunaan asam
laurat sebagai bahan baku menyebabkan produk mempunyai tekstur padat dan
kandungan, selain itu asam lemak yang terkandung dalam produk cukup besar
(diatas 22%). Untuk lebih jelasnya, rute produksi monoasilgliserol yang
dilakukan oleh Thengumpillil dkk. (2002) dapat dilihat pada gambar II.7.
28
Gambar II.7. Rute Produksi Monogliserida versi Thengumpillil dkk.,2002.
II.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Gliserolisis
Homogenitas reaktan merupakan hal utama yang tersulit dalam mencapai yield
monoasilgliserol yang tinggi baik pada reaksi gliserolisis atau pada esterifikasi
langsung dari asam lemak dengan gliserol adalah kurang memadainya derajat
29
homogenitas reaktan yang menghasilkan produk mono-diasilgliserida dan
trigliserida. Sehingga banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan derajat
homogenitas reaktan yaitu dengan pengadukan. Sementara usaha lain yang
dilakukan adalah dengan menggunakan solven yang sesuai terhadap reaktan.
Namun solven tersebut meskipun sesuai dengan karakteristik reaktan namu
banyak tidak memenuhi standar food grade.
Kadar air dan asam lemak bebas, trigliserida berupa minyak kelapa yang akan
direaksikan mengandung kadar air dan asam lemak bebas. Apabila asam lemak
bebas dan kandungan airnya tinggi maka kebutuhan katalis juga besar, sabun yang
terbentuk juga banyak sehingga kekentalan campuran reaksi meningkat atau
terbentuk gel. Hal ini akan menyulitkan dalam pemisahan gliserol. Kandungan air
yang tinggi (melebihi 3%) akan menyebabkan perolehan gliserol berkurang
karena air ikut mengkonsumsi katalis.
Temperatur reaksi, peningkatan temperatur reaksi akan mempengaruhi tumbukan-
tumbukan antar molekul reaktan. Peningkatan tumbukan yang terjadi antar
molekul reaktan akan menyebabkan semakin besarnya konversi trigliserida
menjadi produk selain itu juga peningkatan temperatur juga akan meningkatkan
laju reaksi menuju keadaan setimbang.
Perbandingan komposisi reaktan gliserol terhadap trigliserida, reaksi gliserolisis
merupakan suatu reaksi kesetimbangan sehingga produk reaksi dapat ditingkatkan
(reaksi dapat “digeser” ke arah produk) dengan menggunakan gliserol berlebih.
Gliserol yang bersifat hidrofil tidak larut dalam lemak pada temperatur ruang,
sehingga reaksi gliserolisis dilangsungkan pada temperatur tinggi untuk
meningkatkan kelarutan gliserol di dalam lemak.
Selain itu untuk meningkatkan selektifitas produksi monoasilgliserol daripada
diasilgliserol melibatkan katalis alkali atau asam, dimana memerlukan tahap
netralisasi. Sementara usaha lain yang dilakukan adalah dengan menggunakan
solven yang sesuai terhadap reaktan, namun solven tersebut tidak memenuhi
standar food grade. Sehingga perlu proses alternatif yang bebas katalis, sementara
30
pada saat yang sama ramah lingkungan dan menghasilkan yield monoasilgliserol
yang tinggi.
Waktu reaksi, untuk mencapai konversi yang mendekati sempurna, diperlukan
waktu reaksi yang diperlukan reaktan dalam reaktor yang cukup. Waktu reaksi
yang cukup dapat menyebabkan reaksi pada kondisi tunak, dimana konsentrasi
bukan lagi merupakan fungsi dari waktu.