BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. IMUNISASI MEASLES RUBELLA (MR)
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. IMUNISASI MEASLES RUBELLA (MR)
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. IMUNISASI MEASLES RUBELLA (MR)
Imunisasi berasal dari kata “imun” yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi
merupakan pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan
memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang
sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang (Lisnawati, 2011). Imunisasi
adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan
(Kemenkes RI, 2013).
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukan
antigen lemah agar merangsang antibody keluar sehingga tubuh dapat resisten
terhadap penyakit tertentu. System imun tubuh mempunyai suatu system
memori (daya ingat), ketika vaksin masuk kedalam tubuh, maka akan di
bentuk antibody untuk melawan vaksin tersebut dan sistem memori akan
menyimpannya sebagai suatu pengalaman. Jika nantinya tubuh terpapar dua
atau tiga kali oleh antigen yang sama dengan vaksin maka antibody akan
tercipta lebih kuat dari vaksin yang pernah dihadapi sebelumnya ( Atikah,
2010 ).
13
Bayi yang mendapatkan imunisasikan berarti diberikan kekebalan terhadap
suatu penyakit tertentu (Hidayat, 2008). Imunisasi merupakan bentuk
intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam menurunkan angka kematian
bayi dan balita dengan mencegah penyakit seperti Hepatitis B, Tuberkulosis,
Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Campak (Lia Dewi, 2010). Imunisasi
adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan
(Depkes RI, 2014).
Pemberian imunisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu penyakit
tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada
sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia
seperti yang kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola (Ranuh et.al,
2011). Program imunisasi ini bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada
bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang
disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit (Proverawati dan Andhini,
2010).
Program imunisasi mempunyai tujuan umum yaitu menurunkan angka
kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I). Tujuan khusus program ini adalah sebagai berikut:
a) Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan
14
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh
desa/kelurahan pada tahun 2014. b) Tervalidasinya Eliminasi Tetanus
Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam
satu tahun) pada tahun 2013. c) Global eradikasi polio pada tahun 2018. d)
Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian penyakit
rubella 2020. e) Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta
pengelolaan limbah medis (safety injection practise and waste disposal
management) (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Proverawati dan Andhini (2010), manfaat imunisasi tidak hanya
dirasakan oleh pemerintah dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan
oleh: a) Bagi anak, Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan kecactan atau kematian. b) Bagi keluarga, Menghilangkan
kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong
pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani
masa kanak-kanak yang nyaman. c) Bagi negara, Memperbaiki tingkat
kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan
pembangunan keluarga.
15
1. Jenis-jenis Imunisasi
Imunisasi dapat terjadi secara alamiah dan buatan dimana masing-masing
imunitas tubuh (acquired immunity) dapat diperoleh secara aktif maupun
secara pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang
sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh
memproduksi antibodi sendiri. Imunisasi aktif merupakan pemberian zat
sebagai antigen yang diharapkan akan terjadi suatu proses infeksi buatan
sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik yang akan
menghasilkan respon seluler dan humoral serta dihasilkannya sel memori,
sehingga apabila benar-benar terjadi infeksi maka tubuh secara cepat dapat
merespon (Maryunani, 2010).
Vaksin diberikan dengan cara disuntikkan atau per oral/ melalui mulut.
Terhadap pemberian vaksin tersebut, maka tubuh membuat zat-zat anti
terhadap penyakit bersangkutan (oleh karena itu dinamakan imunisasi aktif,
kadar zat-zat dapat diukur dengan pemeriksaan darah) dan oleh sebab itu
menjadi imun terhadap penyakit tersebut. Jenis imunisasi aktif antara lain
vaksin BCG, vaksin DPT (difteri-pertusis-tetanus), vaksin poliomielitis,
vaksin campak, vaksin typs (typus abdominalis), toxoid tetanus dan lain-lain
(Maryunani, 2010). Namun hanya lima imunisasi (BCG, DPT, Polio,
Hepatitis B, Campak) yang menjadi Program Imunisasi Nasional yang
dikenal sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) atau extended
program on immunization (EPI) yang dilaksanakan sejak tahun 1977. PPI
16
merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi untuk mencapai
komitmen internasional yaitu Universal Child Immunization (Ranuh et.al,
2011).
Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien, dimaksudkan
untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus memproduksi
sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya. Antibodi yang ditujukan
untuk upaya pencegahan atau pengobatan terhadap infeksi, baik untuk
infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme kerja antibodi terhadap infeksi
bakteri melalui netralisasi toksin, opsonisasi, atau bakteriolisis. Kerja
antibodi terhadap infeksi virus melalui netralisasi virus, pencegahan
masuknya virus ke dalam sel dan promosi sel natural-killer untuk melawan
virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan menimbulkan efek
proteksi segera. Tetapi karena tidak melibatkan sel memori dalam sistem
imunitas tubuh, proteksinya bersifat sementara selama antibodi masih aktif
di dalam tubuh resipien, dan perlindungannya singkat karena tubuh tidak
membentuk memori terhadap patogen/ antigen spesifiknya (Ranuh et.al,
2011).
Transfer imunitas pasif didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau
serum yang mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan
tubuhnya (Ranuh et.al, 2011). Imunisasi pasif dimana zat antinya didapat
dari luar tubuh, misalnya dengan suntik bahan atau serum yang mengandung
zat anti. Zat anti ini didapat oleh anak dari luar dan hanya berlangsung
17
pendek , yaitu 2-3 minggu karena zat anti seperti ini akan dikeluarkan
kembali dari tubuh anak (Maryunani, 2010).
2. Epidemiologi Campak Dan Rubella
Penyakit campak dikenal juga sebagai morbili atau measles, merupakan
penyakit yang sangat menular (infeksius) yang disebabkan oleh virus.
Manusia diperkirakan satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat
terinfeksi tetapi tidak berperan dalam penularan. Pada tahun 1980, sebelum
imunisasi dilakukan secara luas, diperkirakan lebih 20 juta orang di dunia
terkena campak dengan 2,6 juta kematian setiap tahun yang sebagian besa
adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari
satu miliar anak di negara-negara berisiko tinggi telah divaksinasi melalui
program imunisasi, sehingga pada tahun 2012 kematian akibat campak telah
mengalami penurunan sebesar 78% secara global.
Penyebab rubella adalah togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan
virus RNA. Virus rubella cepat mati oleh sinar ultra violet, bahan kimia,
bahan asam dan pemanasan. Virus tersebut dapat melalui sawar plasenta
sehingga menginfeksi janin dan dapat mengakibatkan abortus atau
congenital rubella syndrome (CRS). Penyakit rubella ditularkan melalui
saluran pernapasan saat batuk atau bersin. Virus dapat berkembang biak di
nasofaring dan kelenjar getah bening regional, dan viremia terjadi pada 4 –
7 hari setelah virus masuk tubuh. Masa penularan diperkirakan terjadi pada
7 hari sebelum hingga 7 hari setelah rash. Masa inkubasi rubella berkisar
18
antara 14 – 21 hari. Gejala dan tanda rubella ditandai dengan demam ringan
(37,2°C) dan bercak merah/rash makulopapuler disertai pembesaran
kelenjar limfe di belakang telinga, leher belakang dan sub occipital
3. Imunisasi Campak
Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadap penyakit campak (morbili/measles). Kandungan
vaksin campak ini adalah virus yang dilemahkan. Sebenarnya, bayi sudah
mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya
usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi
tambahan lewat pemberian vaksin campak. Penyakit campak mudah
menular, dan anak yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali
terserang penyakit yang disebabkan virus morbili ini. Namun, untungnya
campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi sekali terkena campak,
setelah itu biasanya tidak akan terkena lagi (Maryunani, 2010).
Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali (Maryunani, 2010).
Pemberian Imunisasi campak diberikan 1 kali pada usia 9 bulan, dan
dianjurkan pemberiannya sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu
sudah menurun di usia bayi 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang
anak usia balita. Jika sampai usia 12 bulan anak belum mendapatkan
imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan ini anak harus diimunisasi
MMR (Measles Mumps Rubella) (Maryunani, 2010). Cara pemberian
19
imunisasi campak yaitu Sebelum di suntikan vaksin campak terlebih dahulu
dilarutkan dengan pelarut, kemudian disuntikan lengan kiri atas secara
subkutan (Depkes RI,2005). Adapun efek samping dari imunisasi, Biasanya
tidak terdapat reaksi akibat imunisasi tetapi bisa juga terjadi demam ringan
dan terdapat efek kemerahan / bercak merah pada pipi di bawah telinga pada
hari ke 7 – 8 setelah penyuntikan. Kemungkinan juga terdapat
pembengkakan pada tempat penyuntikan (Maryunani, 2010). Kontra
indikasi pemberian imunisasi campak adalah anak dengan penyakit infeksi
akut yang disertai demam, anak engan penyakit gangguan kekebalan, anak
dengan penyakit TBC tanpa pengobatan, anak dengan kekurangan gizi
berat, anak dengan penyakit keganasan, dan anak dengan kerentanan tinggi
terhadap protein telur, kanamisin dan eritromisin (antibiotik) (Maryunani,
2010).
B. DUKUNGAN KELUARGA
Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang
melindungi seseorang dari efek setres yang buruk (Kaplan dan Sadock, 2002).
Dukungan keluarga menurut Fridman (2010) adalah sikap, tindakan
penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganny, berupa dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan
emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan
interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota
keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang memperhatikannya.
20
Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial
yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses
atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2015).
1. Sumber Dukungan Keluarga
Sumber dukungan keluarga adalah sumber dukungan sosial keluarga yang
dapat berupa dukungan sosial keluarga secara internal seperti dukungan
dari suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan
sosial keluarga secara eksternal seperti paman dan bibi (Friedman, 2013).
Menurut Caplan (1974) dalam Friedman (2010) terdapat tiga sumber
dukungan sosial umum, sumber ini terdiri atas jaringan informal yang
spontan: dukungan terorganisasi yang tidak diarahkan oleh petugas
kesehatan professional, dan upaya terorganisasi oleh professional
kesehatan.
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial
yang di pandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat
diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak
digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang
bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial
keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari
21
saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman,
1998).
2. Tujuan Dukungan keluarga
Sangatlah luas diterima bahwa orang yang berada dalam lingkungan
sosial yang suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik
dibandingkan rekannya yang tanpa keuntungan ini. Lebih khususnya,
karena dukungan sosial dapat dianggap mengurangi atau menyangga efek
serta meningkatkan kesehatan mental individu atau keluarga secara
langsung, dukungan sosial adalah strategi penting yang haru ada dalam
masa stress bagi keluarga (Friedman, 2010). Dukungan sosial juga dapat
berfungsi sebagai strategi pencegahan guna mengurangi stress akibat
negatifnya (Roth, 1996). Sistem dukungan keluarga ini berupa membantu
berorientasi tugas sering kali diberikan oleh keluarga besar, teman, dan
tetangga. Bantuan dari keluarga besar juga dilakukan dalam bentuk
bantuan langsung, termasuk bantuan financial yang terus-menerus dan
intermiten, berbelanja, merawat anak, perawatan fisik lansia, melakukan
tugas rumah tangga, dan bantuan praktis selama masa krisis (Friedman,
2010).
3. Bentuk Dukungan keluarga
Menurut Friedman (1998), menyatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai
sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga memandang
22
bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Terdapat empat dimensi dari
dukungan keluarga yaitu: a) dukungan emosional, b) dukungan informasi,
c) dukungan instrumental, d) dukungan penghargaan. Dukungan
emosional berfungsi sebagai pelabuhanistirahat dan pemulihan serta
membantu penguasaan emosional serta meningkatkan moral keluarga
(Friedman, 2010). Dukungan emosianal melibatkan ekspresi empati,
perhatian, pemberian semangat, kehangatan pribadi, cinta, atau bantuan
emosional. Dengan semua tingkah laku yang mendorong perasaan
nyaman dan mengarahkan individu untuk percaya bahwa ia dipuji,
dihormati, dan dicintai, dan bahwa orang lain bersedia untuk memberikan
perhatian (Sarafino, 2011).
Dukungan informasi, keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
disseminator (penyebar) informasi tentang dunia (Friedman, 1998).
Dukungan informasi terjadi dan diberikan oleh keluarga dalam bentuk
nasehat, saran dan diskusi tentang bagaimana cara mengatasi atau
memecahkan masalah yang ada (Sarafino, 2011). Dukungan instrumental,
keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit
(Friedman, 1998). Dukungan instrumental merupakan dukungan yang
diberikan oleh keluarga secara langsung yang meliputi bantuan material
seperti memberikan tempat tinggal, memimnjamkan atau memberikan
23
uang dan bantuan dalam mengerjakan tugas rumah sehari-hari (Sarafino,
2011).
Dukungan penghargaan, keluarga bertindak (keluarga bertindak sebagai
sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan memerantai
pemecahan masalah dan merupakan sumber validator identitas anggota
(Friedman, 2010). Dukungan penghargaan terjadi melalui ekspresi
penghargaan yang positif melibatkan pernyataan setuju dan panilaian
positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain yang
berbanding positif antara individu dengan orang lain (Sarafino, 2011).
4. Mamfaat Dukungan keluraga
Menurut Setiadi (2008), dukungan sosial keluarga memiliki efek terhadap
kesehatan dan kesejahteraan yang berfungsi secara bersamaan. Adanya
dukungan yang kuat berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih
mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi.
Selain itu, dukungan keluarga memiliki pengaruh yang positif pada
pemyesuaian kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stress.
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial keluarga berbeda-beda
dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian dalam
semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat
keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai
24
akibatnya hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga
(Friedman, 2013).
5. faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Purnawan (2008) dalam Rahayu (2008) faktor-faktor yang
mempengaruhi dukungan keluarga adalah: a) faktor internal, b) faktor
eksternal. Faktor internal berupa tahap perkembangan Artinya dukungan
dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan
perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia)
memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang
berbeda-beda.
Pendidikan atau tingkat pengetahuan Keyakinan seseorang terhadap
adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari
pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu.
Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk
kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk
menjaga kesehatan dirinya.
Faktor emosi Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap
adanya dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang mengalami
respon stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon
terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara
mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam
25
kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang
mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit.
Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional
terhadap ancaman penyakit mungkin. 3). Spiritual Aspek spiritual dapat
terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup
nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau
teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
Eksternal yaitu ;1) Praktik di keluarga Cara bagaimana keluarga
memberikan dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam
melaksanakan kesehatannya. Misalnya, klien juga kemungkinan besar
akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarga melakukan hal yang
sama. 2) Faktor sosio-ekonomi Faktor sosial dan psikososial dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara
seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel
psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan
kerja.Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari
kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan
cara pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya
ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan.
Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan
pada kesehatannya. 3) Latar belakang budaya Latar belakang budaya
26
mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu, dalam
memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMUNISASI
Menurut lawrance Green (1980, dalam Notoatmodjo 2010) ada tiga faktor
yang mempengaruhi perilaku seseorang yaitu : a) Faktor pemudah
(Predisposing Factor), b) Faktor pemungkin (enambling factor), c) Faktor
penguat (reinforcing factor). Faktor pemudah (Predisposing Factor)
merupakan salah satu faktor penyebab seseorang yang mau untuk
mengimunisasikan anaknya, karaena dihubungani oleh ; pengetahuan ibu,
tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapan, sikap, dan dukungan
keluarga.
Faktor pemungkin (enambling facto) merupakan faktor yang menyebabkan
seseorang selalu ikut program imunisasi anaknya dihubungani oleh ;
keterjangkauan ketempat imunisasi, ketersediaan tempat pelayanan imunisasi
(sarana dan prasarana), ketersediaan waktu. Sedangkan Faktor penguat
(reinforcing factor) seperti peran kader, peran petugas kesehatan, peran
pemerintah. Faktor predisposisi merupakan faktor internal pada seseorang
yang mempengaruhi perilaku kesehatannya. Ibu sangat berperan penting
dalam menentukan keberhasilan program imunisasi (Triana, 2016), sehingga
faktor predisposisi dari ibu seperti pengetahuan, pendidikan, pekerjaan,
pendapatan keluarga, dukungan keluarga, dan faktor pemungkin seperti
27
keterangkauan ketempat pelayanan imunisasi sangat berhubungan terhadap
pemberian imunisasi MR pada balita.
1. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar
menjawab pernyataan ‘what’, misalnya apa air, apa manusia, apa alam,
dan sebagainya. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan peraba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2012).Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia yang
sekedar menjawab pertanyaan ”apa”. Apabila pengetahuan mempunyai
sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji
obyek tertentu sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara
sistematis dan diakui secara umum, maka terbentuklah disiplin ilmu
(Notoatmojo, 2007). Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh
besar terhadap pengetahuan, seseorang yang berpendidikan
pengetahuannya akan berbeda dengan orang yang berpendidikan rendah
(Latipun,2004).
Tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai
6 tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu : a) Tahu (Know), Tahu diartikan
sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu
28
merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah karena tingkatan
ini hanya mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari selutruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. b) Memahami
(Comprehension), Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c) Aplikasi
(Aplication), Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan
atau menggunakan materi yang sudah dipelajari pada situasi atau kondisi
riil (sebenarnya). d) Analisis (Analysis), Analisis diartikan suatu
kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen–komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi
tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e) Sintesis (Synthesis),
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi – formulasi yang ada. f) Evaluasi (Evaluation), Evaluasi
diartikan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau suatu obyek berdasarkan kriteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria–kriteria yang telah ada.
a. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Widianti (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan antara lain: a) Tingkat Pendidikan, Pendidikan dapat
membawa wawasan atau pengetahuan seseorang secara umum,
seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai
29
pengetahuan yang lebih luas dibanding dengan seseorang yang tingkat
pendidikannya rendah. b) Pengalaman, Pengalaman dapat diperoleh
dari pengalamannya sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang
sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang. c)
Fasilitas, Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat
mempengaruhi pengetahuan seseorang misalnya radio, televisi,
majalah, koran dan buku. d) Penghasilan, Penghasilan tidak
berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila
seseorang berpenghasilan cukup besar maka ia akan mampu untuk
menyediakan atau membeli fasilitas sumber informasi. e) Sosial
budaya, Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat
mempengaruhi persepsi dan sikap seseorang terhadap sesuatu. f)
Keyakinan, Biasanya diperoleh secara turun temurun dan tanpa
adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa
mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya
positif maupun negatif.
Menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam tiga kategori,
yaitu : a) Baik : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76% -
100% dari seluruh pernyataan. b) Cukup : Bila subyek mampu
menjawab dengan benar 56% - 75% dari seluruh pernyataan. c)
Kurang : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 40% - 55% dari
seluruh pernyataan.
30
b. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam memperoleh pengetahuan dibagi
dalam 2 kelompok yaitu : a) Cara Tradisional, b) cara modern. Cara
ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum
ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistemik
dan logis. Cara – cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara
lain, meliputi : 1) Cara Coba–Salah (Trial and error), 2) cara
kekuasaan atau otoritas, 3) berdasarkan pengalaman pribadi, 4)
melalui jalan pikiran. Cara Coba–Salah (Trial and error) dilakukan
dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah,
dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba
kemungkinan yang lain. Pengalaman yang diperoleh melalui
penggunaan metode ini banyak membantu perkembangan berpikir
dan kebudayaan manusia kearah yang lebih sempurna
Cara Kekuasaan atau Otoritas, Pengetahuan diperoleh berdasarkan
pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas
pemuka agama, maupun ahli ilmu pengetahuan. Para pemegang
otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama maupun ahli ilmu
pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama
didalam penemuan pengetahuan. Berdasarkan pengalaman pribadi
dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini
dilakukan dengan mengulang kembali pengalaman yang diperoleh
31
dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu.
Melalui jalan pikiran, Kebenaran pengetahuan dapat diperoleh
manusia dengan menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi
maupun deduksi yang merupakan cara melahirkan pemikiran secara
tidak langsung melalui pernyataan–pernyataan yang dikemukakan
dan dicari hubungannya sehingga dapat diambil kesimpulan.
Kebenaran pengetahuan dapat diperoleh manusia dengan
menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi
yang merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung
melalui pernyataan–pernyataan yang dikemukakan dan dicari
hubungannya sehingga dapat diambil kesimpulan.
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan dewasa ini
lebih sistematis, logis dan murah.Cara ini disebut metode penelitian
ilmiah atau lebih popular (research methodology). Setelah diadakan
penggabungan antara proses berpikir deduktif–induktif maka lahirlah
suatu penelitian yang dikenal dengan metode penelitian ilmiah.
2. Pendidikan
Merupakan seluruh usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana
melalui lembaga formal maupun non-formal untuk mengembangkan
kualitas sumber daya agar memiliki kepribadian, kecerdasan,
keterampilan dan pengendalian diri yang dapat dimanfaatkan lingkungan
32
untuk meningkatkan taraf kehidupan, sehingga menjadi sumber daya
yang efektif dan efesien (Departemen Pendidikan Nasional, 2003).
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik
pengetahuannya dan pemahamannya tentang kehidupan termasuk di
dalamnya pemahaman tentang kesehatan (Pratiwi, 2012), Sehingga
penting bagi seorang wanita yang berlaku sebagai ibu untuk dapat
berpendidikan tinggi karena seorang wanita akan menjadi pendidikan
pertama bagi anaknya termasuk menentukan pelayanan kesehatan yang
tepat bagi anaknya.
3. Pekerjaan
Merupakan suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi
seseorang. Ibu yang bekerja mungkin akan memiliki sedikit waktu luang,
sehingga kesempatan untuk dapat membawa anaknya ke pelayanan
imunisasi lebih kecil dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Selain itu,
kesibukan ibu pada pekerjaannya seringkali membuat ibu lupa jadwal
imunisasi anaknya sehingga anak tidak medapatkan imunisasi atau
pemberian imunisasinya tidak lengkap. Namun ibu yang bekerja memiliki
sumber informasi yang cukup sehingga mungkin akan lebih aktif
membawa anaknya untuk imunisasi (Mulyanti, 2013).
33
4. Pendapatan
Adalah berupa jumlah uang yang diterima seseorang atau lebih dari
anggota keluarga dari jerih payah kerjanya. Secara umum pendapatan
didefinisikan sebagai masukan yang diperoleh dari keseluruhan aktifitas
termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun
(Randi, 2013). Upah Minimum Regional (UMR) adalah pendapatan
minimal yang dihasilkan oleh pekerja sesuai provinsi masing-masing.
Menurut Badan Pusat Statisitik (BPS) 2016 UMR di Provinsi Sulawesi
Tengah 1.963.230, sehingga apabila pendapatan berada di bawah UMR
maka pendapatan tersebut dikategorikan sebagai tingkat pendapatan
rendah dan sebaliknya.
Pemberian ekonomi seseorang berhubungan pada kemampuan seseorang
membiayai pelayanan kesehatan. Seseorang mungkin tahu akan
pentingnya kesehatan namun karena terkendala biaya orang tersebut
memutuskan untuk tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang
dibutuhkannya. Pendapatan keluarga yang rendah akan menjadi
pertimbangan ibu untuk tidak mengimunisasikan anaknya. Dampak lain
adalah ibu lebih memilih bekerja untuk membantu pendapatan keluarga
sehingga waktu untuk membawa anak imunisasi berkurang (Mulyanti,
2013).
34
5. Dukungan keluarga
Merupakan sikap, tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota
keluarganya, berupa dukungan informasional, dukungan penilaian,
dukungan instrumental dan dukungan emosional. Keseluruhan elemen
tersebut terwujud dalam bentuk hubungan interpersonal yang meliputi
sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga
anggota keluarga merasa ada yang memperhatikan (Friedman, 2010).
Seorang ibu yang memiliki sikap positif terhadap imunisasi anaknya perlu
mendapat dukungan dari suami berupa konfirmasi atau izin dan fasilitas
yang mempermudah jangkauan imunisasi serta motivasi untuk rutin
imunisasi sesuai jadwal (Suzanne, 2011). Selain dari suami ibu juga
membutuhkan dukungan keluarga dari orangtua/mertua yang juga
memiliki sikap positif terhadap imunisasi (Pratiwi, 2012).
6. Peran tenaga kesehatan
Peran adalah perilaku individu yang diharapkan sesuai dengan posisi yang
dimiliki. Peran yaitu suatu pola tingkah laku, kepercayaan, nilai, dan sikap
yang diharapkan dapat menggambarkan perilaku yang seharusnya
diperlihatkan oleh individu pemegang peran tersebut dalam situasi yang
umumnya terjadi (Sarwono, 2012). Peran merupakan suatu kegiatan yang
bermanfaat untuk mempelajari interaksi antara individu sebagai pelaku
(actors) yang menjalankan berbagai macam peranan di dalam hidupnya,
seperti dokter, perawat, bidan atau petugas kesehatan lain yang
35
mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugas atau kegiatan yang
sesuai dengan peranannya masing-masing (Muzaham, 2007)
Tenaga kesehatan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia
Tentang Kesehatan No 36 tahun 2014 merupakan setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan untuk jenis
tertentu yang memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan. Tenaga kesehatan juga memiliki peranan penting untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada
masyarakat agar masyarakat mampu meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat sehingga mampu mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Tenaga
kesehatan memiliki beberapa petugas yang dalam kerjanya saling
berkaitan yaitu dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan ketenagaan medis
lainnya (Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996).
Menurut Potter dan Perry (2007) macam-macam peran tenaga kesehatan
dibagi menjadi beberapa, yaitu : 1) Sebagai komunikator, 2) sebagai
motivator, 3) sebagai fasilitator, 4) sebagai konselor. Komunikator adalah
orang yang memberikan informasi kepada orang yang menerimanya.
Menurut Mundakir (2006) komunikator merupakan orang ataupun
kelompok yang menyampaikan pesan atau stimulus kepada orang atau
36
pihak lain dan diharapkan pihak lain yang menerima pesan (komunikan)
tersebut memberikan respons terhadap pesan yang diberikan. Proses dari
interaksi antara komunikator ke komunikan disebut juga dengan
komunikasi. Selama proses komunikasi, tenaga kesehatan secara fisik dan
psikologis harus hadir secara utuh, karna tidak cukup hanya dengan
mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi saja tetapi juga sangat
penting untuk mengetahui sikap, perhatian, dan penampilan dalam
berkomunikasi.
Sebagai motivator, Motivator adalah orang yang memberikan motivasi
kepada orang lain. Sementara motivasi diartikan sebagai dorongan untuk
bertindak agar mencapai suatu tujuan tertentu dan hasil dari dorongan
tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dilakukan
(Notoatmodjo, 2007). Menurut Syaifudin (2006) motivasi adalah
kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motif adalah
kebutuhan, keinginan, dan dorongan untuk melakukan sesuatu. Peran
tenaga kesehatan sebagai motivator tidak kalah penting dari peran
lainnya. Seorang tenaga kesehatan harus mampu memberikan motivasi,
arahan, dan bimbingan dalam meningkatkan kesadaran pihak yang
dimotivasi agar tumbuh ke arah pencapaian tujuan yang diinginkan
(Mubarak, 2012). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya sebagai
motivator memiliki ciri-ciri yang perlu diketahui, yaitu melakukan
pendampingan, menyadarkan, dan mendorong kelompok untuk
37
mengenali masalah yang dihadapi, dan dapat mengembangkan potensinya
untuk memecahkan masalah tersebut (Novita, 2011).
Sebagai Fasilitator, fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan
kemudahan dalam menyediakan fasilitas bagi orang lain yang
membutuhkan. Tenaga kesehatan dilengkapi dengan buku pedoman
pemberian tablet zat besi dengan tujuan agar mampu melaksanakan
pemberian tablet zat besi tepat pada sasaran sebagai upaya dalam
menurunkan angka prevalensi anemia (Santoso, 2004). Tenaga kesehatan
juga harus membantu klien untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sebagai konselor,
Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain
dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui
pemahaman terhadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-
perasaan klien (Depkes RI, 2006). Proses dari pemberian bantuan tersebut
disebut juga konseling.
Seorang konselor yang baik harus memiliki sifat peduli dan mau
mengajarkan melalui pengalaman, mampu menerima orang lain, mau
mendengarkan dengan sabar, optimis, terbuka terhadap pandangan
interaksi yang berbeda, tidak menghakimi, dapat menyimpan rahasia,
mendorong pengambilan keputusan, memberi dukungan, membentuk
dukungan atas dasar kepercayaan, mampu berkomunikasi, mengerti
38
perasaan dan kekhawatiran klien, sertamengerti keterbatasan yang
dimiliki oleh klien ( simatupang, 2008).
7. Sarana pelayanan kesehatan
Salah satu faktor yang memhubungani pencapaian derajat kesehatan,
termasuk pemberian kelengkapan imunisasi dasar adalah adanya
keterjangkauan tempat pelayanan kesehatan oleh masyarakat.
Kemudahan untuk mencapai pelayanan kesehatan ini antara lain
ditentukan oleh adanya transportasi yang tersedia sehingga dapat
memperkecil jarak tempuh, hal ini akan menimbulkan motivasi ibu untuk
datang ketempat pelayanan imunisasi (Agustina, 2012). Menurut
Lawrence W. Green (1980), Ketersediaan dan keterjangkauan sumber
daya kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang ada dan mudah dijangkau
merupakan salah satu faktor yang memberi kontribusi terhadap perilaku
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Semakin kecil jarak jangkauan
masyarakat terhadap suatu tempat pelayanan kesehatan, maka akan
semakin sedikit pula waktu yang diperlukan sehingga tingkat
pemanfaatan pelayanan kesehatan meningkat (Notoatmodjo, 2010).
D. Konsep Teori keperawatan model Lawrance Green
Menurut teori lawrance Green ada 3 faktor mempengaruhi prilaku kesehatan
seseorang. Prilaku seseorang ibu dalam memberikan imunisasi pada anaknya
berdasarkan teori Lawrance green dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain :
39
faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu: sikap, pengetahuan,
kepercayaan, nilai dan norma-norma. Sedangkan faktor pendukung (enabling
factors) yaitu adanya: sarana kesehatan, tercangkaunya sarana kesehatan,
peraturan kesehatan, dan keterampilan terkait kesehatan. Faktor pendorong
(reinforcing factors) yaitu : keluarga, guru, sebaya, petugas kesehatan, tokoh
masyarakat, dan pengambilan keputusan. Dan faktor predisposisi merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap motivasi ibu dalam pemberian
imunisasi MR pada balita. Banyak ibu yang tidak bersedia untuk
mengimunisasikan anaknya dengan alasan yang sangat sederhana yaitu ibu-
ibu sibuk dengan urusan rumah tangga, dan ketakutan ibu akan efek samping
dari pemberian imunisasi MR yang disertai pengetahuan ibu yang rendah
tentang imunisasi (Ayubhi, D, 2009).
40
E. GAMBAR KERANGKA TEORI
Tabel 2.2 kerangka Teori modifikasi Lawrence W. Green (1980) dalam Soekidjo
Notoatmodjo (2010), Istriyati (2011)
IMUNISASI
Pemberian
Imunisasi MR
pada Balita
Aktif Pasif
Faktor dasar/predisposisi
(Predisposing factor)
1. Pengetahuan 2. Kepercayaan 3. Sikap 4. Nilai dan norma
Faktor pendukung
(enabling factors)
1. Adanya sarana kesehatan
2. Terjangkaunya sarana kesehatan
3. Peraturan kesehatan
4. keterampilan
Faktor pendorong/penguat
(rainforcing factor)
1. Dukungan
keluarga
2. Dukungan tenaga
kesehatan
3. Pengambil
keputusan
Lingkungan
Kesehatan anak
Peningkatan kualitas
hidup anak