BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jantung
2.1.1 Definisi Jantung
Jantung adalah salah satu organ penting dalam tubuh kita. Fungsi jantung
secara umum adalah bekerja sebagai pompa. Fungsi pompa ini ada kaitannya
dengan sistem peredaran darah dalam tubuh sehingga jantung bekerja untuk
memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh kita (Gray et al, 2005).
Jantung adalah sebuah pompa yang memiliki empat bilik. Dua bilik yang
terletak di atas disebut Atrium, dan dua yang di bawah disebut Ventrikel. Jantung
juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kanan yang bertugas
memompa darah ke paru-paru, dan bagian kiri yang bertugas memompa darah ke
seluruh tubuh manusia. Atrium dan ventrikel masing-masing akan dipisahkan oleh
sebuah katup, sedangkan sisi kanan dan kiri jantung akan dipisahkan oleh sebuah
sekat yang dinamakan dengan septum. Katup jantung berfungsi terutama agar
darah yang telah terpompa tidak kembali masuk ke dalam lagi (Gray et al, 2005).
Jantung memompa darah melewati dua sistem sirkulasi. Darah yang
berasal dari sistem peredaran darah besar mengandung sedikit oksigen dan
memasuki atrium kanan melalui vena kava superior dan interior menuju ventrikel
kanan. Dari sini darah dipompa menuju paru-paru, tempat darah memperoleh
oksigen dan meninggalkan karbondioksida. Darah yang sudah mengandung
oksigen kembali menuju atrium kiri, melewati ventrikel kiri dan dipompa menuju
seluruh tubuh melalui aorta, dimana oksigen dipakai dan melalui metabolisme
menjadi karbondioksida. Ditambah lagi, darah juga membawa nutrisi dari hati
menuju berbagai organ tubuh, sementara membawa zat sisa menuju hati dan
ginjal. Normalnya, jumlah darah yang terpompa menuju paru-paru sama dengan
jumlah darah yang terpompa ke seluruh tubuh. Pembuluh vena memompa darah
menuju jantung dan membawa darah kaya karbondioksida, kecuali vena
pulmonalis dan vena pada sistem pencernaan. Arteri membawa darah keluar
jantung, membawa oksigen selain pada arteri pulmonalis. Jarak yang jauh dari
5
jantung membuat pembuluh vena memiliki tekanan yang lebih kecil dari
pembuluh arteri (WHO, 2003).
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Jantung
Gambar 2.1 Anatomi Jantung (Grawbowski & Tortora, 2003)
Kerja Fungsi Jantung
Kerja fungsi jantung adalah mengatur distribusi darah ke seluruh bagian
tubuh. Bentuk jantung menyerupai jantung pisang, besarnya kurang lebih
sebesar kepalan tangan pemiliknya. Bagian atasnya tumpul (pangkal
jantung) dan disebut juga basis kordis. Di sebelah bawah agak runcing
yang disebut apeks kordis. Letak jantung di dalam rongga dada sebelah
depan (kavum mediastinum anterior), sebelah kiri bawah dari pertengahan
rongga dada, diatas diafragma, dan dipangkalnya terdapat di belakang kiri
antara kosta V dan VI dua jari di bawah papilla mamae. Pada tempat ini
6
teraba adanya denyutan jantung yang disebut iktus kordis. Ukurannya
kurang lebih sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250
– 300 gram (Gray et al, 2005).
Lapisan Jantung
Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung yang tersusun
secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus interkalatus. Lapisan
jantung itu sendiri terdiri dari Perikardium, Miokardium, dan
Endokardium. Berikut ini penjelasan ketiga lapisan jantung yaitu:
1. Perikardium (Epikardium)
Epi berarti “diatas”, cardia berarti “jantung”, yang mana bagian ini
adalah suatu membran tipis di bagian luar yang membungkus
jantug. Terdiri dari dua lapisan;
a. Perikardium fibrosum (viseral), merupakan bagian kantung
yang membatasi pergerakan jantung terikat di bawah
sentrum tendinium diafragma, bersatu dengan pembuluh
darah besar merekat pada sternum melalui ligamentum
sternoperikardial.
b. Perikardium serosum (parietal), dibagi menjadi dua bagian,
yaitu perikardium parietal membatasi perikardium fibrosum
sering disebut epikardium, dan perikardium viseral yang
mengandung sedikit cairan yang berfungsi sebagai pelumas
untuk mempermudah pergerakan jantung.
2. Miokardium
Myo berarti ”otot”, merupakan lapisan tengah yang terdiri dari otot
jantung, membentuk sebagian besar dinding jantung. Serat-serat
otot ini tersusun secara spiral dan melingkari jantung. Lapisan otot
ini yang akan menerima darah dari arteri koroner.
3. Endokardium
Endo berarti “didalam”, adalah lapisan tipis endothelium, suatu
jaringan epitel unik yang melapisi bagian dalam seluruh sistem
sirkulasi peredaran darah.
(Grawbowski & Tortora, 2003)
7
Ruang-ruang Jantung
Berbicara mengenai anatomi jantung maka organ jantung terdiri atas 4
ruang, yaitu 2 ruang yang berdinding tipis disebut dengan atrium
(serambi), dan 2 ruang yang berdinding tebal yang disebut dengan
ventrikel (bilik). Atrium dan ventrikel jantung ini masing-masing akan
dipisahkan oleh sebuah katup, sedangkan sisi kanan dan kiri jantung akan
dipisahkan oleh sebuah sekat yang dinamakan dengan septum. Septum
atau sekat ini adalah suatu partisi otot kontinue yang mencegah
percampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat penting
karena separuh jantung kanan menerima dan juga memompa darah yang
mengandung oksigen rendah, sedangkan sisi jantung sebelah kiri berfungsi
untuk memompa darah yang mengandung oksigen tinggi (Philip et al,
2008).
2.2 Gagal Jantung
Gambar 2.2 Jantung Normal dan Gagal Jantung (Daniel, 2003)
2.2.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung didefinisikan sebagai suatu sindroma klinik yang
disebabkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memompa cukup darah dalam
8
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Parker et al., 2008). Sedangkan
menurut Neal, gagal jantung terjadi apabila cardiac output tidak cukup untuk
memberikan perfusi yang adekuat ke jaringan, walaupun pengisian jantung
berlangsung normal (Neal, 2005). Pada kondisi gagal jantung, cardiac output
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pada sistem sirkulasi, fungsi renal, fungsi neuroregulasi,
maupun fungsi hormonal (Lamb, 2009).
2.2.2 Faktor Risiko Gagal Jantung
Beberapa keadaan dapat berhubungan dengan kecenderungan terhadap
penyakit jantung struktural seperti usia, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas,
sindrom metabolik, penyakit jantung koroner, infark miokard, hipertrofi ventrikel
kiri, anemia, kelainan katup jantung dan kardiomiopati (Lee & Bergman, 2000).
Kejadian gagal jantung lebih sering terjadi pada pasien yang menderita
hipertensi kronis dan usia lanjut. Hipertensi dapat menjadi berkembang pada
penyakit jantung dan gagal jantung melalui dua cara, yaitu hipertrofi ventrikel kiri
dan penyakit jantung koroner. Walaupun risiko gagal jantung karena hipertensi
lebih sedikit dibandingkan dengan penyakit jantung koroner, tetapi hipertensi
lebih sering ditemukan daripada miokard. Pengobatan hipertensi jangka panjang
dapat menurunkan risiko gagal jantung sekitar 50% (Litbangkes, 2013).
Pasien dengan diabetes mellitus secara nyata meningkatkan kemungkinan
risiko untuk berkembang menjadi gagal jantung walaupun tanpa penyakit jantung
struktural sebelumnya. Diabetes mellitus juga mengganggu outcome dari tata
laksana gagal jantung (Lee & Bergman, 2000)
2.2.3 Epidemiologi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan epidemik masalah kesehatan di Amerika dimana
sekitar 5 juta penduduknya menderita penyakit ini dengan jumlah kematian lebih
dari setengah juta setiap tahunnya (Rocco & Fang, 2006). Prevalensi jantung di
dunia terus mengalami peningkatan dan diperkirakan mencapai 20 juta lebih
penduduk dunia. Sedangkan di negara-negara berkembang, kasus gagal jantung
terjadi pada sekitar 1 – 2% populasi (Tendera, 2004).
9
Mayoritas penderita gagal jantung merupakan pasien-pasien usia tua
dengan kondisi komorbid yang beragam sehingga mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas. Insiden gagal jantung terjadi pada 10% pasien berusia lebih dari 75
tahun dan sekitar 2% terjadi pada usia antara 40-59 tahun. Penyakit ini lebih
banyak diderita oleh laki-laki daripada perempuan pada usia sampai 65 tahun
(Parker et al., 2008).
Berdasarkan laporan Framingham Study pada periode 1948 sampai 1988
kelangsungan hidup setelah didiagnosis gagal jantung hanya 1,7 tahun untuk
penderita laki-laki dan 3,2 tahun untuk penderita perempuan. Setelah lima tahun
hanya 25% penderita laki-laki dan 38% penderita perempuan yang masih hidup.
Sedangkan menurut Hillingdon 2.2 Heart Failure Study, suatu observasi pada
populasi di London Barat, mortalitas ditemukan tinggi pada awal bulan setelah
diagnosis. Pasien yang bertahan hidup sebesar 81% setelah satu bulan, 75% pada
tiga bulan, 70% pada enam bulan, 62% pada dua belas bulan, dan 57% setelah
delapan belas bulan (Tendera, 2004).
2.2.4 Etiologi Gagal Jantung
Gagal jantung dapat disebabkan oleh disfungsi sistolik yang ditandai
dengan penurunan kapasitas pompa normal dari ventrikel kiri, atau disfungsi
diastolik yang ditandai dengan fungsi sistolik yang normal tetapi terjadi
penurunan pengisian ventrikel (Lamb, 2009). Penyakit jantung koroner diketahui
sebagai penyebab umum gagal jantung di negara-negara barat (Kumar & Clark,
2006). Menurut data terbaru dari Framingham Study, menunjukkan bahwa
hipertensi sebagai faktor utama berkembangnya gagal jantung. Hipertensi baik
secara tunggal maupun kombinasi dengan penyakit jantung koroner menyebabkan
gagal jantung pada 70% pasien baik laki-laki dan wanita dalam studi tersebut
(Meredith & Ostergren, 2006). Secara umum penyebab gagal jantung dapat dilihat
pada tabel II.1.
10
Tabel II.1 Etiologi Gagal Jantung (Parker et al., 2008)
Disfungsi Sistolik Disfungsi Diastolik
Penurunan masa otot (karena MI)
Dilatasi kardiomiopati
Hipertropi ventrikel
- Tekanan yang berlebihan
(misal karena hipertensi,
stenosis)
- Volume yang berlebihan (misal
karena regurgitasi vaskular,
output tinggi)
Peningkatan kekuatan ventrikel
- Hipertropi ventrikel (misal
hipertropi kardiomiopati)
- Penyakit miokardial infiltratif
(misal fibrosis endomiokardial)
- Iskemia dan infark miokardial
Stenosis katup mitral dan trikuspid
Penyakit pericardial (perikarditis)
Selain penyebab diatas, diketahui gagal jantung dapat disebabkan atau
diperparah dengan penggunaan obat-obatan seperti terlihat pada tabel II.2.
Tabel II.2 Obat-obatan yang dapat Menyebabkan atau Memperparah Gagal
Jantung (Parker et al., 2008)
Jenis Obat Contoh Spesifik
Amfetamin
Antiaritmia
Calcium Channel Blocker
NSAID
Thiazolidinedion
Obat kemoterapi
Kokain, Metamfetamin
Disopiramid, Amiodaron, dll
Diltiazem, Verapamil
Ibuprofen, Indometazin
Rosiglitazone, Pioglitazone
Doxorubisin
11
2.2.5 Patofisiologi Gagal Jantung
Gambar 2.3 Patofisiologi Gagal Jantung (Parker et al, 2008)
Progresifitas disfungsi
sistolik dan diastolik
Remodeling
ventrikel kiri
Hipertensi
Diabetes Mellitus
Infark Miokard
Akut
Malfungsi katup
jantung
Penurunan
kontraktilitas
miokardium
Peningkatan
beban akhir
Peningkatan
beban awal
Cedera
Miokard
Aktivasi kronis hemodinamik dan respon
kompensasi neuhormonal
Hilangnya
miosit dari
nekrosis dan
apoptosis
Energetika
miokard
yang
abnormal
LV dilatasi
dan
kebulatan
Perubahan
dalam matriks
ektraselular
termasuk
fibrosis
interstitial
Hipertropi
Jantung
12
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokard yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
curah sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon
terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat :
1. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik.
2. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin angiotensin
aldosteron, dan
3. Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk
mempertahankan curah jantung. Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya
curah jantung biasanya tampak pada saat aktivitas. Dengan berlanjutnya gagal
jantung maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif. Menurunnya
curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik
kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik merangsang
pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal.
Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah
jantung. Juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan
arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-
organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke
jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa :
1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerolus.
2. Pelepasan renin dari apparatus juksta glomerolus.
3. Interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I.
4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
5. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
6. Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium atau bertambah tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah
13
sarkomer dalam sel-sel miokardium; tergantung dari jenis beban hemodinamik
yang mengakibatkan gagal jantung, sarkomer dapat bertambah secara paralel atau
serial. Respon miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta,
ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding (Smeltzer, 2001).
2.2.6 Manifestasi Klinik Gagal Jantung
Gambar 2.4 Manifestasi Klinik Gagal Jantung (Soewanto et al, 2008)
14
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti gagal
jantung kanan dapat terjadi di dada karena peningkatan kebutuhan oksigen. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya
terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitral.
Tanda dominan meningkatnya volume intravaskuler. Kongestif jaringan
akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah jantung.
Manifestasi kongestif dapat berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana
yang terjadi.
1. Gagal Jantung Kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak
mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi yang terjadi
yaitu:
a. Dispnu
Terjadi penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnu. Beberapa pasien dapat
mengalami ortopnu pada malam hari yang dinamakan Paroksimal
Nokturnal Dispnea (PND).
b. Batuk
c. Cheynes stokes
d. Orthopnea
e. Kongestif vena pulmonalis
f. Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat
jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya
pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi karena
meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia
yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk.
g. Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksinegasi jaringan, stress akibat
kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi
dengan baik.
15
2. Gagal Jantung Kanan
a. Kongestif jaringan perifer dan visceral
b. Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema
pitting, penambahan berat badan
c. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
terjadi akibat pembesaran vena di hepar
d. Anorexia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena
dalam rongga abdomen
e. Nokturia
f. Kelemahan
g. Nausea
h. Ascites
i. Tanda-tanda penyakit kronik
(Prabowo, 2003)
2.2.7 Klasifikasi Gagal Jantung
Gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan beratnya keluhan dan kapasitas
latihan. New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasikan gagal jantung
menjadi 4 Class sebagai berikut :
Class I
Penderita penyakit jantung tanpa keterbatasan aktivitas fisik. Aktivitas
fisik sehari-hari tidak menimbulkan fatigue, palpitasi, atau dyspnea.
Class II
Penderita penyakit jantung disertai sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Saat
istirahat tidak ada keluhan, tetapi aktivitas sehari-hari menimbulkan
fatigue, palpitasi, atau dyspnea.
Class III
Penderita penyakit jantung disertai keterbatasan aktivitas fisik yang nyata.
Saat istirahat tidak ada keluhan, tetapi aktivitas fisik yang lebih ringan dari
aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan fatigue, palpitasi, atau dyspnea.
16
Class IV
Penderita penyakit jantung tidak mampu melakukan setiap aktivitas fisik
tanpa menimbulkan keluhan. Gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin
sudah nampak saat istirahat. Setiap aktivitas akan menambah beratnya
keluhan (Izzo et al., 2008).
Klasifikasi gagal jantung lainnya adalah klasifikasi yang dilakukan oleh
American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA)
sebagai berikut :
Stage A
Pasien dengan risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung,
misalnya pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes,
obesitas, dan lain-lain.
Stage B
Pasien dengan kelainan struktur jantung, tetapi belum mengalami tanda
dan gejala gagal jantung, misalnya pasien sebelum infark miokard dan
hipertrofi ventrikel kiri.
Stage C
Pasien dengan kelainan struktur jantung dan menunjukkan gejala gagal
jantung, misalnya pasien disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan gejala
dyspnea dan fatigue.
Stage D
Pasien dengan gagal jantung yang sudah mendapatkan intervensi medis,
misalnya pasien gagal jantung yang mendapat perawatan di rumah sakit
dan mendapat terapi inotrofik (Parker et al., 2008).
2.3 Penatalaksanaan Terapi pada Pasien Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang berbahaya yang dapat
mengancam nyawa penderitanya. Bahkan penyakit ini dapat mengakibatkan
kematian mendadak. Oleh karena itu penderita gagal jantung harus mendapatkan
pengobatan yang tepat (Cohen & Wood, 2000). Sebagian besar penderita gagal
jantung harus minum obat dalam jangka panjang atau bahkan seumur hidup agar
gejalanya bisa terkendali. Beberapa penderita lain yang memiliki gejala parah
17
bahkan terpaksa harus dipasangi alat pompa jantung, melakukan operasi atau
bahkan menjalani transplantasi jantung agar tetap bertahan hidup (Brunton et al.,
2008).
Penanganan gagal jantung bertujuan untuk:
Meredakan gejala gagal jantung
Membantu jantung menjadi lebih kuat
Memungkinkan penderita bisa hidup lebih lama secara normal
Menurunkan risiko serangan jantung dan kematian
(Soemantri, 2006)
Berikut ini adalah beberapa obat yang dapat digunakan untuk menangani
gagal jantung:
Diuretik
Obat ini dapat membantu mengurangi cairan di dalam tubuh melalui
pembuangan urin. Beberapa contoh obat yang sering digunakan adalah
furosemid dan bumetadin. Diuretik dapat meredakan gejala sesak nafas
dan pembengkakan pergelangan kaki pada penderita gagal jantung (Opie
& Kaplan, 2005).
Β-blocker (obat penghambat beta)
Obat ini dapat memperlambat detak jantung dan melindungi organ tersebut
dari zat adrenalin dan noradrenalin di dalam tubuh. Obat ini umumnya
digunakan pada penderita jantung akibat ventrikel kiri yang berfungsi
memompa darah ke seluruh tubuh tidak berfungsi dengan baik. Contoh
obat ini adalah nebivolol, carvedilol dan bisoprolol (Abraham, 2000).
ACE Inhibitor (obat penghambat enzim perubah angiotensin)
Obat ini dapat mengurangi tekanan darah dengan memperlebar pembuluh
darah sehingga lebih memudahkan jantung dalam memompa darah ke
seluruh tubuh. Contoh obat ACE Inhibitor adalah perindopril, lisinopril,
enalapril, captopril dan ramipril (Kazi & Deswal, 2008).
Diuretik Hemat Kalium
Kinerja obat ini hampir sama seperti diuretik, yakni mengurangi cairan
berlebihan di dalam tubuh. Perbedaannya dengan diuretik adalah tidak
menyebabkan potassium terbuang dari tubuh dan mengurangi risiko
18
kerusakan otot jantung. Contoh obat ini adalah eplerenon dan
spironolakton (Saseen & Maclaughlin, 2008).
ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
Sama seperti obat penghambat enzim pengubah angiotensin atau ACE
Inhibitor, obat ini bekerja dengan cara mengurangi tekanan darah dan
melebarkan pembuluh darah. Contoh obat ini adalah valsartan, telmisartan,
losartan dan candesartan (Liu et al., 2006).
CCB (Calcium Channel Blocker)
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja kalsium dalam otot halus pada
dinding arteri. Kalsium dapat menyebabkan penyempitan otot halus
arteriol sehingga tekanan darah meningkat. Dengan terhambatnya kalsium
mengakibatkan melebarnya pembuluh darah dan menurunkan tekanan
darah. Efek lain penggunaan obat ini yaitu mencegah serangan jantung dan
stroke (Saseen & Maclaughlin, 2008).
Digoksin
Obat ini biasanya diresepkan pada penderita gagal jantung yang gejalanya
tidak kunjung reda oleh diuretik, β-blocker, ACE Inhibitor dan ARB.
Digoksin dapat memperlambat denyut jantung dan meningkatkan kekuatan
kontraksi otot (Anderson et al., 2002).
Penyembuhan tidak bisa bergantung pada obat-obatan atau operasi semata,
tapi juga harus didukung dengan gaya hidup sehat, seperti berolahraga secara
teratur, mengkonsumsi makanan sehat yang dianjurkan dokter, dan berhenti
merokok serta membatasi konsumsi minuman keras (Greene & Harris, 2008).
Hal-hal yang dapat dilakukan agar gejala gagal jantung tidak memburuk,
diantaranya rutin memeriksakan diri ke dokter, rutin memonitoring gejala yang
dirasakan, rutin memonitoring berat badan, membatasi konsumsi garam, disiplin
dalam mengkonsumsi obat-obatan dari dokter, serta membatasi konsumsi cairan
(Price et al., 2005).
19
2.4 Tinjauan Obat ACE Inhibitor
2.4.1 Definisi ACE Inhibitor
Obat-obatan penghambat ACE (ACE Inhibitor) adalah segolongan obat
yang menghambat kinerja angiotensin-converting enzyme (ACE), yakni enzim
yang berperan dalam sistem renin-angiotensin tubuh yang mengatur volume
ekstraseluler (misalnya plasma darah, limfa, dan cairan jaringan tubuh), dan
vasokonstriksi arteri (Nugroho, 2012).
ACE memiliki dua fungsi utama di tubuh, fungsi pertama adalah sebagai
katalisator angiotensi I menjadi angiotensin II. Angiotensin II merupakan senyawa
vasokonstriktor kuat. Sedangkan fungsi ACE yang kedua adalah sebagai pengurai
bradikinin, yang merupakan vasodilator kuat. Kedua fungsi ACE tersebut
menjadikan penghambat ACE penting peranannya dalam perawatan penyakit
tekanan darah tinggi, gagal jantung, dan diabetes mellitus tipe 2. Penghambatan
ACE akan berakibat menurunnya pembentukan angiotensin II dan menurunnya
metabolisme bradikinin. Dengan demikian akan terjadi dilatasi (pelebaran)
sistematik pada arteri dan vena, serta penurunan tekanan darah arteri (Sargowo,
1999).
Akan tetapi penghambatan ACE, yang juga secara langsung akan
menghambat pembentukan angiotensin II dapat menyebabkan pengurangan
sekresi aldosteron (yang dimediasi angiotensin II) dari korteks adrenal. Hal ini
akan mengakibatkan penurunan penyerapan kembali air dan natrium, serta
pengurangan volume eksternal (Nugroho, 2012).
20
2.4.2 Rumus Kimia ACE Inhibitor
Gambar 2.5 Rumus Kimia ACE Inhibtor (Graber et al, 1997)
2.4.3 Farmakodinamika ACE Inhibitor
Pemberian ACE Inhibitor menghasilkan pengurangan resistensi arteri
perifer pada pasien hipertensi tanpa adanya perubahan atau peningkatan output
jantung. Pengurangan klinis yang signifikan dari tekanan darah yang sering
diamati 60 sampai 90 menit setelah pemberian obat secara oral. Namun penurunan
tekanan darah biasanya progresif. Durasi efek tampaknya berhubungan dengan
dosis. Tekanan darah diturunkan dalam posisi berdiri dan terlentang. Efek
ortostatik dan takikardi jarang terjadi, terjadi paling sering pada pasien yang
mengalami deplesia. Tidak ada peningkatan tekanan darah secara mendadak
setelah penarikan obat. Penelitian telah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
aliran darah ginjal setelah pemberian ACE Inhibitor. Laju filtrasi glomerolus
biasanya tidak berubah. Namun dalam beberapa kasus, laju filtrasi glomerolus
21
dapat menurunkan secara sementara, sehingga terjadi peningkatan jumlah
kreatinin serum dan urea nitrogen secara sementara. Pada manusia, sistem renin-
angiotensin berperan dalam mengatur laju filtrasi glomerolus bila tekanan perfusi
ginjal rendah. Pemberian ACE Inhibitor dapat menyebabkan kerusakan akut
filtrasi glomerolus pada pasien tersebut (Aspen Pharma, 2010).
2.4.4 Farmakokinetika ACE Inhibitor
1. Absorpsi
Pemberian ACE Inhibitor secara oral memberikan penyerapan yang
cepat dengan tingkat darah puncak sekitar 1 mg/mL yang ditemukan
½ - 1 jam setelah dosis 100 mg. Penyerapan minimal rata-rata sekitar
75%. Kehadiran makanan di saluran pencernaan mengurangi
penyerapan sebesar 25 – 40% (Disclaimer, 2012).
2. Distribusi
Volume fase terminal distribusi (2L/kg) menunjukkan bahwa ACE
Inhibitor didistribusikan ke jaringan dalam. Sekitar 30% dari obat
terikat pada protein plasma (RxList, 2012).
3. Metabolisme
ACE Inhibitor secara ekstensif dimetabolisme. Metabolit utama dari
ACE Inhibitor adalah SQ 14.551. Penelitian secara in vitro telah
menunjukkan bahwa SQ 14.551 secara signifikan lebih aktif daripada
ACE Inhibitor sebagai inhibitor enzim pengkonversi angiotensin
(Hexpharm Jaya, 2014).
4. Ekskresi
ACE Inhibitor diekskresi utama dalam urin. Studi in vitro
menunjukkan bahwa metabolit yang dihasilkan bersifat labil dan
interkonversi dapat terjadi secara in vivo. Sekitar 40% dari dosis yang
diberikan diekskresi dan tidak mengalami perubahan dalam urin
selama 24 jam dan 35% sebagai metabolit. Jumlah pembersihannya
dalam tubuh adalah sekita 0,8 L/kg/jam (Aspen Pharma, 2010).
22
2.5 Studi Penggunaan Obat ACE Inhibitor
Pada tahun 1956, Skeggs menemukan suatu enzim yang dapat mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II yang dikenal dengan nama Angotensin-
Converting Enzyme (ACE). Selanjutnya oleh Cushman dan Ondetti ditemukan
obat yang dapat menghambat aktifitas ACE yaitu Angiotensin-Converting Enzyme
Inhibitor (ACE-I) yang pada awalnya digunakan untuk pengobatan hipertensi.
Selain digunakan untuk pengobatan hipertensi, ACE-I juga berperan dalam
pengobatan gagal jantung dan mempunyai efek lain yang penting yaitu mencegah
terjadinya proses aterosklerosis (Kazi & Deswal, 2008).
Pemahaman mengenai manfaat ACE-I untuk pengobatan hipertensi, gagal
jantung dan proteksi terhadap terjadinya disfungsi endotel didasarkan pada
pengetahuan tentang sistem renin-angiotesin aldosteron (RAA). Renin dihasilkan
oleh ginjal sebagai respon terhadap adanya katekolamin, penurunan kadar natrium
plasma, dan penurunan aliran darah ginjal. Renin selanjunya mengubah
angiotensinogen menjadi angiotesin I, yang merupakan dekapeptida yang tidak
aktif. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh ACE. Angiotensin
mempunyai efek yang berperan terhadap terjadinya hipertensi, gagal jantung dan
proses aterosklerosis. Angiotensin II berefek vasokonstruktor kuat, meningkatkan
aktifitas sistem saraf simpatis, merangsang produksi aldosteron, sebagai faktor
pertumbuhan (growth factor), meningkatkan agregasi trombosit dan adhesi
monosit, merangsang terbentuknya plasminogen activator inhibitor (PAI),
memacu terbentuknya endotelin dan meningkatkan produksi radikal bebas.
Disamping berperan pada sistem RAA, ACE-I juga berpengaruh pada sistem
kinin-kalikkrein. Angiotensin converting enzyme yang identik dengan kininase II
menyebabkan penginaktifan bradikinin, sehingga pemberian ACE-I dengan
sendirinya akan menyebabkan peningkatan kadar bradikinin. Selain berefek
vasodilator langsung, bradikinin juga menyebabkan rangsangan produksi dan
pelepasan nictric oxide (NO/endothelium-derived relaxing factor (EDRF)),
prostasiklin, dan endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF) dari
endotelium vascular (Motwani, 2002).
ACE Inhibitor dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan struktur
molekulnya, yaitu golongan sulfhydryl-containing agent (sulfhydryl),
23
dicarboxylate-containing agent (carboxyl) dan phosphonate containing agent
(phosphoryl). Contoh golongan sulfhydryl adalah captopril yang merupakan obat
tertua golongan ACE-I. Contoh golongan carboxyl adalah enalapril, lisinopril dan
ramipril yang semuanya merupakan prodrug. Sementara itu, contoh golongan
phosphoryl adalah fosinopril yang tidak ada obatnya di Indonesia. Captopril
memiliki waktu paruh terpendek, sehingga harus diberikan 3 kali sehari.
Sedangkan ramipril memiliki waktu paruh terpanjang, sehingga cukup diberikan 1
kali sehari (Kazi & Deswal, 2008).
Beberapa bukti menunjukkan bahwa ACE jaringan berkontribusi
signifikan pada respon seluler remodeling ventrikel, dan inhibisi pada ACE
jaringan penting kaitannya dengan efek anti-remodeling ACE Inhibitor. ACE
Inhibitor memiliki kemampuan yang beragam dalam menghambat ACE lokal dan
jaringan, beberapa agen mungkin tidak secara adekuat menekan peningkatan lokal
dari angiotensin II, sehingga mengurangi kemampuannya sebagai anti-remodeling
(Kazi & Deswal, 2008).
ACE Inhibitor merupakan obat pertama yang secara konsisten dan
substansial sukses berperan dalam terapi gagal jantung kronik. ACE Inhibitor
berperan dalam pengobatan gagal jantung melalui mekanisme pencegahan
remodeling yang dimediasi oleh angiotensin (Swedbreg, 2005).
Menurut studi dari ELITE – II (Evaluation of Losartan in the Eldery Study
II) jalur ACE merupakan jalur yang lebih dominan dalam pembentukan
angiotensin II pada jantung. Pada penggunaan ACE Inhibitor, peningkatan level
bradikinin perlu diperhatikan. Studi pada gagal jantung menunjukkan bahwa gen
ACE, ekpresi protein ACE, dan akivitas enzim ACE meningkat, namun ekspresi
gen chymase tidak meningkat. Ventrikel pada jantung yang gagal akan mengambil
renin sistemik yang meningkat dalam jumlah yang lebih banyak daripada
ventrikel yang sehat. Jantung yang gagal juga menunjukkan level protein
angiotensin yang lebih rendah, sesuai dengan penurunan substrat. Akhirnya, pada
gagal jantung, reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) secara selektif mengalami
downregulation pada level protein dan mRNA, mungkin karena paparan terhadap
peningkatan angiotensin II. Hal ini mengindikasi local myocardial renin-
angiotensin sistem (RAS) pada gagal jantung terinduksi, sehingga terjadi aktivitas
24
sistemik. Induksi ini tidak terjadi pada sistem chymase. Peningkatan level
angiotensin II memiliki beberapa efek pada sistem kardiovaskular, meliputi
hipertrofi cardiac myocyte, apoptosis myocyte, fasilitasi pelepasan norepineprin
presinaps, dan efek mitogenik pada fibroblast. Kebanyakan dari efek biologis
angiotensin II ini berkontribusi pada terjadinya hipertrofi dan remodeling
(Motwani, 2002).
ACE Inhibitor dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada gagal
jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatis. Menurut studi trial pada
gagal jantung dan post miokard infark, dosis yang dipakai harus dosis rata-rata
untuk menurunkan angka kematian. Satu-satunya efek samping yang menetap
pada penggunaan ACE Inhibitor adalah sedikit peningkatan terjadinya batuk (5%
lebih tinggi daripada plasebo), pada pasien semacam ini dapat diganti dengan
angiotensin II AT1 reseptor blocker (Kazi & Deswal, 2008).