BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang...

33
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pengusaha dan Pekerja 1. Pengusaha Sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 Angka 4 UU Ketenagakerjaan bahwa Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sementara itu di dalam Pasal 1 Angka 5 UU Ketenagakerjaan dijelaskan pula bahwa Pengusaha adalah : a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan hukum miliknya; c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Pada prinsipnya Pengusaha adalah yang menjalankan perusahaannya baik milik sendiri ataupun bukan. Sebagai pemberi kerja, pengusaha adalah seorang pengusaha dalam hubungan kerja dengan pekerja / buruh. Pekerja / buruh bekerja di dalam suatu hubungan kerja dengan pengusaha sebagai pemberi kerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Pengusaha adalah orang yang mempekerjakan orang lain untuk dirinya dengan memberikan upah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengusaha dan Pekerja

1. Pengusaha

Sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 Angka 4 UU

Ketenagakerjaan bahwa Pemberi kerja adalah orang perseorangan,

pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan

tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Sementara itu di dalam Pasal 1 Angka 5 UU Ketenagakerjaan

dijelaskan pula bahwa Pengusaha adalah :

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara

berdiri sendiri menjalankan perusahaan hukum miliknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di

indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pada prinsipnya Pengusaha adalah yang menjalankan perusahaannya

baik milik sendiri ataupun bukan. Sebagai pemberi kerja, pengusaha adalah

seorang pengusaha dalam hubungan kerja dengan pekerja / buruh. Pekerja /

buruh bekerja di dalam suatu hubungan kerja dengan pengusaha sebagai

pemberi kerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Oleh

karena itu, dapat disimpulkan bahwa Pengusaha adalah orang yang

mempekerjakan orang lain untuk dirinya dengan memberikan upah sesuai

dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

19

Sedangkan di dalam Pasal 1 Angka 6 UU Ketenagakerjaan dijelaskan

pula bahwa Perusahaan adalah :

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik

milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja /

buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai

pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah

atau imbalan dalam bentuk lain.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perusahaan

adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak dan usaha-

usaha sosial, baik itu milik perseorangan, persekutuan, badan hukum, milik

swasta, maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan adanya

timbal balik berupa upah ataupun imbalan dalam bentuk lain.

2. Pekerja

Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah dan

imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi tersebut terdapat dua unsur, yaitu

orang yang bekerja dan meneriman upah dan imbalan dalam bentuk lain.14

Hal tersebut berbeda dengan definisi dari tenaga kerja. Dalam ketentuan

Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

disebutkan bahwa Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

14

Maimun. 2003. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Jakarta. Penerbit PT. Pradnya

Paramita. Hal. 13.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

20

Pekerja atau buruh merupakan bagian dari tenaga kerja, yaitu tenaga

kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja, di bawah perintah pemberi

kerja.15

Sedangkan di dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa Pekerja / buruh

adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain. Jadi pekerja / buruh adalah tenaga kerja yang bekerja di

dalam hubungan kerja di bawah perintah pengusaha / pemberi kerja dengan

mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pekerja adalah orang

yang bekerja kepada seseorang dengan perjanjian tertentu untuk

mendapatkan upah dari orang yang mempekerjakan. Namun, di dalam setiap

perusahaan tidak hanya buruh / pekerja laki-laki saja yang dipekerjakan,

akan tetapi juga terdapat buruh / pekerja wanita. Buruh / Pekerja Wanita

adalah setiap orang yang dalam hal ini adalah wanita yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa, baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

B. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban Pengusaha dan Pekerja /

Buruh

1. Hak dan Kewajiban Pengusaha

a. Hak Pengusaha

Hak Pengusaha adalah suatu yang harus diberikan kepada

Pengusaha sebagai konsekuensi adanya tenaga kerja yang bekerja

15

Ibid. Hal. 14.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

21

padanya atau karena kedudukannya sebagai Pengusaha.16

Adapun hak-

hak Pengusaha antara lain sebagai berikut :

1) Berhak menetapkan mulainya istirahat tahunan dengan

memperhatikan kepentingan Pekerja / Buruh (Pasal 5 Ayat (1)

PP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan

Istirahat Buruh).

2) Pendapatan Non Upah yang berupa Bonus dapat diberikan oleh

Pengusaha kepada Pekerja / Buruh atas Keuntungan Perusahaan

dan yang diatur di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan

Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (Pasal 8 Peraturan

Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan).

3) Berhak memperoleh denda atau ganti kerugian atas pelanggaran

yang dilakukan oleh Pekerja / Buruh karena kesengajaan atau

kelalaiannya (Pasal 95 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan).

4) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap Pekerja /

Buruh dengan alasan Pekerja / Buruh telah melakukan kesalahan

berat seperti melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan

barang dan / atau uang milik perusahaan, memberikan

keterangan palsu yang merugikan perusahaan, mabuk,

meminum minuman keras dan menggunakan obat-obatan

terlarang di lingkungan kerja, melakukan perbuatan asusila dan

perjudian, menyerang, menganiaya, mengancam, atau

mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan

kerja, dan lain-lain sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal

158 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

b. Kewajiban Pengusaha

Kewajiban Pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan

oleh Pengusaha bagi kepentingan tenaga kerjanya.17

Adapun kewajiban

Pengusaha adalah sebagai berikut :

16

Darwan Prinst. 2000. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan bagi Pekerja

untuk Mempertaruhkan Haknya). Bandung. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 36. 17

Ibid. Hal. 38.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

22

1) Kewajiban Memberikan Istirahat / Cuti

Kewajiban Pengusaha untuk memberikan istirahat / cuti telah

diatur sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 79 Ayat (1)

UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang

menyatakan bahwa Pengusaha wajib memberi waktu istirahaat

dan cuti kepada pekerja / buruh.

2) Kewajiban Memberikan Waktu untuk Beribadah

Pengusaha wajib memberikan waktu untuk beribadah kepada

buruh yang sedang melaksanakan pekerjaannya, sebagaimana

yang tertuang di dalam Pasal 80 UU Ketenagakerjaan yang

menyatakan bahwa Pengusaha wajib memberikan kesempatan

yang secukupnya kepada pekerja / buruh untuk melaksanakan

ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

3) Kewajiban Memberikan Perlindungan Keselamatan dan

Kesehatan kerja

Setiap Pekerja / Buruh berhak memperoleh perlindungan atas

keselamatan dan kesehatan kerja, oleh karena itu maka

pengusaha wajib menerapkan sistem manajemen terhadap

perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja

/ buruh yang bekerja kepadanya. Hal ini sebagaimana yang

tertuang di dalam Pasal 87 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang

menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan sistem

manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi

dengan sistem manajemen perusahaan.

4) Kewajiban Membayar Upah

Dalam hubungan kerja, kewajiban utama bagi seorang

Pengusaha adalah membayar upah dengan tepat waktu kepada

Pekerjanya. Hal ini sebagaimana yang telah tertuang di dalam

Pasal 18 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015

Tentang Pengupahan yang menyatakan bahwa Pengusaha wajib

membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara

Pengusaha dengan Pekerja/Buruh.

5) Kewajiban untuk Memberikan Makanan dan Minuman Bergizi

serta menjaga Kesusilaan dan Keamanan di Tempat Kerja

Kewajiban ini sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 2

Ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor : Kep. 224 /Men/2003 Tentang

Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja / Buruh

Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 yang

menyatakan bahwa Pengusaha wajib menyediakan angkutan

antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan

pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00 yang

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

23

menyatakan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan

pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan

07.00 berkewajiban untuk memberikan makanan dan minuman

bergizi, dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat

kerja.

6) Kewajiban untuk Menyediakan Angkutan Antar Jemput bagi

Pekerja / Buruh Perempuan yang Bekerja pada Malam Hari

Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 2 Ayat (2)

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor : Kep. 224 /Men/2003 Tentang Kewajiban

Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja / Buruh Perempuan

Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 yang menyatakan

bahwa Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput

bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang

bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.

2. Hak dan Kewajiban Pekerja / Buruh

a. Hak Pekerja / Buruh

Hak adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai

kedudukan atau status seseorang. Demikian juga pekerja / buruh

mempunyai statusnya itu. Adapun hak-haknya tersebut dapat dirinci

sebagai berikut :

1) Hak Mendapatkan Upah / Gaji

Setiap pekerja / buruh yang telah atau melakukan pekerjaan

berhak untuk mendapatkan upah / gaji. Sebagaimana yang

tertuang di dalam Pasal 88 Ayat (1) yang menyatakan bahwa

Setiap pekerja / buruh berhak memperoleh penghasilan yang

memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan

Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang

Pengupahan yang menyatakan bahwa Setiap Pekerja / Buruh

berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang

sama nilainya. Yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja /

buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai

imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja /

buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian

kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan,

termasuk tunjangan dari pekerja/buruh dan keluarganya atas

suatu pekerjaan dan / atau jasa yang telah atau akan dilakukan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

24

(Pasal 1 Angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan).

2) Hak untuk Mendapatkan Istirahat / Cuti

Setiap pekerja berhak untuk mendapatkan istirahat atau cuti,

sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 79 Ayat (1) UU No.

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan

bahwa Pengusaha wajib memberi waktu istirahaat dan cuti

kepada pekerja / buruh.

3) Hak untuk Mendapatkan Pengurusan Perawatan dan Pengobatan

Terhadap Pekerja yang mengalami kecelakaan kerja mempunyai

hak untuk mendapat pengurusan perawatan dan pengobatan. Hal

ini untuk memberikan perlindungan kepada pekerja yang sakit,

kecelakaan, atau meninggal dunia.

b. Kewajiban Pekerja / Buruh

Kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa, yang

seharusnya dilakukan oleh seseorang karena kedudukannya atau

statusnya.18

Adapun kewajiban dari para pekerja adalah sebagai berikut:

1) Wajib Melakukan Pekerjaan

Buruh atau Pekerja Wajib melakukan pekerjaan. Melakukan

pekerjaan adalah tugas utama dari pekerja yang harus dilakukan

sendiri, meskipun demikian dengan seizin Pengusaha dapat

diwakilkan.

2) Wajib Menaati Aturan dan Petunjuk Pengusaha

Dalam melakukan pekerjaan pekerja / buruh wajib menaati

petunjuk yang diberikan oleh Pengusaha. Aturan yang wajib

ditaati Pekerja sebaiknya dituangkan di dalam Peraturan

Perusahaan, sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk

tersebut. Buruh / Pekerja wajib untuk selalu mematuhi Peraturan

Perusahaan yang telah dibuat oleh Pengusaha. Menurut pasal 1

angka 20 UU No. 13 Tahun 2003, Peraturan perusahaan adalah

peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang

memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

18

Ibid. Hal. 23.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

25

3) Kewajiban Membayar Ganti Rugi dan Denda

Jika Buruh / Pekerja melakukan perbuatan yang merugikan

perusahaan, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian,

maka sesuai dengan prinsip hukum Pekerja wajib membayar

ganti rugi atau denda. Hal ini sebagaimana yang tertuang di

dalam Pasal 95 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pelanggaran yang

dilakukan oleh pekerja / buruh karena kesenjangan atau

kelalaiannya dapat dikenakan denda.

3. Hak-Hak Pekerja / Buruh Perempuan yang Bekerja pada Malam Hari

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk

memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa adanya

pembedaan suku, agama, ras, jenis kelamin, dan termasuk pula perlakuan

yang sama terhadap penyandang cacat. Hal ini sebagaimana yang telah

tertuang di dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan yang menyatakan sebagai berikut :

1) Pasal 5 UU Ketenagakerjaan

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

2) Pasal 6 UU Ketenagakerjaan

Setiap pekerja / buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama

tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Berdasarkan substansi dari Pasal 5 dan 6 UU Ketenagakerjaan ini,

maka secara tegas dapat diketahui bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan

di Indonesia telah memberikan perlindungan kepada wanita sehingga

mempunyai kedudukan yang sama dengan pria di depan hukum dalam hal

memperoleh kehidupan yang layak, serta memberi peluang bagi wanita

untuk bekerja dalam bidang yang dinginkanya dengan catatan wanita

tersebut melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat dan keinginannya.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

26

Dengan adanya Peraturan Perundang-Undangan ini, maka Pemberi

Kerja harus memperhatikan hak-hak dan kewajibannya sebagai pemberi

kerja agar hak-hak dan kewajiban buruh / pekerja dapat dipenuhi pula

dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya pembedaan

jenis kelamin, ras, agama, suku, bahkan pekerja yang memiliki cacat fisik.

Hak-hak untuk pekerja perempuan khususnya pekerja perempuan

yang bekerja pada malam hari telah diatur di dalam ketentuan Pasal 76 UU

No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang juga diatur di dalam

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor : Kep.224 / Men / 2003 Tentang Kewajiban Pengusaha yang

Mempekerjakan Pekerja / Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai

Dengan 07.00, yakni sebagai berikut :

(1) Pekerja / buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan

belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai

dengan pukul 07.00.

(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja / buruh perempuan

hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan

dan keselaman kandungannya maupun dirinya apabila bekerja

antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara

pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :

a) Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

b) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi

pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja

antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)

diatur dengan Keputusan Menteri.

Di dalam ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat batasan-

batasan waktu bagi perempuan dalam bekerja. Buruh perempuan yang

dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 berhak

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

27

mendapat makanan dan minuman bergizi dan berhak mendapat keamanan

dan terhindar dari kesusilaan saat bekerja. Sesuai dengan Pasal 3 Keputusan

Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.

224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan

Pekerja / Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00,

menjelaskan bahwa Makanan dan minuman yang bergizi sebagaimana

dimaksud tersebut harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan

diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja dan Makanan dan minuman

tersebut tidak dapat diganti dengan uang.

Selain itu terdapat pula ketentuan lain di dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai Hak-Hak Buruh / Pekerja

Wanita, diantaranya adalah :19

a) Larangan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja Wanita

Pasal 153 Ayat (1) Hurf d dan e UU Ketenagakerjaan mengatur

larangan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja wanita

dengan alasan pekerja wanita menikah, sedang hamil, melahirkan

dan menyusui bayinya, merupakan bentuk perlindungan bagi

pekerja wanita sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya.

Kodrat wanita mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan

menyusui adalah suatu keadaan / kondisi yang tidak bisa

diperkirakan oleh manusia, sehingga tidak etis apabila pengusaha /

pemberi kerja melakukan diskriminasi atas kodrat seorang wanita

tersebut.

b) Cuti Haid

Cuti haid bagi wanita adalah suatu yang tetap menjadi pro dan

kontra. Pasal 81 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja /

buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan

memberitahukan kepada pengusaha tidak wajib bekerja pada hari

pertama dan kedua pada waktu haid. Bagi sebagian wanita yang

tidak setuju mengenai yang dimaksudkan dalam Pasal 81 UU

19

Editus Adisu dan Libertus Jaehani. 2006. Hak-Hak Pekerja Perempuan. Jakarta. Penerbit

Visimedia. Hal. 33.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

28

Ketenagakerjaan tentang cuti haid melihat bahwa pengaturan

tersebut merupakan perlakuan diskriminatf karena haid adalah

kodrat. Alasan mereka, dengan semakin canggihnya teknologi dan

semakin ttingginya kesadaran wanita akan kesehatan, maka

masalah haid bukan lagi menjadi faktor penghambat untuk

beraktifitas. Masalah haid adalah berkaitan dengan reproduksi dan

reproduksi adalah masalah kodrat. Sedangkan sebagian wanita

yang setuju dengan Pasal tersebut menganggap bahwa kewajiban

cuti haid bagi pekerja wanita adalah masalah hak, dan hak boleh

diambil atau tidak. Memang, seiring dengan bergulirnya pendapat

pro dan kontra tersebut, walaupun cuti haid adalah sesuatu yang

wajib dilaksanakan, namun pada kenyataannya, banyak sekali

pekerja wanita di perusahaan tertentu tidak menggunakan haknya

atau mengabaikan ketentuan tersebut. Artinya adalah bahwa

pekerja wanita tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya

meskipun dalam keadaan haid.

c) Cuti Hamil

Kebijakan Pemerintah untuk memberikan cuti hamil kepada wanita

adalah sesuatu yang wajib karena hal ini merupakan kodrat bagi

seorang wanita. Sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 82

UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pekerja / buruh

perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)

bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)

bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan

atau bidan. Selain itu, pekerja wanita juga diberikan kesempatan

untuk menyusui anaknya selama melakukan pekerjaan.

Sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 83 UU

Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pekerja/buruh

perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan

sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan

selama waktu kerja.

4. Sanksi terhadap Pelanggaran Hak-Hak Pekerja / Buruh Wanita

Hak-hak pekerja pada umumnya dan hak pekerja wanita pada

khususnya sudah diatur lebih rinci, baik di dalam UU Ketenagakerjaan

maupun dalam peraturan pelaksananya. Di dalam UU Ketenagakerjaan

terdapat banyak Pasal yang mencantumkan sanksi atau hukuman yang dapat

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

29

dijatuhkan kepada pengusaha atau siapa pun yang melakukan pelanggaran.

Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran hak-hak pekerja wanita yaitu :

1) Sanksi Administratif

Sanksi administratif terjadi apabila Pengusaha atau siapa pun

memperlakukan pekerja wanita secara diskriminasi, misalnya

dalam hal kesempatan yang berbeda dalam mendapatkan

kesempatan kerja. Bentuk sanksi administratif tersebut tertuang di

dalam Pasal 190 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yakni berupa:

a) Teguran;

b) Peringatan tertulis;

c) Pembatasan kegiatan usaha;

d) Pembekuan kegiatan usaha;

e) Pembatalan persetujuan;

f) Pembatalan pendaftaran;

g) Penghentian sementara sebagaian atau seluruh alat produksi;

h) Pencabutan ijin.

2) Sanksi Perdata

Alasan-alasan pemberlakuan sanksi perdata adalah apabila

pekerjaan yang diperjanjikan tersebut ternyata bertentangan dengan

ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Akibat hukumnya perjanjian tersebut batal demi

hukum (Pasal 52 dan 155 UU Ketenagakerjaan)

3) Sanksi Pidana

Sanksi Pidana Penjara atau Denda terhadap pelanggaran hak

pekerja wanita termuat di dalam beberapa Pasal Undang-Undang

Ketenagakerjaan, antara lain sebagai berikut :

a) Sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 4 (empat) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp.

100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

400.000.000,00 (empat ratus juta rupah) bagi pengusaha yang

tidak memberikan kepada pekerja wanita hak untuk istirahat

selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan

anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut

perhitungan dokter kandungan atau bidan dan hak kepada

pekerja wanita yang mengalami keguguran untuk istirahat 1,5

(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter

kandungan atau bidan (Pasal 82 dan Pasal 185 UU

Ketenagakerjaan).

b) Sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling

lama 12 (dua belas) bulan dan / atau denda paling sedikit

Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bagi pengusaha yang :

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

30

(1) Memperkerjakan Pekerja / buruh perempuan yang berumur

kurang dari 18 (delapan belas) tahun antara pukul 23.00

sampai dengan pukul 07.00;

(2) Mempekerjakan pekerja / buruh perempuan hamil yang

menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan

keselaman kandungannya maupun dirinya apabila bekerja

antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00;

(3) Mempekerjakan pekerja / buruh perempuan antara pukul

23.00 sampai dengan pukul 07.00 tanpa memberikan

makanan dan minuman bergizi, dan menjaga kesusilaan dan

keamanan selama di tempat kerja;

(4) Tidak menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja /

buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara

pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 (Pasal 76 dan Pasal

187 UU Ketenagakerjaan).

C. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman

perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan

hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan

sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau

sempit.20

Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua

subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan

aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

20

Jimly Asshiddiqie. Makalah : Penegakan Hukum. http://www.jimly.com. Diakses : Pukul

: 19.58 WIB, Tanggal 18 Maret 2016. Hal. 1.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

31

dengan mendasarkan diripada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia

menjalankan atau menegakkan aturan hukum.21

Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu

hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk

menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana

seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan,

aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya

paksa.22

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut

objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga

mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum

itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi

aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut

penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.23

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan

penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk

menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti

materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan

hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh

aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh

21

Ibid. 22

Ibid. 23

Ibid.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

32

Undang-Undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang

berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.24

2. Aparatur Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi

penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,

aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,

dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir

pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-

pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan

kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya

pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.25

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga

elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum

beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme

kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya,

termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan

yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur

materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya

maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah

memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan

24

Ibid. Hal. 2. 25

Ibid. Hal. 3.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

33

hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara

nyata.26

Penegak hukum harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan

pengertian dari golongan sasaran yaitu masyarakat, dan mampu

membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima masyarakat.

Golongan panutan atau penegak hukum pun dituntut agar dapat

memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga mengairahkan

partisipasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan

juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam

memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta

memberikan keteladanan yang baik.27

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum baik sebagai hukum materil maupun hukum formil

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :

a. Faktor Hukum

Dalam suatu proses penegakan hukum, faktor hukum adalah salah

satu yang menentukan keberhasilan penegakan hukum itu sendiri. Namun

tidak terlaksananya penegakan hukum dengan sempurna hal itu

disebabkan karena terjadi masalah atau gangguan yang disebabkan

karena beberapa hal seperti tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-

undang yang merupakan dasar pedoman dari suatu peraturan perundang-

26

Ibid. Hal. 3-4. 27

Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Jakarta. Penerbit Raja Grafindo Persada. Hal. 5.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

34

undangan, hal yang kedua yaitu belum adanya suatu aturan pelaksanaan

untuk menerapkan Undang-Undang.28

b. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum mempunyai peran yang penting dalam penegakan

hukum itu sendiri, prilaku dan tingkah laku aparat pun seharusnya

mencerminkan suatu kepribadian yang dapat menjadi teladan bagi

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Aparat penegak hukum yang

profesional adalah mereka yang dapat berdedikasi tinggi pada profesi

sebagai aparat hukum, dengan demikian seorang aparat penegak hukum

akan dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai seorang

penegak hukum dengan baik.29

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

Dengan dukungan sarana dan fasilitas yang memadai penegakan

hukum akan dapat terlaksana dengan baik. Sarana dan fasilitas yang

dimaksud, antara lain, sumber daya manusia, organisasi yang baik,

peralatan yang mumpuni, dan sumber dana yang memadai. Bila sarana

dan fasilitas tersebut dapat dipenuhi maka penegekan hukum akan

berjalan maksimal.30

28

Ibid. Hal. 17-18. 29

Ibid. Hal. 34. 30

Ibid. Hal. 37.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

35

d. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum adalah berasal dari masyarakat dan untuk

masyarakat. Oleh karena itu peran masyarakat dalam penegakan hukum

juga sangat menentukan. Masyarakat yang sadar hukum tentunya telah

mengetahui hal mana yang merupakan hak dan kewajiban mereka,

dengan demikian mereka akan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan

mereka sesuai dengan aturan yang berlaku.31

e. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai dasar yang

mendasari keberlakuan hukum dalam masyarakat, yang menjadi patokan

nilai yang baik dan buruk. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono

Soekanto terdapat pasangan nilai yang berperan dalam hukum yaitu :32

1) Nilai Ketertiban dan Nilai Ketentraman

Nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin,

sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan, secara

psikis suatu ketentraman ada bila seorang tidak merasa khawatir dan

tidak terjadi konflik batiniah.33

2) Nilai Jasmaniah (Kebendaan) dan Nilai Rohaniah (Keahlakan)

Nilai kebendaan dan keakhlakan merupakan pasangan nilai yang

bersifat universal.Akan tetapi dalam kenyataan karena pengaruh

modernisasi kedudukan nilai kebendaan berada pada posisi yang lebih

31

Ibid. Hal. 56-57. 32

Ibid. Hal. 60. 33

Ibid. Hal. 65.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

36

tinggi dari pada nilai keakhlakan sehingga timbul suatu keadaan yang

tidak serasi.34

3) Nilai Kelanggengan (Konservatisme) dan Nilai Kebaruan

(Inovetisme)

Nilai Konservatisme dan Nilai Inovatisme senantiasa berperan dalam

perkembangan hukum, di satu pihak ada yang menyatakan hukum

hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk

mempertahankan “status quo”.Di lain pihak ada anggapan-anggapan

yang lain pula, bahwa hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana

mengadakan perubahan dan menciptakan hal-hal yang baru.

Keserasian antara kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada

kedudukan dan peranan yang semestinya.35

D. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum yang dapat Ditempuh Apabila

Pengusaha tidak Memenuhi Hak-Hak Pekerja / Buruh Perempuan yang

Bekerja pada Malam Hari

Di dalam Pasal 1 Angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dijelaskan bahwa

Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha

dengan pekerja / buruh atau serikat pekerja / serikat buruh karena adanya

perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu

perusahaan, kemudian dijelaskan pula bahwa Perselisihan hak adalah

34

Ibid. 35

Ibid. Hal. 66.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

37

perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya

perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama.

Dalam rangka upaya penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan

dengan berbagai cara. Cara-cara yang di tempuh ditentukan oleh pihak-pihak

yang bersengketa dalam perselisihan hubungan industrial itu sendiri. Secara

garis besar ada dua cara yang dapat di tempuh dalam menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial, yaitu :

1. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan

Hubungan Industrial

Adapun cara-cara yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan

industrial antara lain adalah Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase,

yakni sebagai berikut :

a. Bipartit

Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, adalah perundingan antara pekerja / buruh atau

serikat pekerja / serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial wajib

diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit

secara musyawarah untuk mencapai mufakat, tanpa adanya campur

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

38

tangan dari pihak lain, sehingga mendapat hasil yang menguntungkan

kedua belah pihak.36

Jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus

diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal

dimulainya perundingan, dan setiap perundingan harus dibuat risalah

perundingan, sekurang-kurangnya memuat :

1) Nama lengkap dan alamat para pihak;

2) Tanggal dan tempat perundingan;

3) Pokok masalah atau alasan perselisihan;

4) Pendapat para pihak;

5) Kesimpulan atau hasil perundingan; dan

6) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan

perundingan.

Penyelesaian melalui perundingan sebagaimana dimaksud diatas,

apabila mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda

tangani oleh para pihak dimana sifatnya adalah mengikat dan menjadi

hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Namun, apabila dalam

jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk

berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai

kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Dalam hal penyelesaian secara bipatrite tersebut gagal, salah satu

pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihanya kepada instansi

yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerajaan setempat dengan

36

Ugo dan Pujiyo. 2011. Hukum AcaraPenyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 54.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

39

melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipatride

telah dilakukan.37

Untuk keperluan pelaksanaannya, para pihak wajib didaftarkan

pada pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah

para pihak mengadakan Perjanjian Bersama dan Pengadilan Hubungan

Industrial memberikan “Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama” dan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

Melalui Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama tersebut, pihak yang

dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian

Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi.38

b. Mediasi

Menurut UU PPHI dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan

industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh

hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh

seorang mediator atau lebih mediator yang netral.

Mediator disini adalah pegawai institusi pemerintah yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-

syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas

37

Zaeni Asyhadie. 2008. Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan

Kerja. Jakarta. Penerbit Rajawali Pers. Hal. 159 – 160. 38

Muzni Tambusai. 2005. Seri 2 : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jakarta.

Penerbit Kantor Perburuhan Internasional. Hal. 19.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

40

melakukan mediasi dan mempunyai Kewajiban memberikan anjuran

tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat Pekerja / Serikat Buruh

hanya dalam satu perusahaan.

Mediator, berada di setiap Kantor Instansi yang bertangung jawab

di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota yang harus memenuhi syarat

sebagai berikut :

1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2) Warga Negara Indonesia;

3) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

4) Mengetahui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;

5) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;

6) Berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata 1 (S1); dan

7) Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Penyelesaian perselisihan melalui Mediasi, mengutamakan

penyelesaian musyawarah untuk mufakat, dan apabila dalam

perundingan tersebut dicapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama

yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Mediator dan

didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta

bukti pendaftaran.39

Penyelesaian melalui Mediasi, bila tidak tercapai kesepakatan

proses penyelesaian selanjutnya adalah :

a) Mediator mengeluarkan anjuran secara tertulis sebagai pendapat

atau saran yang diusulkan oleh Mediator kepada para pihak

dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.

39

Ibid. Hal. 20 – 21.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

41

b) Anjuran tersebut, dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja

sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada

para pihak;

c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis

kepada Mediator yang isinya menyetujui atau menolak dalam

waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima

anjuran;

d) Pihak yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak

anjuran;

e) Namun, apabila para pihak menyetujui anjuran, maka dalam

waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui,

mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat

Perjanjian Bersama untuk didaftarkan pada Pengadilan

Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.

Sehingga waktu penyelesaian pada mediator adalah dalam waktu

selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan

penyelesaian perselisihan.40

Pada dasarnya, penyelesaian perselisihan hubungan industrial

melalui Mediasi adalah wajib, dalam hal ketika Instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para

pihak yang berselisih tidak memilih Lembaga Konsiliasi atau Arbitrase

untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi para pihak.

c. Konsiliasi

Dalam Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang PPHI dijelaskan bahwa

Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi

adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

40

Adrian Sutedi. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 110 –

112.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

42

hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh

seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Prosedur konsiliasi tidak berbeda dengan mediasi, yaitu

menyelesaikan perselisihan diluar pengadilan untuk tercapainya

kesepakatan, menyangkut perselisihan kepentingan, perselisihan

pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja / serikat

buruh dalam satu perusahaan oleh konsiliator.41

Konsiliator disini adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-

syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas

melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para

pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat

Pekerja / Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan.

Konsiliator dapat memberikan konsiliasi apabila telah terdaftar

pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

Kabupaten / Kota. Syarat menjadi Konsiliator adalah :

1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2) Warga Negara Indonesia;

3) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;

4) Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S1);

5) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

6) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

7) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial

sekurangkurangnya (lima) tahun;

8) Menguasai peraturanperundang-undangan ketenagakerjaan; dan

9) Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

41

Ibid. Hal. 112.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

43

Penyelesaian melalui konsiliasi, dilakukan berdasarkan

kesepakatan para pihak yang berselisih yang dibuat secara tertulis untuk

diselesaikan oleh Konsiliator. Para pihak dapat mengetahui nama

Konsiliator yang akan dipilih dan disepakati adalah dari daftar nama

Konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada Kantor Instansi

Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

Konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial

pada dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam

perundingan yang mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama

yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Konsiliator,

untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna

mendapatkan Akta bukti pendaftaran. Sebaliknya bila tidak dicapai

kesepakatan, maka :

a) Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;

b) Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang

konsiliasi pertama, anjuran tertulis harus sudah disampaikan

kepada para pihak;

c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis kepada

konsiliator yang isinya menyetujui atau melakukan anjuran

dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima

anjuran;

d) Pihak yang tidak memberikan jawaban atau pendapatnya

dianggap sebagai menolak anjuran;

e) Terhadap anjuran Konsiliator apabila para pihak menyetujui,

maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak

anjuran disetujui, Konsiliator harus sudah selesai membantu

para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian

didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk

mendapatkan Akta bukti pendaftaran.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

44

Sehingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui

Lembaga Konsiliasi dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari

kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.42

d. Arbitrase

Di dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang PPHI dijelaskan

bahwa Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase

adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan

antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar

Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para

pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan

kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Arbiter yang dimaksud disini adalah seorang atau lebih yang dipilih

oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh

Menteri untuk memberikan keputusan mengenai perselisihan

kepentingan, dan perselisihan antar Serikat Pekerja / Serikat Buruh hanya

dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui

Arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Dengan demikian syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Arbiter

adalah :

1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2) Cakap melakukan tindakan hukum;

3) Warga Negara Indonesia;

4) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;

5) Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S 1);

42

Muzni Tambusai. Op.cit. Hal 21 – 23.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

45

6) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

7) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan

yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah

mengikuti ujian arbitrase;dan

8) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial

sekurangkurangnya 5 tahun.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter

dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.

Kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk Surat Perjanjian Arbitrase,

rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang

mempunyai kekuatan hukum yang sama.

Adapun Surat Perjanjian Arbitrase yang dibuat sekurang-kurangnya

memuat :

a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak

yang berselisih;

b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang

diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil

putusan;

c) Jumlah arbiter yang disepakati;

d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan

menjalankan keputusan arbitrase; dan

e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda

tangan para pihak yang berselisih.

Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau

beberapa arbiter sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Untuk penunjukan

arbiter tunggal, para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam

waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja, tentang nama arbiter dimaksud.

Namun, apabila penunjukan beberapa arbiter (majelis) dalam

jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter

dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sementara untuk

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

46

arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis Arbitrase ditentukan oleh para

arbiter yang ditunjuk selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditunjuk oleh

para pihak.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase,

arbiter harus mengupayakan untuk medamaikan kedua belah pihak yang

berselisih. Apabila upaya perdamaian dicapai kesepakatan arbiter atau

majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditanda tangani

oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.

Akta Perdamaian dimaksud didaftarkan di Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negari dimana wilayah arbiter mengadakan

perdamaian untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran, yang akan dapat

digunakan sebagai dasar permohonan eksekusi, apabila Akta Perdamaian

yang telah dicapai tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak melalui

Pengadilan.

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran

Akta Perdamaian. Upaya mencapai perdamaian adakalanya tidak

mencapai kesepakatan (gagal), maka arbiter atau majelis arbiter

meneruskan sidang arbitrase yang dilakukan secara tertutup, kecuali

pihak yang berselisih menghendaki lain dimana setiap kegiatan

pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh

arbiter atau majelis arbiter.

Pemeriksaan perselisihan huibungan industrial oleh arbiter atau

majelis arbiter, apabila telah dianggap cukup. Arbiter atau majelis arbiter

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

47

mengambil putusan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.

Putusan arbitrase, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi

para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir

dan tetap. Putusan tersebut diadftarkan di Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan

putusan. Terhadap putusan arbitrase yang tidak dilaksanakan, maka pihak

yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi tampat kedudukan para pihak terhadap siapa putusan

itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.

Pengadilan Negeri, dalam waktu selambatlambatnya 30 hari kerja harus

sudah menyelesaikan perintah pelaksanaan eksekusi, terhitung setelah

permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri dengan tidak

memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.43

2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan

Di dalam Pasal 1 angka 17 UU PPHI dijelaskan bahwa Pengadilan

Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan

Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi

putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Susunan Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :

a. Hakim;

43

Ibid. Hal. 23 – 27.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

48

b. Hakim Ad Hoc;

c. Panitera Muda; dan

d. Panitera Pengganti.

Sementara susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah

Agung terdiri dari :

a. Hakim Agung;

b. Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung;

c. Panitera.

Pengangkatan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dan

dilantik berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan untuk

Hakim Ad Hoc diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua

Mahkamah Agung dengan masa kerja 5 tahun dan dapat diangkat kembali

untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim Ad Hoc untuk pertama kali

pengangkatannya paling sedikit 5 orang dari unsur Serikat Pekerja / Serikat

Buruh dan 5 orang dari unsur Organisasi Pengusaha.

Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya

meliputi tempat pekerja / buruh bekerja. Pengajuan gugatan dimaksud harus

melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan

gugatan kepada pihak penggugat apabila gugatan penggugat tidak

melampirkan risalah penyelesaian melalui Mediasi atau konsiliasi.

Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

49

memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas

gugatan, pencabutan gugatan akan dikabulkan Pengadilan apabila disetujui

tergugat.

Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan

dalam waktu selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama.

Putusan dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan

dibacakan, Panitera Pengganti harus sudah menyampaikan pemberitahuan

putusan kepada pihak yang tidak hadir dan selambat-lambatnya 14 hari

kerja setelah putusan ditandatangani Panitera Muda harus sudah

menerbitkan salinan putusan serta dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari

kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan

putusan kepada para pihak. Apabila perselisihan hak dan / atau perselisihan

kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja maka

Pengadilan wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan /

atau perselisihan kepentingan.

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak

dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum

tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung

dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung :

a. Bagi pihak yang hadir, sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis

hakim;

b. Bagi pihak yang tidak hadir, sejak tanggal menerima

pemberitahuan putusan.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang …eprints.umm.ac.id/36256/3/jiptummpp-gdl-nailurrahm-48126-3-babii.pdfPP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Penetapan Peraturan Istirahat

50

Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui Sub.

Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat,

dan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal

penerimaan permohonan kasasi harus sudah disampaikan oleh Sub

Kepaniteraan Pengadilan kepada Ketua Mahkamah Agung. Penyelesaian

perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada

Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung tanggal

penerimaan permohonan kasasi.44

44

Ibid. Hal. 30 – 32.