BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian...
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Poligami
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam
masyarakat adalah poligami karena mengundang pandangan yang
kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami
mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang
melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami.
Selain poligami disebut juga poliandri. Jika dalam poligami suami yang
memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justri istri yang
mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi
dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan.
Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu seperti
suku Tuda dan suku-suku di Tibet.20
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa
Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak
dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian
poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara terminologi dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai ikatan
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa
20Musdah Mulia, Islam Mengguggat, hal. 46.
24
lawan jenis dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami berarti
menjalankan atau melakukan poligami.21
Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan
batasan empat atau bahkan lebih dari Sembilan isteri. Singkatnya,
poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang bersamaan.
Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan
bersifat poligami.
Islam mendefinisikan poligami sebagai perkawinan seorang suami
dengan isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang
isteri dalam waktu yang bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS. al-
Nisa’(4): 3 yang berbunyi:
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa
batasan poligami itu boleh lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari
sembilan isteri. Namun batasan maksimal empat isterilah yang paling
banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan dalam sejarah.22
21WJS Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta:Balai Pustaka, 1984), hal. 693. 22Al-Syaukani, Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir Jilid I(Beirut:Dar al-Fikr, 1973), hal. 240.
25
B. Historisitas Poligami
Menurut catatan sejarah, poligami telah ada jauh sebelum Islam
hadir. Bahkan praktik poligami pada saat itu dapat dikatakan cukup
marak. Hal ini dapat dilihat dari ajaran agama yang dibawa oleh para nabi
sebelum Rasulullah. Nabi Musa misalnya, ia tidak melarang dan juga
tidak membatasi jumlah wanita yang diperistri oleh seorang lelaki.Baidan
mengemukakan bahwa poligami sudah ada di kalangan bangsa-bangsa
yang hidup pada zaman purba, seperti Yunani, China, India, Babilonia,
Asyria, Mesir, dan lain-lainnya. Bahkan, poligami pada masyarakat
tersebut tidak dibatasi jumlahnya hingga mencapai 130 istri bagi seorang
suami. Seorang raja di China malah memiliki istri sebanyak 30.000
orang.23
Kitab Talmud yang disebut sebagai penafsiran hukum Taurat telah
membatasi berapa istri yang boleh dinikahi. Akan tetapi, umat Yahudi
pada akhirnya menjalankan poligami tanpa memberikan batasan
mengenai jumlah istri. Sebagianahli hukum dari Bangsa Yahudi melarang
praktik poligami, namun sebagian lainnya memperbolehkan dengan syarat
istri pertama mandul.24Namun, menurut Abbas Al-‘Aqqad, agama
samawi selain Islam, termasuk Yahudi dan Nasrani, membolehkan
pemeluknya untuk menikah secara poligami tanpa adanya batas. Dalam
23Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hal. 38. 24Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta:UII Press, 1999), hal. 37.
26
bukunya, Haqa>iq Al-Isla>m wa Aba>thilu Khushu>mihi, ia
mengatakan, tidak ada larangan di dalam Taurat maupun Injil untuk
beristri banyak. Memiliki istri yang banyak jumlahnya merupakan sesuatu
yang diperbolehkan yang diambil dari (ajaran) nabi-nabi mereka sejak
zaman Nabi Ibrahim sampai dengan anak keturunannya.25
Syariat yang dibawa oleh Nabi Isa juga tidak melarang poligami.
Umat Nasrani kuno tidak ada yang menyatakan bahwa poligami tidak
diperbolehkan. St. Agustinus juga menyatakan kebolehan poligami.
Bahkan, di abad IV, Raja Valintinian membuat undang-undang yang
mengizinkan seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu. Baru pada
masa Raja Yustinian dikeluarkan larangan poligami.Ajaran Zoroaster
melarang bangsa Persia berpoligami, namun membolehkan memelihara
gundik. Karena mereka banyak berperang, maka dibutuhkan keturunan
laki-laki dalam jumlah banyak dari istri maupun gundiknya. Meski
awalnya dilarang, praktik poligami pada akhirnya tetap terjadi. Tidak ada
undang-undang yang melarang poligami ataupun yang membatasi jumlah
istri.26
Selain Persia, Bangsa Romawi juga mengenal poligami. Raja-raja
atau kaisar-kaisar mereka melakukan poligami. Begitu pula Bangsa
Yunani. Raja Sillia beristrikan lima orang wanita. Caesar dan Pompius
masing-masing mempunyai empat istri. Di Athena, poligami bahkan
25Hariyanti, “Konsep Poligami dalam Hukum Islam”,Jurnal Risalah Hukum, Vol. 4 No. 2, 2008, hal. 106. 26 Ahmad Azhar Basyir, hal. 37.
27
dibolehkan tanpa adanya pembatasan jumlah istri. Athena, yang ketika itu
menjadi pusat peradaban Yunani kuno dan dikenal sebagai kiblat ilmu
pengetahuan pada masa purbakala, kedudukan wanita tidak lebih. Mereka
bisa diperjualbelikan dan diwariskan. Wanita dianggap buruk dan hanya
untuk mengatur rumah tangga dan melahirkan keturunan. Orang Athena
bebas mengambil istri sesuai kehendaknya, tanpa batas. Di Sparta,
walaupun kaumlaki-lakinya tidak diperbolehkan mempunyai istri lebih
dari seorang kecuali karena sebab-sebab khusus, kaum wanitanya boleh,
bahkan hampir selalu mempunyai lebih dari seorang suami.27
Menanggapi masalah poligami ini berkembang berbagaipendapat
di berbagai kalangan. Masyarakat Barat (Eropa dan Amerika Serikat)
berdalih bahwa sistem poligami akan membuat pertentangan dan
perpecahan antara suami dan isteri serta anak-anaknya. Kondisi seperti ini
pula yang mengakibatkan tumbuhnya perilaku yang buruk pada anak-
anak. Mereka juga berpendapat bahwa poligami akan mengikis kemuliaan
perempuan. Menurut mereka, perempuan tidak dapat merasa memiliki
hak dan kemuliaan, jika ia masih merasa bahwa orang lain juga memiliki
hati, cinta, dan kasih sayang suaminya. Seorang isteri senantiasa
menginginkan agar suami menjadi milik satu-satunya, sebagaimana juga
suami berhak menjadikan isteri milik satu-satunya tanpa yang lain.28
27Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah (Surabaya:Bina Ilmu, 1995), hal. 169-171. 28Marzuki, “Poligami Dalam Islam”, diakses pada tanggal 24 Maret dari http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30251/1/SITI%20KHODIJAH-FSH.pdf.
28
Pandangan Barat seperti di atas tidak lepas dari background agama
yang dianut di Barat. Mayoritas masyarakat Barat menganut agama
Nasrani (Kristen/Katolik). Agama Nasrani menurut penganutnya
melarang poligami. Sebenarnya tidak ada satu pernyataan dalam kitab
suci Injil bahwa Yesus melarang poligami. Umat Kristen pada awalnya
banyak yang melakukan poligami dengan mengikuti tradisi Yahudi.
Dalam kitab suci Kristen dijelaskan bahwa Raja Sulaiman memiliki 100
isteri,puteri-puteri mahkota, dan 300 gundik Anak laki-lakinya, Raja
Daud, memiliki 18 isteri dan 60 orang gundik. Talmud memberi nasihat
agar setiap laki-laki tidak menikah lebih dari 4 isteri, yakni jumlah isteri
yang dimiliki Ya’qub. Tidak ada konsili gereja pun pada abad-abad
pertama menentang poligami. Pada tahun 1531 para penganut (sekte
Kristen) Anabaptis secara terang-terangan menyatakan bahwa orang
Kristen yang sejati harus memiliki beberapa orang isteri.29
Agama al-Masih, pada dasarnya tidak melarang umatnya untuk
berpoligami, bahkan dalam ajarannya terdapat nash yang membolehkan
mereka untuk berpoligami, sebagaimana yang dikatakan oleh Bulls yang
mengatakan, “Seharusnya para uskup tidak hanya memiliki satu isteri
saja”. Begitu juga dia mengatakan, “Seharusnya penjaga gereja memiliki
isteri satu”30
29Ibid. 30Munirul Abidin Farhan, Poligami Berkah atau Musibah Cet. I (Jakarta:Senayan Publishing, 2007), hal. 6.
29
Setelah agama Kristen direvisi sejalan dengan ajaran-ajaran Paulus,
konsep-konsep monogami dimasukkan ke dalam filsafat Kristen dan
menyesuaikannya dengan budaya Yunani-Romawi. Di zaman dahulu
Yunani dan Romawi sudah mengembangkan bentuk monogami yang
terlembagakan dalam berbagai masyarakat yang mayoritas penduduknya
adalah budak-budak yang bisa dimanfaatkan secara bebas. Karena itulah,
apa yang dulu diistilahkan secara teoritis sebagai monogami sebenarnya
merupakan poligami tanpa batas. Hingga sekarang agamaKristen
melarang penganutnya untuk melakukan poligami.31
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola
pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Pada masa di mana
masayarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina,
poligami menjadi subur, sebaliknya pada masa masyarakat memandang
kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligamipun berkurang.
Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi
rendahnya kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat.32
Bangsa Arab pada masa pra-Islam juga menjalankan praktik
poligami. Sahabat Nabi Muhammad bahkan ada yang beristri hingga
sepuluh wanita. Ini dapat diketahui dari hadis yang ditakhrij oleh Imam
At-Tirmidzi berikut:
31Ibid. 32 Musdah Mulia, Islam Menggugat, hal. 127.
30
هن اختـر : ص النبي له فـقال سوة ن عشر تحته و اسلم الثـقفي سلمة بن غيلان ان عمر ابن عن : فىلفظ و . منـ
و الدارقطنى و ماجه ابن و الترمذى وداحم و شيبة ابى ابن و الشافعى(سائرهن فارق و .اربـعا امسك
)البيهقى
“Dari Ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam. Saat itu dia mempunyai sepuluh orang istri pada masa Jahiliyah. Mereka pun ikut memeluk Islam bersamanya. Maka, Nabi SAW lantas memerintahkan Ghailan untuk memilih empat orang di antara mereka(HR. Jama’ah).”33
Dalam konteks sejarah Islam, ayat tentang poligami turun setelah
berakhirnya Perang Uhud yang memakan korban meninggal dunia
sebanyak 70 orang laki-laki dari 700 tentara muslim yang ikut berperang.
Dampaknya, tidak sedikit muslimah menjadi janda dan banyak anak yatim
yang telantar. Melihat situasi sosial pada masa itu, cara terbaik untuk
menolong para janda dan anak yatim adalah dengan menikahi mereka,
dengan syaratmampu berlaku adil.34
Pelaksanaan poligami sesuai fakta sejarah telah terjadi jauh
sebelum Islamhadir ditengah-tengah generasi awal Islam hingga generasi
sekarang. Maka terasaaneh, apa yang telah ditulis oleh Will Durant dalam
bukunya :”The Story ofCivilization” di abad pertengahan, para teolog
berpendapat melalui propaganda yangdilancarkan terhadap Islam, ialah
Muhammad-lah yang pertama kali memperkenalkanpoligami di dunia, dan
pondasi Islam terletak pada poligami. Ditegaskan bahwapenyebab
33Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa As-Sulami At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Hadist Nomor 1047, Juz 4, Maktabah Syamilah, hal. 33. 34Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj.Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta:LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994), hal. 143-144.
31
pesatnya penyebaran agama Islam dikalangan berbagai bangsa dan rakyat
dunia ialah dihalalkannya poligami; sementara penyebab utama
kemunduran dunia timur adalah juga poligami.35
Sedangkan dalam konteks nusantara, terlebih lagi pada daerah yang
menganut hukum Islam sebagai sumber utama peraturannya, seperti
halnya Aceh, keberadaan poligami juga diakui. Snouck Hurgronje
menyatakan bahwa pada abad ke-19, praktik pernikahan secara poligami
merupakan hal yang umum dilakukan oleh kalangan guru agama,
bangsawan, ataupun orang-orang terpandang karena kesalehan atau tingkat
pendidikannya. Orang Aceh dengan senang hati mengawinkan putri
mereka kepada orang-orang tersebut, walaupun hanya dijadikan istri
kedua, ketiga, atau keempat.36
Augustin de Beaulieu, seorang penjelajah dari Perancis, yang
berada di Aceh pada 1620-1621, menuliskan deskripsi tentang kondisi
Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Dalam aspek poligami,
orang-orang kaya maupun penguasa memiliki kebebasan untuk
memperistri perempuan sebanyak yang ia inginkan, selagi kekuatan
ekonominya memungkinkan untuk memberikan pemenuhan terhadap hak-
35Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan, Menakar Feminisme dengan Nalar Agama (Bandung:Alumni, 2010), hal. 179. 36Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, terj. Ng. Singarimbun (Jakarta:Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 401-402.
32
hak para istri. Menurut pengamatannya, jumlah istri yang dimiliki seorang
lelaki berbanding lurus dengan status sosialnya.37
C. Dalil-Dalil tentang Poligami
Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami
adalah sebagai berikut:
An Nisa’: 3
ورباع وثلاث مثـنى ساء الن ن م لكم اب ط ما فانكحوا اليـتامى في تـقسطوا ألا خفتم وإن
﴾٣:النساء﴿ عولوات ـ ألا دنى أ لك ذ انكم أيم ملكت ما أو فـواحدة تـعدلوا ألا خفتم فإن
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.38
Dari ayat ini apabila dibaca secara harfiah, sangat jelas bahwa ada
tekanan lebih pada perlakuan adil. Dan seharusnya ini tidak ditentukan
oleh si suami sendirian apakah dia bisa memperlakukan para isterinya
dengan adil atau tidak.39
Khusus mengenia asbabun al-nuzul surat al-Nisa’ ayat 3 tersebut,
Al-Shabuni mengemukakan bahwa al-Bukhori meriwayatkan dari ‘Urwah
bin Zubair sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman
Allah SWT di atas. lalu Aisyah berkata: hai anak saudaraku, si yatim ini
37Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, terj. Winarsih Arifin (Jakarta:KPG, 2008), hal. 84. 38Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 77 39Abu Fikri, Poligami yang tak Melukai Hati, Cet. I (Bandung:Mizan, 2007), hal. 84.
33
berada di bawah perwaliannya dan hartanya tercampur menjadi satu. Wali
itu tertarik pada harta dan kecantikan wajah si yatim, lalu hendak
mengawinininya. Tetapi cara ini tidak adil mengenai pemberian mahar
untuk si yatim, ia tidak memberinya seperti yang diberikan kepada wanita
lain. Maka perbuatan demikian dilarang, lain halnya kalau dia bisa adil.
padahal mereka terbiasa memberi mahar tinggi, begitulah lalu mereka
disuruh mengawini perempuan yang cocok dengan mereka selain anak
yatim itu.40
Studi tafsir mengajarkan berbagi bentuk penafsiran, diantaranya
adalah metode tafsi>r maud}u’i> (tematik). Metode ini mengajarkan
bahwa untuk memahami persoalan dalam Al-Qur’an kita tidak bisa hanya
mengandalkan satu atau dua ayat saja, melainkan seluruh ayat yang
menyinggung persoalan tersebut harus dilihat dan dibahas satu persatu
untuk mendapatkan benang merah yang mempertautkan kandungan dari
berbagai ayat yang berbeda. Bukan itu saja, perlu juga dipahami apa
hubungan antara ayat yang satu dan ayat lainnya serta hubungan
kandungan ayat dengan tema sentral dari surah tersebut. Dalam kaitan
dengan ayat ketiga tadi, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan,
bahaslah ayat tersebut sambil menyimak pandangan para mufasir.41
a) Q.S an-Nisa: 127
يـفتيكم فيهن ◌ ويستـفتـونك فى النساء لى عليك ما ي ـو ◌ قل الله مىم فى الكتب في يـت تـ
40 Muhammad Ali As-Sabuni, Rawai‘ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz II (Beirut:Dar al-Fikr), hal. 420. 41 Musdah Mulia, Islam Menggugat, hal. 93.
34
تي لا تـؤتـونـهن ما كتب لهن وتـرغب ـ وأن تـقوموا ◌ الولدان ن والمستضعفين م نكحوهن ت ـأن ون النساء ال
ه عليماان ب ك وما تـفعلوا من خير فإن الله ◌ لليـتمى بالقسط “Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.” 42
b) Q.S an-Nisa: 129
عوا أن تـعدلوا بـين النساء ولو حر لوا كل الميل فـتذروه ولن تستطيـ ا صتم فلا تميـ
ك ◌ كالمعلقة ان غفورا رحيما وإن تصلحوا وتـتـقوا فإن الله
“Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”43
c) Hadist-hadist Nabi
مائل مة وشقه قيام ال من كانت له امرأتان فمال إلى إحداهما جاء يـو “Artinya : Dari Abi Hurairah bahwasanya Nabi saw bersabda : Barangsiapa yang mempunyai dua istri, kemudian ia melebihkan kepada salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat dalam keadaan miring sebelah badannya (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1949).”44
42Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 98. 43Ibid. 44Muhammad Bi Kamal Khalid As-Syuyuthi, Kumpulan Hadist-Hadist Yang Di Sepakati 4 Madzhab, (Jakarta: Pustaka Azam, 2006), hal. 261-262.
35
Hadits ini memberi gambaran bahwa berbuat tidak adil akan
menemui konsekwensinya di hari kiamat nanti. Dari sini akan nampak
bahwa syari’at juga masih memperhatikan masalah keadilan, jika ada
ketidakadilan, maka berarti seorang suami termasuk bagian dari
merendahkan atau meremehkan derajat perempuan, dan hal ini bagian dari
kejahatan.
Poligami rasulullah juga tercermin dari hadist yang menerangkan
bahwa Rasulullah selalu mengundi di antara isteri-isterinya ketika beliau
hendak bepergian.
ل صلى الله عليه وسلم لا ي ـسول الله ان ر ! ك وعن عروة قال : ( قالت عائشة : � ابن أختي فضن يـوم إلا وكان قل مكثه عند� ,بـعضنا على بـعض في القسم من يعا , فـيدنو وهو يطوف عليـ ا جم
لغ ال رواه أحمد , وأبو داود يبيت عندها )ومها , ف ـهو ي ـ تي من كل امرأة من غير مسيس , حتى يـبـ , وصححه الحاكم واللفظ له
“Dari Urwah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Wahai anak saudara perempuanku, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak mengistimewakan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam pembagian giliran tinggalnya bersama kami. Pada siang hari beliau berkeliling pada kami semua dan menghampiri setiap istri tanpa menyentuhnya hingga beliau sampai pada istri yang menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam padanya. (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan lafadznya menurut Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim”).45
Pada sisi lainnya dari pendapat Aisyah r.a tentang surat an-Nisa’ :
3, dalam satu riwayat dari Bukhari dijelaskan bahwa: Dari Aisyah r.a.
bahwasanya dia ditanya oleh Urwah mengenai firman Allah SWT :” Dan
jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim…”
45Ahmad, TerjemahMusnad Ahmad, Juz IX, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995), hal. 416.
36
(an-Nisa’:3) kemudian Aisyah mengatakan kepada Urwah : Wahai putra
saudara perempuanku ! anak perempuan yatim yang dimaksud dalam ayat
itu berada dalam asuhan walinya yang mengurus hartanya, kemudian wali
tersebut terpikat oleh harta dan kecantikan anak yatim itu sehingga dia
ingin mengawininya tanpa berlaku adil dalam memberikan maskawin,
yakni hanya memberinya maskawin sebanding dengan apa yang diberikan
kepadanya oleh laki-laki lain. Dengan adanya kasus tersebut maka wali
yang mengasuh perempuan yatim dilarang mengawininya kecuali jika bisa
berlaku adil dan memberinya maskawin lebih tinggi daripada apa yang
diberikan oleh laki-laki lain pada umumnya. Para wali yatim tersebut
diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik bagi mereka
(jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim
yang ada dalam perwalian mereka). Aisyah r.a melanjutkan : sesudah ayat
ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw maka Allah
menurunkan ayat lagi : “ Mereka meminta fatwa kepadamu mengenai para
wanita “ (al-Nisa’: 127) adapun lanjutan ayat : “ …sedangkan kamu ingin
mengawini mereka…” (al-Nisa’:127) adalah karena kebiasaan wali yang
tidak suka mengawini perempuan yatim dalam perwaliannya yang
hartanya hanya sedikit dan tidak seberapa cantik. Dengan demikian,
mereka para wali yang mengurus perempuanperempuan yatim yang
menyukai harta dan kecantikan mereka dilarang menikahi mereka kecuali
dengan adil, karena seandainya yatim-yatim tersebut hanya berharta
sedikit dan tidak menikahi mereka.
37
Dari keterangan Aisyah ini menunjukkan bahwa para wali tidak
boleh menikah dengan anak yatim yang hartanya ada dalam perwaliannya,
kecuali dengan syarat, yakni tidak bermaksud menguasai atau
mencampuradukkan hartanya dengan harta anak yatim tersebut, namun
jika para wali tersebut dapat berlaku adil, maka ia dibolehkan menikah
dengan mereka, akan tetapi mahar yang diberikan tidak boleh sedikit,
bahkan harus lebih daripada biasanya. Sepintas lalu jika memperhatikan
hadits diatas, memang itu seolah-oleh ijtihad dari Aisyah sendiri, namun
jika diperhatikan maka akan ditemukan bahwa pendapat Aisyah tersebut
lebih banyak benarnya, karena ia termasuk yang mengetahui maksud ayat
dari surat an-Nisa’:3, jadi dia termasuk bagian dari sejarah yang
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat tersebut, dan pendapat ini sesuai
dengan maksud ayat tersebut. Jadi dalam hal ini berdasarkan ayat diatas,
maka bagi laki-laki yang terpikat oleh janda kaya yang ada anaknya,
dimana anaknya itu ada memiliki harta, maka laki-laki tersebut tidak boleh
menikahinya dengan maksud akan mengurus hartanya apalagi sampai
mencampurkan harta mereka dengan hartanya.
D. Syarat-Syarat Poligami dalam Islam
Syarat-Syarat Poligami Allah SWT telah mensyariatkan poligami
untuk umatnya. Dalam hal ini, Islam telah membatasi dengan syarat-syarat
poligami dalam tiga faktor berikut ini: faktor jumlah, faktor nafkah, dan
faktor keadilan para isteri-isteri.46
46 Musfir al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hal. 51.
38
1. Jumlah Maksimal Yang Dibolehkan
Masalah poligami memang sudah di kenal dan berlaku dalam
kabilah-kabilah Arab zaman jahiliah tanpa batasan tertentu. Telah
dikatakan juga bahwa ada hadits yang mengatakan terdapatnya poligami di
kalangan orang-orang Arab ketika mereka memeluk agama Islam dan
tanpa pembatasan jumlah. Diriwayatkan dari Qais bin Tsabit : “Tatkala
masuk Islam, aku mempunyai delapan orang isteri, dan aku
memberitahukan hal itu kepada Nabi saw. lalu beliau mengatakan: “pilih
dari mereka empat orang””.
Kemudian setelah Islam datang, dasar-dasar dan syarat poligami di
atur sedemikian rupa sehingga jelaslah bahwa jumlah yang dieprbolehkan
maksimal untuk berpoligami adalah empat orang isteri dan di tekankan
prinsip keadilan di antara para isteri-isteri dan anak-anaknya.47
2. Kemampuan Memberi Nafkah
Nafkah mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
dan alat-alat rumah tangga yang lainnya. Laki-laki yang hendak menikahi
seorang perempuan maka pertama-tama harus mampu menyediakan biaya
untuk menafkahi perempuan yang akan di nikahi tersebut. Menurut Syariat
Islam, jika seorang laki-laki belum memiliki sumber rezeki untuk
menafkahi isteri, maka dia belum boleh kawin, sesuai dengan sabda
Rasulullah saw. berikut ini:
نه فا فـليـتـزوج، باءة ال منكم ستطاع ا من باب الش معشر � : ص الله رسول قال : قال مسعود ابن عن
47Ibid.
39
وجاء له فانه صوم بال عليه ف ـ يستطع لم من و . للفرج احصن و للبصر اغض “Artinya : “Dari Ibnu mas’ud Ia berkata, Rasulullah bersabda: Wahai para pemuda, siapa saja di antara kamu yang sudah mampu memikul beban nafkah hendaklah kamu menikah” (HR: Jama’ah).”48
Berdasarkan Syara’ seorang laki-laki belum di bolehkan menikah
jika belum mampu memberi nafkah. Begitu juga laki-laki yang sudah
mempunyai satu orang isteri tetapi belum mampu meberikan nafkah yang
layak, maka laki-laki yang seperti itu tidak boleh berpoligami.49
Menurut ijma’, Hukum memberi nafkah itu adalah wajib dan
termasuk wasiat Nabi :
عن جابر، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خ طب الناس، فـقال : “اتـقوا الله في النس اء، فإنـهن
عوان عندكم، أخذتموهن بأمانة الله واستحلل تم فـروجهن بكلمة الله، ولهن عليك م رزقـهن وكسو
◌تـهن با لمعروف ”. رواه مسلم
“Artinya : “Bertakwalah kamu dalam urusan perempuan, sesungguhnya
kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan telah dihalalkan
kepadamu kesucian mereka dengan kalimat Allah, dan bagimu atas
mereka yaitu tidak menginjak tempat tidurmu seseorang yang tidak kamu
sukai. Jika mereka berbuat demikian pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak berbekas. Kewajiban kamu atas mereka bahwa kamu
menafkahi mereka dan memberi pakaian dengan baik”.50
48Muhammad Nashib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah: ringkasan tafsir Ibnu Katsir, Volume 1, (Depok: Gema Insani Press, 2007), hal. 271. 49 As-Shan’ani, Subulussalam, (Bandung:Percetakan Dahlan, 2005), hal. 109 50 Divisi Ilmu Daar Al-Wathan, Ayat dan Hadits Spesial tentang Wanita Muslimah, diakses pada tanggal 5 Juni 2016 dari https://islamhouse.com/id/books/734201/.
40
Pada hadits yang lain Rasulullah Saw. ditanyaMu’awiyah Bin
Haidah ra,tentang kewajiban nafkah suami terhadap isterinya, lalu beliau
menjawab:
الوجه ب تضر ولا اكتسيت اذا وتكسوها عمت ط اذا تطعمها ان : قال , عليه احد� زوجة ماحق
ماجه وابن داود وهبو احمد رواه البـيت في الا تـهجر ولا تـقبح ولا ◌
“Artinya : “Apa saja yang menjadi hak istri atas diri kami sebagai suami, Rasul saw bersabda: berimakan dia jika kamu makan, beri pakaian dia jika kamu berpakaian, jangan pukul muka/wajah, menjelek-jelekkan dia, dan jangan menjauhi dia kecuali di dalam rumah”.51
3. Berlaku Adil Terhadap Para Isteri-isteri
Adil dalam pengertian umum merupakan kewajiban yang harus
ditegakkan oleh seorang muslim, karena semua aspek kehidupan tidak bisa
tegak ketika nilai keadilan tidak hadir di dalamnya. Dalam masalah
poligami keadilan merupakan nilai yang paling urgen dalam menciptakan
keharmonisan keluarga, seakan-akan dasar atau landasan dibolehkan atau
tidaknya poligami adalah bagaimana seorang suami itu mampu
menegakkan keadilan. Hal ini bisa kita lihat dari firman Allah Swt. “Dan
apabila kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka cukup
seorang saja”. Ini merupakan suatupenegasan yang sangat gamblang
untuk menunjukkan urgensinya keadilan dalam membina rumah tangga.52
Nilai keadilan haruslah ditegakkan di dalam pembinaan keluarga,
lebih-lebih dalam keluarga yang berpoligamis. Berlaku adil di sini
51 Muhammad Nashiruddin al- Albani, Shahih Sunan Abu Daud (Jakarata :Pustaka Azzam, 2006), hal. 828. 52 Tim Almanar, Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga Islami (Bandung :Syamil Cipta Media, 2003), hal. 102.
41
merupakan sesuatu esensi untuk menciptakan suasana yang harmonis
dalam sebuah keluarga. Keadilan juga merupakan dasar utama di mana
tonggak-tonggak kewajiban suami-isteri ditegakkan di atasnya. 53
Dalam soal cinta dan perasaan Allah Swt tidak menekankan secara
mutlak. Tetapi dalam hal ini manusia hanya ditekankan untuk tidak terlalu
condong kepada salah seorang isteri, sehingga yang lainNya terkatung-
katung. Dengan kata lain jangan sampai begitu mengistimewakan yang
satu dan mengabaikan yang lainNya.54
E. Poligami Menurut Hukum Positif
1. Undang-Undang No.1 tahun 1974
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4 dan
pasal 5 telah mengatur bahwa pada hakikatnya asas perkawinan adalah
monogami akan tetapi poligami diperbolehkan jika memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang laik-laki yang
beristri untuk dapat melakukan poligami harus mengajukan permohonan
kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dengan membawa kutipan
akta nikah yang terdahulu dan surat-surat izin yang diperlukan.
Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami
adalah pasal 3, 4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:55
Pasal 3
1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. 53 Jami’ul al-Ahadist, Maktabah Syamilah, Juz 21, hal. 336. 54 Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam(Malang:IKIP MALANG, 1977), hal. 26. 55 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional(Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 289.
42
2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Permohonan ini bisa diajukan jika syarat-syarat yang dibawah ini
terpenuhi:56
Pasal 5
1. Adanya persetujuan dari istri
Permohonan ini akan dikabulkan oleh pengadilan jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
56Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan(Bandung :Citra Umbara), hal. 76-77.
43
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
Adapun ketentuan-ketentuan yuridis formil yang menjadi dasar
hukumpemberian izin poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun1974 tentang perkawinan,junctoPeraturan Pemerintah nomor 9 tahun
1975, junto Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) junto
Pasal 43 Peraturan Pemerintah No.9 tahun1975,menyatakan bahwa
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”.
Selain itu dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan “dalam hal seorang suami
akan beristeri lebih dariseorang,sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat
(2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.57
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur ketentuan
pelaksanaan pemberian izin poligami dalam pasal 43 disebutkan bahwa 57Reza Fitra Ardhian dkk, “Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligam Di Pengadilan Agama”, Jurnal Privat Law, Vol. III No. 2, (Juli-Desember 2015), hal. 103.
44
”apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.58
Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan mencerminkan pengutamaan diterapkannya asas
monogami dalam setiap perkawinan. Namun, dalam hal kondisi tertentu
dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan ketat dan
persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk
menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan
poligami dengan syarat harus mampu berlaku adil.Ketentuan adanya asas
monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3
ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan
izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin
poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai
dengan alasan yang dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam
pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus
yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10/1983 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.59
58Ibid. 59Edi Darmawijaya,“Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif: Tinjauan Hukum Keluarga Turki, Tunisia dan Indonesia”, Jurnal Ar-Raniry, Vol.1 No. 1, (Maret, 2015), hal. 35.
45
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Sedangkan prosedur poligami diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) bab IX yaitu pasal 56-59. Sebagaimana berikut:60
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas
hanya sampai empat istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
4. Istri mendapatkan cacat badan dan tidak dapat disembuhkan.
5. Istri tidak dapat menghasilkan keturunan.
6. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus
mendapat izin dari Pengadilan Agama.
7. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Ketentuan yang termuat dalam Kompilasi hukum Islam tersebut
pada hakekatnya adalah hukum Islam, yang dalam arti sempit sebagai
fikihlokalyangbercirike-Indonesia-an.Dikatakan demikian karena
Kompilasi Hukum Islam digali dari sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
Islam melalui suatu ijtihad dan pemikiran hukum kotemporer.61
Tujuan Kompilasi Hukum Islam adalah unifikasi hukum
Islam yang diberlakukan bagi umat Islam menurut kondisi dan 60 Tim Redaksi Nuansa Aulia, “Kompilasi Hukum Islam”, Cet. 3 (Bandung:CV. Nuansa Aulia, 2012), hal. 16-17. 61Reza Fitra Ardhian dkk, hal. 103.
46
kebutuhan hukum masyarakat Islam Indonesia.Unifikasi hukum Islam
tersebut dilakukan berlandaskan atas pemikiran hukum para ahli
hukum Islam tentang perlunya transformasi hukum Islam
kedalamhukum positif, sehingga tercipta keseragaman pelaksanaan
hukum Islam dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan ummat
Islam dalam bidang mua’amalah.
Dengan demikian perkawinan poligamidianggap sah apabila
memenuhi ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan sesuai dan
dengan memenuhi syarat-syarat dan rukunnya menurut hukum Islam,
dan telah memenuhi hukum formal, yaitu dilakukan setelah mendapat
izin dari Pengadilan yang membolehkan untuk melangsungkan
perkawian poligami tersebut.62
3. Pemerintahan RI Nomor 9 Tahun 1975
Pada Peraturan Pemerintahan RI Nomor 9 Tahun 1975 juga
menjelaskan tentang dasar hukum kebolehan seseorang melakukan
poligami. Diantaranya yaitu: Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Pengadilan dalam hal ini terdapat pada pasal 40, setelah
adanya pengajuan permohonan secara tertulis, dilanjutkan pada tahap
selanjutnya yang terletak pada pasal 41 yaitu, yang harus dilakukan oleh
pengadilan yaitu tahap pemeriksaan mengenai ada atau tidaknya alasan
yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, alasan tersebut juga telah
62Ibid, hal. 105.
47
di uraikan pada UU No.1 Tahun 1974:63
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu pengadilan juga memeriksa ada atau tidaknya
pernjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, dengan syarat
apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus
diucapkan di depan sidang Pengadilan. Pada pasal 41 juga menjelaskan
untuk membuktikan bahwa suami sanggup menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak dan pernyataan bahwa suami sanggup berbuat
adil terhadap istri- Untuk melakukan pemeriksaan mengenai syarat yang
telah diuraikan pada pasal 40 dan 41, maka pengadilan harus memanggil
dan mendengar penjelasan dari istri yang bersangkutan dan pemeriksaan
ini dilakukan oleh hakim pengadilan yang bersangkutan, dengan kurun
waktu yang telah ditentukan adalah selambat-lambatnya selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan
memanggil para istri untuk memberikan penjelasan atau kesaksian. Di
dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selama 30
hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami,
63 R. Zakiyah, “Poligami Dalam Islam Dan Undang-Undang”, diakses pada tanggal 24 Maret 2017 dari http://digilib.uinsby.ac.id/1352/5/Bab%202.pdf.
48
lengkap dengan persyaratannya.64
F. Praktek Poligami Rasulullah S.A.W
Sebagaimana diketahui, Rasulullah s.a.w membujang hingga usia
dua puluh lima tahun. Pada usia dua puluh lima tahun beliau menikahi Siti
Khadijah r.a sampai beliau berumur lima puluh tahun. Siti Khadijah r.a
merupakan isteri beliau satu-satunya, sampai isteri terkasihnya itu wafat
dalam usia enam puluh lima tahun. Beliau menikahi beberapa orang
perempuan setelah berusia lima puluh lima tahun. Kemudian setelah beliau
berusia enam puluh tahun sampai beliau pulang keharibaan Allah beliau
tidak menikahi perempuan lain. Dua isterinya wafat mendahului beliau,
dengan demikian maka beliau wafat meninggalkan isteri sembilan orang.65
Rasulullah s.a.w berpoligami pada tahun kedua Hijriah yakni pada
saat terjadinya berbagai peperangan melawan kaum musyrikin Quraisy
dan kabilah-kabilah lainnya. Dalam peperangan yang terjadi silih berganti
sejak beliau berusia 55 tahun sampai 60 tahun, banyak sahabat beliau yang
gugur sebagai pahlawan syahid. Padahal mereka adalah tulang punggung
penghidupan keluarganya 2 masing-masing. Semua peperangan tersebut
terjadi mulai tahun kedua hingga tahun kedelapan Hijriah. Kemudian
beliau wafat pada bulan Rabi’ul Awwal tahun kesepuluh Hijriah.
Rasulullah s.a.w berpoligami selama lima tahun, selama itu pula
Rasulullah berjuang mempertaruhkan hidup dan mati demi kebenaran
Islam dan kesejahteraan kaum muslimin. Beliau hijrah ke Madinah, 64Ibid. 65Al-Husaini dan HMH Al-Hamidi, Baitun Nubuwwah: Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW, (Bandung:Pustaka Hidayah, 2012), hal. 810.
49
bertubi-tubi beliau dirongrong dan diincar serta berulang kali nyaris
diserbu oleh musuh-musuh yang hendak menghancurkan Islam dan kaum
muslimin. Rasulullah hampir tidak pernah merasa aman dan tenang,
peperangan yang kedua lebih hebat dari peperangan yang pertama dan
peperangan yang ketiga lebih seru dari peperangan yang kedua, demikian
selanjutnya.66
Tidak sedikit orang keliru memahami praktek poligami Nabi
Muhammad, termasuk kaum muslim sendiri. Ada anggapan bahwa
poligami itu sunnha nabi. Jika demikian mengapa nabi tidak melakukan
poligami di awal rumah tangganya. Bukankah dalamm masyarakat arab
jahiliyah ketika itu poligami merupakan tradisi yang sudah berakar. Dalam
prakteknya nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Nabi
bermonogami selama kurang lebih 28 tahun sementara berpoligami ada
yang menyebut hanya sekitar 7 tahun.67
G. Pandangan Ulama Klasik Tentang Hukum Poligami
1. Pandangan Ulama madzhab tentang Hukum Poligami
a. Madzhab Syafi’i
Imam Syafi`i (w.204 H/820 M) tidak membahas poligami secara
spesifik dalam buku fiqhnya yang sangat monumental, yakni al-Umm.
Beliau hanya membicarakan perempuan yang boleh atau tidak boleh
dipoligami dan mengenai batasan jumlah istri. Menurut Imam Syafi`i,
perempuan yang tidak boleh dipoligami secara mutlak dalam waktu yang
66Ibid, hal. 811. 67 Musdah Mulia, Islam Menggugat, hal. 69.
50
sama adalah kakak beradik, baik ia seorang hamba maupun merdeka.
Demikian juga larangan mengawini antara perempuan dan tantenya (baik
‘ammah maupun khola>h), sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah.Al-Syafi’i berpendapat bahwa Hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat Ibnu Umar tentang Gailan bin Salamah al-Saqafi, seorang
sahabat nabi yang masuk Islam dengan membawa sepuluh istrinya,
kemudian diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat dari mereka
adalah sebagai dalil akan kebolehan poligami. Bilangan empat yang
dimaksud adalah sebagai batas maksimal bagi seorang yang ingin
melakukan poligami.68
Imam Syafi`i sama sekali tidak berbicara tentang syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin berpoligami. Hanya saja, di
dalam satu bab khusus yang bertema‚ Kitab ‘Asyrah al-Nisa>, Syafi`i
berbicara tentang masalah bagaimana seharusnya seorang suami
mempergauli istrinya dengan baik, kewajiban dan cara bergilir bagi
seorang lelaki yang berpoligami. Syafi`i juga menegaskan bahwa antara
suami dan istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Dikatakan
juga bahwasanya seorang yang berpoligami harus adil dalam memberikan
jatah kunjungan kepada semua istrinya dengan perhitungan berdasarkan
kuantitas. Tidak ada alasan untuk tidak menggilir seorang istri walau istri
68Asep Nurdin, Hadis-hadis tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 70.
51
tersebut dalam keadaan sakit parah, haid atau nifas, kecuali jika istri
tersebut menyerahkan jatahnya kepada istri yang lain.69
b. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi menginterpretasikan surat al-Nisa [4]: 3 secara
berbeda dengan pendapat umum. Pendapat ini diwakili oleh Abu Bakar
Jassas Razi yang mengatakan dalam Ahkam al-Qur’an, bahwa kata yatim
dalam ayat tersebut tidak berarti anak yang ditinggal mati ayahnya semata,
tetapi mencakup janda yang ditinggal mati suaminya juga.
Al-Kasyani (W. 1191M) berpendapat, poligami dibolehkan tetapi
syaratnya harus adil. Namun jika seseorang khawatir tidak bisa berbuat
adil dalam nafkah lahir (sandang, pangan dan papan) dan nafkah batin
(membagi giliran tidur) terhadap istri-istrinya, maka Allah menganjurkan
kaum lelaki untuk menikah dengan satu istri saja. Karena bersikap adil
dalam nafkah (lahir-batin) merupakan kewajiban syar’i yang bersifat
dlarurah, dan itu sungguh berat sekali. D{larurah berarti suatu keperluan
yang harus ditunaikan karena ia sangat penting dan pokok. Antara bentuk
perlakuan adil terhadap beberapa istri adalah nafkah lahir yang berkaitan
dengan materi (seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian) harus sama.
Baik diberikan pada istri merdeka maupun hamba sahaya, karena semua
itu merupakan keperluan-keperluan primer. Suami juga dilarang
mengganti kewajiban nafkah batinnya dengan uang. Demikian pula bagi 69Iffatul Umniati dan Fathonah, Poligami dalam Pandangan Ulama Klasik (Kuala Lumpur:Sisters In Islam, 2008), hal. 23.
52
istrinya, tidak boleh memberikan uang kepada suaminya agar mendapat
jadwal giliran lebih dari istri yang lain.
c. Mazhab Maliki
Kebanyakan buku-buku ulama Malikiyah membahas seputar
hukum poligami hamba sahaya, keharaman beristri lebih dari empat orang
serta kewajiban membagi jadwal giliran terhadap istri-istrinya.Dalam
kitab al-Muwatta’, Imam Malik mengatakan bahwa orang yang melakukan
poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini berlaku bagi
suami yang merdeka.70
Sementara masalah sikap adil, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa
kewajiban bersikap adil di antara para istri sudah menjadi ijma’ ulama
yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Secara umum, dalam masalah
‘keadilan’ di sini menunjukkan bahwa poligami (baik untuk yang merdeka
maupun hamba) dalam pandangan ulama Malikiyah tak berbeda dengan
pendapat sebagian besar ulama lainnya, yakni poligami dibolehkan tetapi
yang menjadi pertimbangan utama adalah tetap harus berlaku adil.
d. Mazhab Hambali
Penganut mazhab Hambali, Ibnu Taymiyah (w.728 H/1328 M)
menjelaskan, poligami termasuk salah satu keistimewaan dalam syariat
Islam sepanjang masa karena mengandung banyak hikmah di sebaliknya,
baik bagi lelaki dan perempuan maupun masyarakat sosial pada
70Ibid, hal. 74.
53
umumnya.Manakala di sudut lain, masalah monogami malah menjadi
perhatian penting bagi Ibnu Quddamah. Senada dengan Imam Al-Nawawi
(mazhab Syafi’i), Ibnu Quddamah pun berpendapat bahwa monogami
adalah lebih baik karena bersikap adil bukanlah hal yang mudah dalam
poligami. Sedangkan bersikap adil adalah wajib bagi yang berpoligami.
Sehubungan itu, Ibnu Quddamah bersama Imam Al-Hajawi, Ibnu
Taymiyah dan Ibnu Al-Qayyim menjelaskan, jika calon seorang istri
mengajukan syarat agar tidak dimadu, dan calon suami setuju, maka suami
tidak boleh poligami. Tetapi jika suami melakukannya, maka istri tersebut
berhak mengajukan gugatan untuk membubarkan pernikahannya. Ahmad
bin Hanbal menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki berpoligami
hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti
pembagian giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan
condong pada salah satu istri. Dengan mengutip pada QS. Al-Nisa’ ayat
129, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan
dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga dalam ayat itu,
Allah menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi
hatinya secara adil.
2. Pandangan Ulama Tafsir tentang Hukum Poligami
a. Ibnu Jarir Al-Tabari (224-310 H/838-923 M)
Tafsir Al-Tabari banyak digunakan oleh sarjana Barat sebagai
sumber informasi utama. Al-Tabari sependapat dengan Imam Malik dalam
memahami kebolehan poligami dengan empat orang istri tidak hanya pada
54
orang merdeka, tetapi hamba pun mempunyai hak menikahi wanita sampai
empat orang. Namun, yang terpenting di sini adalah perlakuan adil
terhadap para istri tersebut. Maksud ayat al-Nisa: 3 tersebut adalah: Jika
kalian takut tidak bisa berbuat adil (dalam mahar) terhadap anak-anak
yatim, wahai para wali yatim. Maka bersikap adillah kepada mereka dan
bayarlah mahar mereka sesuai dengan mahar mitsil (mahar yang serupa
dengan kerabat wanita mereka). Lalu janganlah nikahi mereka, nikahlah
dengan wanita lain yang dihalalkan oleh Allah kepada kalian dan yang
kalian senangi dari satu sampai empat wanita. Jika kalian khawatir tidak
bersikap adil dengan menikahi wanita lain lebih dari satu, maka nikahlah
dengan satu wanita saja, kalau tidak cukuplah dengan hamba wanita yang
kalian miliki’.71
Demikian pula Al-Tabari dalam memahami ayat di atas adalah
dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam
asuhan walinya dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri
mereka. Al-Tabari mengatakan bahwa ayat poligami tersebut diturunkan
dalam kasus lelaki yang menikahi sepuluh perempuan atau lebih dan
kemudian memanfaatkan harta kekayaan anak yatim yang diasuhnya
ketika diperlukan karena dia harus menghidupi banyak istri, sehingga
menghalangi anak yatim tersebut terhadap kekayaannya.72
b. Fakhruddin Al-Razi (544-606 H/1149-1209 M)
71Fatonah, “Telaah Poligini:Perspektif Ulama Populer Dunia (Dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer)”,Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Volume 5, Nomor 1, (Maret:2015), hal. 26. 72Ibid.
55
Al-Razi telah menjelaskan tafsir ayat poligami dari pelbagai sudut
pendapat dan perbedaan pandangan ulama secara detail serta membantah
beberapa pendapat yang dipandang lemah. Antaranya dalam menjelaskan
maksud frasa‚ ‘yang merupakan syarat utama’. Menurutnya, frasa tersebut
bermaksud‚’ jika kalian takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri yang
berjumlah banyak, maka nikahlah dengan satu perempuan saja atau
dengan hamba wanita dan tinggalkan poligamii’. Di sini beliau
menekankan bahwa hukum poligini bergantung pada kemampuan boleh
tidaknya seseorang bersikap adil terhadap istri-istrinya.
Lebih dari itu, Al-Razi juga sama dengan Al-Tabari dalam
menjelaskan penafsiran ayat di atas. Menurutnya, hendaklah seseorang
memperhatikan ayat sebelumnya, yaitu tentang anak-anak yatim dan
larangan memakan harta mereka karena ia sebagian dari dosa besar.
Sehingga ayat tersebut, menurut Al-Razi, seakan-akan dikatakan kepada
mereka: Jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-
anak yatim, maka hendaklah kalian berhati-hati atau keluar dari
tanggungjawab tersebut. Jika kalian khawatir tiak mampu berlaku adil
terhadap istri-istrimu, maka sedikitkanlah jumlah istri (hendaklah
mengawini seorang saja).73
Walau apapun, hukum ‘iba>hah’ poligami yang dimaksudkan al-
Qur’an bukan tidak bersyarat dan tak terlepas dari keadaan sosial ketika
ayat tersebut diwahyukan. Jadi ayat poligami ini bukan saja sebagai
73Ibid.
56
pemberi batasan jumlah perempuan yang boleh dikawin, tetapi justru
adalah sebagai peringatan bagi masyarakat yang ketika itu memang gemar
berpoligami sampai tiada batas jumlah istrinya dengan tanpa
memperhatikan hak-hak para perempuan tersebut. Sehingga menurut Al-
Razi, penafsiran ayat tersebut lebih dekat, seolah-olah Allah
mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan
terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam
asuhannya, untuk menutupi keperluan yang banyak disebabkan ia
memiliki banyak istri.74
c. Al-Jashshash (m. 370-980)
Ulama lain yang juga cukup intensif mengupas masalah poligami
adalah Al-Jashshash. Menurutnya, ayat poligami berkenaan dengan anak
yatim yang dinikahi walinya. Pendapat ini didasarkan oleh Al-Jashshash
pada satu riwayat hadits dari Urwah, yang mengatakan, seorang wali
dilarang menikahi seorang anak yatim yang ada di bawah pengampuannya
hanya karena alasan kecantikan dan harta anak tersebut. Sebab
dikhawatirkan para wali tersebut memperlakukan anak yatim yang ada di
bawah pemeliharaannya secara tidak adil. Karenanya, lebih baik mereka
menikahi wanita lain. Untuk menguatkan pandangan bahwa ayat ini
berhubungan dengan pernikahan dengan anak yatim, bisa dilihat, bahwa
Al-Jashshash meletakkan pembahasan ayat ini di bab “tazwi>j ash-
shigha>r” (pernikahan di bawah umur). Menurut Al-Jashshash, poligami
74Ibid
57
hanya bersifat boleh (mubah). Kebolehan itu juga disertai dengan syarat
kemampuan berbuat adil di antara para istri. Untuk ukuran keadilan di sini,
menurut Al-Jashshash, termasuk material, seperti tempat tinggal,
pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya. Kedua kebutuhan non material,
seperti rasa kasih sayang, kecenderungan hati dan semacamnya. Namun
dia mencatat, bahwa kemampuan berbuat adil di bidang non material ini
amat berat. Hal ini disebut sendiri oleh Allah SWT dalam surat Al-
Nisa:3.75
75KhoiruddinNasution, Riba dan Poligami(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hal. 86