BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem...

25
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukum Untuk mengetahui budaya dengan baik, perlu diketahui tentang sistem hukum yang menjadi dasar dari terbentuknya budaya hukum. Bicara hukum sebagai suatu sistem, yang mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung dalam hukum yaitu : 1. Komponen Struktur kelembagaan yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerja sistem hukum itu sendiri. Misalnya : Pengadilan. Struktur pengadilan dapat digambarkan majelis hakim yang bersidang ditempat tertentu pada suatu waktu tertentu, dengan jumlah anggota tertentu, dan dengan batasan-batasan yuridiksi yang telah ditentukan pula. 2. Komponen Substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan- peraturan, kepautusan-keputusan, dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur. Misalnya setiap keputusan yang mangandung doktrin, yang dibuat oleh pengadilan, atau setiap keputusan yang dibuat oleh pembuat undang-undang, atau setiap ketentuan yang diterapkan oleh badan-badan pemerintah. 3. Komponen Hukum yang bersifat kulutral yang terdiri dari ide-ide ,sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultural hukum yang dimaksud adalah external legal culture yakni budaya hukum masyarakat pada umumnya. 1 1 Lawrence M. Friedman dalam bukunya On Legal Development yang diterjemahkan kembali oleh Rachmadi Djoko Soemadio seperti dikutip oleh Esmi Warrassih.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Budaya Hukum

a. Sistem Hukum

Untuk mengetahui budaya dengan baik, perlu diketahui tentang sistem hukum

yang menjadi dasar dari terbentuknya budaya hukum. Bicara hukum sebagai suatu

sistem, yang mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung

dalam hukum yaitu :

1. Komponen Struktur kelembagaan yang mempunyai fungsi untuk mendukung

bekerja sistem hukum itu sendiri. Misalnya : Pengadilan. Struktur pengadilan

dapat digambarkan majelis hakim yang bersidang ditempat tertentu pada suatu

waktu tertentu, dengan jumlah anggota tertentu, dan dengan batasan-batasan

yuridiksi yang telah ditentukan pula.

2. Komponen Substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-

peraturan, kepautusan-keputusan, dan sebagainya yang semuanya

dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.

Misalnya setiap keputusan yang mangandung doktrin, yang dibuat oleh

pengadilan, atau setiap keputusan yang dibuat oleh pembuat undang-undang,

atau setiap ketentuan yang diterapkan oleh badan-badan pemerintah.

3. Komponen Hukum yang bersifat kulutral yang terdiri dari ide-ide ,sikap-sikap,

harapan dan pendapat tentang hukum. Kultural hukum yang dimaksud adalah

external legal culture yakni budaya hukum masyarakat pada umumnya.1

1 Lawrence M. Friedman dalam bukunya On Legal Development yang diterjemahkan kembali oleh Rachmadi

Djoko Soemadio seperti dikutip oleh Esmi Warrassih.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

12

Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah

pengadilan akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam masyarakat

itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang menggunakan, atau

tidak menggunakan, atau menyalahgunakan, proses hukum serta sistem hukum.

Semua komponen saling berkaitan satu sama lain yang disebut dengan sistem

hukum.. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada

dilingkugan yang sarat degan faktor-faktor non-hukum lainya. Misalnya ketika

penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan

hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan

pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum dipahami sebagai

suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda didalamnya tidak boleh saling

bertentangan.

Faktor pembentuk terjadinya komponen struktur, komponen substansi, dan

komponen kulutral yaitu faktor-faktor non-hukum terutama nilai-nilai maupun

pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.

Nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakt dalam masyarakat pada

dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat. Misalnya

dalam masyarakat adat. Ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang

penting bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan

kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.

Adat dilakukan dan dipatuhi oleh masyarakatnya karena telah memberikan

rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari

namanya “kekuasaan supranatural”, masyarakat adat dipercaya bahwa didalam adat

istiadat yang dipatuhi olehnya ada kekuasaan yang besar dan mampu memberikan

kebahagian bagi mereka.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

13

Sebagaimana pendapat Prof Mr. F.D. Holleman bahwa hukum adat Indonesia

memiliki empat sifat umum yang merupakan kesatuan harmonis, salah satunya

religio-magis. Religio-MAGIS menurut Prof. Kuntjaraningrat adalah teori-teori

tentang dasar-dasar anismisme, preanisme, ilmu gaib, dan pantangan.2

b. Pengertian Budaya Hukum

Menutut Lawrance M. Friedman sebagimana dikutip oleh Esmi Warasih

yang dimaksud dengan budaya hukum adalah “berupa kategori nilai-nilai,

padangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum”

Berdasarkan pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa hukum juga berada

dalam wilayah adat isitadat yang ditunjukan dengan adanya aturan-aturan yang

berlaku dalam masyarakatnya, yang kemudian diwujudkan kembali melalui nilai-

nilai, cara pandang serta sikap-sikap.

Hal ini terjadi karena budaya mempunyai kedudukan dan peranan yang

penting didlaam kehidupan manusia. Sebagaimana pendapat Koenjaraningrat

yang dikutip oleh Esmi Warassih bahwa:

“Para Individu sejak kecil telah diresapi oelh nilai-nilai budaya yang

hidup dalam masyarkat. Konsepsi-Konsepsi yang dimiliki itu sejak lama

telah berakar dalam jiwa mereka”

Oleh sebab itu, hukum sebaiknya jangan dilihat sebagai peraturan-peraturan

saja tetapi juga hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam

masyarakat, melalui tingkah laku warga masyarakat, terutama faktor nilai dan

sikap serta pandangan masyarakat yang disebut kultur hukum.

2 Kuntjaraningrat (1988:26).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

14

Faktor-Faktor pembentuk budaya hukum sebagai pendorong adalah nilai-

nilai hukum subsantif. Nilai-nilai prosedural mempersoalkan tentang cara-cara

pengaturan masyaraakt dan menajemen konflik. Sedangkan nilai-nilai substantif

lebih kepada apa yang adil dan tidak menurut masyarakat. Budaya hukum

merupakan unsur yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang

terdapat pada sistem hukum yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian, budaya hukum dalam pelaksanaannya sangat

berpengaruh dalam masyarakat. Krena komponen budaya hukum menentukan

berhasil tidaknya kebijaksanaan yang telah ditungakan dalam bentuk hukum itu,

sehingga ketika ada perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang

dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat hak ini bisa disebabkan karena

masyarakat lebih mematuhi nilai-niai yang dianut.

c. Tujuan Budaya Hukum

Menurut istilah para Antropolog, budaya tidaklah sekedar berarti himpunan

fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas. Budaya yang

diartikan sebagai kategori sisa, dan termasuk didalamnya keselurahan nilai sosial

yang berhubugan dengan hukum, sikap yang mempengaruhi hukum , tetapi yang

bukan hasil deduksi dari substansi dan struktur.

Termasuk rasa suka atau tidak suka kepada huku untuk menggunakan

pengadilan atau tidak menggunakan pengadilan, karena lebih memilih cara-cara

informal untuk menyelesaikan sengketa dan juga sikap-sikap serta tuntutan pada

hukum yang diajukan oleh kelompok-kelompok etnik, ras, agama, lapangan

pekerjaaan dan kelas-kelas sosial yang berbeda.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

15

Budaya Hukum bertujuan membantu Pemerintah dan masyarakat dalam

menjalankan aturan-aturan hukum. Hal ini dikarenakan, aturan-aturan hukum

tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Nilai-Nilai dalam budaya hukum dipergunakan karena hukum merupakan

nilai-nilai terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakt. Karena setiap masyarakat

selalu menghasilkan kebudayaan, amaka hukum pun selalu ada disetiap

masyarakat dan tampil dengan khasan masing-masing.

Oleh karena itu, setiap bangsa akan mengembangkan sendiri aturan-aturan

hukumnya. Sedangkan dalam arti lebih kecil, aturan-aturan adat setiap daerah

mempunyai perbedaan sendiri-sendiri. Hal ini disesuaikan dengan kebudayaan

dari daerah-daerah tersebut. Sehingga aturan didaerah lain tidak akan sama

dengan aturan didaerah lainya, sama halnya ketika aturan perkawinan dalam adat

berbeda dengan aturan perkawinan yang telah dikeluarkan dandiberlalkukan bagi

warga Indonesia. Karena Halitu merupakan identitas diri dari pada atraun adat dan

aturan negara.

d. Komponen Budaya Hukum

Hukum dipandang sebagai suatu sitem norma, yang mana dalam

menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif,

hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar yaitu

masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena hukum juga dipandang sebagai suatu

sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pedekatan sistem.

Pengertian hukum dikemukakan antara lain oleh Lawrance M. Friedman

yang dikutip oleh Ernis Warassih bahwa hukum itu adalah gabungan komponen

struktur, substansi dan kultur. Adapun sistem hukum berikut ini :

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

16

1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem

hukum seperti pengadilan yang mempunyai fungsi untuk mendukung

bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini

memungkin pemberian pelayanan dan penghargaan hukum secara

teratur.

2. Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu

peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan sebagainya semuanya

dipergunakan oleh penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.

3. Komponen Kultur terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan, dan

pendapat tentang hukum. Kultur hukum dibedakan antara internal legal

culture yakni kultur hukumnya lawyers dan judges dan eksternal legal

culture yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat

terlihat dari akte-akte kelahiran yang dengan mudahnya dapat dimiliki

oleh anak-anak dari suami istri yang tidak melakukan pencatatan

perkawinan.

Faktor pembentuk budaya hukum adalah nilai-nilai prosedural dan nilai-

nilai substantif. Nilai-nilai prosedural mempersoalkan tetang cara-cara pengaturan

masyarakat dan manajemen konflik. Sedangkan nilai-nilai substantif lebih kepada

apa yang adil dan tidak menutur masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur

yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara

sistem hukum yang satu dengan yang lain.

Kebudayaan berfungsi sebagai sistem perilaku berarti kaedah-kaedah yang

berlaku sebenarnya berakar pada nilai-nilai sosial dan budaya dari masyarakat

yang bersangkutan. Bedasarkan penjelasan diatas, budaya hukum menjadi satu

hal penting yang dapat menentukan mengapa seseorang patuh atau tidak terhadap

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

17

peraturan yang ada. Hal ini berakibat dari perbedaaan anatara apa yang

dikehendaki oleh undnag-undang dengan praktek yang dijalankan masyarakat.

Masyarakat adalah objek yang melaksanakan aturan–aturan yang

dikeluarkan oleh pemerintah ataupun adat yang dilaksanakannya.

Hukum merupakan salah satu alat yang berfungsi untuk membantu

manusia/pribadi atau masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu

hukum perlu untuk melihat apa dan bagaimana hukum itu bisa diterima dan

diberlakukan dalam masayrakat.

B. Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

W.J.S Poerdarminta mengartikan kata kawin sebagai berikut : “Kawin :

perjodohan laki-laki dan permepuan menjadi suami istri:nikah. Soerjono

Wigmdodipoero: (1988: 122) mengartikan kata perkwainan sebagai berikut : “

Perkawinana adalah suatu perestiwa yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat kita, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria

bakal mempelai saja tapi juga kedua belah pihak orang tua, saudara bahkan

keluarga mereka masing-masing”.3

Dari pengertian perkainan tersebut diatas, jelas bahwa erestiwa perkawinan

bukanlah perestiwa yang alami saja tetapi merupakan persetiwa yang suci atau

dengan kata lain perestiwa yang sakral. Dikatakan demikian karena deengan

pelaksanaan perkawinan merupakan suatu perestiwa perwujudan atas kesepakan

kedua calon suami istri bahkan menyangkut pula keluarga yang merupakan suatu

perwujudan perestiwa pula keluarga yang merupakan salah satu sisi penting dari

3 W.J.S Poerdarminta (1976:453).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

18

mempertanggungjawabkan kehadiran seseorang manusia sebaai ciptaan Tuhan

sehingga dapatlah dikatakan bahwa perkawinan bukanlah suatu upacara

berkelompoknya dua manusia akan tetapi pada hakekatnya merupakan penyatuan

kedua muda-mudi dalam suatu tata cara resmi.

Berkaitan dengan pengertian terdahulu Dr. Verkuyl yang dikutip oleh

Sugiarto (1984:54) menegaskan bahwa :

“Perkawinan suatu tata suci yang ditetapkan Tuhan yang didalamnya diatur

hubungan antara wanita”4.

Dari pengertian yang dikemukakan diatas bila dikaji lebih lanjut maka perestiwa

perkawinan yang dihadapi oleh manusia yang sudah patut melangsungkan

perwakiwanan yang darikeyakinana adalah merupakan suatu tata tertib yang suci

yang diterapkan oleh Tuhan bagi manusia. Oleh karena itu dapatlah dikatakan

bahwa perkawinana itu pada hakekatnya adalah merupakan suatu perestiwa yang

sakral bagi pihak-pihak yang akan melangsungkanya lebih lanjut dalam pasal 1

Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa :

“Perkawinanan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang

wanita dengan tujuan sebagai suami istri dengan tujuan mebentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.”

Dari ketentuan pasal 1 tersebut diatas, peristiwa yang dilangsungkan oleh kedua

calon suami istri . Untuk memwujudkan kesepakatan inilah maka terjadi suatu

perestiwa perkawinaan. Dalam hubungan dengan ikatan lahir bathin tersebut, oleh

K. Wantjik Saleh menjelaskan bahwa :

4 Sugiarto (1984:54).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

19

“ Dengan ikatan lahir bathin dimaksud bahwa perkawinan itu tidak hanya

cukup dengan adanya ikatan lahir batin saja tetapi harus kedua-duanya. Suatu

ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu

hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama

sebagai suami istri dengan kata lain dapat disebut dengan hubungan formal.

Hubungan formal itu ternyata suatu ikatan yang tidak dapat lihat atau tidak

nyata namun harus ada sehingga ikatan lahir tidak mudah rapuh”.5

Penegasan diatas apabila dikaji lebih jauh maka terjalinya ikatan lahir dan batin

dapatlah merupakan dasar dalam membentuk dan membina rumah tangga yang

bahagia dan kekal. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah

berdasarkan Tuhan Yang Maha ESA. Sejalan Dengan pemahaman tesebut,

K.Wantjik Saleh SH dalam penjelasannya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan :

“Yang dimaksud dengan persetujuan disini adalah persetujuan itu antara calon

suami dan calon istri dan dasar harus adanya suatu persetujuan itu berarti telah

dipasang pondasi yang kokoh untuk membina suatu keluarga dan rumah

tangga . Hendaklah persetujuan itu adalah yang murni yang betul-betul

tercetus dari hati para calon tersebut dalam bentuk kemauan untuk hidup

bersama seumur hidup, bukan secara pura-pura atau hasil paksaan”

Pengertian dan tujuan perkawinan sudah diatur dalam bentuk perundang-

undangan yaitu terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dalam pasal 2

ayat (1), Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa “perkawinan adalah sah

apabila ditetapkan menurut agama dan kepercayaan itu”.

5 K. Wantjik Saleh, (1976: 14).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

20

Jadi keputusan diatas menunjukan bahwa sahnya suatu perkawinan

berkaitan erat dengan aspek hokum. Hukum tidak hanya diartikan dengan

kekuasaan yang diatur oleh Negara dan agama tetapi juga peraturan-peraturan

yang dibuat oleh adat yang dianggap berlaku dalam masyarakat di lingkungan

adat tersebut.

Pengertian perkawinan dalam hukum adat berbeda dengan pengertian

perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dalam hukum adat

perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan

masyarakat, karena perkawinan bukan saja menjadi urusan mereka yang

melangsungkan perkawinan, tetapi juga melibatkan orang tua dan keuarga kedua

belah pihak yang di dalamnya termasuk urusan suku, urusan kelas sosial, urusan

masyarakat dan sebagainya. Dengan demikianperkawinan akan menjadi urusan

keluarga kedua belah pihak.

Dalam hukum adatpun perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang

penting bagi mereka yang masih hidup saja tetapi perkawinan itu juga merupakan

peristiwa yang sangat berarti yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti

oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak beserta keluarganya yang

mengharapkan juga restu bagi kedua mempelai, hingga setelah menikah kedua

mempelai dapat hidup rukun bahagia sebagai suami dan istri sampai kaken–kaken

nien–nien (istilah jawa yang artinya sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan

sang istri menjadi nini-nini yang bercucu cicit.6

6 Soerojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta. Hal 122.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

21

H. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa:

“Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja

berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan adat dan sekaligus

merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”.7

Pendapat tersebut menunjukan bahwa perkawinan dalam hukum adat

mempunyai arti yang luas sekali. Hal itu disebabkan karena perkawinan tidak

semata-mata ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina keluarga

yang harmonis, tetapi juga berhubungan dengan keluarga, masyarakat umum dan

orang-orang yang telah meninggal. Dengan demikian maka suatu perkawinan

menjadi tanggung jawab yang berat bagi pasangan suami istri, selain bertanggung

jawab terhadap orang banyak (keluarga dan masyarakat) juga bertanggung jawab

kepada Tuhan.

Selanjutnya menurut Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa:

“Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai

akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan.”

Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu

misalnya adanya hubungan pelamaran yang merupakan rasa tuha (hubungan

antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan

perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termasuk anggota

keluarga atau kerabat menurut hukum adat dan selanjutnya dalam peran serta

7 Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Pandangan, Hukum Agama, Hukum Adat,

Mandar Maju, Bandung, hal. 8.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

22

membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan

anak-anak mereka yang terikat hal perkawinan.8

Pernyataan itu menunjukan bahwa perkawinan mengakibatkan adanya suatu

hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak suami dan

dari pihak istri. Hubungan hukum tersebut dapat dilihat, misalnya;

melangsungkan suatu perkawinan, dan pihak laki-laki menyerahkan sejumlah

mas kawin kepada pihak perempuan. Mas kawin sebagai ikatan hukum dalam

perkawinan sehingga setelah perkawinan seorang istri harus melepaskan semua

kedudukannya dan memasuki atau mengikuti kerabat suami beserta anak dan

keturunannya.

Soerojo Wignjopdipoero mengatakan tentang perkawinan dalam bukunya

“Pengantar dan asa-asa adat, bahwa… “ Perkawinan adalah salah satu

peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab

perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria atau mempelai

saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan

keluarga masing-masing. Bahkan dalam hukum adat, perkawinan itu bukan

hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja

tetapi juga merupakan peristiwa yang sangat berarti dan sepenuhnya

mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah leluhur dari kedua belah

pihak”.9

Dari pernyataan diatas bisa diketahui bahwa perkawinan (perkawinan adat)

tidak hanya mencakup antara orang yang masih hidup (kedua calon mempelai,

keluarga kedua belah pihak) tetapi juga orang yang sudah mati (leluhur).

8 Ibid, hal. 9.

9 Soerojo Winjopdipoero, Pengaturan dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung, 1989. Hal 122.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

23

Cara seperti diatas masih tetap terpelihara walaupun nilai-nilai yang ada di

dalam tindakan tersebut telah banyak mengalami pergeseran akibat modernisasi.

Akan tetapi meskipun perkawinan merupakan urusan keluarga, urusan kerabat,

dan urusan persekutuan, tetap saja perkawinan itu sendiri merupakan urusan

hidup pribadi dari pihak-pihak individual yang kebetulan tersangkut didalamnya.

Jadi soal suka atau benci, jalannya proses kawin pinang terlebih kawin lari atau

bawa lari mencerminkan ketegangan tersebut antara kelompok dan warga selaku

oknum. Selanjutnya yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Tujuan perkawinan tersebut menghendaki agar perkawinan tersebut

berlangsung seumur hidup dan dalam bentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Tujuan Perkawinan

Pada prinsipnya, perkawinan mempunyai tujuan-tujuan atau motivasi

tertentu dan bervariasi sangat tergantung dari aspek mana seseorang

mengartikannya. Dalam kaitan ini M.W. Brower mengatakan : “Perkawinan

bertujuan untuk memperoleh cinta, anak dan sekaligus sebagai tujuan

perkawinan”

Pendapat Brower tersebu diatas memberi kesan bahwa perkawinan adalah

dari sisi tumbuhnya suatu perasaaan saling mencintai, untuk melanjutkan

keturunan(anak) dan untuk memberikan suatu kebahagiaan rumah tangga. Karena

perkawinan itu dilandasi oleh perasaan saling memiliki, merasa senasib dan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

24

sepenanggungan maka muncul komitmen bersama antara kedua calon mempelai

ata suami istri untuk memperoleh anak untuk menciptakan suasna kebahagian

K. Wantjik Saleh SH (1976:15) menjelaskan : Perkainana yang bertujuan

untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Dapat diartikan bahwa perkawinan

haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.10

Selanjutnya dalam uraiannya, melandasinya pada aspek tujuan yang

mengandung makna seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja, dan

pada aspek tujuan ini pula mengandung makna bahwa perkawinan dan tujuan

akhirnya adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (1976:14).11

Dari pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa tujuan perkawinan tidak lain

adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia dan kekakl seumur hidup,

serta dilandasi oleh rasa cinta berdasrkan Tuhan Yang Maha Esa.

Pendapat tersebut adalah sejalan dengan jiwa Ketentuan Undang-Undang

No 1 Tahun 1974 tentang perkawina yang menegaskan bahwa perkawinan

adalah untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat adat yang bersifat

kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut

gari kebapakan atau keibu-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga

atau kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan

untuk mempertahankan kewarisan.Oleh karena sistem keturuna dan kekerabatan

antara suku bangsa Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda termasuk

lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan dari

10

K. Wantjik Saleh, (1976:15) 11

Ibid, hal. 14.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

25

perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang

satu dengan suku bangsa yang lain, daerah yang satu dan daerah yang lain

berbeda, serta akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.

Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial, perkawinan bertujuan

mempertahankan garis keturuana bapak, sehingga anak laki-laki (terua), harus

melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan pembayaran uang jujur),

dimana setelah terjadi perkawinan istrei ikut (masuk) dalam kekerabatan suami

dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya.

Sebaliknya pada masyarakat kekerabatan adat yang matrilineal, perkawinan

bertujuan mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak wanita tertua

(tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda). Dimana

setelah terjadinya suami ikut (masuk) dalam kekerabatan istri dan melepaskan

kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.

c. Keabsahan Perkawinan

Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dalam pelaksanaannya telah

memenuhi persyaratan dan tata cara perkawinan baik secara formal maupun non

formal yang berlaku secara sah. Peraturan yang berlaku adalah peraturan

perundang-undangan perkawinan yakni Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan hukum adat,agama, dan

kepercayaan masing-masing.

Pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan

bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamnya dan kepercayaannya itu.”

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

26

Jadi suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaan itu. Bila menyimpang dari hal itu maka

perkawinan tidak dapat dilangsungkan sesuai ketentuan Undang-Undang No 1

Tahun 1974 karena perkawinan itu dianggap tidak sah.

K. Wantjik Saleh, SH (1976:16) menegaskan bahwa :

“Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaa yaitu, sesaui dengan UUD 1945”. Yang dimaksud dengan hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-

undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu

sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undanng

ini.

Lebih lanjut K.Wantjik Saleh, SH menegaskan bahwa : Kata sesuai dengan

UUD 1945 dalam hubungan dengan hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu adalah dimaksud dalam pasal 29 yang berbunyi :

1. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk menjalankan/beribadah menurut

agama dan kepercayaanya itu.

Menurut H. Sainus Syakar (1981:19) menyatakan bahwa atas sadurannya

terhadap para pendapat sarjana dan pakar hukum yakni12

:

Pertama, Para sarjana dan ahli hukum serta golongan ang selama ini

tundauk dan melakukan perkawinan berdasarkan KUHPerdata dan ordinasi

perkawinan kristen mengatakan bahwa saat mulai sahnya perkawinan itu bukan

pada saaat pencacatan tetapi pada selesainya pemberkatan nikah.

12

H. Sainus Syakar, (1981:19).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

27

Kedua, umumnya dianut oleh umat Islam saat mulai sahnya perkawinan itu

bukan pada pendaftaran atau pencatatan, itu hanyalah merupakan tindakan

administratif belaka akan tetapi sahnya nikah itu mulai saat selesainya tata cara

keagamaan, misalnya saat selesainya akad nikah yang diucapkan kedua belah

pihak mempelai wanita maupun mempelai pria.

Gambaran dan penjelasan tersebut diatas menunjukan bahwa adanya suatu

kejelasan yang berbeda antara kedua agama (kristen dan islam). Hal terebut diatas

ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974

menegaskan bahwa:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan

kepercayaan itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan-

undangan yang berlaku.

Penjelasannya percatatan setiap perestiwa penting dalam kehendak

seseorang misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat-surat

keterangan, surat akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Sehubungan dengan penjelasan pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974,

maka K. Wanttjik Saleh, SH menyatakan bahwa : “ Pencatatan perkawinan itu

bertujuan untuk menjadikan perestiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik yang

bersangkutan maupun baik bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca

dalam surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus yang

disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan dimana perlu

sebagai alat bukti tertulis dan autentik. Dengan adanya surat bukti ini dapatlah

dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

28

Dari uraian K. Wantijik Saleh, SH diatas menjelaskan adanya suatu

pencatatan yang resmi yaitu untuk menjelaskan kondisi pelaku perkawinan

umumnya. Karena adanya pencatatan yang resmi serta tertulis dapat

membuktikan keadaan seseorang pada saat bilamana disangsikan kedudukanya

dan dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian

dan sebagainya.

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di

Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang

dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan

menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut

hukum adat.

Sedangkan menurut Agsutinus Sabarua,BBA (Kepala Desa) menyatakan

bahwa: suatu perkawinan dinyatakan sah, apabila prosedur adat perkawinannya

telah selesai, hal ini dipandang dari proses pelaksanaan tahap prosedur adatnya

(pembelisan)

“Terlaksananya acara nikah dan catatan sipil dan catatan sipil hanya

merupakan pencatatan yang bersifat administratif saja, karena hal itu

merupakan tuntutan Gerejawi dan Pemerintahan yang berlaku berdasarkan

Peraturan Perundang-Undangan yang tertulis dengan pertimbangan-

pertimbangan administratif kedepan yang merugikan kelangsungan hidup

berumah tangga dan bernegara bagi kedua mempelai tersebut.”

Dipandang dari segi hukum tertulis dan tidak tertulis dan telah diselesaikan

syarat-syarat perkawinana dan terpenuhinya sayarat prosedur perkawinan maka

pelaksanaan kelangsungan perkawinan telah diaggap sah baik ditinjau dari segi

hukum dan juga adatnya.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

29

C. Perkawinan menurut Hukum Adat

a. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan

saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat”

dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”. Jadi

terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap

hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama,

kedudukan anak, hak dan kewajiban orangtua, tetapi juga menyangkut hubungan-

hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetetanggaan

serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan dalam perikatan adat adalah perkawinan adat,ialah perkawinan

yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan

terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan

“rasan sanak” (hubugan anak-anak,bujang-gadis) dan “rasan tuha” (hubugan

antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan

perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk

anggota keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam

pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan

memilihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak

mereka yang terikat dalam perkawinan.

Soerojo Wigyodipoero, SH mengatakan bahwa perkawinan adalah: suatu

perkawinan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebab manusia itu

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

30

tidak saja mencakup pria dan wanita bakal mempelai saja tetapi juga orang tua

kedua belah pihak dan keluarga masing-masing.

A.Van Gennep, perkawinan adalah suatu proses perubahan status

kemandirian seoarang laki-laki dan seoarang wanita yang tadinya hidup terpisah

setelah melalui upacara atau proses beralih dan hidup bersama dalam suatu

kehidupan bersama sebagai suami dan istri. Pendapat ini mensyaratkan bahwa

perestiwa perkawinan itu berlaku ganda, artinya bahwa disamping

mempertemukan pria dan wanita sebagai suami istri juga mengikat keluarga

kedua belah pihak.

b. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat cara terjadinya perkawinan pada umumnya di

Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)13

Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki-laki) mengajak pihak

lainnya (perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan. Peminangan ini

dilakukan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanya diungkapkan

dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan yang meminang biasanya

seorang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan kelompok kerabat dan

orang tua.

2. Perkawinan Bawa Lari14

13

Te. Her. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti poesponoto (Jakarta : Pradnya

Paramitha) Hal. 188 – 199. 14

Op. Cit, Hal. 193.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

31

Perkawinan bawa lari adalah kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) lari

bersama tanpa melalui peminangan. Maksud dari pada perkawinan bawa lari

atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai

keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, pihak orang tua dan

saudara-saudara atau keluarga.

3. Kawin Lari (Berlarian untuk kawin)

Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi tidak

atas persetujuan keluarga yang terpaksa dilakukan dikarenakan untuk

menghidari persyaratan adat. Pada umumnya perbuatan kawin lari adalah

perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar kekuasaaan orang tua dan

kerabat pihak gadis. Namun demikian dikarenakan masyarakat adat itu

berpegang teguh pada azas kerukunan dan kedamaian, maka perbuatan

berlarian itu dapat dimaafkan dengan penyelesaian perundingan kerabat kedua

belah pihak.

4. Perkawinan Mengabdi

Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang

pembayarannya ditunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah

mulai hidup bekumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si

suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuannya sampai mas kawinnya

terbayar lunas.

c. Sah Menurut Hukum Adat

Sahnya menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia

tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

32

jika telah dilaksanakan menurut tata-tertib hukum agamanya, maka perkawinan

itu sudah sah menurut hukum adat, kecuali bagi mereka yang masih menganut

agama lama (kuno) seperti “Marapu” (memuja roh nenek moyang), maka

perkawinan yang dilakukan menurut tata-tertib adat atau agama mereka itu adalah

sah menurut hukum adat setempat.15

d. Persyaratan Perkawinan Menurut Hukum Adat

1. Adanya persetujuan

Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas

menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan

orang tua atau kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat yang

sistim klennya masih kuat seperti di Nusa Tenggara Timur, dimana klen yang

mengetahui dan memilihkan calon istri bagi para anggota lelakinya.Bagi setiap

yang melaksanakan perkawinan tanpa pengetahuan orang tua atau kerabatnya

maka ia tersingkir dari kerabatnya. Dalam rasan sanak persetujuan untuk

kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orang tua

untuk melakukan peminangan (pelamaran) dalam rasan tua. Dalam rasan tua

ada kemungkinan bujang gadis tidak setuju melainkan berdasrkan perundingan

dan persetujuan pihak kedua orang tua atau kerabat sendiri.

2. Batas Umur

Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk

melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti hukum adat adat memperbolehkan

15

Hilman Hadikusuma, Ibid, Hal. 27.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

33

perkawinan semua umur. Kedewasaan seseorang didalam hokum adat diukur

dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak perempuan sudah haid (datang

bulan), buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah dewasa. Bagi anak laki-

laki ukurannya dapat dilihat pada perubahan suara, sudah mengeluarkan air

mania tau sudah mempunyai nafsu sex. Jadi bukan diukur dengan umur karena

orang tua dimasa lampau kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir anak-

anaknya sebab kebanyakan mereka masih buta huruf.

e. Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat

Tata cara perkawinan adat pada suatu perkawinan berakar pada adat istiadat

serta kepercyaan yang sudah ada sejak dahulu kala, sebelum agama-agama

(Hindu, Budha, Islam dan Kristen) masuk di Indonesia telah di turuti dan

senantiasa dilakukan. Tata cara tersebut sudah mulai dilakukan pada hari-hari

sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah.

Tata cara diberbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan

menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing.

Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam perundangan, kesemuanya

diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan menurut adat atau agamanya

masing-masing. Jadinya perkawinan tampa upacara adat kebiasaan dalam

masyarakat dapat saja dilakukan , asal saja dilakukan tata cara perkawinan yang

ditelah ditentukan dalam perundangan. Dengan demikian upacara perkawinan itu

pelaksanaanya menyangkut hukum adat dan hukum agama.

Pada umumnya pelaksanaan upcara perkawinana adat di Indonesia

dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam kaitannya

dengan susunan masyarakat atau kekerabatan yang dipertahankan masyarakat

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

34

bersangkutan. Bentuk perkawinan itu “istri ikut suami”(kawin jujur), suami ikut

istri (kawin semanda), atau suami istri bebas menentukan sendiri (kawin bebas)

atau juga dalam bentuk campuran dalam perkawinan antara adat/ suku bangsa

dalam masyarakat yang kian bertambah maju.

Upacara perkawinan adat dalam segal bentuk dan cara tersebut,pada

umumnya dilaksanakan sejak masa pertunangan (pacaran), atau tahap penyelesain

tahp berlarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara adat

perkawinan, upacara keagamaan dan terakhir akhir acara kunjungan mempelai ke

tempat orang tua atau mertuanya.

Latar belakang terjadinya berlarian bujang gadis (kawin lari) untuk maksud

perkawinan adalah dikarenakan sebagai berikut :

a. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang diminta

pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak bujang

b. Gadis belum diizinkan orang tuanya untuk bersuami tetapi dikarenakan

keadaaan gadis bertindak sendiri

c. Orang tua dan keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang, lalu gadis

bertindak sendiri

d. Gadis telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak disukai oleh si

gadis

e. Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan

hukum agama (gadis sudah hamil dan lain-lain).

D. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat di desa Buru Kaghu

Perkawinan pada umumnya masih dimungkinkan untuk mengikuti dan

mempertahankan tata cara adat istiadat yang berlaku bagi masyarakat setempat

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/2/T1_312012709_BAB II.pdf · Lawrence M. Friedman dalam bukunya . ... c. Tujuan

35

termasuk di desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Kabupaten Sumba

Barat Daya sebagai bagian integral dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia.

Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh masyarakat

adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut:

1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan

paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua

orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak

itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.

2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan

lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita

dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status

sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria

membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan

tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan

perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni

ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau,

kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur

berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar

dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si

wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh

si pria yang memaksakan kehendaknya.

3. “Kawin Lari” (Pakondona) : Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang

sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria16

.

16

Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013