BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi masalah
Masalah merupakan ketidaksesuaian yang signifikan antara
harapan dan kondisi nyata, atau dengan kata lain, Sebuah situasi tak
terduga yang tidak sejalan dengan tata nilai yang dianut sekelompuk orang
yang menyetujui bahwa perlu adanya tindakan untuk mengatasi situasi
tersebut (Mooney, 1950). Setiap individu yang hidup di dunia pastilah
memiliki masalah tak terkecuali siapapun. Masalah datang ketika individu
berada dalam suatu proses untuk mencapai suatu tujuan atau cita–cita.
Masalah merupakan bagian penting dari sebuah roda kehidupan. Pada
dasarnya individu adalah mahkluk yang hanya dapat tumbuh dan
berkembang dengan adanya suatu masalah. Jika tak ada masalah, maka
sulit rasanya untuk menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya.
Tanpa adanya masalah akan kehilangan arti dari sebuah kehidupan, betapa
hambar serta tak menariknya dunia ini.
Jadi sebenarnya masalah ada di dunia ini adalah memiliki tujuan
fungsi tersendiri untuk kehidupan manusia, yaitu untuk menjaga
kehidupan agar tetap aktif dan berpikir kreatif agar dapat melangkah maju
menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Hanya tergantung
bagaimana manusia tersebut menyikapi setiap masalah yang datang. Setiap
8
kejadian ataupun peristiwa jika disikapi dengan cara yang berbeda maka
akan menghasilkan respons atau tindakan yang berbeda dan dengan
adanya respons atau tindakan yang berbeda maka akan mendapatkan hasil
yang berbeda pula. Sebuah ketidaksesuaian antara tata nilai yang ada di
masyarakat dengan kondisi nyata dilapangan tidak selalu membutuhkan
tindakan. Masalah selalu ada hubungannya dengan ketidakpuasan
mengenai situasi tertentu namun, kepuasan adalah konsep relatif, jadi
masalah juga bersifat relatif, Sebuah masalah besar untuk satu individu
mungkin tidak menjadi masalah sama sekali bagi individu lain.
Problematika yang sering dihadapi siswa ketika belajar di sekolah
sangatlah banyak karena belajar di sekolah memakan waktu yang tidak
sebentar, yang sering kali mendatangkan rasa jenuh dan malas belajar,
belum lagi tuntunan kemandirian yang lain yang akan membawa pengaruh
terhadap kehidupan psikis. Efektifitas belajar di sekolah sangat bergantung
pada bagaimana siswa mengelola waktu tersebut. dengan keterbatasan
waktu tersebut siswa dituntut untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Kurangnya minat pada matapelajaran atau guru tertentu dapat menjadi
penghambat siswa dalam belajar di sekolah. Kekurangan uang atau biaya
sekolah juga akan menjadi problematika selama belajar di sekolah.
kekurangan uang akan menghambat siswa dalam belajar karena tugas-
tugas dan masalah yang berhubungan dengan finansial. Keberhasilan
belajar di sekolah juga dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan siswa, jika
siswa bergaul pada lingkungan yang kondusif, siswa tidak akan
9
mengalami hambatan dalam belajar. Tetapi jika mahasiswa berada dalam
pergaulan yang tidak kondusif, maka akan mengalami hambatan dalam
belajar. Tidak sedikit siswa yang mengalami drop out karena pengaruh
lingkungan pergaulan.
Problematik yang paling krusial yang paling banyak dialami oleh
siswa adalah masalah cinta. Jatuh cinta, pacaran, patah hati, dijodohkan
oleh orangtua adalah masalah klasik, yang hampir semua orang
mengalaminya, termasuk siswa. Namun dalam kenyataanya banyak pula
siswa yang mengalami hambatan belajar di sekolah hanya karena cinta.
Masalah merupakan ketidaksesuaian yang signifikan antara harapan dan
kondisi nyata, atau dengan kata lain, Sebuah situasi tak terduga yang tidak
sejalan dengan tata nilai yang dianut sekelompuk orang yang menyetujui
bahwa perlu adanya tindakan untuk mengatasi situasi tersebut (Mooney,
1950).
2.2 Masalah-masalah Siswa
Pembahasan mengenai masalah yang dialami oleh siswa dimulai
dengan pemahaman mengenai kondisi psikologis individu secara umum.
Melalui tinjauan psikologi akan dibahas latar belakang kemunculan
masalah, perubahan-perubahan yang individu alami serta implikasinya
terhadap berbagai prilaku yang muncul. Siswa berada pada kelompok usia
remaja, Suatu fase yang dianggap penuh berbagai masalah dan tekanan.
Berbagai perubahan yang siswa alami yang kemudian diikuti dengan
10
banyaknya tuntutan yang siswa dapatkan menyebabkan kemunculan
beragam masalah. Kondisi ini penting untuk difahami oleh guru untuk
menyikapi berbagai persoalan yang dialami oleh peserta didik.Pemahaman
yang baik akan memberikan dasar bagi penanganan (intervensi) yang akan
dilakukan agar dapat membantu siswa untuk dapat mengatasi berbagai
masalah yang dihadapinya sehingga proses pembelajaran yang sedang
berlangsung mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan.
Individu yang baru menamatkan pendidikannya di sekolah
menengah tingkat pertama akan menemui masalah baru pada saat
memasuki sekolah menengah atas. Adanya perbedaan cara belajar di
sekolah menengah tingkat pertama dengan cara studi di sekolah menengah
atas, selain itu perkembangan fisik, perkembangan pemikiran dan
perkembangan wawasan menjadikan masalah yang dialami setiap
golongan usia menjadi berbeda pula. Sebab lain berkaitan dengan
kedudukan siswa secara pribadi, sebagai anggota masyarakat akademik,
dan sebagai anggota masyarakat yang lebih luas. Masalah yang dihadapi
siswa sangat beragam dan kompleks, dari hal yang kecil hingga yang
sangat besar seperti misalnya siswa mengalami kesulitan melunasi uang
sekolah tepat pada waktunya, keuangan keluarga terlalu sedikit, uang saku
siswa tidak mencukupi, keadaan tubuh kurang menarik, dan masih
berbagai permasalahan yang menuntut penyesuaian dari siswa itu sendiri.
Masalah-masalah tersebut terbagi dua yakni masalah akademik dan
masalah non akademik. Masalah atau kesulitan di bidang akademik
11
misalnya: kurang menguasai cara belajar mandiri, kurang mampu
mengatur waktu dengan baik, motivasi belajar kurang jelas, ragu terhadap
bidang studi yang diambil, hubungan dengan guru renggang atau jauh.
Sedangkan kesulitan di bidang non akademik antara lain: kesulitan
menanggung biaya pendidikan, kurang dapat bergaul dengan teman,
masalah asmara, konflik dengan keluarga dekat, kehilangan tujuan hidup,
mudah panik dan hal-hal lain yang dianggap menjadi masalah. (Mahmud,
2002).
Setiap individu tidak terkecuali siswa mempunyai permasalahan
dalam dirinya. Entah itu masalah pribadi, masalah dengan keluarga, teman
sebaya, akademik ataupun masalah lainnya. Pandangan siswa atas
permasalahan-permasalahan yang lazim ditemukan dalam kehidupan
siswa, apakah antara laki-laki dan perempuan mempunyai pandangan
yang sama tentang seriusnya masalah atau tidak. Masalah adalah suatu
kendala atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain masalah
merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan suatu yang diharapkan
dengan baik, agar tercapai tujuan dengan hasil yang maksimal. Setiap
siswa di dunia pastilah memiliki masalahnya masing – masing, entah itu
besar ataupun kecil, tak terkecuali siapapun. Masalah yang dialami
individu tidak selalu bersifat negatif, jika kita amati dan telaah lebih dalam
lagi, setiap masalah, datang ketika kita berada dalam suatu proses untuk
mencapai suatu tujuan atau cita – cita. Jadi sebenarnya masalah ada di
dunia ini adalah memiliki tujuan fungsi tersendiri untuk kehidupan
12
manusia, yaitu untuk menjaga kehidupan agar tetap aktif dan berpikir
kreatif agar dapat melangkah maju menuju ke arah yang lebih baik dari
sebelumnya. Hanya tergantung bagaimana manusia tersebut menyikapi
setiap masalah yang datang. Setiap kejadian ataupun peristiwa jika
disikapi dengan cara yang berbeda maka akan menghasilkan respon atau
tindakan yang berbeda dan dengan adanya respon atau tindakan yang
berbeda maka akan menghasilkan hasil yang berbeda pula (Hadi, 2006).
2.3 Masyarakat Etnis Jawa (Jawa Tengah)
2.3.1 Asal-usul
Suku Jawa terkenal sebagai suku yang paling banyak jumlahnya,
penduduk pulau Jawa cukup padat, sebagian besar tinggal didaerah
pegunungan dan desa-desa, terbukti dari data sensus penduduk tahun 2010
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah adalah 32,382,657 jiwa terdiri
atas 16,091,112 laki-laki dan 16,291,545 perempuan. Dari jumlah
penduduk ini, 47% di antaranya merupakan angkatan kerja. Mata
pencaharian paling banyak adalah disektor pertanian (42,34%), diikuti
dengan perdagangan (20,91%), industri (15,71%), dan jasa (10,98%). Dari
hasil sensus menujukan bahwa masyarakat Jawa merupakan kelompok
mayoritas di Indonesia (BPS, 2010).
Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan
dan halus. Tetapi orang Jawa juga terkenal sebagai suku bangsa yang
13
tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak
orang Jawa yang ingin menjaga harmonisasi atau keserasian dan
menghindari konflik, karena itulah orang Jawa cenderung untuk diam dan
tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat. Namun, tidak semua
orang Jawa memiliki sikap tertutup dan tidak mau berterus terang, ada
juga orang Jawa yang memiliki watak lugas, terbuka, terus terang, apa
adanya, dan tidak suka basa-basi. Orang Jawa Tengah sering dilihat
sebagai orang yang halus perasaannya, sopan santun dan lemah lembut
dibandingkan dengan penduduk Jawa Timur. Kelemah-lembutan dan
kehalusan itu juga tercermin dalam kesenian seperti seni karawitan, tutur
kata dan bahasa, serta peri laku. Oleh karena itu, peri laku yang lemah
lembut sering kali bahkan lebih dipentingkan dari ungkapan dalam
bahasanya. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan orang Jawa menjadi
lebih pendiam, tetapi ramah, dan penuh senyum (dalam Loekmono, 1982).
Budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta
yaitu “huddhayah” yang merupakan bentuk dari “buddhi” (budi atau akal).
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal. Kebudayaan itu tidak terbatas pada budaya “tinggi” seperti kesenian
atau kehidupan dikeraton, tetapi meliputi adat istiadat dan kebiasaan yang
hidup dimasyarakat, dan tidak hanya yang hidup semata, tetapi
peninggalan-peninggalan sejarah dan kebudayaan masa lalu seperti candi,
bangunan kuno, gua dan artefak lainya. Masyarakat Jawa juga terkenal
akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Masyarakat Jawa Tengah
14
sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kaum santri, abangan dan
priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat.
Kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut
Kejawen, bahwa dunia sebagai penuh dengan roh-roh atau bangsa halus,
tradisi abangan yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual tentang roh
dan seperangkat praktek penyembuhan ilmu tenung dan ilmu gaib,
diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan Jawa. Sedangkan
kaum Priyayi adalah kaum bangsawan turun temurun (Suseno, 1983).
Kebudayaan Jawa dan pengaruh islam lebih kuat menghasilkan
bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, dan daerah-
daerah Jawa pedalaman sering juga disebut “Kejawen”. Mungkin agama
Jawa sebagai satu sistem agama tersendiri. Orang Jawa kadang-kadang
dikatakan memuja nenek moyang mereka, akan tetapi selain kata-kata
samar yang ditujukan kepada “nenek moyang” pada umumnya, atau
kepada leluhurnya seperti “kakek dan nenek” dalam jampi-jampian dan
slametan, pembakaran kemenyan untuk memuja nenek moyang pada
malam jumat oleh beberapa orang, dan sesekali orang menghias kuburan
anggota-anggota keluarga, tidak ada bukti tentang adanya kultus nenek
moyang dari macam apapun. Pemujaan nenek moyang ‘Jawa’, setidak-
tidaknya dizaman sekarang, pada pokoknya hanya berupa ungkapan salah
dari rasa hormat kepada yang sudah meninggal dunia ditambah dengan
kesadaran yang kuat tentang perlunya memelihara hubungan baik dengan
keluarga yang sudah tiada, dan tidak lupa untuk segera memberikan nasi
15
atau bunga kepada mereka apabila mereka muncul dalam mimpi (Geertz,
1960).
2.3.2 Mata Pencarian Hidup
Di Indonesia, orang Jawa dahulu memiliki asumsi bahwa banyak
anak banyak pula rizki, karena nantinya anak-anak mereka akan banyak
membantu bekerja, dan anak adalah jaminan hidup bagi orang tua di Jawa.
Orang Jawa biasa ditemukan dalam semua bidang, khususnya dalam
pelayanan umum dan tentara. Secara tradisi, kebanyakan orang Jawa
adalah petani. Ini adalah di sebabkan oleh tanah gunung berapi yang subur
di Jawa walaupun terdapat juga banyak usahawan Indonesia yang berjaya
yang berasal daripada suku Jawa, orang Jawa tidak begitu menonjol dalam
bidang perniagaan dan perindustrian. Sebagian penduduk mempunyai
mata pencaharian bertani, berladang dan berkebun. Didaerah pertanian:
sawah ladang merupakan mata pencaharian pokok, didaerah pegunungan:
perkebunan dan perladangan, didaerah landai: perkarangan, persawahan,
didaerah pusat perkotaan: perdagangan, kerajinan tangan, pegawai dan
buruh, sedangkan didaerah pantai: perniagaan, perdagangan, nelayan dan
perikanan (dalam Loekmono, 1982).
2.3.3 Sistem Kepercayaan dan Religi
16
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam,
tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik, mereka juga
terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga
ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan
suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen seperti yang telah
diungkapkan oleh Geertz (1960), kepercayaan ini terutama berdasarkan
kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat.
Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua
budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga
kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur, Persamaan dengan
pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang
melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu
kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti :
keris, gamelan, dan lain-lain. Orang Jawa juga mempercayai keberadaan
arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi,
lelembut, tuyul, demit, serta jin yang menempati alam sekitar tempat
tinggal mereka. Menurut kepercayaan makhluk halus tersebut dapat
mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan.
Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan
ketakutan atau kematian ( Geertz, 1960).
2.3.4 Bahasa
17
Pada umumnya masyarakat suku jawa lebih banyak memakai
bahasa khasnya sendiri untuk berbicara, namun tidak sedikit pula yang
memakai bahasa Nasional sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa jawa dibagi
menjadi beberapa tingkatan pemakaian atara lain:
a. Bahasa ngoko yaitu bahasa yang dipakai untuk berbicara dengan
orang yang sudah akrab atau lebih muda.
b. Bahasa kromo yaitu bahasa yang keseharianya dipakai untuk
berbicara dengan orang yang lebih tua atau tingkat sosialnya lebih
tinggi.
c. Bahasa madya yaitu bahasa yang memakai variasi antara ngoko
dan kromo.
Bahasa pergaulan dalam bahasa Jawa bermacam-macam tingkatanya,
ngoko pada pokoknya merupakan bahasa yang biasa, agak kasar,
sedangkan kromo lebih halus dan biasanya untuk menghargai atau
menghormati. Bahasa yang dipakai oleh seseorang menuntut sikap dan
perilaku tersendiri bagi pemakai bahasa itu dan orang yang diajak
berbicara. Di bidang pergaulan diantara warga masyarakat, dikenal pula
suatu pergaulan yang sifatnya semacam kritik sosial yakni dalam bentuk
rasanan atau ngrasani (membicarakan orang lain saat orang yang
dibicarakan tidak berada disitu). Rasanan ini dilakukan disemua tingkat
usia, sering kali hal ini menjadi semacam kontrol sosial dan kritik sosial.
2.3.5 Kehidupan dalam Keluarga Jawa
18
Kehidupan suami-istri dijawa menganut sistim bilateral alur keturunan
diambil dari kedua belah pihak, meskipun demikian dalam prakteknya
kehidupan suami-istri diJawa lebih condong kearah patrilinear (alur laki-
laki), hal itu nampak dalam sistem pembagian warisan ”sepikul
segendong” dalam pewarisan biasanya anak laki-laki mendapat 2/3
sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 bagian. Oleh karena itu
tanggung jawab keluarga ada ditangan laki-laki, maka tanggung jawab
pekerjaan pun biasanya pada kaum laki-laki hal itu dikemukakan dalam
pepatah ”swargo nunut, neroko katut” istri itu hanya ikut yang
menentukan adalah suami (dalm Loekmono, 1982).
2.4 Sikap Orang Jawa Terhadap Masalah
Dalam budaya jawa ada istilah Isin dapat diterjemahkan sebagai
malu, enggan, canggung. Rasa malu atau isin sudah dikembangkan sejak
kecil, anak diajar untuk bersikap malu kepada tetangganya atau kepada
masyarakat lainnya, kalau ada suatu kekeliruan yang patut ditegur.
Sehingga anak yang seringkali ditegur kalau berbuat salah dihadapan
orang lain individu akan langsung menunjukkan sikap malu-malu. Sikap
isin atau malu dapat muncul dalam setiap situasi sosial, yang terjadi diluar
hubungan keluarga sendiri. Orang Jawa dalam hubungannya dengan
individu lain selalu berada dalam keadaan tertekan perasaan isin atau
malu.Perasaan wedi dan sungkanpun sebenarnya muncul dalam rangka
isin. Dalam sistem pendidikan yang diberlakukan pada anaknya, orang
Jawa mendidik anaknya untuk selalu bersikap wedi yang maksudnya takut
19
kepada orang lain. Anak sejak kecil sudah diajar wedi terhadap orang yang
harus dihormati. Sikap ini biasanya dikaitkan dengan sikap hormat
terhadap orang yang lebih tua. Jika ada sesuatu terjadi padanya, individu
akan merasa wedi dan sekaligus isin kalau-kalau ketahuan
salah(Hamengkubuwono X, 2005).
Oleh sebab itu kemungkinan penyebab dari kurang keterbukaannya
orang Jawa terhadap orang lain saat memiliki masalah, beragam reaksi
yang ditunjukan masyarakat Jawa dalam menyikapi suatu masalah yang
dialami baik dirinya sendiri, keluarga atau orang yang dianggap kerabat
oleh orang Jawa, orang Jawa umumnya memiliki sikap atau pandangan
mengenai masalah yang dialami sebagai berikut :
2.4.1 Sedapat mungkin masalah itu dihadapi sendiri, apabila tidak
mampu menyelesaikan masalahnya sendiri barulah dijadikan
masalah intern keluarganya dan diusahakan sedapat mungkin agar
tidak keluar dari lingkungan keluarganya.
2.4.2 Orang Jawa merasa malu bila masalah pribadinya atau masalah
keluarganya sampai didengar oleh orang lain dan keluarga lain.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa orang Jawa mempunyai
kecenderungan untuk segan meminta tolong atau membuka
persoalan bila belum sungguh sungguh terpaksa atau hanya kepada
orang yang sangat dipercaya. Keseganan itu mempunyai banyak
alasan, antara lain : harga diri, rasa malu dan nilai nilai yang
20
dianutnya bahwa orang harus tabah, sabar dan tekun menghadapi
masalah.
2.4.3 Bila orang Jawa tidak sanggup atau tidak mampu mengatasi
masalah dan kecenderungan baginya untuk melarikan diri dari
masalah itu, atau menutup-nutupi masalah itu, kemungkinan lain
ialah meminta pertolongan pada orang yang sungguh dipercaya,
seseorang yang mampu dan berwibawa, bijaksana, dipandang layak
untuk menolong dan bisa menyimpan rahasia, jalan ini merupakan
jalan terakhir dan dilakukan secara terpaksa.
2.5 Sikap Orang Jawa Terhadap Pertolongan dan Penolong
Sikap yang ditunjukan oleh orang Jawa bila mendapatkan
pertolongan dari orang lain, maka ada beberapa sikap yang dapat diambil
oleh orang Jawa:
2.5.1 Orang Jawa sangat menghargai pertolongan yang diberikan,
terlebih apabila memeng orang itu sendiri yang berkeinginan
meminta tolong pada orang tersebut, boleh dikatakan pertolongan
itu ibarat hutang budi dibawa mati, selamanya akan diingat sampai
suatu saat dia dapat mengembalikan budi dalam bentuk apa saja.
2.5.2 Apabila pertolongan itu diberikan tanpa diminta bisa menimbulkan
praduga, curiga dan bahkan menyinggung harga dirinya, dapat
menimbulkan perasaan direndahkan atau dihina, tetapi ada
kemungkinan dia akan sangat berterimakasih.
21
2.5.3 Sikap terhadap pertolongan serta penolong ditentukan pula oleh
siapa penolong itu, semakin bijaksana dan dihargai penolong itu,
semakin terbuka dan bebas ia mengutarakan persoalanya. (patut
dicatat kiranya bahwa orang jawa selalu menilai pertolongan atau
calon penolongnya sebagai orang yang cukup tepat).
2.5.4 Ukuran layak atau tidaknya seseorang penolong bagi seseorang
antara lain didasarkan atas derajat, tingkat kepandaian, agama,
kebijaksanaan, sudah punya ”nama” atau belum, sudah pernah
menghadapi persoalan serupa atau belum. Agaknya tokoh penolong
bagi orang jawa tinggi mendekati tokoh kesatria atau pendeta.
2.6 Pengertian Jenis Kelamin
Istilah Gender yang pertama kali dipahami sebagai perbedaan
kelamin, berasal dari bahasa latin genus (bukan gene) yang berarti ras,
turunan, golongan, atau kelas. Meskipun gender merupakan bentukan
sosial dan kultural untuk laki-laki dan perempuan, gender itu lebih
merupakan istilah dikalangan antropologis. Kamus antropologi
mengatakan bahwa gender adalah: Klasifikasi secara sintaksis yang sering
ditemukan dalam bahasa Indo-Eropa dan Semit. Hampir semua bahasa
menunjukan perbedaan antara gender maskulin dan feminin, beberapa
bahasa juga memiliki gender netral dan yang lain mempunyai gender
animate dan inanimat. (Winick, 1958).
22
Untuk memahami konsep gender maka harus dapat dibedakan
antara kata gender dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks
merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelain tertentu.
Misalnya, bahwa manusia berjenis laki-laki adalah manusia yang memiliki
atau bersifat bahwa laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,
memiliki kala menjing dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan
memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuik melahirkan,
memproduksi sel telur, memiliki vagina dan memiliki alat untuk
menyusui. Hal tersebut secara biologis melekat pada manusia yang
berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Artinya bahwa secara biologis
alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat
pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah
dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai kodrat
(Fakih, 1999).
Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex)
adalah kodrat tuhan yang secara permanen berbeda dengan pengertian
gender. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku)
antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni
perbedaan yang bukan ketentuan tuhan melainkan diciptakan oleh manusia
(bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Jadi,
perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki bukanlah sekedar
biologis, namun melalui proses kultural dan sosial. Dengan demikian
23
gender dapat berubah dari tempat ketempat, dari waktu kewaktu, bahkan
dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak
berubah. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan tuhan, oleh karena itu
gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki
dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan
kata lain, gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam
peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan
budaya setempat. Peran-peran sosial yang dikonstruksikan ioleh
masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan
perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut
dapat dilakukan oleh keduanya, dalam (Nugroho, 2008).
Perbedaan laki-laki dan perempuan disuku Jawa, kehidupan laki-
laki dan perempuan di Jawa menganut sistem bilateral, alur keturunan
diambil dari kedua belah pihak, laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu).
Meskipun demikian dalam prakteknya kehidupan laki-laki dan perempuan
di Jawa lebih condong kearah patrilinear (alur laki-laki). Hal itu nampak
dalam sistem pembagian warisan “sepikul segendong”. Dalam pewarisan
biasanya anak laki-laki mendapat 2/3 bagian sedangkan anak perempuan
mendapat 1/3 bagian. Dengan demikian kedudukan laki-laki diakui lebih
tinggi dan peranan laki-laki lebih diutamakan, tanggung jawab dalam
keluarga juga ada ditangan laki-laki (dalam Loekmono, 1982).
24
Dalam masyarakat Etnis Jawa bentuk dari penggolongan gender
lebih terlihat sebagai diskriminasi, antara lain sebagai berikut :
2.6.1. Peminggiran (Marginalisasi). Peminggiran banyak terjadi dalam
bidang ekonomi, misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan
pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan
kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan, hal ini terjadi
karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang
pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja,
masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan,
tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi
ilmu pengetahuan (teknologi).
2.6.2. Penomorduaan (Subordinasi), anggapan bahwa perempuan lemah,
tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya,
mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki.
2.6.3. Citra buruk (Stereotip) yaitu pandangan buruk terhadap
perempuan, misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah
pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.
2.6.4. Kekerasan (Violence), yaitu serangan fisik dan psikis, Perempuan,
pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait
dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas,
Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan merupakan contoh
kekerasan paling banyak dialami perempuan.
25
2.6.5. Beban kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab
perempuan yang berat dan terus menerus, misalnya, seorang
perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan,
menyusui, juga harus menjaga rumah, disamping itu, kadang
individu tersebut juga ikut mencari nafkah, dimana hal tersebut
tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab lain yang
telah dibebankan pada perempuan.
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang
biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta
tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih
dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan
kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender.
Perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke
private property dan system exchange yang semakin berkembang,
menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan
diperhadapkan dengan faktor produksi.
Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari
kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan
khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa
agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau
agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai keadaan
sebenarnya, bukannya apa adanya. Ketimpangan peran sosial berdasarkan
26
jender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama
dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak
menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik
“kesadaran” teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk
memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum
perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam
masyarakat.
2.7 Kajian yang relevan
Hasil berbagai penelitian pun terungkap berbagai masalah yang
dialami oleh siswa. Hasil-hasil penelitian tersebut antara lain;
Anis (2000) Penelitian ini bersifat deskriptip korelasional,
menggambarkan bagaimana masalah-masalah yang dialami oleh siswa
kelas XI caturwulan I tahun ajaran 1999 di SMU N Tumpang Malang.
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMU N Tumpang yang
berjumlah 80 siswa yang diambil secara acak. Ceklis yang digunakan pun
juga memakai ceklis yang disusun oleh Ross L Mooney & Leonard V.
Gordon, Hasilnya menunjukan masalah kesehatan dan perkembangan fisik
52%, masalah keuangan, kondisi kehidupan dan pekerjaan 32%, masalah
aktivitas sosial dan hiburan 42%, masalah hubungan psikologi social 39%,
masalah hubungan psikologi pribadi 29%, masalah asmara, seks dan
perkawinan 48%, masalah rumah tangga dan keluarga 25%, masalah
agama dan moral 29%, masalah penyesuaian terhadap sekolah 33%,
27
masalah bidang pendidikan dan kejuruan dimasa depan 25%, masalah
kurikulum dan prosedur pengajaran 10%.
Intan (2008) meneliti Masalah-masalah yang dihadapi pada
siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri di kota Malang.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mooney Problem
Check List, Hasil analisis data mengenai perbedaan Masalah antara siswa
perempuan dan laki-laki menunjukan koefesiensi F = 2,457 dengan p =
0,118. Nilai rata-rata masalah laki-laki 111,76 dan perempuan 113,77.
Kesimpulan penelitian Intan (2008) menunujukan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan Masalah antara siswa perempuan dan laki-laki.
2.8 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, teori–teori dan hasil penelitian yang
relevan, maka dapat diajukan hipotesis, sebagai berikut:
Ada perbedaan yang signifikan seriusnya masalah yang dihadapi siswa
etnis Jawa berdasarkan jenis kelamin di SMA Sudirman Bringin dan SMA
N 1 Bringin tahun ajaran 2011/2012.