BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Waris Menurut …repository.untag-sby.ac.id/1537/3/Bab II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Waris Menurut …repository.untag-sby.ac.id/1537/3/Bab II.pdf ·...
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Waris Menurut KUHPerdata Secara Umum
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian campuran antara hukum kekeluargaan dan
hukum harta kekayaan/kebendaan. Hukum waris sangat erat kaitanya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami
peristiwa kematian. Akibat hukum yang timbul selanjutnya dengan adanya
peristiwa hukum berupa kematian seseorang diantaranya ialah masalah
bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal seseorang diatur oleh hukum
waris.
Pengertian hukum waris itu sendiri sampai saat ini belum ada
keseragaman diantara para ahli hukum. Menurut Pitlo, hukum waris adalah
kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena
wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan
oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.21
Hampir mirip dengan
definisi tersebut Hartono Surjopratignjo mendefinisikan ”Hukum Waris adalah
21
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, Jilid 1, PT
Intermasa, Jakarta, 1986, h.1.
20
keseluruhan peraturan dengan mana pembuat undang-undang mengatur akibat
hukum dari meninggalnya seseorang, terhadap harta kekayaannya:
perpindahannya kepada ahli waris dan hubungannya dengan fihak
ketiga.”22
Sedangkan Wiryono Prodjodikoro sebagaimana disitir oleh Mudofir
Hadi tidak pernah memberikan definisi tentang hukum waris, namun hanya
memberikan definisi tentang warisan, yaitu soal apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.23
Demikian pula
dengan J.G Klassen dan J.E. Eggens, mereka memberikan pengertian tentang
pewarisan yaitu menggantikan tempat orang yang meninggal dalam hubungan-
hubungan hukum kekayaannya.24
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat Pasal-
Pasal tertentu yang memberikan pengertian tentang apa yang sebenarnya
dimaksud dengan hukum waris. Kita hanya dapat memahami sebagaimana
dikatakan didalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyebutkan bahwa “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Sehingga dengan demikian peristiwa hukum warisan (pewarisan)
mensyaratkan adanya orang yang mati (pewaris), ada orang yang mewarisi
(ahli waris) dan adanya harta kekayaan (warisan) yang ditinggalkan.
1. Prinsip-prinsip Pewarisan
22
Hartono Soerjopratignjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1982, h.1. 23
Mudofir Hadi, Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW), Jilid
1, Yayasan Pencinta Ilmu Pengetahuan Hukum, Malang, 1983, h.3. 24
J.G. Klassen dan J.E. Eggens, Hukum Waris bagian 1 ( yang disadur dari Huwelijks-
Goederen en Erfrecht, ESA Study Club, Jakarta, 1979, h.1.
21
Pada umumnya para penulis hukum sependapat bahwa "hukum
waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau
proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para
ahli warisnya".Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang
kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena
kematian. Peralihan harta kekayaan yang meliputi segala hak dan
kewajiban terjadi pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini
secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1) KUHP, yaitu “sekalian
ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas
segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”.
a. Persyaratan Pewarisan
Dari definisi-definisi yang diberikan oleh para ahli hukum
tersebut di atas dapatlah disimpulkan secara sederhana bahwa terdapat
tiga persyaratan bagi terjadinya suatu pewarisan, yaitu :
1) ada seseorang yang meninggal dunia yang disebut Pewaris;
2) ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan
memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
1) Ada seseorang yang meninggal dunia yang disebut Pewaris
Menurut pasal 830 KUHPerdata pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. Jadi baru ada persoalan warisan bila
ada seseorang yang meninggal dunia.
Pengertian kematian disini bukan hanya kematian menurut
kenyataan saja, melainkan juga bisa berarti kematian berdasarkan
22
dugaan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 468
KUHPerdata sebagai kelanjutan dari keadaan tidak hadirnya
seseorang (afwezigheid). Pengadilan atas permohonan keluarga
atau pihak lain yang berkepentingan dapat menetapkan dugaan
hukum seseorang telah meninggal dunia apabila ia telah
meninggalkan tempat tinggalnya tanpa meninggalkan wakil/kuasa
untuk mengurus harta kekayaannya selama tenggang waktu 5 tahun
berturut-turut, dengan melalui prosedure pemanggilan melalui
iklan di surat kabar sebanyak 3 kali pemanggilan masing-masing
dengan tenggang waktu 3 bulan untuk setiap pemanggilan serta
mengumumkan isi penetapan itu di surat kabar yang sama dengan
surat kabar dimana pemanggilan atas orang tersebut diiklankan,
dalam penetapan tersebut disebutkan dengan tegas hari dugaan
kematiannya yaitu hari ketika ia meninggalkan tempat tinggalnya
atau sejak hari diketahuinya kabar terakhir tentang kehidupannya.
Sejak saat itu terbukalah warisan.25
2) Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris
Agar seseorang dapat disebut ahli waris dan menerima
warisan maka ia harus memenuhi syarat yang utama, yaitu ia harus
telah ada (lahir) pada saat warisan tersebut terbuka. Menurut pasal
2 KUHPerdata anak yang masih dalam kandungan seorang ibu
dianggap telah ada dan karenanya akan mendapatkan hak waris
dengan syarat bahwa ia kemudian lahir hidup.
25
Ibid. h.6.
23
3) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris
Dalam hukum waris menurut KUHPerdata berlaku suatu
asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu
juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli
warisnya. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada
ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta
kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang, dengan beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada
juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
- Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
- Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan
bersifat pribadi;
- Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap
menurut KUHPerdata maupun firma menurut KUHDagang,
sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah
seorang anggota/persero;
dan juga terdapat pengecualiaan ada beberapa hak yang walaupun
hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat
diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
- Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
- Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai
anak yang sah dari bapak atau ibunya.
24
Sistem waris KUHPerdata tidak mengenal istilah “harta
asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama
dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam KUHPerdata dari
siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh
dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal
warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam KUHPerdata
tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal
barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan
dalam pasal 849 KUHPerdata yaitu “Undang-undang tidak
memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam
suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”.
b. Hak dan Kewajiban Ahli Waris
Setelah terbukanya warisan ahli waris mempunyai hak atau
diberi hak untuk menentukan sikapnya, antara lain, menerima warisan
secara penuh, menerima dengan hak untuk mengadakan pendaftaran
harta peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak untuk
menolak warisan.
Selain itu terdapat juga Hak-hak khusus ahli waris antara lain :
1) Hak Saisine
Kata saisine berasal dari peribahasa perancis “le mort saisit
le vil”, yang berarti bahwa yang mati dianggap memberikan
miliknya kepada yang masih hidup.Maksudnya ialah bahwa para
ahli waris segera pada saat meninggalnya pewaris, mengambil alih
semua hak dan kewajibannya tanpa adanya suatu tindakan dari
25
mereka, kendatipun mereka tidak mengetahuinya.Hak ini diatur
dalam pasal 833 ayat 1 KUHPerdata “sekalian ahli waris dengan
sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala
barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal”. Hak
saisine pada pewarisan dengan surat wasiat diatur dalam pasal 955
KUHPerdata. Hak saisine ini tidak dipunyai oleh negara, sehinggga
membedakan negara sebagai ahli waris dengan ahli waris lainnya.
Jadi apabila semua ahli waris sudah tidak ada, maka semua
harta warisan akan jatuh kepada negara. Namun dalam hal ini
negara terlebih dahulu harus ada keputusan dari Pengadilan Negeri
(pasal 833 ayat 3 KUH Perdata).
2) Hak Hereditatis Petitio
Hak Hereditatis Petitiodiatur dalam pasal 834 dan 835
KUH Perdata, suatu hak yangdiberikan oleh undang-undang
kepada para ahli waris terhadap mereka, baik yang atas dasar suatu
titel atau tidak menguasai seluruh atau sebagian dari harta
peningggalan seperti juga terhadap mereka yang secara licik telah
menghentikan penguasaan.Sebenarnya hak ini dapat dilihat sebagai
pelengkap daripada hak saisine, karena dengan saisine maka hak-
hak dan kewajiban-kewajiban pewaris berpindah kepada ahli waris,
termasuk hak-hak tuntut yang dipunyai dan mungkin sedang
dijalankan oleh pewaris dan juga yang belum mulai dilaksanakan.
3) Hak untuk Menuntut Pembagian Warisan
26
Hak ini diatur dalam pasal 1066 KUHPerdata bahwa “Tiada
seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan
diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam
keadaan tak terbagi”. Ini berarti, apabila seorang ahli waris
menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan
tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Maka
dapat dikatakan sebagai berikut :
a. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta
peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda
peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi diantara para
ahli waris yang ada;
b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut
walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat
saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;
d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat
selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih
dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 KUHPerdata tentang pemisahan
harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa
sistem hukum waris menurut KUHPerdata memiliki ciri khas yang
berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di
antaranya hukum waris menurut KUHPerdata menghendaki agar
harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi
27
kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak
dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan
seluruh ahli waris.
4) Hak untuk berpikir
Jika dalam point 3 di atas diuraikan hak untuk membagi
warisan yang mana tuntutan itu datangnya dari sesama waris,
sedangkan dalam point ini diuraikan jika terdapat tuntutan atas
harta peninggalan yang berasal dari para kreditur dari si pewaris,
maka undang-undang memberikan hak kepada ahli waris untuk
menyelidiki lebih dulu keadaan harta peninggalan yang
ditinggalkan oleh si pewaris apakah peninggalan tersebut
bermanfaat baginya; dan selama jangka waktu ahli waris lagi
berpikir, ia tidak dapat dituntut untuk menentukan pilihannya
apakah ia akan menerima secara murni, menerima dengan hak
istimewa untuk melakukan pendaftaran (beneficier) atau bahkan
menolak warisan tersebut.26
Menurut pasal 1024 KUHPerdata ahli
waris diberikan hak untuk berpikir selama jangka waktu empat
bulan terhitung sejak tanggal surat pernyataan yang disampaikan
kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat dimana warisan terbuka.
5) Hak Untuk Menerima Warisan
Setiap ahli waris berhak menerima warisan secara murni
atau dengan hak istimewa pendaftaran (beneficier). Penerimaan
26
Bandingkan pasal 1023 jo pasal 1025 KUHPerdata
28
warisan secara murni dapat dilakukan secara tegas maupun secara
diam-diam. Penerimaan secara tegas harus dilakukan dengan suatu
akta otentik atau akta di bawah tangan; sedangkan secara diam-
diam dilakukan apabila ahli waris melakukan suatu perbuatan yang
menunjukkan maksudnya untuk menerima warisan dan perbuatan
tersebut memang hanya dapat dilakukan dalam kedudukannya
sebagai ahli waris.27
Akibat penerimaan warisan secara murni yaitu terhitung
sejak kematian pewaris ia berhak atas aktiva dan menjadi debitur
atas pasiva harta peninggalan. Dan akibat yang lain adalah tidak
mungkin ia menerima warisan dengan hak istimewa pendaftaran
(beneficier) maupun menolak warisan tersebut.
Penerimaan dengan hak istimewa untuk melakukan
pendaftaran mengakibatkan ahli waris tidak diwajibkan membayar
hutang dan beban warisan yang melebihi jumlah nilai dari harta
warisan itu dan harta benda pribadi si ahli waris tidak bercampur
dengan harta benda warisan, dengan kata lain si ahli waris hanya
akan menerima sisa yang menguntungkan dan harta benda
pribadinya tidak dapat dituntut oleh kreditur harta peninggalan.28
Kedua hak ahli waris yaitu hak untuk berpikir dan hak
istimewa untuk mengadakan pendaftaran adalah benar-benar suatu
hak-hak yang istimewa karena hak-hak tersebut tidak dapat
dibatasi atau ditiadakan oleh pewaris, dan setiap ketetapan /
27
Bandingkan pasal 1048 KUHPerdata 28
Bandingkan pasal 1032 KUHPerdata
29
ketentuan dari pewaris yang melarang hak-hak tersebut adalah
batal dan tidak sah.29
6) Hak untuk Menolak Warisan
Hak untuk menolak warisan diatur dalam pasal 1045 jo.
pasal 1051 KUHPerdata. Seorang ahli waris tidak harus menerima
harta warisan yang jatuh kepadanya bahkan apabila ahli waris
tersebut telah meninggal dunia maka ahli warisnyapun dapat
memilih untuk menerima atau menolak warisan.
Sedangkan kewajiban Ahli Waris antara lain, memelihara
keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan itu dibagi,
mencari cara pembagian sesuai ketentuan, melunasi hutang –
hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan
melaksanakan wasiat jika pewaris meninggalkan wasiat.
Menurut ketentuan pasal 874 KUHPerdata, segala harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli
warisnya menurut undang – undang sekedar terhadap itu dengan surat
wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan demikian,
menurut sistem pewarisan KUHPerdata dikenal 2 macam pewarisan yaitu
pewarisan karena/berdasarkan undang-undang (Ab Intestato), dan
pewarisan karena adanya ketetapan dengan surat wasiat (Testamentaire
Erfrecht).
2. Pewarisan Berdasarkan undang-undang (ab intestato)
29
Bandingkan pasal 1043 KUHPerdata
30
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan
kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-
undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya
tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika
ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka
dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal
pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.
Pewarisan berdasarkan/karena undang-undang menetapkan bahwa
yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah baik
yang sah maupun luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.
Dalam pasal 832 KUHPerdata bermateri muatan sebagai berikut :
- Orang-orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengan si pewaris
menurut ketentuan undang-undang tidak dapat menjadi ahli waris;
karenanya tidak mungkin mendapatkan warisan (kecuali kalau
ditetapkan lain dalam surat wasiat);
- Sekalipun suami atau isteri yang hidup terlama bukanlah keluarga
sedarah, tetapi ditetapkan juga sebagai ahli waris dari pasangannya
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu.
Disamping prinsip hubungan/pertalian darah, oleh undang-undang
diatur pula perihal prinsip kepatutan sebagai ahli waris; dalam hal mana
pasal 838 KUHPerdata mengatur bahwa ada orang-orang tertentu
31
walaupun memiliki hubungan/pertalian darah dengan pewaris, namun
dikecualikan dari pewarisan, yaitu :
- mereka yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba
membunuh orang yang meninggal itu;
- mereka yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan
fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris
pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
- mereka yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan
kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali
wasiatnya;
- mereka yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan
wasiat orang yang meninggal itu.
Dalam hal mewarisi menurut undang-undang (ab intestato) kita
dapat membedakan antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofde”
dan mereka yang mewarisi “bij plaatsvervulling.” Seorangdikatakan
mewarisi “uit eigen hoofde” jika ia mendapat warisan itu berdasarkan
kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi “bij
plaatsvervuling” jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu
bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada
orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama
menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu mewarisi “bij
staken,” karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu “staak” atau
cabang. Makin banyak anggota suatu cabang, semakin sedikit bagian
32
masing-masing. Dalam suatu cabang dapat terjadi satu atau beberapa
cabang lagi.
3. Golongan Ahli Waris
Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu pewarisan
berdasarkan pada hubungan/pertalian darah. Siapa yang mempunyai
hubungan darah dengan si pewaris dapat menjadi ahli waris, dan siapa
yang tidak mempunyai hubungan/pertalian darah dengan si pewaris tidak
dapat menjadi ahli waris; maka disini berlakulah prinsip orang yang
mempunyai hubungan darah lebih dekat akan mewaris dan menutup orang
yang mempunyai hubungan darah yang lebih jauh.30
Berdasarkan prinsip ini, maka para ahli waris menurut undang-
undang digolong-golongkan menjadi 4 golongan :
- Golongan I
Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris,
yaitu anak, suami / duda, istri / janda dari si pewaris. Ahli waris
golongan pertama mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli
waris golongan kedua, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan
pertama masih ada, maka ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil.
- Golongan II
Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris,
yaitu, bapak, ibu dan saudara – saudara si pewaris. Ahli waris ini baru
30 Ibid. h.46.
33
tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali
dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat.
Sebelum harta waris dibagikan kepada saudara – saudaranya,
maka harus dikeluarkan lebih dulu untuk orang tua si pewaris, jika
masih hidup. Kemudian sisanya baru dibagi menjadi dua bagian yang
sama. Bagian yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian
yang kedua adalah sebagai bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara
yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari
bagian bagi garis bapak dan bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara
yang hanya sebapak atau seibu dapat bagian dari bagian bagi garis
bapak atau bagi garis ibu saja.
- Golongan III
Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu
kakek, nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini,
ahli waris golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli
waris golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan
menyampingkan ahli waris golongan keempat.
- Golongan IV
Merupakan, sanak keluarga dalam garis ke samping sampai
derajat ke enam dari si pewaris, yaitu paman, bibi.
4. Pewarisan Menurut Testament (Testamentaire Erfrecht)
Dalam pewarisan menurut testament apabila ditinjau dari isi
testament dikenal dua macam waris, yaitu :
34
a. Erfstelling atau Pengangkatan Waris, Pasal 954 KUHPerdata
menentukan bahwa, wasiat pengangkatan waris adalah suatu wasiat
dimana si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan
harta kekayaan yang akan ditinggalkannya apabila ia meninggal dunia
baik seluruhnya maupun sebagian seperti setengahnya, sepertiga. Jika
dihubungkan dengan Pasal 876 KUHPerdata, erfstelling tidak perlu
meliputi seluruh harta warisan, dengan ketentuan sebanding dengan
harta warisan, dan berkedudukan sebagai ahli waris.31
b. Legaat atau Hibah Wasiat, di dalam Pasal 975 KUHPerdata,
menentukan bahwa hibah wasiat adalah penetapan wasiat yang khusus
dimana yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan
beberapa dari barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, misalnya
barang-barang bergerak atau barang-barang tak bergerak, atau hak
pakai atas seluruh atau sebagian dari harta peninggalan.32
Hibah wasiat menurut Pitlo, adalah apa yang didapat oleh penerima
hibah wasiat itu, sedangkan penerima hibah wasiat (legataris) ialah
seseorang tertentu yang berdasarkan ketetapan pewaris dalam suatu wasiat
menerima barang tertentu (zaak/zaken) atau sejumlah benda yang dapat
diganti (vervangbare zaken). Legataris termasuk kategori penerima hak
dengan atau secara hak khusus.
Pengangkatan/penunjukan sebagai ahli waris (erfstelling) berbeda
dengan hibah wasiat, karena dengan legaat kepada seseorang hanya diakui
31
Benjamin Asri dan Thabrani Asri,Dasar-dasar Hukum Waris Barat (Suatu Pembahasan
Teoritis dan Praktek ), Tarsito, Bandung, 1988, h. 136. 32
Ibid. h.138.
35
untuk memperoleh suatu benda atau lebih (zaak/zaken) atau benda jenis
tertentu. Kedudukan seorang legataris adalah sama dengan penagih utang
harta. Sedangkan kedudukan ahli waris (ab intestato dan / atau erfstelling)
bertindak sama sekali sebagai ganti dari pewaris, kepada siapa harta
pewaris akan jatuh dengan segala untung ruginya.
Meijers telah menjelaskan secara mendalam, bahwa legataris
hanya mempunyai hak pribadi, yaitu hak untuk menuntut terhadap ahli
waris, hak untuk melakukan suatu tagihan terhadap harta yang belum
terbagi, dan hak untuk melakukan pemisahan terhadap harta peninggalan
dari pewaris.33
Sedangkan kesamaan antara testament yang berisi hibah wasiat dan
yang berisi erfstelling adalah pelaksanaan dari wasiat tersebut baru
berlangsung atau dapat dilaksanakan setelah pembuat testament (pewaris)
meninggal dunia. Kesamaan kedua adalah tidak ada uraian secara tegas
dalam testament mengenai cara pewarisan ini, apakah wasiat termasuk
legaat atau erftelling, untuk itu tugas dari notarislah yang harus
menafsirkan apakah wasiat yang diberikan kepadanya termasuk jenis
wasiat yang berisi legaat atau wasiat yang berisi erfstelling.34
4. Legitime portie (Bagian Mutlak) dan Testament (wasiat)
Pada umumnya seseorang pewaris dengan suatu surat wasiat boleh
menyimpang dari ketentuan pewarisan menurut undang-undang, tetapi
untuk kepentingan beberapa orang kebebasan itu dibatasi oleh undang-
33
Ibid. h.367. 34
Ibid. h.97.
36
undang; sehingga oleh undang-undang kepada orang-orang tertentu
diberikan apa yang disebut legitime portie atau bagian mutlak, yang tidak
dapat dikurangi oleh pewaris kalau mereka menuntut bagiannya.
a. Tentang Legitime Portie
Sub bab tentang legitime portie ini akan dibagi kedalam sub-
sub bab, yang akan menjelaskan dengan lebih khusus tentang apa saja
yang berhubungan dengan legitime portie.
1) Pengertian Legitime Portie
Pengertian tentang Legitime Portie ini dapat kita temukan
dalam Pasal 913 KUHPerdata : “Bagian Mutlak atau Legitime
Portie, adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus
diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang,
terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan
sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun
selaku wasiat”.
Legitime Portie (atau wettelijk erfdeel), yang secara
harafiah diterjemahkan “bagian warisan menurut undang-undang”,
dikalangan praktisi hukum sejak puluhan tahun dikenal sebagai
“bagian mutlak” (Legitime Portie). Bagian mutlak adalah bagian
dari warisan yang diberikan undang-undang kepada ahli waris
dalam garis lurus ke bawah dan ke atas. Bagian mutlak tidak boleh
ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik
37
dengan hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun
dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling).35
Menurut Pitlo, bagian yang dijamin oleh Undang-Undang
legitime portie/wettlijk erfdel : “Merupakan hak dia/mereka yang
mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya
sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechtelijn)
dan merupakan ahli waris ab intestato saja yang berhak atas bagian
yang dimaksud”.36
Sedangkan legitimaris menurut Pitlo, adalah : “Ahli waris
ab intestato yang dijamin oleh undang-undang bahwa ia akan
menerima suatu bagian minimum dalam harta peninggalan yang
bersangkutan. Baik dengan jalan hibah ataupun secara pemberian
sesudah meninggal (making bij dode), pewaris tidak boleh
mencabut hak legitimaris ini”.
2) Tujuan Adanya Legitime Portie
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur
mengenai apa yang akan terjadi dengan harta peninggalannya
setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai
kebebasan untuk mencabut hak waris dari para ahli warisnya,
karena meskipun ada ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang
yang menentukan siapa-siapa akan mewaris harta peninggalannya
35
Ibid. h.112. 36
Komar Andasasmita, Notaris III, Hukum Harta Perkawinan dan Waris menurut
KUHPerdata, Ikatan Notaris Indonesia, Jawa Barat, 1987, h.143.
38
dan berapa bagian masing-masing, akan tetapi ketentuan-ketentuan
tentang pembagian itu bersifat hukum mengatur (aanvullend recht)
dan bukan hukum memaksa (dwingend recht).
Akan tetapi untuk ahli waris ab intestato (tanpa wasiat)
oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus
diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena
mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si
pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak
pantas apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali. Agar
orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka, maka
Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya
menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang
lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu.
Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian
yang dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris”,
sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu
dinamakan “legitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana
ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime portie” (bagian mutlak)
dan“beschikbaar” (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia
ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh
menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya.
Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal
lembaga legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama
39
dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa
sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa.37
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan
bagian para legitimaris bersama-sama, bilamana seorang
legitimaris menolak (vierwerp) atau tidak patut mewaris
(onwaardig) untuk memperoleh sesuatu dari warisan itu, sehingga
bagiannya menjadi tidak dapat dikuasai (werd niet beschikbaar),
maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris lainnya. Jadi bila
masih terdapat legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu tetap
diperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika para legitimaris
menuntutnya, ini berarti bahwa apabila legitimaris itu sepanjang
tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai “beschikking-
srecht” atas seluruh hartanya.38
3) Ketentuan – Ketentuan Pembatasan Legitime Portie
Di dalam KUHPerdata asas legitime dilakukan secara
hampir konsekwen, di berbagai tempat dapat diketemukan
ungkapan, ungkapan seperti mengingat (behoudens) peraturan-
peraturan yang ditulis untuk legitime. Pewaris hanya dapat
merampas hak ahli waris dengan mengadakan perbuatan-perbuatan
pemilikan harta kekayaan sedemikian rupa sehingga tidak
meninggalkan apa-apa.
37
Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter , Seksi Notariat Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1984, h.109. 38
Komar Andasasmita, Op.Cit., h.308.
40
Meskipun ketentuan mengenai legitime bersifat hukum
pemaksa akan tetapi bukan demi kepentingan umum. Ketentuan itu
ada demi kepentingan legitimaris dan bukan kepentingan umum.
Karena itu legitimaris dapat membiarkan haknya dilanggar, hal
mana sangat erat berhubungan dengan pendapat bahwa
pelanggaran legitime tidak mengakibatkan “nietigheid” (kebatalan
demi hukum) malainkan hanya “eenvoudige vernietigbaareid”
(dapat diminta pembatalannya secara sedehana).39
4) Sifat Hukum Dari Legitime Portie
Biasanya orang menyimpulkan sifat hukum legitime portie
(bagian mutlak) dari sejarah. Pada permulaan abad kesembilan
belas masih terdapat dua sistem, yaitu sistem Romawi dan sistem
Prancis-Jerman. Pembuat undang-undang tahun 1938 menurut
pendapat Hamaker, Ter Braak telah memilih sistem Romawi, tetapi
menurut pendapat Land Meijers yang telah dipilih adalah sistem
Prancis-Jerman. Ciri dari sistem Prancis-Jerman bahwa menurut
sistem ini legitimaris adalah ahli waris bagian mutlak dan karena
itu untuk bagian yang seimbang itu ia adalah berhak atas aktivanya
dan menanggung hutang-hutangnya, sedangkan ciri dari legitime
Romawi ialah bahwa legitimaris tidak dianggap sebagai ahli waris
dari bagiannya melainkan hanya mempunyai hak tagih atas barang-
barang seharga bagian mutlaknya. Sebenarnya mengenai sifat
39
Hartono Soerjopratignjo,…Testamenter, Op.Cit., h.110.
41
hukum dari legitime itu tidak dapat dicari di dalam sejarah
melainkan dari Undang-Undang itu sendiri dan jurisprudensi.
Seluruh sifat hukum dari legitime terkandung didalam dua
peraturan yaitu:
- Legitimaris dapat menuntut pembatalan dari perbuatan-
perbuatan si pewaris yang merugikan bagian mutlak.
- Si pewaris bagaimanapun tidak boleh membuat ketetapan
mengenai bagian mutlak itu.
Akibat yang ditimbulkan apabila ketentuan di dalam
testament melanggar peraturan mengenai bagian mutlak itu, maka
ada tiga kemungkinan untuk menjawab hal diatas yaitu :
- Ketetapan itu adalah batal;
- Ketetapan itu adalah “eenvoudige Vernietigbaarheid ” (dapat
dibatalkan secara sederhana) ;
- Ketetapan itu adalah sah akan tetapi si legitimaris mempunyai
hak tuntut pribadi untuk mendapatkan ganti rugi (restitusi).
Pembuat undang-undang tidak memilih penyelesaian yang
pertama, sebagaimana ternyata dari Pasal 920 KUHPerdata, yaitu
segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup
maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan berkurangnya
bagian mutlak dalam suatu warisan, kelak boleh dilakukan
pengurangan apabila warisan itu terbuka, akan tetapi hanyalah atas
tuntutan para legitimaris dan ahli waris pengganti mereka.40
40
Ibid. hal. 113
42
Undang-undang juga tidak memilih penyelesaian yang
ketiga, sebagaimana ternyata dari Pasal 925 KUHPerdata (menurut
mana benda-benda tidak bergerak harus dikembalikan in natura);
Pasal 928 KUHPerdata (benda-benda tak bergerak harus kembali
kedalam budel bebas dari hutang), selanjutnya dari Pasal 929 dan
926 KUHPerdata (yang mengharuskan agar testament dan hibah
yang merugikan bagian mutlak itu harus dikurangi; dan dari Pasal
924 KUHPerdata (hak legitimaris untuk mengambil kepuasan dari
barang-barang yang telah diberikan dengan kehendak terakhir).
Jadi Undang-Undang ternyata memilih penyelesaian yang
kedua, yaitu “eenvoudige vernietigbaarheid”(dapat dibatalkan
secara sederhana). Maka mengenai barang-barang yang disebut
dalam testament itu tidak pernah ada ketetapan apa-apa, ternyata
dari Pasal 955 KUHPerdata (mereka yang oleh undang-undang
diberi hak mewaris suatu bagian dalam harta peninggalan dengan
sendirinya menurut hukum menggantikan tempat si pewaris
sebagai pemilik barang itu.
5) Legitimaris yang Menolak Legitime Portie
Bagaimanakah akibatnya jika seorang yang berhak atas
legitime portie (bagian mutlak) menolak warisan , apakah orang
lain karena itu menjadi legitimaris, misalnya apabila seorang
meninggal dunia dengan meninggalkan kakak dan kakek maka
warisannya jatuh pada kakeknya ? Kakek memang keluarga dalam
43
garis lurus akan tetapi bukan ahli waris (golongan ketiga),
sedangkan kakak (golongan kedua), Kakek sebagai ahli waris
golongan ketiga tidak akan mewaris jika golongan kedua masih
ada, karena itu kakek ini tidak berhak atas legitime. Apabila
kakaknya menolak warisan (Pasal 1058 KUHPerdata), maka baru
kakek menjadi ahli waris, namun bukan sebagai legitimaris.41
Apakah bagian mutlak dari salah seorang ahli waris dapat
menjadi besar karena ada orang lain yang menolak warisan, bagian
mutlak selalu merupakan suatu bagian seimbang dari apa yang
akan diterima ahli waris ab intestato seandainyasi pewaris tidak
menghibahkan apa-apa sewaktu hidupnya.
Rasio legis dari lembaga legitime portie walaupun
membatasi kewenangan si pewaris untuk menghibahkan atau
menghibah wasiatkan hartanya sendiri untuk melindungi para
legitimaris, namun hal itu tidaklah dapat digunakan sebagai alasan
untuk mengecilkan wewenang si pewaris yang disebabkan oleh
suatu tindakan yang terjadi setelah si pewaris meninggal dunia.
Jadi dengan kata lain untuk menentukan siapa saja adalah
legitimaris dan untuk menghitung bagian mutlaknya tidak
perludiperhatikan apakah ada ahli waris ab intestato dalam garis
lurus yang tidak pantas mewaris (onwaardig), atau dipecat dari
haknya untuk mewaris atau telah menolak warisannya.42
41
Ibid. h.120. 42
Komar Andasasmita,Op.Cit., h.310.
44
6) Ahli Waris Yang Berhak Atas Legitime Portie dan besar
bagiannya
Syarat untuk dapat menuntut suatu bagian mutlak (legitime
portie) adalah :
1) Orang harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus,
dalam hal ini kedudukan garwa (suami /isteri) adalah berbeda
dengan anak-anak. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal 852a
KUHPerdata menyamakan garwa (suami/isteri) dengan anak,
akan tetapi suami/isteri tidak berada dalam garis lurus
kebawah, mereka termasuk garis kesamping. Oleh karna itu
isteri/suami tidak memiliki legitime portie atau disebut non
legitimaris.
2) Orang harus ahli waris ab intestato. Melihat syarat tersebut
tidak semua keluarga sedarah dalam garis lurus memiliki hak
atas bagian mutlak. Yang memiliki hanyalah mereka yang juga
waris ab instestato.43
3) Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat
pewaris, merupakan ahli waris secara ab intestato.44
Sedangkan bagian mutlak dari masing-masing ahli waris
legitimaris diatur sebagai berikut :
- Untuk ahli waris dalam garis kebawah, jika pewaris hanya
meninggalkan satu orang anak sah menurut Pasal 914
KUHPerdata adalah ½ dari bagiannya menurut undang-undang,
43
Hartono Soerjopratignjo, …Testamenter, Op.Cit., h.118. 44
Komar Andhasasmita. Op.Cit., h.309.
45
jika meninggalkan dua orang anak sah, maka besarnya bagian
mutlak adalah 2/3 dari bagian menurut undang-undang dari
kedua anak sah tersebut, sedangkan jika meninggalkan tiga
orang anak sah atau lebih, maka besarnya bagian mutlak adalah
¾ dari bagian para ahli waris tersebut menurut ketentuan
undang-undang. Bagian menurut Undang-Undang adalah
bagian ahli waris atas harta warisan seandainya tidak ada hibah
atau testament yang bisa dilaksanakan.
- Untuk ahli waris dalam garis ke atas, besarnya bagian mutlak
menurut ketentuan Pasal 915 KUHPerdata, adalah ½ dari
bagian menurut undang-undang. Sedangkan bagian mutlak dari
anak luar kawin yang telah diakui (Pasal 916 KUHPerdata)
selamanya ½ dari bagian anak luar kawin menurut ketentuan
Undang-Undang.
Ahli waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau
legitime portie, yaitu pertama suami/isteri yang hidup terlama.
Kedua para saudara-saudara dari pewaris. Mereka tidak berhak
(non legitimaris) karena berada alam garis kesamping. Digunakan
tidaknya perhitungan berdasarkan legitime portie sangat tergantung
pada ada atau tidaknya hibah atau testament yang bisa
dilaksanakan.
7) Legitimaris Sebagai Ahli Waris
Apakah legitimaris itu ahli waris atau bukan, ini banyak
dipersoalkan dan diperdebatkan oleh para ahli hukum. Hal ini ada
46
kaitannya dengan Pasal 920 KUHPerdata yang diantara lain
menyebutkan bahwa tuntutan pengurangan itu hanya dapat terjadi
jika legitimaris (atau ahli waris/penerima haknya) menuntutnya.45
Apabila si pewaris tidak menghabiskan harta kekayaan
karena ia telah menghibahkanya atau mewasiatkannya, maka
sisanya atau yang ada, dibagi diantara para ahli waris ab intestato
dalam mana juga termasuk para legitimaris. Dalam kedudukannya
itu tentunya legitimaris mempunyai saisine (Pasal 833
KUHPerdata). Tetapi bagaimana jadinya apabila si pewaris telah
mengasingkan seluruh harta kekayaannya. Undang – Undang
memang menggunakan kata-kata “wettlijk erfdeel” (bagian warisan
menurut undang-undang) dan juga digunakannya sering kata-kata
“erfgenamen” (ahli Waris) bila yang dimaksud adalah legitimaris.
Karena itu dapat saja disimpulkan bahwa legitimaris adalah ahli
waris, dan dari sini lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa apabila
legitimaris menerima pelanggaran atas hak legitimenya maka ia
tetap tidak kehilangan kedudukannya sebagai ahli waris.
Kedudukannya sebagai ahli waris hanyalah dapat hilang dengan
cara seperti yang disebutkan dalam Pasal 1057 KUHPerdata ialah
melalui “verwerping” (penolakan) terhadap harta warisan yang
harus dilakukan secara tegas dengan surat pernyataan yang harus
45
Ibid. h.326.
47
dilakukan secara tegas dilakukan dihadapan panitera Pengadilan
Negeri.46
Jika kita memperhatikan berbagai Pasal dalam KUHPerdata
Pasal 874, 913 dan 929, maka jelas bahwa legitimaris merupakan
ahli waris atau mempunyai kedudukan sebagai ahli waris.
Legitimaris hanya merupakan ahli waris apabila ia mengemukakan
haknya atas bagian mutlaknya. Apa yang dinikmatinya karena
“inkorting” (pengurangan) diperolehnya karena hak ahli waris,
tujuan dari tuntutan pengurangan atau pemotongan adalah agar
pemberian-pemberian yang dilakukan dengan hibah atau wasiat itu
dikurangi, jadi batal sepanjang hal itu diperlukan untuk
memberikan kepada legitimaris apa yang menjadi haknya sebagai
ahli waris. Jalan pemikiran demikian dapat ditemukan dalam Pasal
928 KUHPerdata : “Segala barang tak bergerak yang karena
pengurangan harus kembali lagi dalam harta peninggalan, karena
pengembalian itupun bebaslah dari segala beban utang atau hipotik,
dengan mana si penerima pengaruniaan telah membebaninya”.47
Jadi apabila legitimaris mengurangi suatu hibah barang tak
bergerak, maka barang ini bukannya berpindah dari si penerima
hibah ke legitimaris melainkan hibah itu batal dan dianggap tidak
pernah terjadi, orang yang meninggal itu tidak pernah kehilangan
barang dan dianggap masih selalu berada di dalam budelnya,
ternyata setelah pengurangan itu berpindah karena pewarisan dari
46
Hartono Surjopratignjo, …Testamenter, Op.Cit., h. 131. 47
Ibid. h.243.
48
si pewaris kepada si legitimaris, maka ia tidak memperoleh
kedudukan sebagai ahli waris karena hukum, akan tetapi ia menjadi
ahli waris oleh karena ia mengemukakan pembatalan dari
ketetapan-ketetapan yang melanggar legitime nya.
b. Tentang Wasiat
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa suatu warisan
mungkin saja diperoleh berdasarkan undang-undang dan berdasarkan
testament (wasiat).
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari
seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.
Dalam Pasal 875 KUHPerdata dinyatakan bahwa surat wasiat atau
testament adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang
apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat
ditarik kembali.” Oleh karena itu suatu testament mengandung dua
sifat yaitu : pertama, baru berlaku setelah pewaris meninggal dan yang
kedua adalah dapat dicabut kembali sepanjang yang membuat
testament itu masih hidup.
Perbuatan hukum yang mengandung dua unsur di atas harus
dilakukan dengan testament, dengan ancaman batal; pengecualian dari
prinsip ini adalah perjanjian pertanggungan jiwa (levensverzekering)
yang memberikan suatu hak kepada orang tertentu, hak mana
49
tergantung dari kematian seseorang dan dapat dicabut semasa
hidupnya.48
Uraian pasal 875 KUHPerdata tersebut tidak jelas karena
terlalu luas, disana dikatakan pernyataan ”tentang apa yang akan
terjadi” setelah ia meninggal; seharusnya wewenang si pewaris
(testateur) dibatasi hanya sekedar mengenai harta warisannya, ia
berhak mengatur sesuai dengan kehendaknya baik itu keseluruhan
maupun sebagian.
Isi ketetapan testament dapat memuat erfstelling, legaat,
pembebanan suatu kewajiban pada seseorang, penawaran terhadap
sesuatu, membebaskan suatu hutang, mencabut testament terdahulu,
memecat hak seseorang untuk mewaris, mengangkat seorang wali,
bahkan mengakui anak luar kawin.49
1) Syarat membuat dan menikmati wasiat
Untuk membuat suatu wasiat ditentukan oleh apakah ia
cakap atau tidak menurut keadaan pada waktu ia membuat wasiat
itu, jadi suatu surat wasiat yang dibuat pada waktu si pewaris tidak
cakap tidaklah mempunyai kekuatan walaupun setelah beberapa
waktu kemudian ia menjadi cakap dan tidak menarik kembali
wasiat tersebut, tetap saja wasiat tersebut tidak mempunyai
kekuatan; sebaliknya suatu wasiat yang dibuat pada saat sipewaris
dalam keadaan cakap dan kemudian kehilangan kecakapannya
48
Ibid. h.3. 49
Pitlo, Op.Cit., h.64
50
untuk membuat surat wasiat, tetap saja wasiat tersebut mempunyai
kekuatan hukum.50
Untuk itu apabila ada orang yang mengatakan
bahwa si pembuat surat wasiat pada saat membuat surat wasiat itu
kurang waras, ia harus membuktikan hal itu.51
Yang dimaksud cakap dalam hal ini adalah sehat
pikirannya, sudah mencapai usia 18 tahun, tidak dalam keadaan
ditaruh dibawah pengampuan, kecuali pengampuan karena boros
(lihat pasal 446 KUHPerdata).
Sedangkan untuk menikmati ketetapan dalam suatu wasiat,
maka si penerima wajib telah ada dan tidak masuk dalam kategori
orang yang tidak cakap menerima ketetapan dalam surat wasiat,
antara lain : wali, tabib, guru, notaris, kawan zinah, bahkan orang-
orang yang dianggap sebagai perantara orang-orang yang tidak
cakap tersebut (ayah, ibu, anak, pasangannya); sehingga apabila
dibuat suatu ketetapan bagi mereka ini, maka akibatnya ketentuan
tersebut menjadi batal.
Disamping itu ada pula orang-orang yang dinyatakan tidak
pantas untuk mendapatkan suatu keuntungan dari suatu wasiat
yaitu apabila ia telah menyembunyikan wasiat si pewaris,
memusnahkannya, memalsukannya atau menghalang-halangi si
pewaris untuk menarik kembali atau mengubah wasiatnya dengan
50
Bandingkan pasal 898 KUHPerdata 51
Ibid. h.86.
51
kekerasan atau tindakan nyata atau karena ia telah dijatuhi
hukuman karena telah membunuh si pewaris.52
2) Bentuk-bentuk Wasiat
Wasiat dapat dibuat dalam bentuk akta otentik maupun
dibawah tangan, dengan bentuk-bentuk antara lain sebagai berikut :
a) Wasiat olografis (Pasal 932 KUHPerdata)
b) Wasiat umum (Pasal 938 KUHPerdata)
c) Wasiat rahasia/superscriptie (Pasal 940 KUHPerdata)
d) Codicil (Pasal 935 KUHPerdata)
Ad. a) Wasiat Olografis
- Diatur dalam Pasal 932 KUHPerdata
- Harus ditulis dan ditandatangani sendiri dengan tulisan
tangan si Pewaris.
- Setelah ditulis dan ditandatangani Pewaris, surat wasiat
tersebut harus diserahkan kepada Notaris untuk
disimpan. Kemudian notaris membuatkan akta
penyimpanan (akta van depot) yang ditandatangani oleh
Pewaris, Notaris, dan 2 orang saksi.
- Penyerahan surat wasiat olografis dapat dilakukan
secara terbuka maupun tertutup.
- Bila diserahkan secara terbuka, akta penyimpanan
ditulis di bawah surat wasiat tersebut.
52
Bandingkan pasal 912 KUHPerdata
52
- Bila diserahkan secara tertutup, akta penyimpanan
dibuat pada kertas (lembaran) yang terpisah dengan
surat wasiat. Di hadapan Notaris dan saksi-saksi, si
Pewaris membubuhkan catatan pada sampul surat
wasiat tersebut yang menyatakan bahwa sampul
tersebut memang benar berisi wasiatnya, lalu
ditandatangani olehnya.
- Apabila Pewaris tidak dapat menandatangani akta
penyimpanan atau sampul, maka Notaris harus
menerangkan hal tersebut pada sampul atau akta
penyimpanan tersebut.
- Hari pembuatan akta wasiat olografis adalah dianggap
pada hari tanggal pembuatan akta penyimpanan (bukan
tanggal yang tertulis dalam surat wasiat).
- Wasiat olografis dapat ditarik kembali dari
penyimpanan Notaris, dan untuk itu Notaris wajib
membuat akta pengembalian.
- Kekuatan surat wasiat olografis yang disimpan oleh
Notaris adalah sama otentiknya seperti surat wasiat
umum.
- Notaris tidak boleh membuka surat wasiat olografis
yang diserahkan secara tertutup kepadanya. Yang
berhak membuka adalah Balai Harta Peninggalan
(BHP) ( lihat ketentuan pasal 937 KUHPerdata).
53
Ad. b) Wasiat Umum
- Diatur dalam Pasal 938 KUHPerdata.
- Pewaris datang kepada Notaris dengan kata-kata yang
jelas, mengutarakan keinginannya yang terakhir, baik di
hadapan maupun di luar saksi-saksi.
- Bila penuturan dilakukan di luar saksi-saksi, maka
sebelum Notaris membacakan akta tersebut, penuturan
harus dilakukan kembali di hadapan saksi-saksi.
- Notaris membacakan wasiat kepada Penghadap dan
saksi-saksi.
- Setelah pembacaan, Notaris harus bertanya kepada
Pewaris apakah yang dibacakan tadi adalah benar
memuat apa yang dikehendaki oleh Pewaris.
- Semua formalitas sistematika tersebut di atas harus
dengan tegas disebutkan dalam akta tersebut.
Ad. c) Wasiat Rahasia (Superscriptie)
- Diatur dalam Pasal 940 KUHPerdata.
- Dapat ditulis sendiri oleh Pewaris atau dituliskan oleh
orang lain, namun harus ditandatangani oleh Pewaris
pada kertas akta waisat tersebut atau kertas yang dipakai
sebagai sampul (tertutup dan bersegel).
- Kertas akta wasiat yang tertutup dan bersegel tersebut
ditunjukkan pada Notaris di depan 4 orang saksi, atau si
Pewaris meminta agar kertasnya ditutup dan disegel di
54
hadapan saksi-saksi dan menerangkan bahwa kertas
tersebut memuat wasiatnya dan menegaskan bahwa ia
sendirilah yang menulis dan menandatangani surat itu,
atau orang lain yang menulis tetapi yang menanda-
tangani adalah si pewaris sendiri.
- Notaris harus membuat akta pengalamatan surat wasiat,
yang ditulis di kertas tersebut atau sampulnya, dan
ditandatangani oleh Pewaris, Notaris, dan saksi-saksi.
Ad. d) Codicil
- Diatur dalam Pasal 935 KUHPerdata.
- Codicil merupakan suatu surat di bawah tangan yang
ditulis seluruhnya, ditanggali, dan ditandatangani oleh
Pewaris.
- Isinya hanya boleh memuat : pengangkatan para
pelaksana, penyelenggaraan penguburan, hibah wasiat
pakaian, perhiasan badan tertentu, dan mebel-mebel
istimewa.
3) Pencabutan dan gugurnya Wasiat
Di antara pencabutan dan gugurnya wasiat ada
perbedaan; pencabutan ialah di dalam hal ini adanya suatu tindakan
dari pewaris yang meniadakan suatu testament, sedangkan dalam
hal gugurnya wasiat ialah tanpa adanya tindakan dari pewaris tapi
wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal – hal di luar
kemauan pewaris. Maka dari itu Pitlo mengatakan bahwa untuk
55
menarik kembali atau mencabut harus ada unsur kehendak dari
pewaris, sedangkan dalam hal gugurnya wasiat tidak bergantung
pada kehendak pewaris namun tidak dapat dilaksanakannya
wasiat.53
Pencabutan atau penarikan kembali wasiat dapat terjadi
secara tegas untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, dengan
menggunakan akta wasiat yang lain atau dengan akta notaris yang
khusus untuk itu.54
Mengenai gugurnya wasiat Pitlo berpendapat ada dua
macam penyebab yaitu tidak adanya benda yang diberikan dan
tidak adanya orang yang diuntungkan.55
Hibah wasiat akan gugur
apabila benda yang dihibahkan musnah sama sekali; jika sebagian
yang musnah, maka wasiat tetap dapat dilaksanakan, demikianpula
apabila orang yang diuntungkan menolak atau dianggap tidak
mampu untuk menikmati; dianggap tidak mampu disini adalah
tidak pantas sebagaimana diuraikan dalam pasal 912 KUHPerdata
dan orang yang meninggal dunia lebih dahulu.
B. Hukum Asuransi menurut KUHD secara umum
Selain Ahli Waris ab intestato dan ahli waris testamentair, ada pula
penunjukan ahli waris melalui polis asuransi jiwa individual yang disebut
sebagai penerima manfaat (beneficiary).Untuk itu perlu ditelaah lebih dahulu
dalam sub-sub bab berikut ini tentang aspek-aspek tentang asuransi pada
53
Pitlo, Op.Cit., h.256. 54
Bandingkan pasal 922 KUHPerdata. 55
Pitlo, Op.Cit., h.263.
56
umumnya dan asuransi jiwa pada khususnya serta apa yang dimaksud asuransi
jiwa individual dalam kaitannya dengan pewarisan.
Kemungkinan bahwa manusia akan menghadapi suatu kerugian atau
suatu kehilangan sudah menjadi suatu masalah bagi setiap umat manusia sejak
manusia tidak lagi bertempat tinggal di taman Firdaus dimana segala
sesuatunya sudah disediakan lengkap. Kemungkinan akan kehilangan ini
adalah dihadapi oleh setiap manusia dan sudah barang tentu merupakan suatu
hal yang tidak diinginkan dan oleh sebab itu juga menjadi suatu hal yang
selalu diusahakan untuk diantispasi dan disikapi dengan bijak. Menurut
Francis T Allen dan Sydney I Simon, risiko yaitu sebagai suatu kemungkinan
menghadapi atau ditimpa kerugian.56
Menurut Emmy penggolongan risiko yang bersifat ekonomis itu
didasarkan atas sifat akibat dari risiko itu57
:
1. Speculative Risks : risiko yang bersifat spekulatif atau untung - untungan,
melihat suatu kemungkinan timbulnya kerugian atau timbulnya
keuntungan (the cause of loss or gain).
Di dalam risiko spekulatif ini, apakah akan berakibat menjadi kerugian
atau menjadi keuntungan, tidak dapat dipastikan sebelumnya. Risiko
spekulatif ini tidak dapat dikatakan sama seperti pada pertaruhan dan
perjudian (gambling). Sebab pada gambling atau gambling risk walaupun
merupakan suatu jenis risiko spekulatif, tetap ada perbedaannya dnegan
risiko spekulatif dalam pertanggungan.Pada pertanggungan, risiko
56
Francis T Allen dan Sydney I Simon, The Chance of Loss, Insurance General Principles,
1974, h.1. 57
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, Seksi
Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1980, h. 5.
57
spekulatif itu tidaklah ditimbulkan oleh adanya pertanggungan itu, risiko
tersebut sudah ada sebelum perjanjian diadakan.
2. Pure Risk : golongan kedua dari risiko spekulatif ini biasanya
dimaksudkan dalam pengertian : murni karena risiko itu tidak
mencampurkan antara dua unsur yaitu untung dan kerugian, tetapi selalu
membawa akibat yang tidak menguntungkan. Jadi hanya mengandung satu
unsur dan selalu membawa konsekwensi yang tidak menguntungkan.
Sebagai akibat lebih lanjut dari kemungkinan timbulnya kerugian itu
maka orang lalu mencari atau mengambil langkah-langkah utnuk menguasai
risiko itu atau menghadapi risiko itu. Salah satu cara menguasai risiko itu ialah
melalui pertanggungan disamping untuk menjamin kesejahteraan tersebut
adalah dengan jalan menutup perjanjian asuransi.
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi dalam bahasa Belanda adalah Verzekering dan
dalam bahasa Inggris adalah Insurance yang berarti jaminan atau
pertanggungan.
Dalam membicarakan asuransi, maka terdapat beraneka ragam
pendapat para sarjana dan masing-masing pendapat tersebut satu dengan
yang lainnya cenderung menunjukkan perbedaan. Adanya pendapat yang
berbeda tersebut sebenarnya tidaklah memperlihatkan suatu pertentangan
yang sungguh-sungguh, melainkan keinginan para perumus untuk
memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya di satu pihak dan
pembatasan unsur-unsur di pihak lainnya.Hal yang demikian disebabkan
58
karena adanya peninjauan yang satu dengan yang lainnya saling meninjau
dari sisi yang berlainan.
Penulis-penulis Indonesia yang mempergunakan istilah
pertanggungan yaitu Soekardono dan Subekti, selanjutnya Wirjono
Prodjodikoro untuk pertanggungan dipakai istilah asuransi.Dalam hukum
asuransi orang mempertanggungkan disebut Tertanggung, sedangkan
orang yang menanggung disebut Penanggung, sedangkan Wirjono
Prodjodikoro menggunakan istilah Terjamin untuk tertanggung dan
Penjamin untuk penanggung.
Pengertian asuransi sebagaimana diuraikan dalam Ensiklopedia
Umum adalah: ”Asuransi adalah pertanggungan, persetujuan dalam mana
penanggung menjanjikan kepada yang mempertanggungkan akan
mengganti kerugian, yang disebabkan oleh suatu peristiwa (yang disebut
dalam perjanjiannya) masa depan yang lebih dahulu tidak dapat dipastikan.
Untuk jaminan ini orang yang mempertanggungkan harus membayar
sejumlah uang yang disebut premi kepada penanggung.58
Di bawah ini selanjutnya dikemukakan beberapa pengertian
asuransi dari berbagai pandangan para sarjana ataupun menurut apa yang
terdapat di dalam undang-undang.
Pasal 246 KUHD merumuskan asuransi atau pertanggungan adalah
suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu premi
mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari
kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang
58
Ensiklopedia Umum, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1977, h.101.
59
diharapkan, yang akan dapat diderita oleh karena suatu kejadian yang tidak
pasti.
Menurut Pasal 1 Sub 1Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992,
Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan dalam KUHPerdata Buku III Bab XV Pasal 1774
ditegaskan bahwa asuransi termasuk dalam golongan persetujuan untung-
untungan, yaitu suatu persetujuan yang hasilnya mengenai untung rugi
bagi semua pihak maupun bagi sementara, bergantung pada suatu kejadian
yang belum tentu. Bentuk lainnya adalah bunga cagak hidup, perjudian
dan pertaruhan.
Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa Asuransi
(verzekering) yang berarti pertanggungan. Dalam asuransi terlibat dua
pihak, yang satu sanggup akan menanggung atau menjamin, bahwa pihak
lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan
diderita selaku akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan
terjadinya atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.59
59
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1982, h.5.
60
Selaku kontra prestasi dari pertanggungan ini ialah bahwa pihak yang
ditanggung itu, wajib membayar sejumlah uang (premi) kepada pihak yang
menanggung, yang mana uang tersbut akan menjadi milik pihak
menanggung apabila dikemukakan hari ternyata peristiwa yang
dimaksudkan itu tidak terjadi.60
D. Sutanto, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan asuransi
adalah peniadaan resiko kerugian yang datangnya tak terduga sebelumnya
yang menimpa seseorang dengan cara menggabungkan sejumlah besar
orang atau manusia yang menghadapi resiko yang sama dan mereka itu
membayar premi yang besarnya cukup untuk menutup kerugian yang
mungkin menimpa orang diantara mereka.61
A.Abbas Salim memberikan definisi asuransi adalah suatu
kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti
sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian yang besar dan yang
belum pasti.62
Selanjutnya Santoso Poejosubroto, memberikan definisi asuransi
pada umumnya adalah perjanjian timbal-balik dalam mana pihak
penanggung dengan mana menerima premi, mengikatkan dirinya untuk
memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang di
tunjuk, karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti disebutkan
dalam perjanjian baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita
60
Ibid. 61
D. Sutanto, Ikhtisar Tentang Pengertian dan Perkembangan Asuransi Jiwa, Yayasan
Darmasiswa Bumi Putera 1912, Jakarta,1995, h. 1. 62
A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi, Bandung, Tarsito, 1985, h. 1.
61
kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi mengenai hidup, kesehatan,
atau validitet seorang penanggung.63
Masih dalam kaitannya dengan masalah pengertian asuransi, Abdul
Kadir Muhammad, memberikan suatu definisi pertanggungan (asuransi)
adalah merupakan suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu
premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan yang mungkin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.64
Selanjutnya W. J. S. Poerwodarminta merumuskan bahwa asuransi
adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak), pihak yang satu akan
membayar uang kepada pihak lain bila terjadi kecelakaan dan sebagainya.
Sedang pihak yang lain akan membayar iuran.65
2. Perjanjian Asuransi
Asuransi itu pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian (schade
verzekering ) atau indemniteits contract.Dalam asuransi terkandung
adanya suatu resiko yang terjadinya belum dapat dipastikan. Di samping
itu adanya pelimpahan atau pengalihan tanggung jawab memikul beban
resiko dari pihak yang mempunyai beban tersebut kepada pihak lain yang
sanggup mengambil alih tanggung jawab. Sebagai kontra prestasi dari
63
Santoso Poejosubroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia,
Barata,Jakarta, 1969, h. 82. 64
Abdulkadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Alumni, Bandung,1983, h.
28. 65
W. J. S. Poewodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, h.
63.
62
pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ini, ia diwajibkan
membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan atau
ambil alih tanggung jawab yang disebut premi.
Dengan demikian pada hakekatnya asuransi merupakan suatu
perjanjian yang menimbulkan ikatan timbal balik, yang didalamnya
mencakup unsur-unsur yaitu :
1.Adanya pihak-pihak yaitu pihak penanggung dan pihak tertanggung.
2.Asuransi itu merupakan perjanjian bersyarat.
3.Adanya premi yang dibayar oleh tertanggung.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
asuransi itu merupakan suatu persetujuan timbal balik yang berarti masing-
masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi pihak lain, dimana
dalam hal ini masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara
timbal balik. Pihak penjamin akan membayar sejumlah uang kepada
terjamin, apabila suatu peristiwa akan terjadi dimana masing-masing pihak
tidak mengetahuinya kapan peristiwa tersebut terjadi. Di sini harus
terdapat hubungan sebab akibat diantara peristiwa dan kerugian.
Asuransi dikatakan sebagai suatu perjanjian kerugian, dalam hal ini
jelas bahwa penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian
karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalah
seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (prinsip
indemniteit).
Ada kalanya suatu ganti rugi itu tidaklah seluruh kerugian yang
diderita. Ini dapat terjadi apabila tidak seluruhnya harga objek asuransi itu
63
diasuransikan, sehingga masih ada resiko yang ditanggung oleh
tertanggung sendiri. Oleh karena itulah maka kita masih melihat adanya
ketentuan yang ditarik lebih lanjut dari prinsip indemniteit itu ialah, bahwa
asuransi itu tidak boleh menjurus pada pemberian ganti rugi yang lebih
besar daripada kerugian yang diderita (pasal 253 KUHD).
Asuransi juga dikatakan sebagai suatu perjanjian bersyarat artinya
bahwa kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan
apabila peristiwa tertentu atas mana diadakan asuransi itu terjadi. Jadi
pelaksanaan kewajiban mengganti rugi digantungkan pada suatu syarat.
Dari definisi pasal 246 KUHD, Wirjono Projodikoro menarik
beberapa unsur yang ada dalam pasal 246 KUHD, yaitu :
1. Pihak terjamin membayar uang premi kepada pihak penjamin,
sekaligus atau berangsur-angsur.
2. Pihak penjamin berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak
terjamin sekaligus atau berangsur-angsur, apabila terlaksana unsur
ketiga.
3. Suatu peristiwa yang semula belum terang akan terjadi.66
Jika di muka diuraikan dalam pasal 1774 KUHPerdata bahwa
asuransi dikategorikan sebagai persetujuan untung-untungan, penulis
setuju dengan pendapat Emmy Pangaribuan bahwa tidak tepat jika
perjanjian asuransi digolongkan sebagai perjanjian untung-untungan,
karena penanggung dalam mempertimbangkan besarnya risiko yang akan
ditanggungnya, dia juga menerima kontra prestasi dalam bentuk premi,
66
Wirjono Projodikoro, Loc. Cit.
64
tetapi secara murni, ini juga tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian
timbal balik yang prestasi dan kontra prestasinya benar-benar seimbang,
karena dalam setiap perjanjian asuransi masih mengandung kemungkinan-
kemungkinan pada ketidak-seimbangan prestasi para pihak.67
Untuk itu TJ
Dorhout Mess menambahkan bahwa Pasal 1774 KUHPerdata yang
menggolongkan asuransi sebagai perjanjian untung-untungan hanyalah
dalam makna besarnya kewajiban penanggung dalam asuransi
pertanggungan itu akan ditentukan oleh kejadian-kejadian yang kemudian
akan terjadi.68
Jadi perjanjian asuransi bukanlah perjanjian untung-
untungan walaupun antara para pihak telah terjadi ketidak-seimbangan
prestasi jika terjadi suatu peristiwa hukum sebagaimana yang disepakati
kedua belah pihak.
3. Sifat Perjanjian Asuransi
Perjanjian asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian
yang mempunyai sifat khusus. Di dalam buku-buku hukum asuransi Anglo
Saxon secara jelas sifat-sifat khusus asuransi disebutkan sebagai berikut :69
1. Perjanjian asuransi bersifat aletair (aletary);
2. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian bersyarat (conditional);
3. Perjanjian asuransi bersifat sepihak (unilateral);
4. Perjanjian asuransi bersifat pribadi (personal);
67
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan
Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), Seksi Hukum Dagang- Fakultas Hukum Universitas Gadjahmada,
Yogyakarta, 1982, h. 8. 68
Ibid. 69
Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta,
1992, h. 92 – 93.
65
5. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat
penanggung (adhesion);
6. Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan iktikad baik yang
sempurna.
Ad.1 Perjanjian Asuransi Bersifat Aletair
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang prestasi
penanggung masih harus digantungkan pada suatu peristiwa
yang belum pasti, sedangkan prestasi tertanggung sudah pasti.
Meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasi dengan
sempurna, penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata.
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian aletair, dan
bukannya perjanjian kommutatif.70
Maksudnya adalah bahwa
prestasi dari penanggung untuk memberikan ganti rugi atau
sejumlah uang kepada tertanggung diganti kepada suatu
peristiwa yang belum pasti terjadi (onzeker voorval). Dengan
demikian terdapat kesenjangan waktu di antara prestasi
tertanggung membayar premi dengan haknya mendapat ganti
rugi dari penanggung. Hal demikian berlainan dari perjanjian
jenis lain yang pada umumnya prestasi ke dua pihak
dilaksanakan secara serentak.
Ad.2 Perjanjian Asuransi merupakan Perjanjian Bersyarat
Oleh karena adanya syarat bagi pelaksanaan prestasi
penanggung tersebut maka perjanjian asuransi disebut pula
70
H. Gunanto, Asuransi Kebakaran di Indonesia, Tira Pustika, Jakarta, 1984, h. 25.
66
sebagai perjanjian bersyarat (conditional).71
Perjanjian ini
merupakan suatu perjanjian yang prestasi penanggung hanya
akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam
perjanjian dipenuhi. Pihak tertanggung pada satu sisi tidak
berjanji untuk untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak dapat
memaksa penanggung melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-
syarat.
Ad.3 Perjanjian asuransi adalah Perjanjian Sepihak
Selain termasuk dalam bentuk dari perjanjian bersyarat
perjanjian asuransi juga merupakan perjanjian sepihak
(unilateral).Maksudnya bahwa perjanjian dimaksud
menunjukkan bahwa hanya satu pihak saja yang memberikan
janji yaitu pihak penanggung. Penanggung memberikan janji
akan mengganti kerugian, apabila tertanggung sudah membayar
premi dan polis sudah berjalan, sebaliknya tertanggung tidak
menjanjikan suatu apa pun.72
Ad.4 Perjanjian Asuransi adalah Perjanjian yang Bersifat Pribadi
Dengan perjanjian yang bersifat pribadi ini
dimaksudkan bahwa kerugian yang timbul harus merupakan
kerugian orang perorangan secara pribadi, bukan kerugian yang
bersifat kolektif atau masyarakat luas.
71
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung
Asuransi Deposito Usaha Perasuransian, Alumni, Bandung,1993, h. 7. 72
Sri Redjeki Hartono, Reasuransi, Kebutuhan yang tidak di kesampingkan oleh Penanggung
Guna Memenuhi Kewajiban Terhadap Tertanggung, Tinjauan Yuridis, Disertasi Doktor Universitas
Diponegoro, Semarang, 1990, h. 75.
67
Ad.5 Perjanjian Asuransi adalah Perjanjian yang Melekat pada
Syarat Penanggung.
Di dalam perjanjian asuransi hampir semua syarat dan
isi perjanjian ditentukan oleh penanggung sendiri. Isi dan
syarat-syarat perjanjian yang dituangkan di dalam polis telah
ditentukan secara sepihak oleh penanggung. Perjanjian ini
termasuk perjanjian atau kontrak standar.
Ad.6 Perjanjian asuransi adalah Perjanjian dengan Syarat Iktikad
Baik yang Sempurna
Sifat ini menujukkan bahwa perjanjian asuransi
merupakan perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat
dapat dicapai dengan posisi masing-masing pihak memiliki
pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama
penelaahannya untuk memperoleh fakta yang sama pula,
sehingga bebas cacat kehendak.
Dengan sifat-sifat khusus tersebut mengakibatkan perjanjian
asuransi berbeda dengan perjanjian lain. Selain harus memenuhi syarat-
syarat perjanjian pada umumnya, perjanjian asuransi juga harus memenuhi
asas-asas tertentu yang mewujudkan sifat atau ciri khusus perjanjian
asuransi.73
4. Prinsip-Prinsip Asuransi
73
Ibid. h.89.
68
Untuk mendukung karakteristik sifat khusus perjanjian asuransi dan
untuk memelihara dan mempertahankan sistem perjanjian asuransi
diperlukan adanya prinsip-prinsip yang mempunyai kekuatan mengikat
atau memaksa.74
Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum asuransi
diantaranya adalah:
a. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest);
b. Prinsip indemnitas (indemnity);
c. Prinsip kejujuran sempurna (utmost good faith);
d. Prinsip subrogasi bagi penanggung (subrogation);
e. Prinsip kontribusi (contribution).
Ad.a. Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan
Setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian
asuransi harus mempunyai kepentingan yang dapat
diasuransikan (insurable interest) maksudnya adalah bahwa
tertanggung harus mempunyai keterlibatan sedemikian rupa
dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadi dan
yang bersangkutan menderita kerugian akibat peristiwa itu.75
Kepentingan inilah yang membedakan asuransi dengan
perjudian. Jika tertanggung tidak mempunyai kepentingan yang
74
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit., h. 55. 75
Sri Redjeki Hartono, Op.Cit.,h. 100.
69
dapat diasuransikan itu, maka asuransi menjadi perjudian atau
pertaruhan.76
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan tersebut
dapat dijabarkan dari ketentuan yang terdapat Pasal 250 KUHD
yang menyatakan: “Bilamana seseorang yang
mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang, untuk
tanggungan siapa untuk diadakan pertanggungan oleh orang
lain, pada waktu diadakannya pertanggungan tidak mempunyai
kepentingan terhadap benda yang dipertanggungkan, maka
penanggung tidak berkewajiban mengganti kerugian.”
Adapun kepentingan yang dapat diasuransikan berdasar
Pasal 268 KUHD adalah semua kepentingan yang dapat dinilai
dengan sejumlah uang, dapat diancam oleh suatu bahaya, dan
tidak dikecualikan oleh undang-undang.Jadi, pada hakekatnya,
setiap kepentingan itu dapat diasuransikan, baik kepentingan
yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat hak sepanjang
memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 268 KUHD
tersebut di atas.77
Berdasarkan Pasal 250 KUHD di atas kepentingan yang
diasuransikan itu harus ada pada saat ditutupnya perjanjian
asuransi. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka
penanggung akan bebas dari kewajibannya untuk membayar
ganti kerugian.
76
H. Gunanto, Op.Cit., h. 32. 77
Sri Redjeki Hartono, Op.Cit.,h. 101.
70
Berlainan dengan Pasal 250 KUHD tersebut di atas,
Pasal 6 Marine Insurance Art Inggris, menentukan bahwa
kepentingan tersebut harus ada pada saat terjadinya kerugian.
Demikian juga dalam sejumlah kasus asuransi, hakim
menyatakan pula bahwa kepentingan itu ada pada saat
terjadinya kerugian.78
Dengan demikian seorang tertanggung dapat
mengasuransikan sesuatu walaupun pada saat ditutupnya
perjanjian asuransi belum mempunyai kepentingan terhadap
yang diasuransikan itu. Ketentuan yang kedua ini banyak
mendapat dukungan dari beberapa pakar seperti Molengraff
dan Volmar sebagaimana disitir Emmy Pangaribuan
Simanjuntak berpandangan bahwa yang terpenting pada waktu
terjadinya peristiwa yang tidak tentu, kepentingan itu dapat
dibuktikan.79
Demikian pula Sri Redjeki Hartono juga
berpendapat, bahwa tertanggung dapat menutup asuransi
walaupun kepentingan yang diasuransikan, pada saat
ditutupnya asuransi secara yuridis dan riil belum ada atau
melekat pada tertanggung, tetapi sudah dapat dideteksi lebih
awal adanya kemungkinan keterlibatan seseorang terhadap
78
John F Dobbyn, Insurance Law, West Publishing Co, St Paul, Minn, 1989, h. 58. 79
M. Suparman Sastrawidja dan Endang, Op.Cit.,h. 56.
71
kerugian ekonomi yang dapat dideritanya karena suatu
peristiwa yang tidak pasti.80
Ad.b. Prinsip Indemnitas
Melalui perjanjian asuransi penanggung memberikan
suatu proteksi kemungkinan kerugian ekonomi yang akan
diderita tertanggung.Penanggung memberikan proteksi dalam
bentuk kesanggupan untuk memberikan penggantian kerugian
kepada tertanggung yang mengalami kerugian karena
terjadinya peristiwa yang tidak pasti (evenement). Dengan
demikian, pada dasarnya perjanjian asuransi mempunyai tujuan
utama untuk memberikan penggantian kerugian kepada pihak
tertanggung oleh penanggung.
Menurut H.Gunanto, prinsip indemnitas tersirat dalam
Pasal 246 KUHD yang memberi batasan perjanjian asuransi
(yakni asuransi kerugian) sebagai perjanjian yang bermaksud
memberi penggantian kerugian, kerusakan atau kehilangan
(yaitu indemnitas) yang mungkin diderita tertanggung karena
menimpanya suatu bahaya yang pada saat ditutupnya perjanjian
tidak dapat dipastikan.81
Penggantian kerugian di dalam asuransi tidak boleh
mengakibatkan posisi finansial pihak tertanggung menjadi lebih
diuntungkan dari posisi sebelum menderita kerugian. Jadi
80
Sri Redjeki Hartono, Op.Cit.,h. 102. 81
H. Gunanto, Op.Cit., h. 34.
72
terbatas pada keadaan atau posisi awal. Asuransi hanya
menempatkan kembali seorang tertanggung yang telah
mengalami kerugian sama dengan keadaan sebelum terjadinya
kerugian.82
Ganti rugi di sini pun mengandung arti bahwa
penggantian kerugian dari penanggung kepada tertanggung
harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh
diderita tertanggung.83
Prinsip indemnitas ini mengikuti prinsip sebelumnya,
yaitu prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan. Jadi, harus
ada kesinambungan antara kepentingan dengan prinsip
indemnitas, dan tertanggung harus benar-benar mempunyai
kepentingan terhadap kemungkinan menderita kerugian karena
terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan.84
Ad.c. Asas Kejujuran Sempurna
Istilah kejujuran sempurna (terkadang disebut juga
dengan istilah asas itikad baik yang sebaik-baiknya) ini
merupakan padanan istilah principle of utmost good faith atau
umberrima fides.
Penerapan asas kejujuran sempurna (principle of utmost
good faith) di dalam hukum Inggris bertitik tolak dari sifat
khusus perjanjian asuransi sebagai perjanjian aletair, sehingga
82
Ibid. 83
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit.,h. 58. 84
Sri Redjeki Hartono, Op.Cit.,h. 99.
73
hukum asuransi dianggap perlu menyimpang dari asas hukum
yang menguasai perjanjian lainnya, yaitu asas caveat emptor
atau let the buyer beware.85
Menurut asas ini, suatu pihak dalam perjanjian tidak
wajib memberitahukan sesuatu yang ia ketahui mengenai objek
perjanjian kepada pihak lawannya. Pihak lawan harus
mewaspadai sendiri keadaan dan kualitas objek perjanjian,
tetapi, karena sifatnya yang khusus, maka di dalam perjanjian
asuransi pihak tertanggung yang memberikan segala keterangan
mengenai risikonya.86
Jadi, perjanjian asuransi didasarkan pada asumsi bahwa
calon tertanggung pada waktu meminta putusan asuransi
mengetahui semua risiko yang akan diasuransikan, sedangkan
penanggung tidak mengetahuinya, dan bagi pihak penanggung
dalam menganalisa risiko yang akan diasuransikan tersebut
sangat bergantung pada informasi yang diberikan pihak calon
tertanggung tersebut. Dengan demikian, asas kejujuran
sempurna ( principle of utmost good faith) di atas menyangkut
kewajiban yang harus dipenuhi sebelum ditutupnya perjanjian
asuransi.
85
H. Gunanto, “Hukum Perjanjian Asuransi Kerugian Quo Vadis (Perlindungan Penanggung
Versus Perlindungan Tertanggung)”, Makalah pada Simposium Hukum Perjanjian Asuransi Kerugian
dalam Kenyataan, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, 20 Oktober
1987, h. 7. 86
Ibid.
74
Menurut H. Gunanto, dalam kenyataannya asas yang
oleh hukum Inggris disebut sebagai principle of utmost good
faith bukan soal iktikad baik sebagaimana diatur Pasal 1338
ayat (3) KUHPerdata, melainkan soal “cacat kehendak”.87
Hal ini berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Jadi asas itikad baik
baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
tersebut terletak pada pelaksanaan perjanjian bukan pada
kehendaknya; oleh karena itu sejalan dengan H. Gunanto,
menurut penulis asas kejujuran sempurna ini dapat
dikategorikan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian
asuransi, yang secara umum diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata yaitu adanya sebab/causa yang halal; dimana
dinyatakan bahwa suatu persetujuan yang telah dibuat karena
suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan.88
Berkaitan dengan asas kejujuran sempurna ini, Pasal
251 KUHD menyebutkan:“Setiap keterangan yang keliru atau
tidak benar, atau setiap tidak memberitahukan hal-hal yang
diketahui oleh si tertanggung betapapun iktikad baik ada
padanya, yang demikian sifatnya sehinga seandainya
penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya,
87
H. Gunanto, Op.Cit.,Asuransi ..., h. 29. 88
Bandingkan pasal 1325 KUHPerdata.
75
perjanjian itu tidak akan ditutup atau ditutupnya dengan syarat-
syarat yang sama, mengakibatkan batalnya
pertanggungan”.Pasal 251 KUHD tersebut di atas menekankan
kewajiban tertanggung untuk memberikan keterangan atau
informasi yang benar kepada pihak penanggung.
Dalam perkembangan hukum kontrak,kewajiban pihak-
pihak dalam perjanjian untuk menjelaskan untuk memberikan
informasi yang benar dan selengkapnya menjadi kewajiban
iktikad baik pra kontrak.89
Ad.d. Asas Subrogasi
Kerugian yang diderita seorang tertanggung akibat
suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadi, dilihat dari segi
timbulnya kerugian tersebut, ada dua kemungkinan bahwa
tertanggung selain dapat menuntut kepada pihak ketiga yang
karena kesalahannya menyebabkan terjadinya kerugian
tersebut, juga kepada pihak penanggung. Dalam keadaan
demikian, maka tertanggung mempunyai kesempatan untuk
menuntut ganti rugi dari dua sumber, yaitu dari pihak
penanggung dan pihak ketiga. Penggantian dua kerugian dari
dua sumber itu jelas bertentangan dengan asas indemnitas dan
larangan untuk memperkaya diri sendiri dengan melawan
hukum. Sebaliknya apabila pihak ketiga juga dibebaskan begitu
89 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 13 – 15.
76
saja dari perbuatannya yang telah menyebabkan kerugian bagi
tertanggung sangatlah tidak adil.90
Untuk menghindari hal demikian itu, pihak ketiga yang
bersalah itu tetap dapat dituntut, hanya saja hak untuk menuntut
itu dilimpahkan kepada pihak penanggung (subrogasi).
Sehubungan dengan hal itu Pasal 284 KUHD
menentukan:“Penanggung yang telah membayar kerugian dari
suatu benda yang dipertanggungkan mendapat semua hak-hak
yang ada pada si tertanggung terhadap orang ketiga mengenai
kerugian itu; dan tertanggung bertanggungjawab untuk setiap
perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak dari penanggung
terhadap orang-orang ketiga itu”.
Subrogasi menurut undang-undang hanya dapat berlaku
apabila terdapat dua faktor, yaitu:91
1. Apabila penanggung di samping mempunyai hak terhadap
tertanggung juga mempunyai hak terhadap pihak ketiga;
dan
2. Hak-hak itu adalah karena timbulnya kerugian.
Para sarjana umumnya berpendapat, bahwa asas
subrogasi ini hanya berlaku terhadap asuransi kerugian, dan
tidak berlaku untuk asuransi jumlah.92
Hak subrogasi timbul
dengan sendirinya (ipso facto) untuk penggantian kerugian
90
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit., h. 60 91
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, ...dan Jiwa, Op.Cit., h. 76. 92
Ibid. h.77.
77
yang dibayarkan oleh penanggung kepada tertanggung, dan
tidak perlu ditentukan atau diatur dalam polis. Terkadang di
dalam polis juga dimuat klausul subrogasi. Selain itu, di dalam
polis tersebut mungkin juga dimuat klausul yang memberikan
hak kepada penanggung untuk setiap saat dan sepanjang
mereka menghendaki, untuk membayar , menahan, atau
mengajukan klaim atas nama tertanggung.Dalam hal seperti ini,
maka penanggung dapat menggunakan hak tertanggung untuk
menentukan ganti rugi kepada pihak ketiga, meskipun
penanggung belum membayar seluruh ganti rugi kepada pihak
tertanggung.Tertanggung dalam hal ini selain harus membantu
penanggung dalam menggunakan hak subrogasinya juga tidak
boleh merugikan atau melakukan hak-hak yang dapat
merugikan hak penanggung kepada pihak ketiga, misalnya
tanpa sepengetahuan atau seizin penanggung membebaskan
tanggung jawab pihak ketiga.
Ad.e. Prinsip Kontribusi
Apabila seorang tertanggung menutup asuransi untuk
benda yang sama dan terhadap risiko yang sama kepada lebih
seorang penanggung dalam polis yang berlainan akan terjadi
double insurance.Bilamana terjadi double insurancetersebut,
maka masing-masing penanggung itu menurut imbangan dari
jumlah untuk mana mereka menandatangani polis, memikul
78
hanya harga yang sebenarnya dari kerugian yang diderita
tertanggung.93
Di dalam KUHD, prinsip kontribusi ini disimpulkan
dari Pasal 278 yang menyebutkan: “Bilamana dalam polis yang
sama oleh berbagai penanggung, meskipun pada hari-hari yang
berlainan, dipertanggungkan untuk lebih daripada harganya,
maka mereka menandatangani, hanya memikul harga
sesungguhnya yang dipertanggungkan. Ketentuan yang sama
berlaku, bilamana pada hari yang sama, mengenai benda yang
sama di dalam pertanggungan-pertanggungan yang berlainan”.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa prinsip
kontribusi ini berlaku apabila terjadi double insurance. Ada hal
yang perlu dicatat di sini, yakni asas kontribusi hanya berlaku
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila polis-polis itu diadakan untuk risiko atau bahaya
yang sama yang menimbulkan kerugian itu;
2. Polis-polis itu menutup kepentingan yang sama, dari
tertanggung yang sama, dan terhadap benda yang sama
pula; dan
3. Polis-polis itu masih berlaku pada saat terjadinya kerugian.
5. Penggolongan Jenis Asuransi
Dari ketentuan pasal 247 KUHD dikenal beberapa jenis asuransi,
yaitu :
93
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang,Op.Cit.,h. 63.
79
a. Pertanggungan terhadap bahaya kebakaran;
b. Pertanggungan terhadap bahaya yang mengancam hasil
pertanian yang belum dipanen;
c. Pertanggungan jiwa;
d. Pertanggungan terhadap bahaya laut;
e. Pertanggungan terhadap bahaya yang mengancam
pengangkutan di darat dan di perairan darat.
Pembedaan/ penggolongan jenis-jenis asuransi itu tidak dibatasi
hanya jenis-jenis yang telah disebutkan di atas saja, namun undang-undang
membuka kesempatan bagi jenis-jenis asuransi yang baru, yang timbul dari
perkembangan dunia usaha.Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa di
Indonesia pertanggungan secara garis besarnya dapat digolongkan sebagai
berikut :
1. Pertanggungan Jiwa (Life Insurance)
2. Pertanggungan Pengangkutan (Marine Insurance)
3. Pertanggungan Kebakaran (Fire Insurance)
4. Pertanggungngan Varia
Robert E Keeton sebagaimana disitir oleh Emmy Pangaribuan
menggolongkan pertanggungan secara garis besar sebagai berikut94
:
1. Life Insurance
2. Fire and Marine Insurance
3. Casualty Insurance
94
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, …Perkembangannya, Op.Cit., h.7.
80
Casualty Insurance adalah golongan asuransi yang termuda dan
ruang lingkupnya terutama adalah mencakup semua bentuk bentuk
pertanggungan baru. Oleh karena jenis kebutuhan atau kepentingan yang
menjadi dasar timbulnya bentuk bentuk baru ini adalah sedemikian luas
dan bermacam macam, maka sulitlah untuk memberikan suatu definisi
mengenai Casualty Insurance. Tetapi yang jelas ialah bahwa apabila suatu
pertanggungan baru itu tidak dapat diartikan murni sebagai Life Insurance,
sebagai Fire dan Marine Insurance, maka ia adalah Casualty Insurance.
Di Negara Belanda pembagian dari bentuk pertanggungan atas 5
golongan, yaitu95
:
1. Pertanggungan Jiwa
2. Pertanggunga Kebakaran
3. Pertanggungan Pengangkutan (di laut)
4. Pertanggungan Varia
5. Pertanggungan Sosial
Penggolongan lain dari Pertanggungan adalah sebagai berikut :
1. Voluntary dan Compulsary Insurance
Apabila pertanggungan itu ditutup atas dasar kehendak yang
bebas dari kedua belah pihak maka kita menghadapi pertanggungan
sukarela atau voluntary insurance. Biasanya voluntary insurance ini
ditutup atas keinginan perorangan sehingga disebut sebagai Voluntary
Private Insurance.Sebaliknya bilamana pertanggungan itu ditutup oleh
95
VAB vab der burg, Schade en Sommen Verzekeringsrecht, 1973, h.17.
81
pihak tertanggung karena diwajibkan oleh suat peraturan (pihak
penanggung) maka pertanggungan demikian adalah termasuk
tertanggungan Wajib atau Compulsary Insurance. Biasanya diwajibkan
oleh pemerintah kepada seluruh atau sebagian tertentu dari anggota
masyarakat untuk suatu tujuan memberikan perlindungan atau Social
Security maka pertanggungan ini dinamakan juga Social Insurance
atau Social Government Insurance.
Pertanggungan sukarela sebagian besar dikenakan orang dalam
dunia pertangungan sebagai usaha pertanggungan yang mengandung
unsur bisnis, karena pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan pertanggungan dalam masyarakat. Hal itulah juga yang
menyebabkan bahwa biasanya pertanggungan itu disebut dengan nama
Commercial Insurance96
. Tidak semuanya mencari keuntungan,
voluntary insurance mungkin saja dilaksanakan oleh suatu perusahaan
kepada anggota angota masyarakat tertentu sebagai suatu kumpulan.97
2. Individual/Family dan Business Insurance
Pembagian ini didasarkan atas kriteria “siapakah pembeli jasa
pertanggungan itu”. Kalau pembelinya atau tertanggungnya adalah
seorang individu atau keluarga, maka pertanggungan itu disebut
Individual Insurance, tetapi kalau yang menjadi tertanggung bukan
keluarga maka disebut Business Insurance. Tetapi pembedaan ini juga
dapat didasarkan atas sifat dari bahaya atau peristiwa itu apakah
96
David L Bicklehaupt, General Insurance, 1974, h.66. 97
Ibid. h.69.
82
berhubungan langsung dengan suatu kerugian yang timbul dari
kehilangan daya mencari nafkah dari seseorang atau berhubungan
dengan nilai suatu barang atau harta benda.98
Kalau peristiwa itu
sifatnya mengakibatkan kerugian yang langsung mengenai hilangnya
daya mencari nafkah seseorang, maka ini tergolong pertangungan yang
disebut Personal Insurance. Pada pokoknya Personal Insurance ini
ditujukan pada pemberian perlindungan atas hidup seseorang atau atas
sakitnya seseorang, sehingga terdapat Life Insurance dan Health
Insurance.
Kalau peristiwa yang dipertanggungkan mengakibatkan
kerugian atas harta benda, disebut Property Insurance,
menggambarkan “milik” yang melekat pada seseorang. Jadi di sini
pertanggungan yang ditutup adalah atas harta benda yang menjadi
miliknya atau yang dipertanggungkan adalah kerugian yang menimpa
harta milik seseorang.
Tetapi sehubungan dengan kerugian yang menimpa harta
benda, mungkin saja seseorang itu tidak hanya rugi karena miliknya
ditimpa suatu peristiwa, melainkan juga karena harta orang lain yang
ditimpa kerugian sedangkan dia menurut hukum betanggung jawab
atas keselamatan dari barang itu. Kerugian seperti itu dapat
dipertanggung jawab atas keselamatan dari barang itu. Kerugian
seperti ini dapat dipertanggungkan, dan masih tetap tergolong pada
Property Insurance dan disebutkan Liability Insurance.
98
Ibid., h.70.
83
E.R. Hardy Ivamymelihat perbedaan itu dari kriteria “cara
bagaimana tertanggung dirugikan oleh timbulnya peristiwa atas mana
diadakan pertanggungan.” 99
Artinya seseorang itu mungkin mati atau
menderita cacat atau harta bendanya mungkin terlibat di dalam suatu
tanggung jawab. Berdasarkan kriteria tersebut, pertanggungan
dibedakan atas 3 golongan :
a. Personal Insurance
Pertanggungan ini adalah peristiwa mengenai diri dari tertanggung
atau atas seorang pihak ketiga. Termasuk ke dalamnya ialah :
Pertanggungan jiwa, pertanggungan kecelakaan perorangan
(personal accident insurance) dan pertanggungan sakit (sickness
atau health insurance).
b. Property Insurance (Pertanggungan Harta Kekayaan)
Dalam jenis pertanggungan ini peristiwa yang timbul itu bergerak
mengenai harta kekayaan dari tertanggung.
c. Liability Insurance
Di sini pertitiwa yang timbul itu bergerak mengenai tanggung
jawab tertanggung terhadap pihak ketiga. Tergolong ke dalam jenis
ini adalah:
Petanggungan atas tanggung jawab umum (Public liability
Insurance) misalnya pertangungan atas tanggung jawab
terhadap bangunan bangunan, kendaraaan bermotor atau mesin
mesin.
99
E.R. Hardy Ivamy, General Principles of Insurance Law, 1975, h.6.
84
Pertanggungan atas tanggung jawab pegawai atau karyawan
(Employer’s Liability Insurance)
Kriteria yang dipakai dalam praktek untuk menggolongkan jenis-
jenis asuransi di atas tidak menyalahi pasal 247 jo 268 KUHD dan yang
akhirnya dapat dikembalikan atau diciutkan kembali pada klasifikasi dua
besar yaitu :
- Pertanggungan Kerugian dan
- Pertanggungan Sejumlah Uang (Pertanggungan Jumlah)
6. Perbedaan Asuransi Kerugian dan Asuransi Jumlah (Asuransi Jiwa)
Di atas telah diuraikan bahwa secara garis besar asuransi dapat
dibedakan menjadi dua jenis asuransi yaitu asuransi kerugian dan asuransi
jumlah (asuransi jiwa). Tujuan asuransi kerugian adalah mengganti
kerugian yang mungkin timbul pada harta tertanggung. Dalam hal ini
tertanggung ingin mengamankan kepentingan terhadap harta kekayaannya;
sedangkan jenis yang kedua adalah asuransi jumlah, yang tujuannya adalah
membayar sejumlah uang tertentu, tidak tergantung apakah evenemen
menimbulkan kerugian atau tidak.
Perbedaan antara asuransi kerugian dan asuransi jumlah terdapat
dalam sejumlah aspek yaitu :
a. Mengenai para pihak dalam perjanjian asuransi
Pada asuransi kerugian hanya ada dua pihak yaitu penanggung
dan tertanggung, sedangkan pada asuransi jiwa, pihak tertanggungnya
dapat “memecah diri” menjadi dua bentuk yaitu :
85
- Penutup (pengambil) asuransi, yaitu orang yang menutup atau
mengambil asuransi(pertanggungan), berkewajiban membayar
uang premi dan akibatnya berhak menerima polis;
- Penikmat/penerima manfaat, yaitu orang yang ditunjuk oleh
penutup asuransi untuk menerima prestasi penanggung, yang
berwujud sejumlah uang yang besarnya telah ditentukan pada saat
ditutupnya asuransi.
b. Mengenai yang dipertanggungkan
Pada asuransi kerugian yang dipertanggungkan adalah “barang”
(benda pertanggungan/ zekerd voorwerp), yang mungkin dapat
diserang bahaya. Tetapi pada asuransi jumlah (jiwa) sesuatu yang
dipertanggungkan adalah jiwa yaitu “hidupnya” seseorang (badan
tertanggung).
c. Mengenai prestasi penanggung
Pada asuransi kerugian, prestasi penanggung adalah mengganti
kerugian yang benar-benar diderita oleh tertanggung, sedangkan pada
pertanggungan jiwa, prestasi penanggung adalah membayar sejumlah
uang tertentu yang telah ditetapkan pada saat ditutupnya
pertanggungan kepada penikmat/penerima manfaat
d. Mengenai kepentingan
Kepentingan pada asuransi kerugian adalah hak subyektif atau
kewajiban yang bernilai uang, dapat diancam bahaya dan tidak
dilarang oleh undang-undang (pasal 268 KUHD), sedangkan
86
kepentingan pada asuransi jiwa adalah bersifat imateriil dan biasanya
berbentuk “hubungan kekeluargaan”
e. Mengenai evenemen
Evenemen pada asuransi kerugian berwujud terjadinya peristiwa tak
tentu yang menimbulkan kerugian pada tertanggung, sedangkan apa
yang dimaksud dengan evenemen pada asuransi jiwa adalah hilangnya
jiwa seseorang atau lampaunya suatu tenggang waktu tertentu tanpa
meninggalnya badan tertanggung.
f. Mengenai asas indemnitas
Asas indemnitas artinya asas ganti kerugian, yaitu hanya kerugian yang
benar-benar diderita oleh tertanggung yang diganti. Asas ini berlaku
bagi asuransi kerugian, tetapi tidak berlaku bagi asuransi jiwa, karena
dalam asuransi jiwa unsur kerugian materiil tidak menjadi hal yang
mutlak adanya.
7. Asuransi jiwa dan Polis Asuransi jiwa
Dari uraian di atas telah terlihat keunikan asuransi jumlah (asuransi
jiwa), oleh karena itu penulis memandang perlu untuk menguraikan
tentang apakah asuransi jiwa, pihak-pihaknya dan hubungannya satu
dengan yang lain serta pemaparan tentang isi dari polis asuransi jiwa.
a. Asuransi Jiwa
Definisi yang diuraikan dalam pasal 246 KUHD adalah definisi
dari asuransi kerugian, walaupun dimaksudkan memberikan definisi
asuransi secara umum, namun definisi tersebut tidaklah sesuai dengan
arti dari asuransi jiwa.Dalam KUHD asuransi jiwahanya
87
diaturdalamtujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai dengan Pasal 308.
Dasar asuransi jiwa dapat diketahui dari Pasal 302 KUHD menyatakan
bahwa : “Jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan
orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidup ataupun untuk
suatu waktu yang ditentukan dengan perjanjian.”
H.M.N. Purwosutjipto mendefinisikan asuransi jiwa sebagai
“perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan
penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama
jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung,
sedangkan penanggung, sebagai akibat langsung dari meninggalnya
orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya jangka
waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah
uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi
sebagai penikmatnya.100
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu
perjanjian asuransi terdiri beberapa pihak yaitu pihak penanggung,
pihak penutup asuransi, pihak tertanggung dan pihak penikmat uang
pertanggungan.
Penutup atau pengambil asuransi (verzekeringnemer) adalah
orang yang menutup perjanjian asuransi dengan penanggung, orang
yang wajib membayar premi dan berhak menerima polis, serta berhak
untuk menetapkan atau menunjuk orang yang jiwanya
dipertanggungkan dan orang yang berhak menerima (menikmati)
100
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6, Djambatan,
Jakarta, 1983, h. 118.
88
santunan yang ditetapkan dalam perjanjian asuransi tersebut.
Sedangkan penikmat (begunstigde) adalah orang yang ditunjuk oleh
penutup asuransi semata-mata berdasarkan pertimbangannya sendiri
sebagai yang berhak menerima santunan berupa sejumlah uang tertentu
dari penanggung; dan penunjukan ini dapat diubah oleh penutup
asuransi.
Hal mana sangat mendekati hibah wasiat, yang adalah
pemberian sejumlah uang tertentu yang akan dibayarkan setelah
seseorang meninggal dunia, yang selama orang yang memberikan
keuntungan itu masih hidup dapat ditarik kembali.
Hartono Soerjopratignjo menyebut asuransi jiwa sebagai hibah
wasiat informil (tidak formil), dimaksudkan dengan istilah itu bahwa
dengan asuransi jiwa memungkinkan dicapai suatu hasil yang biasanya
hanya dapat dicapai dengan hibah wasiat.101
Sebagaimana diketahui
bahwa suatu perbuatan hukum dengan ancaman kebatalan -yang
mengandung dua unsur, yaitu berlaku setelah si pembuat meninggal
dunia, dan dapat ditarik kembali, harus diadakan dengan wasiat; hal ini
dikecualikan dari perjanjian asuransi.
b. Polis Asuransi Jiwa
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya berdasarkan Pasal 257
KUHD perjanjian asuransi bersifat konsensual, akan tetapi Pasal 255
KUHDmengharuskan pembuatan perjanjian asuransi dalam suatu akta
yang disebut polis.Jadi, polis merupakan tanda bukti adanya perjanjian
101
Hartono Sorjopratignjo, ... Testamenter, Op.Cit., h.197.
89
asuransi, tetapi bukan merupakan unsur dari perjanjian asuransi.
Dengan tidak adanya polis, perjanjianasuransi tidak menjadi batal,
kecuali beberapa jenis asuransi, misalnya: Pasal 272 KUHD, Pasal 280
KUHD, Pasal 603 KUHD, Pasal 606 KUHD, Pasal 615 KUHD.
Polis menurut undang-undang harus dibuat oleh tertanggung,
diajukan kepada penanggung untuk ditandatangani. Dalam waktu 24
(dua puluh empat) jampenanggung harus mengembalikan polis itu
kepada tertanggung sesudah ditandatangani (Pasal 259 KUHD). Disini
polis ditentukan harus dibuat olehtertanggung dan tidak oleh
penanggung. Hal ini dengan sengaja ditentukan demikian oleh
pembentuk undang-undang agar kedudukan tertanggung yang pada
umumnya secara ekonomis lebih lemah daripada penanggung
mendapat perlindungan.102
Walaupun menurut undang-undang polis
harus dibuat oleh tertanggung, diajukan kepada penanggung untuk
ditandatangani, tetapi dalam praktik, polissudah disiapkan
penanggung, sedangkan tertanggung berhak untuk mengoreksinya.
Dari Pasal 255 KUHD dan Pasal 257 KUHD dapat diambil
kesimpulan bahwa polis tidak merupakan syarat mutlak bagi adanya
perjanjian pertanggungan,tetapi hanya alat pembuktian saja. Pasal 258
KUHD memperbolehkan adanyapembuktian lain, asal sudah ada surat
permulaan pembuktian dengan tulisan.103
Menurut Ali Rido, polis adalah suatu akta yang ditandatangani
oleh asurador, yang fungsinya sebagai alat bukti dalam perjanjian
102
H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit., h. 62. 103
Ibid.
90
asuransi. Sedangkan Molenggraf mengatakan polis adalah suatu akta
sebagai tulisan sepihak, dimana diuraikan dengan syarat-syarat apa
asurador menerima perjanjian asuransi.104
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, “Polis atau
bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang
merupakan kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata,
atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda
mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan
kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus
haknya.”105
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka
dapat di pahami bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang
menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung
dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis isi yang tercantum dalam
polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang
mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan
interpretasi sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung
merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan
asuransi.Disamping itu polis juga memuat kesepakatan mengenai
syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar
pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi.106
1) Isi Polis Asuransi Jiwa
104
H.Mashudi & Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi, Mandar Maju, Bandung, I998, h. 59. 105
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya, Bandung, 2002, h.59. 106
Ibid.
91
Undang-undang menentukan bahwa setiap polis harus
memenuhi syarat minimal sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 256
KUHD sebagai syarat umum. Disamping syarat-syarat umum,
dalam setiap jenis asuransi terdapat syarat-syarat khusus yang
disesuaikan dengan jenis asuransi.Pasal 256 KUHD menentukan
bahwa setiap polis, kecuali yang mengenai pertanggungan jiwa,
harus menyatakan:107
1. Hari ditutupnya pertanggungan.
2. Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan
sendiri atau atas tanggungan orang ketiga.
3. Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang
dipertanggungkan.
4. Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan.
5. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung.
6. Saat pada mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si
penanggung dan pada saat berakhirnya itu.
7. Premi pertanggungan tersebut; dan
8. Pada umumnya, suatu keadaan yang kiranya penting; bagi si
penanggung untuk diketahuinya; dan segala syarat diperjanjikan
parapihak.
Pada dasarnya syarat-syarat tersebut berfungsi sebagai
ketentuan umum sehingga kadang dianggap belum / kurang cukup
untuk mengatur perjanjian antarpenanggung dan tertanggung.
107
Ibid. h.66.
92
Karena itu selanjutnya timbul suatu kebutuhan untuk menambah
syarat-syarat lain yang khusus.
Pada umumnya syarat-syarat tambahan / khusus tersebut
dibagi dalam 2 (dua) jenis, yakni:
a. Syarat-syarat yang bersifat larangan.
Yang dimaksud dengan syarat-syarat yang bersifat larangan
adalah syarat-syarat dimana dinyatakan bahwa tertanggung
dilarangmelakukan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman
apabila larangan dilanggar oleh tertanggung, maka perjanjian
asuransi menjadi batal.
b. Syarat-syarat lain.
Yang dimaksud dengan syarat-syarat lain adalah semua
syarat-syarat yang tidak mengandung ancaman-ancaman batalnya
perjanjianasuransi.108
2). Hak dan Kewajiban Pemegang Polis
Pemegang polis ialah pihak yang kedudukannya sangat
penting disamping penanggung. Sebab ia dapat menentukan
kehendak secara bebas, apakah akan melanjutkan perjanjian
pertanggungan atau akan menghentikannya.
Hak-hak dari pemegang polis meliputi :
1. Menebus polis
2. Menggadaikan polis
108
Ibid. h. 128.
93
3. Menerima pembayaran faedah asuransi
4. Merubah pihak yang ditunjuk
Ad. 1. Penebusan Polis
Polis ini pada waktunya akan mempunyai nilai tunai
berdasarkan perhitungan teknis asuransi jiwa (aktuaria)
sesuai dengan apa yang tercantum dalam Daftar Nilai Tunai
yang terlampir dalam polis. Menurut syarat-syarat umum
polis, pemegang polis berhak untuk meminta agar
perusahaan bersedia menebus polisnya, dengan syarat
asalkan perjanjian masih berlaku dan mempunyai nilai
tebus. Dengan berlakunya transaksi penebusan polis dan
polis diserahkan kepada perusahaan maka perjanjian
menjadi hapus.
Cara seperti ini adalah merupakan penyelesaian
perjanjian asuransi yang tidak sesuai dengan tujuan
berasuransi, karena dalam berasuransi kita berharap untuk
memperoleh perlindungan dari resiko terhadap diri kita
sepanjang masa kontrak asuransi.
Ad. 2. Penggadaian Polis
Polis yang telah mempunyai Nilai Tunai dapat
dipergunakan sebagai jaminan untuk pinjaman atas Polis.
Pada umumnya besarnya pinjaman yang dapat diberikan
maksimum 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Tunai.
94
Atas pinjaman tesebut pemegang polis diwajibkan
untuk membayar bunga yang besarnya ditentukan oleh
penanggung.Pada waktu pinjaman dilakukan, Polis harus
diserahkan kepada Penanggung sebagai
jaminan.Pengembalian pinjaman dan bunganya dapat
dilakukan sekaligus ataudiangsur atau diperhitungkan pada
saat pembayaran Uang Pertanggungan.
Ad. 3. Menerima Pembayaran Faedah Asuransi
Uang Pertanggungan akan dibayarkan kepada
Pemegang Polis atau Ahli Waris sesuai dengan macam
pertanggungan (jenis produk asuransi) dan setelah
persyaratan-persayaratan diterima dengan lengkap dan
disetujui oleh Penanggung.
Semua hutang – hutang, bunga dan atau tunggakan
–tunggakan premi akan diperhitungkan sebelum Uang
Pertanggungan dibayarkan kepada Pemegang Polis atau
Ahli Waris. Pembayaran itu dilakukan di kantor Pusat
Penanggung atau Kantor Perwakilan lain yang ditentukan
oleh Penanggung.
Jika oleh karena hal apapun Uang Pertanggungan
tidak diambil pada waktunya oleh Pemegang Polis atau
Ahli Waris, Penanggung dibebaskan dari pembayaran
bunga atas Uang Pertanggungan atau pembayaran ganti rugi
apapun juga.
95
Uang Pertanggungan dibayarkan kepada Pemegang
Polis, kecuali jika terjadi klaim meninggal karena kematian
pemegang polis yang juga sebagai tertanggung, maka Uang
Pertanggungan akan dibayarkan kepada Ahli Waris. Jika
Uang Pertanggungan tidak dapat dibayarkan kepada Ahli
Waris pada saat terjadi klaim kematian, maka klaim akan
dibayarkan kepada wakil/penganti Ahli Waris kepada Ahli
Waris sah dari Ahli Waris.
Dalam hal Uang Pertanggungan yang dibayarkan
kepada beberapa orang Ahli Waris, maka Uang
Pertanggungan akan dibayarkan secara merata kepada
setipa orang yang tercatat sebagai Ahli Waris, kecuali jika
Pemegang Polis atau Tertanggung secara khusus telah
mengatur bagian yang menjadi hak setiap Ahli Waris dalam
aplikasi atau surat pernyataan khusus.
Bila Ahli Waris masihdi bawah umur atau berada
dibawah perwalian/pengampuan, maka klaim diajukan oleh
Wali Pengampu yang disahkan menurut hukum.
Bila Ahli Waris telah meninggal dunia atau
dinyatakan hilang pada saat Tertanggung meninggal dunia,
maka klaim diajukan oleh Ahli Waris menurut Hukum
Waris Indonesia.
Ad. 4. Merubah Pihak Yang Ditunjuk
96
Pemegang Polis dengan permintaan tertulis yang
diajukan kepada Penanggung setipa waktu dapat menganti
Ahli Waris. Selama ada hubungan kepentingan Asuransi
(Insurable Interest) antara Pemegang Polis dengan Ahli
Waris, permintaan penggantian ini akan disetujui oleh
Penanggung.
Jika Pemegang Polis juga merupakan Tertanggung,
Pemegang Polis dapat menunjuk siapa saja sebagai Ahli
Waris, selama terdapat hubungan kepentingan asuransi
(Insurable Interest).
Jika Pemegang Polis dan Tertanggung orang yang
berbeda, maka harus ada Insurable Interest antara
Pemegang Polis dan Tertanggung serta antara Tertanggung
dan Ahli Waris.
Dalam hal Pemegang Polis yang bukan Tertanggung
meninggal dunia, maka Tertangung menggantikan
kedudukannya sebagai pemegang Polis. Dalam hal
Tertanggung belum cakap hukum,maka Ahli Waris dalam
Polis yang ditunjuk akan menjadi Pemegang Polis.
Kedudukan pihak tertunjuk yang sudah meninggal
dunia dapat digantikan oleh ahli warisnya apabila tidak ada
lagi pihak yang ditunjuk, perubahan pihak yang ditunjuk
oleh pemegang polis tersebut selamanya harus dengan
97
persetujuan perusahaan dan harus dinyatakan dalam catatan
polis atau keterangan lain dari perusahaan.
Kewajiban Pemegang Polis
Kewajiban utama Pemegang Polis adalah membayar premi
pada waktu yang telah ditentukan. Pada dasarnya premi adalah
premi tahunan dan harus dibayar dimuka. Dengan persetujuan
Penanggung, premi dapat diangsur dalam beberapa tahap
(bulanan, triwulan, setengah tahunan).
8. Klaim dan Pembayaran Uang Pertanggungan pada Asuransi Jiwa
Klaim adalah tuntutan yang diajukan Pemegang Polis atau Ahli
Waris terhadap pelayanan atau janji yang diberikan penanggung pada saat
kontrak asuransi jiwa dibuat. Ketika klaim muncul dan seluruh syarat dan
ketentuan untuk penyelesaian klaim telah dilengkapi, maka penanggung
harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang tertera dalam polis
yaitu, membayar uang pertanggungan dan /atau membayar sejumlah uang
pertanggungan manfaat kelangsungan hidup (Survival Benefits)/ bonus
loyality sebagaimana telah diperjanjikan.
Dalam asuransi jiwa terdapat dua jenis Klaim yaitu Klaim Jatuh
Tempo (Maturity Claim) dan Klaim Kematian (Death Claim). Dalam
klaim jatuh tempo, pemegang polis bertahan hidup sampai masa kontrak
polis berakhir atau sampai pada jangka waktu yang telah ditentukan,
misalnya, Polis Dana Pendidikan : saat anak masuk SD menerima 10%
dari Uang Pertanggungan, saat masuk Universitas menerima 30% dari
98
Uang Pertanggungan. Klaim jatuh tempo biasanya terjadi pada polis
Dwiguna (Endowment).
Klaim kematian terjadi pada saat tertanggung meninggal pada masa
perlindungan polis atau masa asuransi masih berlaku. Perusahaan Asuransi
jiwa tidak mengharapkan kematian dari tertanggung dalam jangka waktu
kurang dari dua tahun sejak dimulainya polis. Klaim yang tidak
diharapkan ini disebut juga “Klaim Lebih Awal” dan akan dilakukan
investigasi secara menyeluruh.
Syarat-syarat Untuk Pengajuan Pembayaran Uang Petanggungan
sebagai bahan/syarat yang diperlukan untuk pengajuan pembayaran Uang
Pertanggungan apabila Tertanggung masih hidup (Maturity Claim) maka
dibutuhkan :
- Polis asli,
- Kuitansi asli pembayaran premi terakhir,
- Surat Pengajuan Klaim dari Pemegang Polis,
- Bukti kenal diri Pemegang Polis ;
Jika Tertanggung meninggal dunia (Death Benefit) maka dibutuhkan :
- Polis asli,
- Kuitansi asli pembayaran premi terakhir,
- Formulir Pengajuan Klaim dari Ahli Waris,
-Bukti kenal diri Ahli Waris,
- Surat keterangan dokter tentang sebab – sebab kematian,
- Surat keterangan kematian,
99
- Surat –surat keterangan yang dilegalisir oleh Konsul Jendral setempat,
bila Tertanggung meninggal dunia di luar wilayah Republik Indonesia,
- Surat Berita Acara dari kepolisisan dalam hal tertanggung meninggal
dunia dengan tidak wajar atau karena kecelakaan,
- Putusan Pengadilan yang menyatakan Tertanggung meninggal dunia, bila
Tertanggung hilang.
Departemen klaim pada perusahaan Penanggung akan melakukan
pengecekan awal untuk memverifikasi apakah klaim masih berlaku atau
tidak. Verifikasi berkisar pada pertanyaan seperti:
a. Apakah polis masih berlaku?
b. Apakah premi terakhir telah dibayar lunas?
c. Apakah seluruh persyaratan telah terpenuhi?
d. Apakah terdapat tendensi penipuan?
e. Apakah formulir klaim telah dilengkapi dan ditandatangani?
Pembayaran Uang Pertanggungan
Uang pertanggungan akan dibayarkan kepada Pemeang Polis atau
ahli waris sesuai dengan macam pertanggungan dan setelah bahan-
bahan/syara-syarat yang diperlukan untuk pengajuan pembayaran uang
pertanggungan telah diterima lengkap dan disetujui oleh Penanggung.
Uang pertanggungan akan dibayarkan kepada Pemegang Polis,
kecuali jika terjadi klaim karena kematian Tertanggung, maka uang
pertanggungan akan dibayarkan kepada Ahli Waris; jika uang
pertanggungan tidak dapat diserahkan kepada ahli waris pada saat terjadi
100
klaim kematian, maka klaim akan dibayarkan kepada wakil/pengganti ahli
waris atau kepada ahli waris sah dari ahli waris.
Dalam hal uang pertanggungan dibayarkan kepada beberapa
ahli waris, maka akan dibagikan secara merata kepada setiap orang yang
menjadi ahli waris, kecuali jika Pemegang Polis telah mengatur bagian
yang menjadi hak masing-masing ahli waris. Pihak perusahaan asuransi
akan memberikan uang asuransi kepada orang yang dikuasakan untuk
menerimanya.
Seringkali klaim gagal dibayar, ternyata tidak semua kegagalan
pembayaran klaim disebabkan oleh perusahaan asuransi. Bisa juga
penyebabnya adalah nasabah sendiri.Umumnya ada lima kesalahan
nasabah yang bisa menyebabkan uang pertanggungan tidak dibayarkan
1. Ketidak jujuran nasabah
Sebelum seseorang memiliki produk Asuransi Jiwa, ia lebih
dahulu harus mengisi Surat Permohonan Asuransi. Dalam Surat
Permohonan terdapat pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh
seorang calon nasabah, dan dari jawaban-jawaban itulah Perusahaan
Asuransi akan melihat apakah akan memberikan perlindungan
Asuransi Jiwa kepada pemohon atau tidak. Nah, saat mengisi Surat
Permohonan inilah seringkali calon nasabah tidak memberikan
jawaban yang benar. Misalnya, dalam Surat Permohonan terdapat
pertanyaan tentang apakah Anda pernah dirawat di Rumah Sakit dalam
dua tahun terakhir. Jika calon nasabah menjawab tidak, padahal ia
101
pernah dirawat di Rumah Sakit enam bulan lalu , maka bila terjadi
kematian pada nasabah tersebut dan perusahaan Asuransi menemukan
bahwa penyebab kematian nasabah adalah karena adanya penyakit
yang pernah membuatnasabah tersebut masuk Rumah Sakit sekitar
enam bulan lalu, dalam hal ini Perusahaan Asuransi tidak akan
membayar Pertanggungan yang mereka janjikan.
2. Adanya pengecualian oleh Perusahaan Asuransidalam membayar uang
Pertanggungan.
Kadang-kadang Perusahaan asuransi jiwa tidak memberikan
manfaat yang mereka janjikan bila ternyata penyebab kematian
nasabah memang dikecualikan . Ini umumnya Perusahaan Asuransi
menetapkan jumlah pengecualian yang bervariasi. Akan tetapi
umumnya adalah :
- Kematian karena bunuh diri yang terjadi dalam waktu dua tahun
setelah pertanggungan berlaku,
- Kematian karena hukuman mati dari Pengadilan yang terjadi dalam
waktu dua tahun setelah pertanggungan berlaku,
- Kematian karena pekerjaan/jabatan tertanggung yang mengandung
resiko (Occupational Risks), sepanjang resiko tu tidak
dipertanggungkan,
- Kematian karena olah raga atau kesenangan (hobby) yang
mengandung bahaya, sepanjang kegiatan tersebut tidak
dipertanggungkan
- Kematian akibat perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan
102
sengaja oleh mereka yang berkepentingan dengan pertanggungan.
3. Nasabah terlalu lama mengajukan klaim
Pada umumnya Perusahaan Asuransi menetapkan batasan
waktu pengajuan klaim asuransi. Lama batasan waktu yang diberikan
oleh perusahaan Asuransi bisa dibaca dari polis asuransi.
4. Syarat-syarat saat pengajuan klaim kurang lengkap
Perusahaan Asuransi biasanya meminta sejumlah persyaratan
saat pengajuan klaim apabila betul terjadi risiko kematian pada orang
yang ditanggung. Persyaratan –persyaratan yang diperlukan itu sering
tidak dipenuhi atau dilengkapi oleh ahli waris nasabah yang
bersangkutan, sehingga perusahaan Asuransi tidak bisa langsung
membayar klaim.
5. Tidak dibayarnya premi oleh nasabah dalam jangka waktu yang sudah
ditentukan.
Jika tertanggung tidak membayar premi sesuai dengan jangka
waktu yang ditentukan, bisa saja Polis Asuransi menjadi tidak berlaku
lagi. Ini berarti tertanggung tidak lagi dilindungi asuransi. Biasanya
nasabah rajin membayar premi pada awal, tetapi pada suatu saat
tertentu, premi tidak lagi dibayar, bahkan hingga batas waktu tertentu.
Dalam hal ini nasabah harus membaca/mengetahui peraturan
pembayaran premi pada perusahaan Asuransi dimana yang
bersangkutan menjadi nasabahnya jangan sampai Polis Asuransi
103
menjadi tidak berlaku karena nasabah tidak jelas mengenai
peraturannya atau tidak tertib membayar premi.