BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Streptococcus mutansrepository.setiabudi.ac.id/3564/4/bab 2.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Streptococcus mutansrepository.setiabudi.ac.id/3564/4/bab 2.pdf ·...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Streptococcus mutans
1. Definisi Streptococcus mutans
Streptococcus mutans merupakan kokus Gram positif, nonmotil,
mikroorganisme fakultatif anaerob yang dapat memetabolisme karbohidrat dan
dianggap sebagai agen pembentuk karies gigi (Dewangga 2013). Bakteri ini
tersebar luas di alam dan beberapa diantaranya merupakan flora normal yang
terdapat dalam tubuh manusia. Pada pengkulturan bakteri Streptococcus mutans
membentuk rantai panjang dan mempunyai metabolisme anaerob, namun mereka
juga hidup dalam fakultatif anaerob. Bakteri Streptococcus mutans pada media
solid berbentuk kasar, runcing, dan berkoloni mukoid. Bakteri ini tumbuh secara
optimal pada suhu 18°C-40°C. Bakteri gram positif memiliki ciri-ciri yaitu
struktur dinding selnya tebal (15-80 nm) dan berlapis tunggal. Bakteri
Streptococcus mutans biasanya ditemukan dirongga gigi manusia yang luka dan
menjadi bakteri paling kondusif menyebabkan karies gigi. Bakteri Streptococcus
mutans bersifat asidogenik yaitu menghasilkan asam, asidodurik, mampu tinggal
pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket disebut
dextran (Adrianto 2012).
Gambar 1. Bakteri Streptococcus mutans (Molek et al. 2018).
7
2. Klasifikasi Streptococcus mutans
Kingdom : Monera
Divisio : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Lactobacilalles
Family : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus mutans (Warna 2011)
Klasifikasi merupakan informasi utama mengenai bakteri yang digunakan
dalam proses penelitian.
3. Morfologi dan Habitat Streptococcus mutans
Secara khas bakteri Streptococcus mutans berbentuk bulat yang
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya dengan diameter
sel 0,5-0,7 µm (Adrianto 2012). Streptococcus mutans merupakan bakteri yang
tidak bergerak dan tidak membentuk spora (Dewangga 2013). Bakteri ini tumbuh
optimal pada suhu sekitar 18°C-40°C dan termasuk Streptococcus hemolitik tipe alfa.
Hemolitik tipe alfa berfungsi sebagai antimikroba. Bakteri ini dapat hidup pada pH
yang rendah. Streptococcus mutans membutuhkan waktu 6-24 bulan dalam
pembentukan karies gigi. Bakteri ini pertama kali diisolasi oleh Clark pada tahun
1924 yang memiliki kecenderungan berbentuk kokus dengan formasi rantai
panjang apabila ditanam dalam medium yang diperkaya seperti Brain Heart
Infusion (BHI) Borth, sedangkan berbentuk rantai pendek bila ditanam dalam
media agar (Ernawati 2015). Nama Streptococcus mutans ini karena perubahan
bentuk morfologi coccal ke cocco-bacilli. Habitat utama bakteri Streptococcus
mutans adalah permukaan gigi, dekat gusi, atau pada lesi karies gigi. Lingkungan
yang menguntungkan bakteri Streptococcus mutans dapat mengakibatkan
populasi meningkat dan menjadi patogen. Streptococcus mutans juga dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, diet, sukrosa, topikal aplikasi flour,
penggunaan antibiotik, obat kumur yang mengandung antiseptik, dan keadaan
kebersihan oral atau daerah rongga mulut (Miftahendrawati 2014).
8
Bakteri Streptococcus mutans menghasilkan molekul yang berperan
sebagai enzim dalam proses fermentasi karbohidrat, yaitu glukosiltranferase,
dextranase, dan frukosiltransferase. Setiap enzim tersebut akan memecah sukrosa
untuk pembentukan glukan, dextran, dan fruktan. Glukan berpengaruh terhadap
pembentukan koloni Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Metabolisme
sukrosa ekstraseluler oleh Streptococcus mutans yang memproduksi dextran.
Streptococcus mutans mensintesis lebih banyak dextran yang tidak larut dalam air,
sehingga lebih baik dalam pembentukan plak karena organisme ini tidak
mempunyai reseptor dextran dipermukaan selnya. Fruktan atau levan merupakan
polimer fruktosa yang disintesis dari kelompok fruktosil melalui ikatan
fructofuranoside, ikatan ini yang paling dominan. Fruktan berfungsi pada
perlekatan dan peningkatan koloni bakteri yang berkaitan dengan pembentukan
plak (Ernawati 2015).
4. Definisi antimikroba
Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang
merugikan manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang
bersifat menghambat pertumbuhan mikroba yang dikenal sebagai aktivitas
bakteriostatik. Antimikroba yang bersifat membunuh mikroba dapat dikenal
sebagai aktivitas bakterisid. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas
antimikroba in vitro yaitu pH lingkungan, komponen medium, stabilitas obat,
ukuran inokulum, lama inkubasi, dan aktivitas metabolik mikroorganisme
(Suriawira 2005).
5. Mekanisme kerja antimikroba
Mekanisme antimikroba merupakan peristiwa penghambatan mikroba oleh
antibakteri. Menurut Suriawira (2005) mekanisme kerja antibakteri dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
5.1 Antimikroba penghambat metabolisme sel mikroba. Antimikroba
yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid trimetoprim, asam p-
aminosalisilat (PAS), dan sulfon. Mekanisme kerja diperoleh dari efek
bekteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya
dengan mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoat (PABA). Apabila
9
sufonamid dan sulfon menang bersaing dengan PABA, maka terbentuk analog
asam folat yang nonfungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu. P-
aminosalisilat merupakan analog PABA dan bekerja dengan menghambat sintesis
asam folat. Sulfonamid tidak efektif terhadap bakteri tertentu dan sebaliknya p-
aminosalisilat tidak efektif terhadap bakteri yang sensitif terhadap sulfonamid.
5.2 Antimikroba penghambat sintesis dinding sel mikroba. Obat yang
termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, dan
sikloserin. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks
polimer mukopeptida. Obat-obat tersebut berfungsi untuk menghambat reaksi dari
pembentukan sintesis dinding sel. Oleh karena itu, tekanan osmotik dalam sel
kuman lebih tinggi daripada diluar sel sehingga kerusakan dinsing sel kuman akan
menyebabkan lisis. Hal ini merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang
peka (Suriawira 2005).
5.3 Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba.
Polimiksin sebagai senyawa amonium kuaterner dapat merusak membran sel
setelah bereaksi dengan fosfat pada membran sel. Polimiksin tidak efektif
terhadap kuman gram positif karena jumlah fosfor bakteri ini rendah. Bakteri
gram negatif menjadi resisten terhadap polimiksin karena jumlah forfor menurun.
Polien bereaksi dengan struktur sterol yang terdapat pada membran sel fungus
sehingga mempengaruhi permeabilitas selektif membran tersebut. Kerusakan
membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel
mikriba yaitu protein, asam nukleat, dan nukleotida (Suriawira 2005).
5.4 Antimikroba penghambat sintesis protein sel mikroba. Sintesis
protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Ribosom pada
bakteri terdiri atas 30S dan 50S. Bakteri ini akan bersatu pada pangkal rantai
mRNA menjadi ribosom 70S. Untuk dapat menghambat sintesis protein perlu
adanya suatu komponen obat yang berikatan dengan ribosom 50S dan
menghambat traslokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi
peptida. Akibatnya rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam
amino tidak dapat diterima kompleks tRNA asam amoni baru (Suriawira 2005).
10
5.5 Antimikroba penghambat sintesis asam nukleat sel mikroba.
Suatu obat berikatan dengan enzim polimerase-RNA sehingga menghambat
sintesis RNA dan DNA girase pada bakteri yang fungsinya menata kromosom
yang sangat panjang menjadi bentuk spiral supaya dapat muat dalam sel bakteri
yang kecil (Suriawira 2005).
B. Daun Teh Hijau (Camellia sinensis L.)
1. Klasifikasi daun teh hijau
Klasifikasi tanaman teh hijau (Backer & Van den Brink 1965)
mengemukakan bahwa tanaman teh hijau dalam taksonomi tumbuhan
dikelompokkan sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Sub-divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub-kelas : Dialypetalae
Ordo : Guttiferales (Clusiales)
Famili : Camelliaceae (Theaceae)
Genus : Camellia
Spesies : Camellia sinensis L.
2. Nama daerah dan nama asing
Tabel 1. Nama daerah (Depkes RI 1989) dan nama asing (BPOM RI 2010).
Nama Daerah Nama Asing
Teh (Jawa)
Nteh (Sunda)
Rembiga (Sasak) Kore (Bima)
Krokoh (Flores)
Rambega (Bugis)
Kapauk (Roti)
Tea (Inggris)
Pu erh cha (Cina)
Thѐ (Perancis) Teestrauch (Jerman)
Te (Italia)
Cha da (India)
Ocha (Jepang)
3. Morfologi tanaman
Tanaman teh pada umumnya ditanam di perkebunan, dapat tumbuh dengan
baik di daerah iklim hutan hujan tropis atau subtropis dan berada diketinggian
200-2300 meter diatas permukaan laut. Suhu cuaca antara 13-29,5°C dan dipanen
secara manual. Tanaman teh tergolong tanaman perdu, sistem perakaran teh
11
adalah akar tunggang. Bunganya putih kekuningan berdiameter 2,5-4 cm dengan 7
sampai 8 petal, berkelamin dua dan terdapat diketiak daun. Kelopak berbentuk
mangkok, berwarna hijau, benang sari membentuk lingkaran, pangkal menyatu,
melekat pada daun mahkota, pada bagian dalam lepas. Tangkai putik bercabang
tiga, panjangnya kurang lebih 1 cm dan berwarna hijau kekuningan. Daun teh
merupakan daun tunggal yang memiliki panjang 4-15 cm dan lebar 2-5 cm. Helai
daun berbentuk lanset dengan ujung meruncing dan bertulang menyirip. Pangkal
daun runcing, tepi daun lancip bergerigi. Daun tua berwarna lebih gelap,
sedangkan daun muda yang berwarna hijau muda lebih dibanyak digunakan untuk
produksi teh. Daun teh mempunyai rambut-rambut pendek putih dibagian bawah
daun (Magambo & Cannel 1981).
Gambar 2. Camellia sinensis L. (Balittri 2013).
4. Kandungan kimia
Daun teh hijau mengandung beberapa zat kimia yang dapat digolongkan
menjadi empat golongan yaitu : substan fenol, substan bukan fenol, senyawa
aromatis, dan ezim-enzim (Balittri 2013).
4.1 Golongan fenol. Katekin merupakan senyawa yang paling penting
dalam daun teh hijau, yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat
menyehatkan tubuh (Balittri 2013). Teh hijau sebagian besar mengandung ikatan
biokimia yang disebut polyphenols, termasuk didalamnya flavonoid. Flavonoid
adalah suatu kelompok antioksidan yang secara ilmiah ada pada sayur-sayuran,
12
buah-buahan, dan minuman seperti teh. Flavonoid dapat memberikan
perlindungan terhadap serangga, jamur, virus, dan bakteri. Senyawa flavonoid
mempunyai aktivitas yang dapat menguatkan dinding pembuluh darah kapiler dan
memacu pengumpulan vitamin C (Winarti 2010).
4.2 Golongan bukan fenol. Teh memiliki kandungan karbohidrat secara
keseluruhan adalah 3-5% dari berat daun kering. Karbohidrat dibagi menjadi tiga
yaitu sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Karbohidrat berperan dalam pengolahan teh
yaitu bereaksi dengan asam-asam amino dan katekin. Asam amino dalam daun teh
hijau dapat memberikan aroma pada teh terutaman teh hitam. Klorofil dan zat
warna yang terkandung dalam daun teh hijau sekitar 0,019% dari berat daun
kering, sehingga klorofil sangat berperan dalam memberikan kesan warna hijau
pada teh hijau. Adapun asam organik, resin, dan vitamin yang terkandung dalam
teh hijau, yang masing-masing berkisar 0,5-2%, 3%, dan kandungan vitamin
terdapat jenis vitamin A, B1, B2, B3, B5, C, E, dan K. Dalam pengolahan teh
hijau, asam organik akan bereaksi dengan metal alkohol membentuk senyawa
ester yang memiliki aroma yang enak. Resin berperan meningkatkan daya tahan
daun teh hijau terhadap embun beku (frost). Vitamin dapat memberikan nutrisi
yang dibutuhkan tubuh dan mampu mempetahankan kekuatan gigi agar terhindar
dari karies (Balittri 2013).
4.3 Senyawa aromatis. Senyawa aromatis merupakan salah satu sifat
sebagai penentu kualitas teh hijau, dimana pembentuk aroma teh hijau merupakan
senyawa volatile (mudah menguap). Senyawa aromatis terkadang secara alamiah
jumlahnya jauh lebih sedikit daripada yang terbentuk selama proses pengolahan
teh hijau (Balittri 2013).
4.4 Enzim-enzim. Enzim yang terkandung dalam daun teh hijau
(Camellia sinensis L.) adalah invertase, amylase, β-glukosidase, oksimetilase
protease, dan proksidase yang berperan sebagai biokatalisator pada setiap reaksi
kimia didalam tanaman (Balittri 2013).
5. Khasiat daun teh hijau
Khasiat utama daun teh hijau berasal dari senyawa polifenol yang
dikandungnya. Polifenol daun teh hijau atau sering disebut katekin terdiri dari
13
senyawa epikatekin (EC), epikatekin galat (ECG), epigalokatekin (EGC),
epigalokatekin galat (EGCG), katekin (C), dan galokatekin (GC) yang mampu
membantu kinerja enzim superoxide dismutase (SOD) yang berfungsi
menyingkirkan radikal bebas. Khasiat dari tanaman teh mampu mengurangi resiko
kanker, tumor, stroke, mengurangi stress, mempertahankan berat tubuh ideal,
menurunkan kolesterol darah, mencegah tekanan darah tinggi, mencegah arthritis,
membunuh bakteri dan jamur, membunuh virus influenza, dan menjaga napas dari
bau tak sedap (Zaveri 2001).
6. Mekanisme daun teh hijau sebagai antibakteri S. mutans
Mekanisme kerja katekin dalam mencegah pembentukan karies melalui
dua macam cara, yaitu sebagai bakterisidal dan menghambat proses glikosilasi.
Kemampuan katekin sebagai bakterisidal adalah dengan cara mendenaturasi
protein sel bakteri. Fenol merupakan senyawa toksik yang mampu mengganggu
struktur tiga dimensi protein menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada
struktur kerangka kovalen, sehingga deret asam amino protein utuh. Namun,
aktivitas biologis bakteri rusak sehingga mengganggu kelangsungan hidupnya.
Sedangkan kemampuan katekin dalam menghambat proses glikosilasi adalah
dengan cara katekin akan bekerja secara kompetitif dengan guikosiltransferase
(GTFs) dalam mereduksi sakarida yang merupakan bahan dasar proses glikolasi,
sehingga pembentukan polisakarida ekstraselular terhambat oleh bakteri. Bakteri
yang terhambat glikosilasinya tidak saja menghambat kemampuan sintesis musin
namun juga rentan terhadap efek kerja sistem imun humoral dan seluler (Ayu &
Gunawan 2011).
C. Simplisia
1. Pengertian simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan, digunakan untuk
pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu
pengeringan simplisia tidak lebih dari 60°C (Kemenkes RI 2013). Simplisia segar
merupakan bahan alam dalam keadaan masih segar dan belum mengalami
pengeringan (Kemenkes RI 2013). Gunawan & Mulyani (2004) mengemukakan
14
bahwa jenis simplisia terdiri atas simplisia nabati yaitu simplisia yang berupa
tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman dengan tingkat kehalusan
tertentu. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh atau zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa kimia murni. Simplisia
pelikan yaitu simplisia bahan pelikan atau mineral yang belum mengalami
pengolahan apapun atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa
kimia murni.
2. Cara pembuatan simplisia
Pembuatan simplisia dimulai dari pengumpulan bahan baku, dimana
kualitas bahan baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa faktor antara lain umur
tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen, dan lingkungan tempat
tumbuh. Sortasi basah merupakan tahap pembuatan simplisia setelah
pengumpulan bahan baku, pada tahap ini kotoran atan bahan asing dibersihkan.
Pencucian merupakan tahap dimana simplisia dibersihkan dari pengotor seperti
tanah. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengalir. Tahap selanjutnya
perajangan, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan yang bertujuan untuk
mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam
waktu yang lama, pengeringan dapat mencegah reaksi enzimatik yang dapat
merusak simplisia. Sortasi kering merupakan proses untuk memisahkan benda
asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan, tahap terakhir yaitu
pengepakan dan pemeriksaan mutu (Depkes RI 1985).
D. Ekstrak
1. Definisi ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga
memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Voight 1994).
2. Pengelompokan ekstrak
Berdasarkan sifat-sifatnya, ekstrak dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu :
15
2.1 Ekstrak cair (extractum fluidum). Ekstrak cair yang memiliki
konsistensi cair dan mudah dituang (Voight 1994).
2.2 Ekstrak encer (extractum tenue). Ekstrak yang memiliki konsistensi
madu dan mudah dituang (Voight 1994).
2.3 Ekstrak kental (extractum spissum). Ekstrak yang memiliki
konsistensi liat dalam keadaan dingin, tidak dapat dituang dengan kandungan air
mencapai 30% (Voight 1994).
2.4 Ekstrak kering (extractum siccum). Ekstrak yang memiliki
konsistensi kering dan mudah digosokkan dengan kandungan lembab tidak lebih
dari 5% (Voight 1994).
E. Ekstraksi
1. Pengertian ekstraksi
Depkes RI (1986) mengemukakan bahwa ekstraksi atau penyarian
merupakan proses penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut
dengan pelarut cair. Proses penyarian pada sel yang dindingnya masih utuh, zat
aktif yang terlarut pada cairan penyari untuk keluar dari sel harus melewati
dinding sel. Proses penyarian dipengaruhi oleh derajat kehalusan serbuk dan
perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat butir serbuk simplisia
sampai ke permukaan maupun pada perbedaan konsentrasi yang terdapat pada
lapisan batas.
2. Pelarut
Cairan penyari yang dapat digunakan yaitu air, etanol, campuran etanol
dan air dan eter. Etanol digunakan sebagai pelarut, karena etanol bersifat lebih
selektif, kapang dan khamir sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun,
netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air dalam segala
perbandingan, dan dibutuhkan panas yang lebih sedikit untuk pemekatan. Etanol
dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin,
antarkuinon, flavonoid, steroid, damar, klorofil, lemak, malam dan tanin, saponin
sedikit larut dalam etanol. Untuk meningkatkan penyarian, etanol dapat dicampur
dengan air tergantung pada bahan yang akan disari (Depkes RI 1986).
16
3. Metode ekstraksi
3.1 Ekstraksi dingin.
3.1.1 Maserasi. Maserasi merupakan proses penyarian yang sederhana,
dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan
penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi
antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel. Maserasi digunakan untuk
penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan
penyari. Keuntungan dari metode tersebut yaitu peralatan yang digunakan
sederhana sedangkan kerugian dari metode tersebut yaitu pengerjaan lama dan
penyarian kurang sempurna (Depkes RI 1986).
3.1.2 Perkolasi. Perkolasi merupakan proses penyarian yang dilakukan
dengan mengalirkan cairan melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi dalam
suatu alat perkolator, prinsip metode ini yaitu serbuk simplisia ditempatkan dalam
bejana silinder, pada bagian bawah diberi sekat berpori. Perkolasi bertujuan
supaya zat berkhasiat tertarik seluruhnya dan biasanya dilakukan untuk bahan
yang tahan ataupun tidak tahan pemanasan. Cairan penyari dialirkan dari atas
kebawah melalui serbuk, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sampai keadaan
jenuh (Depkes RI 1986).
3.2 Ekstraksi panas.
3.2.1 Refluks. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada
temperatur pada titik didih, selama waktu tertentu dan jumlah terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Metode ini dilakukan pengulangan pada
residu pertama 3-5 kali sehingga didapatkan proses ekstraksi sempurna
(Kresnanugraha 2012).
3.2.2 Sokletasi. Sokletasi merupakan ekstraksi dengan pelarut yang
selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
yang berkelanjutan, dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Kresnanugraha 2012).
3.2.3 Digesti. Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan
kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, secara umum
pada temperatur 40-50°C (Kresnanugraha 2012).
17
3.2.4 Dekokta. Dekokta merupakan penyarian simplisia nabati dengan
air pada suhu 90-100°C selama ≥ 30 menit (Kresnanugraha 2012).
3.2.5 Infudasi. Infudasi merupakan proses penyarian yang digunakan
untuk menyari zat aktif dari bahan nabati yang larut dalam air. Penyarian akan
menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar kapang dan khamir. Sari
yang diperoleh tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Proses penyarian yang
dilakukan pada suhu 90°C selama 15 menit (Depkes RI 1986).
4 Penguapan
Penguapan merupakan proses terbentuknya uap dari permukaan cairan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penguapan adalah suhu, waktu, kelembaban,
cara penguapan, dan konsentrasi. Kecepatan terbentuknya uap tergantung atas
terjadinya difusi uap melalui lapisan batas di atas cairan yang bersangkutan,
kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas (Voight
1994).
Pengentalan dapat dilakukan melalui penguapan dengan alat Vacum
Rotary Evaporator di mana ekstrak cair dapat diubah menjadi bentuk ekstrak
kental, yang konsistensinya liat dan kandungan air yang lebih rendah
dibandingkan dengan ekstrak cair (Voigt 1994).
Pada Vacum Rotary Evaporator, putaran labu dalam sebuah pemanas pada
temperatur dan kecepatan putar tertentu, cairan yang terkandung dalam ekstrak
akan diuapkan. Melalui pengaturan dalamnya pencelupan ke dalam penangas air,
suhu penangas, hampa udara, dan suhu pendingin maka kondisi optimal dapat
terpenuhi sehingga proses pengentalan ekstrak dapat berlangsung cepat dan dalam
temperatur yang tidak terlalu tinggi (Voigt 1994).
F. Obat Kumur
1. Definisi obat kumur
Obat kumur adalah sediaan berupa larutan, umumnya dalam konsentrasi
pekat harus diencerkan dahulu sebelum digunakan, dimaksudkan untuk
penggunaan antiseptik yang mampu mencegah atau mengobati, serta mampu
membersihkan sela-sela gigi, permukaan lidah dan gusi, serta mulut bagian
18
belakang atau kerongkongan. Penggunaan sebagian obat kumur bertujuan untuk
mengurangi bau mulut. Sebagian obat kumur lainnya ditujukan untuk fungsi
layaknya air liur, yaitu menjaga mulut tetap lembap dan menetralkan zat asam.
Obat kumur juga dapat digunakan sebagai agen antiinflamasi dan analgetik
topikal (Farah et al. 2009).
2. Fungsi obat kumur
Obat kumur sama halnya seperti pasta gigi mempunyai fungsi yang dapat
dikategorikan sebagai kosmetik, terapeutik, atau keduanya (Harris & Christen
1987). Obat kumur dapat digunakan untuk membunuh bakteri, sebagai penyegar,
menghilangkan bau tak sedap, dan memberikan efek terapeutik dengan
meringankan infeksi atau mencegah karies (Combe 1992). Keefektifan obat
kumur yang lain adalah kemampuannya menjangkau tempat yang paling sulit
dibersihkan dengan sikat gigi dan dapat merusak pembentukan plak, tetapi
penggunaanya tidak bisa sebagai sunsitusi sikat gigi (Claffey 2003).
3. Bahan penyusun obat kumur
Bahan penyusun obat kumur umumnya terdiri atas zat aktif seperti
senyawa fenolik, antimikroba, hexetidine, fluorida, dan garam acid yang berfungsi
untuk mencegah dan mengobati bau mulut, mencegah kerusakan gigi, dan
penyakit periodontal lainnya. Pelarut yang digunakan biasanya berupa pelarut
etanol maupun aquadest murni yang berfungsi sebagai pelarut zat aktif tertentu.
Humektan digunakan untuk mencegah kehilangan air, menambah rasa manis,
meningkatkan tekanan osmotik obat kumur untuk mengurangi resiko
pertumbuhan mikroba, seperti gliserin, sorbitol, dan xylitol. Solubilitas berfungsi
untuk melarutkan perisa alami dan memberikan efek bersih didalam mulut. Zat
tambahan yang digunakan seperti bahan perasa, bahan pengawet, bahan pewarna,
dan dapar juga diperlukan dalam membuat sediaan obat kumur (Vrani 2004).
4. Surfaktan
Surfaktan merupakan emulgator yang berfungsi untuk menstabilkan
emulsi tipe A/M dan M/A. Penambahan emulgator menjadi titik kritis yang perlu
diperhitungkan (Sulaiman & Kuswahyuning 2008). Surfaktan adalah senyawa
yang aktif di permukaan dan terdiri dari gugus polar (hidrofilik) dan gugus
19
nonpolar (lipofilik). Gugus polar dapat bermuatan positif, negatif, amfoterik, dan
tidak bermuatan (nonionik), gugus polar dapat larut dalam pelarut polar.
Sedangkan gugus nonpolar yang tersusun atas rantai hidrokarbon linear atau
bercabang dan tidak larut dalam pelarut polar (Sufriyani 2006).
Penggunaan surfaktan pada obat kumur mempunyai fungsi agen pembusa
dan membantu pengangkatan plak dan sisa-sisa makanan dari gigi. Pembentukan
busa pada obat kumur bertujuan menurunkan tegangan permukaan dan
memungkinkan pembersihan sampai ke sela-sela gigi. surfaktan dapat berinteraksi
dengan kotoran-kotoran pada gigi membentuk misel, sehingga proses ini
membantu pencegahan plak pada gigi (Shanebrook 2004).
Surfaktan juga berperan penting dalam sediaan obat kumur untuk
mencampurkan air dan minyak (Hartono & Widiatmoko 1993). Sodium lauril
sulfat (SLS) sebagai surfaktan menurunkan tegangan permukaan larutan sehingga
dapat mencapurkan minyak (Reynolds 1994). Menurut Mitsui 1997 surfaktan
digunakan untuk mencapai produk akhir yang jernih. Penggunaan SLS berlebih
dapat menyebabkan iritasi pada rongga mulut, penurunan kelarutan saliva serta
perubahan sensitivitas rasa sehingga mengurangi kenyamanan berkumur (Roslan
et al. 2009). Batas pemakaian SLS yang dibenarkan dalam 1-2% (Raymond et al.
2003).
Pemilihan surfaktan dapat ditentukan dengan menghitung nilai HLB, nilai
HLB (hydrophile-lypophile balance) merupakan nilai yang menyatakan
kesimbangan gugus hidrofilik dan lipofilik dari molekul surfaktan. Gugus
hidrofilik kompatibel dengan air, sedangkan bagian lipofilik kompatibel dengan
minyak (Sufriyani 2006). Nilai HLB pada surfaktan sangat mempengaruhi tipe
emulsi yang dibuat. Nilai HLB yang diperoleh tinggi maka emulsi yang terbentuk
yaitu emulsi minyak dalam air (Opier 2016). Nilai HLB 7 menunjukkan molekul
mempunyai afinitas yang sama terhadap air dan minyak. Nilai HLB diatas 7
menunjukkan bahwa surfaktan bersifat hidrofil, sedangkan nilai HLB dibawah 7
menunjukkan bahwa surfaktan bersifat lipofil (Sulaiman & Kuswahyuning 2008).
20
5. Metode pembuatan obat kumur
Pembuatan obat kumur secara umum, pembuatan fase larut air dilakukan
dengan melarutkan bahan-bahan yang larut dalam air. Bahan-bahan yang tidak
dapat larut dalam air dilarutkan dalam fase minyak, kemudian campuran fase
minyak tersebut ditambahkan bahan pengemulsi. Semua bahan yang sudah larut
ditambahkan bahan humektan sedikit demi sedikit aduk hingga homogen,
tambahkan bahan pembantu lainnya seperti bahan pemanis, pengawet, pewarna,
dan dapar (Kono et al. 2018).
6. Pengujian mutu fisik dan stabilitas sediaan obat kumur
6.1 Organoleptis. Pengamatan organoleptis merupakan pengamatan mutu
fisik sediaan obat kumur yang bersifat subjektif untuk mengontrol penampilan
dari sediaan obat kumur tersebut, pengamatan tersebut meliputi bau, warna, dan
kejernihan (Elmitra 2017).
6.2 Homogenitas. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat ketercampuran zat
aktif yang merata sehingga homogen. Homogenitas ini mempengaruhi tampilan
pada sediaan obat kumur (Zain 2012).
6.3 Viskositas. Viskositas merupakan besaran yang menyatakan
kemampuan cairan untuk mengalir. Viskositas mempengaruhi mudah atau
tidaknya sediaan obat kumur untuk dituang. Semakin besar viskositas maka
sediaan obat kumur akan sulit dituang. Adanya perubahan temperatur dapat
mempengaruhi viskositas, dimana viskositas akan menurun jika temperatur
dinaikkan (Ekowati & Inaratul 2016).
6.4 pH. Pengukuran uji pH sediaan obat kumur perlu diperhatikan karena
akan mempengaruhi kondisi rongga mulut, sediaan obat kumur yang tidak sesuai
dengan pH mulut dapat mengakibatkan iritasi pada rongga mulut. Uji pH
dilakukan dengan menggunakan alat pH meter (Ekowati & Inaratul 2016).
6.5 Uji stabilitas. Uji stabilitas bertujuan untuk melihat terjadinya
pemisahan dalam sediaan selama proses penyimpanan. Uji stabilitas dilakukan
dengan menggunakan metode ruang, pada uji ini dilakukan dengan cara
mengamati larutan obat kumur ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis L.)
didalam suhu ruang atau kamar. Suhu ruang yang biasa digunakan yaitu 25°C,
21
kemudian diamati adanya perubahan organoleptis dari obat kumur ekstrak daun
teh hijau (Camellia sinensis L.) tersebut (Ekowati & Inaratul 2016).
G. Uji Daya Hambat Bakteri Streptococcus mutans
1. Metode uji difusi
Metode uji aktivitas antibakteri sediaan secara in vitro ini digunakan untuk
mengetahui aktivitas antibakteri sediaan obat kumur yang mengandung ekstrak
daun teh hijau yang dilakukan dengan pengukuran aktivitas antibakteri
menggunakan metode difusi agar, cakram kertas yang digunakan dilakukan
dengan cara mengukur diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri terhadap
bakteri Streptococcus mutans. Metode pengujian aktivitas antibakteri secara difusi
dapat dilakukan dengan cara:
1.1 Gradient-plate technique. Larutan uji ditambahkan ke dalam media
agar yang sudah dicairkan. Tuang campuran ke dalam cawan petri, letakkan dalam
posisi miring. Nutrisi kedua dituang diatas campuran pertama. Plate diinkubasi
selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan
media mengering. Mikroba uji yang digunakan maksimal 6 macam digoreskan
pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai
panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin
dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan (Ditjen POM 1995).
1.2 Disc diffusion. Digunakan untuk menentukan aktivitas agen
antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar
yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar
tersebut. Area yang berwarna jernih mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar
(Ditjen POM 1995).
1.3 Cup-plate technique. metode ini serupa dengan metode disc diffusion,
dimana dibuat dengan cara sumuran pada media agar yang telah ditanami dengan
mikroorganisme. Sumuran yang dibuat tersebut diberi agen antimikroba yang
akan diuji (Ditjen POM 1995).
22
2. Metode uji dilusi
Sejumlah zat antimikroba dimasukkan ke dalam medium bakteriologi
padat atau cair. Biasanya digunakan pengenceran dua kali lipat zat antimikroba.
Medium akhirnya diinokulasi dengan bakteri yang diuji dan diinkubasi. Tujuan
dari metode dilusi adalah untuk mengetahui seberapa banyak jumlah zat
antimikroba yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
bakteri yang diuji. Uji keretanan dilusi agak membutuhkan waktu yang banyak
dan kegunaannya terbatas pada keadaan tertentu. Uji dilusi kaldu tidak praktis
dan kegunaannya sedikit, apabila dilusi harus dibuat dalam tabung pengujian perlu
adanya serangkaian preparat dilusi kaldu untuk berbagai obat yang berbeda dalam
lempeng mikrodilusi untuk meningkatkan dan mempermudah metode.
Keuntungan uji dilusi adalah uji tersebut memungkinkan adanya hasil kuantitatif
yang menunjukkan jumlah obat tertentu yang diperlukan untuk menghambat atau
membunuh mikroorganisme yang akan diuji (Jawetz et al. 2007).
Cara pengenceran tabung adalah larutan zat antibakteri dilarutkan dengan
pelarut yang sesuai, kemudian diencerkan dengan medium cair berturut-turut pada
tabung yang disusun dalam satu deret hingga konsentrasi terkecil yang
dikehendaki. Tiap tabung berisi campuran media dan larutan zat antibakteri
dengan berbagai konsentrasi ditanami dengan suspensi bakteri yang mengandung
kira-kira 105-10
6 sel bakteri CFU/mL. Selanjutnya dibiakan dalam media tabung
diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Pertumbuhan bakteri diamati
dengan melihat kekeruhan didalam tabung tersebut. Larutan uji agen antimikroba
pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba
ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan tersebut dikultur ulang pada
media baru tanpa penambahan mikroba uji dan diinkubasi selama 18-24 jam.
Media yang tetap jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Jawetz et al.
2007).
H. Media
1. Pengertian media
Media adalah substrat yang diperlukan atau digunakan untuk
mengembangbiakan mikroba. Media dalam suatu penelitian harus dalam keadaan
23
steril, artinya tidak ditumbuhi oleh mikroba lain yang tidak diharapkan. Media
harus memenuhi suatu persyaratan tertentu agar mikroba dapat tumbuh dalam
media yang dibuat dan berkembang dengan baik. Media harus mengandung semua
unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba.
Media juga harus mempunyai tekanan osmosis, tegangan permukaan dan pH yang
sesuai dengan kebutuhan mikroba (Suriawira 2005).
2. Sifat media
Menurut Suriawira (2005) sifat-sifat media dibagi menjadi:
2.1 Media umum. Media yang dapat digunakan untuk menumbuhkan
satu atau lebih kelompok mikroba secara umum, seperti Nutrient Agar. Media
pengaya jika media tersebut digunakan untuk memberi kesempatan terhadap satu
jenis atau kelompok mikroba untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat dari yang
lainnya yang bersama-sama dalam satu sampel.
2.2 Media selektif. Media yang hanya dapat ditumbuh oleh satu atau
lebih mikroorganisme tertentu, tetapi akan menghambat atau mematikan jenis
lainnya.
2.3 Media diferensial. Media yang digunakan untuk menumbuhkan
mikroba tertentu serta penentuan sifat-sifatnya.
2.4 Media penguji. Media yang digunakan untuk penguji senyawa atau
benda-benda tertentu dengan bantuan mikroba.
3. Macam-macam bentuk media
Ada tiga jenis bentuk media menurut Suriawira (2005) yaitu media padat,
cair, dan semi padat atau semi cair.
3.1 Media padat. Media ini pada umumnya dipergunakan untuk bakteri,
ragi, jamur, dan kadang-kadang juga mikroalga. Bahan media padat ditambahkan
antara 12-15 g tepung agar-agar per 1000 ml media.
3.2 Media cair. Media ini biasanya digunakan untuk pembiakan
mikroalga tetapi juga mikroba lain, terutama bakteri dan ragi. Pada media cair ini
tidak ditambahkan zat pemadat.
3.3 Media semi padat atau semi cair. Penambahan zat pemadat dalam
media ini hanya 50% atau kurang dari seharusnya. Media ini umumnya digunakan
24
untuk pertumbuhan mikroba yang banyak memerlukan kandungan air dan hidup
anaerob atau fakultatif.
I. Monografi Bahan
1. Bahan pengemulsi
1.1 Span 80. Span 80 atau sorbitan monooleat merupakan emulgator yang
memiliki nilai HLB 4,3. Span 80 dapat digunakan untuk pegelmulsi, untuk emulsi
air dalam minyak dengan konsentrasi 1-15%. Jika dikombinasi dengan
pengemulsi hidrofilik tipe emulsi air dalam minyak, konsentrasi yang digunakan
1-10% (Rowe et al. 2009).
Gambar 3. Span 80 (Rowe et al. 2009).
1.2 Tween 80. Tween 80 memilik HLB 15, dapat digunakan sebagai
pengelmulsi, wetting agent, dan penstabil. Konsentrasi tween 80 yang digunakan
untuk pengemulsi yaitu 1-15%. Tween berbentuk minyak, jernih, bewarna kuning
muda, hingga coklat muda, larut dalam air dan tidak larut dalam minyak mineral
(Depkes RI 2014).
Gambar 4. Tween 80 (Rowe et al. 2009).
2. Bahan humektan
2.1 Gliserol. Gliserol merupakan senyawa berupa cairan kental, jernih,
tidak berbau, rasanya manis 0,6 kali lebih manis dibandingkan sukrosa dan
25
higroskopis. Gliserin dapat bercampur dengan air, etanol (95%) P, tidak larut
dalam kloroform P, eter P, minyak lemak, dan minyak atsiri. gliserin juga dapat
digunakan untuk mengatur kekentalan pada bahan kosmetik seperti shampoo dan
sabun. Kosentrasi yang digunakan untuk membuat suatu obat kumur yang baik
adalah kurang dari 30% (Rowe et al. 2009).
Gambar 5. Glycerin (Rowe et al. 2009).
3. Bahan pengawet
3.1 Metil paraben. Metil paraben digunakan sebagai pengawet dalam
formulasi farmasetika, makanan, dan kosmetik. Metil paraben memiliki aktivitas
efektif untuk jamur dan kapang. Bahan ini memiliki kelarutan dalam air, etanol
95%, eter (1:10), dan metanol. Bahan ini dapat digunakan dalam bentuk tunggal
dan kombinasi dengan jenis paraben yang lain, pengawet ini memiliki efektifitas
pada rentang pH 4-8, konsentrasi yang digunakan pada sediaan topikal yaitu 0,02-
0,3% (Harun 2014).
Gambar 6. Metil paraben (Rowe et al. 2009).
3.2 Propil paraben. Propil paraben atau nipasol merupakan serbuk hablur
kecil, tidak bewarna, dan memiliki kelarutan yang sangat sukar larut dalam air,
sukar larut dalam air mendidih, mudah larut dalam etanol, dan dalam eter. Propil
paraben memiliki jarak lebur antara 96°C dan 99°C (Depkes RI 2014). Bahan ini
berfungsi sebagai antifungi atau pengawet. Konsentrasi propil paraben yang
digunakan pada sediaan topikal yaitu 0,01-0,6% (Rowe et al. 2009).
26
Gambar 7. Propil paraben (Rowe et al. 2009).
4. Pemanis
4.1 Sorbitol. Sorbitol merupakan serbuk hablur atau granul, higroskopis
berwarna putih, dan berasa manis. Sorbitol sangat mudah larut dalam air, sukar larut
dalam etanol, metanol, dan dalam asam asetat. Kompaktibel dengan bahan pengisi
lain, sejuk dimulut, dan daya kompresibilitasnya baik, pH 4,5-7,0 dan sifat alirnya
kurang baik. Sorbitol memiliki tingkat kemanisan sekitar 50-60% lebih dari tingkat
kemanisan sukrosa dan nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g atau setara dengan 10,87 Kj/g.
Konsentrasi sorbitol yang boleh digunakan untuk membuat sediaan obat kumur
adalah 20-35% (Rowe et al. 2009).
Gambar 8. Sorbitol (Rowe et al. 2009).
4.2 Xylitol. Merupakan senyawa kimia organik yang digunakan sebagai
pemanis buatan pengganti gula. Rumus kimia xylitol adalah (CHOH)3(CH2OH)2.
Gula alkohol ini dapat dijumpai secara alami pada berbagai buah dan sayuran,
seperti bermacam jenis buah beri, oat, sekam jagung, dan jamur. Senyawa ini
dapat juga diperoleh melalui ekstraksi serat jagung, pohon birch, raspberry, plum,
dan jagung. Pada sediaan obat oral kadar kosentrasi xylitol yang diperbolehkan
sebesar 10% (Rowe et al. 2009).
Gambar 9. Xylitol (Rowe et al. 2009).
27
5. Etanol
Etanol disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau hanya
disebut alkohol saja adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar,
tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat
ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah salah
satu obat rekreasi yang paling tua. Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai
tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Etanol sering
disingkat menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5).
Fermentasi gula menjadi etanol merupakan salah satu reaksi organik paling awal
yang pernah dilakukan manusia. Efek dari konsumsi etanol yang memabukkan
juga telah diketahui sejak dulu. Pada zaman modern, etanol yang ditujukan untuk
kegunaan industri seringkali dihasilkan dari etilena.
Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia
yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah pada
parfum, perasa, pewarna makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah
pelarut yang penting sekaligus sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa kimia
lainnya. Konsentrasi penggunaan etanol untuk oral adalah sesuai dengan
kebutuhan sebagai pelarut zat aktif atau secukupnya (Rowe et al. 2009).
Gambar 10. Etanol (Rowe et al. 2009).
6. Aquadestilata
Aquadestilata atau air suling merupakan air murni yang diperoleh dengan
penyulingan dan digunakan sebagai pelarut, berbentuk cairan jernih, tidak
bewarna, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa (Depkes RI 1979).
J. Landasan Teori
Streptococcus mutans adalah bakteri utama penyebab karies gigi. Bakteri ini
dapat hidup pada pH yang rendah. Streptococcus mutans biasanya ditemukan pada
28
rongga mulut, faring dan pencernaan manusia dan menjadi bakteri yang paling
kondusif menyebabkan karies untuk email gigi. Streptococcus mutans mampu
mensintesis polisakarida ekstraselular glukan, dapat memproduksi asam laktat
melalui proses homofermentasi, membentuk koloni yang melekat erat dengan
permukaan gigi, dan lebih bersifat asidogenik daripada spesies Streptococcus lainnya.
Streptococcus mutans telah menjadi target utama dalam upaya mencegah terjadinya
karies gigi (Marsh et al. 2009). Bakteri Streptococcus mutans dapat menyebar ke
permukaan akar yang akhirnya menyebabkan periodontitis kronik, peradangan
gingiva disertai ligamen dan periodontal soket, sehingga bakteri ini dapat
membentuk koloni yang melekat dengan erat pada permukaan gigi. Streptococcus
mutans menghasilkan polisakarida ekstraseluler lengket dari karbohidrat makanan
dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam (Rifdayani 2014).
Penggunaan bahan alam daun teh hijau (Camellia sinensis L.) dapat
dimanfaatkan dalam bentuk sediaan obat, seperti penggunaan obat kumur. Obat
kumur lebih efektif menekan bakteri Streptococcus mutans jika dibandingkan
dengan menggunakan sediaan pasta gigi (Pratiwi 2005). Daun teh hijau sebagian
besar mengandung ikatan biokimia yang disebut polyphenols, termasuk
didalamnya flavonoid. Daun teh hijau yang termasuk didalamnya golongan
flavonoid dapat memberikan perlindungan terhadap serangga, jamur, virus, dan
bakteri (Balittri 2013).
Berdasarkan penelitian Fajriani dan Sartini (2015), ekstrak daun teh hijau
(Camellia sinesis L.) mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan
bakteri Streptococcus mutans dengan berbagai konsentrasi. Konsentrasi maksimal
daya hambat ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis L.) dalam menghambat
bakteri Streptococcus mutans adalah 2% dengan diameter hambat sebesar 17,76
mm, sedangkan dengan konsentrasi 1% ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis
L.) dapat menghambat bakteri Streptococcus mutans dengan diameter hambat
sebesar 17,38 mm. Konsentrasi paling minimal ekstrak daun teh hijau (Camellia
sinensis L.) untuk menghambat bakteri Streptococcus mutans yaitu 0,5% dengan
diameter hambat sebesar 16,48 mm.
29
Menurut Wiley (2009) obat kumur dapat membersihkan bagian yang
paling sulit dijangkau dengan sikat gigi, sehingga menggunakan sikat gigi tidak
cukup membersihkan rongga mulut dengan sempurna. Obat kumur dapat
digunakan untuk membunuh bakteri, sebagai penyegar, menghilangkan bau tak
sedap, dan memberikan efek terapeutik dengan meringankan infeksi atau
mencegah karies (Combe 1992). Menurut penelitian Sartika (2015) sediaan obat
kumur ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis L.) mempunyai mutu fisik dan
stabilitas yang baik sesuai dengan standar obat kumur yang sudah ditetapkan.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah menurunkan jumlah koloni
bakteri patogen dalam rongga mulut, mengontrol plak yang merupakan langkah
awal untuk mengontrol terjadinya karies gigi dan mengukur zona hambat ekstrak
daun teh hijau (Camellia sinensis L.) terhadap bakteri Streptococcus mutans.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah tentang efek
bakterisidal ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis L.) dalam membunuh
bakteri Streptococcus mutans secara in vitro (Rifdayani 2014).
K. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun suatu hipotesis yaitu :
Pertama, uji mutu fisik dan stabilitas sediaan obat kumur ekstrak daun teh
hijau (Camellia sinensis L.) menghasilkan sediaan dengan stabilitas fisik yang
baik.
Kedua, obat kumur ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis L.)
mempunyai aktivitas antibakteri Streptococcus mutans ATCC 25175.
Ketiga, sediaan obat kumur dengan berbagai variasi konsentrasi ekstrak,
didapatkan konsentrasi paling aktif obat kumur ekstrak daun teh hijau (Camellia
sinensis L.) yang mampu menghambat hambat bakteri Streptococcus mutans.