BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 REGULASI DIRI 2.1.1 …
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 REGULASI DIRI 2.1.1 …
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 REGULASI DIRI
2.1.1 Pengertian Regulasi Diri
Siegert, Mc Peherson dan Taylor menyebutkan
bahwa regulasi diri digunakan secara fleksibel oleh para
ahli psikologi untuk menjelaskan rentang perbedaan
pendekatan teoritis yang ada dalam berbagai dominan,
terutama kepribadian dan kognisi sosial. Lebih dari itu,
penggunaan istilah ini hampir serupa tetapi tidak terlalu
sama dengan beberapa istilah lain, seperti kontrol diri dan
manajemen diri. Pada beberapa penelitian istilah-istilah ini
digunakan secara bergantian (Chairani, dan Subandi,
2010). Pintrict & groot (1990) memberikan istilah regulasi
diri dalam belajar dengan istilah SRL (Self-Regulated
Learning) dikemukakan pertama kali oleh bandura dalam
latar teori belajar sosial. Regulasi diri adalah proses di
mana seseorang dapat mengatur kecapaian dan aksi
mereka sendiri, menentukan target untuk mereka,
mengevaluasi kesuksesan mereka saat mencapai target
tersebut, dan memberikan penghargaan pada diri mereka
sendiri karena telah mencapai tujuan tersebut (Howard S.
Friedman dan Miriam W. Schustack, 2008).
17
18
Regulasi diri tidak hanya mencakup kegiatan
mencapai tujuan, tapi juga menghindari gangguan
lingkungan dan impuls emosional yang dapat mengganggu
perkembangan seseorang (Lawrence A. Pervin, Daniel
Pervone, Dan Oliver P. John, 2010). Zimmarman
mengungkapkan bahwa regulasi diri adalah proses yang
dilakukan seseorang dalam mengaktifkan dan memelihara
pikiran, perasaan, dan tindakannya untuk mencapai tujuan
personal (Husna, Hidayati dan Ariati, 2004). Selain itu
Zimmarman (2002) juga menyatakan bahwa regulasi diri
dalam belajar bukanlah suatu kemampuan mental atau
sebuah keterampilan dalam akademik, namun mengelola
proses belajar individu sendiri melalui pengaturan dan
pencapaian tujuan dengan mangacu pada metakognisi dan
perilaku aktif dalam belajar mandiri.
Winne menjelaskan bahwa regulasi diri atau
pengaturan diri adalah kemampuan dalam diri seseorang
untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran,
perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan
tertentu, dalam hal ini ialah tujuan belajar. Zimmarman
berpendapat bahwa pengelolaan diri berkaitan dengan
pembangkitan diri baik pikiran, perasaan serta tindakan
yang direncanakan dan adanya timbal balik yang
disesuaikan pada pencapaian tujuan personal. Dengan kata
19
lain, pengelolaan diri berhubungan dengan metakognisi,
motivasi dan perilaku yang berpartisipasi aktif untuk
mencapai tujuan personal. Dalam hal ini tujuan yang
dimaksud bersifat umum, misalnya tujuan dalam belajar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa regulasi diri yang dimaksud
dalam penelitian ini ialah kemampuan seseorang dalam
mengontrol perilakunya sendiri, meliputi aspek
metakognisi, motivasi dan perilaku (Hidayat, 2013).
Bandura menjelaskan bahwa Regulasi diri
merupakan kemampuan manusia mengatur dirinya sendiri,
mempengaruhi tingkah lakunya dengan cara mengatur
lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, serta
mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Self
regulation merupakan kemampuan diri untuk mengatur
perilaku dan tindakan, serta sebagai daya penggerak
utama kepribadian manusia. Seseorang harus mampu
mengatur perilaku sendiri guna mencapai tujuan yang
diinginkan. Memanagemen waktu dan mengontrol perilaku
sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat dioptimalkan
dengan baik (Musyrifah, 2016).
Berdasarkan teori di atas maka dapat disimpulkan
bawa regulasi diri merupakan kemampuan seseorang
memanipulasi pikiran dan tingkah lakunya untuk mencapai
tujuan yang optimal dengan menentukan target
20
pencapaian, dan melanjutkan setiap target yang akan
dicapai.
2.1.2 Aspek-aspek Regulasi diri
Menurut Bandura, menjelaskan bahwa aspek-aspek
self regulation terdiri dari 6 aspek, yaitu:
a. Standar dan tujuan yang ditentukan sendiri (Self
Determinet standart and Goals) Sebagaimana manusia
yang mengatur diri, cenderung memiliki standar-standar
yang umum bagi perilaku. Standar yang menjadi kriteria
untuk mengevaluasi performa dalam situasi spesifik.
Membuat tujuan-tujuan tertentu yang dianggap bernilai
dan menjadi arah dan sasaran perilaku seseorang.
Memenuhi standar-standar dan meraih tujuan-tujuan
yang memberi kepuasan (self-satisfaction),
meningkatkan self-afficacy, dan memacu sesorang
untuk meraih lebih besar lagi.
b. Pengaturan Emosi (Emosional Regulated), Yaitu selalu
menjaga atau mengelola setiap perasaan seperti
amarah, dendam, kebencian, atau kegembiraan yang
berlebihan agar tidak menghasilkan respon yang
kontraprosuktif, pengaturan emosi yang efektif sering
melibatkan 2 cabang.
21
c. Instruksi Diri (Self-intruction) Instruksi yang seseorang
berikan kepada dirinya sendiri sembari melakukan
sesuatu yang kompleks, memberi sarana untuk
mengingatkan diri mereka sendiri tentang tindakan-
tindakan.
d. Monitor Diri (Self Monitoring) Bagian penting
selanjutnya adalah mengamati diri sendiri saat sedang
melakukan sesuatu atau sebuah observasi diri. Agar
membuat kemajuan ke arah tujuan-tujuan yang
penting, seseorang harus sadar tentang seberapa baik
yang sedang dilakukan dan membuat kemajuan kearah
tujuan-tujuan tertentu, lebih mungkin melanjutkan
usaha-usaha.
e. Evaluasi Diri (Self-Evaluation) Setiap apa yang kita
lakukan dimanapun kita berada prilaku kita akan dinilai
oleh orang lain, meski demikian agar seseorang mampu
mengatur dirinya sendiri seseorang harus bisa menilai
perilakunya sendiri dengan kata lain seseorang itu akan
melakukan evaluasi.
f. Kontingensi yang ditetapkan diri sendiri (Selfimposed
Contingencies) Ketika seseorang menyelesaikan sesuatu
yang telah dirancang sebelumnya, khususnya jika tugas
tersebut rumit dan menantang seseorang itu akan
merasa bangga pada dirinya sendiri dan memuji dirinya
22
atas keberhasilan yang dia capai. Sebaliknya ketika
gagal menyelesaikan sebuah tugas, seseorang akan
merasa tidak senang dengan performanya sendiri,
merasa menyesal atau malu, oleh karena itu penguatan
atau hukuman yang ditetapkan sendiri yang menyertai
suatu perilaku itu sangat penting.
Menurut zimmarman dalam jurnaya (zimmarman,
1989) regulasi diri mencakup tiga aspek yang diaplikasikan
dalam belajar yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku.
a. Metakognitif
Matlin (dalam Ghufron & Riswita, 2011) mengatakan
metakognisi adalah pemahaman dan kesadaran tentang
proses kognitif. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa
metakognitif merupakan suatu proses penting. Hal ini
dikarenakan pengetahuan seseorang tentang kognisi dapat
membimbing dirinya mengatur atau menata peristiwa yang
akan dihadapi dan memilih strategi yang sesuai agar dapat
meningkatkan kinerja kognisinya kedepan. Zimmarman &
Pons (dalam Ghufron & Rismawita, 2011) menambahkan
bahwa poin metakognitif bagi individu yang melakukan
pengelolaan diri adalah individu yang merencanakan,
mengorganisasi, mengukur diri, dan mengintruksikan diri
sebagai kebutuhan selama proses perilakunya, misal dalam
hal belajar.
23
b. Motivasi
Devi & Ryan (dalam Ghufron & Risnawita, 2011)
mengemukakan bahwa motivasi adalah fungsi dari
kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan
kemampuan yang ada pada setiap diri individu.
Ditambahkan pula oleh zimmarmen & Pons (dalam Ghufon
& Risnawita, 2010: 59) bahwa keuntungan motivasi ini
adalah individu memiliki motivasi intrinsik, otonomi, dan
kepercayaan diri tinggi terhadap kemampuan dalam
melakukan sesuatu.
c. Perilaku
perilaku menurut Zimmarman dan Schank (dalam
Ghufon & Risnawita, 2010) merupakan upaya individu
untuk menyeleksi, menyusun, dan menciptakan lingkungan
fisik maupun sosial dalam mendukung aktivitasnya.
Dari penjelasan diatas secara umum yang menjadi
aspek-aspek Regulasi Dirii yaitu aspek metakognitif yang
merupakan kemampuan seseorang terhadap pemahaman
dan kesadaran dirinya, aspek motivasi yang mendasari
kebutuhan utama untuk mengontrol dirinya, dan aspek
perilaku yang diciptakan dalam lingkup sosial maupun yang
mendukung aktivitas.
24
2.1.3 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Regulasi
Diri
Bandura (Feist & Feist, 2013) menyebutkan tiga
kebutuhan internal dalam proses melakukan regulasi diri
yang terus menerus yaitu:
1) Observasi Diri
Kita harus dapat memonitor performa kita walaupun
perhatian yang kita berikan kepadanya belum tentu
tuntas ataupun akurat. Kita harus memberikan
perhatian secara selektif terhadap beberapa aspek
dari perilaku kita dan melupakan yang lainnya
dengan sepenuhnya. Apa yang kita observasi
tergantung pada minat dan konsepsi diri lainnya
yang sudah ada sebelumnya.
2) Proses Penilaian
Proses penilaian membantu kita meregulasi perilaku
kita melalui proses mediasi kognitif. Kita tidak hanya
mampu untuk menyadari diri kita secara reflektif,
tetapi juga menilai seberapa berharga tindakan kita
berdasarkan tujuan yang kita buat untuk diri kita.
Lebih spesifiknya lagi, proses penilaian bergantung
pada standar pribadi, performa rujukan, pemberi
nilai pada kegiatan, dan atribusi terhadap performa.
3) Reaksi Regulasi Diri
25
Manusia berproses secara positif dan negatif
terhadap perilaku meraka bergantung pada
bagaimana perilaku tersebut memenuhi standar
personal mereka. Manusia menciptakan inisiatif
untuk tindakan mereka melalui penguatan diri atau
hukuman diri.
Penjelasan di atas menjelaskan bahwa yang menjadi
faktor- faktor terbentuknya regulasi diri yang pertama,
melakukan observasi diri yang digantungkan pada minat
dan konsepsi diri. Kedua, proses penilaian yang akan
membantu kita menyadari diri kita. dan proses ketiga
merupakan reaksi regulasi diri yaitu proses perilaku secara
positif maupun negatif.
2.1.4 Pandangan Islam Tentang Regulasi Diri
Manusia senantiasa Allah peringati dalam mencapai
tujuannya agar dapat mengontrol dirinya dalam bertindan
dan melakukan sesuatu serta menyerahkan seluruh apa
sudah manusia usakan kepada Allah SWT. Karena manusia
hanya berusaha dengan porsi melakukan sesuatu dengan
sebaik-baiknya dan Allah yang menentukan segala-galanya.
Hal ini tergambar dalam surah Al-Hasyr: 118 Sebagai
berikut:
26
ا س م ف ر ن ظ ن ت ل و وا الل ق وا ات ن ين آم ذ ا ال ه ي ا أ ي
لون م ع ا ت ير بم ب خ ن الل إ وا الل ق ات د و غ ت ل م د ق
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-hasyr: 18)
Imam Ibnu Katsir (2013) dalam tafsirnya
menjelaskan mengenai ayat tersebut bahwa Allah
memerintahkan agar manusia bertaqwa kepadanya-Nya.
Pengertian takwa mencakup segala sesuatu yang telah
diperintahkan dan meninggalkan sesuatu yang telah di
larang. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyarahkan
hisablah dirimu sebelum di hisab oleh Allah, dan lihatlah
apa yang telah kamu tabung sebelum dihisan oleh Allah,
dan lihatlah apa yang kamu tabung untuk diri-diri kamu,
berupa amal-amal shaleh, untuk hari di mana kamu akan
kembali dan berhadapan dengan Tuhanmu. Allah
mengulangi kalimat “bertaqwalah kepada Allah” sebagai
penegasan untuk kedua kalinya dan ketahuilah bahwa
Allah Yang Mahasuci adalah Maha Mengetahui atas semua
perbuatan dan ihwal kamu. Tidak ada sesuatu pun yang
dapat kamu sembunyikan dari pada-Nya dan tidak ada
27
perkara-perkara kamu yang gaib dari-Nya, yang besar atau
kecil.
Pendapat Galisky (Rose, Florez, & Ida, 2011) yaitu
dengan adanya regulasi diri, seseorang akan mampu untuk
mengatur pikiran, emosinya dan perilaku seseorang untuk
menuju kesuksesan. Setiap individu memiliki kemampuan
untuk bertanggung jawab dan mengontrol dirinya masing-
masing agar selalu berada dalam limpahan kebaikan sesuai
dengan tujuan yang telah mereka rencanakan sebelumnya.
Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah yang
memerintahkan kepada manusia agar selalu menyerahkan
diri dan melakukan perbuatan kebaikan yang bermanfaat
untuk dirinya dan juga lingkungan sekitar. Hal tersebut
terdapat dalam surah Ar- Ra’d ayat 11 sebagai berikut:
بات من بين يديه ومن خلفه يحفظونه من أمر الل إن له معق
ل يغي ر ما بقوم حتى يغي روا ما بأنفسهم وإذا أراد الل الل
بقوم سوءا فل مرد له وما لهم من دونه من وال
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan
28
yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-
kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar-
Rad:11).
Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap masing-
masing individu manusia mempunyai regulasi diri untuk
mengatur dirinya, karena Allah menghendaki hamba-Nya
untuk selalu mengontrol dirinya sesuai dengan tujuan yang
ia kehendaki (Syamil, 2007). Seseorang akan mendapatkan
tujuannya sesuai dengan usaha yang telah ia kerjakan,
sebagai potongan ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
tidak akan merubah keadaan hamba kecuali hamba itu
sendiri yang mengubanhya.
2.2 PENGHAFAL QUR’AN
2.2.1 Pengertian Penghafal Al-Qur’an
Hafiz adalah sebuah panggilan bagi seseorang yang
dapat menghafal Al-Qur'an. Istilah ini diberikan kepada
seseorang yang menghafal Al-Qur'an, tetapi pada masa
dahulu, hafiz diberikan bagi orang-orang yang dapat
menghafal hadis. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
29
pengertian menghafal adalah berusaha meresapkan
kedalam fikiran agar selalu ingat (dalam KBBI). Tahfidz
Qur’an terdiri dari dua suku kata, yaitu Tahfidz dan Qur’an,
yang mana keduanya mempunyai arti yang berbeda. yaitu
tahfidz yang berarti menghafal. Menghafal dari kata dasar
hafal yang dari bahasa arab Hafidza-Yahfadzu-Hifdzan,
yaitu lawan dari lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa.
Sedangkan menurut Abdul Aziz Abdul Rauf definisi
menghafal adalah proses mengulang sesuatu baik dengan
membaca atau mendengar. Pekerjaan apapun jika sering
diulang, pasti menjadi hafal (Khalil Manna’ Al-Qattan,
2012). Seseorang yang telah hafal Al-Qur’an secara
keseluruhan di luar kepala, bisa disebut dengan juma’ dan
huffazhul Qur’an.
Lafadz Al-Qur’an berasal dari bahasa arab, yaitu akar
kata dari qara’a, yang berarti membaca, Al-Quran isim
masdar yang diartikan sebagai isim maful, yaitu maqru’
berarti yang dibaca. Pendapat lain menyatakan bahwa
lafadz Al-Qur’an yang berasal dari akar kata qara’a
tersebut, juga memiliki arti al-jamu’ yaitu mengumpulkan
dan menghimpun. Secara terminologi (secara istilah) Al-
Qur’an diartikan sebagai kalam Allah SWT, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat,
disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah SWT sendiri
30
dengan perantara Malaikat Jibril dan membaca Al-Qur’an
dinilai ibadah kepada Allah SWT .
Al-Qur’an adalah murni wahyu dari Allah SWT,
bukan dari hawa nafsu perkataan Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an memuat aturan-aturan kehidupan manusia di
dunia. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang
yang beriman dan bertaqwa. Didalam Al-Qur’an terdapat
rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang
beriman. Al-Qur’an merupakan petunjuk yang dapat
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju jalan yang
terang (Masjfuk Zuhdi, 1993) Terdapat perbedaan
pandangan dikalangan para ulama’ berkaitan dengan asal
mula lafadz (word) Al-Qur’an. Pendapat pertama bahwa
penulisan lafadz Al-Qur’an dibubuhi dengan huruf hamzah
(Mahmuz).
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa lafadz
tersebut tidak dibubuhi huruf hamzah (Ghairu Mahmuz).
Mengenai yang terakhir ini akan diuraikan beberapa
argumen dari para ulama’ di antaranya: Menurut As-Syafi’i
lafadz Al-Qur’an bukanlah musytaq (tidak terambil dari akar
kata apapun) dan buakan pula mahmuz (tidak
dibubuhidengan huruf hamzah di tengahnya). Dengan kata
lain, lafadz Al-Qur’an itu adalah ismu jamid ghairu mahmuz,
yaitu suatu isim yang berkaitan dengan nama yang khusus
31
diberikan Al-Qur’an, sama halnya dengan nama taurat dan
injil.
Jadi, menurut As-syafi’i, lafadz tersebut bukan akar
dari kata qara’a,yang berarti membaca sebagaimana
disebutkan diatas. Sebab menurutnya kalau Al-Qur’an
diambil dari akar kata qara’a, maka semua yang dibaca
tentu dapat dinamakan Al-Qur’an. Menurut Al-Farra’, lafadz
Al-Qur’an tidak berhamzah dan merupakan pecahan
musytaq dari kata qara’a (jamak kata dari kata qarinah),
yang berarti kaitan, indikator,petunjuk.
Hal ini disebabkan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an
serupa dengan ayat-ayat lain. Maka seolah-olah sebagian
ayat-ayatnya merupakan indikator (petunjuk) dari apa yang
dimaksud oleh ayat-ayat yang lainnya. Tingkat Hafalan Al
Qur’an Murabbi membuatkan daftar muraja’ah dari yang
paling rendah kekuatan hafalannyahingga yang tertinggi:
a. Tingkatan pertama Muraja’ah hafalan seluruh Al-Qur’an
untuk tahap awal dan menyelesaikannya dalam jangka
waktu tiga bulan.
b. Tingkatan kedua Muraja’ah hafalan seluruh Al-Qur’an
untuk tahap kedua dan menyelesaikannya dalam
jangka waktu satu setengah bulan.
32
c. Tingkatan ketiga Muraja’ah hafalan seluruh Al-Qur’an
untuk tahap ketiga dan menyelesaikannya dalam
jangka waktu satu bulan.
d. Tingkatan keempat Muraja’ah hafalan seluruh Al-Qur’an
untuk tahap keempat dan menyelesaikannya dalam
jangka waktu setengah bulan.
e. Tingkatan kelima Muraja’ah hafalan seluruh Al-Qur’an
untuk tahap kelima dan menyelesaikannya dalam
jangka waktu tujuh hari (Az-Zamawi, 2010)
Dengan demikian bisa simpulkan bahwa pengertian
penghafal Al-Qur’an adalah seseorag yang menyimpan atau
menghafalan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang berisi petunjuk untuk mengatur
kehidupan manusia. Dalam memahami dan menghafalkan
Al-Qur’an murabbi (penghafal Al-Qur’an) membuat daftar
muraja’ah atau mengulangi hafalan sesuai dengan
tahapan-tahapannya.
2.2.2 Metode-Metode Menghapal Al-Qur’an
Menghafal Al-Qur’an Ada beberapa metode yang
mungkin bisa dikembangkan dalam rangka mencari
alternatif terbaik untuk menghafal Al-Qur’an, dan bisa
memberikan bantuan kepada para penghafal dalam
33
mengurangi kepayahan dalam menghafal Al-Qur’an.
Metode itu diantaranya:
1. Metode Wahdah yaitu menghafal satu persatu terhadap
ayat-ayat yang hendak dihafalnya. Untuk mencapai
hafalan awal, setiap ayat bisa dibaca sebanyak sepuluh
kali, atau dua puluh kali atau lebih sehingga proses ini
mampu membentuk pola dalam bayangannya. Dengan
demikian penghafal akan mampu mengkondisikan ayat-
ayat yang dihafalkannya bukan saja dalam
bayangannya, akan tetapi hingga benar-benar
membentuk gerak refleks pada lisannya. Setelah benar-
benar hafal barulah dilanjutkan pada ayat-ayat
berikutnya dengan cara yang sama, demikian
seterusnya hingga mencapai satu muka.
2. Metode kitabah, Kitabah artinya menulis. Metode ini
memberikan alternatif lain daripada metode yang
pertama. Pada metode ini penulis terlebih dahulu
menulis ayatayat yang akan dihafalnya pada secarik
kertas yang telah disediakan untuknya. Kemudian ayat-
ayat tersebut dibacanya hingga lancar dan benar
bacaannya, lalu dihafalkannya.
3. Metode sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud
dengan metode ini ialah mendengarkan sesuatu bacaan
untuk dihafalkannya. Metode ini akan sangat efektif
34
bagi penghafal yang punya daya ingat ekstra, terutama
bagi penghafal tunanetra, atau anak-anak yang masih
dibawah umur yang belum mengenal tulis baca Al-
Qur‟an. Metode ini dapat dilakukan dengan dua
alternatif:
a) Mendengar dari guru pembimbingnya, terutama bagi
para penghafal tunanetra, atau anak-anak.
b) Merekam terlebih dahulu ayat-ayat yang akan
dihafalkannya kedalam pita kaset sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya. Kemudian kaset
diputar dan didengar secara seksama sambil
mengikuti secara perlahan.
4. Metode Gabungan Metode ini merupakan metode
gabungan antara metode pertama dan metode kedua,
yakni metode wahdah dan metode kitabah. Hanya saja
kitabah (menulis) disini lebih memiliki fungsional
sebagai uji coba Az-Zamawi, 2010)
5. Metode Jama’ yang dimaksud dengan metode ini, ialah
cara menghafal yang dilakukan secara , yakni ayat-ayat
yang dihafal dibaca secara kolektif, atau bersama-sama,
dipimpin oleh seorang instruktur. Pertama, instruktur
membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa
menirukan secara bersama-sama. Kedua, instruktur
membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat
35
tersebut dan siswa mengikutinya. Setelah ayat-ayat itu
dapat mereka baca dengan baik dan benar, selanjutnya
mereka mengikuti bacaan dengan sedikit demi sedikit
mencoba melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf)
dan demikian seterusnya sehingga ayat-ayat yang
sedang dihafalnya itu benar-benar sepenuhnya masuk
dalam bayangannya (Az-Zamawi, 2010). Seiring
perkembangan zaman maka metode-metode
menghafalpun semakin beragam, metode tersebut
terbagi 2 yaitu metode klasikal dan juga metode
modern:
a. Metode Klasik Dalam Menghafal Al-Qur’an
1. Talqin Yaitu cara pengajaran hafalan yang
dilakukan oleh seorang guru dengan membaca
satu ayat, lalu ditirukan sang murid secara
berulang-ulang sehingga nancap di hatinya.
2. Talaqqi yaitu Presentasi hafalan sang murid
kepada gurunya.
3. Mu’aradhah yaitu Saling membaca secara
bergantian.
Dalam praktiknya, tidak ada perbedaan
diantara ketiga cara tersebut. Tergantung
instruksi sang guru yang biasanya lebih dominan
menentukan metode. Barangkali, teknik mengajar
36
dengan metode talqin lebih cocok untuk anak-
anak. Adapun talaqqi dan mu‟aradhah, lebih
cepat untuk orang dewasa (sudah benar dan
lancar membaca).
b. Metode modern dalam menghafal Al-Qur’an
1. Mendengar kaset murattal melalui tape recorder,
MP3/4, handphone. Komputer dan sebagainya.
2. Merekam suara kita dan mengulangnya dengan
bantuan alat-alat modern
3. Menggunakan program software Al-Qur’an
penghafal
4. Membaca buku-buku Qur’ani Puzzle (semacam
teka teki yang diformat untuk menguatkan daya
hafalan kita).
Dari metode di atas terkonologi juga
membantu dalam proses menghafal, dan merupakan
metode modern yang bisa dipakai dalam metode
menghafal. Secara umum metode-metode
menghafal terbagi dua yaitu metode klasik dan
modern. Seiring dengan perkembangan teknologi
maka metode menghafal Al-Qur’an semakin canggih,
dengan demikian proses menghafal Al-Qur’an
menuntut pengunaan metode yang sesuai dengan
dirinya.
37
2.2.3 Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis Tentang
Penghafal AL-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber syariat Islam yang bisa
mendatangkan ketenangan tersendiri bagi yang membaca
dan mengamalkan-Nya. Terlebih lagi bagi yang mau
menghafalkan. Banyak sekali keutamaan menjadi
penghafal Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an termasuk ibadah
jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan bukan untuk
mengharapkan pujian di dunia. Bahkan salah satu ciri
orang yang berilmu menurut standar Al-Quran adalah
mereka yang memiliki hafalan Al-Quran. Allah Subhanahu
wa ta’ala berfirman dalam QS. Al-Ankabut: 49:
وتوا العلم وما يجحد بل هو آيات بي نات في صدور الذين أ
بآياتنا إل الظالمون
Artinya: “Bahkan Al Quran itu adalah ayat-ayat yang
nyata, yang ada di dalam dada orang-orang yang
diberi ilmu (QS. al-Ankabut: 49)”.
Senada dengan ungkapan Yahya dalam buku
(yahya: 2005) yang menjelaskan tentang keutamaan dalam
38
menghafal Al- Qur’an dalam Al-Qur’an surah Al-Fathir: 29-
30 sebagai berikut:
ا إن الذين يتلون كتاب الل وأقاموا الصلة وأنفقوا مم
رزقناهم سرا وعلنية يرجون تجارة لن تبورليوف يهم
جورهم ويزيدهم من فضله إنه غفور شكور أ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan
terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan
menambah kepada mereka dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri” (Q.S. Al-Fathir: 29-30).
Imam Ibnu Katsir (2013) menafsirkan surah Al-
Fathir ayat 29-30 bahwa pada ayat ini Allah mengambarkan
tentang hamba-hamba-Nya yang beriman yaitu orang-
orang yang membaca kitab suci Al-Qur’an dan
mempercayai apa yang terkandung di dalamnya. Meraka
mengharap pahala dari Allah SWT yang pasti akan mereka
39
terima. Dengan demikian inilah keutamaan menghafal Al-
Qur’an yaitu mereka dipastikan akan mendapat pahala
seperti yang mereka harapkan.
Allah memudahkan Al-Qur’an untuk diingat oleh
seseorang dan menjaminnya selamat dari berbagai
perubahan. Allah memberi petunjuk orang-orang pilihannya
yang cerdas dan bertakwa untuk menghimpun setiap
bidang ilmu yang dapat mengembirakan hati orang yakin
(yahya: 2005). Sebagaimana firman Allah SWTdalam Al-
Hijr: 9 sebagai berikut:
كر نزلنا نحن إنا لحافظون له وإنا الذ
Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.(QS. Al-Hijr: 9)
Az-Zawawi (2010) menjelaskan dari ayat di atas
Allah AWT menjelaskan bahwa Allah sendirilah yang
menjamin penjagaan Al-Qur’an, dan Allah SWT juga telah
mempersiapkan kedudukan yang tinggi bagi mereka di
dunia dan akhirat. Senada dengan sabda Rasullah yang
menjelaskan keutaamaan penghafal Al-Qur’an sebagai
berikut:
40
لبس فيه، بما وعمل القرآن قرأ من يوم تاجا والداه أ
مس ضوء من أحسن ضوءه القيامة، نيا، بيوت في الش الد
بهذا عمل بالذي ظنكم فما فيكم كانت لو .
Artinya: “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya maka akan di pakaikan kepada kedua orang tuanya mahkota yang sinarnya lebih terang dari pada sinar matahari di dunia dan pada hari kiamat nanti, kalaulah sekiranya ada bersama kalian, maka apa perkiraan kalian tentang orang yang mengamalkannya (Al-Qur’an)” (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim) .
Dengan Al-Qur’an, Allah SWT mengangkat derajat
para penghafal Al-Qur’an serta memakaikan kepada kedua
orangtuanya, mahkota yang bersinar lebih terang dari pada
sinar matahari (Az-Zawawi, 2010). Selain itu Rasulullah
SAW juga bersabda mengenai Allah SWT mencintai para
penghafal Al-Qur’an, sebagaimana sabdanya sebagai
berukut:
وخاصته من هم ؟ قال : هم أهل القرآن ، أهل الل إن لل
أهلين من الناس
Artinya: “sesungguhnya Allah ta’ala memeiliki ahli-ahli dari golongan menusia, lalu ditanyakan siapakah ahli Allah dari mereka? Beliau menjawab, yaitu ahlul
41
Qur’an (orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan mengamalkannya), mereka adalah ahli Allah (wali-wali Allah) dan memiliki kedudukan khusus di sisi-Nya)” (HR. Ahmad dalam Musmad-nya dengan sanad yang Hasan).
Di dalam hadis tersebut di jelaskan bahwa golongan
yang paling dicintai oleh Allah SWT. Mencintai orang-orang
yang hafal Al-Qur’an dan mengamalkannya (Az-Zawawi,
2010).
Perspektif Al-Qur’an dan Hadis tentang penghapal
Al-Qur’an yaitu memudahkan Al-Qur’an untuk diingat oleh
seseorang dan menjaminnya selamat dari berbagai
perubahan. Al-Qur’an merupakan petunjuk kehidupan
dengan demikian Allah akan memberi petunjuk orang-
orang pilihannya yang cerdas dan bertakwa untuk
menghimpun setiap bidang ilmu yang dapat
mengembirakan hati orang yakin, serta menjamin hidupnya
dari segala perubahan. Orang yang menghafal Al-Qur’an
mendapatkan jaminan dan di cintai oleh Allah SWT.
2.3 Mahasiswa
2.3.1 Pengertian Mahasiswa
Pengertian Mahasiswa adalah seseorang yang
sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan
42
terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu
bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik,
politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji,
2012). Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa
didefinisikan sebagai orang yang belajar di Perguruan
Tinggi (Kamus Bahasa Indonesia Online, kbbi.web.id)
Menurut Siswoyo (Siswoyo, 2007) mahasiswa dapat
didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu
ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau
lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi.
Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas
yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan
dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat
dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada
diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling
melengkapi (Salam, 2014)
2.3.2 Masa Transisi Mahasiswa Di Perguruan Tinggi
untuk kebanyakan individu di negara maju, lulus dari
sekolah dan melanjutkan kuliah merupakan aspek penting
dalam transisi menuju kedewasaan (Bowman, dalam
santrok 2012). Mahasiswa merupakan transisi dari masa
remaja menuju masa dewasa. Transisi dari masa remaja ke
dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging
43
adulthood) yang terjadi dari usia 18 sampai 25 tahun
(Arnett, dalam santrock, 2012).Transisi dari sekolah
menengah ke perguruan tinggi menyebabkan perubahan
dan stress. Akan tetapi transisi ini melibatkan fitur-fitur
positif. Mahasiswa lebih lebih merasa dewasa, punya
banyak pilihan terhadap mata kuliah yang diambil, punya
lebih banyak waktu untuk bergaul dengan teman-teman,
punya kesempatan yang lebih besar untuk mengeksplorasi
nilai dan gaya hidup yang beragam, menikmati kebebasan
yang lebih besar dari pantauan orang tua, dan tertantang
secara intelektual oleh tugas-tugas akademis (Santrock,
2012).
Masa adolesen adalalah masa peralihan dari masa
remaja atau masa pemuda ke masa dewasa. Ada yang
menyamakan Masa adolesen sama dengan masa dewasa
(Soejanto, 2005). Masa transisi dari sekolah menengah ke
perguruan tinggi Masa mahasiswa telah dibebani untuk
dapat menseleksi pengaruh-pengaruh dari luar. Mereka
telah dibebani untuk menyaring, dan menentukan ilmu
yang mana dan yang dari mana yang dibawakan oleh siapa
yang akan diikutinya. Dengan kata lain mahasiswa harus
dapat hidup sendiri atas kreasinya sendiri.
44
Jeffrey Arnett (dalam santrock, 2012)
mendeskripsikan lima cirri-ciri dari orang yang beranjak
dewasa sebagai berikut:
a. Eksplorasi identitas, khususnya dalam relasi romantis
dan pekerjaan. Beranjak dewasa adalah masa di mana
dalam diri sebagian besar individu terjadi perubahan
penting yang menyangkut identitas.
b. Ketidakstabilan. Perubahan tempat tinggal sering terjadi
selama masa dewasa awal, sebuah masa dimana juga
sering terjadi ketidakstabilan dalam hal relasi romantis,
pekerjaan, dan pendidikan.
c. Berfokus pada diri. Menurut Arnet individu yang berada
dimasa beranjak dewasa cenderung terfokus pada diri
sendiri, dalam arti mereka kurang terlibat dalam
kewajiban sosial, malakukan tugas dan berkomitmen
terhadap orang lain, serta mengakibatkan mereka
memiliki otonomi yang besar dalam mengatur
kehidupannya sendiri.
d. Merasa seperti berada diperalihan. Banyak orang
dimasa beranjak dewasa tidak menganggap dirinya
remaja ataupun sepenuhnya sudah dewasa dan
berpengalaman.
e. Usia dengan berbagai kemungkinan, sebuah masa
dimana individu memiliki peluang untuk mengubah
45
kehidupan mereka. Arnett mendeskripsikan dua cara di
mana masa beranjak dewasa merupakan usia yang
memiliki berbagai kemungkinan: (1) banyak orang
beranjak dewasa optimis dengan masa depannya, dan
(2) bagi mereka yang mengalami kesulitan ketika
bertumbuh besar, masa beranjak dewasa merupakan
sebuah kesempatan untuk mengarahkan kehidupan
mereka ke arah yang lebih positif.
Dengan demikian masa transisi dari sekolah
menengah ke perguruan tinggi merupakan masa transisi
menuju dewasa yang masih belum stabil dalam penetapan
sesuatu dan merupakan masa yang penuh harapan dan
rancangan untuk membangun karakter yang positif.
2.3.3 Proses Belajar di Perguruan Tinggi
Memasuki dunia Perguruan Tinggi berarti
melibatkan diri dalam situasi hidup dan situasi akademis
yang secara fundamental berbeda dengan apa yang pernah
dialami dalam lingkungan Sekolah Lanjutan Atas.
Perguruan Tinggi bukanlah sekadar lanjutan dari Sekolah
Lanjutan Atas, tetapi merupakan suatu yang hakiki dan
taraf pendidikan tinggi itu sesuai tuntutan pendidikan tinggi
itu. Sebagai konsekwensinya, bahwa manusia wajib
mengadakan adaptasi dengan dunia baru ini yang penuh
46
dengan liku-liku dan seluk beluknya serta penuh resiko,
terutama adaptasi pola berpikir, belajar, berkreasi,
bertindak/beramal dalam menggumuli kehidupan kampus
ini. Ini memerlukan kesadaran dari mahasiswa bahwa ia
berada di antara berbagai ragam problema secara
sendirian, yang sangat jauh berbeda dengan situasi
Sekolah Lanjutan Atas yang relatif mudah memperoleh
bimbingan dan penyuluhan.
Sejalan dengan perubahan dalam masyarakatnya,
mahasiswa juga mengalami pancaroba dalam dirinya
menuju taraf kedewasaannya Untuk menjawab tantangan
ini dibutuhkan suatu sikap mental yang tangguh dan serasi
dengan tuntutan hidup di dunia baru ini. Jawaban ini pun
dapat diberikan karena mahasiswa secara fisik dan
kejiwaan seyogianya telah mencapai taraf kedewasaan
atau kematangan rasional dan emosional untuk mendidik
dan membentuk dirinya sendm menjadi seorang ilmuwan/
intelektual, karena hal itu merupakan sesuatu yang terpuji
untuk meninggalkan pola berpikir, belajar, beramal dengan
gaya Sekolah Lanjutan Atas, guna dapat berkonsisten
dengan tingkat pendidikan yang baru di Perguruan tinggi.
Dengan demikian dari mahasiswa diharapkan adanya jiwa
yang bebas terbuka. pikiran yang aktif, kritis, dan kreatif
terhadap segala hal serta tidak menjadi bingung di
47
tengantengah percaturan pendapat dan kaidah-kaidah
yang asing yang pelajan.
2.4 Dinamika Regulasi Diri Mahasiswa Penghapal
Al-Qur’an
Regulasi diri mahsiswa penghafal Al-Qur’an adalah
mahasiswa yang mengatur dirinya dengan membuat
perencanaan, memiliki tujuan, mengontrol perilaku,
memiliki motivasi yang kuat, adanya konsekuensi terhadap
perilakunya serta mengadakan perilaku konsisten dalam
mengelola waktu sehingga target untuk dapat
menghafalkan Al-Qur’an sesuai dengan perencanaan.
Secara keseluruhan dari hasil penelitian diperoleh data
bahwa regulasi diri Mahasiswa penghafal Al-Qur’an
dikatakan cenderung belum baik.
Regulasi diri mahasiswa penghafal Al-Qur’an
cenderung belum baik dikarenakan terdapat tuntutan
waktu akademis. Permasalahan muncul ketika perilaku
tidak sesuai dengan standar yang dibuat remaja sehingga
mempengaruhi perilaku dalam penghafal Al-Qur’an.
Baumeister & Vohs (2007) mengungkapkan bentuk dari
regulasi diri dengan mengubah perilaku agar mengikuti
48
aturan, mencocokkan dengan cita-cita, atau mengejar
tujuan.
Permasalahan yang terjadi di kalangan mahasiswa
penghafal Al-Qur’an banyaknya kegiatan serta adanya rasa
malas. Selain permasalahan tersebut, teman-teman
bergaul, keluarga dan lingkungan tempat tinggal akan
mempengaruhi pencapaian tujuan menghafal Al-Quran.
Setiap permasalahan akan selalu ada penyelesaiannya,
namun cara setiap orang berbeda-beda dalam
menyelesaikannya. Berikut ini merupakan permasalahan
regulasi diri mahasiswa penghafal Al-Qur’an dan cara
mengatasinya:
Pertama, permasalahan individu yaitu niat, motivasi,
mengelola waktu. Ketika niat kurang ikhlas maka dalam
menghafal mengalami permasalahan salah satunya susah
untuk mengingat. Motivasi berasal dari dalam maupun luar
individu yang dapat menyebabkan seseorang sangat
bersemangat ataupun kurang bersemangat dalam
melakukan proses pembelajaran baik disekolah ataupun
dirumah (Sobur, 2003).
Kedua, susah untuk mengingat ayat-ayat surah-
surah yang sedang atau telah dihafalkan, mudah lupa, dan
banyak mendengarkan musik. Hal-hal yang menghalangi
49
menghafal Al-Qur’an adalah sikap malas dan lemah, jika
seseorang bersikap malas dan lemah dalam mengambil,
membaca, menghafal maka tidak akan mampu untuk
menyimpan dalam hatinya (Habibilah & Asy-Syinqithi,
2014). Ketiga, menjaga hafalannya, menjaga perilakunya
maka akan sangat sulit mengatasi hal-hal yang terkait
dengan lawan jenis.
Di dalam menghafalkan Al-Qur’an kognisi atau
kemampuan dibutuhkan namun bukan penghafal Al-Qur’an
dengan kemampuan rendah tidak dapat menghafalkan Al-
Qur’an begitupun penghafal Al-Qur’an yang memiliki
kemampuan yang baik atau tinggi dapat menghafalkan Al-
Qur’an dengan mudah. Keberhasilan menghafal Al-Qur’an
dilatarbelakangi adanya faktor-faktor pendukung yang
berasal dari internal yaitu: Pertama, adanya niat untuk
menghafal, memiliki motivasi yang kuat, memiliki target
hafalan dan mengetahui tujuan menghafal Al-Qur’an.
Kedua, orang tua yang mendukung penuh anaknya untuk
menghafal Al-Qur’an akan mempermudah bagi remaja
mencapai target hafalan. Dimulai dari kesepakan orang tua
untuk mendidik anaknya dengan pendidikan yang benar,
menjauhkan hiburan-hiburan yang tidak bermanfaat, orang
tua yang senantiasa membaca Al-Qur’an di anaknya.
50
2. 5. Kerangka Pikir Penelitian