BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak...
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Forgiveness
1. Pengertian Forgiveness
McCullough dkk (1997) mendefinisikan memaafkan (forgiveness)
adalah suatu bentuk perubahan motivasional, berkurangnya atau menurunnya
motivasi untuk membalas dendam dan motivasi untuk menghindari orang yang
telah menyakiti, yang cenderung mencegah seseorang merespon secara
destruktif dalam interaksi sosial dan mendorong orang untuk menunjukkan
perilaku yang konstruktif terhadap orang yang telah menyakitinya. Menurut
Wardhati dan Faturochman (2006) forgiveness adalah upaya untuk membuang
keinginan membalas dendam dan sakit hati terhadap pihak yang bersalah atau
orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan
kembali secara lebih baik.
Enright (Nashori, 2011) mendefinisikan forgiveness adalah kesediaan
seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku
acuh tidak acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya dengan tidak
menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan menumbuhkan rasa kasihan,
iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.
16
Batasan usia remaja menurut Papalia (2008), batasan remaja di bagi menjadi
dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung
kira-kira dari 11 tahun atau 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja akhir
berlangsung kira-kira 15 tahun sampai 20 tahun. Papalia, Olds, dan Feldman (2008)
berpendapat Subjek Penelitian bahwa pada rentang usia 17-21 tahun, individu
banyak berinteraksi dengan individu lain, sehingga terdapat kemungkinan yang
lebih besar bagi remaja akhir untuk mengalami konflik. Berdasarkan penelitian Arif
(Kusprayogi & Nashori, 2016) konflik interpersonal remaja adalah konflik yang
sering dialami remaja dengan teman bermainnya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness
adalah suatu bentuk perubahan motivasional, berkurangnya atau menurunnya
motivasi untuk membalas dendam dan motivasi untuk menghindari orang yang
telah menyakiti, yang cenderung mencegah seseorang merespon secara destruktif
dalam interaksi sosial dan mendorong orang untuk menunjukkan perilaku yang
konstruktif terhadap orang yang telah menyakitinya.
2. Dimensi-dimensi forgiveness
Menurut McCullough, Root dan Cohen (2006) dimensi forgiveness terbagi
menjadi 3, yaitu:
a. Motivasi membalas dendam (revenge motivation)
Revenge motivation merupakan suatu keinginan seseorang untuk tidak
membalas perbuatan orang yang telah menyakiti (transgressor) yang ditandai
dengan penurunan motivasi untuk membalas dendam atau melihat-lihat bahaya
17
atau konsekuensi yang akan diterima oleh transgressor. Artinya, korban akan
membuang keinginannya untuk membalas perbuatan yang telah dilakukan oleh
transgressor. Korban akan berusaha meminimalisir rasa marah untuk membalas
dendam kepada orang yang telah menyakitinya.
b. Motivasi menghindar (avoidance motivation)
Avoidance motivation merupakan suatu keinginan seseorang untuk tidak
menghindari orang yang telah menyakiti (transgressor) yang ditandai dengan
penurunan motivasi untuk menghindari kontak pribadi dan psikologis dengan
transgressor. Korban akan membuang keinginannya untuk menjaga jarak
dengan orang yang telah menyakitinya (transgressor). Jadi, korban tidak
menghindar ataupun menjauhi transgressor, korban akan tetap berusaha
menjaga hubungan dengan transgressor.
c. Motivasi mendekat (benevolence motivation)
Benevolence Motivation merupakan suatu keinginan seseorang
untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang yang telah menyakiti
(transgressor), yang ditandai dengan peningkatan motivasi untuk berbuat
kebajikan dengan transgressor. Walaupun seseorang merasa menjadi korban,
akan tetapi korban tetap memiliki keinginan untuk berbuat kebajikan kepada
transgressor. Korban yang berada dalam situasi ini akan tetap memiliki
keinginan untuk menjaga hubungan baik dengan transgressor.
18
Sedangkan menurut Baumeister, Exline, dan Somer (Setiyana, 2013) dimensi
forgiveness dapat saling berinteraksi dan menghasilkan beberapa kombinasi
forgiveness, antara lain;
a. Hollow Forgiveness
Kombinasi ini terjadi saat orang yang disakiti dapat mengekspresikan
pemaafan secara konkret melalui perilaku, namun orang yang disakiti belum
dapat merasakan dan menghayati adanya pemaafan didalam dirinya. orang
yang disakiti masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah
mengatakan kepada pelaku “saya memafkan kamu”. AlMabuk, Enright, Cardis
Baumeister, Exline dan Sommer (1998) mengatakan bahwa dimulainya proses
intrapsikis dari pemaafan ditandai dengan adanya komitmen dalam diri orang
yang disakiti untuk memafkan. Saat komitmen telah dimiliki, orang yang
disakiti dapat mengekpresikannya dengan baik kepada pelaku.
b. Silent Forgiveness
Kombinasi ini kebalikan dari kombinasi pertama. Dalam kombinasi ini
intrapsychic forgiveness dirasakan, namun tidak diekspresikannya melalui
perbuatan dalam hubungan interpersonal, no interpersonal forgiveness. Orang
yang disakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam, benci kepada
pelaku namun tidak mengespresikannya. Orang yang disakiti membiarkan
pelaku terus merasa bersalah dan terus bertindak seakan-akan pelaku tetap
bersalah.
19
c. Total Forgiveness
Dalam kombinasi ini orang yang disakiti menghilangkan perasaan
kecewa, benci atau marah terhadap pelaku tentang pelanggaran yang terjadi.
Kemudian, hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku kembali secara
total seperti keadaan sebelumnya pelanggaran atau peristiwa yang menyakitkan
orang yang disakiti terjadi (Baumeister, Exline dan Sommer, 1998)
d. No Forgiveness
Dalam kombinasi ini, Intrapsychic dan Interpersonal Forgiveness tidak
terjadi pada orang yang disakiti. Baumeister, Exline dan Sommer (1998)
menyebut kondisi ini sebagai total grudge combination.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi
forgiveness menurut McCullough, Root dan Cohen (2006) meliputi motivasi
membalas dendam (revenge motivation), motivasi menghindar (avoidance
motivation), dan motivasi mendekat (benevolence motivation). Sedangkan menurut
Baumeister, Exline, dan Somer (1998) dimensi forgiveness terbagi menjadi empat
yaitu hollow forgiveness, silent forgiveness, total forgiveness dan no forgiveness.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh
McCullough, Root dan Cohen (2006). Dimensi tersebut yaitu motivasi membalas
dendam (revenge motivation), motivasi menghindar (avoidance motivation), dan
motivasi mendekat (benevolence motivation). Pemilihan ini didasarkan karena
McCullough telah mengembangkan alat ukur forgiveness yaitu TRIM-18 yang
disusun berdasarkan ketiga dimensi antara lain yaitu motivasi membalas dendam
20
(revenge motivation), motivasi menghindar (avoidance motivation), dan motivasi
mendekat (benevolence motivation).
3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Forgiveness
Wardhati dan Faturochman (2006) menyatakan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi forgiveness, yaitu:
a. Karakteristik kepribadian
Kepribadian sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi forgiveness
(McCollough dkk dalam Sari, 2012). Karakteristik kepribadian merupakan
faktor internal yang dimiliki setiap individu (Nashori dalam Sumiati &
Sandjaja, 2013). Kepribadian merupakan sifat dan tingkah laku khas seseorang
yang membedakannya dengan orang lain (Setiyana, 2013).
McCullough dkk (1998) menyatakan bahwa kepribadian individu yang
ekstrovert akan lebih mudah memaafkan karena individu berkepribadian
ekstrovert menunjukkan karakter seperti berjiwa sosial, terbuka, asertif, hangat
kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri, jujur, sopan, fleksibel, empatik,
dan bersahabat. Sedangkan kepribadian introvert menunjukkan kecenderungan
seseorang bersikap tertutup, tidak asertif, suka menyembunyikan perasaan,
cenderung terbenam dalam sensasi jiwanya sendiri, serta memandang dunia
sebagai sesuatu yang tidak menarik.
b. Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan
atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya
dengan pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti,
21
seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah
dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah beberapa
penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses pemaafan
(McCullough dkk, 1997, 1998, 2003; Zechmeister dan Romero, 2002;
Macaskil dkk., 2002; Takaku, 2001). Empati juga menjelaskan variabel sosial
psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf
(apologies) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada
pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan
kemudian termotivasi untuk memaafkannya.
c. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya
Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa
setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku
individu (termasuk pemaafan) di masa mendatang. Dibandingkan dengan
orang yang tidak memaafkan pelaku, orang yang memaafkan cenderung
menilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang
diperbuatnya cukup adekuat dan jujur (A1-Mabuk dkk., 1998). Pemaaf pada
umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak
bermaksud menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang
menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini
memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan memunculkan
pemberian maaf terhadap pelaku (Takaku, 2001).
22
d. Tingkat kelukaan
Beberapa orang menyangkal sakit hati yang mereka rasakan untuk
mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Kadang-kadang rasa
sakit membuat mereka takut seperti orang yang dikhianati dan diperlakukan
secara kejam. Mereka merasa takut mengakui sakit hatinya karena dapat
mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun
melukai. Mereka pun menggunakan berbagai cara untuk menyangkal rasa sakit
hati mereka. Pada sisi lain, banyak orang yang merasa sakit hati ketika
mendapatkan bukti bahwa hubungan interpersonal yang mereka kira akan
bertahan lama ternyata hanya bersifat sementara. Hal ini sering kali
menimbulkan kesedihan yang mendalam. Ketika hal ini terjadi, maka
pemaafan tidak bisa atau sulit terwujudkan (Smedes, 1984).
e. Kualitas hubungan
Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh
komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa kualitas
hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan
interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya
mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, dalam
hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menjalin hubungan di
antara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu
orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas hubungan
mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang
23
terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka
(McCullough dkk., 1998).
Setiyana (2013) menjelaskan bahwa terdapat lima faktor penentu
(determinan) forgiveness, antara lain:
a. Social-cognitive
Merupakan suatu proses yang melibatkan persepsi, evaluasi, dan
mengkategorikan orang lain (Dayakisni & Hudaniah, 2009). Variasi dari
variabel sosial-kognitif diasosiasikan dengan hubungan spesifik pemaafan.
Perasaan empati terhadap orang yang bersalah menjadi penting sekali pada
aspek sosial-kognitif (McCullough, et al., 1998). Empati merupakan
kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang
lain, kemampuan empati erat kaitannya dengan pengambilan peran (Dayakisni
& Hudaniah, 2009).
b. Tingkat kelukaan atau serangan
Persepsi tentang keparahan luka (serangan) dan akibat dari luka itu sendiri
pada sebuah hubungan akan sangat mempengaruhi pemaafan, luka (serangan)
yang lebih dalam akan menjadi lebih sulit dimaafkan (Dayakisni & Hudaniah,
2009). Di sisi lain, jika pelaku meminta maaf atas kesalahannya maka ini akan
menjadi pertimbangan tersendiri bagi sang korban.
c. Hubungan interpersonal
Hubungan antar individu yang berinteraksi satu sama lain, dalam hal ini
terdapat kedekatan, kepuasan, dan komitmen. Menurut Rusbult dan Lange
24
terdapat empat hubungan analisis keadaan saling tergantung dari pertolongan
dan kesediaan untuk berkorban (McCullough, et al., 1998). Pertama, pasangan
dalam sebuah hubungan akan lebih bersedia memaafkan karena mereka
memiliki motivasi lebih tinggi untuk memelihara hubungan yang telah mereka
jalin dengan sungguh-sungguh. Kedua, pasangan dengan kualitas hubungan
tinggi memiliki orientasi jangka panjang pada kekuatan motivasi mereka untuk
melupakan luka agar memaksimalkan kemungkinan menjaga hubungan.
Ketiga, hubungan kualitas tinggi tertarik pada diri sendiri dan pasangan yang
mungkin akan bergabung. Keempat, kualitas hubungan barang kali akan
menghasilkan sebuah orientasi bersama bahwa mempertimbangkan sebuah
kesediaan bertindak berdasarkan cara tertentu agar dapat bermanfaat bagi
pasangan, tetap jika mereka melibatkan beberapa kerugian untuk dirinya.
d. Kepribadian
Sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan
orang lain. Kepribadian ekstrovert menunjukkan karakter seperti berjiwa
sosial, terbuka, asertif, hangat kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri,
jujur, sopan, fleksibel, empatik, dan bersahabat. Sedangkan kepribadian
introvert menunjukkan kecenderungan seseorang bersikap tertutup, tidak
asertif, suka menyembunyikan perasaan, cenderung terbenam dalam sensasi
jiwanya sendiri, serta memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak menarik
(Alwisol, 2009). Kepribadian ekstrovert dan introvert akan cenderung
mempengengaruhi seseorang untuk melakukan forgiveness.
25
e. Religiusitas
Penelitian Nashori, et al. (2011) juga diungkapkan bahwa terdapat
faktor lain dalam forgiveness yaitu religiusitas, semua ajaran agama
memandang bahwa salah satu dari sekian banyak karakter manusia yang mulia,
terpuji, dan memiliki pengaruh besar dalam kualitas kehidupan mereka adalah
sifat “pemaaf”. Ini merupakan salah satu sifat yang sangat mulia baik dalam
kacamata agama maupun norma masyarakat (Jamal & Thoif, 2009). Sehingga
agama memberikan pesan moral kepada umatnya agar ia dapat memaafkan
orang lain, sebagaimana Tuhan yang dapat mengampuni semua dosa hamba-
Nya ketika mereka bertaubat dengan sungguh-sungguh. Dalam penelitian
Webb, Chickering, Colburn, Heisler, dan Call (2005) ditemukan bahwa
religiusitas berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memaafkan.
Penelitian tersebut berfokus pada kemampuan forgiveness dan keyakinan
beragama. Indikasi hasil bahwa kecondongan forgiveness memiliki korelasi
positif dengan motivasi intrinsik. Forgiveness juga berkorelasi positif untuk
mencintai Tuhan dengan agama sebagai model problem solving yang
melibatkan keberpasangan dengan Tuhan atau menghormati Tuhan. Pada
penelitian tersebut terlihat bahwa manusia memaafkan tidak hanya untuk
memperbaiki hubungan interpersonal tetapi juga memperbaiki hubungan
dengan Tuhan.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi forgiveness meliputi karakteristik kepribadian,
empati, atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya, tingkat kelukaan, kualitas
26
hubungan, sosial kognitif, hubungan interpersonal dan religiusitas. Pada
penelitian ini peneliti memilih karakteristik kepribadian sebagai variabel bebas
karena kepribadian merupakan sifat dan tingkah laku khas seseorang yang
membedakannya dengan orang lain (Setiyana, 2013). Selain itu peneliti ingin
mengetahui salah satu karakteristik kepribadian yang lebih dekat dengan
forgiveness.
B. Karakteristik Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Allport (Alwisol, 2004) mendefinisikan kepribadian yaitu sebagai susunan
sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri individu, yang menentukan
penyesuaian yang unik terhadap lingkungan. Sistem psikofisik yang dimaksud
Allport meliputi kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional, perasaan
dan motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik anak secara
umum. Kepribadian adalah kehidupan seseorang secara keseluruhan, individual,
unik, usaha mencapai tujuan, kemampuannya bertahan dan membuka diri,
kemampuan memperoleh pengalaman (Stren dalam Alwisol, 2004).
Menurut Guilford (Alwisol, 2004) kepribadian adalah pola trait-trait unik
dari seseorang. Pervin (Alwisol, 2004) kepribadian adalah seluruh karakteristik
seseorang atau sifat umum banyak orang mengakibatkan pola yang menetap
dalam merespon suatu situasi. Lebih lanjut Maddy dan Burt (Alwisol, 2004)
berpendapat bahwa kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan
27
kecenderungan yang stabil, yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkah
laku psikologik (berfikir, merasa, dan gerakan) dari seseorang dalam waktu yang
panjang dan tidak dapat dipahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan
sosial dan tekanan biologik saat itu. Kepribadian dapat diartikan sebagai pola
khas dari fikiran, perasaan, dan tingkah laku yang membedakan orang satu
dengan yang lain dan tidak berubah lintas waktu dan situasi (Phares dalam
Alwisol, 2004).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian
adalah sifat, tingkah laku dan karakteristik yang khas yang dapat membedakan
individu dengan individu lainnya.
2. Tipe Kepribadian
Terdapat beberapa tipe kepribadian antara lain; (a) tipe kepribadian
berdasarkan struktur tubuh manusia yang dikemukakan oleh Sheldon
(Suryabrata, 2015) bahwa tipe pokok dari jasmani manusia yaitu endomorph,
mesomorph, dan ectomorph; (b) tipe kepribadian berdasarkan temperamen
menurut Kant (Suryabrata, 2015) terbagi menjadi tiga yaitu sanguinis,
melancholis, choleris, dan phlegmatic; (c) tipe kepribadian introvert dan
ekstravert yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dan Hans J.Eysenck
(Alwisol, 2004).
Terdapat teori yang mengemukakan adanya lima bentuk tipe kepribadian
yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa yang dikenal dengan big five
personality (Timothy dalam Ghufron & Risnawati, 2014). Dalam teori tersebut
terdapat lima tipe kepribadian yang mendasari perilaku individu.
28
Pemilihan ini karena Big Five menggunakan pendekatan teoritis yang
mengacu pada lima faktor kepribadian yang terdiri dari extraversion,
neuroticism, openness to experience,agreeableness, conscientiousness. Diantara
kelima faktor tersebut, manusia cenderung memiliki salah satu faktor
kepribadian sebagai faktor yang dominan.
3. Kepribadian Big Five
Caprara dan Cervone (2000) menyatakan bahwa kepribadian big five adalah
teori kepribadian yang menjelaskan hubungan antara kognisi, affect dan
tindakan. Feist dan Feist (2017) menyatakan bahwa big five adalah salah satu
kepribadian yang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku. McCrae dan
Costa (Pervin, 2010) menyatakan bahwa tipe-tipe dari kepribadian big five
adalah:
a. Extraversion
Extraversion merupakan tipe yang penting dalam kepribadian,
dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial.
Seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat
semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan
dengan seseorang dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam
berinteraksi mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan
keintiman. Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki
antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik,
tertarik dengan banyak hal, ambisius, juga ramah terhadap orang lain
memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan
29
dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Extraversion dapat
memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang yang memiliki
tingkat extrversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman dari pada
seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang rendah. Extraversion
mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan
mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan extraversion yang rendah
cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya. Facet-facet
yang terdapat dalam extravertion menurut Pervin, dkk., (2005) sebagai
berikut:
1) Warmth (E1) merupakan kecenderungan untuk bergaul dan membagi
kasih sayang.
2) Gregariousness (E2) merupakan kecenderungan individu untuk banyak
berteman dan berinteraksi dengan banyak orang.
3) Assertiveness (E3) merupakan kecenderungan individu untuk bersikap
tegas.
4) Activity Level (E4) merupakan kecenderungan individu untuk aktif
mengikuti berbagai kegiatan, memiliki energi dan semangat yang tinggi.
5) Excitement-seeking (E5) merupakan kecenderungan individu untuk
mencari sensasi dan berani mengambil resiko.
6) Positive Emotion (E6) merupakan kecenderungan individu untuk
mengalami emosi-emosi yang positif seperti bahagia, cinta dan
kegembiraan.
30
b. Neuroticism
Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah emosi
yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional
mereka labil, mereka juga merubah perhatian menjadi sesuatu yang
berlawanan. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah
cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup, dibandingkan
dengan seseorang yang memiliki neuroticism yang tinggi. Selain itu juga
memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka
juga memiliki tingkat self esteem yang rendah, kepribadian yang mudah
mengalami kecemasan, rasa marah, depresi dan cenderung memiliki
kecenderungan emotionally reaktif. facet dalam trait ini yang disebutkan
oleh Pervin, dkk., (2005) yaitu:
1) Anxiety (N1) merupakan kecenderungan untuk gelisah, penuh ketakutan,
merasa khawatir, gugup dan tegang.
2) Angry Hostility (N2) merupakan kecenderungan untuk mengalami
amarah, frustasi dan penuh kebencian.
3) Depression (N3) merupakan kecenderungan individu untuk mengalami
depresi.
4) Self-consciousness (N4) merupakan kecenderungan individu untuk
menunjukkan emosi malu, merasa tidak nyaman diantara orang lain,
sensitif dan rendah diri.
31
5) Impulsiveness (N5) menunjukkan ketidakmampuan individu dalam
mengontrol keinginannya yang berlebihan atau dorongan untuk
melakukan sesuatu.
6) Vulnerability (N6) menunjukkan ketidakmampuan individu dalam
menghadapi stress, kecenderungan untuk bergantung kepada orang lain,
mudah menyerah dan panik.
c. Openness to Experience.
Openness to experience yaitu proaktif dan menghargai pengalaman
karena keinginannya sendiri, toleran dan melakukan eksplorasi terhadap
sesuatu yang belum dikenal. Mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas
menyerap informasi, menjadi sangat fokus, dan mampu untuk waspada pada
berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan openness
to experience yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki
imajinasi dan kehidupan yang indah. Sedangkan seseorang yang memiliki
tingkat openness to experience yang rendah memiliki nilai kebersihan,
kepatuhan dan keamanan bersama, juga menggambarkan pribadi yang
mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya
perubahan. Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi.
Pencapaian kreativitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat
openness to experience yang tinggi. Juga memiliki rasa ingin tahu, kreatif,
terbuka terhadap pengalaman, lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk
suatu masalah. Facet-facet dalam trait openness to experience yang
disebutkan oleh Pervin, dkk., (2005), yaitu:
32
1) Fantasy (O1) merupakan kecenderungan individu yang memiliki tingkat
imajinasi tinggi dan aktif.
2) Aesthetic (O2) merupakan kecenderungan individu yang memiliki
apresiasi tinggi terhadap seni dan keindahan.
3) Feelings (O3) merupakan kecenderungan individu untuk menyadari dan
menyelami emosi serta perasaannya sendiri.
4) Action (O4) merupakan kecenderungan individu untuk mencoba hal-hal
baru.
5) Ideals (O5) merupakan kecenderungan individu untuk berpikir terbuka dan
mau menyadari ide baru serta tidak konvensional.
6) Values (O6) merupakan kesiapan seseorang untuk menguji ulang nilai-nilai
sosial, politik dan agama.
d. Agreeableness
Dapat disebut juga sosial adaptability yang mengidentifikasikan
seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah,
menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang
lain. Individu yang berada pada skor agreeableness yang tinggi
digambarkan sebagai seseorang yang suka membantu, forgiving, dan
penyayang. Namun ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan
interpersonal, orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika
berhadapan dengan konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun.
Selain itu menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan
sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan
33
salah satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat agreeableness yang
tinggi. Sedangkan orang dengan tingkat agreeableness yang rendah
cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif. Facet-facet yang
terdapat dalam agreeableness menurut Pervin, dkk., (2005) yaitu:
1) Trust (A1) merupakan kecenderungan individu untuk mempercayai orang
lain.
2) Straight for wardness (A2) merupakan kecenderungan individu untuk
berterus terang dan sungguh-sungguh dalam menyatakan sesuatu.
3) Altruism (A3) merupakan kecenderungan individu yang murah hati dan
memiliki keinginan yang besar untuk membantu orang lain.
4) Compliance (A4) merupakan kecenderungan individu dalam merespon
adanya suatu konflik interpersonal.
5) Modesty (A5) merupakan kecenderungan individu untuk tampil
sederhana dan rendah hati.
6) Tender-mindedness (A6) merupakan kecenderungan individu untuk
simpati dan peduli terhadap orang lain.
e. Conscientiousness
Conscientiousness disebut juga impulsive control yang menggambarkan
perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Individu yang
conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi, yang biasanya
digambarkan sebagai orang yang tepat waktu dan ambisius.
Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial,
berfikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan
34
norma, terencana, terorganisir dan memprioritaskan tugas. Disisi negatif
menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholik, membosankan. Tingkat
conscientiousness yang rendah menunjukkan sikap ceroboh, tidak terarah,
serta mudah teralih perhatiannya. Facet-facet yang terdapat dalam
conscientiousness menurut Pervin, dkk., (2005) sebagai berikut:
1) Competence (C1) merupakan kesanggupan, keefektifan dan kebijaksanaan
individu dalam melakukan sesuatu.
2) Order (C2) merupakan kemampuan individu dalam mengorganisasi.
3) Dutifulness (C3) merupakan kecenderungan individu dalam memegang
erat prinsip hidupnya.
4) Achievement-striving (C4) merupakan orientasi individu dalam mencapai
prestasi.
5) Self-discipline (C5) merupakan kecenderungan individu dalam mengatur
dirinya sendiri.
6) Deliberation (C6) merupakan kecenderungan individu untuk berpikir
terlebih dahulu sebelum bertindak.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tipe-tipe dalam kepribadian big five
adalah extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness,
conscientiousness. Dalam penelitian ini, tipe-tipe yang akan digunakan sebagai
indikator penyusunan alat ukur adalah tipe yang dikemukakan oleh McCrae dan
Costa (Pervin, 2010), yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience,
agreeableness, dan conscientiousness. Peneliti mudah memahami tipe yang
35
dijelaskan oleh McCrae dan Costa, hal ini menjadi alasan peneliti untuk memilih tipe
tersebut.
C. Hubungan Antara Karakteristik Kepribadian dengan Forgiveness pada
Remaja Akhir
Tipe-tipe dalam kepribadian big five adalah extraversion, neuroticism,
openness to experience, agreeableness, conscientiousness. Extraversion ini dapat
memprediksi banyak tingkah laku sosial. Seseorang yang memiliki faktor
extraversion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan
lebih banyak orang dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extraversion
yang rendah. Dalam berinteraksi mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol
dan keintiman.
Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang
tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan
banyak hal, ambisius, juga ramah terhadap orang lain memiliki tingkat motivasi
yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan
dalam lingkungannya. Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari
hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat
lebih cepat berteman dari pada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang
rendah. Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup,
tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan extraversion yang
rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya.
Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang
36
yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman.
Individu dengan karakter extraversion menunjukkan berkurangnya keinginan untuk
membalas dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap menjaga
hubungan yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Dengan kata lain,
karakteristik extraversion ini mendorong individu untuk lebih mudah memaafkan
karena individu dengan kepribadian ekstravert lebih bersifat terbuka sehingga
cenderung tidak ada yang dirahasiakan, mudah bergaul dan senang bersosialisasi
dengan orang lain (Jung dalam Suryabrata, 2002).
Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah emosi
yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka
labil, mereka juga merubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang
yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan
puas terhadap hidup, dibandingkan dengan seseorang yang memiliki neuroticism
yang tinggi. Selain itu juga memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan
berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self esteem yang rendah, kepribadian
yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi dan cenderung memiliki
kecenderungan emotionally reaktif. Maltby dkk (2008) mengungkapkan bahwa
individu dengan karakter neuroticism menunjukkan keinginan untuk membalas
dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti hingga dua tahun setelah konflik
terjadi. Sehingga individu yang neuroticism sulit dalam memaafkan.
Openness to experience yaitu proaktif dan menghargai pengalaman karena
keinginannya sendiri, toleran dan melakukan eksplorasi terhadap sesuatu yang
belum dikenal. Mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas menyerap informasi,
37
menjadi sangat fokus, dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan,
pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan openness to experience yang tinggi
digambarkan sebagai seseorang yang memiliki imajinasi dan kehidupan yang
indah. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness to experience yang
rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan dan keamanan bersama, juga
menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan
tidak menyukai adanya perubahan.
Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi.
Pencapaian kreativitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat openness to
experience yang tinggi. Juga memiliki rasa ingin tahu, kreatif, terbuka terhadap
pengalaman, lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu masalah. Individu
dengan karakter openness to experience menunjukkan berkurangnya keinginan
untuk membalas dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap
menjaga hubungan yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Dengan
demikian, individu dengan karakter openness to experience akan lebih mudah
memaafkan karena mereka mampu untuk waspada pada berbagai perasaan,
pemikiran dan impulsivitas, mudah bertoleransi serta lebih mudah untuk
mendapatkan solusi untuk suatu masalah.
Agreeableness dicirikan dengan seseorang yang ramah, memiliki
kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki
kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Individu yang memiliki agreeableness
yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang suka membantu, forgiving, dan
penyayang. Ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal, orang
38
yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika berhadapan dengan
konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun.
Selain itu menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan
sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah satu
ciri dari seseorang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi. Individu
dengan karakter agreeableness menunjukkan berkurangnya keinginan untuk
membalas dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap menjaga
hubungan yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Penelitian McCullough
(2001) menunjukkan individu yang memiliki kepribadian agreeableness
merupakan individu yang sangat menyenangkan, cenderung untuk berkembang di
dunia interpersonal, memiliki rasa dendam yang rendah terhadap orang yang
menyakiti, terhindar dari terjadinya konflik dengan individu lain dan sangat mudah
untuk memaafkan kesalahan orang lain.
Conscientiousness disebut juga impulsive control yang menggambarkan
perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Individu yang
conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi, yang biasanya
digambarkan sebagai orang yang tepat waktu dan ambisius. Conscientiousness
mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berfikir sebelum bertindak,
menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir dan
memprioritaskan tugas. Disisi negatif menjadi sangat perfeksionis, kompulsif,
workaholik, membosankan. Tingkat conscientiousness yang rendah menunjukkan
sikap ceroboh, tidak terarah, serta mudah teralih perhatiannya. Individu dengan
karakter conscientiousness menunjukkan berkurangnya keinginan untuk membalas
39
dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap menjaga hubungan
yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Individu yang memiliki kepribadian
conscientiousness lebih mudah memaafkan karena memiliki kontrol diri terhadap
lingkungan sosial dan berfikir sebelum bertindak.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritik diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Ada korelasi positif antara extraversion dengan forgiveness pada remaja akhir.
Semakin tinggi extraversion menunjukkan forgiveness yang tinggi pada remaja
akhir. Begitu pula semakin rendah extraversion menunjukkan forgiveness yang
rendah pada remaja akhir.
2. Ada korelasi negatif antara neuroticism dengan forgiveness pada remaja akhir.
Semakin tinggi neuroticism menunjukkan forgiveness yang rendah pada remaja
akhir. Begitu pula semakin rendah neuroticism menunjukkan forgiveness yang
tinggi pada remaja akhir.
3. Ada korelasi positif antara openness to experience dengan forgiveness pada
remaja akhir. Semakin tinggi openness to experience menunjukkan forgiveness
yang tinggi pada remaja akhir. Begitu pula semakin rendah openness to
experience menunjukkan forgiveness yang rendah pada remaja akhir.
4. Ada korelasi positif antara agreebleness dengan forgiveness pada remaja akhir.
Semakin tinggi agreebleness menunjukkan forgiveness yang tinggi pada remaja
40
akhir. Begitu pula semakin rendah agreebleness menunjukkan forgiveness yang
rendah pada remaja akhir.
5. Ada korelasi positif antara conscientiouness dengan forgiveness pada remaja
akhir. Semakin tinggi conscientiouness menunjukkan forgiveness yang tinggi
pada remaja akhir. Begitu pula semakin rendah conscientiouness menunjukkan
forgiveness yang rendah pada remaja akhir.