BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penuaan II.pdf · Hormon dikeluarkan oleh beberapa kelenjar yang...

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Penuaan merupakan suatu proses biologis yang kompleks ditandai dengan kemunduran fungsional dan struktural dari sistem multiorgan secara progresif yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Fontana, 2009). Teori penuaan menurut Goldman dan Klantz adalah sebagai berikut : 1. Teori Wear and Tear Kerusakan pada tubuh dan sel disebabkan oleh seringnya penggunaan dan mengalami penyalahgunaan (overuse and abuse). Fungsi organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin berlebihan, sinar ultraviolet, dan stres fisik serta emosional. Kerusakan terjadi pada tingkat organ maupun seluler. 2. Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan pada peran hormon terhadap fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa kelenjar yang dikendalikan oleh hipotalamus, suatu kelenjar yang terletak di otak. Seiring bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil yang berakibat terganggunya berbagai sistem tubuh. 10

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penuaan II.pdf · Hormon dikeluarkan oleh beberapa kelenjar yang...

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Penuaan merupakan suatu proses biologis yang kompleks ditandai

dengan kemunduran fungsional dan struktural dari sistem multiorgan secara

progresif yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Fontana, 2009).

Teori penuaan menurut Goldman dan Klantz adalah sebagai berikut :

1. Teori Wear and Tear

Kerusakan pada tubuh dan sel disebabkan oleh seringnya penggunaan

dan mengalami penyalahgunaan (overuse and abuse). Fungsi organ

tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya menurun karena

toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi lemak, gula,

kafein, alkohol dan nikotin berlebihan, sinar ultraviolet, dan stres fisik

serta emosional. Kerusakan terjadi pada tingkat organ maupun seluler.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan pada peran hormon terhadap fungsi organ

tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa kelenjar yang dikendalikan

oleh hipotalamus, suatu kelenjar yang terletak di otak. Seiring

bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil

yang berakibat terganggunya berbagai sistem tubuh.

10

11

3. Teori Kontrol Genetik

Berfokus pada peran genetik dalam menyandi DNA. Setiap individu

terlahir dengan kode genetik yang unik yang memungkinkan

berjalannya fungsi fisik dan mental tertentu. Seberapa cepat kita

menua dan berapa lama kita hidup ditentukan oleh genetik tersebut.

4. Teori Radikal Bebas

Penuaan terjadi karena akumulasi kerusakan akibat radikal bebas

dalam sel. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron

tidak berpasangan, bersifat reaktif karena cenderung menarik elektron

dari molekul lain dan mengubah molekul tersebut menjadi suatu

radikal bebas baru. Proses tersebut menimbulkan kerusakan sel,

gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel (Goldman dan Klantz,

2007).

2.2Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki elektron

yang tidak berpasangan, dapat juga diartikan sebagai molekul yang

dihasilkan selama metabolisme seluler normal berlangsung, seperti radikal

superoksida, hidroksil purin, dan pirimidin (Pangkahila, 2007).

Radikal bebas memiliki sifat yang tidak stabil dan reaktifitas yang

tinggi karena kecenderungannya menarik elektron dari molekul lain dan

mengubah molekul tersebut menjadi radikal bebas baru (Pham-Huy et al.,

2008). Reaksi tersebut berkesinambungan karena molekul baru yang tidak

stabil akan berusaha mengganti elektronnya yang hilang dengan cara

12

mengambil elektron dari molekul yang berdekatan dan demikian seterusnya

(Pangkahila, 2007).

Berdasar sumbernya, radikal bebas digolongkan menjadi radikal

bebas endogen, yaitu yang dihasilkan oleh tubuh secara alami, sebagai

akibat dari berbagai reaksi non enzimatik dan radikal bebas eksogen yang

berasal dari luar tubuh (Pham-Huy et al., 2008). Radikal bebas endogen

dihasilkan sebagai akibat aktivasi sel imun, inflamasi, stres mental, olah

raga berlebihan, iskemik, infeksi, kanker dan aging, sedangkan radikal

bebas eksogen dapat berasal daripolusi udara dan air, asap rokok, alkohol,

obat tertentu, proses memasak, industrial solvent, ozon, hyperoxia, radiasi

ionisasi dan ion logam berat (Pham-Huy et al., 2008; Birben et al., 2012).

Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan terminologi yang meliputi

semua molekul yang mengandung oksigen reaktif dalam kadar yang tinggi,

termasuk radikal bebas (Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012). Sumber

ROSdapat berasal dari metabolisme seluler dan dari lingkungan, organisme

hidup menghasilkan ROS dari molekul oksigen sebagai hasil dari

metabolisme seluler normal (Birben et al., 2012). ROS dibedakan menjadi

radikal bebas yaitu molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang

tidak berpasangan, dan non radikal yaitu molekul yang terbentuk apabila

dua radikal bebas saling berbagi elektron bebasnya (Birben et al., 2012).

Terdapat beberapa tipe ROS, namun yang berperan signifikan dalam

fisiologi tubuh adalah golongan 3 besar yaitu anion superoksida (O2ˉ•),

13

radikal hidroksil (•OH), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Birben et al.,

2012; Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012).

Apabila dalam konsentrasi rendah atau sedang, ROS mempunyai

peran yang menguntungkan dalam maturasi struktur sel, respon seluler dan

fungsi imun, namun dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan stres

oksidatif yang berpotensi merusak struktur semua sel dengan cara bereaksi

dengan lipid membran, asam nukleat, protein dan enzim serta molekul kecil

lainnya (Pham-Huy et al., 2008; Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012).

Terbentuknya ROS terjadi melalui beberapa jalur baik secara

enzimatik maupun non enzimatik, dan yang paling banyak terjadi adalah

sebagai :

1. Konsekuensi dari metabolisme aerobik normal,

2. Ledakan oksidatif dari fagosit sebagai bagian dari mekanisme

penghancuran bakteri dan virus, dan karena denaturasi protein asing

(antigen),

3. Xenobiotic metabolism, contohnya : detoksifikasi dari substansi

beracun (Pham-Huy et al., 2008; Krishnamurthy dan Wadhwani,

2012).

2.3 Stres Oksidatif

Tahun 1997, Helmut Sies mendefinisikan stres oksidatif sebagai

ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang berpotensi

menyebabkan kerusakan dan menjelaskan bahwa oksidan terbentuk baik

14

sebagai produk normal dari metabolisme aerobik dan juga akibat patologis

(Wahlquist, 2013).

Secara luas diyakini bahwa oksigen reaktif yang diproduksi dalam

kondisi stres merupakan faktor perusak yang menimbulkan peroksidasi

lipid, inaktivasi enzim dan kerusakan oksidatif pada DNA (Pham Huy et al.,

2008).

Dalam keadaan normal, tubuh memiliki mekanisme pertahanan

terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas, mekanisme

tersebut beragam, efisien, tersebar di seluruh sel, dan dilakukan oleh

antioksidan endogen (Pham-Huy et al., 2008; Birben et al., 2012). Bila

mekanisme pertahanan ini menurun atau terlampaui maka kerusakan sel

dapat terjadi dan kondisi ini disebut sebagai stres oksidatif (Pham-Huy et

al., 2008; Birben et al., 2012).

Stres oksidatif berkontribusi pada beberapa kondisi patologis

termasuk kanker, kelainan neurologis, atherosklerosis, hipertensi,

iskemia/perfusi, Diabetes, Acute Respiratory Distress Syndrome dan lain

sebagainya seperti pada Gambar 2.1 (Pham-Huyet al., 2008; Birben et al.,

2012).

15

Gambar 2.1 Stres Oksidatif Menginduksi Penyakit pada Manusia

(Pham-Huyet al., 2008)

2.4 Antioksidan

Antioksidan adalah suatu substansi yang mempunyai kemampuan

untuk mencegah atau memperlambat oksidasi dari molekul lain (Flora,

2009). Molekul antioksidan bertugas melindungi sel-sel tubuh dan

komponen tubuh lainnya dari radikal bebas dengan cara menetralisirnya

(Pham-Huyet al., 2008). Berdasar sumbernya, antioksidan digolongkan

menjadi dua, yaitu antioksidan endogen dan antioksidan eksogen.

Antioksidan endogen dihasilkan oleh tubuh, berupa enzim yang mengubah

radikal bebas menjadi radikal bebas lain atau senyawa lain yang tidak

berbahaya, contohnya adalah superoxide dismutase, catalase (CAT) dan

glutathione peroxidase (GPx)(Birben et al., 2012; Krishnamurthy dan

Wadhwadani, 2012). Antioksidan eksogen merupakan senyawa-senyawa

yang berasal dari luar tubuh yang memiliki kemampuan antioksidan

(Birben et al., 2012; Krishnamurthy dan Wadhwadani, 2012).Antioksidan

eksogen berupa mikromolekul yang merupakan antioksidan non-enzimatik

16

yang membantu aktivitas enzim, meliputi antara lain glutation, asam

pantotenat, koenzim Q 10, karnitin, vitamin A, E, C, B kompleks dan

mineral seperti seng, selenium, copper, dan krom (Walczak-Jedrzejowska

et al., 2012).

Secara kinetis, antioksidan diklasifikasikan menjadi 6 kategori:

1. Antioksidan yang memutus rantai dengan cara bereaksi dengan

radikal peroksil yang mempunyai ikatan O-H atau N-H yang lemah:

fenol, naftol, hidroquinon, amin aromatik dan aminofenol.

2. Antioksidan yang memutus rantai dengan cara bereaksi dengan

radikal alkil: quinon, nitron, imiquinon.

3. Antioksidan yang memecah Hidroksi peroksida: sulfide, fosfida,

tiofosfat.

4. Antioksidan yang me-non-aktivkan logam: diamin, asam hidroksil

dan bifunctional compounds.

5. Antioksidan yang menghentikan reaksi berantai: amin aromatik,

radikal nitroksil, senyawa logam dengan berbagai valensi.

6. Kerja sinergis dari beberapa antioksidan: sulfida fenol dimana gugus

fenol bereaksi dengan radikal peroksil dan gugus sulfida dengan hidro

peroksida (Flora, 2009).

Upaya mempertahankan keseimbangan status oksidatif lazimnya

dilakukan dengan pemberian antioksidan non-enzimatik, sedangkan

pemberian antioksidan enzimatik seperti SOD dan CAT pernah dilakukan

pada hewan coba namun menemui kegagalan karena kurangnya

17

kemampuan menembus blood-brain-barrier dan membran sel

(Kanunnikova et al., 2012).

Toksisitas akibat antioksidan mungkin saja terjadi dan berakibat pada

ablasi fungsi pertahanan tubuh oleh antioksidan, termasuk fagositosis

terhadap antimikroba, detoksifikasi oleh kompleks sitokrom P-450 dan

apoptosis terhadap sel yang tidak diinginkan (Wahlquist, 2013). Toksisitas

antioksidan yang pernah dilaporkan adalahpemberian vitamin C, pada

kondisi kadar besi yang tinggi vitamin C merupakan mediator potensial dari

peroksidasi lipid, berisiko menjadi oksidan yang bersifat toksik dengan

mereduksi logam seperti besi pada reaksi Fenton (Wahlqvist, 2013).

Pemberian β-Carotene (prekursor vitamin A) sebagai suplemen terisolasi

dilaporkan berisiko menimbulkan kanker (Wahlqvist, 2013).

Hipervitaminosis A juga dilaporkan mestimulasi pembentukan ROS pada

berbagai jaringan tubuh (Aitken dan Roman, 2008).

2.5 Sel Leydig

Sel Leydig merupakan tipe sel spesifik dari testis, ditemukan oleh

Frans Leydig pada tahun 1850, berperan memproduksi androgen dan faktor

lain yang bertanggung jawab terhadap sifat maskulin individu. Terdapat

dua populasi sel Leydig pada sebagian besar mamalia yang dibedakan

berdasar kemampuannya dalam memproduksi androgen selama

perkembangan testis, yaitu Fetal Leydig Cells (FLCs) dan Adult Leydig

Cells (ALCs)(Chen et al., 2009; Svechnikov et al., 2010). Pembentukan

FLCspada tikus dimulai pada hari ke-14,5masa embrionik dan pada

18

manusia pada minggu ke-7-8 masa gestasi (Svechnikov et al.,

2010).Jumlahnya meningkat selama perkembangan embrionik terlepas dari

fakta bahwa diferensiasi FLCs inaktif secara mitotik, sehingga diduga

peningkatan FLCs terjadi lebih cenderung sebagai akibat diferensiasi sel

progenitor dibanding sebagai hasil pembelahan FLCs yang sudah

ada.FLCssecara bertahap digantikan olehALCs pada akhir masa fetus,

populasi ALCsterutama berkembang dari undifferentiated mesenchymal-like

stem cells yang berada di jaringan interstitial testis neonatal melalui 4 tahap

perkembangan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Tahap Perkembangan Adult Leydig Cells

(Modifikasi Chenet al., 2013)

Stem Leydig Cells adalah sel yang belum berdiferensiasi yang

mempunyai kemampuan memperbarui diri, berdiferensiasi dan mengisi

ketiadaaan sel Leydig, Progenitor Leydig Cells berasal dari Stem Leydig

Cells, berbentuk spindle, merupakan reseptor positif dari Luteinizing

Hormone (LH), mempunyai aktivitas mitotik yang tinggi dan memproduksi

testosteron dalam jumlah kecil, lebih dominan pada metabolit testosteron.

Progenitor Leydig Cells kemudian berkembang menjadi Immature Leydig

Cellsyang berbentuk bulat dan mengandung banyak retikulum endoplasma

halus, memproduksi lebih banyak Testosteron dan metabolitnya.

19

Selanjutnya Immature Leydig Cells akan berkembang menjadi ALCs (Chen

et al., 2009). Bertambahnya jumlah sel Leydig sebelum dan pada masa

pubertas terjadi melalui dua mekanisme yaitu diferensiasi dari sel-sel

mesenkim (precursor) dan pembelahan mitosis dari bentukan baru sel

Leydig (Chen et al., 2009).

Sel Leydig dewasa sering beragregasi dalam kelompok kecil di antara

tubulus (ruang interstisial) bersama-sama dengan fibrosit, pembuluh darah,

pembuluh limfe, dan sejumlah besar leukosit, terutama makrofag, diikuti

kemudian dengan Limfosit T dan sel Mast (Meinhardt, 2006). Sel Leydig

berbentuk polyhedral dengan diameter 15 - 20 µm. Sitoplasma dari sel

Leydig merupakan tempat berlangsungnya steroidogenesis, di dalamnya

terdapat banyak organela retikulum endoplasma halus dan mitokondria

yang merupakan ciri khas dari sel yang mensintesis hormon steroid.

Sitoplasma sel Leydig berwarna merah muda, mengandung lipid, pigmen

lipokrom dan kristal Reinke, intinya bulat dengan nukleoli yang jelas dan

sering terhubung dengan serabut saraf (Meinhardt, 2006).Diduga

peningkatan jumlah lipid droplet, kristal-kristal, dan vakuola pada

sitoplasma sel Leydig menunjukkan penurunan kualitas sel Leydig yang

terjadi akibat proses penuaan (aging) (Chen et al., 2009).

2.6 Sel Sertoli

Sel sertoli adalah sel somatik post mitotik yang memanjang dari

membran basal tubulus seminiferus hingga ke lumen, dengan kuat

menyokong ramifikasi sitoplamik dan dikelilingi oleh sel-sel germinal,

20

berperan sebagai blood-testis-barrier dalam epitel tubulus seminiferus

(Meinhardt, 2006). Fungsi dari sel Sertoli adalah menyokong dan

menstimulasi perkembangan dan diferensiasi sel germinal (sel

spermatogenik) dengan memediasi stimulasi hormonal, menutrisi

spermatosit, spermatid dan sperma, memfagosit kelebihan sitoplasma

spermatid selama proses perkembangan, mengkontrol mobilisasi sel

spermatogenik dan pelepasan sperma ke dalam lumen tubulus seminiferus,

selain itu juga memproduksi cairan untuk transport sperma, mensekresi

hormon inhibin serta mengatur efek testosteron dan Follicle Stimulating

Hormone (FSH). Terkait dengan fungsi yang terakhir, sel Sertoli

merupakan satu-satunya tipe sel dalam tubulus seminiferus yang

mengekspresikan membrane-bound FSH receptor (FSHR) dan nuclear

androgens receptor (AR) (Meinhardt, 2006; Tortora dan Derrickson, 2009).

Perkembangan sel germinal pada mamalia mutlak tergantung pada

keberadaan sel Sertoli karena perannya dalam diferensiasi dan

perkembangan fungsi testis. Jumlah sel Sertoli merupakan faktor paling

penting dalam menentukan besarnya produksi sperma (Schulz et al., 2005).

Proliferasi postnatal dari sel Sertoli pada mamalia terutama terjadi

hanya jika terdapat spermatogonia di dalam epitel seminiferus dan berhenti

bila spermatosit primer mulai berproliferasi, jadi pada mamalia termasuk

manusia dan tikus tidak terjadi proliferasi sel Sertoli setelah pubertas dan

aktivitas mitotik berhenti setelah gelombang pertama spermatogenesis

berlangsung (Schulz et al., 2005).

21

2.7Monosodium Glutamate

Monosodium glutamate (MSG) merupakan garam sodium dari (L-)

Glutamic acid, bentuk murninya menyerupai bubuk kristal (Ault, 2004).

Gambar 2.3 Monosodium Glutamate (Dokumen pribadi)

Rumus kimia MSGmenurut International Union of Pure and Applied

Chemistry nomenclature (IUPAC) adalah C5H8NNaO4 dengan struktur

molekul sebagai berikut :

Gambar 2.4 Struktur kimia MSG(Ault, 2004)

Kandungan MSG terdiri dari asam glutamate, sodium, dan air (Eweka

dan Adjene, 2007).

Asam glutamat pertama kali diisolasi sebagai substansi murni pada

tahun 1866 oleh seorang ahli kimia Jerman, Ritthausen melalui hidrolisis

asam dari Gliadin, suatu komponen dari gluten gandum. Ahli kimia

berkebangsaan Jepang, Dr. Kikunea Ikeda pada 1908 menemukan bahwa

22

asam glutamat-lah yang berefek menguatkan rasa dari rumput laut “kombu”

atau Laminaria japonicayang biasa digunakan dalam masakan (sup) Jepang

selama berabad-abad, kemudian pada tahun 1909 proses isolasi MSG dari

tepung gandum dipatenkan dan mulai diproduksi MSG secara komersial

dengan nama Ajinomoto (at the origin of flavor) (Ault, 2004).

Menurut Walker dan Lupien di tahun 2000, MSG modern untuk

keperluan komersial diproduksi dengan memfermentasikan starch, gula,

bit, sugarcane atau molasses(Sakr dan Badawy, 2013).

Glutamat merupakan asam amino yang paling banyak dijumpai di

alam dan merupakan komponen utama protein dan peptida pada jaringan,

selain itu juga diproduksi di dalam tubuh dan berperan penting dalam

metabolisme (Eweka dan Adjene, 2007). Glutamat juga memiliki fungsi

sebagai eksitator neurotransmitter pada sistem saraf pusat mamalia,

berperan penting baik dalam proses fisiologis maupun patologis (Noor dan

Mourad, 2010).

Metabolisme MSG serupa dengan asam glutamat dari protein diet

normal karena dalam suasana lambung yang asam MSG dipresentasikan

sebagai asam glutamat (Ault, 2004). Bersama dengan aspartat, asam

glutamat akan dimetabolisme dengan cepat dalam usus dan hati, kemudian

glutamat yang diserap akan ditransaminasikan dengan piruvatke bentuk

alanin. Alanin bersama asam amino dikarboksilat menghasilkan

aketoglutarat atau oksaloasetat. Proses ini menyebabkan menurunnya asam

amino dikarboksilat yang dilepaskan dalam sirkulasi portal. Glutamat dan

23

aspartat yang lolos dari mukosa dibawa melalui vena porta ke hati, sebagian

glutamate dan aspartat dikonversikan oleh usus dan hati ke bentuk mukosa

dan laktat kemudian dialirkan ke dalam sirkulasi perifer (Sukawan, 2008).

Asam glutamat yang diabsorbsi, 57% dikonversikan menjadi urea di hati,

6% menjadi protein plasma, 23% diserap melalui sirkulasi sebagai asam

amino bebas dan 14% sisanya belum diketahui secara pasti namun diduga

disimpan dalam hati sebagai protein hati atau enzim (Sukawan, 2008).

Penggunaan MSG dalam dosis optimal bermanfaat meningkatkan

transmisi impuls saraf untuk mendukung fungsi koordinasi dan regulasi

tubuh, dan pada lansia dengan penurunan sensitivitas kemosensoris

bermanfaat untuk memelihara intake nutrient (Beyreuther et al., 2007; Noor

dan Mourad, 2010). Namun penggunaan berlebihan ataudalam waktu yang

lama dapat berefek sitotoksik, genotoksikdan mengakibatkan stres oksidatif

pada manusia dan hewan percobaan (Noor dan Mourad, 2010). Diduga

MSGsecara langsung berefek menyebabkan peningkatan ROS yang

dipresentasikan dengan peningkatan peroksidasi lipid (Okwudiriet al.,

2012). Berdasarkan pertimbangan adanya risiko dari intake MSG

berlebihan maka WHO menetapkan Acceptable Daily Intake (ADI) untuk

MSG yaitu 120 mg/kg berat badan namun pada tahun 1987 ketetapan itu

dicabut kembali sehingga tidak ada batasan pasti mengenai penggunaan

MSG(Jinap dan Hajeb, 2010).Tidak adanya pembatasan resmi inilah yang

diduga berdampak pada meningkatnya konsumsi MSG karena produsen

makanan maupun konsumen beranggapan MSG aman dikonsumsi

24

berapapun jumlahnya. Hal serupa terjadi juga di Indonesia, Peraturan

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 23 tahun 2013tidak

menyebutkan berapa batasan maksimum penggunaan bahan tambahan

pangan penguat rasa seperti yang dicantumkan di Lampiran 2.

Sekitar 80% protein dalam diet normal mengandung ± 15 gram asam

glutamat (per 100 gram protein), maka sesungguhnya manusia tidak

memerlukan tambahan MSG sebagai penyedap rasa karena alasan

kesehatan (Ault, 2004).

Hingga saat ini efek toksik MSG pada hewan coba yang sudah diteliti

adalah meliputi kelainan atau kerusakan sistem saraf pusat, kelenjar

endokrin termasuk hipotalamus dan gonad, defek metabolik dan masih

banyak lagi (Nayanatara et al, 2008; Noor dan Mourad, 2010).

Pemberian MSG 4 mg/gBB secara intraperitoneal pada tikus selama 6

hari menunjukkan penurunan aktivitas catalase di hipokampus dan korteks

sedangkan pemberian MSG dosis yang sama selama 4 minggu menurunkan

aktivitas glutathion s-transferase (GST) dan jumlah glutation tereduksi

pada korteks otak (Noor dan Mourad, 2010).Penelitian terhadap ginjal tikus

yang mendapat MSG4 g/kgBB selama 10 hari membuktikan adanya cidera

seluler karena kerusakan oksidatif akibat terbentuknya reactive oxygen

species (ROS) yang terakumulasi menjadi stres oksidatif, disertai

peningkatan kadar lipid peroksidasi, peningkatan aktivitasGST,

penurunanSOD, dan catalase (CAT)(Okwudiri et al., 2012).

25

(Sumber: Okwudiriet al., 2012)

Efek toksik MSGyang secara khusus diteliti pada organ testis tikus

dilakukan tahun 2006 pada tikus dewasa menunjukkan apoptosis sel

germinal, penurunan diameter tubulus seminiferus, penurunan jumlah sel

Leydig dan sel Sertoli, penurunan LH dan FSH serta peningkatan hormon

leptin (Franca et al., 2006).

PemberianMSG4g/kg berat badan secara intraperitoneal selama 15

hari (jangka pendek) dan 30 hari (jangka panjang)pada tikus jantan

berakibat pada penurunanjumlah spermanormal (oligozoospermia) dan

kadar vitamin C(Nayanataraet al., 2008).

Penelitian terhadap 48 tikus albino dewasa yang dibagi menjadi

Kelompok Kontrol yang diberi normal saline dan Kelompok Perlakuan

yang diberi MSG 4 mg/kg berat badan selama 14 harimenunjukkan

perbedaan bermakna pada parameter morfometrik testis antara 2

kelompok.Hasil menunjukkan adanya penurunan diameter tubulus,

berkurangnya tinggi epitel tubulus seminiferus, penurunan jumlah sel

Leydig, berkurangnya ketebalan lamina propria dan penurunan diameter

Tabel 2.1

Efek Pemberian MSG Terhadap Marker Stres Oksidatif

(Peroksida lipid, Glutation, GST, SOD, dan Katalase)

26

pembuluh darah secara bermakna padaKelompok Perlakuan seperti yang

disajikan dalam Tabel 2.2 (Nosseir et al., 2012).

Tabel 2.2

Efek MSG pada Testis Tikus Albino Dewasa

(Sumber: Nosseir et al.,2012)

Penelitian Nosseir tersebut menguatkan hasil penelitian yang

dilakukan di Indonesia yang menunjukkan gangguan kualitas dan kuantitas

sel Leydig tikus putih jantan dewasa yang diberi MSG 4.8dan 9.8 g/kg berat

badan/hari per oral selama satu siklus spermatogenesis, namun tidak pada

pemberian MSG 2.4 g/kg berat badan/hari (Suryadi et al., 2007).

Perubahan histologis testis ditunjukkan dengan hilangnya sel

spermatogenik, atropi/deformasi tubulus seminiferus, sel Sertoli berkurang

jumlahnya dan terlepas dari lamina basalis yang irregular, terdapat materi

hyalin dalam lumen tubulus dan jaringan penyambung interstitial,

vakuolisasi intrasel pada stroma dan fibrosis peritubular, perdarahan

intertubulus, jumlah sel Leydig berkurang dan intinya menjadi piknotik

(Franca et al., 2006; Suryadi et al., 2007; Nosseir et al., 2012; Sakr dan

Badawy, 2013).

Gejala toksisitas MSG pada manusia yang pernah dilaporkan adalah

rasa kebas, lemah, flushing, berkeringat banyak, dizziness dan sakit kepala

27

(Alalwani, 2014). Oforuofo pada tahun 1997 melaporkan pula bahwa MSG

mengakibatkan gangguan fertilitas pada manusia (pria) dengan

menimbulkan perdarahan dalam jaringan testis, degenerasi dan perubahan

jumlah maupun bentuk sperma (Eweka dan Adjene, 2007; Alalwani, 2014).

Gambar 2.5 Gambaran Histologist Testis Normal, LC : Leydig cell,

SC: Sertoli cell (Alalwani, 2013)

Gambar 2.6 Perubahan Histologis Testis Tikus Wistar Akibat MSG

(Alalwani, 2013)

28

2.7.1 Mekanisme KerjaMSG dalam Menimbulkan Kerusakan

Oksidatif

Monosodium Glutamate (MSG) merupakan agen yang dapat

menimbulkan radikal bebas yang bersifat merusak jaringan. Intake MSG

yang berlebihan akan menyebabkan kadar glutamat berlebihan di dalam

sirkulasi dan jaringan karena dalam suasana lambung yang asam MSG

dipresentasikan sebagai asam glutamat dan akan dimetabolisme sama

seperti asam glutamat dari protein diet normal (Ault, 2004). Kadar glutamat

yang optimal bermanfaat untuk fungsi fisiologis yaitu meningkatkan

transmisi impuls saraf untuk mendukung fungsi koordinasi dan regulasi

tubuh, dan pada lansia dengan penurunan sensitivitas kemosensoris

bermanfaat untuk memelihara intake nutrient (Beyreuther et al., 2007; Noor

dan Mourad, 2010). Namun penggunaan berlebihan atau dosis kecil dalam

waktu yang lama dapat berefek sitotoksik, genotoksik dan mengakibatkan

stres oksidatif pada manusia dan hewan percobaan (Noor dan Mourad,

2010). Glutamat di dalam jaringan akan berikatan dengan reseptor NMDA

(N-Methyl-D-Aspartate) yang kemudian menimbulkan depolarisasi

membran sel sehingga terjadi influx Ca2+ ke dalam sel (Beyreuther et al.,

2007). Kadar Ca2+ yang berlebihan di dalam sel akan mengaktifkan

konversi Xanthine Dehydrogenase(XDH) menjadi Xanthine Oxidase,

mengaktifkan Nitric Oxide Syntase (NOS) sehingga produksi Nitric Oxide

(NO) meningkat, mengaktifkan Phospolipase A2 dan Cyclooxygenase 2

yang meningkatkan pembentukan radikal bebas dan pelepasan asam

29

arakhidonat, selain itu juga meningkatkan kadar radikal hidroksil melalui

reaksi Fenton dan reaksi Haber Weiss. Mekanisme-mekanisme tersebut

menginduksi peroksidasi lipid dan oksidasi protein, DNA maupun RNA

yang disertai cidera oksidatif (Liu, 2002).

Peroksidasi lipid merupakan mekanisme autokatalisis yang menjadi

indikator utama dari kerusakan oksidatif (Noor dan Mourad, 2010;

Okwudiri et al., 2012). Peroksida lipid yang terbentuk akan menyebabkan

perubahan fluiditas dan integritas membran dan menimbulkan kebocoran

ion keluar melalui membran sel. Jadi aktivitas ROS dalam menimbulkan

kerusakan oksidatif dapat terjadi melalui oksidasi langsung dari protein

bebas maupun yang terikat asam amino sehingga menginaktivasi enzim,

berikatan dengan reseptor dan merusak struktur protein (Liu, 2002; Birben

et al., 2012).

Penurunan antioksidan jaringan juga terjadi setelah pemberian MSG

pada hewan coba yaitu Vitamin C,reduced glutathione (GSH), superoxide

dismutase (SOD)dan catalase(Nayanatara et al., 2008; Okwudiri et al.,

2012).

Turunnya kadar antioksidan jaringan menimbulkan keseimbangan

oksidatif terganggu, bila berlanjut akan terjadi kerusakan oksidatif dengan

meningkatnya kematian sel (Keller dan O’Connor, 2010).

2.8. Dexpanthenol

Dexpanthenol (D-panthenol; D-panthotenyl alcohol; Panthenol; pro

vitamin B5) adalah analog asam pantotenat dalam alkohol (bentuk liquid)

30

yang akan diubah menjadi asam pantotenat di dalam jaringan (Gregory dan

Kelly, 2011;Altintas et al.,2012). Asam pantotenat yang pertama kali

dideskripsikan sebagai Lactobacillus bulgaricus growth factor, adalah

salah satu keluarga vitamin B yang merupakan nutrisi esensial bagi semua

sel hidup. Nama asampantotenat berasal dari bahasa Yunani yaitu

pantothen (pantoyen) yang artinya from everywhere, karena sejumlah kecil

panthetheine dapat ditemukan pada hampir semua jenis makanan (Eidi et

al., 2012). Hanya asam pantotenat dalam bentuk D(+) yang aktif secara

biologis atau mempunyai aktivitas sebagai vitamin(O’Neil, 2006). Bentuk

alkohol dari asam pantotenat ini merupakan bentuk yang lebih stabil

sehingga lebih dimanfaatkan sebagai sumber vitamin dalam suplemen

multivitamin, kelebihan lain dari panthenol adalah lebih cepat diabsorbsi

daripada bentuk asam (Buhler, 2002; Norris dan Ringrose, 2008).

Rumus kimia dari Dexpanthenol adalah C9-H19-N-O4, sedangkan

struktur kimianya adalah sebagai berikut :

Gambar 2.7 Struktur kimia Dexpanthenol (Buhler, 2002)

Dexpanthenol berbentuk viscous liquid, memiliki berat molekul

205,25 g/mol, pH nya 9,5, larut dengan mudah dalam methanol, air dan

alkohol, dan sedikit larut dalam eter, sedangkan rasanya sedikit

pahit(O’Neil, 2006).

31

Sumber asam pantotenat di alam adalah whole-grain cereals,

legumes, telur dan daging (Eidi et al., 2012).

Dexpanthenol dosis oral diabsorbsi dengan cepat sekitar 40-63%, siap

untuk dikonversi menjadi asam pantotenat yang secara luas terdistribusi

dalam jaringan tubuh terutama sebagai koenzim A dan metabolit asam

pantotenat lainnya dalam 6 jam (Gregory dan Kelly, 2011).

Dexpanthenol atau asam pantotenat pertama kali digunakan sebagai

kosmetik dalam bentuk topikal atau injeksi untuk membantu proses wound

healing, hingga sekarang masih populer dalam pengobatan dermatosis dan

skin care terkait dengan kemampuannya menstimulasi epitelialisasi,

granulasi, anti pruritik dan anti inflamasi (Gregory dan Kelly, 2011).

Sesungguhnya disinyalir terdapat lebih banyak lagi kegunaan

Dexpanthenolkarena asam pantotenat terlibat dalam sejumlah reaksi

biologis termasuk dalam memproduksi energi, katabolisme asam lemak dan

asam amino, sintesis asam lemak, fosfolipid, sphingolipids, kolesterol,

sintesis asam amino seperti leusin, arginin, dan methionin, sintesis hormon

steroid, sintesis heme dan neurotransmiter asetilkolin (Eidi et al., 2012).

Sebagai prekursor koenzim A (Co. A), asam pantotenat dan derivatnya

melindungi sel dan seluruh organ dari kerusakan peroksidatif dengan cara

meningkatkan kadar glutation sel. Asam pantotenat dan derivatnya di dalam

tubuh diubah menjadi Co A dengan bantuan enzim pantotenat kinase yang

menyebabkan kadar Co Asel terutama di dalam mitokondria meningkat

32

sehingga produksi energi dan sintesis ATP juga meningkat dan pada

akhirnya meningkatkan sintesis glutation (Altintaset al., 2012).

Pendapat ini dikuatkan oleh sumber lain menyebutkan bahwa asam

pantotenat dan derivatnya diketahui mempunyai peran penting dalam

meningkatkan kadar Co A, ATP danGSH yang semuanya berperan besar

dalam pertahanan seluler dan sistem perbaikan melawan stres oksidatif dan

inflamasi (Altintas et al., 2012).

Suatu penelitian membuktikan aktivitas hepatoprotektif dari asam

pantotenat/Dexpanthenol terhadap sel-sel hati tikus yang rusak oleh CCL4

dan penelitian lain membuktikan kemampuanDexpanthenol memperbaiki

kerusakan jaringan ginjal tikus yang mengalami iskemi, dari penelitian-

penelitian tersebut dilaporkan dosis Dexpanthenol yang memberikan respon

terapi adalah mulai 500 mg/kg berat badan (Altintas et al., 2012).

D-Dexpanthenol 1 gram setara dengan 1068 mg D-pantothenic acid,

artinya 1 gram D-pantothenic acid setara dengan 936 mg D-

dexpanthenol(Buhler, 2002).

Dietary Reference Intake (DRI) dari asam pantotenat dapat dilihat

pada Tabel 2.2, sedangkan batas suplementasi adalah 100 – 1000 mg/hari

terbagi dalam 2-3 dosis (Gregory dan Kelly, 2011).

33

Tabel 2.3

Dietary Reference Intake (DRI)Asam Pantotenat

(Sumber : Gregory dan Kelly, 2011)

Defisiensi dari asam pantotenat/derivatnya pada tikus berakibat pada

hilangnya warna bulu (pada tikus hitam/coklat), pada ayam dapat terjadi

dermatitis dan pada mencit lebih beragam seperti kehilangan berat badan,

poor grooming, kehilangan bulu, eksudasi sekitar mata, diare dan hind leg

paralyses. Tanda defisiensi yang selalu konsisten ditemukan adalah

perubahan morfologi dan fungsi adrenal secara progresif, atropi timus,

pembesaran limpa,dan lymphopenia diikuti lymphocytosispada mencit,

sedangkan pada tikus jantan terjadi peningkatan berat testis, penurunan

motilitas sperma dan penurunan testosteron serta kortikosteroid plasma.

Defisiensi asam pantotenat pada manusia menimbulkan gejala numbness,

burning sensation pada kaki yang dapat membaik dengan suplementasi

asam pantotenat, selain itu secara konsisten ditemukan adanya triad of

fatique, gangguan gastrointestinal, gangguan tidur, dan perubahan

kepribadian serta gangguan emosi (Gregory dan Kelly, 2011).

Tanda-tanda toksisitas asam pantotenat yang ditemukan adalah

kehilangan berat badan pada tikus dengan pemberian > 2000 mg/kg berat

34

sedangkan dosis lethal dari asam pantotenat yang dilaporkan adalah 10.000

mg/kg berat badanpada tikus dan mencit (Gregory dan Kelly, 2011). Tidak

ada efek tambahan yang pernah dilaporkan terkait pemberian asam

pantotenat berlebihan pada manusia, pada pemberian 10g/hari hanya

menimbulkan diare dan distres intestinal yang ringan (Norris dan Ringrose,

2008).

Berdasarkan penelitian, penggunaan Dexpanthenol dilaporkan

memiliki tingkat keamananyang luas(Altintas et al., 2012).

2.9Glutation

Glutation merupakan protein yang paling banyak mengandung thiol

pada sel dan organ. Ditemukan dalam bentuk tereduksi dan teroksidasi di

dalam sel. Kadar glutation yang tinggi dan potensi reduksi/oksidasinya

yang tinggi menjadikan glutation sebagai antioksidan yang kuat dan

menjadi first defense line dalam melawan radikal bebas (Ashtiani et al.,

2011).

Mekanisme kerja glutation dalam melindungi sel/jaringan adalah

dengan bertindak sebagai antioksidan, detoxifier, regulator, dan berperan

dalam fungsi imun (Ashtiani et al., 2011).

Aktivitas glutation sebagai antioksidan sebagian besar diperankan

oleh reaksi yang dikatalisis oleh GPx dimana terjadi penurunan

peroksidahidrogen dan peroksida lipid selama oksidasi GSH menjadi

GSSG. Sebaliknya GSSG dapat tereduksi kembali menjadi GSH oleh GSSG

reduktase pada pemakaian NADPH dalam siklus redoks. Peroksida organik

35

juga dapat dikurangi oleh GPx dan GST. Catalase dapat mengurangi

hidrogen peroksida namun terbatas hanya dalam peroksisom, hal ini

menjadikan glutation penting bagi mitokondria dalam bertahan melawan

stres oksidatif yang terbentuk secara fisiologis maupun patologis seperti

dipaparkan dalam Gambar 2.8 (Lu, 2013).

Gambar 2.8 Glutation Sebagai Antioksidan (Lu, 2013 )

Sebagai detoxifier, glutation menggunakan materi sel untuk

menyingkirkan racun dari obat, insektisida, logam berat, dan bahan

xenobiotic lainnya serta menetralkan racun tersebut sebelum sempat

bereaksi dengan komponen sel seperti asam nukleat dan protein (Ashtiani et

al., 2011).

Peran glutation dalam fungsi regulasi dilakukan dengan mengatur

turn over protein, memelihara stabilitas protein ekstrasel, memelihara stem

sistein dalam melawan oksidasi, mengatur berbagai enzim dan agen

reproduksi (Ashtiani et al., 2011). Sumber lain menyebutkan glutation

36

memodulasi pertumbuhan dan kematian sel dengan mengatur siklus sel (Lu,

2013).

Meskipun belum ditetapkan secara pasti namun peran glutation dalam

sistem imun diduga melalui kemampuannya meningkatkan aktivasi

Limfosit T sitotoksik dan CD 8+ yang serta menurunkan aktivitas CD4+

(Ashtiani et al., 2011).

Penurunan kadar glutation dapat terjadi pada kondisi stres

berkepanjangan, meningkatnya pembentukan radikal bebas dan

hiperaktivitas sistem imun(Keller dan O’Connor, 2010).

Kehilangan GSH berakibat fatal, yaitu kematian sel yang kemudian

menimbulkan kerusakan jaringan(Keller dan O’Connor, 2010).

Pemberian GSH secara intravena memiliki kekurangan karena

umurnya dalam plasma manusia sangat pendek (<3 menit) dan sukar

menembus membran sel sehingga memerlukan dosis yang tinggi untuk

mencapai efek terapetik (Cacciatore et al., 2010).Pemberian GSH per oral

tidak dianjurkan karena tidak diabsorbsi oleh sebagian besar sel mamalia

dan tidak mengisi kehilangannya dalam sel. Selain itu GSH per oral terlalu

mahal dan tidak nyaman sehingga dibuat alternatif cara untuk

meningkatkan kadar glutation dalam sel yaitu dengan suplementasi L-

cystein, N-acetyl cystein (NAC) danglutation ester(Keller dan O’Connor,

2010).Namun upaya tersebut masih menemui kendala karena suplementasi

L-cystein dapat berakibat toksik. Sementara pemberian NACterkendala oleh

adanya gangguan fungsi digestif sehingga sistem uptake sel terganggu dan

37

secara langsung menghambat sintesis GSH(Keller dan O’Connor,

2010).Selain itu NAC dalam jangka lama dapat menimbulkan pertumbuhan

jamur berlebihan sementara glutation ester in vivo rentan berubah menjadi

alkohol ketika ikatan esternya terlepas dan keamanannya dalam jangka

panjang belum memuaskan(Keller dan O’Connor, 2010).

2.10 Hewan Coba

Penelitian ilmiah pada hewan lebih sering menggunakan hewan coba

berupa tikus karena memiliki daya adaptasi yang baik. Kelebihan tikus

daripada hewan percobaan lain, yaitu tidak dapat muntahkarena struktur

anatomi muara esofagus kedalam lambung tidak lazim sehingga

mempermudah proses pencekokan dengan sonde lambung dan tidak

mempunyai kantong empedu (Krinke,2000).

Tikus Norwegia(Rattus norvegicus)galur Wistar paling sering

digunakan karena mudah dipelihara, mudah ditangani, tidak terlalu agresif,

relatif sehat, dan cocok untuk berbagai macampenelitian (Koolhaas, 2010).

Konversi umur tikus putih galur Wistar dengan manusia berbeda pada

tiap fasenya. Berdasarkan total life span, 13,8 hari tikus setara dengan 1

tahun manusia, berdasarkan fase pubertas, 3,3 hari tikus setara dengan 1

tahun manusia dan pada fase dewasa, 11,8 hari tikus setara dengan 1 tahun

manusia (Sengupta, 2011).

Tikus putih galur Wistarmengalami descent of testes pada usia 15-50

hari, matur secara seksual pada usia 40-50 hari, aktif secara seksual pada

usia 90-120 hari dan berhenti kawin pada usia 9-24 bulan (Koolhaas, 2010).

38

Tikus putih galur Wistardiketahui mempunyaisistem organ

menyerupai manusia sehingga dengan menggunakan tikus diharapkan

hasilnya dapatdigeneralisasi pada manusia (Suryadi et al., 2007).

2.11 Hasil Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan pada12 tikus putih galur Wistar

yang dibagi menjadi 3 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 3 sampel

dengan cadangan masing-masing kelompok 1 ekor tikus, semua tikus diberi

MSG 4g/kgBB/hari dengan sonde, Kelompok 1 diberi plasebo aquadest

secara intraperitoneal 2x/minggu, Kelompok 2 diberi Dexpanthenol 500

mg/kgBB tikus 2x/minggu, dan Kelompok 3 diberi Dexpanthenol 1000

mg/kgBB tikus 2x/minggu. Setelah 14 hari, dari setiap kelompok diambil

satu sampel untuk dikurbankan dan diambil testisnya untuk dibuat preparat

histologi. Perlakuan tetap dilanjutkan pada sisa sampel sampai hari ke-21,

kemudian sampel dikurbankan dan diambil jaringantestisnya untuk dibuat

preparat histologi. Preparat yang dibuat kemudian dihitung jumlah sel

Leydig dan sel Sertolinya untuk selanjutnya dianalisis secara statistik.

Berdasarkan hasil analisis statistik, perlakuan yang mulai memberikan

respon terapi bermakna adalah pemberian Dexpanthenol 1000 mg/kgBB

selama 14 hari (Hartati, 2015).