BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/81181/5/5. BAB II titin.pdf · Dunst...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/81181/5/5. BAB II titin.pdf · Dunst...
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian Navarette (2015) ingin mengetahui tentang strategi pendidik
yang digunakan untuk menilai perkembangan Anak Usia Dini. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa pendidik mempunyai beragam pandangan,
serta penggunaan alat dan metode yang berbeda dalam melakukan proses
penilaian. Data yang didapatkan pada saat penilaian menunjukkan bahwa
kolaborasi antara guru dengan orang tua dan guru dengan rekan kerja lain
sangat mempengaruhi proses penilaian tersebut. Selain itu kualifikasi dan
kompetensi guru berpengaruh terhadap persepsi guru. Selanjutnya menurut
penelitian Navarette, hasil asesmen di awal tahun pembelajaran dapat
memberikan gambaran kondisi anak dan persepsi orang tua tentang anak dan
pendidikan untuk anak.
Penelitian lain dilakukan oleh Ajayi (2019) di Nigeria yang melihat
proses penilaian di sekolah untuk anak usia dini, dimana pada prosedur
tersebut digunakan sebuah strategi agar dapat diambil keputusan tentang
tingkat perkembangan anak dan metode pembelajarannya. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa prosedur penilaian untuk anak-anak pra Sekolah Dasar
kurang sesuai karena penggunaan alat dan metode yang kurang sesuai dengan
perkembangan anak, yaitu hanya menggunakan kertas dan pensil untuk
belajar.
2
Penelitian yang dilakukan oleh Masithah, Mariani, Chee dan Yusof
(2019), yang melihat pada pengembangan otentik asesmen yang mengacu
pada tujuan pembelajaran yang dilaksanakan di Malaysia, menunjukkan
bahwa semua anak dapat melakukan tugas yang diberikan dengan tingkat
kesulitan yang berbeda.
Sementara itu Gleason dan Zeanah (2010) meneliti efektifitas ECSA
(Early Childhood Screening Assessment) yaitu sebuah metode pengukuran
perkembangan anak (tes skrining) untuk mengukur sosial emosional anak.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa melalui tes ini akan
diidentifikasi anak-anak yang memerlukan perhatian khusus terutama
berkaitan dengan perkembangan sosial emosionalnya.
Kelvey, Mansell, Burrow, Swindle dan Fitzgerald (2016) melihat
keefektifan kunjungan rumah dalam membuat penilaian anak usia dini
terutama bagi anak-anak yang diabaikan oleh orang tuanya dan anak-anak
yang mengalami pelecehan. Diketahui pula bahwa dampak negatif pada anak-
anak yang mengalami masalah tersebut sangat buruk. Selanjutnya peneliti
menyarankan adanya pengembangan penilaian ini untuk digunakan sebagai
intervensi awal pembelajaran anak dan meningkatkan ketahanan keluarga.
Penelitian Fitzgerald (2016) menyusun perspektif yang berbeda dalam
melakukan penilaian yaitu dengan menggunakan cerita naratif. Sistem
penilaian di Aotearoa, Selandia Baru menggunakan metode penilaian naratif,
dalam bentuk Learning Stories. Penelitian tersebut menemukan adanya
dukungan literatur bagi pendidik yang tepat, guna memaknai setiap penilaian
3
yang dibuat. Penilaian tersebut juga dikaitkan dengan perencanaan
pembelajaran dan perencanaan penilaian itu sendiri agar dapat dilihat
keterpaduan antara perencanaan dan penilaian.
Penelitian yang dilakukan Riley, Miller dan Sorenson (2016),
menemukan bahwa penilaian harus sejalan dengan tujuan pembelajaran dan
strategi intervensi pembelajarannya. Dalam hal ini penilaian otentik sangat
membantu dalam mengumpulkan informasi yang valid tentang perkembangan
anak terutama bagi anak yang mengalami keterlambatan perkembangan,
gangguan intelektual yang signifikan dan anak berkebutuhan khusus lain.
Penilaian yang biasa dilakukan (tradisional) biasanya sudah terstandar dengan
perkembangan anak normal. Hal ini dirasa kurang efektif bagi anak-anak
yang mengalami masalah perkembangan. Penilaian tradisional tersebut juga
kurang sensitif untuk melihat kemajuan perkembangan anak atau hanya
sekedar melihat sedikit perubahan. Sedangkan penilaian otentik membatu
mengisi celah ini dengan menggunakan metode naturalistik yang berkaitan
dengan dunia anak. Informasi yang diperoleh dari pendekatan ini kemudian
digunakan untuk merekomendasi dan mengintervensi perkembangan anak.
Penilaian otentik juga diteliti oleh Gourgiotouz dan Pekis (2017) dimana
dalam penelitian ini bertujuan mengeksplorasi persepsi orang tua akan
pentingnya penilaian bagi perkembangan anak, orang tua terlibat aktif dalam
penilaian yang dilaksanakan. Orang tua yang terlibat adalah sebanyak 18
orang dan 80% orang tua yang ikut terlibat dalam penelitian menyatakan
manfaat penilaian otentik telah sesuai dengan kebutuhan baik anak, orang tua
4
maupun guru untuk melihat perkembangan anak dan mementukan kebutuhan
belajar anak.
Intyre dan Golya (2016) melihat penilaian yang berkaitan dengan
perilaku anak, dimana saat ini banyak anak-anak yang bermasalah dengan
ketuntasan aspek sosial emosinalnya di usia dini. Akhir-akhir ini banyak anak
yang berperilaku menentang bahkan banyak pula yang mengalami gangguan
atau kesulitan dalam pengendalian emosi hingga anak-anak yang bermasalah
dengan kesehatan mentalnya. Dari berbagi penelitian menunjukkan bahwa
adanya hubungan yang erat antara masalah sosial yang dialami anak dimana
hal tersebut mengakibatkan permasalahan pola perilaku anak dan pada
akhirnya berpengaruh pada akademisnya. Melalui FBA (Function Behavioral
Assessment) yaitu sebuah pendekatan penilaian yang menjanjikan untuk
memberikan informasi dari berbagai sumber dalam upaya menentukan tujuan
perilaku dan mengembangkan rencana perilaku yang hendak dicapai.
Sementara itu Burch dan Evangelista (2016) melihat dari berbagai kasus
penitipan anak di Head Start dimana di lembaga tersebut kurang memenuhi
standar kualifikasi yang telah dicantumkan oleh pemerintah setempat. Hal
tersebut terlihat pada kurikulum, penilaian dan fasilitas yang dimiliki oleh
lembaga penitipan anak. Melalui metode penilaian komunikasi dua arah yaitu
antara guru dan orang tua, berbagai permasalahan yang ada dapat tertangani
dengan baik. Permalahan ini berimplikasi positif pada anak yang diagnosa
memiliki perkembangan yang berbeda dengan anak lain juga pada anak yang
memiliki permasalahan pada aspek sosial emosional. Komunikasi ini juga
5
berakibat pada penataan lingkungan belajar yang mendukung pada motivasi
belajar anak.
Dunst (2017), meneliti tentang penggunaan ceklist sebagai alat penilaian.
Ceklist ini berisi pertanyaan atau indikator capaian dan langkah-langkah
untuk pengisian ceklist. Dunst membuktikan adanya hubungan terus menerus
antara proses pembelajaran dan hasilnya melalui penilaian ini.
Penelitian tentang penilaian anak usia dini di Indonesia telah banyak
dilakukan, baik dari mulai perencanaan penilaian, proses hingga pelaporan.
Banyak pula guru yang telah melakukan beberapa prosedur penilaian dengan
benar, namun masih banyak dijumpai permasalahan dalam penilaian untuk
anak usia dini di Indonesia saat ini.
Suyadi (2016) meneliti tentang bagaimana guru-guru PAUD di
Yogyakarta melakukan perencanaan asesmen perkembangan anak untuk
menilai proses pembelajaran anak juga untuk mengetahui hambatan dalam
proses asesmen tersebut. Suyadi melihat guru-guru tersebut telah mengacu
pada STPPA (Standart Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak) sebuah
standar yang telah dicanangkan dalam Peraturan Pemerintah melalui
peraturan Menteri Pendidikan nomor 146 tahun 2014. Guru-guru tersebut
menggunakan teknik observasi, hasil karya dan portofolio untuk melihat
gambaran umum perkembangan anak. Teknik ini dirasa mudah untuk
dilakukan oleh guru dibandingkan dengan teknik yang lain.
Menurut Yanti, Baharudin dan Surahman (2017), yang meneliti tentang
pengetahuan guru PAUD dalam merancang evaluasi Pembelajaran Anak Usia
6
Dini, ditemukan bahwa belum semua guru PAUD mampu merancang
evaluasi pembelajaran. Rata-rata mereka baru mengetahui konsep dasar
evaluasi, macam-macam alat/instrumen evaluasi dan prosedur pembuatan alat
evaluasi. Guru juga kurang memahami prinsip dalam pemberian skor
penilaian (guru belum dapat membedakan nilai dan skor). Penilaian yang
akan digunakan oleh guru, baik teknik, alat hingga pelaporan, hendaknya juga
direncanakan terlebih dahulu dengan melihat keterkaitan dengan perencanaan
pembelajaran, manfaat maupun efek yang dicerna oleh orang tua.
Hani (2019) meneliti tentang kesulitan guru dalam memilih instrument
evaluasi, akibatnya antara Perencanaan Pembelajaran yang telah dibuat
dengan lembar evaluasi tidak sesuai. Penelitian yang dilakukan di Cendekia
Kid’s School madiun ini menghasilkan kesimpulan, bahwa alat evaluasi yang
digunakan guru untuk mengevaluasi perkembangan anak mempunyai
kekurangan dan kelebihan masing-masing. Pada akhirnya guru dapat
menentukan sendiri alat evaluasi yang sesuai dengan perencanaan yang telah
dibuat dengan mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan pada alat
evaluasi tersebut.
Penelitian Rohita dan Nurfadilah (2017), menunjukkan bahwa beberapa
TK menggunakan lembar kerja yang berisi rangkuman materi dalam satu
semester. Namun ditemukan juga beberapa lembaga yang menggunakan
prinsip penilaian alami, bermakna, otentik holistik individual serta multi
sumber dan multi konteks. Permasalahan yang ada adalah bahwa guru belum
memahami subyek penilaian dengan pemahaman sasaran penilaian masih
7
kurang karena yang dinilai hanya aspek kognitif dan Bahasa, sedangkan pada
penggunaan metode untuk mengumpulkan data berupa alat penilaian yang
sering digunakan adalah lembar kerja. Selain itu pelaksanaan penilaian
pembelajaran khususnya semester tidak berdampak pada perencanaan
pembelajaran selanjutnya.
Penelitian lain menunjukkan adanya penggunaan alat observasi,
wawancara bercerita, tanya jawab dan eksperimen (Rahmawati: 2018) bukan
hanya dengan lembar kerja. Sejalan dengan permasalahan yang dialami oleh
lembaga terkait dengan kompetensi pedagogi, maka lembaga tertentu
meningkatkan kompetensi pendidiknya melalui berbagai diklat dan pelatihan.
Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanifah dan Fitria
(2018), evaluasi yang dilakukan pada Pos PAUD Dahlia menggunakan cara
pengamatan, anekdot, portofolio dan hasil karya anak. Guru mencatat
pertumbuhan dan pengembangan anak yang disandingkan dengan
perencanaan yang telah dibuat. Hal-hal yang dicatat adalah kekurangan atau
belum tercapainya pembelajaran pada anak, selain itu prestasi anak dan
keberhasilan program juga menjadi catatan penting guru.
Penelitian yang dilakukan oleh Weni, Hasmalena dan Syafdaningsih
(2017) melihat seberapa banyak guru yang melaksanakan penilaian di
kecamatan Belitang, Oku Timur, Bengkulu, penelitian tersebut menunjukkan
68% TK telah melaksanakan penilaian dengan kriteria baik. Permasalahan
lain yang muncul yaitu adanya keterlibatan orang tua yang kurang. Kita
ketahui bersama bahwa kegiatan anak disekolah rata-rata 3 hingga 5 jam per
8
hari, jadi aktivitas anak banyak dilakukan di rumah. Munculnya
perkembangan anak bisa saja terjadi di luar sekolah (rumah) maka
keterlibatan orang-orang disekitar anak sangat besar pengaruhnya dalam
penilaian.
Pelaporan hasil evaluasi dikomunikasikan dengan orang tua yang
kemudian terjadi komunikasi dua arah yaitu antara orang tua dengan guru
(Akhsanti: 2014). Penelitian Akhsanti selain melihat pada proses penilaian
yang dilakukan juga melihat kemanfaatan dan factor-faktor yang
mempengaruhi penilaian tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa TK Al
Mubaarok telah melakukan penilaian sesuai dengan aturan yang berlaku saat
itu (PERMEN 58 tahun 2009), pada saat melaporkan hasil evaluasi ini
mereka juga menggunakan hasil evaluasi ini untuk membuat perencanaan
pembelajaran. Sebelum melakukan perencanaan terlebih dahulu guru
mendiagnosa kesulitan belajar anak kemudian anak tersebut dibimbing dan
dimotivasi guna menentukan tujuan pembelajaran, pengembangan materi,
pengembangan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, pengembangan
media, merencanakan evaluasi berikutnya dan mengorganisasikan kelas.
Damayanti, Hartika, Herawati, Lisna, Jannah, Pratiwi (2018), meneliti
penerapan menejemen penilaian di TK Citra Samata Kabupaten Gowa. Lima
tahapan menejemen penilaian telah dilaksanakan yaitu perencanaan penilaian
yang dicantumkan dalam RPPH, pelaksanaan pencatatan, pengolahan hasil
belajar (yaitu dengan menggabungkan beberapa data), pengarsipan dan
pelaporan.
9
Mulyaningsih (2018) melihat perangkat evaluasi pembelajaran yang
digunakan di beberapa lembaga di Makasar menunjukkan bahwa aspek yang
dievaluasi guru telah dilakukan secara menyeluruh. Namun belum sesuai
dengan prinsip evaluasi yang ada. Bahkan mereka jarang melakukan evaluasi
atau dilakukan tetapi belum menggunakan metode, strategi maupun alat yang
tepat.
Kinasih, Amalia dan Priyambadha (2017) melihat adanya penggunaan
evaluasi berdasarkan acuan dari Kurikulum 2013 PAUD yaitu menggunakan
catatan anekdot, hasil karya dan ceklist di PAUD Seruni 05 Kota Malang.
Hasilnya guru mencatat perkembangan anak kurang detail sehingga masih
dibutuhkan waktu untuk mempelajari lebih. Adanya permasalahan tersebut
menjadikan Kinasih, Amalia dan Priyambadha mengembangkan metode RUP
(Rational United Process) yaitu sebuah metode evaluasi dengan
menggunakan perangkat android terbukti dapat membantu menyajikan hasil
evaluasi yang detail pada setiap anak.
B. Kajian Teori
1. Perkembangan Anak Usia Dini
a. Pengertian
Seringkali perkembangan dikaitkan dengan pertumbuhan. Menurut
Hurlock (1978: 23) pertumbuhan lebih diartikan perubahan kuantitatif
yaitu meningkatnya ukuran dan struktur, sedangkan perkembangan
adalah perubahan yang berkaitan dengan kualitatif dan kuantitatif lebih
10
jauh diartikan dengan deretan progresif dari perubahan yang teratur dan
koheren. Progresif merupakan tanda tentang perubahan yang ada karena
diarahkan pada suatu hal, membimbing mereka untuk maju atau bahkan
mundur. Sedangkan “teratur dan koheren” diartikan sebagai hubungan
nyata antara perubahan yang terjadi dan yang terdahulu atau bahkan
mengikuti.
Perkembangan juga dapat diartikan sebagai proses perubahan fungsi
yang terjadi sejak anak lahir. Perkembangan Anak Usia Dini tergantung
pada stimulasi dan gizi yang diberikan orang tua, guru dan lingkungan
sekitar anak. Stimulasi yang tepat dan gizi seimbang dapat melejitkan
potensi anak sesuai dengan fitrohnya. Begitu pula sebaliknya. Stimulasi
untuk anak usia dini dirancang khusus berdasarkan beberapa hal, yaitu
memperhatikan keunikan individu anak, usia dan lingkungan budaya
setempat. Hal ini sesuai dengan konsep perkembangan anak usia dini
dalam Development Appropriate Practice (DAP) yang disampaikan
Glassenapp dalam Megawangi (2005:5).
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 137 Tahun 2014, Perkembangan anak merupakan integrasi dari
perkembangan aspek nilai moral dan agama, fisik-motorik, kognitif,
Bahasa, sosial emosional dan seni. Perkembangan yang dimaksud
merupakan perubahan perilaku yang berkesinambungan dan terintegrasi
dari faktor genetik dan lingkungan serta meningkat secara individual baik
kuantitatif maupun kualitatif.
11
Perkembangan juga dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi
pada anak usia dini yang bersifat progresif, sistematis, permanen dan
berkesinambungan. Perkembangan ini mengikuti pola-pola
perkembangan yang dapat diramalkan dan terjadi akibat interaksi dengan
lingkungan serta bakat bawaan yang dimilikinya.
Kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan terutama
untuk anak usia dini adalah perubahan baik kualitatif maupun kuantitatif
diarahkan dan dibimbing pada suatu hal baik yang berakibat pula pada
perubahan fungsi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun
internal.
b. Tahapan Perkembangan Anak Usia Dini
Menurut Piaget, anak usia dini memahami tentang suatu hal melalui
4 (empat) tahap yaitu : tahap sensorimotor (0 sampai 18 bulan), tahap pra
opersional (usia 18 bulan hingga 7 atau 8 tahun), tahap opersional konkrit
(8 sampai 12 tahun) dan tahap formal operasional (12 tahun sampai usia
dewasa). Sementara itu Eric Ericsson menyoroti perkembangan dari
aspek emosi. Menurut Ericsson emosi yang positif sangat berpengaruh
pada perkembangan jiwa anak. Pada saat anak berusia 0 hingga 10 tahun,
mereka dihadapkan pada 2 (dua) emosi yang saling bertolak belakang
yaitu percaya dan tidak percaya (usia 0 hingga 18 bulan), kemandirian
dengan malu atau tidak percaya diri (usia 18 bulang hingga 3,5 tahun),
12
tahap inisiatif dengan merasa malu (usia 3,5 tahun hingga 6 tahun) dan
tahap berkarya dengan minder (usia 6 tahun hingga 10 tahun).
Hampir sama dengan pendapat Piaget, Vygotsky (18961934)
mengemukakan bahwa anak akan mudah memahami sesuatu jika
dihadapkan dengan obyek konkrit (nyata). Vygotski menyoroti tentang
perkembangan bahasa anak sangat perpengaruh terhadap pemikiran anak,
pada awalnya mungkin anak hanya mengoceh yang mungkin tidak ada
artinya, namun pad usia 6 tahun anak akan menggunakan bahasanya
untuk belajar.
Sementara itu dalam penelitian yang dilakukan oleh NAEYC (2002)
perkembangan anak usia dini dipengaruhi kurikulum, Asesmen dan
program PAUD. Dalam arti bahwa pendidikan anak usia dini harus
memperhatikan tahap perkembangan setiap anak juga keunikan setiap
individu yang dipengaruhi oleh lingkungan sehingga tidak akan terjadi
“pemaksaaan” sebuah kemampuan pada anak seperti kehendak orang
dewasa.
Indonesia memiliki standar perkembangan anak usia dini yang
tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 137 tahun 2014. Standar ini dinamakan Standar
Tingkat Pencapaian Perkembangan (STPPA). Standar ini menjadi salah
satu acuan PAUD di Indonesia dimana didalamnya terdapat 6 (enam)
aspek perkembangan yaitu nilai agama dan moral, kognitif, fisik motorik,
13
sosial emosional, bahasa dan seni. Standar ini merupakan acuan yang
digunakan untuk mengembangkan kurikulum PAUD.
STPPA berisi standar kemampuan anak yang terdiri dari sepuluh
kelompok usia yaitu 0-3 bulan, 3-6 bulan, 6-9 bulan, 9-12 bulan, 12-18
bulan, 18-24 bulan, 24-36 bulan, 3-4 tahun, 4-5 tahun dan 5-6 tahun.
Masing-masing kelompok usia memliki lingkup perkembangan yang
sama namun dengan kompetensi berbeda. Sebagai contoh kelompok usia
12-18 bulan pada aspek Nilai Agama dan Moral kompetensi yang dicapai
adalah “Tertarik pada kegiatan (meniru gerakan ibadah, meniru bacaan
doa)” sedangkan usia 18-24 bulan memiliki tiga kompetensi yaitu (1)
Meniru gerakan Ibadah dan doa (2) Mulai menunjukkan sikap-sikap baik
(seperti yang diajarkan agama) terhadap orang yang sedang beribadah,
(3) mengucapkan salam dan kata-kata baik, seperti maaf, terimakasih
pada situasi yang berbeda.
STPPA merupakan salah satu rujukan yang digunakan oleh guru
PAUD dalam melaksanakan program dalam rangka memfasilitasi
pertumbuhan dan perkembangan Anak Usia Dini yang dilayani di Satuan
PAUD. Untuk mencapai standar tersebut dibutuhkan sebuah rumusan
guna mencapai hasil akhir layanan PAUD. Rumusan ini berupa
Kompetensi Inti (KI) dan selanjutnya diurai menjadi Kompetensi Dasar
(KD). Kompetensi dasar ini selanjutnya dibuat materi-materi
pembelajaran yang berkaitan dengan KI dan KD untuk memenuhi
STPPA.
14
Beberapa ahli mengatakan bahwa dalam membuat perencanaan, guru
harus melihat pada evaluasi yang dilakukan guru sebelumnya. Hal ini
guna mengidentifikasi kemampuan anak secara individu. Mengingat
keunikan anak dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya maka
guru dianjurkan untuk melihat latar belakang tersebut. Kemudian guru
membuat sebuah peta kemampuan atau perkembangan anak didik.
Dimana didalamnya terdapat identifikasi setiap anak yang menunjukkan
tingkat perkembangan (aspek-aspek dalam STPPA yang sudah tuntas
atau belum).
Dari peta yang diperoleh guru akan menetapkan status
perkembangan anak yang dijadikan acuan guna membuat sebuah
perencanaan pembelajaran yang efektif dan memperhatikan keunikan
setiap individu.
Peta ini juga akan mempengaruhi pada pola pembelajaran anak.
Anak usia dini tidak terpancang harus mengikuti kelas tertentu. Ia akan
mengikuti kelas manapun untuk mengikuti materi yang mendukung
perkembangnnya yang belum tuntas. Maka di sekolah harus saling
bekerjasama terutama dalam perencanaan pembelajaran.
2. Pembelajaran Anak Usia Dini
Pada bagian ini akan dibahas tentang Tujuan adanya PAUD, cara
belajar Anak Usia Dini, Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak,
15
Prinsip Pembelajaran Anak Usia Dini, Model dan komponen pembelajaran
Anak Usia Dini. Lebih lanjut akan dibahas dibawah ini
a. Tujuan PAUD
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003
BAB 1 Pasal 1 ayat 14, menjelaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini
merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut.
Jelas bahwa Satuan atau Lembaga PAUD yang melayani pendidikan
bagi anak usia dini bertujuan untuk membantu tumbuh kembang anak
secara optimal sesuai dengan tingkat pencapaian perkembangannya.
b. Tahap Perkembangan Anak Usia Dini
Terlebih dahulu kita akan mengkaji perkembangan anak menurut
beberapa ahli. Teori Rousseau dalam Crain; (2014; 16-20)
mengemukakan bahwa manusia memiliki 4 tahap perkembangan selama
hidupnya. Tahap Pertama adalah masa bayi (0 sampai 2 tahun), pada
masa ini Anak belajar melalui hal hal nyata yang dilihat, dirasakan
didengar dan dicium, (tahap sensorimotor). Sehingga pembelajarannya
harus dengan hal hal yang nyata dan anak dapat menyentuh, merasakan
dan mencium atau menggunakan panca inderanya untuk belajar.
Pengalaman konkrit ini akan tertanam pada otak anak hingga dewasa.
16
Anak juga akan lebih mudah memahami, menalar dan berkreasi. Jika
guru dapat memfasilitasi dengan berkomunikasi secara terbuka maka
konsep yang disampaikan guru akan menjadi pembelajaran penting bagi
anak. Tahap ke 2 adalah tahap kanak-kanak (2 sampai 12 tahun) pada
tahap ini anak lebih mengembangkan kemampuannya secara independen
selanjutnya tahap akhir kanak-kanak dan dewasa.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun
2014 menjelaskan tentang Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan
Anak (STPPA). Standar Isi, Standar proses, Standar Penilaian, standar
Pendidik Tenaga Kependidikan Standar sarana dan Prasarana, standar
pengelolaa dan standar pembiayaan.
Peraturan Menteri tersebut menjelaskan bahwa standar PAUD
sebagai Penjamin mutu pendidikan anak usia dini dalam rangka
memberikan landasan untuk; (1) melakukan stimulasi pendidikan dalam
membantu tumbuh kembang jasmani dan rohani sesuai dengan tingkat
pencapaian perkembangan anak; (2) mengoptimalkan perkembangan
anak secara holistik dan integratif, (3) mempersiapkan pembentukan
sikap, pengetahuan dan keterampilan anak. Ayat selanjutnya menegaskan
adanya kewajiban untuk mengevaluasi dan penyempurnaan secara
terencana, terarah dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan lokal,
nasional dan global.
17
c. Cara Belajar Anak Usia Dini
Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa anak usia
dini belajar melalui sensori motornya, maka dapat dianalisa dan
diidentifikasi cara belajar anak yaitu melalui (Mulyasa, 2012:32): (a)
Belajar memerankan perasaaan dan hati nurani, perasaan dan hati nurani
adalah merupakan pemberian Tuhan dan akan mempengaruhi pola pikir
dan tindakan seseorang (b) Belajar sambil bermain, setiap anak yang
normal menyukai permainan. Melalui permainan anak mendapatkan
pengalaman baik dari segi kognitif, seni, motorik, bahasa, moral, sosial
emosional (c) Belajar melalui komunikasi, interaksi dan sosialisasi. Anak
mulai bergaul dengan teman sebaya. Pengalaman yang diperoleh dapat
membentuk sikap perilaku anak (d) Belajar dari lingkungan. Cara belajar
anak terbentuk dari lingkungan dan tantangan dari sekitarnya (e) Belajar
memenuhi hasrat dan kabutuhannya. Hasrat dan kebutuhan baik
fisiologis organis (makan, minum) maupun psikis (kasih sayang, rasa
aman) anak usia dini sangat berpengaruh terhadap perkembangannya.
Cara belajar anak usia dini menurut buku pedoman Pengelolaan
Pembelajaran Anak Usia Dini (2015: 4-6) adalah (a) anak belajar secara
bertahap; (b) cara berpikir anak bersifat khas; (c) anak belajar dengan
berbagai cara, dan (d) anak belajar saat bersosialisasi.
18
d. Prinsip Pembelajaran Anak Usia Dini
Pada prinsipnya pembelajaran di lembaga PAUD adalah (1) belajar
melalui bermain; (2) berorientasi pada perkembangan anak, (3)
berorientasi pada kebutuhan anak secara menyeluruh, (4) berpusat pada
anak, (5) pembelajaran yang aktif, (6) berorientasi pada pengembangan
karakter, (7) berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup, (8)
lingkungan yang kondusif, (9) berorientasi pada pembelajaran
demokratis, dan (10) menggunakan berbagai media dan sumber belajar.
e. Tujuan Pembelajaran Anak Usia Dini
Berbicara tentang tujuan pembelajaran PAUD yang merupakan
rumusan hasil pendidikan yang diinginkan, dimana didalamnya terdapat
tujuan yang menjadi target pembelajaran dan menyediakan pilar yang
memuat pengalaman belajar bagi anak. Tujuan ini merupakan dasar
untuk mengukur hasil pembelajaran, dan juga menjadi landasan untuk
menentukan isi pelajaran dan metode mengajar. Berdasarkan isi dan
metode itu selanjutnya ditentukan kondisi-kondisi kegiatan pembelajaran
yang terkait dengan tujuan tingkah laku tersebut, yang disebut sebagai
kondisi internal.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bahwa tujuan PAUD adalam membantu Tumbuh kembang
Anak Usia Dini menjadi anak atau generasi yang berkualitas. Dengan
kata lain tujuan PAUD adalah membantu tumbuh kembang anak usia dini
19
secara optimal melalui layanan yang berkualitas agar tercapai generasi
yang cerdas, tangguh dan berkualitas.
Tujuan pembelajaran bagi anak usia dini terstruktur dalam sebuah
kurikulum. Mulai tahun 2015 PAUD menggunakan pedoman kurikulum
tahun 2013 dimana didalamnya dijabarkan maksud dan tujuan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 dan 146 tahun 2014
tentang standar dan kurikulum 2013 PAUD.
f. Model Pembelajaran Anak Usia Dini
Berbagai model telah dikembangankan oleh pakar pendidikan anak
usia dini di dunia guna mencapai tujuan pembelajarannya. Berikut akan
diuraikan beberapa metode yang sering digunakan:
1) Model Pendekatan Sudut
Model ini memberikan kesempatan pada anak untuk belajar
lebih dekat dengan lingkungan sekitar (PAUD Jateng: 2015). Disebut
sebagai “sudut” karena kegiatannya dengan berbagai sudut. Biasanya
guru menyediakan 2 hingga 5 sudut kegiatan. Sudut kegiatan tersebut
adalah Alam Sekitar, Ketuhanan, Pembangunan, Keluarga dan
Budaya. Setiap sudut akan disediakan alat main yang bervariasi sesuai
dengan tema yang diangkat saat pembelajaran.
Pembelajaran dilaksanakan rata-rata sekitar 2 jam dalam sehari
dengan kegiatan antara lain: Pembukaan (30 menit), Inti (60 menit)
dan Penutup (30 menit). Dalam kegiatan pemukaan guru mengajak
20
anak untuk mengucap salam, bernyanyi, berdoa, kegiatan fisik
motoric dan membicarakan tema juga kegiatan hari itu. Kegiatan inti
diisi dengan bermain di sudut yang telah disediakan guru, anak dapat
memilih di sudut mana yang ingin dimainkan, guru hanya memberi
motivasi pada anak untuk memilihnya. Pada kegiatan akhir anak
diajak untuk bersama-sama membersihkan kelas atau mengembalikan
mainan di tempat yang telah ditentukan. Setelah itu guru mengajak
anak untuk kembali pada kelas untuk bernyanyi, bercerita,
mendiskusikan kegiatan hari itu, memberikan informasi tentang
kegiatan yang akan dilakukan esok hari, berdoa dan pesan-pesan
untuk anak.
Penilaian perkembangan anak dengan model sudut adalah
dengan observasi, yaitu mencatat langsung kegiatan anak dan
perkembangannya.
2) Model Kelompok dengan Kegiatan Pengaman
Model ini merupakan model dengan 3 kegiatan main dan satu
pengaman, dimana anak dalam satu kelas akan dibagi menjadi 3
kelompok kegiatan (PAUD Jateng: 2015). Setiap anak harus
mengikuti tiga kegiatan main yang disediakan guru. Masing-masing
kelompok akan menempati dalam tiga tempat main. Apabila anak
akan berganti tempat, sedangkan tempat yang akan dituju masih ada
anak lain maka guru menyediakan kegiatan pengaman untuk
digunakan anak yang akan berpindah tadi.
21
Pengelolaan kegiatan dilakukan hampir sama dengan model
sudut dengan waktu rata-rata 2,5 jam perhari. Diawali dengan
kegiatan pembukaan selama (+ 30 menit) diisi dengan kegiatan
bernyanyi, berdoa, berdiskusi pengalaman anak, tema dan kegiatan
yang akan dilakukan anak hari itu. Dilanjutkan dengan kegiatan inti
selama + 60 menit, pada kegiatan ini anak dapat bereksplorasi dengan
berbagai kegiatan yang disiapkan guru. Anak juga dapat
bereksperimen, membuat pemahaman-pemahaman baru,
memunculkan inisiatif, kemandirian, kreatifitas dn mengembangkan
kebiasaan baik lain. Setelah kegiatan inti, anak diberikan kesempatan
untuk beristirahat dan makan selama + 30 menit. Manfaat kegiatan ini
adalah untuk membiasakan anak dengan makan makanan bergizi
dengan adab makan yang benar menurut budaya setempat dan waktu
yang tersisa digunakan untuk bermain di luar kelas untuk
mengembangkan aspek fisik motoriknya. Kegiatan terakhir adalah
penutup selama +30 menit, diisi dengan bercerita, memaknai kegiatan
hari itu, berdoa dan pesan-pesan.
Penilaian model kelompok hampіr sama dengan model sudut
yaitu dengan mengamati kegiatan dan mencatat setiap perkembangan
yang muncul pada anak.
3) Model Pembelajaran Sentra
Model ini mengadopsi model pembelajaran yang
dikembangkan oleh Pamela Phelp (Beyond Centre and Circle Time
22
atau BCCT) sebuah metode yang telah teruji mengembangkan potensi
anak dengan lebih maksimal.
Awal pembelajaran anak diajak untuk duduk bersama untuk
diberikan pijakan sebelum bermain (PAUD Jateng: 2015). Hampir
sama dengan model pembelajaran lain, namun pada kegiatan ini anak
lebih dalam dikenalkan dengan tema, cara bermain dan aturan main.
Kegiatan awal dilakukan sekitar 30 menit. Kegiatan selanjutnya
adalah kegiatan inti, yaitu bermain di sentra. Kegiatan ini dilakukan
sekitar 60 menit untuk memaksimalkan potensi anak. Kegiatan inti
biasa disebut dengan pijakan saat main. Saat ini guru memberikan
motivasi pada anak, memberikan pengalaman baru tentang permainan
dan memberikan contoh komunikasi dan penyelesaian masalah
(misalnya anak sedang berebut). Dalam satu hari guru dapat membuka
satu sentra dengan berbagai kegiatan. Sentra yang biasanya dibuka
adalah Persiapan, Balok, Bahan Alam, Seni, IMTAQ. Beberapa
lembaga mengembangkan sentra lain yaitu memasak, olah raga, fisik
motoric dan sebagainya. Kegiatan terakhir adalah penutup dimana saat
kegiatan ini diberikan kesempatan bagi anak untuk berlatih
tanggungjawab dengan mengembalikan mainan yang telah ia mainkan
ke tempat semula dengan rapi dan siap digunakan lagi, anak juga
diberi kesempatan untuk mengingat kembali pemainan apa yang ia
mainkan saat itu dan konsep apa yang ia temukan saat itu. Selanjutnya
anak diajak untuk berdoa dan diberikan pesan-pesan.
23
Penilaian model ini dilakukan dari awal hingga berakhirnya
kegiatan melalui pengamatan (observasi).
4) Model Area
Model ini hampir sama dengan model sudut, dimana didalamnya
anak diberi kesempatan untuk memilih area bermain, selain itu
keluarga dilibatkan dalam proses pembelajaran. Anak juga berperan
diajarkan untuk menghormati budaya.
g. Komponen Pembelajaran Anak Usia Dini
Berbagai strategi untuk mencapai tujuan pembelajaran dapat
dilakukan seorang guru. Salah satunya dengan mengembangkan desain
pembelajaran. Banyak tokoh telah meneliti dan mengembangkan desai
pembelajarn ini. Diantaranya adalah Dick dan Carey, Bella H Banathy,
Kemp, Gerlac dan Elly, Gagne dan Bruggs, Wong dan Roullerson dan
masih banyak lagi.
Menurut Bella H Banathy (1972) dalam Nurmaya (2015) telah
mengembangkan sebuah desain pembelajaran yang mengutamakan hasil
dengan pendekatan sistem, yaitu pendekatan yang didasarkan pada
kenyataan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu hal yang
sangat kompleks, terdiri atas banyak komponen yang satu sama lain
harus bekerja sama secara baik untuk mencapai hasil yang sebaik-
baiknya. Pendekatan sistem ini saling berinterelasi dan berinteraksi untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Pada langkah
24
terakhir para pengembang diharapkan dapat melakukan perubahan dan
perbaikan sehingga tercipta suatu desain yang diinginkan.
Komponen pembelajaran Anak Usia Dini menjadi dan merupakan
acuan dalam menetapkan langkah-langkah pengembangan, sebagai
berikut :
a. Merumuskan tujuan (formulate objectives).
Perumusan tujuan, oleh Banathy mempunyai 3 langkah yaitu :
(1) Identifikasi masalah (perumusan tujuan umum dalam model
desain pembelajaran). (2) Spesifikasi tujuan, dimana tujuan
merupakan sesuatu yang akan dikerjakan oleh peserta didik setelah
menyelesaikan proses belajar dan merupakan tujuan yang
bermanfaat bagi peserta didik. Tujuan ini kemudian diuraikan
menjadi tujuan-tujuan khusus, yaitu tujuan yang lebih rinci dan
spesifik. Selanjutnya tujuan khusus ini disusun dalam urutan logis.
Atas dasar tujuan inilah isi pelajaran dipilih dan disajikan kepada
peserta didik kelak. (3) Penyusunan tes.
b. Mendesain system pembelajaran (design system)
Desain ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
anak. Tahap mendesain sistem ini merupakan penentuan metode dan
media intruksional yang sangat penting untuk memungkinkan peserta
didik mencapai tujuan intrusional, yang meliputi: (a) Analisis fungsi,
isi dan urutan, (b) Analisis komponen, (c) Distribusi fungsi antar
komponen, (d) Penjadwalan.
25
c. Melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (implement and test
output)
d. Mengadakan Perbaikan
Hasil-hasil yang diperoleh dari evaluasi merupakan umpan balik
(feedback) untuk keseluruhan sistem sehingga perubahan-perubahan,
jika di perlukan dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem
instruksional.
Sementara itu menurut Briggs dalam Prawiradilaga (2007), membuat
langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan pembelajaran sebagai berikut : (a)
Penentuan Tujuan, (b) Perincian Tujuan, (c) Rumusan Tujuan, (d) Analisis
Tujuan, (e) Penyiapan Evaluasi hasil Belajar, (f) Penentuan Jenjang Belajar,
(g) Penentuan Kegiatan Belajar (h) Monitoring Pelaksanaan Kegiatan Yang
Telah Dirancang, (i) Uji Coba dan Revisi.
Dick dan Carrey (2009) dalam Nurmaya (2015) membuat langkah
desain pembelajaran sebagai berikut: (1) Analisa Kebutuhan atau Tujuan
Pembelajaran, (2) Analisis Instruksional, (3) Identifikasi Tingkah laku awal
atau karakteristik anak, (4) Merumuskan Tujuan Pembelajaran Khusus
Berdasarkan Analisis Instruksional, (5) Pengembangan Tes Acuan, (6)
Strategi Pengajaran, (7) Penggunaan Bahan Ajar, (8) Merancang dan
Mengembangkan Evaluasi, (9) Revisi Program Pembelajaran.
Dari beberapa tokoh tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
komponen pembelajaran adalah sebagai berikut: (a) Menentukan Tujuan, (b)
26
Desain system pembelajaran dimana didalamnya terdapat pula analisis
karakteristik dan penentuan metode atau strategi yang tepat untuk digunakan,
bahan ajar atau media yang tepat (c) Pelaksanaan Kegiatan, termasuk
menganalisa hasil ketercapaian pembelajaran atau evaluasi dan (d) Perbaikan
pembelajaran, bagi program yang belum tercapai dan pengembangan
evaluasi.
Komponen Pembelajaran Anak Usia Dini tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a) Penentuan Tujuan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwa Tujuan PAUD adalah untuk membantu
Tumbuh Kembang Anak Usia Dini untuk mencapai Tumbuh Kembang
yang optimal. Jadi adanya lembaga PAUD baik itu TK, RA, BA, KB, TPA
dan SPS harus mendukung tujuan tersebut melalui pelayanannya sesuai
dengan standar pemerintah yang telah ditentukan yaitu STPPA.
Tujuan pembelajaran anak usia dini merupakan deskripsi
perkembangan yang diharapkan pada anak setelah mengikuti proses
belajar mengajar. Secara spesifik tujuan pembelajaran tersebut dapat
dilihat dalam Kurikulum lembaga yang dijabarkan dalam Program
Semester, Perencanaan Mingguan dan Perencanaan Harian.
Kurikulum yang telah dibuat oleh lembaga memuat enam bidang
pengembangan (Nilai Agama dan Moral, Fisik Motorik, Kognitif, Bahasa,
Sosial Emosional dan seni) yang dikemas dalam materi bahan ajar dan
27
digunakan guru untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Materi yang
disajikan untuk anak usia dini berbeda pada sepuluh kelompok usia baik
dari variasi maupun tingkat kesulitannya, baik menurut intensitas dan
densitas mainnya.
Tujuan pembelajaran tersebut kemudian digunakan untuk menentukan
komponen-komponen selanjutnya. Terkait dengan evaluasi pembelajaran
anak usia dini yang melihat tujuan pembelajarannya, maka evaluasi akan
disandingkan dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan guru
sebelumnya. Dengan demikian maka akan dapat dilihat relevansi tujuan
pembelajaran dengan hasil evaluasi.
b) Desain Sistem
Setelah ditentukan standar perkembangan anak, komponen
selanjutnya adalah desain sistem. Pada komponen ini akan ditentukan
karakteristik anak melalui tes skrining atau laporan perkembangan anak di
kelas terdahulu, selanjutnya akan ditentukan metode atau cara yang tepat
untuk mencapai tujuan tersebut. Metode yang tepat juga akan menentukan
media atau bahan ajar yang akan digunakan.
c) Pelaksanaan Kegiatan dan/atau mengetes Hasil
Pada saat melaksanakan kegiatan atau proses belajar mengajar, akan
terlihat kemampuan, minat dan kebutuhan anak. Pada proses ini guru
mencatat perkembangan anak secara apa adanya (tanpa persepsi). Bagi
usia 0 hingga 6 tahun tidak ada tes tertentu untuk mengetahui kemampuan
anak, melainkan dari kegiatan, celoteh, apa yang dilakukan anak akan
28
diketahui status perkembangannya. Sedangkan usia 6 ke atas dapat
dilakukan tes untuk melihat kemampuannya atau mengetahui keberhasilan
programnya.
d) Perbaikan
Setelah diketahui ketercapaian program dalam mengoptimalkan
tumbuh kembang anak, maka akan dapat ditentukan langkah selanjutnya.
Jika terdapat kurang optimalnya program maka pada waktu selanjutnya
akan dikembangkan program dengan menaikkan tingkat kesulitan atau
variasi pengembangan lain atau apabila telah diketahui status
perkembangan anak maka akan dapat dilakukan perencanaan program
yang sesuai dengan kebutuhan anak.
3. Evaluasi Perkembangan Anak Usia Dini
Evaluasi disebut juga sebagai penerapan dan penggunaan berbagai cara
dan alat untuk memperoleh beragam informasi mengenai hasil belajar dan
ketercapaian kompetensi dari peserta didik. Pada dasarnya, evaluasi merupakan
istilah lain dari kata penilaian (Arif, 2018). Evaluasi sebagai salah satu metode
untuk mendapatkan hasil belajar siswa sehingga proses evaluasi ini
dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian
perkembangan dari para peserta didik. Menurut Flottman, Stewart dan Tayler
(2011), evaluasi merupakan kumpulan informasi yang dianalisa sehingga
didapatkan gambaran tentang pengetahuan, kemampuan dan ketertarikan anak.
29
Informasi ini selanjutnya akan berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk
pembelajaran dan perkembangan anak usia dini.
Menurut Seefeldt dan Wasik (2008:234), sekolah mempunyai tanggungjawab
untuk melakukan penilaian pada anak agar diketahui berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan pembelajaran dan segera memberikan tindak lanjut yang sesuai
dengan kebutuhan anak.
Menurut Ellingsen (2016) dalam Garro (2016: 25), penilaian
perkembangan anak merupakan proses kompleks dengan membutuhkan
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang besar. Pada penelitian ini
Ellingsen menitikberatkan pada aspek kognitif. Ia menyimpulkan bahwa
perkembangan aspek ini akan berimplikasi pada kemampuan, keberbakatan,
kelemahan dan perilaku anak. Selain itu Ellingsen juga melihat adanya
pengaruh kuat pada anak, yang tidak dapat kita abaikan yaitu budaya dan pola
asuh, dalam proses menilai anak usia dini.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi merupakan proses
untuk memperoleh data atau informasi dari proses pembelajaran dan juga
memberikan umpan baik terhadap guru ataupun kepada peserta didik.
Dengan kata lain evaluasi memegang peranan penting dalam upaya
peningkatan kualitas pembelajaran. Sehingga banyak hal harus diperhatikan dalam
melaksanakan evaluasi terutama untuk anak usia dini. Bukan hanya pada metode
namun juga beberapa hal yang erat berkaitan dengan proses pembelajaran dan
perkembangan masing-masing individu anak.
Menurut SECA (The Southern Early Childhood Association) (2000)
evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan guna
30
membuat keputusan penting yang berkaitan dengan kebutuhan perkembangan
dan pendidikan mereka. Sedangkan fungsi evaluasi adalah untuk meningkatkan
tumbuh kembang secara optimal, meningkatkan pembelajaran dan
keberhasilan program.
Berbagai pandangan tentang evaluasi atau penilaian pembelajaran anak
mempengaruhi kegiatan penilain tersebut. Penilaian atau evaluasi dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2007 merupakan
proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian
hasil belajar peserta didik.
Secara spesifik dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 137 tahun 2014 tentang Standar Pendidikan Anak Usia
Dini Di Indonesia, bahwa Evaluasi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan
guru dalam menilai pelaksanaan pembelajaran dengan membandingkan antara
perencanaan dan hasil, evaluasi ini nantinya akan digunakan sebagai dasar
pengembangan selanjutnya.
a. Standar penilaian/Evaluasi Perkembangan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 20 tahun 2007 juga
menyebutkan tentang standar penilaian pembelajaran. Standar ini
membicarakan tentang hal hal yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur
dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Peraturan tersebut kemudian disempurnakan pada peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 23 tahun 2016
bahwa standar penilaian pendidikan adalah kriteria mengenai lingkup,
31
tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur dan instrumen penilaian hasil
belajar peserta didik yang digunakan sebagai pendidikan dasar dan
pendidikan menengah (Haksari;2016).
Menurut pengertian diatas dapat kita ambil garis tengah bahwa standar
penilaian merupakan mekanisme, prosedur dan instrumen penilaian hasil
belajar anak didik yang digunakan sebagai dasar pada pendidikan
selanjutnya.
Pada Pendidikan untuk Anak Usia Dini Standar patokan yang
digunakan adalah STPPA. Guru akan menilai perkembangan anak melalui
kegiatan, celoteh dan berbagai hal yang dilakukan anak disandingkan
dengan STPPA yang menjadi dasar pembuatan perencanaan pembelajaran
(kurikulum).
b. Tujuan Evaluasi Perkembangan Anak Usia Dini
Menurut modul Pendidikan Profesi Guru tahun 2019, evaluasi
bertujuan sebagai (1) screening atau penyeleksian, (2) Determining
Eligibility, (3) Program Planing (4) Maping, (5) Monitoring.
Screening atau penyeleksian adalah menyeleksi anak sesuai dengan
program yang dikembangkan di sekolah. Seperti telah kita ketahui bersama
bahwa anak mempunyai potensi masing-masing dan cara belajar yang
berbeda. Melalui screening ini akan didapatkan peta perkembangan anak
dan cara belajar anak yang sesuai.
32
Determining Eligibility merupakan proses untuk mengetahui dan
menetapkan apakah seseorang masuk dalam kategori berkebutuhan khusus
atau tidak. Seringkali dijumpai anak yang berkabutuhan khusus terlambat
penanganannya karena kurangnya mengevaluasi perkembangan anak.
Melalui proses Determining Eligibility dapat ditentukan perkembangan anak
yang membutuhkan perlakukan khusus dalam belajar atau tidak.
Tujuan selanjutnya adalah Program Planing, atau penyusunan
program yang tepat dan sesuai. Penyususnan program ini adalah untuk
mendapatkan gambaran posisi perkembangan anak, dimana nantinya akan
dibuat keputusan pada anak-anak tertentu yang belum tuntas pada
perkembangannya akan diberikan remidi atau yang telah tuntas akan
diberikan program yang lebih tinggi,
Maping adalah untuk mendapatkan gambaran tentang posisi
perkembangan anak dalam sebuah kelompok, dimana hasilnya akan menjadi
acuan guru dalam membuat program yang berbeda sesuai dengan kebutuhan
anak.
Monitoring yaitu untuk memantau perkembangan anak apakah anak
mampu mengikuti program yang diberikan guru.
c. Sasaran Evaluasi
Berbagai sasaran evaluasi dapat dilakukan guru dalam sebuah
program PAUD. Evaluasi yang berkaitan dengan anak didik biasanya adalah
evaluasi program (Content of Program), evaluasi perkembangan (Content of
33
Development) dan evaluasi bermain (Activity for Development). Ada pula
yang membuat sasaran Child Development Based Assessment (CDBA), Play
Based Assessment (PBA) dan Curriculum Based Assessment (CBA).
Sasaran evaluasi yang berbasis perkembangan ditujukan pada tujuan
pembelajaran (content of development) yang terdapat disemua aspek
perkembangan yang digunakan. Hal ini muncul dalam karakteristik perilaku
anak.
Sedangkan evaluasi untuk melihat keberhasilan program biasanya akan
melihat pada ketercapaian kurikulum yang disajikan untuk anak, apakah
anak dapat menguasai keterampilan, pengetahuan dan sikap yang ada dalam
kurikulum tersebut.
Evaluasi lain adalah pada proses pembelajaran (Play Based Assessment)
yaitu sebuah evaluasi tahapan perkembangan anak dilihat dati tahapan
bermainnya (misalnya tahapan main sensori motor, main pembangunan,
main keaksaraan dan sebagainya).
d. Aspek-aspek Evaluasi Dalam PAUD
Aspek aspek yang dinilai dalam evaluasi pembelajaran PAUD
merupakan aspek aspek perkembangan anak usia dini yang terdapat pada
STPPA. Menurut Fauziah (2017: 51) aspek perkembangan adalah potensi
potensi yang terdapat pada diri anak yang harus dikembangkan agar
mencapai perkembangan yang optimal. Aspek perkembangan yang diamati
atau dievaluasi dalam pendidikan anak usia dini menurut Rasyid, Mansyur
34
dan Suratno (2012: 93120) meliputi perkembangan motorik, sosial
emosional, kognitif, bahasa dan tumbuh kembang. Dalam Kerangka kerja
Head Start, aspek yg diamati adalah perkembangan bahasa, kemampuan
baca tulis, matematika, ilmu pengetahuan perkembangan sosial emosional
dan perkembangan fisik dan kesehatan (Morrison, 2012: 150153).
Sementara itu di dalam STPPA aspek yang diamati adalah Nilai agama dan
moral, fisik motorik, kognitif, sosial emosional, bahasa dan seni.
Penelitian ini mengamati 6 aspek perkembangan yang terdapat pada
STPPA, karena kurikulum yang digunakan adalah berdasarkan STPPA.
e. Prinsip Evaluasi
Menurut Lachlan, Fleer dan Edwards (2010) terdapat lima prinsip
evaluasi, yaitu 1) validitas, ketepatan usia, kultur Bahasa dan konteks
pembelajaran, 2) reliabilitas, evaluasi harus mendapatkan informasi yang
tepat sehingga dapat dipercaya, 3) dapat diatur (manageability), apakah
penilaian dilakukan dalam kelompok atau individu, 4) Trustworthiness,
yaitu credibility (berdasar observasi), transferable (spesifik) dan
dependability (terdapat audit proses), dan otentik.
Menurut Buku Pedoman Pendidikan Profesi Guru, (Modul PPG: 2019),
Prinsip penilaian Perkembangan anak usia dini adalah (1) Advokasi
(pendampingan), (2) Kesesuaian Pemrograman, (3) Ketergantungan pada
alat dan metode, (4) Equity (keseimbangan), (5) Komprehensif, (6)
Keahlian Administratif (7) Pragmatis.
35
Advokasi atau pendampingan berkaitan dengan proses belajar anak,
dimana anak masih membutuhkan pendampingan khusus. Beberapa sekolah
telah menerapkan pengelompokkan anak berdasarkan kemampuan. Dengan
pengelompokkan ini akan memudahkan guru dalam membuat program.
Kesesuaian Pemrograman, sekolah perlu untuk membuat sebuah
analisi yang berkaitan dengan kebutuhan anak (Need Assessment Analysis)
dimana hasilnya akan sangat membantu dalam penyususnan dan
pengembangan program sesuai dengan potensi dan kebutuhan anak. Selain
itu juga akan terbaca minat dan gaya belajar masing-masing anak. Hal ini
juga akan berpengaruh pada media dan penataan lingkungan belajar anak.
Ketergantungan pada alat dan metode sangat mempengaruhi proses
evaluasi yang dilakukan guru. Setiap aspek perkembangan yang direncang
oleh guru akan menggunakan media dan metode yang berbeda, hal ini akan
disesuaikan dengan tujuan dan prosesnya. Pemilihan media dan metode
yang tidak tepat tentu saja akan menghasilnya data yang tidak sesuai pula,
maka penggunaan metode dan media harus disesuaikan dengan sasaran
evaluasi yang akan dilakukan.
Equity atau keseimbangan, proses evaluasi perkembangan dilakukan
dengan seimbang, tidak hanya melihat pada salah satu aspek saja. Hal ini
karena setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda maka setiap anak
berhak untuk mengikuti proses evaluasi terhadap semua aspek
perkembangan dengan sama dan seimbang.
36
Komprehensif atau menyeluruh, yaitu proses evaluasi perkembangan
harus dilakukan bukan saja dengan keseimbangan namun juga menyeluruh.
Jika sudah terpampang jelas kompetensi yang dimiliki anak, maka hal ini
akan mempermudah guru dalam mengidentifikasi dan mengalokasikan
asperk perkembangan anak yang membutuhkan perhatian khusus atau tidak.
Keahlian Administratif, bahwa proses evaluasi harus terdokumentasi
dengan baik yang kemudian dianalisa secara professional.
Pengadministrasian yang tertib akan memudahkan guru dalam mendata,
mencari dan menyimpulkan perkembangan anak.
Pragmatis, bahwa hasil evaluasi ini harus bermanfaat bagi anak, guru
dan orang tua. Manfaat bagi guru adalah memudahkan guru dalam
mengelompokkan kemampuan anak yang selanjutnya akan ditentukan
program pengembangan yang tepat. Sedangkan bagi orang tua, selain orang
tua akan mengetahui kemampuan anak dia juga akan dapat berpartisipasi
dalam pengembangan potensi anak di luar sekolah. Bagi anak, mengetahui
kemampuan ini akan berpengaruh pada stimulsi yang akan diterima juga
gaya belajar yang sesuai dengan anak.
f. Prosedur Evaluasi
Proses evaluasi melalui beberapa tahap diantaranya adalah evaluasi
harian, mingguan, bulan dan semester atau LPPA. Berikut akan dijelaskan
masing-masing tahap (Buku Pedoman Penilaian Pembelajaran Pendidikan
Anak Usia Dini (2015: 5)
37
1) Evaluasi Harian
Guru dapat melakukan pengamatan dan pencatatan perkembangan
anak dalam segala kegiatan (dari awal masuk hingga berakhirnya
pembelajaran) baik mulai apa yang diucapkan anak, ekspresi wajah,
gerakan dan karya anak dengan teknik cek list, anekdot dan hasil karya.
Ke tiga teknik tersebut menggunakan empat skala penilaian yaitu BB
(Belum Berkembang) yaitu untuk menggambarkan anak dengan
kemampuan belajar yang masih memerlukan bimbingan dari guru atau
orang dewasa lain, MB (Mulai Berkembang) adalah untuk
mengidentifikasi anak yang mulai melakukan namun masih harus
diingatkan dan dengan bantuan orang dewasa atau guru, BSH
(Berkembang Sesuai Harapan) adalah jika anak telah melakukan tujuan
pembelajaran secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain dan konsisten
dilakukan, BSB (Berkembang Sangat Baik) menggambarkan anak yang
telah mampu melakukan tujuan pembelajaran secara mandiri bahkan
membantu teman yang belum mencapai tujuan pembelajaran (Buku
Pedoman Penilaian, 2015:7). Beberapa TK menggunakan skor angka,
beberapa TK lain menggunakan tanda bintang 1, 2, 3 dan 4 untuk BB,
MB, BSH, BSB, namun ada juga yang menggunakan tanda o, ● dan √
untuk komptensi tahap awal, berkembang dan mampu.
38
2) Evaluasi Mingguan
Pada proses ini guru mengumpulkan hasil evaluasi harian yang telah
ada. Kemudian dianalisa dan dirangkum menjadi evaluasi mingguan.
Munculnya perkembangan anak yang dicatat oleh guru diambil nilai
tertinggi dari penilaian BB, MB, BSH dan BSB. Sedangkan menurut
Harrisburg (2005: 7-12) kemunculan perkembangan anak tidak dapat
dilihat hanya pada sekali waktu, paling tidak muncul tiga kali dalam satu
tahun.
3) Evaluasi Bulan
Guru mengumpulkan komponen penilaian tersebut sebulan sekali
untuk memudahkan menganalisa perkembangan anak yang nantinya akan
digunakan sebagai pertimbangan pembuatan Laporan Perkembangan
Semester.
Setelah terkumpul semua dokumen yang mendukung penilaian
maka proses selanjutnya adalah dengan menganalisa. Perlu diingat bahwa
proses penilaian tidak lepas dari peran orang-orang disekitarnya baik itu
guru pendamping, guru kelas lain juga orang tua.
Rangkuman evaluasi bulan berisi kompilasi data baik dari Ceklist,
anekdot dan hasil karya satu bulan akan disatukan dalam indikator pada
KD yang sama (Contoh pada lampiran 2).
4) Evaluasi Semester
Proses terakhir adalah pelaporan. Pelaporan dapat diartikan sebagai
kegiatan yang mengkomunikasikan baik pertumbuhan maupun
39
perkembangan anak dari guru kepada orang tua berupa deskripsi
kemampuan anak. Pelaporan ini ditulis oleh guru dan disampaikan pada
orang tua dengan tatap muka sehingga diharapkan orang tua dapat
berkomunikasi tentang perkembangan anak dengan guru. Pelaporan ini
dapat dilakukan secara periodik. Secara resmi PAUD memberikan setiap
enam bulan sekali (semester), namun seringkali dilakukan setiap saat
untuk komunikasi secara individual, baik bagi anak-anak yang
bermasalah maupun anak yang normal.
g. Manfaat Evaluasi
Menurut Morrison (2012:159), manfaat Evaluasi tidak hanya bagi
orang tua dan guru, namun anak itu sendiri dan masyarakat juga
merasakan manfaatnya.
1) Bagi anak, ia akan lebih mengenal dirinya, ia juga akan mengenal
kebutuhan yang spesifik untuk dirinya sendiri, ia akan ditempatkan
pada porsinya, kurikulumpun akan disesuaikan dengan kebutuhan
dan ia beserta keluarganya akan diarahkan pada program untuk
mendapatkan layanan tambahan.
2) Bagi Orang Tua, memberikan gambaran kemajuan perkembangan
anak dan menghubungkan kegiatan sekolah dengan rumah.
3) Bagi Program PAUD, dapat membantu membuat keputusan tentang
apa yang baik dan tidak baik bagi anak dan memberikan gambaran
40
tentang sejauhmana keberhasilan program bagi anak dapat
membantu dan diterima anak.
4) Bagi Guru PAUD, mengenali keterampilan, kemampuan dan
kebutuhan anak, membuat perencanaan pembelajaran dan kegiatan
juga menentukan tujuan pembelajaran, mengatur ulang kelas,
memilih materi, membuat keputusan tentang bagaimana
menjalankan kegiatan belajar, melaporkan pada orang tua tentang
status perkembangan dan prestasi anak, mengawasi dan
meningkatkan proses belajar mengajar, memenuhi kebutuhan
individual anak dan mengelompokkan instruksi.
5) Bagi Masyarakat, dapat menginformasikan prestasi anak dan dapat
memberikan landasan kebijakan publik. Saat ini kebijakan publik
terutama yang berkaitan dengan anak masih kurang perhatian,
sehingga dibutuhkan promosi yang gencar tentang kebijakan publik
yang berpihak kebutuhan anak dan mendukung prestasi anak.
Seefeldt dan Wasik (2008:255) melihat manfaat penilaian dari sisi guru
yaitu dapat memberi informasi pada guru tentang perkembangan, kebutuhan
anak serta perbaikan kurikulum juga program sekolah.
Sedangkan menurut Buku Pedoman Penilaian Pembelajaran PAUD
(2015), manfaat penilaian bagi guru adalah dapat merancang program
pengembangan pembelajaran sesuai dengan minat, kekuatan dan kebutuhan
anak. Manfaat bagi orang tua adalah mengetahui informasi tentang kemajuan
41
anak dalam belajar. Jika orang tua dan guru telah mengetahui perkembangan
anak diharapkan mampu bekerjasama dalam melejitkan bakat anak. Bagi anak
sendiri apabila mengetahui perkembangan, minat, kekuatan dan kebutuhannya
maka ia pun akan memilih kegiatan yang sesuai dengan kebutuhannya dan
mengurangi yang tidak sesuai meskipun ia sangat menyukai.
Dari paparan diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa evaluasi dapat
bermanfaat bagi orang tua, guru, anak dan program sekolah. Bagi orang tua,
akan dapat diketahui kekuatan, keterampilan dan prestasi anak atau kemajuan
belajar anak baik di rumah maupun di sekolah. Bagi guru, dapat membuat
program, kurikulum dan media yang tepat, sesuai dengan kebutuhan masing-
masing individu anak, selain itu juga akan menjadi gambaran tingkat
keberhasilan dan kebermanfaatannya. Bagi anak, akan mengetahui prestasi dan
kebutuhan belajar yang sesuai. Bagi program sekolah akan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan kebermanfaatan bagi anak sehingga dapat
dikomunikasikan pada orang tua program yang tepat bagi anak yang akan
dijalankan di sekolah maupun di rumah.