BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologiseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4058/2/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologiseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4058/2/BAB...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Psikologis
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Menurut Desmarais dan Savoie (2012) konsep kesejahteraan psikologis di
tempat kerja bertujuan untuk menggambarkan pengalaman positif seseorang
selama bekerja, yang terdiri dari dimensi yang berhubungan dengan pekerjaan.
Kesejahteraan psikologis karyawan menurut Berger (2010) termasuk dalam
perasaan menikmati pekerjaan, memiliki energi positif dan motivasi, serta di
libatkan dalam kegiatan perusahaan. Kesejahteraan psikologis menurut Holm
(dalam, Akhtar, 2017) yaitu kondisi di mana karyawan memiliki hubungan baik
serta berperilaku positif di lingkungan kerja. Harter, Schmidt, dan Keyes (2002)
berpendapat bahwa dalam sudut pandang kesejahteraan psikologis, perasaan yang
positif pada karyawan sebagai tanda dari kesehatan mental karyawan,
menghasilkan karyawan yang lebih bahagia dan produktif.
Tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu
memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya, memiliki
kepercayaan diri yang baik, dapat membangun hubungan personal yang baik, dan
menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam
pekerjaannya (Ryff dan Singer, 1996). Berdasarkan uraian dari tokoh-tokoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis di tempat kerja adalah
kemampuan individu mengoptimalkan fungsi psikologisnya untuk lebih bahagia,
12
berfikir positif dan termotivasi dalam bekerja serta mengoptimalkan fungsi
fisiknya sehingga karyawan memiliki produktifitas tinggi, karyawan lebih
percayaan diri dalam mencapai arah dan tujuannya, serta nyaman dalam bekerja
sehingga karyawan cenderung bertahan lama dalam suatu organisasi perusahaan.
2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie
(dalam Morin, 2017) terdiri dari dimensi :
a. Interpersonal Di Tempat Kerja
Interpersonal di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie (2012) yaitu
persepsi mengalami hubungan positif dengan individu yang berinteraksi dengan
diri sendiri dalam konteks kerja.
b. Berkembang Di Tempat Kerja
Berkembang di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie (2012) yaitu
persepsi untuk mencapai pekerjaan yang signifikan dan menarik yang
memungkinkan seseorang untuk memenuhi diri sebagai individu .
c. Kompetensi Di Tempat Kerja
Kompetensi di tempat kerja adalah persepsi memiliki kemampuan yang
diperlukan untuk melakukan pekerjaan seseorang secara efisien dan memiliki
penguasaan tugas untuk dilakukan (Desmarais dan Savoie, 2012).
d. Pengakuan Yang Dirasakan Di Tempat Kerja
Pengakuan di tempat kerja menurut Desmarais dan Savoie (2012) adalah
persepsi menghargai pekerjaan seseorang dan kepribadian seseorang.
13
e. Keinginan Untuk Terlibatan Di Tempat Kerja
Keinginan terlibat di tempat kerja sebagai upaya melibatkan diri dalam
organisasi dan berkontribusi pada fungsi dan keberhasilannya yang baik
(Desmarais dan Savoie, 2012).
Selanjutnya Ryff (2014) menyatakan bahwa dimensi dari kesejahteraan
psikologis yaitu :
a. Otonomi
Otonomi menurut Ryff (1989) dapat diartikan sebagai penentuan nasib
sendiri, kemandirian, dan pengaturan perilaku dari dalam pengaktualisasi-diri
digambarkan sebagai fungsi otonom dan resistensi terhadap enkulturasi di mana
seseorang tidak mencari orang lain untuk disetujui, tetapi mengevaluasi diri
sendiri dengan standar pribadi. Individu terbebas dalam membuat keputusan
sendiri, mampu menghindari tekanan sosial dan dapat bertindak dengan cara-cara
tertentu serta mengevaluasi diri dengan standar pribadi.
b. Penguasaan Lingkungan
Penguasaan lingkungan menurut Ryff (1989) adalah kemampuan individu
untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi
psikisnya di definisikan sebagai karakteristik kesehatan mental, kemampuan
untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang kompleks. Teori-teori
ini menekankan kemampuan seseorang untuk maju di dunia dan mengubahnya
secara kreatif melalui aktivitas fisik atau mental. Dengan demikian menunjukkan
bahwa partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan unsur penting bagi
kerangka kerja yang terkoordinasi dan fungsi psikologis positif.
14
c. Pengembangan Diri
Pengembangan diri menurut Ryff (1989) merupakan kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi seseorang adalah pusat dari
perspektif klinis pada pertumbuhan pribadi, keterbukaan terhadap pengalaman
adalah karakteristik utama dari orang yang berfungsi penuh. Pengembangan diri
menjadikan individu untuk dapat berkembang dan berkesinambungan.
d. Tujuan Hidup
Menurut Ryff (1989) perkembangan masa hidup mengacu pada berbagai
tujuan atau sasaran yang berubah dalam kehidupan, seperti menjadi produktif dan
kreatifitas atau mencapai integrasi emosional di kemudian hari. Jadi dapat
disimpulkan tujuan hidup secara positif memiliki niat dan arahan yang
berkontribusi pada perasaan bahwa hidup itu bermakna.
e. Hubungan Positif Dengan Orang Lain
Ryff (1989) mendefinisikan hubungan positif dengan orang lain sebagai
hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya dengan kemampuan untuk
mencintai di pandang sebagai komponen utama kesehatan mental, memiliki
perasaan empati dan kasih sayang yang kuat untuk semua manusia serta mampu
memiliki cinta yang lebih besar, persahabatan yang lebih dalam. Hubungan positif
dengan orang lain dapat di lihat dari tinggi rendahnya kemampuan seseorang
dalam membina kehangatan dan hubungan dengan orang lain digambarkan
dengan empati yang kuat.
15
f. Penerimaan Diri
Penerimaan diri menurut Ryff (1989) di definisikan sebagai ciri utama
kesehatan mental serta karakteristik aktualisasi diri, fungsi optimal, dan
kematangan. Teori rentang hidup juga menekankan penerimaan diri dan
kehidupan masa lalu seseorang. Dengan demikian, memegang sikap positif
terhadap diri sendiri muncul sebagai karakteristik sentral dari fungsi psikologis
positif.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dimensi dari
kesejahteraan psikologis di tempat kerja adalah kemampuan untuk menguasai
lingkungan dan menjalin hubungan interpersonal dengan baik diantara rekan
kerja, keinginan untuk selalu berkembang berkompetensi serta menguasai
otonomi atau pengaturan perilaku dalam mengaktualisasikan diri dan
mendapatkan pengakuan atas hal tersebut di lingkungan kerja, karyawan juga
serta secara aktif mengikuti kegiatan yang ada di perusahaan. Berdasarkan uraian
di atas peneliti memilih untuk menggunakan dimensi kesejahteraan psikologis
yang diuraikan oleh Desmarais dan Savoie (dalam Morin, 2017) diataranya yaitu
interpersonal di tempat kerja, berkembang di tempat kerja, merasa kompetensi di
tempat kerja, pengakuan yang dirasakan di tempat kerja, keinginan untuk terlibat
di tempat kerja. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih dimensi tersebut
yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, didukung
berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek, dan dilihat dari kodisi tempat
akan dijadikan tempat penelitian, sehingga dimensi tersebut mampu mengungkap
kesejahteraan psikologis karyawan.
16
3. Faktor Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa faktor kesejahteraan
psikologis terdiri dari :
a. Faktor Jenis Kelamin
Menurut Ryff dan Keyes (1995) dalam penelitiannya perbedaan jenis
kelamin mempengaruhi dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Hasil dari
penelitian menunjukan bahwa wanita dari segala usia cenderung memiliki skor
tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pengembangan
pribadi bila di bandingkan dengan pria.
b. Faktor status sosial
Menurut Ryff (1996) status sosial terdiri dari pendapatan, pendidikan, dan
kedudukan pekerjaan yang telah dikaji dalam studi penelitian longitudinal dan
pencapaian pekerjaan berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu yang
memiliki kelas sosial yang tinggi lebih merasa terarah dalam hidupnya
dibandingkan individu yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.
c. Faktor Usia
Usia mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu. Semakin
bertambahnya usia maka semakin bertambah fungsi kognitif individu. Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa
perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan
psikologis. Berdasarkan hasil penelitian dimensi penguasaan lingkungan dan
dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama
dari dewasa muda hingga madya.
17
d. Faktor Budaya
Ryff (1996) menyatakan bagaimana budaya melahirkan konsep dasar diri,
diri dalam hubungannya dengan orang lain dan peningkatan kesehatan merupakan
tema umum dalam penelitian secara sosial. Budaya dalam suatu organisasi dapat
terbentuk dari kebiasaan dan perilaku yang terjadi secara terus-menerus. Budaya
disuatu perusahaan berbeda dengan budaya di perusahaan lain. Budaya di dalam
perusahaan Menurut Hofdtede, dkk (dalam Fuad, 2004) memiliki karakteristik
seperti profesionalisme, jarak dari managemen, percaya pada rekan kerja,
keteraturan, permusuhan, dan integrasi.
Budaya di suatu perusahaan berbeda dengan budaya di perusahaan lainnya.
Budaya perusahaan dapat menciptakan konsep dasar diri pada karyawan sehingga
dapat mempengaruhi perilaku karyawan saat bekerja. Perilaku karyawan di tempat
kerja seperti mencibir, mencemooh, dan berbicara kasar dapat menjadi sesuatu hal
yang biasa saja. Namun bagi perusahaan lain yang memiliki perbedaan budaya
perilaku tersebut tampak seperti perilaku yang tidak etis dan tidak sopan. Perilaku
karyawan yang tidak etis dan tidak sopan termasuk dalam perilaku tidak
menyenangkan atau disebut dengan experienced of workplace incivility (Cortina,
2001).
Andersson dan Pearson (dalam Ulandari, 2016) menjelaskan bahwa
experienced of workplace incivility umumnya akan terus berkembang kecuali
sampai pihak memilih untuk mengabaikan dan melepaskan diri dari experienced
of workplace incivility. Apabila experienced of workplace incivility tidak
ditangani dengan baik maka seluruh karyawan akan mecontoh dan melakukan
18
perilaku tidak menyenangkan tersebut. Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan
experienced of workplace incivility terjadi karena adanya faktor budaya
perusahaan yang tidak baik sehingga berdampak buruk bagi karyawan dan
perusahaan.
B. Experienced Of Workplace Incivility
1. Pengertian Experienced Of Workplace Incivility
Experienced of workplace incivility menurut Cortina (2008) merupakan
bentuk perilaku anti sosial yang paling luas di tempat kerja dengan intesitas
rendah, melanggar norma-norma sosial, serta memiliki niat yang tidak jelas untuk
menyakiti karyawan. Andersson dan Pearson (1999); Pearson (2001) menjelaskan
bahwa experienced of workplace incivility ditandai dengan pelanggaran norma
sopan santun, dengan intensitas rendah, dan maksud yang ambigu. Pearson (dalam
Fox, 2012) menyatakan bahwa experienced of workplace incivility sebagai
pertukaran kata-kata dan perilaku yang tampaknya tidak penting dan melanggar
norma-norma konvensional perilaku kerja. Eagar dkk (dalam Logan, 2016)
menambahkan bahwa experienced of workplace incivility digambarkan sebagai
perilaku kasar dan mengintimidasi di mana korban merasa dihina dan berpotensi
rentan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa experienced of
workplace incivility adalah perilaku menyimpang yang di terima korban saat
bekerja seperti di intimidasi dengan intensitas rendah, dan melanggar norma sosial
19
seperti menggunakan kata-kata tidak sopan serta bersikap kasar untuk menyakiti
tanpa alasan yang jelas.
2. Dimensi Experienced Of Workplace Incivility
Adapun dimensi experienced of workplace incivility menurut Cortina (2001)
yaitu terdiri dari satu dimensional. Satu dimensional yang disebutkan oleh Cortina
(2001) mencakup bentuk penganiayaan pada karyawan berupa tindakan negatif
secara luas dengan intensitas yang rendah seperti dikucilkan, berperilaku kasar,
serta perilaku tidak sopan yang di terima korban di tempat kerja. Dimensi ini
didasarkan pada experienced of workplace incivility selama kurang lebih 5 tahun.
Adapaun Pearson (dalam Cortina, 2009) menyebutkan ciri-ciri dari experienced of
workplace incivility yaitu :
a. Melanggar Norma Aturan
Menurut Andersson dan Pearson (dalam Cortna, 2009) perilaku melanggar
norma-norma organisasi seperti mengancam karyawan lain. Oleh sebab itu,
melanggar norma aturan sebagai perilaku tidak beradab di tempat kerja.
b. Mempunyai Maksud Ambigu
Mempunyai maksud ambigu menurut Harun (dalam Cortina, 2009) adalah
perilaku apa pun yang diarahkan oleh satu atau lebih orang di tempat kerja ke
arah tujuan merugikan satu atau lebih orang lain di tempat kerja itu atau seluruh
organisasi
c. Intensitas Rendah
Pearson dkk (dalam Cortina, 2009) menguraikan konsep intensitas rendah
sebagai kekuatan yang lebih rendah, muatan negatif yang lebih rendah tidak
20
melibatkan serangan fisik serta berbeda dari kekerasan di tempat kerja seperti
jenis agresi ekstrim
Berdasarkan dimensi dan ciri ciri yang sudah dijelaskan dapat disimpulkan
bahwa karakteristik experienced of workplace incivility merupakan perilaku anti
sosial dengan maksut yang tidak jelas untuk menyakiti dengan intesitas yang
rendah seperti dikucilkan, diperlakukan secara kasar, dan direndahkan.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti memilih dimensi yang di sebutkan oleh
Cortina (2001) yaitu satu dimensional. Peneliti memiliki pertimbangan dalam
memilih dimensi tersebut yaitu sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya
lebih luas, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek, dan dilihat
dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian, sehingga dimensi tersebut
mampu mengungkap experienced of workplace incivility.
C. Generasi Millenial
Tenaga kerja di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2018)
menunjukkan 46,48% berumur di bawah 39 tahun. Selain itu, hasil riset Badan
Pusat Statistik menunjukan di tahun 2020 generasi millenial yaitu generasi yang
berusia 20-40 tahun akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia yang
di duga berjumlah 83 juta jiwa atau 34% dari total penduduk Indonesia.
Berdasarkan hasil data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tenaga
kerja Indonesia adalah generasi millenial. Generasi millenial menurut Naimovska
(dalam Sugianto, 2018) adalah generasi yang lahir pada tahun 1980 sampai 2000
atau berusia 18-38 tahun. Bursch (dalam Subandowo, 2017) menyatakan bahwa
generasi millenial diidentifikasikan sebagai generasi yang paling beragam dalam
21
sifat, perilaku, dan kultur selain itu generasi millenial juga akan sangat mewarnai
keragaman di tempat kerja. Ali dan Purwandi (2017) menyebutkan karakter utama
generasi millenial yaitu :
a. Connected
Generasi millenial pandai bersosialisasi terutama dengan komunitas yang di
ikuti. Generasi millenial terhubung tidak saja dengan orang disekitarnya tetapi
juga terhubung dengan berita di belahan dunia lainnya. Generasi millenial
mengakses berita tidak hanya melalui koran saja tetapi juga mengakses portal
online dan channel yang terpisah beberapa waktu. Koneksi sosial millenial selain
ditopang oleh media sosial juga ditopang oleh instant messenger untuk
bersosialisasi dalam grup eksklusif. Generasi millenial gemar bersosialisasi baik
secara online ataupun offline.
b. Creative
Generasi millenial dapat berfikir luas, kaya akan ide, dan mampu
mengkomunikasikan dengan cemerlang. Generasi millenial memiliki wawasan
cukup luas karena arus informasi begitu cepat dan mudah di dapat sehingga
menumbuhkan kreativitas.
c. Confidence
Generasi millenial adalah generasi yang percaya diri, berani
mengungkapkan pendapat, dan tidak sungkan untuk berdebat di depan publik.
Generasi millenial cukup percaya diri dalam bertindak dan percaya diri tampil di
depan umum, generasi millenial terkadang menabrak aturan yang lazim bagi
generasi sebelumnya.
22
Selain itu, Faisal (2017) menyimpulkan dari identitas dan self image
generasi millenial terdapat lima aspek penting diantaranya :
a. Komunal
Generasi millenial memiliki sifat komunal mereka tidak dapat hidup sendiri
mereka harus berkerumun hidup dalam satu lingkungan komunal yang saling
berinteraksi saling mendukung satu sama lain serta perasaan memiliki yang kuat
diantara kelompok.
b. Sederhana
Kesederhanaan generasi millenial terletak pada cita-cita dan rangkaian
hidup dengan membuat rencana hidup yang sederhana atau tidak ambisius
sehingga generasi millenial lebih fleksibel dalam mengambil keputusan dan lebih
mengambil banyak waktu untuk mengeksplorasi hal baru untuk dicoba.
c. Naive Personality
Generasi millenial dalam pertemanan sangat menghargai nilai-nilai
ketulusan dan kesetiaan, lalu dalam keluarga juga sangat menghargai nilai
pengabdian dan pengorbanan.
d. Into values
Into values dalam hal ini terlihat dari berbagai aktivitas generasi millenial
sehari-hari yang sifatnya virtue, kearifan, dan religious wisdom masih sangat kuat.
e. Mementingkan Keluarga
23
Generasi millenial sangat mementingkan keluarga, kebahagian dalam
keluarga memiliki bobot yang besar bagi generasi millenial di era globalisasi.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa generasi millenial
memiliki karakteristik kerja fleksibilitas serta pengembangan ide-ide dalam
bekerja. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hornbostel (dalam Anggraini, 2016)
yang mengungkapkan bahwa generasi millenial menginginkan berada pada
lingkungan di mana kontribusi dan talenta adalah suatu hal yang di nilai dan
perbedaan yang ada dipandang dengan respek yang tinggi. Lloyd dan Felix (dalam
Prabowo, 2016) menggambarkan sikap generasi millenial terhadap pekerjaan dan
karir yaitu keinginan untuk fleksibilitas, keinginan untuk belajar terus menerus,
preferensi untuk berorientasi terhadap kerja tim.
D. Hubungan Antara Experienced Of Workplace Incivility
dengan Kesejahteraan Psikologis pada Karyawan Millenial
Tenaga kerja merupakan suatu hal yang penting dalam pertumbuhan
perekonomian di Indonesia. Tenaga kerja di Indonesia pada saat ini terdiri dari
tenaga kerja generasi baby boomers, generasi millenial, dan generasi x.
Selanjutnya riset yang dilakukan pada bulan Juni oleh Badan Pusat Statistik
(2018) menunjukan hasil bahwa 46,48% tenaga kerja Indonesia di dominasi oleh
generasi millenial. Menurut Naimovska (dalam Sugianto, 2018) generasi millenial
adalah generasi yang lahir pada tahun 1980 sampai 2000, pada saat ini generasi
millenial berusia 18-38 tahun. Generasi millenial memiliki karakteristik yang
24
berbeda dari generasi sebelumnya saat bekerja. Hal tersebut sesuai sesuai dengan
pendapat Lloyd dan Felix (dalam Prabowo, 2016) yang menggambarkan sikap
generasi millenial terhadap pekerjaan dan karir yaitu keinginan fleksibilitas,
keinginan untuk belajar terus menerus, dan preferensi untuk berorientasi terhadap
kerja tim.
Karakteristik generasi millenial yang berbeda dengan generasi sebelumnya
tersebut menyebabkan adanya perbedaan pandangan dengan karyawan generasi
lainnya yang dapat menciptakan konflik didalam perusahaan. Ruang lingkup
konflik termasuk dalam pelanggaran etika, diskriminasi, serta pelecehan seksual
di mana semuanya memiliki konsekuensi (Zalabak, 2006). Pelanggaran etika serta
diskriminasi ditempat kerja termasuk dalam perilaku experienced of workplace
incivility (Cortina, 2017)
Experienced of workplace incivility menurut Cortina (2008) merupakan
bentuk perilaku anti sosial yang paling luas di tempat kerja dengan intesitas
rendah, melanggar norma-norma sosial, serta memiliki niat yang tidak jelas untuk
menyakiti karyawan. Andersson dan Pearson (dalam Leiter, 2011) menyatakan
experienced of workplace incivility mengacu pada perilaku kasar atau tidak sopan
yang menyampaikan sikap tidak hormat terhadap orang lain. Apabila experienced
of workplace incivilty diabaikan akan berdampak buruk pada karyawan dan
perusahaan. Adapun dimensi experienced of workplace incivility menurut Cortina
(2001) yaitu terdiri dari satu dimensional yang mencakup bentuk penganiayaan
pada karyawan berupa tindakan negatif secara luas dengan intensitas yang rendah
seperti dikucilkan, berperilaku kasar, serta perilaku tidak sopan di tempat kerja.
25
Dampak pada korban experienced of workplace incivility ditandai dengan
rendahnya kepuasan kerja, tekanan untuk keluar dari organisasi dan kesejahteraan
psikologis yang rendah (Cortina, 2001). Apabila experienced of workplace
incivility tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan dampak buruk dan
kerugian bagi karyawan. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Cortina dan Magley (2001) mengenai insiden dan dampak experienced of
workplace incivility pada karyawan yang menunjukan hasil bahwa experienced of
workplace incivility memiliki efek negatif pada kesejahteraan psikologis
karyawan.
Kesejahteraan psikologis karyawan di tempat kerja sangat penting karena
dapat mempengaruhi motivasi dan kinerja karyawan dalam upaya pertumbuhan
dan kemajuan perusahaan. Menurut Desmarais dan Savoie (2012) konsep
kesejahteraan psikologis di tempat kerja bertujuan untuk menggambarkan
pengalaman positif seseorang selama bekerja, yang terdiri dari dimensi yang
berhubungan dengan pekerjaan, diantaranya dimensi dari kesejahteraan psikologis
yaitu interpersonal di tempat kerja, berkembang di tempat kerja, merasa
kompetensi di tempat kerja, pengakuan yang dirasakan di tempat kerja, keinginan
untuk terlibat di tempat kerja. Kesejahteraan psikologis pada karyawan sangat
penting kaitannya dengan produktifitas karyawan dan pertumbuhan perusahaan.
Cortina (2001) menambahkan kesejahteraan psikologis pada karyawan dapat
dipengaruhi oleh experienced of workplace incivility. Adapun hubungan antara
experienced of workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis dijabarkan
melalui karakterisik keduanya.
26
Experienced of workplace incivility berkaitan dengan dimensi hubungan
interpersonal di tempat kerja. Menurut Cortina (2007) experienced of workplace
incivility merupakan perilaku kasar dan tidak sopan, menunjukkan kurangnya
perhatian terhadap orang lain. Adanya experienced of workplace incivility
menurut Cortina (2001) menyebabkan kemarahan, ketakutan, rusaknya identitas
sosial, gangguan kognitif dan penilaian kognitif. Oleh sebab itu adanya
experienced of workplace incivility yang menyebabkan korban merasa cemas dan
tidak ingin berinteraksi sehingga karyawan memiliki hubungan interpersonal yang
tidak baik serta dapat mempengaruhi rendahnya hubungan interpersonal.
Sebaliknya, tidak adanya experienced of workplace incivility yang ditandai
dengan sikap sopan dan saling menghargai dapat mempengaruhi hubungan
interpersonal yang baik, hal ini sesuai dengan pendapat Kartono (dalam Arianto,
2013) adanya tutur kata baik diantara karyawan, sikap tolong menolong, sikap
saling tegur dan mengoreksi dan sikap kekeluargaan di antara karyawan
merupakan unsur dari hubungan kerja yang baik.
Kedua, experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi dimensi
berkembang di tempat kerja. Experienced of workplace incivility termasuk dalam
bentuk anti sosial atau diskriminasi dengan intensitas rendah. Blau dkk (dalam
Roberts, 2011) menyatakan tingginya experienced of workplace incivility ditandai
dengan sikap menjawab telepon dengan cara yang tidak sopan, berbicara negatif
tentang karyawan lain dan mengirim email kasar kepada rekan kerja. Tingginya
experienced of workplace incivility memiliki dampak buruk bagi karyawan. Hal
tersebut didukung oleh pedapat Zhou dkk, (2014) yang menyebutkan dampak
27
experienced of workplace incivility memiliki pengaruh negatif pada kehidupan
sehari hari seperti stabilitas emosi, bias atribusi bermusuhan, locus of control,
beban kerja kronis, dan kendala organisasi kronis. Jika tingginya experienced of
workplace incivility pada karyawan tidak ditangani maka akan memberikan
kendala serta tidak stabilnya emosi karyawan sehingga karyawan tidak dapat
berkembang di tempat kerja dengan baik. Sebaliknya, jika experienced of
workplace incivility rendah yang ditandai dengan tidak adanya diskriminasi dan
perilaku anti sosial maka karyawan memiliki perasaan positif untuk semakin
berkembang di tempat kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Harter, Schmidt, dan
Keyes (dalam Zamralita, 2008) perasaan positif pada karyawan sebagai tanda dari
kesehatan mental karyawan, menghasilkan karyawan yang lebih bahagia,
berkembang dan produktif.
Ketiga, experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi dimensi
kompetensi di tempat kerja. Experienced of workplace incivility merupakan
perilaku menyimpang dengan maksut menyakiti. Tingginya experienced of
workplace incivility menurut Bjorkqovist, dkk (dalam Cortina, 2001); Cortina
(2017) ditandai dengan perilaku kasar diantara karyawan seperti merendahkan,
mengucilkan dan melanggar norma hormat di tempat kerja yang berdampak pada
depresi dan perasaan cemas karyawan. Tingginya experienced of workplace
incivility menyebabkan karyawan depresi selama di tempat kerja sehingga
karyawan kesulitan untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki. Sebaliknya,
rendahnya experienced of workplace incvility yang ditunjukan dengan sikap tidak
merendahkan dan tidak ada pengecualian, serta rasa hormat diantara karyawan
28
dapat memberikan dampak positif pada kompetensi karyawan. Hal tersebut
didukung oleh pendapat Grandy dan Berry (dalam Roberts, 2011) yang
menyatakan bahwa mengurangi perilaku negatif di tempat kerja berpengaruh pada
meningkatnya perilaku positif dalam organisasi, kompetensi dan performa
karyawan.
Ke-empat experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi dimensi
pengakuan di tempat kerja. Eagar, dkk (dalam Logan, 2016) menjelaskan bahwa
experienced of workplace incivilty merupakan perilaku kasar dan mengintimidasi
dimana korban merasa dihina dan berpotensi rentan. Tingginya experienced of
wokplace incivility ditandai dengan berbicara kasar, mencemooh, serta
diskriminasi. Apabila tingginya experienced of workplace incivility tidak
ditangani akan berdampak pada rendahnya pengakuan yang dapat mempengaruhi
rendahnya produktifitas karyawan. Hal tersebut didukung oleh pendapat (Zhou,
2014) yang menyatakan bahwa perasaan dihina dan tidak adanya pengakuan
berdampak pada penurunan kepuasan kerja, peningkatan intensi untuk keluar,
penurunan komitmen afektif, penurunan secara fisik serta penurunan
kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, rendahnya experienced of workplace
incivility yang ditandai dengan sikap saling menghormati, memberikan apresiasi
dapat mempengaruhi psikologis karyawan karena merasa diakui dan dihargai
yang berdampak pada meningkatkan produktifitas kerja. Hal tersebut didukung
oleh pendapat Baumeister dan Leary (dalam Estes, 2008) yang menyatakan bahwa
adanya rasa hormat merupakan motivator kuat pada produktifitas dan perilaku
seseorang.
29
Selanjutnya experienced of workplace incivility dapat mempengaruhi
dimensi keinginan untuk terlibat di tempat kerja. Menurut (Cortina, 2017)
experienced of workplace incivility mengacu pada perilaku kasar, merendahkan,
mengucilkan dan melanggar norma hormat di tempat kerja. Tingginya
experienced of workplace incivility yang ditandai dengan mengucilkan dan
merendahkan karyawan apabila tidak ditangani dengan baik maka akan
berdampak pada rendahnya keinginan terlibat dan berkontribusi dengan
perusahaan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Hershcovis (dalam Zhou, 2014)
yang menyatakan bahwa experienced of workplace incivility berdampak pada
penurunan keterlibatan dan kepuasan kerja, peningkatan intensi untuk keluar,
penurunan komitmen afektif, serta penurunan secara fisik, dan penurunan
kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, rendahnya tingkat experienced of workplace
incivility ditandai dengan sikap saling menghargai satu sama lain memiliki
pengaruh positif terhadap keterlibatan karyawan. Hal teresbut didukung oleh
pendapat Robbins dan Judge (dalam Margaretha, 2012) yang menyatakan bahwa
sikap saling menghargai dan menghormati berpengaruh pada keinginan untuk
terlibat dalam pekerjaan, mendedikasikan diri terhadap pekerjaan, dan
bertanggung jawab atas pekerjaanya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa experienced of
workplace incivility berkaitan dengan kesejahteraan psikologis karyawan melalui
kedua karakteristiknya. Barling (dalam Cortina, 2008), Bunk dan Magley (2003)
mengungkapkan dampak experienced of workplace incivility tercipta melalui
situasi stres dan respons emosional yang merugikan yang menimpa keadaan
30
psikologis karyawan dengan buruk yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis. Oleh sebab itu, experienced of workplace incivlity dapat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada karyawan. Temuan tersebut juga
didukung oleh penelitian sebelumnya yangdilakukan oleh Akhtar (2017) yang
menyatakan bahwa adanya pengaruh negatif experienced of workplace incivility
pada kesejahteraan psikologis karyawan. Artinya, jika karyawan mengalami
experienced of workplace incivility maka karyawan akan merasakan rendahnya
hubungan interpersonal, kompetensi di tempat kerja, keinginan untuk
berkembang, rasa pengakuan di tempat kerja, dan keterlibatan dengan perusahaan
yang merupakan bagian dari dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis.
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritis yang sudah dijabarkan maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif experiened of
workplace incivility dengan kesejahteraan psikologis karyawan millenial di Yamie
Panda Group Yogyakarta. Dimana jika perilaku experienced of workplace
incivility tinggi maka semakin rendah kesejahteraan psikologis. Begitu sebaliknya
ketika experienced of workplace incivility rendah maka tingkat kesejahteraan
psikologis karyawan akan tinggi.