BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI KONSEP DAN BATASAN ... · A. DEFINISI KONSEP DAN BATASAN KONSEP...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI KONSEP DAN BATASAN ... · A. DEFINISI KONSEP DAN BATASAN KONSEP...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI KONSEP DAN BATASAN KONSEP
1. Representasi
Seperti yang dikatakan oleh Barker dalam buku Cultural
Studies bahwa bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan
secara sosial kepada dan oleh kita. Bahkan unsur utama cultural
studies dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik
signifikasi representasi. Ini mengharuskan kita mengeksplorasi
pembentukan makna tekstual. Ia juga menghendaki penyelidikan
tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi
dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka melekat
pada bunyi, prasasti, obyek, citra, buku, majalah, dan program televisi.
Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam
konteks sosial tertentu.
Representasi adalah hubungan antara konsep-konsep dan
bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang
sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner
tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa.
Representasi (Representation) adalah tindakan menghadirkan
atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya,
biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2003:21).
Representasi diartikan sebagai suatu tindakan yang
menghadirkan sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda,
baik suara maupun gambar. Representasi merupakan penggambaran
realitas yang dikomunikasikan atau diwakilkan dalam tanda. Konsep
representasi dapat berubah-ubah, karena makna sendiri tidak pernah
tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan
situasi yang baru intinya adalah makna selalu dikonstruksikan,
diproduksi lewat proses representasi.
Ada dua hal berkait dengan representasi yakni, pertama:
apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan
sebagaimana mestinya, apa adanya ataukah diburukkan.
Penggambaran yang tampil bisa jading adalah penggambaran yang
buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok
tertentu. Hanya citra buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau
sisi yang baik luput dari penampilan. Kedua: bagaimana representasi
tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi dan bantuan
foto macam apa seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut
ditampilkan dalam program (Eriyanto, 2006: 113).
2. Subkultur
Menurut Fitrah Hamdani, subkultur adalah gejala budaya
dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk berdasarkan
usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk penciptaan
gaya (style) dan bukan hanya merupakan penentangan terhadap
hegemoni atau jalan keluar dari suatu ketegangan sosial (Tammaka,
2007:164).
Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang
yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan
kebudayaan induk mereka. Secara harfiah, subkultur terdiri dari dua
kata. ‗Sub‘ yang berarti bagian, sebagian dan ‗kultur‘ kebiasaan dan
pembiasaan. Tapi secara konseptual, subkultur adalah sebuah gerakan
atau kegiatan atau kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang
besar. Secara kasar itu bisa diartikan sebagai ‗budaya yang
menyimpang‘.
Keakuratan subkultur merupakan hal yang berdaya mobilitas
mengkonstitusi obyeknya dari studi. Hal ini merupakan suatu istilah
klasifikatori yang mencoba memetakan dunia sosial di dalam suatu
tindakan terhadap representasi. Keakuratan subkultur bukan pada
sejauh mana mampu berfungsi dalam pemakaiannya. Kata ‗Sub‘
bermakna sebagai istilah dan menunjukkan perbedaan dengan jelas
arus utama budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain,
subkultur dimaksudkan agar bagian masyarakat tertentu mampu
memaknai hidup secara baru sehingga dapat menikmati kesadaran
menjadi yang lain dalam perbedaan terhadap budaya dominan
masyarakat.
Masyarakat minoritas atau masyarakat subkultur ini juga terjadi
pada Kpopers. Mereka merupakan kalangan minoritas yang menyukai
segala sesuatu yang berbau Korea. Apa yang mereka sukai tidak
banyak orang lain yang menyukainya. Terkadang di sini mereka
dipandang sebelah mata bahkan dipandang negatif karena beberapa
Kpopers terkadang mengeluarkan reaksi yang berlebihan ketika
mereka melihat hal-hal yang berbau Korea. Di sinilah masyarakat
melihat mereka dengan tatapan sinis. Tapi tidak bagi mereka sesama
Kpopers. Bagi mereka itu adalah reaksi yang biasa mereka lakukan.
Subkultur adalah budaya minoritas, kelas sosial tertentu atau
kelompok yang bukan merupakan bagaian dari budaya populer
mainstream. Subkultur anak muda adalah subkultur khusus pemuda.
Ada rasa yang kuat homogenitas dalam subkultur pemuda karena
pemuda ingin berjalan, berbicara, bertindak dan terlihat seperti orang
lain usia mereka merasa seperti mereka milik kelompok. Pada saat
yang sama, pemuda juga memiliki rasa yang kuat dari identitas yang
berbeda dari generasi tua yang mereka ekspresikan melalui pakain dan
tindakan, dan kebanyakan subluktur pemuda memiliki rasa perlawanan
baik terhadap masyarakat atau generasi tua. Ini adalah melalui
kerangka umum ini pikiran dan interaksi bahwa anggota subkultur
pemuda datang bersama-sama.
3. Budaya Pop
Kata “culture” menurut sosiologi, kebudayaan adalah total dari
warisan ide-ide, keyakinan, nilai-nilai, dan pengetahuan yang
merupakan basis bersama dalam aksi sosial (Liliweri, 2014; 3)
Menurut Greme (1999), budaya populer didefinisikan oleh
kepercayaan dan nilai, oleh perilaku dan nilai, dan oleh pemahaman
terhadap sejarah dan terhadap keberadaan semua hal tersebut dimiliki
oleh kelompok sosial tertentu.
Konsep-konsep kunci budaya populer mencangkup hal-hal
berikut ini :
a. Pemahaman tentang perbedaan dan identitas
b. Bagaimana identitas direpresentasikan
c. Bagaimana budaya diproduksi
d. Cara hubungan sosial dan hubungan budaya disamakan
dengan barang-barang
e. Bagaimana makna tentang perbudakan diproduksi dalam
teks
f. Bagaimana ideologi beroprasi dalam praktik dan barang
kebudayaan
Logika dasar tesis kedekatan budaya itu sendiri. Dalam sejarah
budaya populer, hal yang asing dan jauh dapat menjadi sumber daya
tarik, sama halnya dengan hal yang akrab dan dekat. Aktor tampan,
potongan rambut, pakaian dan rumah yang bergaya, pemandangan
indah, serta santapan merupakan sebagian dari daya tarik utama bagi
para penggemar drama televisi Asia Timur ini. Dapat dikatakan semua
hal itu memukau para penonton, justru karena asing dan bukan bagian
dari kehidupan sehari-hari para penonton itu (Heryanto, 2015; 264).
4. Budaya Pop Korea
Budaya pop Korea disebut juga Hallyu yang dalam bahasa
Inggris disebut Korean Wave. Budaya pop Korea tersebar sangat luas
karena perkembangan teknologi media massa yang semakin modern.
Dalam penelitian yang ditulis oleh Nesya Amellita (2010) yang
berjudul Kebudayaan Populer Korea : Hallyu dan
Perkembangannya Di Indonesia mengatakan bahwa demam Hallyu
menyebabkan banyak orang menyukai produk-produk budaya pop
Korea seperti drama seri, film dan musik. Kini, kecintaan khalayak
terhadap budaya pop Korea ini semakin berkembang ke gaya hidup
seperti makanan, fashion, pariwisata (lokasi syuting film Korea), dan
olahraga (Hallyu Academy, 2005). Banyak remaja di negara yang
terkena fenomena Hallyu mencontoh gaya hidup, penampilan, bahkan
mulai menyukai olahraga yang sering ditampilkan televisi dalam
drama ataupun film-film Korea. Budaya pop Korea mempunyai
keunikan hingga berhasil merebut pangsa pasar di Asia, khususnya
Indonesia. Keunikan-keunikan budaya Korea itu, antara lain drama seri
Korea memiliki tema yang kuat.
Budaya pop selalu menjadi perdebatan di kalangan para ahli.
Tidak ada definisi secara umum yang menjelaskan budaya pop.
Budaya populer dipahami sebagai berbagai suara, gambar, dan pesan
yang diproduksi secara massal dan komersial termasuk film, musik,
busana dan acara televisi serta praktik pemaknaan terkait, yang
berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen, terutama sebagai
hiburan. Budaya populer juga mengakui adanya berbagai bentuk
praktik komunikasi lain yang bukan hasil industrialisasi yang
memanfaatkan berbagai forum dan berbagai acara. (Heryanto, 2015;
22).
Budaya populer mempunyai watak yang mudah berubah
tergantung pada konteksnya. Yang paling menonjol dari budaya
populer adalah sifatnya yang mudah diakses dan mudah menarik
perhatian orang banyak. Budaya populer relatif murah dan mudah
menarik perhatin dari berbagai kalangan, gender dan usia. Daya tarik
dari budaya populer ini adalah kesederhanaan, keakrabannya dan
kemudahan ketika digunakan (Heryanto, 2015; 23).
K-Pop merupakan kepanjangan dari Korea Pop yang dikenal
juga dengan Korean Wave atau gelombang Korea. Pada sejarahnya K-
Pop berkembang di Indonesia setelah masuknya budaya Tiongkok,
Taiwan dan Jepang. Kesamaan ras di antara Tiongkok, Taiwan dan
Jepang mengakibatkan tidak susahnya budaya Korea yang ikut masuk
ke Indonesia.
Masuknya K-Pop di Indonesia diawali dengan masukknya
drama Korea yang ditayangkan di televisi Indonesia. Beberapa drama
Korea yang sempat menarik perhatian public di antaranya Jewel in The
Palace, Full House, Winter Sonata, Coffe Prince, Princess Hours dan
Boys Before Flowers. Drama Korea mempertontonkan berbagai
pemandangan negara Korea yang indah, gedung-gedung yang
menjulang tinggi, tekhnologi yang canggih dan para pemain yang
cantik dan tampan.
Berkembangnya drama Korea ikut menaikkan minat penonton
terhadap pemandangan negara Korea yang disuguhkan di dalam drama
tersebut. Selain pemandangan yang disuguhkan, kecintaan masyarakat
terhadap budaya Korea semakin berkembang ke gaya hidup seperti
makanan, fashion, musik dan tekhnologi. Banyak remaja yang kini
mengikuti fashion Korea seperti apa yang mereka lihat di drama
Korea. Musik Korea yang kini menjadi yang paling populer untuk
penggemar Korea dengan mudah mereka unduh melalui internet.
Bahkan di antara mereka mampu menghafal lirik Korea tanpa mereka
tahu apa artinya. Semakin banyaknya restoran Korea bisa memanjakan
minat masyarakat untuk bisa ikut serta merasakan makanan yang
selama ini mereka lihat di berbagai tayangan Korea. Budaya Korea
semakin mudah masuk ke Indonesia dengan masukknya tekhnologi
Korea yang semakin maju seperti handphone yang bermerk Samsung
yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia.
Masuknya drama Korea yang diikuti oleh musik, fashion,
makanan dan tekhnologi Korea menjadikan salah satu faktor yang
menarik minat masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi budaya
Korea tersebut. Tontonan Indonesia yang akhir-akhir ini dianggap
kurang mendidik masyarakatnya menimbulkan kebosanan masyarakat
untuk mengkonsumsi tontonan yang disuguhkan oleh negara sendiri.
Drama Korea yang dianggap lebih variatif, memiliki tema yang
beragam, pemain yang cantik dan tampan dan cerita yang tidak
monoton dan ending yang tak terduga menjadi salah satu yang menarik
minat masyarakat untuk menonton tayangan Korea dibandingnkan
dengan tayangan televisi Indonesia.
Drama Korea menyuguhkan berbagai cerita unik seperti drama
Blood yang menceritakan kisah seorang dokter yang terinfeksi virus
langka yang menyebabkan dia menjadi seperti seorang vampire yang
haus akan darah. You Who Came From The Star yang bercerita tentang
seorang alien yang tertinggal di bumi selama 300 tahun dan ketika di
saat terkahir dia bisa kembali ke planetnya, dia justru menemukan
orang yang dicintainya. I Hear Your Voice yang menceritakan kisah
seorang pria yang bisa mendengar suara hati atau batin orang lain
hanya dengan melihat matanya sejak ayahnya dibunuh di hadapannya
ketika dia masih kecil. School 2013 tentang kisah persahabatan dua
murid SMA yang meskipun hal buruk terjadi padanya, seorang teman
akan ada untuk selalu membantunya.
Beberapa masyarakat Indonesia menemui kebosanan dengan
tontonan tayangan yang monoton. Masyarakat modern yang
didominasi oleh kaum wanita ini menemukan solusi yang sedang
populer saat ini yaitu masukknya budaya Korea. Berbagai moral value
mereka temukan di berbagai tayangan seperti cerita persahabatan,
keluarga dan sekolah.
Dalam sejarah budaya populer, hal yang asing dan jauh dapat
menjadi sumber daya tarik, sama halnya dengan hal yang akrab dan
dekat. Aktor tampan, potongan rambut, pakaian dan rumah yang
bergaya, pemandangan indah, serta santapan merupakan sebagian dari
daya tarik utama bagi para penggemar drama televisi Asia Timur ini.
Dapat dikatakan semua hal itu memukau para penonton, justru karena
asing dan bukan bagian dari kehidupan sehari-hari para penonton itu
(Heryanto, 2015; 264).
Masukknya drama Korea memberikan pengaruh yang lain
seperti munculnya OST atau soundtrack yang muncul dalam drama
tersebut. Sekarang ini yang paling populer dari konsumsi budaya
Korea adalah musik yang dibawakan oleh berbagai penyanyi yang
berasal dari negri gingseng itu. Mudahnya akses untuk mengunduh
lagu-lagu tersebut memudahkan masyarakat untuk mengkonsumsinya.
Pengaruh selanjunya dari musik Korea adalah pakaian yang
dipakai oleh para penyanyinya. Budaya Korea yang paling diminati
masyarakat selain drama adalah musiknya. Bahkan musik bisa menarik
massa yang sangat banyak hingga menciptakan sekelompok fans yang
bergabung menjadi satu sesuai dengan artis yang mereka sukai. Untuk
saat ini K-Pop didominasi oleh peminat musik Korea. Musik Korea
banyak diminati karena mengadaptasi musik barat dengan gaya Korea
dan dengan visual artisnya yang bagus. Dengan kemasan yang
menarik, musik yang ceria, efek music video yang modern serta
pemasaran global dengan didukungnya media sosial internet yang
mudah diakses oleh siapa saja menyebabkan merebaknya para
penggemar Korea.
Secara khusus, bentuk paling khas dari tindakan para
penggemar K-Pop di awal abad ini meliputi lomba menyanyi (dalam
bahasa Korea), ―cover dance” yakni tarian yang meniru para idola
mereka (termasuk pakaian, potongan rambut, koreografi kelompok
musik idola hingga rinci), atau flash mob, yakni penampilan
pertunjukkan tari dadakan di tempat umum, misalnya pusat
perbelanjaan (Heryanto, 2015; 246).
Cover dance sering ditirukan khususnya oleh para kalangan
remaja. Untuk memberikan kesan mirip dengan idola mereka, mereka
menirukan keseluruhan dari apa yang idola mereka kenakan. Mulai
dari gaya berpakaian hingga gaya rambut. Begitu inginnya mereka
mirip dengan idola mereka, mereka mengecat rambut sama dengan
warna rambut idola mereka. Bentuk representasi yang paling digemari
saat ini adalah cover dance. Cover dance sebagai bentuk representasi
untuk seorang cover dance yang ingin menjadi idol wanna be atau
melakukan hal yang dilakukan oleh idola mereka. Sedangkan bagi
yang melihatnya itu adalah wujud dari keinginan mereka untuk melihat
idola mereka secara langsung yang tertunda. Cover dance merupakan
perwujudan yang hampir mirip dengan idola mereka.
Pada tahapan sejarah ini, impian seperti ini beririsan dengan
politik identitas yang sedikit berbeda tapi masih berhubungan, yakni
merosotnya budaya maskulin seiring jatuhnya pemerintahan
militeristik Orde Baru, hasrat selruh bangsa untuk mencari model
alternative untuk menjadi laki-laki dan perempuan di Indonesia
modern (Clark 2010; Nilam 2009), menguatnya perasaan kebebasan
dan kepentingan di anatara sebagian kelas mengengah baru dalam
mengejar tren global dalam budaya konsumen (Gerke 2000; Heryanto
1999; van Leeuwen 2011), berkurangnya secara mencolok ketegangan
ras terhadap minoritas Tionghoa, dan kebangkitan islamisasi
(Heryanto, 2015; 244).
5. Kpopers
Kpopers adalah istilah yang diberikan kepada seseorang atau
sekelompok orang yang menyukai kebudayaan Korea. Mulai dari
budaya, musik dan lagu, gaya berbusana, pariwisata, makanan, dan
lain-lain. Akan tetapi pada masa sekarang, istilah Kpopers lebih sering
digunakan untuk seseorang atau sekelompok orang yang menyukai
boysband atau girlsband Korea. Hal ini dikarenakan boyband atau
girlband dan girlsband Korea adalah salah satu sub kebudayaan Korea
yang paling populer saat ini. Kpopers biasanya memiliki grup masing-
masing yang mereka sukai. Mereka memiliki wadah yang berisi
sesama anggota Kpopers yang terkadang ada event tertentu yang
khusus diadakan untuk Kpopers yang sering disebut dengan K-Fest
atau Korean Festival.
Para penggemar ini bekerja sama menciptakan ulang teks dan
gambar, lalu menyebarkan isi yang mereka ubah itu. Meniru tarian
merupakan salah satu bentuk kerja sama penggemar yang paling umum
ditemui di dunia. Istilah `cover dance` biasanya berarti satu versi lagu
yang dinyanyikan oleh seorang artis yang berbeda dari penyanyi
aslinya. Namun, dalam kasus kegiatan penggemar, istilah itu mengacu
pada satu versi nyanyian atau tarian yang ditampilkan oleh penggemar.
Di Thailand, beberapa kelompok yang mendedikasikan diri untuk
meniru kelompok idola K-Pop mereka telah mendapatkan popularitas
di Youtube dan menjadi pesohor kecil tersendiri (Heryanto, 2015: 246).
Di Kota Surakarta sendiri sudah mulai menjamur kelompok
cover dance yang berkiblat boyband dan girlband yang berasal dari
Negara Korea. Umumnya mereka memfokuskan kelompok mereka
pada satu boyband atau girlband yang tarian mereka akan mereka
tirukan. Banyaknya boyband dan girlband asal Korea mengakibatkan
banyak pula kelompok cover dance yang bermunculan di Kota
Surakarta. Kelompok cover dance ini ada yang bergabung dalam suatu
komunitas dan adapula yang berdiri sendiri. Adanya acara Korean
Festival (K-Fest), dijadikan wadah bagi mereka untuk menampilkan
bakat dan kemampuan yang mereka miliki.
Selain kelompok cover dance, seseorang bisa dikatakan sebagai
Kpopers jika dia menyukai hal-hal yang berbau Korea seperti lagu-
lagu yang boyband dan girlband nyanyikan, drama Korea dan style
Korea. Kpopers sendiri lebih mengacu pada apa yang ada pada
boyband dan girlband Korea. Apa yang mereka nyanyikan, baju atau
style apa yang mereka pakai, bagaimana mereka berinteraksi dengan
orang lain, drama apa yang mereka perankan, tempat mana yang
mereka kunjungi, bagaimana tingkah dan perilaku mereka dan lain
sebagainya. Kebanyakan orang yang menyukai Korea dan menjadi
Kpopers adalah orang-orang yang mengikuti setiap gerak-gerik artis
Korea yang mereka sukai. Artis atau idola yang mereka sukai, mereka
jadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. mulai dari cara
berpakaian, cara bertingkah dan berperilaku, gaya berbahasa dan
bagaimana mereka menyikapi hidup mereka.
6. Komunitas
Komunitas dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang
memiliki kesukaan yang sama yang berkumpul menjadi satu yang
saling berinteraksi. Dalam penelitian Aulia Dwi Nastiti (2012) yang
berjudul Identitas Kelompok Disabilitas Dalam Media Komunitas
Online (Studi Mengenai Pembentukan Pesan dalam Media
Komunitas Kartunet.com oleh Kelompok Disabilitas Tunanetra)
dalam pemikiran Morse (1998) juga Wilson dan Peterson (2002) yang
berpendapat bahwa pertama, definisi komunitas saat ini tidak lagi
didefinisikan dengan latar belakang geografis atau etnis, namun
komunitas saat ini berpusat pada kesamaan minat. Kedua, komunitas
digambarkan dengan adanya kesamaan nilai-nilai, gaya hidup, serta
adanya keberjarakan anatara insider dan outsider (Noonan, 2007: 461).
Ketiga, komunitas dilihat sebagai jaringan interaksi, baik anatar
individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.
Komunitas didefinisikan sebagai perasaan yang sama terkait dengan
identitas di antara individu-individu dimana hal ini berhubungan
solidaritas bersama, perasaan yang sama atau sense of community
merupakan hal dasar bagi terbentuknya komunitas.
7. Komunitas Universe Cover Ease Entry (U-CEE)
Komunitas Universe Cover Ease Entry (U-CEE) di Kota
Surakarta. U-CEE adalah komunitas anak muda dominan pecinta K-
pop yang dapat menyalurkan hobi menari dan menyanyi dengan genre
K-pop, J-pop, Hip Hop, dan lain-lain. Universe Cover Ease Entry (U-
CEE) adalah sebuah komunitas dan juga sebuah perusahaan agensi
yang dibangun di kota Solo. U-CEE Entertainment menampung segala
bentuk aktivitas positif kaum remaja yang berada di kota Solo dan
sekitarnya terutama dalam hal dancing, singing, band, modelling, dan
lain sebagainya. Komunitas ini sudah beberapa kali mengadakan
berbagai acara yang bertemakan budaya Korea dimana di dalamnya
menampilkan berbagai pertunjukan dancing, singing dan lomba
lainnya yang disesuaikan dengan artis atau idola yang ada di Korea.
B. PENELITIAN TERDAHULU
Subkultur merupakan salah satu kajian dalam Sosiologi Budaya
khususnya adalah Budaya Populer yang merupakan penolakan dari sebuah
budaya mayoritas. Subkultur merupakan sebuah gerakan atau kegiatan
atau kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang besar. Kata ‗sub’
bermakna sebagai istilah dan menunjukkan perbedaan dengan jelas arus
utama budaya dominan dalam masyarakat.
Saat ini subkultur mulai merambah ke setiap bidang kehidupan
salah satunya dalam bidang kebudayaan. Subkultur mulai dinikmati oleh
kalangan-kalangan minoritas yang pada umumnya menentang hal-hal yang
biasa ada di kalangan mayoritas. Fenomena ini tentunya menimbulkan
reaksi positif dan negatif. Dalam hal ini penulis mengulas mengennai
difusi budaya pop Korea dan perilaku sosial masyarakat subkultur dalam
menjaga eksistensi mereka. Kini penelitian yang berkenaan dengan
kebudayaan telah banyak dilakukan baik oleh kalangan peneliti, dosen,
mahasiswa atau pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Hasil penelitian
tersebut nantinya bisa dijadikan acuan bagi peneliti lain dalam melakukan
penelitian serupa atau bahkan dijadikan pertimbangan oleh pemerintah
atau pihak yang berwenang dalam mengkaji subkultur budaya populer ini.
Sebuah penelitian dengan judul Kebudayaan Populer Korea :
Hallyu dan Perkembangannya di Indonesia oleh Nesya Amellita (2010)
menjadi salah satu rujukan penulis. Penelitian ini mengulas bahwa Korea
sukses mengemas produk budaya mereka menjadi komoditas ekspor yang
potensial. Padahal sebelumnya Korea hanyalah importir produk budaya
negara lain. Kesuksesan invansi budaya pop Korea sampai ke luar batas-
batas wilayah negara lain menjadi Korea sebagai pusat budaya pop baru di
Asia, khususnya di Indonesia, yang dulu didominasi oleh Jepang.
Keberhasilan Hallyu membuka peluang bagi Korea untuk meningkatkan
investasi mereke di bidang pariwisata, pendidikan, hubungan diplomatik
dengan negara lain serta kehidupan sosial. Kebijakan-kebijakan terbuka
yang dilansir pemerintah Korea sangat membantu keberhasilan Hallyu.
Manajemen serta strategi pemasaran pemerintah Korea menjadi penyebab
utama Hallyu mampu menggeser posisi budaya pop yang sebelumnya
pernah berkembang di Indonesia. Selain itu, konten serta teknik
pengemasan budaya pop Korea yang berbeda dengan budaya pop lainnya
membuat Hallyu semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat
Indonesia. Hallyu dengan mudah dapat diterima di Indonesia karena
masyarakat Indoneis cenderung mampu beradaptasi dengan budaya asing
yang masuk. Apalagi produk-produk budaya Korea dikemas dengan gaya
global sehingga mudah dimengerti dan diterima oleh khalayak luar.
Penelitian yang lain yang berjudul K-Pop Dan Identitas Diri :
Studi Kasus Pembentukan Identitas Diri Dalam Fandom di Kalangan
Penggemar K-Pop di Solo oleh Dhyanayu Luthfia (2013) menjadi
rujukan lain peneliti dalam menulis skripsi ini. Penulisan ini mengulas
tentang bagaimana penggemar K-Pop menggunakan konsep identitas “I”
dan “Me” dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam pembentukan identitas
pribadi (I) penggemar K-Pop di Kota Solo ditemukan berbagai macam alas
an mengapa mereka menyukai K-Pop. Berbagai alasannya di antara lain
adalah karena music, fisik, style dan fashion, kepribadian, proses training,
konsep dan video klip. Mereka meniru idola mereka dalam berperilaku dan
berpenampilan, mengikuti style dan fashion, belajar bahasa Korea, meniru
tarian, menyukai makanan Korea, hingga menjadikan idola K-Pop sebagai
inspirasi dan motivasi sehingga para penggemar Korea tersebut
membentuk identitas pribadinya. Selain itu penggemar K-Pop juga
menjadi konsumen benda-benda memorabilia idola. Setelah melakukan
adopsi, penggemar merasakan perubahan pada diri secara pribadi. Mereka
merasa lebih stylish, menjadi lebih rajin menabung, berubahnya selera
music, menambah lingkup pertemanan hingga mempunyai khayalan
tentang idolanya.
Dalam penelitian ini juga membahas mengenai pembentukan
identitas kelompok (Me) di kalangan penggemar K-Pop di Kota Solo.
Dalam pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa para penggemar Korea
ini melakukan berbagai kegiatan dengan fandom K-Pop yang mereka
lakukan di tempat umum seperti restoran agar masyarakat umum
mengetahui keberadaan mereka. Selain itu penggemar Korea ini juga
menyaksikan berbagai konser K-Pop yang diadakan di Indonesia. Fandom
atau kelompok pecinta Korea berdasarkan artis yang mereka sukai ini juga
mengadakan berbagai kegiatan seperti gathering dan flash mob. Pada
berbagai kegiatan ini biasanya para penggemar Korea memakai dress code
atau property yang biasa idol mereka gunakan. Perilaku ini sebagai wujud
dukungan penggemar terhadap idolanya.
Pembahasan terakhir tentang penelitian ini adalah mengenai
pergeseran antara identitas pribadi (I) dan identitas kelompok (Me). Ketika
proses pembentukan identitas pribadi (I) dan identitas kelompok (Me)
berlangsung terdapat pergeseran-pergeseran yang timbul. Berbagai aturan
yang ada di dalam fandom ternyata menimbulkan ketidaknyamanan bagi
beberapa penggemar Korea ini. Dengan aturan memakai dress code,
penggemar merasa kehilangan jati dirinya. Mereka menolak untuk
mengikuti aturan tersebut. Namun mereka tetap menjadi penggemar K-Pop
dengan selalu memberikan dukungan seperti membeli album, mengikuti
berita-berita idol K-Pop, mengikuti gathering dan tetap menyaksikan
konser.
Namun bagi sebagian besar penggemar K-Pop, mengikuti aturan
yang berlaku dengan selalu menggunakan dress code saat gathering dan
konser, membawa lightstick dan banner saat konser merupakan
kebanggaan tersendiri. Selain merasa mampu memberikan dukungan
terhadap idolanya, mereka beranggapan dengan melakukan hal tersebut
dapat menunjukkan kepada lingkungan siapa diri mereka. Bagi penggemar
fanatic K-Pop ini, menunjukkan eksistensi melalui atribut yang dikenakan
kepada lingkungan adalah sebuah kebutuhan. Mereka yang telah
sepenuhnya menjadi penggemar Korea berusaha menyebar luaskan demam
K-Pop kepada keluarga, teman dan lingkungan di sekitarnya. Tak jarang
hal tersebut membawa dampak negatif kepada mereka. Terkadang
penggemar K-Pop harus menomor duakan aktifitas sehari-hari demi
kegiatan K-Pop. Selain itu pandangan negatif juga banyak mereka terima.
Dilihat dari hasil penelitian ini, identitas kelompok (Me) akan lebih
kuat dan mengikat ketika mereka berkumpul bersama di dalam fandom.
Saat berada di luar fandom, identitas kelompok yang mereka pertahankan
akan lebih rapuh. Mereka akan lebih mudah berubah dan kembali pada
identitas pribadi (I) ketika berada di luar fandom.
Selain itu dalam penelitian ini seperti yang dikatakan oleh Joli
Jensen mengenai fandom sebgai sebuah penyimpangan (pathology), dapat
dibuktikan dengan segala tindakan yang dilakukan oleh penggemar dalam
fandom K-Pop. Mereka melakukan kegiatan dengan segala nilai-nilai yang
diterapkan, seperti mengenakan pakaian dan aksesori K-Pop, dan merasa
bangga akan hal itu. Di mana hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh
orang di luar fandom.
Dalam sebuah jurnal internasional yang berjudul Korean Wave :
Enjoyment factors of Korean dramas in the U.S dari International Journal
of Intercultural Relations oleh Lisa M. Chuang dan Hye Eun Lee (2013)
bahwa drama Korea juga meraih populeritas di Amerika Serikat.
Populeritas drama Korea di AS dapat dikaitkan dengan beberapa hal.
Pertama, stasiun Korea lokal seperti KBFD, di Hawaii, California, dan
New York adalah perintis dalam menempatkan sub judul bahasa Inggris
pada drama untuk menarik khalayak yang lebih luas. Selain itu, mereka
mengandung alur cerita yang berakar pada situasi keluarga kehidupan
nyata, karakter yang mengalahkan rintangan, dan fi nite de mengakhiri-16-
20 episode dibandingkan dengan inde fi nite Amerika sinetron (Chun,
2005). Akhirnya, datang dengan cerita-garis yang mencakup karakter yang
penonton mampu mengembangkan disposisi yang kuat terhadap juga dapat
berkontribusi untuk khalayak Amerika tumbuh.
Jurnal internasional selanjutnya berjudul Influence of Populer
Culture on Special Interest Tourists` Destination Image dari Tourism
Management oleh So Jung Lee dan Billy Bay (2015) dalam kaitannya
dengan hubungan antara perilaku konsumen dan citra tujuan turis dapat
dibagi menjadi 3 tahap: tahap kunjungan sebelumnya, selama kunjungan
dan setelah kunjungan. Mengenai tahap pra-kunjungan, gambar tujuan
memengaruhi para tentions di- dan keputusan dari wisatawan potensial
karena produk tujuan tidak berwujud dan pengetahuan yang terbatas.
Terutama, citra positif yang kuat dari tujuan dapat memainkan peran
penting dalam niat seorang musafir untuk mengunjungi tujuan (Alhemoud
& Armstrong, 1996; Hunt, 1975; Ross, 1993). Kaitannya dengan waktu
turis selama kunjungan seperti tinggal wisatawan lebih lama, mereka
memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan persepsi yang lebih
benar dari tempat yang ingin mereka kunjungi. Ross (1993) melaporkan
bahwa sikap tujuan warga adalah faktor yang paling penting yang
mempengaruhi pengalaman turis dan pembentukan citra mereka selama
kunjungan mereka. Dalam kaitan dengan perilaku pasca kunjungan,
Alhemoud dan Armstrong (1996) dan Fakeye dan Crompton (1991)
dibahas kepuasan tujuan dengan memeriksa hubungan antara harapan
kunjungan pra- wisatawan dan pengalaman nyata selama kunjungan.
Milman dan Pizam (1995) dan Ross (1993) meneliti dampak dari
gambaran destinasi dihasilkan oleh pengalaman tujuan yang sebenarnya
pada perilaku perjalanan masa depan. Mereka menemukan bahwa ada
hubungan positif antara citra tujuan dan niat kunjungan kembali. Joppe
dkk. (2001) membahas dimensi tujuan loyalitas tujuan terpengaruh seperti
budaya dan transportasi.
Jurnal internasional yang terakhir berjudul The effect of likability
of Korean celebrities, dramas, and music on preterences for Korean
restaurants: A mediating effect of a country image of Korea dari
International Journal of Hospitality Management oleh Bum Jun Lee,
Sunny Ham dan Dong Hoon Kim (2015) membahas mengenai musik yang
digunakan sebagai alat promosi dalam menciptakan gambar dan
kepentingan di Negara tertentu untuk tujuan pemasaran pariwisata. Dalam
keadaan seperti itu, suku Korea generasi baru konsumen, agresif dalam
mengadopsi dan meniru gaya hidup Korea dalam bidang fashion, makanan
dan pola konsumsi lainnya. Populasi ini biasanya belajar bahasa Korea dan
membuat ziarah ke Korea. Sebagian besar orang pergi ke Korea
disebabkan oleh dampak budaya populer Korea (Cho, 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk fokus pada selebriti, drama televisi,
dan musik populer di kalangan segmen budaya populer Korea. Sebagai
sarana berkolaborasi dengan budaya populer untuk promosi dari merek
atau produk, pemasaran selebriti dan penempatan produk (PPL) adalah
teknik pemasaran utama. Pemasaran selebriti mengacu pada pemasaran
produk dan kegiatan promosi dari corporation sementara kontrak
perusahaan dengan memanfaatkan dan selebriti untuk mendorong
kepentingan konsumen. Pemasaran selebriti membuat dampak besar,
khususnya, pada konsumen muda, seperti remaja akhir dan awal 20-an
(Son et al., 2005). Selain itu, PPL adalah bentuk baru komunikasi iklan
melalui mana produk korporasi secara alami terekspos di media gambar,
seperti televisi drama sion, video musik, dan game online. Hasil PPL efek
yang lebih besar, karena konsumen mengakui dan menerima PPL sebagai
bagian dari isi bukan iklan itu sendiri (Su et al., 2011). Dilihat dari praktik
industri, dua teknik pemasaran utama, pemasaran selebriti dan PPL,
merupakan pemanfaatan modal manusia (hubungan selebriti) dan isinya,
masing-masing. Selebriti dan isinya juga telah terbukti sebagai variabel
independen dalam penelitian sebelumnya (Smith dan MacKay, 2001;
Rajaguru, 2013). Sebuah studi (Rajaguru, 2013) dari selebriti, visual, efek
vokal terpancar dari gambar gerak Korea pada kunjungan niat wisatawan
'untuk kunjungan dan aktual back- tetes juga didukung independensi
variabel selebriti dan isi (efek visual dan efek vokal).
Penelitian terdahulu dari jurnal nasional yang berjudul
Representasi Budaya dalam Iklan Pariwisata (Analisis Semiotika
pada Video Musik S.E.O.U.L dan Fly to Seoul) oleh Rotua Uly Inge
2012) membahas tentang video musik S.E.O.U.L dan Fly to Seoul
merupakan salah satu video promosi yang menjadikan pariwisata kota
Seoul Korea Selatan sebagai objeknya. Video musik S.E.O.U.L dibintangi
oleh boyband terkenal Super Junior dan girlband Girls Generation.
Sedangkan video musik Fly to Seoul juga dibintangi oleh boyband terkenal
2PM. Pada proses representasi ada tiga prooses yang dilakukan. Pertama
yakni level realitas. Dalam video ini ditunjukan kegiatan yang biasa
masyarakat lakukan pada umumnya seperti berbelanja, bermain sepeda,
memotret, menari, melukis dan hobi yang tidak semu orang lakukan pada
umumnya. Hal ini mempunyai maksud bahwa Seoul menyedialan fasilitas
yang lengkap dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Pada level kedua,
pada kedua video ini sama-sama mengambil artis yang sedang terkenal di
kala itu sebagai modelnya untuk menarik minat penonton. Pada level
ketiga, bagaimana kegiatan-kegiatan tersebut dihubungkan dan
diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kebudayaan suatu
masyarakat.
Jurnal nasional yang kedua berjudul Budaya Kaum Muda
Perempuan Penggemar Boyband Korea (Sebuah Pendekatan
Kriminologi Budaya) oleh Avokanti Nur Arimurti (2012) membahas
berbagai macam bentuk kebudayaan para kaum muda perempuan
penggemar Berbagai macam bentuk kebudayaan para kaum muda
perempuan penggemar boyband Korea seperti terbentuknya fansclub
boyband yang diidolakannya, menyerukan fanchat pada saat-saat tertentu
seperti ketika melihat konser idolanya, membeli merchandise yang
berhubungan dengan tokoh yang diidolakannya, memutar lagu boyband
yang diidolakannya, memasang foto boyband foto yang diidolakannya,
membuat proyek untuk sang boyband, melakukan stalking ataupun
cyberstalking terhadap perkembangan boyband yang diidolakannya,
menonton konser, larut dalam perasaan senang atau sedih ketika boyband
mengalami hal yang menyenangkan atau menyedihkan, dan memiliki
berbagai istilah dalam sebuah komunitas yang mereka ikuti.
Jurnal nasional yang terakhir berjudul Analisis Pengaruh Musik
Korea Populer Terhadap Gaya Hidup Di Kalangan Remaja oleh
Amalia Izzati (2013) membahas musik populer Korea yang sangat
mempengaruhi gaya hidup kalangan remaja. Kemajuan teknologi dan
keberadaan internet mempermudah kalangan remaja untuk mengakses
musik Korea. Budaya Korea yang menjamur di Indonesia bukan hanya
dijadikan sebagai hiburan tapi juga beralih menjadi gaya hidup sehari-hari.
dari sekian banyak budaya Korea yang disuguhkan, yang paling diminati
oleh kalangan remaja khususnya remaja putri adalah boyband Korea.
Remaja Indonesia sangat menyukai musik Korea karena menjadi warna
baru dalam musik. Artis Korea kebanyakan tidak hanya bisa menyanyi
akan tetapi mereka juga menampilkan tarian enerjik yang menarik
perhatian penonton. Remaja Indonesia yang menyukai budaya Korea tidak
terlepas dari perubahan gaya hidup mereka, cara berpakaian dan bahasa
mereka. Mereka juga lebih konsumtif untuk membeli pernak-pernak yang
berbau Korea. Media sosial mereka juga lebih luas karena hanya dengan
media sosiallah mereka dapat bertemu dan berinteraksi dengan idola
mereka.
C. LANDASAN TEORI
Penulis menggunakan teori sosial postmodern dari Jean
Baudrillard. Dalam buku Teori Sosiologi oleh Ritzer (2012; 1087) Jean
Baudrillard melihat masyarakat kontemporer atau masyarakat saat ini tidak
lagi didominasi oleh produksi, namun oleh media, model sibenertika dan
sistem pengendali informasi hiburan dan industri pengetahuan telah dan
lain sebagainya. Dapat dikatakan masyarakat telah bergeser dari
masyarakat yang didominasi oleh mode produksi menuju masyarakat yang
dikontrol oleh kode produksi. Tujuannya telah beralih dari eksploitasi dan
laba ke arah dominasi oleh tanda dan sistem yang menghasilkannya.
Cara lain yang ditempuh Baudrillard, menggambarkan dunia
postmodern bahwa dunia ini ditandai oleh simulasi, ketika pemisahan
antara tanda dengan realitas mengalami implosi, sulit memperkirakan hal –
hal yang riil dari hal – hal yang menyimulasikan hal – hal riil. Baudrillard
menggambarkan dunia ini sebagai Hipperealitas. Sebagai contoh, media
mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau
bahkan lebih riil dari realitas (Ritzer, 2009 : 678 ).
―Hipperealitas adalah efek, keadaan atau pengalaman kebendaan
dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut‖ ( Piliang, 2003 : 150
).
Baudrillard mengungkapkan bahwa apa yang direproduksi dalam
dunia hiperealitas tidak saja realiitas yang hilang, tetapi juga dunia tak
nyata : fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction. Hipperealitas
adalah duplikat atau kopi dari realitas yang didekodifikasikan ( Piliang,
2003 : 152).
Bagi Baudrillard , tidak ada tempat yang lebih hipperealis selain
padang pasir, dan padang pasir ini adalah Amerika, Ini, tentunya hanya
sebuah metafora yang digunakan Baudrillard untuk menerangkan aspek –
aspek halusinasi , khayalan dan fatamorgana yang telah menguasai
kebudayaan Amerika. Di tengah pasir, seseorang dapat menyaksikan citra
– citra fatamorgana — citra – citra yang segera menghilang tatkala
seseorang mendatanginya secara lebih dekat. Hal yang sama dapat
dijumpai tatkala seseorang berada di depan televisi, film 3D, video, video
game dan kini virtual reality lewat computer. Totalitas hidup seseorang (
kegembiraan, kesedihan, kesukaan, keberanian dan sebagainya) secara tak
sadar terperangkap di dalam dunia hiperealisme media, namun apabila
seseorang tersebut mencoba melihat media dengan kesadaran, maka ia
akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi,
fiksi, atau fatamorgana sebuah kesemuan (Piliang, 2003 : 152 – 153 ).
Kalimat di atas dapat diuraikan bahwa Media, menjadikan manusia
tenggelam dalam hipperealitas. Manusia mengalami sesuatu yang melebihi
realitas dan semakin lama kehilangan realitas atau kehidupan sebenarnya
yang riil. Contohnya ketika seseorang menonton sinetron atau drama di
televisi. Ia tidak berinteraksi dengan siapapun, tetapi ia dapat menghayati
isi cerita dalam sinetron tersebut misalnya ia menangis ketika cerita itu
menyedihkan atau tertawa ketika ceritanya lucu seperti halnya ia menangis
dan tertawa di dunia nyata atau realitas. Baudrillard juga mengungkapkan
bahwa realitas dan hipperealitas sulit dibedakan dan bahkan hipperealitas
dapat melebihi realitas sebenarnya. Contohnya adalah ketika seorang anak
bermain permainan ( game ) jenis First Person Shooter yaitu model
permainan perang dengan tampilan tangan dan senjata perang, istilahnya
game tembak menembak. Di kehidupan sebenarnya anak tersebut tidak
pernah mengikuti perang dan membunuh orang bahkan anak tersebut tidak
mampu mengoperasikan senjata, tetapi dalam game itu, hanya dengan
memencet beberapa tombol ia bisa menembak, mengisi peluru,
menggunakan strategi berperang dan lain – lain sampai pada membunuh
musuh yang dianggap sebagai suatu kesenangan. Tanpa disadari anak
tersebut tenggelam dalam kehidupan yang tidak nyata karena ketagihan
dalam fantasi dan imajinasi yang disajikan game tersebut dan lambat laun
mulai kehilangan kehidupan nyata atau riil dimana ia biasa bermain
dengan teman – temannya.
Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk nyata
melalui model-model yang tidak asal-usul atau referensi realitasnya,
sehingga menampakan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi,
khayalan menjadi tampak nyata. Simulakrum (simulacrum) adalah sebuah
duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga
perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Tanda (sign) adalah
unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi, yaitu segala sesuatu yang
mengandung makna, yang mempunyai dua unsur, yaitu penanda (bentuk)
dan petanda (makna) (Piliang, 2003: 21).
Simulasi adalah pola yang merajalela pada tahap sekarang yang
dikontrol oleh kode. Simulasi sebagai model produksi penampakan dalam
masyarakat konsumen, menurut Baudrillard, tidak lagi berkaitan dengan
duplikasi ada (Being) atau substansi dari sesuatu yang diduplikasi,
melainkan penciptaan melalui model-model sesuatu yang nyata yang tanpa
asal usul atau realitas, hyperealitas (Piliang, 2003:132).
Referensi dari duplikasi bukan lagi sekadar realitas, melainkan apa
yang tidak nyata-yaitu fantasi. Oleh karena fantasi dapat disimulasi
menjadi (seolah-olah) nyata, maka perbedaan antara realitas dan fantasi
sebenarnya sudah tidak ada (Piliang, 2003:132).
Melalui model produksi simulasi, tidak saja dapat dihasilkan objek-
objek hipereal, akan tetapi juga dapat dilakukan proses kompresi,
dekonstruksi, dan rekonstruksi ruang, sehingga memampukan manusia
mengalami pengalaman ruang yang baru yaitu ruang simulacrum. Objek-
objek simulasi-simulakrum-tak lebih dari facsimile dari petanda fiksi atau
petanda yang hilang-kembarannya (lihat sebagai contoh King Kong, atau
Terminator II, Superman, dan sebagainya). Petanda dari simulacrum
adalah fantasi, ilusi, atau nostalgia (kita harus membedakan simulasi
dengan realisme atau mimesis, karena yang belakangan masih berkaitan
dengan representasi) (Piliang, 2003:133).
Bagi Baudrillard, simulasi adalah proses atau strategi intelektual,
sedangkan hiperealitas adalah efek, keadaan, atau pengalaman kebendaan
dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut. Awal dari era
hiperealitas, menurut Baudrillard, ditandai dengan lenyapnya petanda, dan
metafisika representasi; runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu
sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi,
atau, (realitas) menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) objek
yang hilang bukan lagi objek representasi, akan tetapi ektase penyangkalan
dan pemusnahan ritualnya sendiri (Piliang, 2003:135).
Dunia hiperealitas adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya
reproduksi objek-objek simulacrum-objek-objek yang murni penampakan,
yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tak
mempunyai realitas sosial sebagai referensinya (Piliang, 2003:136).
Kaitan teori dalam penelitian ini adalah ketika apa yang para
remaja sukai ketika mereka melihat artis Korea merupakan penjelmaan
sebagai sosok yang secara tidak langsung mereka kagumi. Mereka hanya
bisa menjumpai artis Korea ini hanya sebatas melalui media sosial.
Banyak berita yang memberitakan kegiatan mereka sehari-hari, apa yang
sedang mereka lakukan, dan berbagai foto tiap harinya dapat mereka
dapatkan dengan mudah hanya dengan mengikuti fanpage yang ada di
facebook, twitter, instagram, line, dan media sosial yang lainnya. Tidak
sedikit artis Korea yang memiliki akun sosial pribadi. Hal ini menjadi
semakin mudahnya para fans berinteraksi dengan idola mereka.
Tidak hanya foto dan berita yang bisa mereka lihat. Para artis
Korea juga mengunggah berbagai video aktivitas mereka melalui youtube,
vapp dan media sosial berbasis video lainnya. Para Kpopers biasanya tidak
hanya melihat music video artis mereka. Music video hanyalah hal biasa.
Mereka akan semakin menyukai para artis Korea jika mereka sudah
melihat bagaimana karakter dan tingkah laku mereka melalui acara reality
show atau berbagai video yang menunjukkan aktivitas mereka.
Dalam berbagai video yang mereka lihat dan melihat bagaimana
tingkah laku para idola mereka, para Kpopers ini tidak sedikit yang meniru
apa yang mereka lakukan dan mereka terapkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, make up apa yang mereka
kenakan. Tidak hanya benda yang mereka tirukan, akan tetapi berbagai
kebiasaan maupun gaya mereka berbicara atau melucu.
Kpopers biasanya didominasi oleh para remaja putri. Banyaknya
boyband Korea yang memiliki wajah tampan dan mempunyai karakter
yang unik, membuat para remaja ini memiliki seorang sosok baru yang
mereka jadikan patokan sebagai pria idaman. Ketika mereka melihat para
artis Korea muncul di layar kaca, mereka akan tersenyum sendiri bahkan
berteriak kegirangan. Mereka juga akan menangis jika terjadi hal buruk
para artis idola mereka.
Perilaku dan perasaan seperti inilah yang akan penulis kaitan
dengan teori postmodern oleh Jean Baudrillad. Ketika para Kpopers
menganggap bahwa artis idola mereka sebagai realita yang mereka jumpai
di dunia nyata. Padahal para kenyataannya mereka sehari-harinya hanya
menjumpai mereka di dunia maya dan hanya menonton mereka lewat
video. Mereka tidak bisa menjumpai artis idola mereka kecuali mereka
menonton pertunjukan mereka seperti konser, fan meet ataupun kunjungan
lainnya. Itupun jika mereka membeli tiket atau memliki akses untuk
menemui mereka.
Mereka terlalu menanggapi apa yang terjadi pada artis idola
mereka. Setiap hari, setiap jam mereka buka sosial media dan mencari tahu
apa yang sedang terjadi. Media sosial menjadi sangat penting peranannya
untuk bisa melihat idola mereka. Intensitas para Kpopers mengakses
media sosial dan terus berinteraksi dengan sesama penggemar Korea
mengakibatkan mereka teralinasi sendiri oleh dunia nyatanya. Apa yang
mereka perbincangkan sehari-hari dengan teman hanyalah tentang artis
Korea. Apa yang sedang mereka lakukan, kekonyolan apa yang mereka
lakukan, lagu apa yang baru saja muncul dan lain sebagainya.
Para Kpopers ini seolah-olah lupa akan dunia nyatanya yang tidak
hanya sebatas tentang idola mereka. Dalam kehidupan nyata mereka,
mereka tertawa dan menangis karena idola mereka. Mereka terjebak di
dalam emosi yang mereka lihat di sosial media yang memuat kabar dari
artis Korea. Artis Korea yang hanya bisa mereka lihat lewat dunia maya
seolah-olah menjadi seseorang yang sangat mempengaruhi hidup mereka
sampai di dunia nyata. Bahkan dunia maya mereka bisa lebih nyata
daripada dunia nyata.
Mereka berkhayal bisa memiliki seorang pendamping seperti apa
yang mereka sukai seperti idola mereka. Khayalan mereka tidak hanya
sebagai pendamping, ada juga hanya sebatas teman, sahabat, bahkan ada
juga yang lebih ekstrim seperti khayalan layaknya hubungan suami istri.
Mereka akan sangat menyukai jika ada kembaran atau orang yang sedikit
mirip dengan artis idola mereka yang mereka temui di dunia nyata.
Biasanya ada orang atau sekelompok orang yang mengikuti gaya para artis
Korea dan menunjukkannya di depan umum. Biasanya ini terjadi di
kalangan boyband. Banyak sekali kopian dari boyband Korea. Kopian
yang biasa mereka lakukan adalah dengan menari dan berpakaian
selayaknya boyband Korea.
Hal ini sangat menarik minat Kpopers yang tidak bisa melihat
boyband yang asli. Setidaknya mereka merasakan atmosfer ketika
menonton konser dengan penonton yang banyak dan dengan yel-yel yang
biasa mereka ucapkan ketika konser. Dengan hiperialitas yang dialami
oleh para Kpopers ini, merupakan alasan mengapa peneliti ingin meneliti
tentang representasi budaya pop Korea dalam masyarakat subkultur di
Kota Surakarta.
D. KERANGKA PEMIKIRAN
Salah satu dampak dari globalisasi adalah munculnya suatu budaya
populer yang mengakibatkan adanya suatu masyarakat subkultur. Banyak
media yang digunakan dalam mempopulerkan budaya pop Korea yaitu
berupa media film, drama, musik dan lagu, gaya berbusana, makanan,
pariwisata, dan lain-lain. Di dalam semua itu terdapat pengetahuan,
informasi, makna dan simbol-simbol tertentu. Salah satu kelompok terkena
dampak budaya pop biasa disebut dengan Kpopers. Pengetahuan dan
pemahaman mereka terhadap budaya pop Korea hanyalah sekedar sebuah
produk hiburan. Sehingga sikap Kpopers terhadap budaya pop Korea tidak
signifikan. Namun ketika Kpopers sudah mulai intensif dan memahami
simbol-simbol yang ada di dalam budaya pop Korea, maka akan muncul
perubahan pengetahuan dan pemahaman baru terhadap budaya pop Korea.
Perubahan pengetahuan dan pemahaman Kpopers ini pada
akhirnya juga akan mengubah pemaknaan dan sikap Kpopers dalam
aktivitas kesehariannya. Perubahan sikap inilah yang akan memunculkan
perubahan tindakan para penggemar budaya pop Korea dalam kehidupan
sehari-harinya. Hal ini terutama akan terlihat jelas pada suatu komunitas.
Suatu wadah dimana di dalamnya memilki kesukaan yang sama.
Bagaimana mereka akan mewujudkan gagasan yang ditampilkan budaya
pop Korea dalam komunitas dan bagaimana simbol yang ditampilkan
budaya pop Korea dalam masyarakat subkultur di Kota Surakarta.
Bagan II. 1: Kerangka Berpikir
Dimensi
Internal
Kpopers (Masyarakat
Subkultur)
Perwujudan gagasan
yang ditampilkan
budaya pop Korea
dalam komunitas
Universe Cover Ease
Entry (U-Cee) di Kota
Surakarta
Simbol yang
ditampilkan budaya
pop Korea dalam
masyarakat subkultur
di Kota Surakarta
Dampak
Dimensi
EKsternal
Representasi budaya pop
Korea dalam masyarakat
subkultur di Kota Surakarta