BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Penuaan II.pdf · Teori Kontrol Genetik Dasar teorinya adalah...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Penuaan II.pdf · Teori Kontrol Genetik Dasar teorinya adalah...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Penuaan
Proses penuaan merupakan suatu proses penurunan fungsi organism yang
terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Terdapat banyak teori penuaan yang dikemukakan oleh para ahli namun
kebanyakan teori belum dapat dibuktikan sepenuhnya pada manusia karena waktu
hidup manusia relatif panjang. Beberapa teori penuaan yang banyak dipelajari
antara lain:
1. Teori “Wear and Tear”
Penyalahgunaan organ tubuh dapat membuat kerusakan lebih cepat. Pada
tahun 1882, seorang ahli biologi dari Jerman yaitu Dr. August Weisman telah
memperkenalkan teori ini. Di usia yang masih muda, tubuh masih mampu
melakukan kompensasi terhadap pengaruh buruk dari luar. Namun proses penuaan
membuat tubuh kehilangan kemampuan untuk itu. Teori ini juga menyatakan
bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang lebih dini dapat
membantu mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya dengan merangsang
kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan (Goldman dan Klatz, 2003).
2. Teori Kontrol Genetik
Dasar teorinya adalah ketidaksempurnaan dari molecular repair sehingga
akibatnya terjadi penumpukan kerusakan molekuler sepanjang waktu. Penyebab
kerusakan ini dapat berasal dari internal dan eksternal. Penyebab internal seperti
radikal bebas, glikosilasi sedangkan penyebab eksternal antara lain polusi, mutasi
gen, radiasi dan kimia. Namun tubuh diberi kemampuan untuk dapat mendeteksi
dan memperbaiki kerusakan DNA. Sehingga terdapat keseimbangan antara
kerusakan dengan efisiensi “DNA repair” yang terjadi selama hidup (Goldman
dan Klatz, 2003).
3. Teori Radikal Bebas
Menurut teori ini, penuaan merupakan akibat dari akumulasi perubahan-
perubahan akibat dari reaksi dalam tubuh yang dipicu oleh radikal bebas. Hal ini
diyakini sebagai penyebab utama bukan hanya untuk penuaan namun juga
penyakit bahkan kematian. Radikal bebas adalah molekul dengan elektron yang
tidak berpasangan dengan reaktivitas yang sangat tinggi, dihasilkan selama proses
metabolisme sel normal (endogenus) maupun dari sumber-sumber di luar tubuh
(eksogenus). Telah diketahui bahwa radikal bebas dapat merusak membran sel,
protein dan DNA sehingga dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel.
Efek buruk radikal bebas berupa reaksi rantai yang menyebabkan oksidasi bahan -
bahan organik oleh molekul oksigen. Hal ini menimbulkan rusaknya fungsi
selular akibat dari mutasi DNA. Dalam keadaan fisiologis, akibat buruk dari
radikal bebas dapat diredam oleh tubuh baik secara enzimatis maupun non-
enzimatis oleh senyawa-senyawa yang tergolong antioksidan. Namun bila jumlah
antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan maka akan terjadi stress oksidatif.
Jika terjadi dalam waktu yang berkepanjangan maka terjadi penumpukan hasil
kerusakan oksidatif yang menyebabkan sel kehilangan fungsinya dan akhirnya
mati. Hal ini meningkat dengan bertambahnya umur dan diduga sebagai penyebab
utama proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).
4. Teori Neuroendokrin
Hormon bersifat vital dalam mengatur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai
fungsi organ tubuh, sehingga berfungsi optimal (Goldman and Klatz, 2003).
Ketika manusia menjadi tua, produksi hormon juga menurun, akibatnya
berbagai fungsi tubuh terganggu. Lalu munculah berbagai keluhan. Karena
hormon saling berkaitan maka berkurangnya produksi hormon tertentu
mempengaruhi hormon lainnya. Proses penuaan mempengaruhi sistem hormon,
tetapi gangguan hormon menimbulkan gejala dan tanda yang sama dengan yang
terjadi akibat proses penuaan (Pangkahila, 2011).
Penurunan fungsi hormon yang tajam dapat diatasi dengan terapi sulih
hormon yang membantu mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga
memperlambat proses penuaan
2.2 Pelatihan Fisik Berlebih
2.2.1 Definisi Pelatihan Fisik
Pelatihan fisik atau olah raga merupakan faktor penting bagi kehidupan
manusia karena dapat menunda proses penuaan. Pelatihan fisik yang teratur dan
tepat dapat mempertahankan kebugaran fisik. Kondisi ini berbeda tiap individu
meliputi frekuensi, intensitas, tipe dan waktu untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dan menurunksan resiko cedera. Hal ini juga dikemukakan oleh Bell
(2008) yaitu sama seperti obat-obatan yang digunakan untuk terapi penyakit,
maka olah raga pun mempunyai dosis tertentu dan bersifat individual. Hal ini
penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan resiko yang minimal pada
pelatihan olahraga. Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada
pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan
yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type,
Time. Frekuensi pelatihan yang disarankan 3 – 4 kali seminggu dengan intensitas
72% - 87% dari denyut jantung maksimal (220 – umur) dengan variasi 10 denyut
per menit. Jenis pelatihan yang dianjurkan kombinasi antara latihan aerobik dan
pelatihan otot dalam waktu 30 – 60 menit, didahului dengan pemanasan selama 15
menit dan diakhiri dengan pendinginan selama 10 menit. Dengan waktu
maximum 300 jam dalam seminggu (Pangkahila, 2009).
Aktivitas fisik ada 2 macam, yaitu :
1. Aktivitas fisik yang dilakukan secara mendadak (“acute exercise”)
2. Aktivitas fisik yang dilakukan secara berulang (“training exercise”)
Selama berolah raga normalnya terjadi peningkatan pemakaian oksigen
oleh tubuh sebanyak sepuluh sampai dua puluh kali bahkan lebih dibandingkan
saat beristirahat. Hal ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat
dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses ini disebut peroksidasi
lipid dan memyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan atau
kerusakan lain (Cooper, 2001). Namun alaminya tubuh akan melakukan
kompensasi terhadap peningkatan radikal bebas tersebut dengan meningkatkan
system antioksidan alaminya sehingga proses kerusakan dapat dicegah.
Bila nilai ambang batas ini dilampaui, akan membahayakan kesehatan atlet.
Suatu takaran pelatihan akan mencapai sasaran dan tujuan jika dalam program
pelatihannya sudah tercakup (Bompa, 2009) :
1) Jenis atau tipe pelatihan yang dipilih
2) Unsur intensitas (persentase beban dan kecepatan)
3) Volume (durasi, jarak dan jumlah repetisi)
4) Densitas /kekerapan/frekwensi pelatihan
2.2.2. Pelatihan Fisik Berlebih
Seringkali pelatihan fisik dilakukan secara berlebihan karena salah
mengartikan bahwa olah raga itu baik bagi kesehatan sehingga timbul anggapan
bahwa semakin banyak berolah raga maka efeknya akan baik bagi kesehatan.
Namun kenyataannya pelatihan fisik secara berlebih yang sering disebut aktivitas
fisik berlebih ini hanya akan membahayakan kesehatan karena tidak dilakukan
dengan dosis yang tepat (Reynolds, 2010). Aktivitas fisik berlebih juga dapat
terjadi pada orang yang jarang melakukan olah raga kemudian melakukan
olahraga yang melebihi kemampuannya. Pelatihan fisik berlebih diakibatkan oleh
volume pelatihan yang terlalu banyak, intensitas pelatihan yang terlalu banyak,
durasi pelatihan terlalu panjang dan frekuensi pelatihan yang terlalu sering
(Hatfield, 2001). Latihan yang berlebih atau overtraining / burnout adalah suatu
keadaan dimana terjadi kelelahan kronis selama aktivitas yang melebihi
kemampuan individual sampai menimbulkan cedera otot biasanya terjadi sebelum
akhir dari kompetisi (Vincen dkk., 2000; Prentice, 2011)
Pelatihan fisik berlebih menimbulkan gangguan pada sistem endokrin,
terjadi peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar testosteron (Maffetone,
2007), peningkatan ACTH, penurunan LH plasma. Aktivitas berlebih dapat
meningkatkan stress oksidatif, karena terjadi peningkatan konsumsi O2 oleh
aktivitas otot skeletal. Meskipun oksigen dibutuhkan, oksigen juga bersifat toksik
yang dapat memicu peningkatan ROS. Pada organ yang tidak mendapat oksigen
dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan
mikrovaskular. Keadaan ini disebut sebagai Reperfusion Injury, yang memicu
terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan radikal bebas.
Olahraga dapat menyembuhkan penyakit jantung dan hipertensi, walaupun
olahraga berat meningkatkan ROS dalam jaringan, dan 2-5% oksigen yang
dipakai dalam metabolisme tereduksi menjadi ion superoksid yg bersifat radikal
bebas. Radikal bebas oksigen dikelompokkan dalam ROS. Pembentukan ROS
akibat olahraga yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan sel dan modifikasi
molekul termasuk DNA, membran lipid, dan protein. Perlindungan dari serangan
ROS yang disebabkan olahraga berlebih merupakan respons jaringan untuk
meningkatkan aktivitas sekelompok enzim antioksidan, guna melindungi sel dari
kerusakan ROS.
2.2.3. Pembentukan Radikal Bebas Pada Pelatihan Fisik Berlebih
Pelatihan fisik berlebih meningkatkan terbentuknya radikal bebas
(Adiputra, 2008). Sejumlah tertentu radikal bebas diperlukan oleh tubuh untuk
melawan radang, membunuh bakteri, mengatur tonus otot polos dalam organ dan
pembuluh darah (Giriwijoyo, 2004). Apabila berlebih, menyebabkan kerusakan
sel dengan 3 cara (Winarsi, 2007; Eberhardt, 2001):
1. Kerusakan DNA, mengakibatkan mutasi DNA bahkan kematian sel
2. Peroksidasi lipid membrane sel dan sitosol, menyebabkan terjadinya proses
reduksi asam lemak sehingga mengakibatkan kerusakan membran dan organel
sel.
3. Modifikasi protein teroksidasi oleh karena cross linking protein
Mekanisme normal tubuh membentuk antioksidan yang ada di dalam
tubuh untuk menetralkan radikal bebas yang terbentuk perlahan ini dapat
terganggu akibat latihan yang berlebihan tersebut, sehingga jumlah antioksidan
yang terbentuk menjadi lebih sedikit dibandingkan jumlah radikal bebas. Aktivitas
fisik berlebih juga menyebabkan peningkatan penggunaan oksigen di atas
kebutuhan normal, karena terjadi peningkatan metabolisme di dalam tubuh
terutama otot-otot yang berkontraksi. Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan
kebocoran elektron dari mitokondria yang akan menjadi ROS. Oksigen yang
digunakan dalam proses metabolisme tubuh saat overtraining dapat menyebabkan
peningkatan produksi radikal bebas yang bersifat sangat reaktif terhadap sel atau
komponen sel sekitarnya (Chevion dkk., 2003; Evan, 2000).
2.3 Stres Oksidatif
Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan terjadinya stres oksidatif,
yaitu keadaan patologis yang disebabkan oleh kerusakan sel dan jaringan di dalam
tubuh karena peningkatan jumlah radikal bebas yang tidak normal, sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan. Ketika jumlah
antioksidan yang diperlukan oleh tubuh saat mengalami stres oksidatif tidak
mencukupi, akan dapat merusak membran sel, protein dan DNA. Stress oksidatif
yang meningkat dapat memicu timbulnya berbagai penyakit dan mempercepat
proses penuaan (Sen dan Packer, 2000; Atalay dan Laaksonen, 2002). Hal ini
merupakan penyebab utama proses penuaan (Bagiada, 2001).
Keadaan yang menyebabkan stres oksidatif ini salah satunya adalah
pelatihan fisik berat atau berlebih (Hersh, 2004). Stres oksidasi dapat dikendalikan
antara lain dengan membiasakan untuk menerapkan pola hidup sehat dan
mengkonsumsi antioksidan, diharapkan akan memacu kerja antioksidan dalam
tubuh. Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif pada
tikus (Senturk dkk., 2001) dan manusia (Sonneborn dan Barbee, 1998; Senturk
dkk., 2005).
Kadar antioksidan yang rendah atau adanya inhibisi terhadap enzim
antioksidan dapat menyebabkan kerusakan sel. Antioksidan merupakan suatu
unsur kimia atau biologi yang dapat menetralisasi potensi kerusakan yang
diakibatkan oleh radikal bebas. Berbagai antioksidan endogen dan eksogen
berperan penting dalam melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif dan berbagai
penyakit kronis (Sen dkk., 2010). Beberapa antioksidan endogen seperti enzim
superoxide-dismutase, glutation peroksidase dan katalase dihasilkan oleh tubuh,
sedangkan yang lain seperti vitamin C dan E merupakan antioksidan eksogen
yang harus didapat dari luar tubuh seperti buah-buahan dan sayur-sayuran (Iorio,
2007).
Atas dasar mekanisme kerjanya antioksidan dapat dibedakan menjadi lima jenis
yaitu (Sri, 2007):
1. Antioksidan primer
Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru
karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul netral atau
kurang aktif sebelum sempat bereaksi. Antioksidan yang ada dalam tubuh
yaitu SOD, katalase, glutation peroksidase (GSH-Px). Sedangkan antioksidan
primer yang dapat ditambahkan dari luar seperti glutation, asam lipoat, SOD,
melatonin.
2. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal
bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi
kerusakan yang lebih besar. Merupakan antioksidan eksogenous atau non
enzimatis (Winarsi, 2007). Yang merupakan antioksidan ini adalah vitamin E,
vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam urat, albumin (Soewoto, 2001).
3. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel dan jaringan
yang rusak akibat serangan radikal bebas. Termasuk kelompok ini adalah
metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel.
4. Oxygen Scavenger
Antioksidan ini dapat mengikat oksigen sehingga tidak mendukung terjadinya
reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.
5. Chelators/Sequestrants
Jenis antioksidan ini dapat mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi
oksidasi, contoh chelators misalnya asam sitrat dan asam amino.
Antioksidan akan bekerja dengan melindungi lipid dari proses peroksidasi
oleh radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka
radikal bebas tersebut tidak perlu lagi menyerang sel dan reaksi rantai oksidasi
akan terputus. Setelah memberikan elektron, antioksidan menjadi radikal bebas
secara definisi. Antioksidan dalam keadaan ini tidak berbahaya karena mereka
mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan elektron tanpa menjadi
reaktif. Pada keadaan sehat, tubuh dapat mencegah terbentuknya radikal bebas
karena sistem pertahanan alami antioksidan tubuh, yang mempunyai kemampuan
melawan aksi oksidan dari radikal bebas. Menurunnya efektivitas sistem tersebut
menyebabkan defisiensi absolut atau relatif kadar antioksidan di dalam tubuh
(Iorio, 2007).
Pemberian antioksidan yang cukup dan optimal memang dapat
meningkatkan kebugaran, meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan
pelatihan fisik, menurunkan kadar stress oksidatif dalam tubuh dan mencegah
terjadinya penuaan dini. Namun masyarakat tetap disarankan untuk lebih berhati -
hati atas banyak beredarnya berbagai produk antioksidan, vitamin, mineral dan
obat-obatan herbal di pasaran yang belum terbukti secara ilmiah (Pangkahila,
2007).
2.4 Enzim Glutation Peroksidase
Tubuh memiliki mekanisme tersendiri dalam mekanisme pertahanan
terhadap radikal bebas melalui antioksidan. Antioksidan ini bekerja dengan cara
mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal
bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Chevion dkk.,
2003). Secara umum, antioksidan dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
antioksidan enzimatis/ antioksidan primer/ antioksidan pencegah dan antioksidan
non enzimatis/ antioksidan sekunder/ antioksidan pemutus reaksi rantai. Adapun
antioksidan enzimatis terdiri dari superoksida dismutase (SOD), glutation
peroksidase (GPx) dan katalase yang dapat memberikan atom hidrogen secara
cepat kepada senyawa radikal dan kemudian senyawa radikal antioksidan yang
terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim SOD
mengkatalisis perubahan anion superoksida (O²¯) menjadi H2O2 dan O2. GPx
dan katalase memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Antioksidan non enzimatis
terdiri dari vitamin C, vitamin E dan beta karoten. Enzim-enzim ini berperan
dalam menetralisir radikal bebas di dalam tubuh dan melindungi jaringan dari
stres oksidatif. Kedua kelompok antioksidan ini bekerja sama memerangi aktivasi
senyawa oksidan dalam tubuh (Tilak dan Devasagayam, 2006).
Kekurangan salah satu komponen dari antioksidan tersebut dapat
menyebabkan penurunan status antioksidan secara menyeluruh pada seseorang,
sehingga perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas akan menurun
(Chevion dkk., 2003). Pengamatan untuk menilai status antioksidan dapat melalui
berbagai parameter. Status antioksidan dalam tubuh dapat diamati dalam berbagai
parameter yaitu kadar malondialdehida (MDA) (Winarsi, 2004), aktivitas enzim
superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (Winarsi dkk.,
2003), vitamin C, vitamin E, vitamin A plasma, dan lain-lain. Untuk mendapatkan
hasil yang makismal satu jenis antioksidan perlu didukung oleh jenis antioksidan
yang lain. Hal itu karena masing-masing jenis antioksidan memiliki sifat dan cara
kerja yang mungkin tidak sama, namun keduanya memiliki target yang tidak
berbeda, yaitu menekan atau menghambat reaktivitas radikal bebas (Damiani
dkk., 2008).
Glutation peroksidase adalah enzim intraseluler yang terlarut dalam
sitoplasma, namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria. Enzim
glutation peroksidase yang ditemukan dalam sitoplasma tersebut merupakan
tetramer, dan mengandung selenosistein pada sisi aktifnya. Enzim ini bersifat
nukleofilik, yang sangat mudah terionisasi dan mengakibatkan terlepasnya proton.
Sedangkan glutation peroksidase ekstraseluler (secara genetik berbeda dari bentuk
intraseluler) terdeteksi dalam berbagai jaringan. Cara kerja enzim yang berperan
penting dalam melindungi organisme dari kerusakan oksidatif ini adalah
mengubah molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan
mitokondria) dan berbagai hidro serta lipid peroksida menjadi air. Aktivitas ensim
glutation peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan lebih dari
90% H2O2. Pada tahun 1996, Delas Beauvieaux dkk melaporkan bahwa ensim
glutation peroksidase dapat mendekomposisi H2O2 lebih kuat dibandingkan
dengan enzim katalase. Glutatione peroksida berpotensi mengubah molekul
hidrogen peroksida dengan cara mengoksidasi GSH menjadi GSSG. Glutation
bentuk tereduksi mencegah lipid membran dan unsur-unsur sel lainnya dari
kerusakan oksidasi dengan cara merusak molekul hidrogen peroksida dan lipid
peroksida (Winarsi, 2007).
GSH-Px
2GSH + H2O2 GSSG +2H2O
Glutation peroksidase sebagai enzim antioksidan bekerja sebagai peredam
(“squenching”) radikal bebas (Sen dkk., 2010). Glutation peroksidase juga
berperan dalam metabolism xenobiotik yang ditemukan dalam kadar milimolar
dalam sel. Sedangkan Selenium (Se) adalah mineral yang penting untuk sintesis
protein dan aktivitas ensim glutation peroksidase. Selenium terdapat dalam
glutation peroksidase sel darah merah. Aktivitas glutation peroksidase
memerlukan glutation sebagai kosubstrat dan enzim glutation reduktase untuk
merestorasi glutation teroksidasi menjadi bentuk tereduksi.
Dalam hepar dan sel darah merah terdapat glutation peroksidase dengan
konsentrasi tinggi, sedangkan jantung, ginjal, paru-paru, adrenal, lambung, dan
jaringan adipose mengandung kadar gluatation peroksidase dalam kadar sedang.
Glutation peroksidase kadar rendah sering ditemukan dalam otak, otot, testis, dan
lensa mata.
Aktivitas enzim glutation peroksidase juga ditemukan dalam mitokondria ,
plasma, dan saluran pencernaan. Dalam sitoplasma, ensim glutation peroksidase
16 bekerja pada membran fosfolipid yang teroksidasi sehingga dikenal juga
sebagai hidroperoksida glutation peroksidase. Enzim glutation peroksidase juga
dapat langsung mereduksi hidroperoksida kolesterol, ester kolesterol, lipoprotein,
dan fosfolipid yang teroksidasi dalam membran sel. Aktivitas enzim tersebut
dapat juga diinduksi oleh keadaan hiperoksia (Asikin, 2001).
Pada proses penuaan terjadi disfungsi mitokondria dan akumulasi dari
kerusakan oksidatif. Dengan demikian akan menyebabkan terjadinya peningkatan
stress oksidatif dengan bertambahnya usia. Glutation peroksidase yang rendah
berkorelasi dengan gangguan yang berhubungan dengan radikal bebas (Judge
dkk., 2005).
2.5 Hormon Melatonin
2.5.1 Biosintesis dan Metabolisme
Hormon merupakan substansi dari hasil sintesis dan sekresi kelenjar-
kelenjar di sistem endokrin. Hormon pada umumnya disekresi dalam konsentrasi
rendah sekali namun dapat memberikan efek metabolik dan biokimia berupa
pengaturan reaksi enzimatik yang berlangsung terus-menerus pada jaringan
sasaran.
Hormon melatonin merupakan salah hormon tubuh yang di hasilkan dan
dibawa ke aliran darah terutama oleh kelenjar pineal body (epiphysis). Dimana
fungsinya yaitu mengatur pola tidur baik di manusia dan hewan (Prendergast dkk.,
2010), menurunkan aktivitas motorik dan suhu tubuh. Di dalam tubuh manusia,
glandula pineal berada di tengah otak, di belakang ventrikel ketiga. Glandula
pineal terdiri atas dua tipe sel yaitu: pinealocytes yang bersifat predominan dan
memproduksi indolamines (kebanyakan melatonin) dan peptide (seperti arginin
vasotocin), dan sel – sel neuroglial.
Gambar 2.1. Glandula pineal yang menghasilkan melatonin
(Putz dan Pabst, 2000)
Melatonin, atau juga disebut N-acetyl-5-methoxytryptamine, pertama kali
didapatkan dari ekstrak glandula pineal sapi oleh McLord dan Allen pada tahun
1917. Ekstrak dari substansi ini dapat mencerahkan warna kulit pada katak.
Selanjutnya pada tahun 1958, Aaron B. Lerner mengkaji struktur kimianya dan
memberi nama melatonin. Penelitian ini terus berkembang, hingga pada tahun
1970-an, Lynch dkk mempublikasikan adanya pengaruh hormon melatonin dalam
membentuk ritme sirkadian pada manusia.
Sementara pada tikus Lesnikov dan Perpaoli (1994), dari Rusia berhasil
meremajakan tikus tua dengan melakukan transplantasi dengan kelenjar pineal
tikus syngeneic atau inbreed strain yang masih muda. Hasilnya tikus tua menjadi
muda kembali dan umumya memanjang 50% dibanding tikus muda yang
mcn&pat transplantasi kelenjar pineal tikus tua. Kemudian, terbukti pula bahwa
tikus tua ini umurnya memanjang 30% dari rata-rata umur tikus yang tidak
mendapat transplantasi. Disimpulkan di sini bahwa kelenjar pineal di otak
merupakan sumber kemudaan.
Biosintesis melatonin dilakukan melalui 4 tahap. Sebagai prekursor adalah
L-Tryptophan yang diambil secara aktif dari darah, dan diubah menjadi serotonin
oleh 5-hidroxylase dan decarboxylase. Serotonin kemudian diubah menjadi
N-acetylserotonin oleh enzim N-acetyltransferase (NAT). NAT kemudian diubah
menjadi melatonin oleh enzim hydroxyindolo-O-methyl transferase (HIOMT).
Setelah terbentuk, melatonin tidak disimpan di kelenjar, tetapi segera disekresikan
ke aliran darah (Konturek dkk., 2006).
Gambar 2.2. Biosintesis melatonin (Konturek dkk., 2006)
Selain diproduksi oleh glandula pineal, melatonin (5-hydroxy-N-
acetyltryptamine) yang merupakan derivat dari serotonin ini juga diproduksi
dalam jumlah yang besar oleh sel – sel enteroendokrin pada mukosa
gastrointestinal, retina, limfosit, testis, ovarium, kulit dan sumsum tulang
belakang. Jadi, pada malam hari melatonin diproduksi oleh glandula pineal dan
dilepaskan ke sirkulasi, tetapi selama siang hari melatonin hanya diproduksi oleh
sistem gastrointestinal (Jaworek dkk., 2010).
Sintesis melatonin dipengaruhi oleh sinyal yang diterima melalui mata.
Sinyal yang melalui retina akan melewati jalur retino-hypothalamic pathway. Dari
nukleus suprachiasmatic (SCN), dimana irama sirkandian diatur, signal melewati
ganglion servikal superior dan kemudian menuju kelenjar pineal. Jalur ini akan
aktif pada saat gelap, karena aktivitas saraf ganglion cervical superior dihambat
oleh terang. Noradrenalin disekresikan oleh saraf terminal dari ganglion cervical
superior dan menstimulasi kelenjar pineal melalui reseptor B, yang akan
mensintesis cAMP untuk mengaktifkan NAT (Yonei dkk., 2010).
Sintesis dan pelepasan melatonin dipicu oleh kegelapan dan dihambat oleh
cahaya. Input neural ke kelenjar berupa norepinefrin dan outputnya adalah
melatonin. Hormon melatonin mencapai aliran darah melalui difusi pasif.
Peningkatan sekresi melatonin segera terjadi setelah keadaan gelap, dan mencapai
puncaknya pada waktu tengah malam (antara pukul 2 sampai pukul 4 pagi), dan
menurun secara bertahap setelahnya. Konsentrasi melatonin sangat bergantung
pada umur. Infant yang berumur kurang dari 3 bulan mensekresi melatonin dalam
jumlah yang sangat kecil dan menjadi teratur setelah 3 bulan kelahiran. Sekresi
melatonin meningkat lalu menjadi circadian pada infant yang lebih tua, dan
puncak konsentrasi nokturnal paling tinggi (rata – rata 325 pg per ml / 1400 pmol
per liter) adalah pada umur 1-3 tahun, lalu menurun secara bertahap. Pada usia
dewasa muda yang normal, nilai rata – rata pada siang hari dan puncak malam
hari masing – masing adalah 10 dan 60 pg/ml (40 dan 260 pmol per liter).
Bersamaan dengan penuaan, kadar puncak melatonin tercapai lebih lambat 1 jam
dari normal dan kadarnya tersebut hanya 50% dari kadar orang dewasa muda.
Siklus harian dari konsentrasi serum melatonin sebanding dengan siklus pagi
hingga malam.
Gambar. 2.3 Kadar Melatonin Sesuai Usia
(Live in Green Company, 2008)
Melatonin melakukan banyak fungsi fisiologisnya dengan bekerja pada
reseptor membran dan nukleus walaupun banyak dari fungsi tersebut tidak
tergantung pada reseptor, seperti perlawanan terhadap radikal bebas, dan
berinteraksi dengan protein sitosol misalnya calmodulin. Dua reseptor melatonin
(MT1 dan MT2) adalah reseptor – reseptor membran yang memiliki tujuh domain
membran dan termasuk dalam keluarga besar dari reseptor – reseptor G-protein
coupled. Aktivasi dari reseptor melatonin menginduksi berbagai respon yang
dimediasi oleh pertussis-sensitive dan insensitive G proteins. Di dalam sitosol,
melatonin berinteraksi dengan calmodulin. Nuclear binding receptors telah
diidentifikasikan di dalam limfosit dan monosit manusia. Dengan kondisi ini
diharapkan dapat meminimalkan kerusakan sel akibat radikal bebas (Srinivasan
dkk., 2005).
Pada manusia, 90% melatonin dibuang dari tubuh dalam lintasan tunggal
melalui hati, dalam jumlah yang kecil diekskresikan di urin, dan sejumlah kecil
ditemukan di air liur (Buscemi dkk., 2004).
Fungsi utama dari melatonin sudah sangat dikenal. Melatonin diketahui
banyak orang sebagai pembantu tidur. Memang satu dari fungsi fisiologisnya
adalah untuk berperan dalam pengaturan permulaan dan kualitas tidur, dimana
masalah yang sering muncul berkaitan dengan penuaan yaitu kesulitan tidur
(Goldmann dan Klatz, 2005).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa disamping fungsinya untuk
sinkronisasi jam biologis, melatonin juga meningkatkan kekuatan aktivitas
antioksidan. Bahkan baru-baru ini, agak mengejutkan bahwa melatonin telah
diidentifikasikan sebagai pemakan radikal bebas secara langsung yang sangat kuat
dan juga sebagai antioksidan secara tidak langsung. Apa yang menjadi suatu hal
yang tidak biasa yaitu kemampuan dari melatonin sebagai pelindung terhadap
ROS dan Nitrogen Reactive Species (NRS). Bidang penelitian ini telah menjadi
saksi suatu ledakan perkembangan pada dekade terakhir, sedangkan semua
mekanisme dari efek melatonin sebagai pemusnah radikal bebas dan produk
terkait lainnya belum teridentifikasi. Tidak ada keraguan tentang kemampuan
tersebut untuk membatasi kerusakan molekular yang disebabkan oleh oksigen
toksik dan nitrogen-based reactans. Dimana melatonin secara tidak langsung
berperan sebagai antioksidan dengan menstimulasi enzim-enzim antioksidan,
melalui stimulasi sintesis dari glutation, dengan kemampuannya untuk
meningkatkan efisiensi dari rantai transport elektron pada mitokondria sehingga
menurunkan kebocoran elektron dan menekan generasi dari radikal bebas (Reiter
dkk., 2003).
Penelitian pada mencit menyimpulkan bahwa melatonin mungkin berperan
dalam peningkatan jangka hidup. Karena selain berperan dalam meregulasi siklus
tidur, menangani gangguan tidur, dan mengatasi jet lag juga berperan sebagai
antioksidan yang poten, stimulator sistem imun, perlawanan terhadap kanker,
menjaga kesehatan jantung, meningkatkan mood, dan terapi yang potensial dalam
melawan AIDS, Alzheimer dan Parkinson’s disease, kerusakan otak yang
disebabkan oleh stroke, katarak, diabetes, dan Down Syndrome (Goldmann dan
Klatz, 2005; Dubocovich dkk., 2010).
2.5.2 Melatonin sebagai antioksidan
Kriteria dari antioksidan yang baik haruslah memenuhi beberapa kriteria,
yaitu, dapat berdistribusi luas dalam jaringan, sel, dan subselular. Mampu
melewati semua barier morfologi seperti blood-brain barrier dan plasenta serta
dapat melakukan transport yang cepat ke dalam sel. Karena sifat melatonin dapat
larut dalam lemak dan air maka melatonin adalah antioksidan yang termasuk
dalam kriteria tersebut (Karbownik dan Reiter, 2000). Dalam suatu penelitian,
diketahui bahwa kemampuan antioksidan melatonin lebih superior dibandingkan
antioksidan klasik seperti vitamin C, E, dan β-carotene (Tomas-Zapico dan Coto-
Montes, 2007). Selain itu, tidak seperti antioksidan lain yang dapat menjadi
prooksidan, setelah teroksidasi, melatonin akan mengalami degradasi dan
menghilang sehingga tidak berpartisipasi dalam siklus redok. Melatonin tidak
berubah menjadi pro-oksidan. Jadi, melatonin dapat diklasifikasikan sebagai
antioksidan terminal (Solis-Herruzo dan Solis-Munoz, 2009; Korkmaz dkk.,
2009).
Melatonin berfungsi sebagai antioksidan melalui 2 cara, yaitu menangkap
radikal bebas dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan. Melatonin dapat
menetralisir berbagai radikal bebas, seperti O2•ˉ, OH•, H2O2, ONOO-, 1O2,
LOO•, dan NO• (Reiter dkk., 2003). Hal ini disebabkan karena adanya gugus
asetil di satu sisi rantai dan gugus metoksi pada posisi 5 dari 31 nukleus indol
pada melatonin (Srinivasan dkk., 2011). Melatonin juga menurunkan aktivitas
nitrit oksida sintase (NOS) yang merupakan enzim prooksidan. NOS adalah enzim
yang meningkatkan sintesa NO• dengan mengubah L-arginine menjadi L-sitrulin
(Solis-Herruzo dan Solis-Munoz, 2009).
Melatonin dalam kondisi fisiologis dan stres oksidatif dapat meningkatkan
aktivitas enzim antioksidan. Melatonin menstimulasi aktivitas enzim SOD
sehingga O2•ˉ berubah menjadi H2O2 yang lebih tidak toksik. Hal ini juga
mengurangi pembentukan ONOO- yang sangat reaktif dan merusak. Enzim
katalase dan GPx juga ditingkatkan aktifitasnya oleh melatonin, sehingga H2O2
menjadi H2O. Hal ini mencegah pembentukan OH•, radikal bebas yang bersifat
paling reaktif dan berbahaya. Selain itu, melatonin menstimulasi enzim
gammaglutamilsistein sintetase sehingga meningkatkan kadar glutation (GSH)
yang merupakan substrat bagi enzim GPx untuk metabolisme H2O2. Untuk
meningkatkan kadar GSH, melatonin juga meningkatkan aktivitas enzim glutation
reduktase (GRx) (Kucukakin, 2010).
Gambar 2.4 Peran tidak langsung melatonin terhadap peningkatan
antioksidan (Reiter, 2000)
Penelitian-penelitian sebelumnya juga menyebutkan pada tahap sel
melatonin meningkatkan antioksidan melalui interaksinya dengan receptor-
dependent atau independent manner (Mahal dkk., 1999). Meskipun mekanisme
pastinya belum diketahui namun dapat dikemukakan beberapa kemungkinan,
yaitu:
1. Reseptor-reseptor melatonin yaitu MT1 dan MT2 yang berada di membran sel
akan mengaktivasi signal Protein G protein menyebabkan hambatan pada
adenylate cyclase (AC) dengan akibat penurunan cyclic AMP (cAMP),
regulasi traskripsi gen,aktivasi dari protein subtipe C kinase dan perubahan
level Ca++ intraseluler.
2. Melatonin secara independen langsung menembus membran sel dan akan
mengubah status redoks pada sel. Melawan ROS di di sitoplasma sel,
mitokondria dan nukleus. Di dalam sitoplasma melatonin menjaga
keseimbangan GSH dan berinteraksi dengan protein seperti calmodulin
(CaCaM), calreticulin dan enzim cytosolic quinine reductase 2 dan MT3.
3. Melatonin juga merupakan ligand untuk Retinoic Related Orphan Receptor
(RZR/RORa) untuk meregulasi ekspresi dari enzim-enzim antioksidan seperti
glutation peroksidase (GPx), glutation reduktase (GRd) dan superoksida
dismutase (SOD).
Gambar 2.5 Melatonin pada tahap sel
(Mahal dkk., 1999)
Melatonin mempunyai batas keamanan tinggi. Penelitian pada manusia
yang diberikan melatonin dosis sangat tinggi (1 g/hari) selama 1 bulan, tidak
menunjukkan efek samping. LD50 oral pada tikus >3,2 g/kg berat badan,
sedangkan pada mencit >1,3 g/kg berat badan dan termasuk kategori toksisitas
sangat rendah (Kucukakin, 2010). Melatonin 200 mg/kg/hari (ekuivalen dengan
dosis manusia 14 g/hari) yang diberikan pada tikus betina selama kehamilan, tidak
menyebabkan toksisitas pada tikus ataupun pada fetus (Reiter dkk., 2003).
Waktu paruh melatonin hanyalah 0.57-0.67 jam. Setelah pemberian
melatonin, kadar melatonin dalam plasma akan meningkat dengan cepat,
kemudian kembali ke awal hanya setelah 2-3 jam (Nava dkk., 2003).
Efek melatonin tergantung pada waktu pemberian. Dari suatu penelitian,
melatonin yang diberikan 1 jam sebelum gelap bekerja lebih baik dibandingkan
melatonin yang diberikan 4 jam setelah terang. Hal ini disebabkan karena pada
saat gelap, terjadi peningkatan densitas reseptor melatonin dan peningkatan
sekresi melatonin oleh kelenjar pineal sehingga menghasilkan kadar melatonin
yang tinggi dalam darah (Prunet-Marcassus dkk., 2003).
2.6 Tikus (Rattus norvegicus)
Dalam melakukan penelitian dengan hewan diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan tentang penanganan hewan uji. Peneliti harus bekerja dengan
tenang,tidak terburu-buru dan menangani hewan uji secara benar, agar penelitian
dapat berjalan lancar sesuai dengan rencana (Ngatidjan, 2006).
Salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan dalam penelitian di
bidang kedokteran, farmasi, tumbuhan bahan obat, gizi dan bidang ilmu lainnya
adalah tikus putih. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar banyak digunakan
sebagai hewan percobaan karena hewan ini mudah diperoleh dalam jumlah
banyak, mempunyai respon yang cepat, memberikan gambaran secara ilmiah yang
mungkin terjadi pada manusia, dan harganya relatif murah.
Pada percobaan ini menggunakan tikus dengan jenis kelamin jantan karena
tikus jantan tidak terpengaruh secara hormonal dibandingkan dengan tikus betina
(Kram dkk., 2001).