BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan hakekat putusan...

29
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan hakekat putusan hakim Pada dasarnya kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum memberikan batasan pengertian tentang putusan adalah hal yang didasarkan pada pengadilan. Atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim di sidang pengadilan yang bersifat pertimbangan menurut kenyataan, pertimbangan hukum. Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali 3 yang menyatakan putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu perkara. Putusan hakim ini biasa di sebut vonnis yakni kesimpulan-kesimpuan terakhir mengenai hukum dan akibat-akibatnya. Mewujutkan putusan hakim yang di dasarkan pada kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan memang tidak mudah, apalagi ketentuan keadilan, sebab konsap keadilan dalam putusan hakim tidak mudah mencari tolak ukurnya. Adil bagi suatu pihak, belum tentu dirasakan oleh pihak lain. Hal ini di dasarkan pada hakekat keadilan sendiri. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat dari Sudikno Mertokusumo 4 putusan hakim adalah suatu keputusan yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenag untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau meyelesaikan suatu perkara antara para pihak. 3 Fence Wantu. Idée Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 108. 4 Ibid, hlm.108.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan hakekat putusan...

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan hakekat putusan hakim

Pada dasarnya kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum memberikan

batasan pengertian tentang putusan adalah hal yang didasarkan pada

pengadilan. Atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim di

sidang pengadilan yang bersifat pertimbangan menurut kenyataan,

pertimbangan hukum.

Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali3 yang menyatakan

putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu perkara. Putusan

hakim ini biasa di sebut vonnis yakni kesimpulan-kesimpuan terakhir

mengenai hukum dan akibat-akibatnya.

Mewujutkan putusan hakim yang di dasarkan pada kepastian hukum,

keadilan dan kemanfaatan memang tidak mudah, apalagi ketentuan keadilan,

sebab konsap keadilan dalam putusan hakim tidak mudah mencari tolak

ukurnya. Adil bagi suatu pihak, belum tentu dirasakan oleh pihak lain. Hal ini

di dasarkan pada hakekat keadilan sendiri. Pernyataan tersebut sesuai dengan

pendapat dari Sudikno Mertokusumo4 putusan hakim adalah suatu keputusan

yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenag untuk itu,

diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau meyelesaikan

suatu perkara antara para pihak.

3 Fence Wantu. Idée Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi

dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 108.

4 Ibid, hlm.108.

7

Keinginan para pencari keadilan supaya perkara yang di ajukan ke

pengadilan dapat diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas

moral yang tinggi merupakan suatu yang harus diusahakan. Dengan adanya

sifat professional dan moral yang baik dapat melahirkan putusan-putusan yang

mengandung kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

B. Tujuan Pemidanaan

a. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan

Pengadilan Negeri. Bentuk putusan lain misalnya putusan bebas (Pasal 191

ayat (1) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)

KUHAP). Putusan pemidanaan terjadi jika pengadilan berpendapat bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya

(Pasal 193 ayat (1) KUHAP)5.

Hukum pidana memberikan sanksi atau pidana dengan tujuan untuk

melindungi masyarakat dari kejahatan. Ada tiga teori dan tujuan

pemidanaan, yaitu: (1) Tujuan Pembalasan (Teori Absolut), Tujuan

pemidanaan yaitu untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan oleh

pelaku kejahatan. (2) Teori Tujuan (Teori Relatif), a) Untuk mencegah

terjadinya kejahatan. b) Untuk memberikan rasa takut, sehingga orang tidak

melakukan kejahatan. c) Memperbaiki orang yang melakukan kejahatan. d)

Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan. Teori

relatif modern menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk

5 Moh. Hata,2010. Kebijakan Politik Kriminal,Pustaka Pelajar, Yogyakarta..

8

menjamin ketertiban umum. 3) Teori Gabungan, Tujuan pemidanaan, selain

disebabkan orang telah melakukan perbuatan pidana, juga supaya orang

jangan sampai melakukan perbuatan pidana.

C. Dasar Penjatuhan Pidana

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh

terpengaruh atau berpihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga

diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang berbunyi “Kekuasaan

Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Hal itu ditegaskan

kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, yang bunyi “Kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia6”.

Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang

diduga melanggar peraturan hukum pada proses persidangan mempunyai

kebebasan terutama dalam menjatuhkan putusan. Oleh karena itu

kebebasan hakim itu dapat berwujud :

1) Bebasnya hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan.

6 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

9

2) Bebas dalam menggunakan keyakinan pribadinya tentang terbukti atau

tidaknya kesalahan terdakwa (Pasal 183 KUHAP).

Undang-undang memberikan syarat-syarat yang berat untuk

dapatnya hakim menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut

adalah :

a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang.

b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua

alat bukti yang sah menurut Pasal 183 KUHAP.

c) Adanya keyakinan hakim.

d) Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap bertanggung

jawab.

e) Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri

pelaku tindak pidana tersebut.

3) Bebas dalam menentukan besarnya pidana yang akan dijatuhkan kepada

seseorang. Hakim bebas bergerak dari minimum sampai maksimum

khusus, dan bebas memilih pidana mana yang akan dijatuhkan dalam

hal undang-undang mengancam dengan pidana pokok dan pidana

tambahan.

D. Faktor-Faktor yang Diperhatikan dalam Penjatuhan Pidana

Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya

kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya

balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita

kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk

10

menemukan kebenaran materil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu

tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran

materiil itu hanya merupakan tujuan antara. sebab ada tujuan ahkir yaitu yang

menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu

masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil dan sejahtera7.

Praktek sehari-hari, baik oleh Penuntut Umum maupun Hakim, faktor-

faktor yang dikemukakan dalam tuntutan dan penjatuhan pidana adalah dua

hal pokok yaitu hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Faktor-faktor

yang meringankan antara lain, terdakwa masih muda, berlaku sopan dan

mengakui perbuatannya. Faktor-faktor yang memberatkan misalnya memberi

keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan

masyarakat, merugikan Negara, dan sebagainya.

E. Teori Penjatuhan Putusan

Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas dari

prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukaan oleh John Locke dan

Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil,

jujur, atau netral (impartiality). Apabila kebebesan tidak dimiliki oleh

kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama

apabila terjadi sengketa antara pengusaha dan rakyat8.

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan

kekuasaan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

7 Deda Suwandi, 2009, Tips dan Trik Menghadapi kasus Hukum, Delta Publishing, semarang.

8 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim “Dalam Perspektif Hukum Progresif”, Sinar Grafika. Jakarta, hal.

102

11

putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-

undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin

keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan

tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas

yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak,

sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan

kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi

dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap

perkara yang diajukan kepadanya,dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak

lepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada

prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan

dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-

undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integitas

moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada

ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.

Adapun dalam memeriksa perkara perdata, hakim bersifat pasif, dalam arti

kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim

untuk diperiksa, pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan

bukan oleh hakim. Akan tetapi, hakim harus aktif membantu kedua belah pihak

dalam mencari kebenaran dari peristiwa hukum yang menjadi sengketa diantara

para pihak. Sistem pembuktian positif (negative wetterlijke) digunakan hakim

12

dalam penyelesaian perkara perdata, di mana pihak yang mengaku mempunyai

suatu hak, maka ia harus membuktikan kebenaran dari pengakuannya, dengan

didasarkan pada bukti-bukti formil, yaitu alat-alat bukti sebagaimana terdapat

dalam hukum acara perdata.

Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang

mudah. Dalam era keterbukaan saat ini, dunia peradilan mulai digugat untuk

membuka diri, sehingga putusan hakim tidak lagi semata-mata hanya menjadi

bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian

ilmu hukum saja, tetapi akan lebih jauh menjadi konsumsi publik untuk

dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan hakim yang dirasakan

kurang memuaskan masyarakat. Ungkapan yang sering didengar atas putusan

tersebut seperti: “kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terlalu

legalistik formal ataupun tidak menunjang program pemerintah dalam

pemberantasan illegal loging dan korupsi”, serta berbagai komentar lain yang

terasa bernada skeptis. Bahkan tidak hanya komentar yang mengemuka, tetapi

tidak jarang disertai dengan tindakan anarkhis, yang merusak kepentingan umum

atau merusak gedung pengadilan, sehingga merugikan masyarakat banyak

maupun negara.

Menerut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang

terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman,

yaitu:

1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan,

13

2. Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan diajukan oleh hakim, dan

3. Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan

tugas dan fungsi yudisialnya9.

Kebebasan hakim dalam memeriksan dan mengadili suatu perkara

merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh

semua pihak tanpa kesuali, sehingga tidak ada satupun pihak yang dapat

mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam

menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang

berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan

yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya

serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.

Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya pada diri sendiri,

jujurkah ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah tepatkan putusan yang

diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini

atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi

para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat pada umumnya.

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam

suatu perkara, yaitu sebagai berikut10

:

9 Ibid. hal.104

10 Ibid. hal.105

14

1. Teori Keseimbangan

Dimaksud dengan keseimbangan disini adalah antara syarat-syarat

yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,

kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak

penggugat dan pihak tergugat.

Dalam praktik peradilan pidana, kepentingan korban saat ini belum

mendapat perhatian yang cukup, kecuali antara lain dalam perkara-perkara

korupsi, perlindungan konsumen, lingkungan hidup. Salah satu kesulitan

yang dihadapi dalam memberikan pertimbangan pada kepentingan korban,

karena baik dalam hukum pidana materil maupun hukum pidana formil,

tidak ada ketentuan atau tidak cukup diatur mengenai perlindungan

terhadap korban, hal itu adalah atas inisiatif sendiri dan bukan sebagai

bagian dari proses perkara.

Dalam praktik, ada dua cara melindungi kepentingan korban, yaitu

yang pertama, melakukan gugatan keperdataan atas dasar perbuatan

melawan hukum (onrechtmatigedaad), dan yang kedua, melakukan

perdamaian dengan pelaku atau semata-mata karena uluran tangan pelaku.

Salah satu penyebab tidak ada tempat bagi kepentingan korban, karena

perkara pidana semata-mata dianggap sebagai perkara antara negara

melawan pelaku dan korban bukan merupakan bagian, apalagi sebagai

pihak dalam perkara pidana.

15

Keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan terdakwa,

dalam praktik umumnya dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-

hal yang memberatkan dan peringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa,

dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang

memberatkan, dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang

meringankan. Pertimbangan hal-hal memberatkan dan meringankan

tersebut, merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana yang

dijatuhkan terhadap terdakwa (vide Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP).

Adapun keseimbangan dalam perkara perdata dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 163 HIR/Pasal 283 Rbg/Pasal 1865 KUH Perdata,

mengatur mengenai asas pembuktian dalam perkara perdata, dimana pihak

yang menyatakan mempunyai hak tertentu atau menyebutkan suatu

perbuatan untuk menguatkan haknya tersebut, atau untuk membantah hak

orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak atau

kejadian tersebut.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan hukuman oleh hakim merupakan kewenangan dari

hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan

menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap

pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat

keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam

perkara perdata, dan pihak terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara

pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu

16

putusan, lebih ditentukan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan,

lebih ditentukan oleh Instink atau Intuisi dari pada pengetahuan dari

hakim.

Dalam praktik peradilan, kadangkala teori ini dipergunakan hakim

dimana pertimbangan akan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa,

dalam perkara pidana atau pertimbangan yang digunakan hakim dalam

menjatuhkan putusan dalam perkara perdata, di samping dengan minimum

2 (dua) alat bukti, harus ditambah dengan keyakinan hakim. Akan tetapi,

kayakinan hakim adakalanya sangat bersifat subjektif, yang hanya

didasarkan pada Instink atau naluri hakim saja. Padahal hakim

sebagaimana manusia biasa pada umumnya, dipengaruhi oleh keadaan

jasmani dan rohani yang kadangkala menempatkan Instink atau naluri

hakim menjadi sesuatu yang tidak benar, sehingga dikuatirkan terjadi

kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim

tersebut, sehingga akan menjadi putusan yang salah atau yang sesat, yang

dapat menimbulkan polemik yang berkepanjangan dalam masyarakat,

yang pada akhirnya putusan tersebut akan banyak mudharatnya daripada

manfaatnya. Oleh karena itulah, hakim harus berhati-hati dalam

menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan Intuisi

semata dari hakim sendiri.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan

pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian,

17

khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam

rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini

merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,

hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau Instink semata, tetapi

harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan

keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus

diputuskannya.

Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu

pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan

yang lain, sehingga putusan yang dijatuhkannya tersebut, dapat

dipertanggung jawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan

diputuskan oleh hakim.

Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai berbagai

teori-teori dalam ilmu hukum, ataupun sekedar pengetahuan yang lainnya,

sangat menentukan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Untuk itu,

hakim dituntut untuk terus belajar dan belajar ilmu pengetahuan yang

berkaitan dengan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan yang lain

pada umumnya.

Dalam praktik persidangan, hakim seringkali meminta keterangan

dari para ahli yang berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi

dari suatu sengketa yang diajukan kepadanya, seperti dalam tindak pidana

malpraktik yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis, maka ahli

18

hukum kedokteran akan diundang untuk didengar keterangannya didepan

persidangan. Juga dalam perkara sengketa kepemilikan atas suatu saham

atau surat berharga di Bursa Saham, yang masuk ranah hukum perdata atau

penggelapan dana, Insider trading, yang masuk ranah hukum pidana, maka

ahli hukum Pasar Modal akan dipanggil kedepan persidangan. Dari

keterangan ahli-ahli itulah, hakim dapat menentukan putusan yang

bagaimanakah yang seharusnya dijatuhkan, sehingga putusan tersebut akan

sesuai dengan rasa keadilan yang diharapkan oleh para pihak di

persidangan ataupu masyarakat pada umumnya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat

membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya

sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dihadapinya, seorang hakim

dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam

suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun

masyarakat, ataupun dampak yang ditimbulkan dalam putusan perkara

perdata yang berkaitan pula dengan pihak-pihak yang berperkara dan juga

masyarakat.

Semakin banyak “jam terbang” dari seorang hakim, seharusnya

secara teori semakin akan sangat berhati-hati sekali hakim tersebut

memberikan pertimbangan atas suatu perkara. Perjalanan tugas dari

seorang hakim, sebagaiman yang berlaku di Indonesia, biasanya dimulai

sejak hakim tersebut menjadi seorang calon hakim (cakim) yang diberi

19

tugas untuk mempelajari mengenai cara-cara dan prosedur persidangan

yang baik dan sesuai dengan ketentuan hukum materiil maupun hukum

formil (baca: hukum acara), karena penguasaan hukum materil dan hukum

acara yang baik, akan sangat membantu jika saat kelak ia menjadi hakim.

Selanjutnya saat diangkat menjadi hakim dengan Keputusan Presiden

(Keppres), maka hakim tersebut akan ditempatkan secara berjenjang di

Pengadilan Negeri Kelas II di Luar Pulau Jawa, dan seterusnya, sampai

kemudian hakim tersebut ditempatkan salah satu Pengadilan Negeri di

Pulau Jawa atau di Pengadilan Negeri Kelas IB atau IA di Luar Pulau Jawa

atau di Pulau Jawa.

Biasanya variasi perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Kelas II

di luar pulau Jawa tidaklah begitu banyak, atau bisanya perkara-perkara

kejahatan konvensional atau street crime, seperti pencurian, penganiayaan,

dan sebagainya, dan sesekali perkara yang variatif seperti illegal logging

atau illegal mining, maka variasi perkara akan semakin banyak, sehingga

pengalaman seorang hakim akan semakin kaya dan bertambah lengkap

pegetahuan hukumnya.

Dari perjalanan karier tersebut diharapkan akan semakin

memberikan bekal yang cukup bagi para hakim untuk bersikap

profesional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya, dapat

mendorong para hakim untuk semakin berhati-hati dalam menjatuhkan

suatu putusan dan akan memberikan rasa keyakinan akan perlunya sifat

profesional, arif, dan bijaksana dalam menjatuhkan suatu putusan.

20

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara

yang disengketakan, kemudian mencari perundang-undangan yang

relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum

dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan

pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan

keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Landasan filsafat merupakan bagian dari pertimbangan seorang

hakim dalam menjatuhkan putusan, karena filsafat itu biasanya berkaitan

dengan hati nurani dan rasa keadilan yang terdapat dalam diri hakim

tersebut, agar putusannya itu dapat memberikan rasa keadilan yang tidak

hanya bergantung pada keadilan yang bersifat formal (prosedural), tetapi

juga keadilan yang bersifat substantif, dengan tetap mempertimbangkan

segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan

oleh para pihak, seperti aspek pendidikan, (education), aspek kemanusiaan

(humanity), ataupun aspek kemanfaatan, penegakan hukum (law

enforcement), kepastian hukum, dan aspek hukum lainnya.

Peraturan perundang-undangan merupakan dasar bagi seorang

hakim untuk menentukan putusan yang dijatuhkannya, walaupun

sebagaiman dijelaskan sebelumnya, bahwa hakim bukanlah hanya sekedar

corong pada undang-undang atau penerapan hukum semata

21

(la bouche de la loi), akan tetapi peraturan perundang-undangan

merupakan pedoman bagi seorang hakim dalam menjatuhkan suatu

putusan.

Putusan hakim dalam suatu perkara mengandung pertimbangan

yang sifatnya sepintas lalu yang kadang tidak relevan, yang tidak secara

langsung mengenai pokok perkara yang diajukan, dimana hal ini disebut

dengan obiter dictum, dan ada pula putusan hakim yang mengandung

pertimbangan mengenai pokok perkara secara langsung, yang disebut

dengan ratio decidendi, pertimbangan atau alasan yang secara langsung

mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar

putusan inilah yang mengikat para pihak yang bersengketa.

6. Teori Kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti,

dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam

perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori kebijaksanaan ini

menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta

kekeluargaan harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori

ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua,

ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan

melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi

keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan, yaitu yang pertama,

sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan,

22

yang kedua, sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah

melakukan tindak pidana, yang ketiga, untuk memupuk solidaritas antara

keluarga dengan masyarakat dalam rangka membina, memelihara, dan

mendidik pelaku tindak pidana anak, dan yang keempat, sebagai

pencegahan umum dan khusus.

Menurut penulis, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku

tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek

tujuan, yaitu sebagai berikut :

a. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu

kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya

b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya

jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.

c. Sebagai upaya prefentif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak

pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya

d. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan

dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku

tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

Teori kebijaksanaan sebenarnya lebih ditujukan pada penjatuhan

putusan dalam perkara anak dan dapat pula digunakan oleh hakim dalam

penjatuhan putusan terhadap perkara pidana lain pada umumnya dan tidak

hanya terbatas pada perkara anak saja. Teori ini pun dapa digunakan oleh

hakim dalam penjatuhan putusan dalam perkara perdata.

23

F. Jenis-Jenis Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana

Setelah menerima, memeriksa, dan mengadili seorang pelaku tindak

pidana, maka selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusannya. Dalam hukum

pidana, ada 2 (dua) jenis putusan hakim yang dikenal selama ini, yaitu yang

pertama, putusan sela dan yang kedua, putusan akhir11

.

1. Putusan Sela

Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat

dakwaan penuntut umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau

kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa disuatu persidangan. Terdakwa

hanya dapat diperiksa, dipersalahkan, dan dikenakan pidana atas pasal

yang didakwakan oleh penuntut umum, dalam arti hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada terdakwa di luar dari pasal yang didakwakan

tersebut. Oleh karena itu, dalam membuat surat dakwaan, penuntut umum

harus memperhatikan syarat-syarat limitatif, sebagaiman yang telah

ditentukan oleh undang-undang, yaitu Pasal 143 KUHAP, yaitu syarat

formil dan syarat mareriil.

Terhadap surat dakwaan penuntut umum tersebut, ada hak secara

yuridis dari terdakwa atau penasihat hukum terdakwa untuk mengajukan

keberatan (eksepsi), dimana dalam praktik persidangan biasanya eksepsi

yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak berwenang mengadili

(exeptie onbevoegheid) baik absolud maupun yang relatif, eksepsi

11

Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim “Dalam Perspektif Hukum Progresif”, Sinar Grafika. Jakarta, hal.

121.

24

dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi pada yang didakwakan bukan

merupakan tindak pidana, eksepsi terhadap perkara yang nebis in idem,

eksepsi terhadap perkara telah kadaluarsa, eksepsi bahwa apa yang

dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan,

eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel), eksepsi dakwaan tidak

lengkap, ataupun eksepsi dakwaan error in persona.

Atas keberatan (eksepsi) yang menyangkut kewenangan pengadilan

dalam negeri dalam mengadili suatu perkara atau dakwaan tidak dapat

diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Sebagaiman ketentuan Pasal

156 ayat (1) KUHAP, hakim akan memberikan kesempatan kepada

penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, kemkudian hakim akan

mempertimbangkannya, selanjutnya akan diambil suatu putusan oleh

hakim.

Adapun materi putusan hakim terhadap keberatan (eksepsi) yang

menyangkut kewenangan mengadili, dakwaan tidak dapat diterima atau

surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaiman ketentuan Pasal 156 ayat (1)

KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut12

:

a. Menyataan Keberatan (Eksepsi) Diterima

Apabila keberatan (eksepsi) terdakawa atau penasihat hukum

terdakwa, maka pemeriksaan terhadap pokok perkara bergantung

kepada jenis eksepsi mana diterima oleh hakim, jika eksepsi terdakwa

yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut

12

Ibid. hal.114

25

dikembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkan kembali ke

wilayah pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya.

Adapun jika keberatan (eksepsi) yang diterima menyangkut dakwaan

batal atau dakwaan tidak dapat diterima, maka secara formal perkara

tidak dapat diperiksan lebih lanjut atau pemeriksaan telah selesai

sebelum hakim memeriksa pokok perkara (Pasal 156 ayat (2)

KUHAP)

b. Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima

Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan

dari terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, dinyatakan tidak dapat

diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus

setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan penuntut

umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf

a dan b KUHAP.

Terhadap hal tersebut, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh

terdakwa atau penasehat hukumnya adalah perlawanan (verzet), tetapi

dalam praktik peradilan, perlawanan (verzet) yang diajukan oleh

terdakwa atau penasihat hukumnya akan dikirim bersamaan dengan

upaya banding terhadap putusan akhir yang dijatuhkan oleh

pengadilan negeri (Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP)

2. Putusan Akhir

Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka

sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan

26

memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara

dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai

putusan akhir. Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang

dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut.

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)

Putusan bebas (Vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim

yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang

dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh

penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata setelah

melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya

adanya bukti-bukti yang cukup yang menyatakan bahwa terdakwalah

yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada terdakwa

haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan besalah melakukan tindak pidana sebagaiman

dalam dakwaan penuntut umum, sehingga oleh karena itu terhadap

terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal

191 ayat (1) KUHAP)

b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum ( Onslaag van Alle

Recht Vervolging)

Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh

hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut

Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan

27

perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan

dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)

KUHAP).

Sebagai contoh dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung No.

645.K/Pid/1982, tanggal 15 Agustus 1983, dimana dalam peristiwa

konkret diketahui terdakwa menerima pinjaman uang untuk modal

usaha dagang dari seorang temannya, tetapi dalam perkembangannya

ternyata si terdakwa tidak mampu untuk melunasi pinjaman itu

seluruhnya, dan oleh pemilik uang, terdakwa ini kemudian dilaporkan

ke polisi dengan tuduhan melakukan penipuan. Namun dalam

persidangan, ternyata hakim menemukan fakta hukum yang

menyatakan terdakwa terbukti melakukan pinjaman dari temannya.

Perbuatannya itu bukanlah merupakan tindak pidana tetapi sudah

memasuki ruang lingkup perbuatan dalam hukum perdata.

c. Putusan Pemidanaan

Dalam hal terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan

penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang

setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya (Pasal 193 ayat (1)

KUHAP). Putusan Mahkamah Agung RI No. 553.K/Pid/1982, tanggal

17 Januari 1983 menegaskan bahwa ukuran pidana yang dijatuhkan

merupakan kewenangan dari judex facti untuk menjatuhkan pidana,

dimana hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang dan hanya ada

28

batasan maksimal pidana yang dapat dijatuhkan, sebagaimana dalam

KUHP atau dalam undang-undang tertentu ada batas minimal, seperti

dalam Undang-Undang No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 31 Tahun 2001 tentang

HAM.

Selanjutnya surat putusan pemidanaan, haruslah mencantumkan hal-hal,

sebagaiman diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai

berikut.

a. Kepala putusan berbunyi: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”

b. Nama lengkap, tampat lahir, umut atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan

keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan

di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan

yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali

perkara diperiksa oleh hakim tunggal

29

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya

semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan

kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang

bukti

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan

dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik

dianggap palsu

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau

dibebaskan

l. Hari dan tanggal putusan nama penuntut umum, nama hakim yang

memutuskan, dan nama panitera.

Kemudian lebih lanjut dalam ayat (2) pasal tersebut dinyatakan

jika salah satu dari unsur tersebut, tidak terpenuhinya ketentuan dalam

ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k, dah I pasal ini, maka putusan ini batal

demi hukum.

Dalam praktik terhadap putusan pemidanaan ini, sering dijumpai

putusan hakim yang menyatakan terdakwa telah dinyatakan bersalah

secara sah dan meyakinkan, tetapi dalam amar putusannya tidak

memerintah agar terdakwa ditahan, seperti dalam perkara korupsi atas

nama Tommy Soeharto maupun Probusutedjo.

30

Ketentuan dalam Pasal 193 KUHAP menyatakan bahwa: Ayat (1):

“jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan

menjatuhkan pidana”,Ayat (2): “Pengadilan dalam menjatuhkan

putusan, jiak terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya

terdakawa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan

terdakwa alasan cukup untuk itu”.

G. Kondisi penegakan hukum

Penegakan hukum merupakan salah satu tonggak utama dalam Negara

bahkan yang ditempatkan sebagai suatu bagian tersendiri dalam system

hukum. Selanjutnya dengan penegakan hukum, baik itu sengketa antara

sesama warga, anatara warga Negara dengan Negara. Dengan demikian

penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi usaha penciptaan Negara

Indonesia yang damai dan sejahtera.

Secara konsepsiaonal, inti dan arti penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-

kaidah yang ada dalam masyarakat guna memelihara dan mempertahankan

ketertiban. Dengan demikian poses penegakan hukum merupakan penerapan

dari kaidah yang berlaku pada masyarakat. Pada dasarnya penegakan hukum

dapat dimulai dengan memperhatikan diantaranya melalui penegakan hukum.

Bahwa sangat penting peran penegak hukum sebagai pagar penjaga yang

mencegah dan memberantas segala bentuk penyalewengan atau tingkahlaku

menyimpang, baik di lingkungan pemerintahan maupun dalam kehidupan

31

masyarakat, bangsa dan Negara. Demikian juga halnya dengan hakim dalm

mewujutkan penegakan hukum yang bercirikan keadilan, kepastian hukum,

dan kemanfaatan melalui persdilan.

Hal ini sesuai dengan apa yang di ungkapkan oleh soerjono soekanto13

yang menyatakan faktor-faktor yg mempengaruhi hukum yaitu, sebagai

berikut:

a. faktor hukumnya sendiri (termasuk undang-undang);

b. faktor penegak hukum;

c. faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. faktor masyarakt, yakni masyarakat dimana hukum tersebut

diterapkan;

e. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan karsa yang di

dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Mewujutkan penegakan hukum sebagai mana di amanatkan oleh UUD

1945 sungguh tidak mudah. Praktik penegakan hukum di Indonesia selama ini

tidak lepas dari system manajemen penegakan hukum (enforcement of law

management system).

Penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah berhenti

dibicarakan sepanjang Negara mempercayai hukum sebagai salah satu sarana

untuk mengatur dan menyelesaikan konflik kehidupan bermasyarakat. Ketika

hukum ingin dicari penyelesaiannya, kepentingan-kupantingan mulai

13

Fence Wantu. Idée Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi

dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 5 dan 6.

32

berbicara, sehingga tidak pernah dicapai pendekatan yang obyektif. Demikian

juga dngan penegakan hukum itu sendiri, yg termasuk di dalamnya juga

kekuasaan kehakiman.

H. Hak-hak anak

Anak tetaplah anak, dengan segala ketidak mandirian yang ada mereka

sangatlah membutuhkan perlindunan dan kasih sayang dari orang dewasa.

Anak mempunyai berbagai hak yang harus di implementasikan dalam

kehidupan dan penghidupan mereka.

Hak-hak anak dalam konvensi PBB (Kepres No.36 Tahun 1990 ):14

a. Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman;

b. Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan,

keselamatan, dan kesehatan;

c. Tugas Negara untuk menghormati tangung jawab, hak dan kewajiban,

orang tua serta keluarga;

d. Negara menakui hak hidup anak, serta kewajiban Negara menjamin

perkembangan dan kelangsungan hidup anak;

e. Hak memperoleh kebangsaan, nama, serta hak untuk mengetahui dan

diasuh orang tuanya;

f. Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama, dan hubungan

kekeluargaan;

g. Hak untuk tinggal bersama oran tua;

h. Kebebasan menyatakan pendapat/pandangan;

14

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 14.

33

i. Kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama;

j. Kebebasan untuk berhimpun, berkumpul, dan berserikat;

k. Memperoleh informasi dan aneka ragam sumber yang diperlakukan;

l. Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental,

penyalahgunaan, penelantaran, atau perlakuan salah (ekploitasi) serta

penyalahgunaan seksual;

m. Memperoleh perlindunan hukum terhadap pengganggu (kehidupan

pribadi, keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah);

n. Perlindungan anak yang tidak mempunyai orang tua menjadi

kewajiban Negara;

o. Perlindungan terhadap anak yan berstatus pengungsi;

p. Hak perawatan khusus bagi anak cacat;

q. Memperoleh pelayanan kesehatan;

r. Hak memperoleh manfaat jaminan social (asuransi social);

s. Hak anak atastaraf hidup yang layak bai perkembangan fisik, mental,

dan social;

t. Hak anak atas pendidikan;

u. Hak anak untuk beristrirahat dan bersenang-senang untuk terlibat

dalam keiatan bermain, berekreasi, dan seni budaya;

v. Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi;

w. Perlindungan dari npenggunaan obat terlarang;

x. Melindungi anak dari seala bentuk eksploitasi seksual;

34

y. Perlindungan terhadap penculikan dan punjualan atau perdagangan

anak.

z. Melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi segala aspek

kejahatan anak15

.

15

Ibid. hlm. 15