BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara...

57
18 BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara Pidana 1. Asas-Asas Putusan Hakim. Putusan pengadilan merupakan akhir dari proses pemeriksaan perkara yang dialakukan oleh majelis hakim, putusan pengadilan merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang, perlu dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan putusan pada uraian ini adalah putusa judex factie tingkat pertama dan bukan putusan tingkat banding atau kasasi, karena putusan yang berkaitan denga teknik pemerikasaan perkara hanyalah putusan tingkat pertama. Putusan tingkat banding meskipun termasuk judex factie tetapi pemerikasaan ditingkat banding hanyalah bersifat koreksi terhadap jalannya pemeriksaan perkara ditingkat pertama, yaitu hukum acara pidana dijalankan secara benar dalam proses persidangan, dan apakah telah menerapkan hukum acara yang benar. Adapun putusan kasasi hanyalah berupa koreksi terhadap penerapan hukum sudah tepat dan benar, apakah tidak melampaui wewenang yang ditentukan dalam Undang-undang. 1. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan tidak terperinci, memuat Pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili, (Pasal 50 dan 53 UU No, 48 Tahun 2009); 2. Asas wajib mengadili seluruh bagian dakwaan; 3. Asas tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan;

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara...

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

18

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara Pidana

1. Asas-Asas Putusan Hakim.

Putusan pengadilan merupakan akhir dari proses pemeriksaan perkara yang

dialakukan oleh majelis hakim, putusan pengadilan merupakan suatu pernyataan

hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang, perlu dijelaskan

bahwa yang dimaksudkan dengan putusan pada uraian ini adalah putusa judex factie

tingkat pertama dan bukan putusan tingkat banding atau kasasi, karena putusan yang

berkaitan denga teknik pemerikasaan perkara hanyalah putusan tingkat pertama.

Putusan tingkat banding meskipun termasuk judex factie tetapi pemerikasaan

ditingkat banding hanyalah bersifat koreksi terhadap jalannya pemeriksaan perkara

ditingkat pertama, yaitu hukum acara pidana dijalankan secara benar dalam proses

persidangan, dan apakah telah menerapkan hukum acara yang benar. Adapun putusan

kasasi hanyalah berupa koreksi terhadap penerapan hukum sudah tepat dan benar,

apakah tidak melampaui wewenang yang ditentukan dalam Undang-undang.

1. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan tidak

terperinci, memuat Pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar mengadili, (Pasal 50 dan 53 UU No, 48 Tahun 2009);

2. Asas wajib mengadili seluruh bagian dakwaan;

3. Asas tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan;

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

19

Dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 2. ayat (1) Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa". ayat (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila. ayat (3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara

Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan Undang-undang.

ayat (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pasal 5

ayat (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Esensi putusan yang didasarkan pada kalimat Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah penegakan hukum untuk tujuan keadilan. Dalam

realitasnya satu perkara diproses dan diadili menurut peraturan perundang-undangan.

Jarang sekali disertai pertimbangan sosiologis, filosofis atau pertimbangan moral

justice. Padahal putusan didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, mengapa

putusan tentang pencurian tiga biji kakao dan pencurian 6 piring ditentang banyak

orang, karena mereka menilia tidak ada rasa keadilan dalam masyarakat. Disebabkan

dalam pertimbangan hakim tidak menggunakan moral justice bahwa pencurian itu

sekecil apapun tetap melanggar Undang-undang.

2. Dasar pertimbangan Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh

Undang-undang untuk mengadili.1 Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa

dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak

atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.2

Memang pada hakekatnya dari seorang hakim hanya diharapkan atau diminta

1 Pasal 1 ayat 8 KUHAP

2 UU 48/2009, Pasal 10 ayat 1

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

20

untuk mempertimbangkan tentang benar tidaknya suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Oleh karena itu hakim harus memeriksa dan mengadili setiap perkara

yang diajukan kepadanya.

Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat

dikatakan bahwa kedudukan itu hanyalah setingkat di bawah Tuhan Yang Maha

Esa Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan

bahwa hakim itu bertanggung jawab langsung kepadanya. Disamping itu hakim

juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Tugas dan wewenang

hakim adalah mengadili suatu perkara yang bersifat final. Dalam memutuskan suatu

perkara tindak pidana hakim memiliki beberapa pertimbangan. Dasar pertimbangan

hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana adalah harus mempertimbangkan

kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang hakim

harus membuat keputusan, keputusan yang adil dan bijaksana dengan

mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam

masyarakat.3

Ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1)

huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan:

“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat

pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan

kesalahan terdakwa”.dikemukakan oleh Lilik Mulyadi “Pertimbangan hakim terdiri

dari pertimbangan yuridis dan fakta-fakta dalam persidangan. Selain itu, majelis

3 Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah

Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, 2013,

hal 16.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

21

hakim haruslah menguasai atau mengenal aspek teoritik dan praktik, yurisprudensi

dan kasus posisi yang sedang ditangani”.4

Mengacu pada tujuan pemidanaan dalam pasal yang dipergunakan untuk

menjatuhkan putusan pidana, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru,

dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa dalam penjatuhan pidana hakim wajib

mempertimbangkan hal-hal berikut;5

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. Cara melakukan tindak pidana;

d. Sikap batin pembuat tindak pidana

e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan tindak pidana;

h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

i. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan

j. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Hakim dalam pengambilan keputusan harus memiliki sifat arif, bijaksana, dan

adil karena hakim adalah sosok yang masih cukup dipercaya oleh sebagian

masyarakat yang diharapkan mampu mengayomi dan memutuskan suatu perkara

dengan adil. Karena dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan ataupun

kemaslahatan yang tercermin dalam putusan hakim tidaklah mudah. Apabila kasus

posisi suatu perkara tidak diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan sehingga

hakim sebagai penegak hukum dan keadilan. Wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam proses dan penentuan putusan-putusannya tidak dapat

mewujudkan suatu putusan yang berkeadilan mengingat tidak mudah diperoleh

4 3Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

2007, hal 193-194. 5bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 91

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

22

kebenaran materiil sebagai tuntutan utama dalam sistem peradilan pidana. Karena itu,

adanya kejelasan hubungan hukum dan fakta yang relevan, yang mendukung

dakwaan mengisyaratkan bahwa suatu putusan harus bermuatan logis, sehingga dapat

dipahami dan ditangani oleh publik yang berkepentingan terhadap keadilan hukum

John Rawls menegaskan bahwa “keadilan hukum timbul manakala didasarkan

kepada peran lembaga-lembaga hukum dalam memproses suatu keadilan formil

(institutions and formal justice), adanya kesamaan bagi setiap orang yang

berkesesuaian dengan adanya kebebasan dasar orang lain (each person is to

have an equal rights to the most extensive base liberty compatible with a

similar liberty of others), dan adanya kesamaan derajat dalam kesamaan

peluang dan kesempatan untuk memperoleh keadilan prosedural (fair equality

of opportunity and pure procedural justice).6 Dengan tidak mematuhi asas

kewenangan yurisdiksi memang bersifat relatif, sehingga hakim-hakim di

pengadilan negeri tampaknya tidak selalu berpengaruh oleh keadaan tersebut

termasuk pada beberapa kasus di atas.

3. Pertimbangan Hukum Sebagai Wujud Pertanggungjawaban Hakim Dalam

Membangun Peradilan Berwibawa.

Putusan hakim pada penelitian ini adalah putusan dalam rangka melaksanakan

tugas pokok pengadilan, yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan perkara yang diajukan di pengadilan. Pangdilan berfungsi

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasilan dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia. Hakim adalah pelaku utama fungsi pengadilan. Karena

6Penjelasan komprehensif John Rawls dalam karyanya, A Theory of Justice, London, Oxford,

University Press, 1971, hal. 114

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

23

itu semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam

rangka menegahkan hukum dan keadilan.7

Pada era transparansi dewasa ini, salah satu ciri pengadilan modern, bahwa

putusannya dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkannya.8 Orang yang

dirugikan oleh putusan akan mengatakan bahwa hakim tidak adil, sebalik orang yang

diuntungkan oleh putusan akan mengatakan bahwa hakim adil. Para filsus banyak

memberikan arti keadilan secara berbeda-beda, tergantung sudut pandang mereka,

seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya. Kemudian pada era pengadilan

modern saat ini berkembang menjadi legal justice (keadilan hukum), social justice

(keadilan masyarakat), dan moral justice (keadilan moral).9 Kemudian apabila

dikaitkan ketiganya dipertimbangkan secara utuh disebut total justice yang dalam

bukum logika hukum “pertimbangan putusan hakim” Syarif Mappiasse menyebutnya

sebagai pertimbangan hukum prismatik.10

Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, kata adil memberi makna

menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan apa yang menjadi haknya

yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di

hadapan hukum. Dengan demikian tuntutan yang paling mendsasar dari keadilan

yaitu memberikan perlakuan dan kesempatan yang sama serta keseimbangan

perlindungan hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa. Perilaku hakim yang

7 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Prenada Media Grup, Jakarta,

2015, hal 90-91 8 Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, pasal 52 ayat (1)

pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan

dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan, bandingkan dengan PERMA No, 144

Tahun 2011 tentang keterbukaan informasi 9 Syarif Mappiasse, Logika Hukum….Op.cit,. hall 91

10 Ibid.,

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

24

menyimpang dari pedoman perilaku hakim atau aparat pengadilan yang melanggar

peraturan tentang disimplin pegawai negeri sipil yang berdampak secara materil

merugikan salah satu pihak dari pengguna pengadilan, dan pula berdampak

merugikan institusi yaitu menyebabkan menurunnya kepercayaan publik terhadap

lembaga peradilan.11

Dalam mengatasi hal tersebut, maka Mahkama Agung sebagai lembaga tertinggi

dalam pengadilan, maka MA selalu memberikan sanksi yang tegas, jika terbukti

hakim melanggar kode etiknya. Guna memulihkan kepercayaan publik dan

membangun kewibawaan pengadilan. Membangun indepedensi dan sikap

profesionalisme hakim dilakukan dalam rangka memulihkan kepercayaan publik dan

membangun peradilan berwibawa. Independensi kehakiman dalam hal ini MA dan

badan-badan peradilan yang ada dibawahnya serta MK, secara hukum telah menerima

kaminan kemerdekaan baik melalui UUD 1945 maupun melalui UU No, 48 Tahun

2009, demikian pula indepedensi hakim secara personal telah dijamin secara hukum

dengan bolehnya melakukan dissenting opinion dalam mengajukan pertimbangan

hukum dalam putusannya.12

Penalaran hukum merupakan suatu proses upaya untuk sampai kepada

perumusan amar putusan. Upaya tersebut menurut Gr. Van der Burght dan J.D.C.

11

Ibid., hal 92 12

Lihat pasal 14 UU 48 tahun 2009 ayat (1) Putusan diambil berdasarkan sidang

permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. (2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim

wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa

dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. (3) Dalam hal sidang permusyawaratan

tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

25

Winkelman, bahwa untuk sampai pada perumusan amar putusan seorang hakim harus

melewati tujuh langkah.

Pertama,Meletakan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau

memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar peta, artinya memaparkan secara singkat

duduk perkara dari suatu kasus; Kedua,Menerjemahkan kasus itu ke dalam

peristilahan yuridis (mengualifikasi); Ketiga, Menyeleksi aturan-aturan hukum yang

relevan; Keempat, Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan

hukum itu; Kelima, Menerapkan aturan hukum pada kasus; Keenam, Mengevaluasi

dan menimbang argument-argume dan penyelesaian; Merumuskan (forulasi)

penyelesaian.

Sebenarnya dalam praktik pengadilan, penemuan hukum itu sesungguhnya

telah dilakukan pada saat kualifikasi. Fakta-fakta yang terbukti dipersidangan baru

dalam bentuk simbol-simbol yang harus di terjemahkan menurut konsep yuridis,

misalnya mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki secara

melawan hukum, dimaknai sebagai pencurian. Penemuan hukum oleh hakim

kemudian dirumuskan dalam bentuk putusan.

Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga

memuat Pasal tertentu dari Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan atau

sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.13

Dalam Pasal 53

ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

13

Lihat pasal 50 ayat (1). UU No 48 tahun 2009. Putusan pengadilan selain harus memuat

alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

26

“Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas

penetapan dan putusan yang dibuatnya”. Penetapan dan putusan sebagaimana

dimaksud harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada

alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.14

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-

undang Nomor 48 Tahun 2009 yang dimaksud dengan:

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.15

Ruang kebebasan hakim yang diberikan oleh negara meliputi kebebasan

mengadili, bebas dari campur tangan pihak luar, kebebasan berekspresi, kebebasan

menggali nilai-nilai hukum yang diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu penegakan

hukum berkeadilan, berkepastian dan kemanfaatan. Pengadilan mengadili menurut

hukum, meliputi ketentuan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dalam

penegakan prinsip kepastian hukum, norma positif dalam sistem Perundang-

undangan dipandang sebagai sumber hukum formal yang paling utama.16

14

Lihat pasal 53 ayat (1,2) UU No 48 tahun 2009. (1) Dalam memeriksa dan memutus

perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. (2) Penetapan dan

putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang

didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. 15

Lihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 48 tahun 2009: Kekuasaan Kehakiman

adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

16

Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap paradikma…..Op cit. hal 96

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

27

4. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara

a. Makna dan Fungsi Prinsip Kebebasan Hakim

Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan

digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka),

maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai paratur inti kekuasaan

kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah ditancapkan

konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun sosial telah

banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata kebebasan

digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk “kebebasan

hakim”, maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang menafsirkan bahwa

kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas

hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus didasarkan

(terikat kepada dasar Pancasila).17

Oleh karena itu kebebasan hakim tidak

bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur tanggung

jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas yang

cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.18

Secara akademik, mengenai kebebasan hakim dapat ditelusuri mulai dari

Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman

dan Mahkamah Agung yang telah beberapa kali mengalami amandemen.

Misalnya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang

No.14 tentang Mahkamah Agung (yang tidak diubah oleh Undang-Undang

17

Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran tentang kuasa dan Wibawa , Jakarta : Sinar Harapan ,

1991hal1 18

Kees BertensSejarah Filsafat Yunani,Yogyakarta : Kanisius ,1999, hal94

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

28

Nomor 5 Tahun 2004), kata kebebasan hakim tidak diberikan penjelasan lebih

rinci dan lebih teknis oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu dalam

memaknai dan memahami prinsip asas kebebasan hakim harus berada dalam

kerangka kontekstual prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Karena secara

organisatoris, hakim adalah bagian dari subsistem lembaga peradilan, yaitu

sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan

hakim harus selalu berada dalam koridor kemerdekaan lembaga kekuasaan

kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang No.48 Tahun

2009 yang menyatakan bahwa, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim

wajib menjaga kemandirian peradilan.19

Secara filosofis harus dipahami bahwa putusan hakim atau majelis hakim

yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual atau majelis,

namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat

itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat

kelembagaan, karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut

diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan yang

demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi

milik publik.

Kekuasaan kehakiman diatur didalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945

bahwa :Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

19

Mahkamah Agung RI, Penemuan hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek

Pengembangan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

29

lain-lain, Badan Kehakiman menurut Undang-undang; Susunan dan kekuasaan

badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-undang.

Kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik

Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata bebas memiliki konotasi makna tidak boleh

terikat oleh apa pun dan tidak ada tekanan dari siapa pun. Bebas juga berarti

suatu tindakan tidak boleh digantungkan kepada apa pun atau siapa pun. Bebas

juga memiliki arti leluasa untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginan dari

kebebasan itu sendiri. Apabila kata bebas disifatkan kepada hakim, sehingga

menjadi kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka

dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan

kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun,

tetapi leluasa untuk berbuat apapun. Memaknai arti kebebasan semacam itu

dinamakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial.20

Menurut Oemar Seno Adji:”Suatu pengadilan yang bebas dan tidak

dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas

berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan

legislatif dalam menjalankan fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak

20

Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,Jakarta: Pustaka

Filsafat, 1987, hal.33.

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

30

untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia

“subordinated”, terikat pada hukum.” Ide dasar yang berkembang secara

universal perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, "freedom and

impartial judiciary"yang menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari

segala sikap dan tindakan maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai

gagasan yang bersifat “universal”. "Freedom and impartial judiciary"

merupakan karakteristik dan persyaratan utama bagi negara yang menganut

sistem hukum Anglo Saxon maupun eropa kontinental yang menyadari

keberpihakan pada penegakan pinsip rule of law.21

Ada tiga ciri khusus negara

hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu hukum melalui prinsip-prinsip Rule

of Law, yaitu:

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung

pengertian perlakuan yang sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi,

budaya, dan pendidikan;

2. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya; dan

3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh

kekuasaan lain.22

Menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto, dari aspek historis, menguatnya

istilah kebebasan hakim (independensi peradilan) menjadi wacana nasional, telah

memberikan indikasi adanya campur tangan ekstra yudisial. Indikasi demikian

merupakan karakteristik dari negara-negara yang mengakui konsepsi rule of law, baik

di negara yang menganut sistem liberal, neoliberal, maupun sosialis. Konsepsi dan

ide kebebasan peradilan yang tidak memihak sudah menjadi acuan negara-negara

21

Oemar Seno Adji,Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,1987, hal 46 22

Ibid., hal 167

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

31

dengan multi pola sistem, karenanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak adalah

karakteristik negara demokratis yang mengakui dan menjunjung tinggi prinsip rule of

law tersebut. Untuk mewujudkan kehendak freedom and partial judiciary harus

dimulai dengan meneliti kondisi internal

peradilan, termasuk para hakim.23

Franken, ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan

kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu :

1. Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid);

Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid) adalah

independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politica dengan

sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kekuasaan

kehakiman harus independen dalam arti kedudukan klembagaannya harus

bebas dari pengaruh politik

2. Independensi Fungsional (Zakelijke of Fuctionele Onafhankelijkheid);

Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh

hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu

putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh

menjalankan kebebasannya unuk menafsirkan undang-undang apabila

undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena

bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi

undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan.

Independensi substansial dapat juga dipandang sebagai pembatasan,

dimana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar

hukum. Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi

tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu

ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan

keadilan atau konstitusi.

3. Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele

Onafhankelijkheid);

Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele

Onafhankelijkheid) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu

ketika berhadapan dengan suatu sengketa.

4. Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke

Onafhankelijkheid).

23

Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Aji, Peradilan Bebas dan Contempt of

Courts,Jakarta:Diadit Media 1980, hal 15

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

32

Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke

Onafhankelijkheid) adalah independensi hakim untuk tidak berpihak

(imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan

masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak

boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu dan kemudian mengambil begitu

saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkan hakim juga harus

mampu menyaring desakan-desakan dalam masyarakat untuk

dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang

sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat

menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.24

Menurut Bagir Manan, bahwa majelis hakim dipandang menjadi tidak netral

atau berpihak karena beberapa hal, antara lain :

1. Pengaruh kekuasaan dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi

kehendak pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, baik dari lingkungan

kekuasaan kehakiman sendiri, maupun dari luar (misalnya dari

gubernur, bupati, menteri dan lain-lain);

2. Pengaruh publik. Tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan

rasa takut atau cemas kepada majelis hakim yang bersangkutan

sehingga memberikan keputusan yang sesuai dengan paksaan publik

yang bersangkutan.

3. Pengaruh pihak. Pengaruh pihak dapat bersumber dan hubungan

primordial tertentu, maupun karena komersialisasi perkara. Perkara

menjadi komoditas perniagaan, yang membayar lebih banyak akan

dimenangkan.25

Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila haruslah dipahami

sebagai batas-batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang

bertanggungjawab. Pancasila haruslah sebagai dasar kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan (Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009). Pancasila sebagai nilai dasar atau nilai

fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal. Apabila dikaji

secara mendalam, maka pengertian abstrak, umum, dan universal tersebut

24

H. Franken, Onafhankelijkheid en Verantwoordelijke, Gouda Quhnt, 1997, hal 9-10 25

Bagir Manan,Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian) ,Jakarta: FH-UI Press, , 2004, hal

20-12

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

33

memungkinkan untuk dijabarkan ke bidang filsafat, hukum, sosial, ekonomi, dan

sebagainya.26

Nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila dengan

demikian dapat dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki

kebebasan hakim dalam konteks rule of law di Indonesia.

Prinsip kebebasan hakim, oleh sebagian hakim dipahami sebagai suatu

kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas, sehingga makna kebebasan

dipahami sebagai kesewenang-wenangan, sehingga orang dikatakan bebas, kalau

dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini bebas dipahami juga

sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan, termasuk keterikatan dari

perbudakan nafsu. Secara paralel, kebebasan hakim dapat dipahami sebagai

kebebasan yang terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan dengan seseorang

atau apa pun (termasuk nafsu) yang dapat membuat hakim tidak leluasa.

Ukurannya adalah kebenaran, dan kebaikan yang dipancarkan oleh nurani.

Antara hukum dan moral memang berbeda,27

tetapi mempunyai kaitan yang

erat antara hukum dan moral, karena sebenarnya bahwa hukum itu merupakan

bagian dari tuntutan moral yang dialami manusia dalam hidupnya. Hukum memuat

nilai etis, yakni bahwa kriteria pembentukan hukum adalah kebebasan moral.28

26

Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Pidato

pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,2003 27

Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian baik dan buruk akan

tetapi didasarkan pada kekuasaan dari the powers of superior(Baca Brian H. Bix, Legal Postitivim

dalam Philosophy of Law and Legal Theory, Edited Martin P. Golding and William A. Edmundosn,

Marden : Blackwell ublishing, 2006; James Bernard Murphy, The Philosophy of Positive Law :

Foundations of Jurisprudence, New Haven : Yale University Press, 2005. 28

Hukum memikul tanggung jawab (beban moral) untuk berfungsi sebagai sistem aturan yang

melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan memandu kehidupan manusia agar tercipta

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

34

Hukum ialah sejumlah syarat yang menjamin bahwa kehendak seorang pribadi

disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan, disini

hukum diartikan sebagai buah sikap moral manusia. Antara hukum dan moral

sangat erat sekali hubungannya, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara

abstrak, secara konkret tidak usah muncul secara terpisah. Ilustrasi ini

mengharuskan hakim untuk memeriksa, dan memutus perkara yang ditanganinya

sesuai denganprinsip-prinsip moral, dan karenanya dalam memutus perkara

berlandaskan moral yang baik dan sehat. Apabila dalam menyelesaikan sengketa

dan memutus perkara hakim mengabaikan moral, pasti akan menghasilkan suatu

putusan yang adil tetapi semu atau menghasilkan suatu keadilan yang semu.

Norma moral bagi hakim dalam menjalankan tugasnya diatur di dalam Keputusan

Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial

Republik Indonesia Nomor.047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P-

KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang mengatur

perilaku hakim sebagai berikut: berperilaku adil, berperilaku jujur, berlaku arif dan

bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung

tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap profesional.

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat

bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti

sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan

pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan,

kehidupan tertib ditengah-tengah keterbatasan natural. Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum : Mem-bangun

Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal155.

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

35

maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga

dihadapan masyarakat.29

hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang,

sedangkan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun

hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak

dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.30

Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa

memperhatikan keadilan, dan adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum

dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan tata hukum dan peradilan

haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu.31

Prinsip-prinsip

tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu

merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang

adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling

besar bagi setiap orang yang sebesar mungkin, justru berpikir secara hukum

berkaitan erat dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud.

Hukum positif merupakan salah satu hasil dari kegiatan manusia dalam

negara sebagai ko-eksistensi etis, sedangkan hukum itu berasal dari kehendak

yuridis dan politis, tetapi kehendak yuridis dan politis itu merupakan bagian

29

Pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putati yang telah ada (hukum

positif) dapat diabaikan atas nama hak moral. Lihat Lon. L.Fuller,Morality of Law,Yale University

Press, New Haven, 1964, hal 96-97 30

Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2007, hal 125 31

Ketersediaan aturan yang jelas-tegas dan predictable, merupakan keharusan (moral) yang

terkait dengan kepastian hukum secara formal. Bernard A. Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang

Negara Hukum, Jentera (Jurnal Hukum), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), edisi 3 Tahun II,

November, Jakarta, 2004, hal 124-125

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

36

kehendak etis manusia untuk mengatur kehidupan bersama dalam segala relasi-

relasinya agar relasi-relasi itu baik dan karenanya kehidupan manusia sendiri-

sendiri menjadi baik dan bahagia. Dapat pula dikatakan bahwa hukum itu terkait

dengan etika, sebab melalui norma-norma hukum ditetapkan suatu tatanan sosial

yang adil. Hukum mewajibkan secara etis dan yuridis, sebab hukum menciptakan

keadilan.32

Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan meliputi:

1. Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap warganya,

dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk

keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta

kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;

2. Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan wargalah

yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-

undangan yang berlaku dalam negara;

3. dan Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu

dengan lainnya secara timbal balik.33

b. Implementasi Prinsip Kebebasan Hakim

Berbicara tentang prinsip kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman

(independensi peradilan) tidak boleh tidak harus dikaitkan dengan konsep negara

hukum (rechtsstaat).34

Rechtsstaat adalah istilah yang digunakan oleh penganut

sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) untuk menyebut negara

32

Theo Huijbers, op.cit. hal68 33

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan Tinggi,Jakarta : Paradigama, 2007,

hal 36 34

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, membedakan pengertian kemandirian

kekuasaan kehakiman atas tiga jenis, yakni kemandirian lembaganya, kemandirian proses

peradilannya, dan kemandirian hakimnya sendiri. Akan tetapi, mereka juga menegaskan bahwa

kemandirian hakimnya disebut secara tersendiri dan pembahasannya akan dikupas lebih dalam lagi

karena hakimlah yang secara fungsional memimpin dan menyelenggarakan proses peradilan di muka

pengadilan serta memberikan putusan kepada pencari keadilan. Uraian lebih jelas tentang hal ini dapat

dibaca pada Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan

Kehakiman Indonesia,ed 1, UII Press, 2005, hal 52-68

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

37

hukum, sedangkan the rule of law adalah kata lain dari rechtsstaat. Kata tersebut

digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law (anglo

saxon).Sebab salah satu syarat mutlak negara hukum adalah adanya aminan akan

kemadirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim. F.J. Stahl,pakar hukum

dari negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengemukakan,

ada empat unsur negara hukum, yakni hak-hak dasar manusia, pembagian

kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van

bestuur), dan peradilan tata usaha dalam perselisihan.35

Sedangkan A.V. Dicey, ahli hukum dari negara yang menganut sistem

hukum Anglo Saxon, mengemukakan bahwa unsur-unsur negara hukum ada tiga

macam, yaitu supremasi hukum, adanya kesamaan di depan hukum, dan

terjaminnya hak-hak manusia, baik oleh undang-undang maupun oleh putusan

pengadilan.36

Dalam rumusan F.J. Stahl dan A.V. Dicey tentang unsur-unsur

negara hukum (rechtsstaat) atau the rule of law sebagaimana kemukakan di atas,

asas kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman tidak disebutkan secara tegas,

kecuali secara tersirat. Penyebutan yang tegas tentang hal ini dapat ditemukan

dalam konsep negara hukum menurut Frans Magnis Suseno. Dikemukakan oleh

Frans Magnis Suseno bahwa ada lima ciri negara hukum. Kelima ciri tersebut,

yakni

1) Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai

dengan ketetapan-ketetapan sebuah undang-undang dasar;

35

Oemar Seno Adji, Prasarana pada Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar

1945,Jakarta : Seruling Masa, 1966, hal 24. 36

Ibid,.

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

38

2) Undang-Undang Dasar menjamin hak-hak asasi manusia yang paling penting

karena tanpa jaminan tersebut, hukum dapat menjadi sarana penindasan;

3) Badan-badan negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya

atas dasar hukum yang berlaku;

4) Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan

dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara; dan

5) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.37

Hakikat kebebasan hakim atau kemandirian kekuasaan kehakiman

(independensi peradilan) itu bermaksud untuk mencegah penyalahgunaan

wewenang dan kekuasaan oleh badan negara. Sehubungan dengan ini, Fpans

Magnis Suseno, mengemukakan bahwa dengan adanya kebebasan dan

kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka

diharapkan bahwa badan yuridikatif dapat melakukan kontrol segi hukum

terhadap kekuasaan negara disamping untuk mencegah dan mengurangi

kecenderungan menyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.38

Tidak hanya

kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama dari pengaruh kekuasaan

pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan

pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa karena kekuasaan kehakiman yang

secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol

terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsi tersebut.

Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur

tangan atau intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan kekuasaan

kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman

yang bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang

37

Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi; Sebuah Telaah Filosofis,Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama,1995, hal 58-59 38

Frans Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern ,Jakarta

: Gramedia, 1991, hal 298-301.

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

39

merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh

lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan

imparsial. Maksud dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses

pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang benar atau

berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan mengacu pada

ukuran atau kriteria obyektif yang berlaku umum, sedangkan maksud dari putusan

yang bersifat imparsial adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak

memihak kepada salah satu pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-

pihak yang berperkara atau bersengketa. Disamping itu keputusan yang diberikan

tersebut secara langsung memberikan kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi

dapat disimpulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin

terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum

dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.

Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran,

putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan

pengadilan. Tujuan putusan pengadilan sejatinya:

1) Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari

masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat;

terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada lembaga lain selain badan

peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan pengadilan;

2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena

keadilan yang tertunda itu merupakan ketidakadilan;

3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan

pengadilan tersebut;

4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman

masyarakat;

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

40

5) Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang

berperkara.39

Dasar hukum tentang prinsip kebebasan hakim adalah Pasal 24 ayat (1)

UUD 1945 yang menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan”. Dalam interpretasi historis, dapat diketahui bahwa Pasal

tersebut oleh pembuatnya dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari

intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Prinsip yang

terkandung didalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian

adalah bersifat kelembagaan, yaitu lembaga peradilan.

Mengenai prinsip kebebasan hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 32

ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang

tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), tidak

dijelaskan lebih lanjut secara rinci oleh Undang-undang tersebut, oleh karena itu

semangat makna Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 harus dikembangkan dalam

memahami maksud kebebasan hakim dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-undang

No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-

undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 14

tahun 1945 tentang Mahkamah Agung), bahwa kebebasan hakim harus dalam

kerangka prinsip kebebasan lembaga peradilan.Karena hakim adalah sub sistem

dari lembaga peradilan, sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan

kehakiman, sehingga kebebasan hakim haruslah selalu berada di dalam koridor

39

Artidjo Alkostar, Dimensi Kebenaran Dalam Putusan Hakim, varia peradilan 281,2008, hal 37

Page 24: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

41

kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3

ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

menyatakan bahwa “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim

konstitusi wajib menjaga kemadirian peradilan”.

Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia,

hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa kekuasaan

kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena

tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945 sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan

rakyat Indonesia, bukan keadilan subyektif menurut pengertian atau kehendak

hakim semata.40

Namun, dalam pelaksanaannya kebebasan dan kemandirian yang

diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan

sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan

kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi,

serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili

sesuai dengan hati nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun.

40

Sudikno dalam Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, op.cit. hal 67

Page 25: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

42

Hakim bebas memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan

hati nuraninya. Disamping itu juga bebas dari campur tangan pihak ekstra

yudisial.41

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di

luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam

UUD1945. Tetapi di dalam praktik ketentuan itu tidak jarang dilanggar, antara

lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, telepon

sakti, suap dan sebagainya.42

Hoentink mengatakan bahwa, hakim tidak boleh

mengadili melulu menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia terikat

kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Scholten

mengatakan bahwa, hakim terikat pada sistem hukum yang telah terbentuk dan

berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim

menyatakan dan memperkuat kehidupan norma-norma hukum yang tidak

tertulis.43

Apabila hakim sudah merasa cukup dalam memeriksa perkara yang

diajukan kepadanya, maka tibalah saatnya ia akan memberikan putusan atas

perkara yang diajukan. Dalam memutus perkara tersebut disyaratkan dalam

undang-undang bahwa disamping berdasarkan alat-alat bukti yang sudah

ditentukan oleh undang-undang, juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim.

Untuk menentukan adanya keyakinan ini tidaklah mudah bagi hakim dalam

menjalankan tugas profesinya. Keadaan demikian dikhawatirkan jika hakim salah

41

Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia,4 Jurnal Hukum FH-UII, Jakarta,1997,

hal 5 42

Ibid,. 43

I.G.N. Soegangga, Pengantar Hukum Adat,Semarang : Badan Penerbit Undip, 1994, hal 52

Page 26: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

43

dalam menentukan keyakinannya, maka akan terjadi kesesatan yang

mengakibatkan putusan hakim menjadi tidak adil. Menurut Mulyatno, keyakinan

hakim adalah suatu keyakinan yang ada pada diri hakim, kalau ia sudah tidak

menyangsikan sama sekali akan adanya kemungkinan lain daripada yang

digambarkan kepadanya melalui suatu pembuktian. Jadi hal yang diyakini

kebenarannya itu sudah di luar keragu-raguan yang masuk akal (beyond

reasonable doubt).44

Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah

Agung RI Nomor 5 Tahun 1966 tentang Pedoman Fungsi Hirarkhis Badan-Badan

Pengadilan/Hakim, maka ketentuan-ketentuan yang diatur Surat Edaran

Mahkamah Agung Ri Nomor 5 Tahun 1966 tidak bertentangan dengan kemurnian

pelaksanaan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan kebebasan hakim, yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

1) Hakim bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya

Hakim atau Majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk

mengadili suatu perkara harus tetap bebas dan bertanggung jawab dalam

menjalankan tugasnya itu, baik dalam penyelenggaraan peradilan, penilaian

kebenaran atau keadilannya, dan tidak boleh diperintah atau diberi tekanan

secara apapun dan oleh siapapun.

2) Menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya

Atas permintaan hakim/hakim-hakim yang bersangkutan atau atas inisiatif

dari ketua atau dari pimpinan pengadilan atasannya secara umum atau dalam

perkara tertentu terutama dalam perkara-perkara yang menarik perhatian

publik, berat atau sulit dapat dimintakan atau diberi bimbingan yang bersifat

nasihat-nasihat atau petunjuk-petunjuk umum dalam menjalankan tugas

tersebut kepada/oleh ketua atau pimpinan pengadilan atasannya yang

bersangkutan yang semuanya harus secara serius harus dinilai sebagai bahan-

bahan pertimbangan untuk menyelenggarakan peradilan dengan seksama

sewajarnya.

3) Arahan atau bimbingan selama pemeriksaan berjalan

Selama pemeriksaan berjalan sampai dengan pemutusannya maka arahan atau

bimbingan dan petunjuk-petunjuk tersebut hanya dapat diberikan oleh ketua

pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya atas permintaan hakim atau

majelis hakim yang bersangkutan.

4) Arahan atau bimbingan lisan atau tertulis

44

Mulyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Jakarta :Bina Aksara, 1982, hal 21

Page 27: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

44

Arahan atau bimbingan ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya

di atas, dapat dimintakan atau diberikan secara tertulis (terutama jika

tempatnya jauh) atau lisan.

5) Arahan atau bimbingan tentang penilaian kebenaran, pembuktian, dan

keadilan

Masalah-masalah penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran,

pembuktiaan, penerapan hukumnya atau penilaian keadilannya untuk

mencapai keserasian dalam lingkungan suatu peradilan dapat didiskusikan

antara para hakim sendiri di bawah pimpinan ketua pengadilan yang

bersangkutan secara berkala atau insidentil tanpa mengurangi prinsip

kebebasan hakim.

6) Peringatan atau teguran kepada hakim atau majelis hakim

Peringatan atau teguran oleh ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan

atasannya, baik terhadap penyelenggaraan atau jalannya peradilan maupun

perbuatan hakim dapat diberikan secara umum atau khusus dengan tulisan

atau lisan mengenai suatu perkara, pada asasnya hanya dibenarkan setelah

perkara selesai diputus.45

B. Teori-teori Tentang Keadilan

1. Keadilan.

Berbicara mengenai keadilan selalu terkait dengan pembaihasan mengenai

hukum itu sendiri.46

Sudah kita tahu bahwa keadilan merupakan sala satu tujuan

dari hukum, namun hukum dan keadilan bagaikan dua mata uang yang tidak bisa

dipisahkan. Arti keadilan itu sendiri datang dari berbagai pandangan, Keadilan

adalah memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, ada juga

yang melihat keadilan dari dasar kata adil yang artinya tidak berat sebelah.

Keadilan terletak pada keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan

kewajiban.

45

jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 46

Teguh Prasetyo, Teori Keadilan Bermartabat, Op.cit, hal 101

Page 28: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

45

Keadilan yang sebenarnya adalah memberikan sesuatu pada tempatnya,

adil bukan berarti sama rata, melainkan memberikan sesuatu pada orang yang

berhak mendapatkannya. Dalam pengertian keadilan ada beberapa macam

pengertian yang diungkapkan oleh para ahli ilmu kemanusiaan, Setiap manusia

berhak diperlakukan adil dan berlaku adil dengan menyeimbangkan antara hak

dan kewajiban. Orang yang menuntut hak, tapi lupa kewajiban, tindakannya pasti

akan mengarah pada pemerasan, sebaliknya orang yang menjalankan kewajiban,

tetapi lupa menuntut hak akan mudah diperbudak oleh orang lain.

Keadilan merupakan suatu bentuk kondisi kebenaran ideal secara moral

akan sesuatu hal, baik itu menyangkut benda ataupun orang. Pada hakikatnya,

keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan

haknya. Dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan

sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hakdan

kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan.

Keadilan juga merupakan budaya bangsa Indonesia, hal ini tergambar dalam

pancasila yang merupakan dasar negera Indonesia. Keadilan diekspresikan

dengan berbagai cara, misalnya membuat karya seni yang menyuarakan keadilan,

seperti seni musik, prosa dan puisi. Ada yang pula yang menuntut keadilan

dengan cara berpuasa sampai mati atau sampai tuntutan keadilannya terpenuhi,

menjahit mulut, membakar diri dan sebagainya, dengan demikian, keadilan akan

sulit untuk ditemukan dalam kehidupan masyarkat dewasa ini.

Beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian keadilan.

Page 29: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

46

a. Pengertian keadilan menurut Aristoteles.

Teori keadilan menurut Aristoteles yang dibagi menjadi lima macam yaitu

keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan kodrat alam, keadilan

konvensional, dan keadilan perbaikan. Oleh sebab itu penulis memakai

pandangannya tentang keadilan distributif. keadilan merupakan tindakan

yang memberikan sesuatu kepada orang yang memang menjadi haknya.

Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno. Menurut Suseno,

keadilan adalah keadaan dimana sesama manusia saling enghargai hak

dan kewajiban masing-masing yang membuat keadaan menjadi harmonis.

b. Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes

Menurut Hubbes, keadilan adalah sebuah keadaan dimana ada suatu

perjanjian yang kemudian isi perjanjian tersebut dijalankan sesuai dengan

aturan yang berlaku tanpa berat sebelah.

c. Pengertian keadilan menurut Prof, Teguh Prasetyo yang digagasnya dalam

teori keadilan bermartabat. Memanusiakan manusia. Yang mana hukum

ada bukan untuk menindas, akan tetapi untuk membenahi yang salah.

Segala sesuatu yang dibicarakan harus selalu berhubungan dan

menjelaskan, serta menuntun realitas; seperti menentukan yang baik dan

buruk, benar dan salah. Teori keadilan bermartabat, dikatakan

bermartabat, karena dibangun nilai-nilainya berdasarkan pancasila yang

adalah jiwa bangsa Indonesia.47

2. Hakekat Keadilan

Dengan mengamati putusan-putusan yang penulis sebutkan pada bab

I, lalu timbul pertanyaan-pertanyaan besar.”dimana dunia keadilan itu?

Bagaimana ciri atau sifat keadilan itu? Dan apa itu adil? Ciri atau sifat adil

dapat diiktisarkan maknanya sebagai berikut, adil (just), bersifat hukum

(legal), sah menurut hukum (law ful), tidak memihak (impartial), sama hak

(equal), layak (fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral

(righteous). Dari pengertian diatas ternyata adil mempunyai makna ganda

yang perbedaannya satu sama dengan yang lain kecil sekali. Nuansa ini

47

Ibid., hal 62-63

Page 30: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

47

perlu diperhatikan apabila sifat adil diterapkan pada situasi yang umum dan

induvidu.48

Keadilan merupakan tujuan hukum yang peling penting, didalam

keadilan sudah pasti terwujud kepastian dan juga kemanfaatan. Bismar

Saregar “mengatakan bila untuk menegakan maka keadilan saya korbankan

kepastian hukum, hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah

keadilan”.49

Mengapa tujuan dikorbakan karena sarana? Demikian

pentingnya keadilan ini. Lalu keadilan itu apa? Pertanyaan ini dijawab oleh

Ulpianus(200M), yang kemudian diambil ahli oleh kitab hukum Justianus,

dengan mengatakan bahwa “keadilan ialah kehendak yang terpola dan tetap

untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (justitia est costans et

prepetua volontas ius suum cuique tribuendi).50

Maka hukum tanpa keadilan

akan sia-sia sehingga tidak lagi berharga di hadapan masyarakat. Hukum

bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan bersifat

subjektif. Dengan dua sifat yang berbeda maka untuk menggabungkan antara

hukum dan keadilan itu bukan pekerjaan yang gampang. Namun itulah

konsekuensinya, sesulit apa pun menggabungkan keadilan dan hukum harus

dilakukan. Ini demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar

hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.51

48

Muhamad Erwin.Op.Cit. hal 290 49

Ibid., 50

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat

hukum di Indonesia, PT Gramendia Pustaka, Jakarta, 1995, hal 138 51

H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group;

2012), hal 91

Page 31: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

48

Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa

memperhatikan keadilan. Karena adil itu termasuk pengertian hakiki suatu

tata hukum dan peradilan. Karena itu dalam pembentukan tata hukum dan

peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsip-

prinsip umum tersebut yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan

negara. Kepentingan bangsa dan negara itu merupakan keyakinan yang

hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil. Karena tujuan

negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi

setiap orang yang mungkin, justru berpikir secara hukum berakit erat dengan

ide bagaimana keadilan dan ketertiban itu terwujud.52

Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan

berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang

tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi.

Manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dibekali dengan

rasa yang dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal

agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena

yang dapat menentukan hal ini adalah rasa.53

Plato (427-347SM) yang menggambarkan keadilan pada jiwa manusia

dengan membandingkannya dengan kehidupan negara, mengemukakan

bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu, pikiran, perasaan dan

nafsu baik psikis maupun jasmani, rasa baik dan jahat. jiwa akan teratur

52

Ibdi., 53

M.Rasjidi dan H.Cwindu, Islam untuk disiplin Ilmu Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal

17

Page 32: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

49

secara baik apabila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga

bagian itu. Seperti halnya jiwa manusia, negarapun harus diatur secara

seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil. Setiap golongan golongan

berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugas-tugasnnya, itulah

keadilan. Dalam mengartikan keadilan, Plato dipengaruhi oleh cita-cita

kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan

berbagai organism sosial, setiap warg negara harus melakukan tugasnya

sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.54

Lain halnya dengan Plato, Aristoteles (384-322SM) memberikan

cukup besar pemikiran tentang hukum dan keadilan, dengan menggolongkan

keadilan menjadi dua bagian keadilan disrtibutif dan keadilan korektif.55

1. Keadilan disrtibutif.

Keadilan distributif menyangkut soal pembagian barang dan

kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya

dalam masyarakat,

2. Keadilan korektif.

Keadilan korektif memberilan ukuran untuk menjalankan hukum

sehari-hari.

Perlu dicatat bahwa sebelum Plato banyak teori keadilan yang lazim.

Penyelidikan tentang keadilan pergi dari yang paling kasar ke interpretasi

yang paling halus itu. Oleh karena itu tetap untuk menanyakan apa alasan

yang ia menolak pandangan tersebut. Jadi sebelum membahas konsep Plato

sendiri tentang keadilan, perlu untuk menganalisis teori-teori tradisional

keadilan ditolak olehnya. Plato membuktikan bahwa keadilan tidak tergantung

pada kesempatan, konvensi atau pada kekuatan eksternal. Ini adalah kondisi

yang tepat dari jiwa manusia oleh sifat manusia jika dilihat dalam kepenuhan

54

Muhamad Erwin.Op.Cit., hal 292-293 55

Satjipto Raharjo, Ilmu hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 163

Page 33: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

50

lingkungannya. Ini adalah cara ini bahwa Plato mengutuk posisi yang diambil

oleh Glaucon bahwa keadilan adalah sesuatu yang eksternal. Menurut Plato,

itu adalah internal itu berada dalam jiwa manusia. "Hal ini sekarang dianggap

sebagai rahmat ke dalam dan pemahaman yang terbukti melibatkan studi

tentang manusia batiniah." Oleh karena itu, alami dan tidak ada buatan. Oleh

karena itu, tidak dilahirkan dari takut akan lemah tetapi dari kerinduan jiwa

manusia untuk melakukan tugas sesuai dengan sifatnya.

Dengan demikian, setelah mengkritik ide-ide konvensional keadilan

disajikan secara berbeda oleh Cephalus, Polymarchus, Thrasymachus dan

Glaucon, Plato sekarang memberikan kita teori sendiri keadilan. Plato

menyerang analogi antara organisme manusia di satu sisi dan organisme sosial

di sisi lain. organisme manusia menurut Plato mengandung tiga unsur-Alasan,

Roh dan Nafsu. Seorang individu hanya ketika setiap bagian dari jiwanya

melakukan fungsinya tanpa mengganggu orang-orang dari unsur-unsur

lainnya. Misalnya, alasan harus memerintah atas nama seluruh jiwa dengan

kebijaksanaan dan pemikiran. Unsur semangat akan sub-ordinat diri pada rule

of reason. Dua elemen yang dibawa ke dalam harmoni dengan kombinasi

pelatihan mental dan fisik. Mereka ditetapkan dalam perintah atas selera yang

membentuk sebagian besar dari jiwa manusia. Oleh karena itu, alasan dan

semangat harus mengontrol selera ini yang cenderung tumbuh pada

kesenangan tubuh. selera ini seharusnya tidak diperbolehkan, untuk

memperbudak unsur-unsur lain dan merebut kekuasaan mana mereka tidak

Page 34: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

51

memiliki hak. Ketika semua tiga setuju bahwa di antara mereka alasan saja

harus memerintah, ada keadilan dalam diri individu.

Aristoteles juga mengatakan, keadilan adalah kebijakan yang berkaitan

dengan hubungan antar manusia. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa

yang sebanding, yaitu yang semestinya. Orang yang tidak adil adalah orang

yang mengabil lebih dari yang menjadi haknya, orang yang tidak

menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan

kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.56

Pada abad pertengahan muncul filsuf aliran hukum kodrat, yakni

Thomas Aquinas. Pada masa skolastik ini Aquinas melanjutkan pemikiran

hukum alam. Ia membedakan atas dua jenis keadilan, yakni keadilan umum

(justisia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum kerap diartikan

dengan keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan

demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus dibedakan lagi menjadi

keadilan distributif (justitia distributiva), keadilan komutatif (justitia

commutativa), dan kadilan vindikatif (justitia vindicativa).

Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap

orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-

masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antar masyarakat

dengan perorangan. Dalam hal ini, keadilan bukan berarti dalam persamaan,

56

Ibid.,

Page 35: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

52

melainkan perbandingan berdasarkan haknya. Kemudian keadilan komutatif,

ialah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa

memedulikan jasa masing-masing. Misalnya dalam organisasi perusahaan ada

bagian personalia, bagian umum, bagian keuangan dan seterusnya. Mereka

diangkat berdasarkan kemampuan mereka dalam bekerja.

Sementara keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan

hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang diaggap adil

apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang

telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Para penganut aliran hukum alam meyakini bahwa alam semesta ini

diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga pada norma hukum alam

primer yang terdapat stoisisme menyatakan bahwa ”berikanlah kepada setiap

orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribure), dan jangan

merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero mengatakan bahwa hukum

dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia tetapi oleh alam.57

Pada aliran positivisme hukum, norma hukum alam itu dibuat dalam

bentuk yang lebih konkrit, yang mana pengejawantahan hukum dan keadilan

itu ditetapkan ke dalam norma hukum positif yang dipercayakan kepada

penguasah. Hukum positif kadang-kadang menghambat perkembangan

57

Darji Darmodiharjo dan Shidarta Op cit., hal 140

Page 36: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

53

hidup dan merugikan keadilan.58

Sementara menurut kaum utilitarianisme,

ukuran astu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa

besar dampaknya bagi kesejahteraan manuisa (human welfare). Kesejateraan

individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebi besar (general

wefare). 59

Sementara menurut penganut aliran Realisme Hukum yang salah satu

tokohnya adalah Jhon Rawls, berpendapat perlu ada keseimbangan antara

kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaima ukuran dari

keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Rawls

menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebijakan utama yang

harus dipegang teguh dan sekaligus menjadi dasar di berbagai lembaga

sosial dasar suatu masyrakat. Memperlakukan keadilan sebagai kebijakan

utama, berarti memberikan kesempatan secara adil dan sama bagi setiap

orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan martabatnya

sebagai manusia. Harga diri dan martabat manusia tidak bisa diukur dengan

kekayaan ekonomis, sehingga dipahami bahwa keadilan luas melampaui

status ekonomi seseorang.

Lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa teori keadilan yang memadai

harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip keadilan

yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil

58

Ibdid., hal 140 59

Ibid., hal 142

Page 37: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

54

kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan sederajat.

Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu

menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara

adil bagi semua orang. Dalam arti ini, keadilan bagi Rawls adalah fariness.

Maksud dari Rawls suatu masyarakat baik seharusnya mampu

memperlihatkan diri sebagai sebuah lembaga kerja sama sosial diman

masing-masing pihak berusaha saling menyumbang dan saling memajukan.

singkatnya teori keadilan adalah teori yang mampu mengakomodasi sebuah

kerja sama sosial yang pada saatnya akan mendukung terbentuknya

masyarakat yang tertib dan teratur.60

3. Peran Keadilan Menurut Jhon Rawls

Hubungan antara hukum dengan keadilan John Rawls. Bahwa institusi

formal penegak hukum, polisi, jaksa dan juga hakim telah memainkan peranan

penting dalam menjalankan tugasnya sehingga keadilan dapat dicapai dengan

optimal. John Rawls menegaskan bahwa “keadilan hukum timbul manakala

didasarkan kepada peran lembaga-lembaga hukum dalam memproses suatu

keadilan formil (institutions and formal justice), adanya kesamaan bagi setiap

orang yang berkesesuaian dengan adanya kebebasan dasar orang lain (each

person is to have an equal rights to the most extensive base liberty compatible

with a similar liberty of others), dan adanya kesamaan derajat dalam

kesamaan peluang dan kesempatan untuk memperoleh keadilan prosedural

60

Muhamad Erwin, Op.Cit., hal 299-300

Page 38: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

55

(fair equality of opportunity and pure procedural justice).61

dengan tidak

mematuhi asas kewenangan yurisdiksi memang bersifat relatif, sehingga

hakim-hakim di pengadilan negeri tampaknya tidak selalu berpengaruh oleh

keadaan tersebut termasuk pada beberapa kasus di atas.

Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagai mana

kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak dan direvisi jika ia tidak benar, begitupun juga

hukum dan konstitusi, tidak peduli betapapun`efesien dan rapinya, harus

direformasi atau dihapus jika tidak adil. setiap orang memiliki kehormatan

yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa

membatlakannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan

bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal-hal lebih besar yang

didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang

dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagaian besar keuntungan

yang dinikmati banyak orang. Karena itu dalam masyarakat yang adil

kebebasan warga negara dianggap mapan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan

tidan tunduk pada tawaran-tawaran politik atau kalkulasi kepentingan sosial.

Satu-satunya hal yang mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah

adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik, secara analogis, ketidak

adilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari ketidak adilan yang

61

Lihat penjelasan komprehensif John Rawls dalam karyanya, A Theory of Justice, London,

Oxford, University Press, 1971, hal 114

Page 39: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

56

lebih besar. Sebagai kebajikan utama manusia, kebanaran dan keadilan tidak

bisa diganggu gugat. 62

Proposisi tersebut nampak menunjukan keayakinan intuitif kita tentang

keutamaan keadilan. Tak layak proposisi tersebut diutarakan terlampau kuat.

Dalam setiap kesempatan Rawls ingin mencari tahu apakah penegasan

tersebut atau penegasan yang sama adalah masuk akal, dan jika ya, bagaimana

proposisi tersebut dapat dibernarkan. Sekarang katakanlah sebuah masyarakat

tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan

kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga secara efektif diatur oleh

konsepsi public mengenai keadilan, yakni masyarakat dimana;

1. Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut

prinsip keadilan yang sama

2. Institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan

prinsip-prinsip tersebut

Dala hal ini kendati orang saling mengukan tuntutan yang sangat besar,

namun mereka mengakui sudut pandang bersama untuk mengungkapkan

pernyataan-pernyataan mereka. Jika kecenderungan orang untuk kepentingan

sendiri memerlukan saling perhatian dari satu sama yang lain, maka rasa

keadilan publik memungkinkan asosiasi bersama mereka. Apa bila diantara

individu dengan tujuan yang berbeda, sebuah konsepsi mengenai keadilan

akan mengukuhkan kebersamaan, keingin umum pada keadilan akan

62

Jhon Rawls, Teori keadilan, Pustka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal 3-4.

Page 40: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

57

membatasi pencapaian tujuan-tujuan lain.63

Kita bisa menganggap konsepsi

publik mengenai keadilan sebagai pembentuk kontrak fundamental dari

asosiasi manusia yang tertata dengan baik.

Masyarakat yang ada tentu jarang tertata dengan baik dalam penegrtian

seperti itu, sebab apa yang adil dan tidak adil selalu masih dalam perdebatan,

namun masing-masing orang mempunyai konsep tersendiri tentang keadilan

dalam diri mereka, jadi tampak alamiah untuk berpikir tentang konsep

keadilan dari setiap orang yang mana keadilan itu adalah prinsip dan konsep

dari setiap orang. Sejumlah kesepakatan dalam konses keadilan bukan satu-

satunya prasyarat bagi komunitas umat manusia, tetapi juga terdapat problem

sosial yang mendasar, khususnya mengenai koordinasi, efesiensi, dan

stabilitas. Oleh sebab itu konsep keadilan harus digabungkan, agar supaya

rencana-rencana individu tidak ada yang meresa kecewa, terlebih pelaksanaan

rencana-rencana tersebut harus mengarah pada pencapaian tujuan sosial

dengan cara yang efesisn serta konsisten dengan keadilan. 64

Di tengah tidak adanya ukuran tentang mana yang adil dan mana yang

tidak adil, jelas sulit untuk setiap orang menjalankan rencana-rencana mereka

secara efisien. Kekecewaan dan ketidakpercayaan merusak ikatan sosial,

kendati konsep keadilan adalah menunjukan hak-hak dan kewajiban dasar

serta menentukan pemetaan yang laya, hal ini mempengaruhi masalah

63

Ibid., hal 4-5 64

Ibid., hal 6

Page 41: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

58

efesiensi, koordinasi, dan stabilitas. Secara umum kita tidak bisa menilai

konsep keadilan dengan peran distributifnya semata, walaupun perannya

berguna dalam mengidentifikasi keadilan. Kita harus mempertimbangkan

kaitan yang lebih luas; sebab keadilan mempunyai perioritas tertentu, menjadi

kebijakan utama dari institusi, dalam salah satu konsep tentang keadilan lebih

disukai disbanding yang lain ketika konsekuensinya lebih luas lebih

dikehendaki.65

a. Keadilan Sebagai Fairness

Ketika berbicara tentang ketentutan-ketentuan sosial yang mengatur

kehidupan bersama, Rawls sebenarnya sedang menekankan upaya untuk

merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur distribusi hak dan kewajiban di

antara segenap anggota suatu masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan

kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama

sosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada

bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam

masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan

secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin

distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan

pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya

kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial.

65

Ibid.,

Page 42: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

59

Demikian, kesepakatan yang fair adalah kunci untuk memahami rumusan

keadilan Rawls. Masalahnya, bagaimana kesepakatan yang fair itu bisa diperoleh?

Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan

adanya prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak

memihak, prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls,

keadilan sebagai fairness adalah “keadilan prosedural murni”. Dalam hal ini, apa

yang dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep

keadilan hanyalah suatu prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin

hasil akhir yang adil pula.

Di atas, Rawls menekankan posisi penting suatu prosedur yang fair demi

lahirnya keputusan-keputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal

yang adil. Adapun prosedur yang fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat

iklim musyawarah yang memungkinkan lahirnya keputusan yang mampu

menjamin distribusi yang fair atas hak dan kewajiban. Rawls menegaskan

pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses musyawarah untuk memilih

prinsip-prinsip keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi

asali” (the original position).

Rawls memunculkan gagasan tentang posisi asali dengan sejumlah

catatan: Pertama, adalah penting untuk menegaskan terlebih dahulu bahwa Rawls

melihat posisi asali sebagai suatu prasyarat yang niscaya bagi terjaminnya kadilan

sebagai fairness. Namun, Rawls tidak pernah memandang posisi asal sebagai

suatu yang riil, melainkan merupakan sebuah kondisi awal yang bersifat imajiner.

Menurutnya, kondisi awal imajiner ini harus diandaikan dan diterima, karena

hanya dengan cara ini tercapainya keadilan sebagai prosedural murni bisa

dibayangkan. Hanya saja, kendati bersifat imajiner, bagi Rawls, posisi asali sudah

Page 43: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

60

merupakan syarat yang memadai untuk melahirkan sebuah konsep keadilan yang

bertujuan pada terjaminnya kepentingan semua pihak secara fair.66

Kedua, setiap orang yang berpartisipasi di dalam proses perumusan

prinsip-prinsip keadilan ini harus benar-benar masuk dalam situasi ideal tersebut.

Hanya saja, Rawls percaya bahwa tidak semua orang dapat masuk ke dalam posisi

asali. Hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk ke dalam situasi hipotesis ini,

yakni mereka yang memiliki kemampuan bernalar sesuai dengan standar formal

dalam dunia ilmu pengetahuan. Ketentuan-ketentuan ilmiah ini membuka peluang

bagi semua orang untuk masuk ke dalam proses musyawarah yang fair.67

Rawls menegaskan bahwa semua pihak yang berada dalam posisi asali

harus juga berada dalam keadaan “tanpa pengetahuan.” Melalui gagasan tentang

“keadaan-tanpa-pengetahuan” tersebut, Rawls ingin menegaskan bahwa semua

pihak yang ada dalam posisi asali tidak memiliki pengetahuan mengenai berbagai

alternatif yang dapat mempengaruhi mereka dalam proses perumusan dan

pemilihan prinsip-prinsip pertama keadilan. Keadaan ketidaktahuan akan hal-hal

partikular memang menjadi syarat penting untuk menjamin fairness. Oleh karena

itu, semua pihak yang terlibat dalam proses pemilihan tersebut harus mampu

melakukan penilaian atas prinsip-prinsip keadilan yang senantiasa dipandu oleh

pertimbangan-pertimbangan yang umum sifatnya. Rawls juga menggambarkan

bahwa dalam posisi asali tersebut semua pihak juga diandaikan bersikap saling-

tidak-peduli dengan kepentingan pihak lain. Di sini dimaksudkan bahwa semua

pihak berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan apa yang dianggap

paling baik bagi dirinya. Pada saat yang sama, mereka juga dianggap tidak saling

mengetahui apa yang dapat diperoleh pihak lain bagi dirinya sendiri. Gambaran

ini secara sekilas menunjukan karikatur orang-orang yang justru bertolak

66

Ibid., hal 120 67

Ibid., hal. 130-135

Page 44: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

61

belakang dengan semangat kerja sama yang menjadi inti konsep keadilan sebagai

fairness. Namun demikian, penggambaran Rawls tentang sikap saling-tidak-

peduli di antara orang-orang yang ada dalam posisi asali tersebut sebenarnya lebih

sebagai sebuah pengandaian agar semua pihak dalam posisi asali mampu

membebaskan diri dari rasa iri terhadap apa yang mungkin didapatkan oleh orang

lain. Untuk itu, semua orang harus berkonsentrasi hanya pada apa yang terbaik

bagi dirinya sendiri.

Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana setiap pihak yang berusaha

mengejar kepentingannya sendiri (rasional) di dalam posisi asali dan berada

dalam keadaan “tanpa-pengetahuan” itu pada akhirnya dapat memilih prinsip-

prinsip pertama keadilan yang mampu menjamin kepentingan semua pihak?

Menurut Rawls, dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para pihak akan

memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa menjamin

distribusi “nilai-nilai primer” (primary goods) yang fair. Dalam hal ini, “nilai-

nilai primer” adalah satu-satunya motivasi yang mendorong dan membimbing

semua pihak dalam usahanya memilih prinsip-prinsip pertama keadilan. Dengan

nilai-nilai primer, Rawls memaksudkan semua nilai sosial dasar yang pasti

diinginkan dan dikejar oleh semua manusia. Artinya, berbagai manfaat yang

dilihat dan dihayati sebagai nilai-nilai sosial yang harus dimiliki oleh seseorang

agar layak disebut manusia.

Gagasan Rawls tentang posisi asli tersebut sebenarnya merupakan refleksi

dari konsep moral tentang person: setiap manusia diakui dan diperlakukan sebagai

Page 45: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

62

person yang rasional, bebas, dan setara (memiliki hak yang sama). Dalam

pandangan Rawls, manusia sebagai person moral pada dasarnya memiliki dua

kemampuan moral, yakni: 1) kemampuan untuk mengerti dan bertindak

berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan

suatu kerja sama sosial; dan 2) kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan

secara rasional mengusahakan terwujudnya konsep yang baik. Rawls menyebut

kedua kemampuan ini sebagai a sense of justice dan a sense of the good.

Kemampuan-kemampuan moral itu memberikan kemungkinan bagi manusia

sebagai person moral untuk bertindak secara rasional dan otonom dalam

menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dianggap baik bagi dirinya di satu

sisi, serta bertindak berdasarkan prinsip-prinsip keadilan di lain sisi.

b. Keadilan Dalam Penataan Institusi-Institusi Politik Dan Ekonomi

Konsepsi keadilan Rawls memperlihatkan dukungan dan pengakuan yang

kuat akan hak dan kewajiban manusia, baik dalam bidang politik maupun dalam

bidang ekonomi. Secara khusus, konsepsi keadilan tersebut menuntut hak

partisipasi yang sama bagi semua warga masyarakat dalam setiap proses

pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dengan demikian, diharapkan

bahwa seluruh struktur sosial dasar sungguh-sungguh mampu menjamin

kepentingan semua pihak. Dari sudut politik, konsepsi keadilan Rawls

diformulasikan ke dalam tiga sendi utama: (1) hak atas partisipasi politik yang

sama; (2) hak warga untuk tidak patuh; dan (3) hak warga untuk menolak

Page 46: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

63

berdasarkan hati nurani. Ketiga hal ini menjadi manifestasi kelembagaan dari

prinsip keadilan pertama dalam teori kedilan Rawls.

Rawls memandang hak atas partisipasi politik yang sama tersebut bisa

terakomodasi dalam sebuah sistem politik yang tidak saja bersifat demokratis,

tapi juga konstitusional. Sistem politik demokrasi konstitusional di sini dicirikan

oleh dua hal utama: pertama, adanya suatu badan perwakilan yang dipilih melalui

suatu pemilihan yang fair dan bertanggung jawab kepada pemilihnya, yang

berfungsi sebagai badan legislatif untuk merumuskan peraturan-peraturan dan

kebijakan-kebijakan sosial; dan kedua, adanya perlindungan konstitusional

terhadap kebebasan-kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berpikir dan

berbicara, kebebasan berkumpul dan membentuk organisasi politik. Bagi Rawls,

sistem politik demokrasi konstitusional harus memberikan ruang bagi hak untuk

tidak patuh (pada Negara), karena hak ini adalah konsekuensi logis dari

demokrasi. Rawls memaksudkan hak untuk tidak patuh ini sebagai „suatu

tindakan publik, tanpa kekerasan, berdasarkan suara hati tetapi bersifat politis,

bertentangan dengan hukum karena biasanya dilakukan dengan tujuan

menghasilkan perubahan hukum atau kebijakan pemerintah.68

Dalam hal ini,

Rawls memandang bahwa ada ruang di mana hukum yang ditetapkan tidak

bersifat adil sehingga warga Negara boleh melakukan tindakan politik untuk

menentang dan mengubahnya melalui cara-cara yang tidak menggunakan

kekerasan.

68

Ibid. 364

Page 47: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

64

Jika hak untuk tidak patuh dimaksudkan sebagai tindakan politik untuk

memperbaiki hukum yang tidak adil, maka hak untuk menolak berdasarkan hati

nurani lebih dimaksudkan sebagai ruang yang diberikan kepada seseorang untuk

tidak mematuhi hukum jika hal itu dipandang bertentangan dengan hati nuraninya

sendiri. Misalnya, jika terdapat sebuah hukum yang meminta warganya untuk

berperang sementara terdapat seorang warga yang memiliki keyakinan bahwa

membunuh bertentangan dengan prinsip keadilan yang dipegangnya, maka dia

berhak untuk menolak untuk ikut berperang. Dari sudut penataan ekonomi,

konsepsi keadilan Rawls menuntut suatu basis ekonomi yang fair melalui sistem

perpajakan yang proporsional (dan bahkan pajak progresif jika diperlukan) serta

sistem menabung yang adil sehingga memungkinkan terwujudnya distribusi yang

adil pula atas semua nilai dan sumber daya sosial. Di sini perlu ditegaskan bahwa

setiap orang mempunyai hak untuk menikmati nilai-nilai dan sumber daya sosial

dalam jumlah yang sama, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menciptakan

kemungkinan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi anggota masyarakat dalam generasi yang

sama, tetapi juga bagi generasi yang satu dengan generasi yang lainnya. Bagi

Rawls, kekayaan dan kelebihan-kelebihan bakat alamiah seseorang harus

digunakan untuk meningkatkan prospek orang-orang yang paling tidak beruntung

di dalam masyarakat.69

69

Jhon Rawls. Op cit., hal 260-285

Page 48: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

65

C. Pembaharuan Hukum Pidana.

Pada pembahasan sub bab sebelumnya penulis telah membahas tentang

Sistem peradilan pidana, maka pada sub bab ini, penulis akan membahas tentang

pembaharuan hukum pidana di Indonesia sebagai sebuah impian bagi masyarakat

dalam menemukan keadilan. Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya

merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali

(reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai

masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam

bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus

dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai nilai-nilai sosio-

kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini

bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama,

hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai

materi hukum pidana.

Dalam RUU KUHP sendiri telah ada pergeseran makna dari asas legalitas,

jika pada KUHP Pasal 1 ayat (1) mengatakan, suatu perbuatan tidak dapat

dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuang perundang-undangan pidana

yang berlaku. Akan tetapi dalam RUU KUHP Pasal 1.

ayat (1) tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali

perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam

peratutan-perundang-undanagn yang berlaku saat perbuatan itu

dilakukan. ayat (2) dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang

menggunakan analogi. Pasal 2 ayat (1) ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 1 ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup

Page 49: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

66

dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana

walaupun perbuatan tersebut diatur dalam Peraturang Perundang-

Undangan.

Adapaun juga Pembaharuan hukum pidana (RUU KUHP), pasal 12 ayat (1)

hakim dalam mengadili suatu perkara pidana mempertimbangkan tegaknya

hukum dan keadilan. ayat (2) jika dalam mempertimbangkan teganya hukum

dan keadilan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdapat peretntangan

yang tidak dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan. Terlihat jelas

bahwa hakim harus mengutamakan keadilan lebih dari pada hukum.

Terhadap beberapa pasal RUU KUHP diatas, maka Prof Edi Hiariej

mempunyai beberapa catatan.

1. Dimasa depan asas legalitas di Indonesia tidak bersifat absolute, karena

adanya ketentuan pasal 2 ayat (1) yang secara implisit mengakui hukum

yang hidup dalam masyarakat.

2. Pembatasan terhadap asas legalitas tidak berakaitan dengan perubahan

perundang-undangan semata sebagaimana tertuang dalam pasal 3 RUU

KUHP, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat.

3. Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) diatas, maka hukum yang tidak

tertulis tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat

Indonesia serta local semata, akan tetapi dapat bersumber dari prinsip-

prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradap didunia, artinya

asas legalitas dapat disesuaikan dengan prkatik hukum kebiasaan yang

telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat internasional.

4. Pembatasa terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam pasal 1

dan dua menunjukan bahwa secara implisit hukum pidana Indonesia telah

mengakui ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.

Artinya meskipun perbuatan melawan hukum belum diatur dalam

Perundang-undangan, hakim dapat menjatuhkan pidana apa bila berbuat

tersebut dianggap tercela,bertentangan dengan keadilan dan norma-norma

sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.70

Hakim dapat lebih leluasa dalam menjatuhkan putusan, dimana hakim

tidak hanya melihat pada konsep undang-undang saja, lebih dari itu hakim

bisa memutuskan berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada

masa lampau hakim hanya sebagi corong undang-undang, karena

kewajibannya menerapkan undan-undang sesuai bunyinya. Akan tetapi

70

Eddy Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, 2009,

hal 38-40

Page 50: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

67

berkembang dengan melihat makna yang terkandung didalamnya dengan

melakukan penemuan hukum dalam masyarakat untuk memenuhi rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.71

Menurut Satjipto Raharjo. Sekarang

mestinya hukum diproyeksikan terhadap gagasan dan pemahaman yang baru

yaitu;

1. Para penegak hukum dimanapun posisi mereka, mengidentifikasi diri

mereka sebagai kaum Vigilantes, orang-orang yang berjihat dalam

hukum. Mereka tidak hanya membaca undang-undang tetapi diresapi

dengan semangat untuk meluapkan keluar makn undang-undang yang

ingin mensejahterakan rakyat. Dengan demikian diperlukan

prediposisi progresif dari peara penegak hukum.

2. Kesadara dan keyakikan bahwa hukum menginginkan yang baik

terjadi pada rakyat dan masyarakat.72

Dalam hal hakim harus memutuskan perkara yang tidak ada

hukumnya, Hakim disini harus menemukan hukumnya, oleh karena itu

hakim haru melakukan penemuan hukum, supaya putusan benar-benar dapat

meberikan rasa keadilan bagi masyarakat, tidak hanya keadilan formal, tetapi

juga keadilan subtantif. Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai

(values) yang berlaku dalam masyarakat.73

Bahkan menurut teori cermin (the

mirror theory) Brian Tamanaha “ dapat diakatakan bahwa hukum itu

merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.74

Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank menentang pendapat bahwa hukum

yang ada itu lengkap yang dapat dijadikan sumber hukum bagi hakim untuk

71

Siti Malikhatun Badriyah, Sistem Penemuan Hukum Dalam Masayarakat Prismatik. Sinar

garafika. Jakarta, 2016, hal 3 72

Satjipto Raharjo, membedah hukum progresif, Kompas, jakarta, 2008, hal 55 73

Siti Malikhatun Badriyah Op cit, hal 5 74

Bryan Tamanaha, A General Jurisprudence Of Law And Society, Oxford University Pres,

New York, 2006 hal 1-2

Page 51: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

68

memutuskan dalam peristiwa-peristiwa konkret. Pelaksanaan undang-undang

oleh hakim bukan semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan

pikiran yang tepat saja, namun lebih merupakan pemberian yuridis kepada asas-

asas hukum subtansial yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasar

kepada pengalaman dan penilaian yuridis daripada mendasarkan pada akal yang

abstrak.75

Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak, tidak

dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa konkret, peristiwa

hukum harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya, keudian undang-

undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.76

Setiap undang-undang bersifat

statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga

menimbulkan ruang-ruang kosong yang perlu diisi, tugas mengisi kekosongan itu

dibebankan pada hakim dengan melakukan penemuan hukum melalui metode

interpretasi dan metode argumentasi, dengan syarat dalam menjalankan tuigas

tersebut, hakim tidak boleh memaksa maksud dan jiwa undang-undang atau tidak

boleh bersikap sewenang-wenang.77

1. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Aparat Penegak Hukum.

Berbicara aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatikan

sebagaimana disebutkan di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau mafia

peradilan kita sudah sebegitu buruknya dan para aparat penegak hukum itulah

75

Ahmad Ali, menguak tabir hukum, suatu kajian sosilogis filosofis, jakarta, citra pratama,

1993, hal 154 76

Sudikno Martokusumo dan A. Pitlo, bab-bab tentang penemuan hukum, Bandung , Citra

aditya bakti, 1993, hal 12 77

Andi Zainal Abidin, asas-asa hukum pidana bagian pertama, alumni, Bandung, 1984, hal 33

Page 52: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

69

yang berperan utama atas kerusakan hukum di Indonesia. Sebagus apapun materi

peraturan perundang-undangan, kalau aparatnya rusak, maka hukum pun juga

bagaikan menegakkan benang basah, dengan tidak mengabaikan ada juga

beberapa keberhasilannya, tetapi hanya mampu memproses penjahat kelas-kelas

kecil, seperti; orang-orang miskin dan bodoh yang tak punya akses pembelaan di

pengadilan dan mereka ini (ribuan orang) yang memenuhi rumah tahanan dan

lembaga permasyarakatan diseluruh penjuru tanah air. Secara tegas Nonet dan

Selznick menyatakan:

Produk hukum yang dihasilkan menjadi represif karena:

1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya,

memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan kalim-klaim dari, para

pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak

harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.

2. Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang sebagai

“tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-lembaga khusus

(kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan

oleh birokrasi, dan terstigma oleh klarifikasi resmi (misalnya kriteria yang

memisahkan kelompok “kaya” dari kelompok miskin). Dengan demikian,

maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan penuh keengganan

dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya, akan menciptakan pola

baru subordinasi.

Page 53: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

70

3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang berbahaya”,

misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai kejahatan di dalam

hukum pergelandangan.

Dengan optic Nonet dan Selzenick yang menggagas hukum secara

komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk berhukum yang lebih

responsive, yaitu; dengan hukum represif adalah hukum sebagai abdi kekuasaan,

hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu mengolah represif dan

melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsive adalah hukum sebagai

fasilitator dari sejumlah respons terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang

berakar-pinak di masyarakat.78

Ditegaskan Nonet dan Selzenick bahwa seorang penguasa (otoritas penegak

hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan sebagai sarana

kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan empirik tidak bisa dipaksa

untuk sesuai dengan si pembuat hukumnya. Dia akan menambah kredibilitas dan

aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta menarik kemauan secara sukarela,

apabila senyatanya aturan tersebut adil, merasa terikat oleh aturan tersebut, dan

yang sangat penting penyelenggaraan peradilan tidak berpihak termasuk kepada

aparat penegak hukum dengan berbagai kepentingannya, kecuali menerapkan aturan

dan berpihak kepada keadilan sosial.

Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum di Indonesia, menurut

abstraksi teori-teori Nonet dan Selzenick ini sebagaimana disampaikan dimuka

78

A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks

Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan (1990), hal. 164

Page 54: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

71

sangat tidak tepat berkarakter tunggal, tetapi campuran, yaitu mencakup ketiga

model hukum tersebut, hanya saja model hukum represif lebih dominan dari model

otonom dan terlebih model responsive sebagian kecil dan sejalan evolusinya juga

mengarah kepada hukum responsive.

Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di

Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi

monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada

umumnya aparat penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga

ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia.79

Persenyawaan ini semakin menggelindan, ketika negara sangat tergantung

kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas yang

diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah, maka kontrol masyarakat tidak

berdaya. Secara sederhana bisa kita polakan ke dalam tiga bagian yang mewarnai

sistem kekerasan yang terjadi atas nama penegakan hukum, yaitu; pertama, kekerasan

yang dilakukan aparat semurninya untuk menjaga keteraturan atau ketertiban dan

menegakkan kedaulatan negara, kedua, kekerasan yang dilakukan aparat atas

kepentingan aparat pemaksa yang sesungguhnya adalah individu-individu yang sarat

kepentingan pribadi tetapi mengatasnamakan kepentingan negara. Hal itu

dilakukannya karena kepentingan-kepentingan mereka atau organisasi-organisasi

mereka sangat dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi masyarakat,

ketiga, adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat penegak hukum sebagai

79

Philipe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. hal. 47- 48

Page 55: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

72

object problem terutama bagi masyarakat kelas bawah yang miskin dan bodoh

(sudah menjadi pemandangan diseluruh penjuru negeri ini, para aparat menggusur

orang-orang miskin dan gepeng, namun tak mau berpikir mencari maknanya untuk

menggusur kemiskinan, apalgi melakukannya).

Sehingga dengan demikian konsepsi atau model hukum yang

diabtraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsive oleh Nonet dan Selzenick

tersebut patut disonsong dengan upaya pembenahan aparatur penegak hukum di

Indonesia yang lebih konprehensif berlandaskan komitmen dan moralitas yang

tinggi. Hal itu dilakukan juga untuk keseimbangan antara prodik hukum dan

pelaksanaan hukum dengan menghargai budaya hukum sesuai cita diri bangsa

Indonesia.

2. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Budaya Masyarakat.

Sebagaimana beberapa pokok pikiran Nonet dan selzenick antara lain

disebutkan bahwa sumber hukum represif yang abadi adalah tuntutan konformitas

budaya. Dalam hal mana masyarakat modren, seperti juga halnya pada masyarakat

kuno yang mana kebersamaan atas aturan moral sangat mendukung kebersamaan

sosial dan merupakan sumber dan kekuatan dalam memelihara ketertiban.

Kemudian Nonet dan Selzenick lebih lanjut menyatakan bahwa:

Mungkin lahan yang paling subur bagi moralitas hukum adalah moralitas

komunal, yakni moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan “komunitas

patuh” (community of observance). Moralisme hukum paling baik dipahami

Page 56: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

73

sebagai patologin alami dari institusionalisasi, yakni upaya untuk membuat nilai-

nilai menjadi efektif guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia.80

Sementara itu Esmi Warassih (2005), mengatakan bahwa peranan kultur

hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting dan acap kali berhubungan

dengan faktor-faktor non-hukum, sebagaimana dijelaskannya berikut:

Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang

berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai faktor (interchange).

Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak

sekedar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue print) yang ditetapkan

dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya

dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain

melalui tingkah laku warga masyarakatnya. Itu artinya, titik perhatian harus

ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non-hukum

lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang

selanjutnya disebut dengan kultur hukum.81

Berangkat dari pemikiran diatas, kaitan dengan penegakan hukum di

Indonesia khususnya pada bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka budaya

hukum masyarakat Indonesia sebagaimana disebutkan dimuka, sangat lah

majemuk (plural society). Dari sosial budaya yang bermacam-macam termasuk

perbedaan antara kota dan desa (ada masyarakat organic dan ada masyarakat

mekanik), maka tesis Nonet dan Selznick tersebut secara relatif sangat berjalan

dengan fakta empirik budaya hukum bangsa Indonesia, namun untuk secara

totalitas mengondisikan kepada model penegakan hukum yang otonom kemudian

kepada responsive tampaknya perlu proses yang lebih baik lagi.

80

Ibid, hal. 51 81

Esmi Warrasih Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru

Utama, Semarang, 2005, hal. 78

Page 57: BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Hakim Dalam Perkara …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/2/T2_322015019_BAB II... · Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

74

Dalam penerapan undang-undang terhadap kasus-kasus yang terjadi, hakim

harus lebih berperan aktif dalam hal melihat perbuatan-perbuatan tersebut, bila

mana jika hakim hanya melihat pada undang-undang saja, maka sudah pasti akan

terjadi ketidakadilan yang dirasakan oleh pencari keadilan, yang diharapkan pada

hakim adalah hakim yang mau melihat suatu perbuatan pidana sampai pada akar-

akarnya, bukan hanya berdasarkan pembuktian di pengadilan saja. Dalam

penyelesaian perkara-perkara pidana tersebut, maka bukti dari penganut legisme

tidak akan mampu memberikan keadilan melalui putusannya.