BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Budaya Hukum a. Sistem...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Budaya Hukum
a. Sistem Hukum
Untuk mengetahui budaya dengan baik, perlu diketahui tentang sistem hukum
yang menjadi dasar dari terbentuknya budaya hukum. Bicara hukum sebagai suatu
sistem, yang mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung
dalam hukum yaitu :
1. Komponen Struktur kelembagaan yang mempunyai fungsi untuk mendukung
bekerja sistem hukum itu sendiri. Misalnya : Pengadilan. Struktur pengadilan
dapat digambarkan majelis hakim yang bersidang ditempat tertentu pada suatu
waktu tertentu, dengan jumlah anggota tertentu, dan dengan batasan-batasan
yuridiksi yang telah ditentukan pula.
2. Komponen Substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-
peraturan, kepautusan-keputusan, dan sebagainya yang semuanya
dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.
Misalnya setiap keputusan yang mangandung doktrin, yang dibuat oleh
pengadilan, atau setiap keputusan yang dibuat oleh pembuat undang-undang,
atau setiap ketentuan yang diterapkan oleh badan-badan pemerintah.
3. Komponen Hukum yang bersifat kulutral yang terdiri dari ide-ide ,sikap-sikap,
harapan dan pendapat tentang hukum. Kultural hukum yang dimaksud adalah
external legal culture yakni budaya hukum masyarakat pada umumnya.1
1 Lawrence M. Friedman dalam bukunya On Legal Development yang diterjemahkan kembali oleh Rachmadi
Djoko Soemadio seperti dikutip oleh Esmi Warrassih.
12
Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah
pengadilan akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam masyarakat
itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang menggunakan, atau
tidak menggunakan, atau menyalahgunakan, proses hukum serta sistem hukum.
Semua komponen saling berkaitan satu sama lain yang disebut dengan sistem
hukum.. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada
dilingkugan yang sarat degan faktor-faktor non-hukum lainya. Misalnya ketika
penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan
hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan
pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum dipahami sebagai
suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda didalamnya tidak boleh saling
bertentangan.
Faktor pembentuk terjadinya komponen struktur, komponen substansi, dan
komponen kulutral yaitu faktor-faktor non-hukum terutama nilai-nilai maupun
pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakt dalam masyarakat pada
dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat. Misalnya
dalam masyarakat adat. Ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang
penting bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.
Adat dilakukan dan dipatuhi oleh masyarakatnya karena telah memberikan
rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari
namanya “kekuasaan supranatural”, masyarakat adat dipercaya bahwa didalam adat
istiadat yang dipatuhi olehnya ada kekuasaan yang besar dan mampu memberikan
kebahagian bagi mereka.
13
Sebagaimana pendapat Prof Mr. F.D. Holleman bahwa hukum adat Indonesia
memiliki empat sifat umum yang merupakan kesatuan harmonis, salah satunya
religio-magis. Religio-MAGIS menurut Prof. Kuntjaraningrat adalah teori-teori
tentang dasar-dasar anismisme, preanisme, ilmu gaib, dan pantangan.2
b. Pengertian Budaya Hukum
Menutut Lawrance M. Friedman sebagimana dikutip oleh Esmi Warasih
yang dimaksud dengan budaya hukum adalah “berupa kategori nilai-nilai,
padangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum”
Berdasarkan pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa hukum juga berada
dalam wilayah adat isitadat yang ditunjukan dengan adanya aturan-aturan yang
berlaku dalam masyarakatnya, yang kemudian diwujudkan kembali melalui nilai-
nilai, cara pandang serta sikap-sikap.
Hal ini terjadi karena budaya mempunyai kedudukan dan peranan yang
penting didlaam kehidupan manusia. Sebagaimana pendapat Koenjaraningrat
yang dikutip oleh Esmi Warassih bahwa:
“Para Individu sejak kecil telah diresapi oelh nilai-nilai budaya yang
hidup dalam masyarkat. Konsepsi-Konsepsi yang dimiliki itu sejak lama
telah berakar dalam jiwa mereka”
Oleh sebab itu, hukum sebaiknya jangan dilihat sebagai peraturan-peraturan
saja tetapi juga hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam
masyarakat, melalui tingkah laku warga masyarakat, terutama faktor nilai dan
sikap serta pandangan masyarakat yang disebut kultur hukum.
2 Kuntjaraningrat (1988:26).
14
Faktor-Faktor pembentuk budaya hukum sebagai pendorong adalah nilai-
nilai hukum subsantif. Nilai-nilai prosedural mempersoalkan tentang cara-cara
pengaturan masyaraakt dan menajemen konflik. Sedangkan nilai-nilai substantif
lebih kepada apa yang adil dan tidak menurut masyarakat. Budaya hukum
merupakan unsur yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada sistem hukum yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian, budaya hukum dalam pelaksanaannya sangat
berpengaruh dalam masyarakat. Krena komponen budaya hukum menentukan
berhasil tidaknya kebijaksanaan yang telah ditungakan dalam bentuk hukum itu,
sehingga ketika ada perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang
dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat hak ini bisa disebabkan karena
masyarakat lebih mematuhi nilai-niai yang dianut.
c. Tujuan Budaya Hukum
Menurut istilah para Antropolog, budaya tidaklah sekedar berarti himpunan
fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas. Budaya yang
diartikan sebagai kategori sisa, dan termasuk didalamnya keselurahan nilai sosial
yang berhubugan dengan hukum, sikap yang mempengaruhi hukum , tetapi yang
bukan hasil deduksi dari substansi dan struktur.
Termasuk rasa suka atau tidak suka kepada huku untuk menggunakan
pengadilan atau tidak menggunakan pengadilan, karena lebih memilih cara-cara
informal untuk menyelesaikan sengketa dan juga sikap-sikap serta tuntutan pada
hukum yang diajukan oleh kelompok-kelompok etnik, ras, agama, lapangan
pekerjaaan dan kelas-kelas sosial yang berbeda.
15
Budaya Hukum bertujuan membantu Pemerintah dan masyarakat dalam
menjalankan aturan-aturan hukum. Hal ini dikarenakan, aturan-aturan hukum
tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Nilai-Nilai dalam budaya hukum dipergunakan karena hukum merupakan
nilai-nilai terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakt. Karena setiap masyarakat
selalu menghasilkan kebudayaan, amaka hukum pun selalu ada disetiap
masyarakat dan tampil dengan khasan masing-masing.
Oleh karena itu, setiap bangsa akan mengembangkan sendiri aturan-aturan
hukumnya. Sedangkan dalam arti lebih kecil, aturan-aturan adat setiap daerah
mempunyai perbedaan sendiri-sendiri. Hal ini disesuaikan dengan kebudayaan
dari daerah-daerah tersebut. Sehingga aturan didaerah lain tidak akan sama
dengan aturan didaerah lainya, sama halnya ketika aturan perkawinan dalam adat
berbeda dengan aturan perkawinan yang telah dikeluarkan dandiberlalkukan bagi
warga Indonesia. Karena Halitu merupakan identitas diri dari pada atraun adat dan
aturan negara.
d. Komponen Budaya Hukum
Hukum dipandang sebagai suatu sitem norma, yang mana dalam
menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif,
hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar yaitu
masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena hukum juga dipandang sebagai suatu
sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pedekatan sistem.
Pengertian hukum dikemukakan antara lain oleh Lawrance M. Friedman
yang dikutip oleh Ernis Warassih bahwa hukum itu adalah gabungan komponen
struktur, substansi dan kultur. Adapun sistem hukum berikut ini :
16
1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem
hukum seperti pengadilan yang mempunyai fungsi untuk mendukung
bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini
memungkin pemberian pelayanan dan penghargaan hukum secara
teratur.
2. Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan sebagainya semuanya
dipergunakan oleh penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.
3. Komponen Kultur terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan, dan
pendapat tentang hukum. Kultur hukum dibedakan antara internal legal
culture yakni kultur hukumnya lawyers dan judges dan eksternal legal
culture yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat
terlihat dari akte-akte kelahiran yang dengan mudahnya dapat dimiliki
oleh anak-anak dari suami istri yang tidak melakukan pencatatan
perkawinan.
Faktor pembentuk budaya hukum adalah nilai-nilai prosedural dan nilai-
nilai substantif. Nilai-nilai prosedural mempersoalkan tetang cara-cara pengaturan
masyarakat dan manajemen konflik. Sedangkan nilai-nilai substantif lebih kepada
apa yang adil dan tidak menutur masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur
yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara
sistem hukum yang satu dengan yang lain.
Kebudayaan berfungsi sebagai sistem perilaku berarti kaedah-kaedah yang
berlaku sebenarnya berakar pada nilai-nilai sosial dan budaya dari masyarakat
yang bersangkutan. Bedasarkan penjelasan diatas, budaya hukum menjadi satu
hal penting yang dapat menentukan mengapa seseorang patuh atau tidak terhadap
17
peraturan yang ada. Hal ini berakibat dari perbedaaan anatara apa yang
dikehendaki oleh undnag-undang dengan praktek yang dijalankan masyarakat.
Masyarakat adalah objek yang melaksanakan aturan–aturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah ataupun adat yang dilaksanakannya.
Hukum merupakan salah satu alat yang berfungsi untuk membantu
manusia/pribadi atau masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu
hukum perlu untuk melihat apa dan bagaimana hukum itu bisa diterima dan
diberlakukan dalam masayrakat.
B. Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
W.J.S Poerdarminta mengartikan kata kawin sebagai berikut : “Kawin :
perjodohan laki-laki dan permepuan menjadi suami istri:nikah. Soerjono
Wigmdodipoero: (1988: 122) mengartikan kata perkwainan sebagai berikut : “
Perkawinana adalah suatu perestiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat kita, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria
bakal mempelai saja tapi juga kedua belah pihak orang tua, saudara bahkan
keluarga mereka masing-masing”.3
Dari pengertian perkainan tersebut diatas, jelas bahwa erestiwa perkawinan
bukanlah perestiwa yang alami saja tetapi merupakan persetiwa yang suci atau
dengan kata lain perestiwa yang sakral. Dikatakan demikian karena deengan
pelaksanaan perkawinan merupakan suatu perestiwa perwujudan atas kesepakan
kedua calon suami istri bahkan menyangkut pula keluarga yang merupakan suatu
perwujudan perestiwa pula keluarga yang merupakan salah satu sisi penting dari
3 W.J.S Poerdarminta (1976:453).
18
mempertanggungjawabkan kehadiran seseorang manusia sebaai ciptaan Tuhan
sehingga dapatlah dikatakan bahwa perkawinan bukanlah suatu upacara
berkelompoknya dua manusia akan tetapi pada hakekatnya merupakan penyatuan
kedua muda-mudi dalam suatu tata cara resmi.
Berkaitan dengan pengertian terdahulu Dr. Verkuyl yang dikutip oleh
Sugiarto (1984:54) menegaskan bahwa :
“Perkawinan suatu tata suci yang ditetapkan Tuhan yang didalamnya diatur
hubungan antara wanita”4.
Dari pengertian yang dikemukakan diatas bila dikaji lebih lanjut maka perestiwa
perkawinan yang dihadapi oleh manusia yang sudah patut melangsungkan
perwakiwanan yang darikeyakinana adalah merupakan suatu tata tertib yang suci
yang diterapkan oleh Tuhan bagi manusia. Oleh karena itu dapatlah dikatakan
bahwa perkawinana itu pada hakekatnya adalah merupakan suatu perestiwa yang
sakral bagi pihak-pihak yang akan melangsungkanya lebih lanjut dalam pasal 1
Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa :
“Perkawinanan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang
wanita dengan tujuan sebagai suami istri dengan tujuan mebentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
Dari ketentuan pasal 1 tersebut diatas, peristiwa yang dilangsungkan oleh kedua
calon suami istri . Untuk memwujudkan kesepakatan inilah maka terjadi suatu
perestiwa perkawinaan. Dalam hubungan dengan ikatan lahir bathin tersebut, oleh
K. Wantjik Saleh menjelaskan bahwa :
4 Sugiarto (1984:54).
19
“ Dengan ikatan lahir bathin dimaksud bahwa perkawinan itu tidak hanya
cukup dengan adanya ikatan lahir batin saja tetapi harus kedua-duanya. Suatu
ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu
hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami istri dengan kata lain dapat disebut dengan hubungan formal.
Hubungan formal itu ternyata suatu ikatan yang tidak dapat lihat atau tidak
nyata namun harus ada sehingga ikatan lahir tidak mudah rapuh”.5
Penegasan diatas apabila dikaji lebih jauh maka terjalinya ikatan lahir dan batin
dapatlah merupakan dasar dalam membentuk dan membina rumah tangga yang
bahagia dan kekal. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah
berdasarkan Tuhan Yang Maha ESA. Sejalan Dengan pemahaman tesebut,
K.Wantjik Saleh SH dalam penjelasannya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan :
“Yang dimaksud dengan persetujuan disini adalah persetujuan itu antara calon
suami dan calon istri dan dasar harus adanya suatu persetujuan itu berarti telah
dipasang pondasi yang kokoh untuk membina suatu keluarga dan rumah
tangga . Hendaklah persetujuan itu adalah yang murni yang betul-betul
tercetus dari hati para calon tersebut dalam bentuk kemauan untuk hidup
bersama seumur hidup, bukan secara pura-pura atau hasil paksaan”
Pengertian dan tujuan perkawinan sudah diatur dalam bentuk perundang-
undangan yaitu terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dalam pasal 2
ayat (1), Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa “perkawinan adalah sah
apabila ditetapkan menurut agama dan kepercayaan itu”.
5 K. Wantjik Saleh, (1976: 14).
20
Jadi keputusan diatas menunjukan bahwa sahnya suatu perkawinan
berkaitan erat dengan aspek hokum. Hukum tidak hanya diartikan dengan
kekuasaan yang diatur oleh Negara dan agama tetapi juga peraturan-peraturan
yang dibuat oleh adat yang dianggap berlaku dalam masyarakat di lingkungan
adat tersebut.
Pengertian perkawinan dalam hukum adat berbeda dengan pengertian
perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dalam hukum adat
perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan
masyarakat, karena perkawinan bukan saja menjadi urusan mereka yang
melangsungkan perkawinan, tetapi juga melibatkan orang tua dan keuarga kedua
belah pihak yang di dalamnya termasuk urusan suku, urusan kelas sosial, urusan
masyarakat dan sebagainya. Dengan demikianperkawinan akan menjadi urusan
keluarga kedua belah pihak.
Dalam hukum adatpun perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang
penting bagi mereka yang masih hidup saja tetapi perkawinan itu juga merupakan
peristiwa yang sangat berarti yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak beserta keluarganya yang
mengharapkan juga restu bagi kedua mempelai, hingga setelah menikah kedua
mempelai dapat hidup rukun bahagia sebagai suami dan istri sampai kaken–kaken
nien–nien (istilah jawa yang artinya sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan
sang istri menjadi nini-nini yang bercucu cicit.6
6 Soerojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta. Hal 122.
21
H. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa:
“Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja
berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan adat dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”.7
Pendapat tersebut menunjukan bahwa perkawinan dalam hukum adat
mempunyai arti yang luas sekali. Hal itu disebabkan karena perkawinan tidak
semata-mata ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina keluarga
yang harmonis, tetapi juga berhubungan dengan keluarga, masyarakat umum dan
orang-orang yang telah meninggal. Dengan demikian maka suatu perkawinan
menjadi tanggung jawab yang berat bagi pasangan suami istri, selain bertanggung
jawab terhadap orang banyak (keluarga dan masyarakat) juga bertanggung jawab
kepada Tuhan.
Selanjutnya menurut Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa:
“Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.”
Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu
misalnya adanya hubungan pelamaran yang merupakan rasa tuha (hubungan
antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan
perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termasuk anggota
keluarga atau kerabat menurut hukum adat dan selanjutnya dalam peran serta
7 Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Pandangan, Hukum Agama, Hukum Adat,
Mandar Maju, Bandung, hal. 8.
22
membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan
anak-anak mereka yang terikat hal perkawinan.8
Pernyataan itu menunjukan bahwa perkawinan mengakibatkan adanya suatu
hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak suami dan
dari pihak istri. Hubungan hukum tersebut dapat dilihat, misalnya;
melangsungkan suatu perkawinan, dan pihak laki-laki menyerahkan sejumlah
mas kawin kepada pihak perempuan. Mas kawin sebagai ikatan hukum dalam
perkawinan sehingga setelah perkawinan seorang istri harus melepaskan semua
kedudukannya dan memasuki atau mengikuti kerabat suami beserta anak dan
keturunannya.
Soerojo Wignjopdipoero mengatakan tentang perkawinan dalam bukunya
“Pengantar dan asa-asa adat, bahwa… “ Perkawinan adalah salah satu
peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab
perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria atau mempelai
saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga masing-masing. Bahkan dalam hukum adat, perkawinan itu bukan
hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja
tetapi juga merupakan peristiwa yang sangat berarti dan sepenuhnya
mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah leluhur dari kedua belah
pihak”.9
Dari pernyataan diatas bisa diketahui bahwa perkawinan (perkawinan adat)
tidak hanya mencakup antara orang yang masih hidup (kedua calon mempelai,
keluarga kedua belah pihak) tetapi juga orang yang sudah mati (leluhur).
8 Ibid, hal. 9.
9 Soerojo Winjopdipoero, Pengaturan dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung, 1989. Hal 122.
23
Cara seperti diatas masih tetap terpelihara walaupun nilai-nilai yang ada di
dalam tindakan tersebut telah banyak mengalami pergeseran akibat modernisasi.
Akan tetapi meskipun perkawinan merupakan urusan keluarga, urusan kerabat,
dan urusan persekutuan, tetap saja perkawinan itu sendiri merupakan urusan
hidup pribadi dari pihak-pihak individual yang kebetulan tersangkut didalamnya.
Jadi soal suka atau benci, jalannya proses kawin pinang terlebih kawin lari atau
bawa lari mencerminkan ketegangan tersebut antara kelompok dan warga selaku
oknum. Selanjutnya yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Tujuan perkawinan tersebut menghendaki agar perkawinan tersebut
berlangsung seumur hidup dan dalam bentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Tujuan Perkawinan
Pada prinsipnya, perkawinan mempunyai tujuan-tujuan atau motivasi
tertentu dan bervariasi sangat tergantung dari aspek mana seseorang
mengartikannya. Dalam kaitan ini M.W. Brower mengatakan : “Perkawinan
bertujuan untuk memperoleh cinta, anak dan sekaligus sebagai tujuan
perkawinan”
Pendapat Brower tersebu diatas memberi kesan bahwa perkawinan adalah
dari sisi tumbuhnya suatu perasaaan saling mencintai, untuk melanjutkan
keturunan(anak) dan untuk memberikan suatu kebahagiaan rumah tangga. Karena
perkawinan itu dilandasi oleh perasaan saling memiliki, merasa senasib dan
24
sepenanggungan maka muncul komitmen bersama antara kedua calon mempelai
ata suami istri untuk memperoleh anak untuk menciptakan suasna kebahagian
K. Wantjik Saleh SH (1976:15) menjelaskan : Perkainana yang bertujuan
untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Dapat diartikan bahwa perkawinan
haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.10
Selanjutnya dalam uraiannya, melandasinya pada aspek tujuan yang
mengandung makna seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja, dan
pada aspek tujuan ini pula mengandung makna bahwa perkawinan dan tujuan
akhirnya adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (1976:14).11
Dari pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa tujuan perkawinan tidak lain
adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia dan kekakl seumur hidup,
serta dilandasi oleh rasa cinta berdasrkan Tuhan Yang Maha Esa.
Pendapat tersebut adalah sejalan dengan jiwa Ketentuan Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang perkawina yang menegaskan bahwa perkawinan
adalah untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat adat yang bersifat
kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut
gari kebapakan atau keibu-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga
atau kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan
untuk mempertahankan kewarisan.Oleh karena sistem keturuna dan kekerabatan
antara suku bangsa Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda termasuk
lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan dari
10
K. Wantjik Saleh, (1976:15) 11
Ibid, hal. 14.
25
perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang
satu dengan suku bangsa yang lain, daerah yang satu dan daerah yang lain
berbeda, serta akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.
Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial, perkawinan bertujuan
mempertahankan garis keturuana bapak, sehingga anak laki-laki (terua), harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan pembayaran uang jujur),
dimana setelah terjadi perkawinan istrei ikut (masuk) dalam kekerabatan suami
dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya.
Sebaliknya pada masyarakat kekerabatan adat yang matrilineal, perkawinan
bertujuan mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak wanita tertua
(tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda). Dimana
setelah terjadinya suami ikut (masuk) dalam kekerabatan istri dan melepaskan
kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.
c. Keabsahan Perkawinan
Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dalam pelaksanaannya telah
memenuhi persyaratan dan tata cara perkawinan baik secara formal maupun non
formal yang berlaku secara sah. Peraturan yang berlaku adalah peraturan
perundang-undangan perkawinan yakni Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan hukum adat,agama, dan
kepercayaan masing-masing.
Pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan
bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamnya dan kepercayaannya itu.”
26
Jadi suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan itu. Bila menyimpang dari hal itu maka
perkawinan tidak dapat dilangsungkan sesuai ketentuan Undang-Undang No 1
Tahun 1974 karena perkawinan itu dianggap tidak sah.
K. Wantjik Saleh, SH (1976:16) menegaskan bahwa :
“Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaa yaitu, sesaui dengan UUD 1945”. Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undanng
ini.
Lebih lanjut K.Wantjik Saleh, SH menegaskan bahwa : Kata sesuai dengan
UUD 1945 dalam hubungan dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu adalah dimaksud dalam pasal 29 yang berbunyi :
1. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk menjalankan/beribadah menurut
agama dan kepercayaanya itu.
Menurut H. Sainus Syakar (1981:19) menyatakan bahwa atas sadurannya
terhadap para pendapat sarjana dan pakar hukum yakni12
:
Pertama, Para sarjana dan ahli hukum serta golongan ang selama ini
tundauk dan melakukan perkawinan berdasarkan KUHPerdata dan ordinasi
perkawinan kristen mengatakan bahwa saat mulai sahnya perkawinan itu bukan
pada saaat pencacatan tetapi pada selesainya pemberkatan nikah.
12
H. Sainus Syakar, (1981:19).
27
Kedua, umumnya dianut oleh umat Islam saat mulai sahnya perkawinan itu
bukan pada pendaftaran atau pencatatan, itu hanyalah merupakan tindakan
administratif belaka akan tetapi sahnya nikah itu mulai saat selesainya tata cara
keagamaan, misalnya saat selesainya akad nikah yang diucapkan kedua belah
pihak mempelai wanita maupun mempelai pria.
Gambaran dan penjelasan tersebut diatas menunjukan bahwa adanya suatu
kejelasan yang berbeda antara kedua agama (kristen dan islam). Hal terebut diatas
ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
menegaskan bahwa:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaan itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan-
undangan yang berlaku.
Penjelasannya percatatan setiap perestiwa penting dalam kehendak
seseorang misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, surat akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Sehubungan dengan penjelasan pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974,
maka K. Wanttjik Saleh, SH menyatakan bahwa : “ Pencatatan perkawinan itu
bertujuan untuk menjadikan perestiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik yang
bersangkutan maupun baik bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca
dalam surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus yang
disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan dimana perlu
sebagai alat bukti tertulis dan autentik. Dengan adanya surat bukti ini dapatlah
dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain.
28
Dari uraian K. Wantijik Saleh, SH diatas menjelaskan adanya suatu
pencatatan yang resmi yaitu untuk menjelaskan kondisi pelaku perkawinan
umumnya. Karena adanya pencatatan yang resmi serta tertulis dapat
membuktikan keadaan seseorang pada saat bilamana disangsikan kedudukanya
dan dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian
dan sebagainya.
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di
Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang
dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan
menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut
hukum adat.
Sedangkan menurut Agsutinus Sabarua,BBA (Kepala Desa) menyatakan
bahwa: suatu perkawinan dinyatakan sah, apabila prosedur adat perkawinannya
telah selesai, hal ini dipandang dari proses pelaksanaan tahap prosedur adatnya
(pembelisan)
“Terlaksananya acara nikah dan catatan sipil dan catatan sipil hanya
merupakan pencatatan yang bersifat administratif saja, karena hal itu
merupakan tuntutan Gerejawi dan Pemerintahan yang berlaku berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan yang tertulis dengan pertimbangan-
pertimbangan administratif kedepan yang merugikan kelangsungan hidup
berumah tangga dan bernegara bagi kedua mempelai tersebut.”
Dipandang dari segi hukum tertulis dan tidak tertulis dan telah diselesaikan
syarat-syarat perkawinana dan terpenuhinya sayarat prosedur perkawinan maka
pelaksanaan kelangsungan perkawinan telah diaggap sah baik ditinjau dari segi
hukum dan juga adatnya.
29
C. Perkawinan menurut Hukum Adat
a. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan
saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat”
dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”. Jadi
terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama,
kedudukan anak, hak dan kewajiban orangtua, tetapi juga menyangkut hubungan-
hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetetanggaan
serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Perkawinan dalam perikatan adat adalah perkawinan adat,ialah perkawinan
yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan
terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan
“rasan sanak” (hubugan anak-anak,bujang-gadis) dan “rasan tuha” (hubugan
antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan
perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk
anggota keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan
memilihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak
mereka yang terikat dalam perkawinan.
Soerojo Wigyodipoero, SH mengatakan bahwa perkawinan adalah: suatu
perkawinan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebab manusia itu
30
tidak saja mencakup pria dan wanita bakal mempelai saja tetapi juga orang tua
kedua belah pihak dan keluarga masing-masing.
A.Van Gennep, perkawinan adalah suatu proses perubahan status
kemandirian seoarang laki-laki dan seoarang wanita yang tadinya hidup terpisah
setelah melalui upacara atau proses beralih dan hidup bersama dalam suatu
kehidupan bersama sebagai suami dan istri. Pendapat ini mensyaratkan bahwa
perestiwa perkawinan itu berlaku ganda, artinya bahwa disamping
mempertemukan pria dan wanita sebagai suami istri juga mengikat keluarga
kedua belah pihak.
b. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat cara terjadinya perkawinan pada umumnya di
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)13
Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki-laki) mengajak pihak
lainnya (perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan. Peminangan ini
dilakukan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanya diungkapkan
dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan yang meminang biasanya
seorang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan kelompok kerabat dan
orang tua.
2. Perkawinan Bawa Lari14
13
Te. Her. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti poesponoto (Jakarta : Pradnya
Paramitha) Hal. 188 – 199. 14
Op. Cit, Hal. 193.
31
Perkawinan bawa lari adalah kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) lari
bersama tanpa melalui peminangan. Maksud dari pada perkawinan bawa lari
atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai
keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, pihak orang tua dan
saudara-saudara atau keluarga.
3. Kawin Lari (Berlarian untuk kawin)
Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi tidak
atas persetujuan keluarga yang terpaksa dilakukan dikarenakan untuk
menghidari persyaratan adat. Pada umumnya perbuatan kawin lari adalah
perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar kekuasaaan orang tua dan
kerabat pihak gadis. Namun demikian dikarenakan masyarakat adat itu
berpegang teguh pada azas kerukunan dan kedamaian, maka perbuatan
berlarian itu dapat dimaafkan dengan penyelesaian perundingan kerabat kedua
belah pihak.
4. Perkawinan Mengabdi
Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang
pembayarannya ditunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah
mulai hidup bekumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si
suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuannya sampai mas kawinnya
terbayar lunas.
c. Sah Menurut Hukum Adat
Sahnya menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia
tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya
32
jika telah dilaksanakan menurut tata-tertib hukum agamanya, maka perkawinan
itu sudah sah menurut hukum adat, kecuali bagi mereka yang masih menganut
agama lama (kuno) seperti “Marapu” (memuja roh nenek moyang), maka
perkawinan yang dilakukan menurut tata-tertib adat atau agama mereka itu adalah
sah menurut hukum adat setempat.15
d. Persyaratan Perkawinan Menurut Hukum Adat
1. Adanya persetujuan
Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas
menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan
orang tua atau kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat yang
sistim klennya masih kuat seperti di Nusa Tenggara Timur, dimana klen yang
mengetahui dan memilihkan calon istri bagi para anggota lelakinya.Bagi setiap
yang melaksanakan perkawinan tanpa pengetahuan orang tua atau kerabatnya
maka ia tersingkir dari kerabatnya. Dalam rasan sanak persetujuan untuk
kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orang tua
untuk melakukan peminangan (pelamaran) dalam rasan tua. Dalam rasan tua
ada kemungkinan bujang gadis tidak setuju melainkan berdasrkan perundingan
dan persetujuan pihak kedua orang tua atau kerabat sendiri.
2. Batas Umur
Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk
melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti hukum adat adat memperbolehkan
15
Hilman Hadikusuma, Ibid, Hal. 27.
33
perkawinan semua umur. Kedewasaan seseorang didalam hokum adat diukur
dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak perempuan sudah haid (datang
bulan), buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah dewasa. Bagi anak laki-
laki ukurannya dapat dilihat pada perubahan suara, sudah mengeluarkan air
mania tau sudah mempunyai nafsu sex. Jadi bukan diukur dengan umur karena
orang tua dimasa lampau kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir anak-
anaknya sebab kebanyakan mereka masih buta huruf.
e. Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat
Tata cara perkawinan adat pada suatu perkawinan berakar pada adat istiadat
serta kepercyaan yang sudah ada sejak dahulu kala, sebelum agama-agama
(Hindu, Budha, Islam dan Kristen) masuk di Indonesia telah di turuti dan
senantiasa dilakukan. Tata cara tersebut sudah mulai dilakukan pada hari-hari
sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah.
Tata cara diberbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan
menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing.
Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam perundangan, kesemuanya
diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan menurut adat atau agamanya
masing-masing. Jadinya perkawinan tampa upacara adat kebiasaan dalam
masyarakat dapat saja dilakukan , asal saja dilakukan tata cara perkawinan yang
ditelah ditentukan dalam perundangan. Dengan demikian upacara perkawinan itu
pelaksanaanya menyangkut hukum adat dan hukum agama.
Pada umumnya pelaksanaan upcara perkawinana adat di Indonesia
dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam kaitannya
dengan susunan masyarakat atau kekerabatan yang dipertahankan masyarakat
34
bersangkutan. Bentuk perkawinan itu “istri ikut suami”(kawin jujur), suami ikut
istri (kawin semanda), atau suami istri bebas menentukan sendiri (kawin bebas)
atau juga dalam bentuk campuran dalam perkawinan antara adat/ suku bangsa
dalam masyarakat yang kian bertambah maju.
Upacara perkawinan adat dalam segal bentuk dan cara tersebut,pada
umumnya dilaksanakan sejak masa pertunangan (pacaran), atau tahap penyelesain
tahp berlarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara adat
perkawinan, upacara keagamaan dan terakhir akhir acara kunjungan mempelai ke
tempat orang tua atau mertuanya.
Latar belakang terjadinya berlarian bujang gadis (kawin lari) untuk maksud
perkawinan adalah dikarenakan sebagai berikut :
a. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang diminta
pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak bujang
b. Gadis belum diizinkan orang tuanya untuk bersuami tetapi dikarenakan
keadaaan gadis bertindak sendiri
c. Orang tua dan keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang, lalu gadis
bertindak sendiri
d. Gadis telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak disukai oleh si
gadis
e. Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan
hukum agama (gadis sudah hamil dan lain-lain).
D. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat di desa Buru Kaghu
Perkawinan pada umumnya masih dimungkinkan untuk mengikuti dan
mempertahankan tata cara adat istiadat yang berlaku bagi masyarakat setempat
35
termasuk di desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Kabupaten Sumba
Barat Daya sebagai bagian integral dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia.
Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh masyarakat
adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut:
1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan
paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua
orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak
itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.
2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan
lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita
dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status
sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria
membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan
tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni
ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau,
kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar
dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si
wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh
si pria yang memaksakan kehendaknya.
3. “Kawin Lari” (Pakondona) : Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang
sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian
secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria16
.
16
Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013