BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1 ...repository.ump.ac.id/8181/2/Hilda Febrianti...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1 ...repository.ump.ac.id/8181/2/Hilda Febrianti...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronik
1. Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia
adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2014).
Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada tabel 2.1
Tabel 2.1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal ( renal damage ) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ( imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit
ginjal kronik (Suwitra, 2014).
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
15
2. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertropi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus.Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantai oleh growth factor seperti transforming growth factor β
(TFG – β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progesifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia,dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibriosis glomerulus maupun tubulointerstitial
(Suwitra, 2014).
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
16
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve) , pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan atau pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi salutran kemih, infeksi saluran napas,
infeksi saluran cerna, gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra,
2014).
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
17
3. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Penyebab CKD diberbagai Negara hampir sama, akan tetapi akan
berbeda dalam perbandingan persentasenya. CKD pada umumnya dapat
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Fauci, 2009. Hlm 794-798):
Tabel 2.2. Penyebab umum CKD
- Diabetik nefropati
- Hipertensi nefrosklerosis
- Glomerulonefritis
- Renovakular disesase (iskemik nefropati)
- Penyakit polikistik ginjal
- Refluk nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya
- Intersisial nefritis, termasuk nefropati analgesic
- Nefropati uang berhubungan dengan HIV
- Transplant allograft failure (“chronic rejection”)
Sumber: Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition, International Edition
4. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal
dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Bare, 2008). Menurut Ketut
Suwitra (2014) penatalaksanaan PGK meliputi terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid,
memperlambat pemburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan
tatalaksana PGK sesuai derajatnya dijelaskan pada Tabel 2.3.
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
18
Tabel 2.3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
DERAJAT LFG (ml/mn/1,73m2) RENCANA TATALAKSANA
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukkan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
2 60 – 89 Menghambat pemburukan (progression) fungsi
ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂ 15 Terapi pengganti ginjal
Sumber : Suwitra (2014)
B. Hemodialisis
1. Definisi
Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa
metabolisme berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada
darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer
(Thomas,2003). Hemodialisis juga didefinisikan sebagai suatu proses
pengubahan komposisi salut darah oleh larutan lain ( cairan dialisat )
melalui membran semipermiabel ( membran dialisis ). Saat ini terdapat
berbagai definisi hemodialisis, tetapi pada prinsipnya hemodialisis adalah
suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui
suatu membran semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut (Suhardjono, 2014).
2. Prinsip Hemodialisis
Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi dan
ultrafiltrasi. Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membran
semipermeabel berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul. Laju
difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
19
adalah mekanisme utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea,
kreatinin, elektrolit, dan untuk penambahan serum bikarbonat. Laju difusi
sebanding dengan suhu larutan (meningkatkan gerakan molekul secara
acak) dan berbanding terbalik dengan viskositas dan ukuran molekul yang
dibuang (molekul besar akan terdifusi dengan lambat). Dengan
meningkatkan aliran darah yang melalui dialiser, akan meningkatkan klirens
dari zat terlarut dengan berat molekul rendah (seperti urea, kreatinin,
elektrolit) dengan tetap mempertahankan gradien konsentrasi yang tinggi.
Zat terlarut yang terikat protein tidak dapat dibuang melalui difusi karena
protein yang terikat tidak dapat melalui membran. Hanya zat terlarut yang
tidak terikat protein yang dapat melalui membran atau terdialisis
(Suhardjono, 2014).
Ultrafiltrasi adalah aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang terjadi
akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Air
dan zat terlarut dengan berat molekul kecil dapat dengan mudah melalui
membran semipermeabel, sedangkan zat terlarut dengan berat molekul besar
tidak akan melalui membran membran semipermeabel. Ultrafiltrasi terjadi
sebagai akibat dari perbedaan tekanan positif pada kompartemen darah
dengan tekanan negatif yang terbentuk dalam kompartemen dialisat yang
dihasilkan oleh pompa dialisat atau transmembran pressure (TMP). Nilai
ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan / gradien tekanan persatuan waktu.
Karakteristik membran menentukan tingkat filtrasi, membran high flux
mempunyai permukaan kontak yang lebih tipis dan memiliki pori – pori
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
20
yang besar sehingga mempunyai tahanan yang rendah untuk filtrasi.
Permeabilitas membran diukur dengan koefisien ultrafiltrasi dengan satuan
mL/ mmHg/ jam dengan kisaran antara 2 – 50 mL/ mmHg / jam
(Suhardjono, 2014).
Selain kemampuan difusi dan filtrasi, membran dialisis yang sintetik
mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi protein seperti sitokin,
interleukin, dan lain – lain. Sehingga dapat mengurangi konsentrasi
interleukin dan protein lain yang terlibat dalam proses inflamasi atau
sindrom uremia. Hal ini tentu sangat bermanfaat pada pasien dengan
inflamasi.
3. Tujuan
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil mengambil zat – zat
nitrogen yang toksik dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam – basa, mengembalikan beberapa manifestasi kegagalan
ginjal yang irreversibel (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk, 2009).
Walaupun hemodialisis dapat mencegah kematian namun demikian tidak
menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal.
4. Indikasi dan Kontraindikasi
Kidney Desease Outcome Quality (KDOQI) tahun 2015
merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat serta resiko memulai
terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG <30 mL/menit/1.73m2
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
21
(Tahap 4). Edukasi mengenai Penyakit Ginjal Kronik dan pilihan terapi
dialisis mulai diberikan kepada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap
4, termasuk pasien yang memiliki kebutuhan segera untuk dialisis.
Keputusan untuk memulai perawatan dialisis pada pasien harus didasarkan
pada penilaian tanda atau gejala uremia pada pasien, tanda kekurangan
energi-protein, bukan pada pasien dengan stadium tertentu tanpa adanya
tanda - tanda atau gejala tersebut (Rocco et al., 2015).
Pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 5 inisiasi HD
dimulai dengan indikasi sebagai berikut :
a. Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan dan/
hipertensi.
b. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi
farmakologis.
c. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat.
d. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi pengikat
fosfat.
e. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan besi.
f. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa sebab
yang jelas.
g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala
mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
22
h. Adanya gangguan neurologis (neuropati ensefalopati, gangguan
psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab
lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.
Kontraindikasi dilakukannya hemodialisis dibedakan menjadi 2
yaitu, kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi
absolut adalah apabila tidak didapatkannya akses vascular. Sedangkan untuk
kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukannya kesulitan akses vaskular,
fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan koagulopati (Suhardjono, 2014).
5. Quick Blood (Blood flow)
Quick blood /Qb adalah jumlah darah yang dapat dialirkan dalam
satuan menit (ml/menit). Daugirdas, Black & Ing (2007) mengatakan
bahwa Qb merupakan salah faktor yang dapat mempengaruhi bersihan
ureum. Jika Qb dinaikkan maka dialiser dapat mengeluarkan ureum dalam
jumlah yang lebih banyak ke kompartemen dialisat sehingga bersihan dapat
dicapai dengan optimal. Quick blood Adalah besarnya aliran darah yang
dialirkan ke dalam dialiser yang besarnya antara 200-600 ml/menit dengan
cara mengaturnya pada mesin dialisis. Pengaturan Qb 200 ml/menit akan
memperoleh bersihan ureum 150 ml/menit, dan peningkatan Qb sampai 400
ml/menit akan meningkatkan bersihan ureum 200 ml/menit. Kecepatan
aliran darah (Qb) rata-rata adalah 4 kali berat badan pasien, ditingkatkan
secara bertahap selama hemodialisis dan dimonitor setiap jam (Septiwi,
2010). Konsesus Dialisis Pernefri (2008) menyampaikan bahwa nilai Quick
blood minimal adalah 200 – 300 ml/menit.
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
23
C. Komplikasi Intradialisis
Meskipun hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang
jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang
mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien
yang menjalani hemodialisis akan mengalami sejumlah permasalahan dan
komplikasi serta adanya berbagai perubahan pada bentuk dan fungsi sistem
dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008; Knap, 2005). Menurut Daugirdas et al,
(2007) Komplikasi hemodialisis dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik.
1) Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil (Daugirdas et al., 2007). Komplikasi yang cukup sering terjadi
adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat
hemodialisis atau hipertensi intradialisis. Komplikasi yang jarang terjadi
adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia,
aktivasi komplemen, hipoksemia (Daugirdas et al., 2007).
2) Komplikasi kronik
Komplikasi kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi yaitu
(Bieber dan Himmelfarb, 2013) :
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
24
Penyakit janutng, malnutrisi, hipertensi (karena kelebihan cairan), anemia,
renal osteodystrophy, neuropati, disfungsi reproduksi, komplikasi pada
akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, acquired cystic kidney
disease. Daugirdas et al (2007) menyebutkan juga bahwa komplikasi
intradialisis yang biasa dialami pasien hemodialisis kronik adalah aritmia,
hemolisis, dan emboli udara.
Berikut ini akan diuraikan tentang hipotensi, kram, pusing, nyeri
dada, demam, hipertensi, aritmia, hemolisis dan emboli udara.
a. Hipotensi Intradialisis
Hipotensi intradialisis adalah penurunan tekanan darah sistolik ˃
30% atau penurunan tekanan diastolik sampai dibawah 60 mmHg yang
terjadi saat pasien mengalami hemodialisis, disebabkan oleh karena
penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi
panas, obat anti hipertensi (Shahgholian et al, 2008).
Penyebab dari Hipotensi intradialisis (IDH) adalah multifaktoral.
Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan
darah selama hemodialisis; Umum, komorbid seperti diabetes dan
kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG),
penggunaan obat – obat anti hipertensi. Pada sisi lain, faktor – faktor
yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi
terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju
ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi
sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
25
membran dan lain – lain (Shahgholian et al, 2008). Penelitian yang
dilakukan Lai,dkk (2011) menyebutkan bahwa IDWG absolut dengan
IDWG% berkorelasi secara signifikan terhadap hipotensi intradialisis.
Walaupun hasil menunjukkan bahwa IDWG absolut lebih dominan
dalam mempengaruhi kejadian hipotensi intradialisis.
b. Kram otot
Kram otot terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya
idiopatik namun diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh
peningkatan volume ekstraseluler, Intradialytic muscle craping, biasa
terjadi pada ekstremitas bawah (Holley et al, 2007).
c. Pusing (headache)
frekuensi sakit kepala saat dialisis adalah 5% dari keseluruhan
prosedur hemodialisis. Penelitian menunjukkan bahwa migren akibat
gangguan vaskuler dan tension headache adalah dua tipe sakit kepala
yang dialami oleh pasien saat hemodialisis (Teta, 2007).
d. Nyeri dada
Daugirdas, et al (2007) menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat
hemodialisis frekuensinya adalah 1- 4%. Nyeri dada saat hemodialisis
terjadi akibat penurunan hemotokrit dan perubahan volume darah karena
penarikan cairan.
e. Demam
Demam selama hemodialisis adalah terjadinya peningkatan suhu
tubuh selama hemodialisis lebih dari 0,5% atau suhu rectal atau aksila
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
26
selama dialisis lebih dari 38oC. Mayoritas (70%) reaksi febris
berhubungan dengan infeksi akses vaskuler, perkemihan dan pernafasan.
Demam selama hemodialisis juga berhubungan dengan jenis dalisat yang
digunakan dan reaksi hipersensitifitas (FMNCA, 2007).
f. Hipertensi Intradialisis
Terjadinya hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat
peningkatan tahanan perifer. Penelitian oleh Landry, et al (2007)
menunjukkan bahwa pada pasien yang mengalami hipertensi terjadi
peningkatan tahanan perifer vaskuler Resitence (PVR) yang signifikan.
Peningkatan resistensi vaskuler dapat dipicu oleh kelebihan cairan
pradialisis juga akan meningkatkan resistensi vaskuler. Akibatnya curah
jantung meningkat, menyebabkan peningkatan tekanan darah selama
dialisis.
g. Aritmia
Aritmia saat hemodialisis dapat terjadi karena berbagai sebab,
yaitu: adanya hipertensi, penyakit jantung, penarikan kalium yang
berlebihan dan terapi digoxin (FMNCA, 2007).
h. Hemolisis
Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat
pelepasan kalium intraseluler. Penyebabnya adalah peningkatan tekanan
vena akibat adanya sumbatan akses selang darah dan sumbatan pada
pompa darah, peningkatan tekanan negative yang berlebihan karena
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
27
penggunaan jarum yang kecil pada kondisi aliran darah yang tinggi
(Kallenbach et al, 2005).
i. Emboli udara
Emboli udara terjadi ketika udara atau sejumlah busa
(mikrobuble) memasuki sistem peredaran darah pasien melalui selang
darah yang rusak (Kallenbach et al, 2005).
D. Penambahan Berat Badan Antara Dua Waktu Dialisis (Interdialytic
Weight Gain)
1. Definisi
Penambahan berat badan antara dua waktu dialisis (Interdialytic
Weight Gain) adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan
dengan peningkatan berat badan, sebagai dasar untuk mengetahui jumlah
cairan yang masuk selama periode interdialitik (Arnold, 2008). Penambahan
berat badan di antara dua waktu dialisis (Interdialityc Weight Gain) dihitung
berdasarkan berat badan kering (dry weight). Berat badan kering adalah
berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk antara perawatan dialisis
atau berat badan terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan
dialisis (Thomas, 2003). IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah
tidak lebih dari 1,0-1,5 kg (Lewis, Stabler & Welch, 2000) atau tidak lebih
dari 3 % dari berat badan kering (Smeltzer & Bare, 2001).
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
28
2. Klasifikasi
Menurut Neumann (2013) IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh
adalah tidak lebih dari 3% dari berat badan kering. Menurut Yetti (2001
dalam Istanti, 2009) IDWG dapat diklasifikasikan berdasarkan persentase
kenaikan berat badan pasien, dimana IDWG dikatakan ringan bila
penambahan berat badan <4%, IDWG sedang bila penambahan berat badan
4-6%, dan IDWG berat jika penambahan berat badan >6%. Sedangkan,
Kozier (2004) mengklasifikasikan penambahan berat badan menjadi 3
kelompok, yaitu ringan 2 %, sedang 5 %, dan berat 8 %.
Tabel 2.4
Klasifikasi Kenaikkan Berat Badan
3. Pengukuran Berat Badan antara Dua Waktu Dialisis (Interdialityc
Weight Gain)
IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan
cairan. IDWG diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien
dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah
berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan
hemodialisis atau berat terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan
dialisis (Kallenbach, 2005).
Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah
hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan pasien
Rentang Prosentase Kenaikan Rentang Kenaikan Dalan Penelitian
2% ˂ 4% 0% – > 6 %
5% 4 – 6%
8%
(Kozier,2004)
˃ 6%
(Yetti,2001)
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
29
setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama (pengukuran I).
Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien ditimbang lagi sebelum
(pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara
pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan
100%. Rumus :
IDWG = (BB pre dialisis (HD II) – BB post dialisis (HD I) x 100 %
BB pre dialisis (HD II)
Keterangan :
BB post dialisis (HD I) = BB pasien setelah (post) HD pada
periode hemodialisis pertama (pengukuran I).
BB pre dialisis (HD II) = BB pasien sebelum (pre) HD pada
periode hemodialisis kedua (pengukuran II).
Contoh : BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke 2
adalah 58 kg, prosentase IDWG (58 − 54) : 58 x 100% = 6,8 % . Manifestasi
dari hasil tersebut yaitu terjadi penambahan IDWG dalam kategori berat
(Istanti, 2009).
4. Komplikasi
Penambahan berat badan antara dua waktu dialisis yang ditandai
dengan kelebihan cairan yang berlebihan sangat erat kaitannya dengan
morbiditas dan mortalitas (Liberg, et al, 2009). Penambahan berat badan
yang berlebihan diantara waktu dialisis dapat menimbulkan komplikasi dan
masalah bagi pasien diantaranya yaitu : hipertensi yang semakin berat,
gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal yang dapat
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
30
meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawat daruratan hemodialisis,
meningkatnya resiko dilatasi, hipertropy ventrikuler dan gagal jantung (
Smeltzer & Bare, 2002; Corwin, 2007; Saran et al, 2003 dalam perkin et al,
2006).
Menurut Pace (2007), IDWG melebihi 4.8% akan meningkatkan
mortalitas meskipun tidak dinyatakan besarannya. Sedangkan Gomez
menyatakan bahwa IDWG yang tinggi erat kaitannya dengan cairan berlebih
dan merupakan prekursor tingginya tekanan darah pre-dialisis (Gomez,
2005). Penambahan nilai IDWG yang terlalu tinggi akan dapat
menimbulkan efek negatif terhadap keadaan pasien, diantaranya hipotensi,
kram otot, hipertensi, sesak nafas, mual dan muntah, dan lainnya (Brunner
and Suddarth, 2005). Pace (2007), mengungkapkan komplikasi overload
cairan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) adalah hipertensi,
edema perifer dan ascites. Suharto (2004) menyatakan bahwa penambahan
berat badan karena cairan (overfluid) menjadi salah satu prognosis gagal
ginjal yang mempengaruhi waktu survival. Artinya, semakin besar
penambahan berat badan maka semakin rendah tingkat keselamatan.
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
31
E. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Suwitra (2014), Suhardjono (2014), Yetti (2001), (Smeltzer &
Bare, 2005; Daugirdas 2007)
Gagal Ginjal Kronik
(GGK)
Tindakan Hemodialisis
Kejadian Komplikasi
Intradialisis
Interdialytic Weight
Gain (IDWG)
1. Hipotensi
2. Kram otot
3. Pusing
4. Nyeri dada
5. Sesak nafas
6. Mual dan
muntah
7. Demam
8. Hipertensi
IDWG ringan < 4%
IDWG sedang 4 - 6%
IDWG berat > 6%
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018
32
F. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Pe
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
G. Hipotesis
Menurut Arikunto (2010) hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang
terkumpul. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a. H0 : Tidak ada hubungan antara interdialytic weight gain (IDWG)
dengan kejadian komplikasi intradialisis pada pasien yang
menjalani hemodialisis di RSUD PROF. dr. Margono Soekarjo.
b. Ha : Ada hubungan antara interdialytic weight gain (IDWG) dengan
kejadian komplikasi intradialisis pada pasien yang menjalani
hemodialisis di RSUD PROF. dr. Margono Soekarjo.
Penambahan berat badan
antara dua waktu dialisis (
Interdialytic Weight Gain)
Kejadian komplikasi
intradialisis
Hubungan Interdialytic Weight..., Hilda Febrianti Renasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018