BAB II TUJUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Profitabilitas ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan ...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tujuan Pembangunan Wilayah
Wilayah merupakan suatu unit dari geografi yang dibatasi oleh
parameter tertentu dan bagian-bagiannya tergantung secara internal.
Wilayah dibagi berdasarkan homogenitas tertentu yang membedakan
antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Tujuan dari
dibentuknya perwilayahan adalah untuk mensifatkan dan memberi arti
terhadap bermacam-macam wilayah, serta untuk mengetahui adanya
kemungkinan pengembangan suatu wilayah (Bappenas, 2008).
Pembangunan wilayah yang ideal adalah pembangunan wilayah
yang seimbang antar wilayah baik perkotaan maupun dengan perdesaan,
antar wilayah barat dan timur Indonesia. Konsep pembangunan daerah
atau wilayah ini diuraikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang bertujuan
sebagai upaya mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan
antarwilayah, termasuk juga didalamnya ketidakseimbangan kewenangan
dan keuangan antara pusat dan daerah (Kuswandi, 2012).
Keberimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitab
yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah,
dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah
secara merata. Tujuan ideal dari pembangunan wilayah yang seimbang
diharapkan dapat tercapai secara bertahap dan akhirnya tercapai pada
7
kondisi ideal dari pembangunan wilayah tersebut. Dalam hal ini maka
diperlukan komitmen dari pemerintah, swasta dan masyarakat secara
bersama-sama untuk mewujudkan pembangunan wilayah yang seimbang.
Secara umum pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk:
(a) Mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat
pertumbuhannya; (b) Memperkokoh kesatuan ekonomi nasional, serta (c)
Memelihara efisiensi pertumbuhan nasional (Budianta, 2010). Dalam
rangka pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah, telah diupayakan
pelaksanaan otonomi daerah (otoda) dengan mempertimbangkan
kemampuan pembangunan daerah yang bersangkutan.
2.1.2 Kebijakan Pembangunan Wilayah
Landasan hukum kebijakan pembangunan wilayah di Indonesia
terkait dengan penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu
pada UU tentang Penataan Ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum
yang berisi kewajiban setiap provinsi, kabupaten dan kota menyusun tata
ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan pembangunan daerah. Rencana
tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat
umum sampai tingkat yang sangat perinci seperti dicerminkan dari tata
ruang tingkat provinsi, kabupaten, perkotaan, desa dan bahkan untuk tata
ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau-pulau
kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya. Kewajiban daerah menyusun tata
ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah
(Damayanti, 2010).
8
Pelaksanaan otonomi daerah dalam pembangunan wilayah
diharapkan dapat mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan
mengembangkan fungsi dan peran kelembagaan (legislatif) di daerah.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan guna membantu
mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah antara lain sebagai
berikut:
(a) Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-
wilayah strategis dan cepat tumbuh yang selama ini masih belum
berkembang secara optimal, sehingga dapat menjadi motor penggerak
bagi wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem
wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis;
(b) Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan
wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah
tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat
mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain;
(c) Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah
kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi
inward looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan
perdagangan dengan negara tetangga, baik dengan menggunakan
pendekatan pembangunan melalui peningkatan kesejahteraan
(prosperity approach) maupun keamanan (security approach);
9
(d) Menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota
metropolitan, besar, menengah dan kecil secara hierarki dalam suatu
sistem pembangunan perkotaan nasional;
(e) Meningkatkan keterkaitan kegiatan ekonomi yang berada di wilayah
perdesaan dengan yang berada di perkotaan;
(f) Mengoperasionalisasikan „Rencana Tata Ruang‟ sesuai dengan hirarki
perencanaan (RTRW-Nasional, RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi,
RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi
pembangunan antar sektor dan antar wilayah (Budianta, 2010).
2.1.3 Faktor Pendorong Pembangunan Wilayah
Upaya meningkatkan pengembangan wilayah pada dasarnya
dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar wilayah,
mengembangkan keterkaitan kegiatan perekonomian desa dan kota,
mempercepat pengembangan wilayah tertinggal dan daerah perbatasan,
mempercepat penyediaan hunian di perkotaan, serta meningkatkan
pengelolaan penataan ruang dan pertanahan.
Pengembangan wilayah erat kaitannya dengan potensi dan faktor
pendukung yang ada di wilayah tersebut. Banyak faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang wilayah, yaitu sumber daya
alam, sumber daya buatan, lingkungan hidup, serta komponen pendukung
pembentuk wilayah lainnya. Sumber daya alam dan sumber daya manusia
merupakan komponen-komponen utama dalam upaya pengembangan
wilayah yang dibantu oleh sumber daya buatan dan teknologi.
10
Dalam pengembangan wilayah, sumber daya buatan merupakan
suatu bentuk infrastruktur pendukung. Selain itu, pengembangan harus
berjalan sesuai dengan kebijakan publik yang telah disusun sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa elemen utama dalam pengembangan wilayah
terdiri atas empat elemen, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia,
sumber daya buatan atau infrastruktur, dan kebijakan daerah
(Hanifurrahman, 2019).
2.1.4 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antara
daerah yang satu dengan daerah lain merupakan suatu yang lumrah terjadi,
hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan sumber daya dan awal
pelaksanaan pembangunan antar daerah (Sjafrizal dalam (Dhyatmika,
2013). Tidak semua daerah memiliki daya pukau dan mengandung sumber
daya alam yang langka untuk bisa mendorong investasi di daerahnya.
Ketidamerataan perkembangan ekonomi antar daerah terjadi juga
dikarenakan masing-masing daerah memiliki perbedaan pada tingkat
kegiatan ekonominya, sehingga distribusi pendapatan antar daerah tidak
merata. Pertumbuhan tidak selalu terjadi pada semua wilayah secara
merata. Proses pembangunan cenderung terkonsentrasi pada kawasan
pusat suatu negara. Dampak dari adanya dua bentuk pembangunan yang
berbeda tersebut mengakibatkan melebarnya gap antar wilayah pada tahap
awal pembangunan ekonomi di suatu negara, tetapi akan menurun saat
pendapatan nasional mencapai tingkat tertentu (Delis et al., 2009).
11
Menurut (Delis et al., 2009), melebarnya ketimpangan antara
wilayah yang kuat dan wilayah lemah dalam tahap awal pembangunan
bersumber dari adanya efek crowding-out antara wilayah yang kuat dan
wilayah lemah dalam bentuk:
(1) Emigrasi tenaga kerja skill dari wilayah yang relatif lemah ke wilayah
yang lebih kuat;
(2) Arus masuk kapital condong ke wilayah kuat, karena permintaan yang
lebih tinggi, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik, ketersediaan
pelayanan publik, potensi pasar dan kondisi lingkungan yang lebih
baik bagi perusahaan;
(3) Alokasi investasi publik lebih besar ke wilayah kuat dalam merespon
permintaan potensial dan aktual;
(4) Keterbatasan perdagangan sumberdaya antar wilayah, sehingga pada
tahap awal perkembangan yang terjadi wilayah kuat tidak
menghasilkan efek sepenuhnya terhadap wilayah lemah. Sepanjang
waktu, proses tersebut semakin memperburuk regional disparity pada
suatu negara hingga mekanisme kerja mulai beroperasi dalam arah
berlawanan.
2.1.5 Pengeluaran Pemerintah
Menurut (Juliansyah et al., 2018), pengeluaran pemerintah
merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal. Pengeluaran pemerintah
adalah seluruh pembelian atau pembayaran atas barang dan jasa untuk
kepentingan negara, seperti pembelian senjata dan perlengkapan untuk
12
kantor pemerintahan, pembangunan jalan dan bendungan, gaji pegawai
negeri, dan lain-lain. Pengeluaran pemerintah menggambarkan kebijakan
pemerintah. Bilamana pemerintah sudah mengukuhkan suatu kebijakan
untuk membeli kebutuhan barang dan jasa, pengeluaran pemerintah
merefleksikan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk
mewujudkan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto dalam (Afiat, 2015).
Dasar teori pengeluaran pemerintah yaitu dari identitas
keseimbangan pendapatan nasional, yakni: Y = C + I + G + (X-M) yang
menggambarkan sumber legalitas pandangan kaum keynesian akan kaitan
intervensi pemerintah dalam perekonomian. Naik atau turunnya
pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi pendapatan nasional.
Banyak pertimbangan yang harus dilakukan dalam pengalokasian
pengeluaran pemerintah, hal ini dikarenakan pemerintah tidak cukup
hanya mencapai tujuan akhir dari setiap kebijakan yang telah ditetapkan,
tetapi juga harus mempertimbangkan sasaran dari kebijakan tersebut.
Pemerintah memiliki kontribusi esensial dalam mencukupi kebutuhan
hidup masyarakat, sehingga pemerintah mesti mempertimbangkan dengan
matang dalam menetapkan suatu kebijakan agar berpengaruh secara nyata
terhadap masyarakat..
Pandangan teori Wagner didasarkan pada suatu teori yang disebut
organic theory of state (teori organis mengenai pemerintah). Organic
theory of state menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas
bertindak terlepas dengan masyarakat lain. Secara integral, inti teori
13
Wagner adalah makin meningkatnya peran pemerintah dalam aktivitas
ekonomi masyarakat. Wagner menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah
dan kegiatan pemerintah semakin lama semakin meningkat. Serta
kecenderungan ini sebagai pendorong peningkatan peranan pemerintah.
Adapun formulasi rumus dari Hukum Wagner antara lain yaitu:
PPkP < PkPPn < .. < PkPPn
PPK1 PPK2 PPKn
Dimana:
PPkP : Pengeluaran pemerintah per kapita
PPK : Pendapatan per kapita, yaitu GDP/jumlah penduduk
1, 2, ... n : Jangka waktu (tahun)
PkPP
PPK
Kurva 1
Kurva 2
Z = Kurva perkembangan
pengeluaran pemerintah
0 1 2 3 4 5 6 Waktu
Gambar 2.1 Kurva Hukum Wagner
Kurva ini menjelaskan bahwa peranan pemerintah secara relatif
makin meningkat. Wagner mengutarakan bahwa dalam suatu
perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, maka secara
relatif pengeluaran pemerintah juga meningkat. Tidak hanya dari organic
14
theory of state, dasar hukum Wagner berasal dari pengamatan empiris
negara-negara maju. Semakin besarnya peranan pemerintah, disebabkan
pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat.
Selain itu, beberapa penyebab dari semakin meningkatnya
pengeluaran pemerintah berdasarkan hukum Wagner, yaitu meningkatnya
fungsi pertahanan, keamanan dan ketertiban, fungsi perbankan, fungsi
pembangunan dan fungsi kesejahteraan (Prasetya, 2012). Program-
program yang bersifat produktif dapat direalisasikan melalui pengeluaran
pemerintah yang menjadi stimulus bagi perekonomian dengan
memanfaatkan potensi sumber daya yang ada, sehingga dapat menurunkan
tingkat ketimpangan pembangunan yang telah terjadi pada suatu wilayah.
2.1.6 Pengangguran
Pengangguran adalah persoalan makroekonomi yang berdampak
secara langsung terhadap kelangsungan hidup seseorang. Pengangguran
atau orang yang menganggur adalah mereka yang tidak mempunyai
pekerjaan dan sedang aktif mencari pekerjaan. Kategori orang yang
menganggur biasanya adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan pada
usia kerja dan masanya kerja (Putong, 2010). Sebagian orang berpendapat
bahwa kehilangan pekerjaan merupakan penurunan standar kehidupan.
Oleh karena itu, tak heran jika pelaku politik melakukan penawaran untuk
membuat kebijakan dalam mendorong terciptanya lapangan pekerjaan
(Mankiw dalam (Yehosua et al., 2019). Menurut (Marini & Putri, 2019),
mengemukakan bahwa pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja
15
atau sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan suatu usaha
baru atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, atau sudah diterima
bekerja tetapi belum memulai bekerja.
Menurut Yanuar dalam (Rosa et al., 2019), pengangguran adalah
keadaan di mana angkatan kerja yang ingin memperoleh pekerjaan tapi
belum mendapatkannya. Pengangguran bisa terjadi dikarenakan
ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menggambarkan
jumlah tenaga kerja yang ditawarkan lebih besar dari jumlah tenaga kerja
yang diminta (Mankiw dalam (Sugianto & Permadhy, 2020). Menurut
Mankiw dalam (Hasan, 2018), jenis – jenis pengangguran sebagai berikut:
a. Berdasarkan Jam Kerja
Berdasarkan jam kerja, pengangguran ada 3 jenis, yaitu:
1. Pengangguran Terselubung (Disguised Unemployment)
Adalah tenaga kerja dapat diartikan sebagai pengangguran
terselubung apabila bekerja kurang dari 7 jam dalam sehari.
2. Setengah Menganggur (Under Unemployment)
Adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena
tidak ada lapangan pekerjaan. Tenaga kerja setengah menganggur
adalah tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu.
3. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment)
Adalah tenaga kerja yang benar-benar tidak memiliki
pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak, dikarenakan belum
mendapat pekerjaan, padahal telah berusaha secara maksimal.
16
b. Berdasarkan Penyebab Terjadinya
Berdasarkan penyebab terjadinya, pengangguran ada 6 jenis:
1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)
Adalah pengangguran karena pekerja menunggu pekerjaan
yang lebih baik.
2. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)
Adalah pengangguran yang disebabkan oleh penganggur
yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi
persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja.
3. Pengangguran Teknologi (Technology Unemployment)
Adalah pengangguran yang disebabkan oleh perubahan
teknologi. Perubahan ini bisa mengakibatkan pekerja harus diganti
dengan pekerja yang dapat menggunakan teknologi yang diterapkan.
4. Pengangguran Siklikal
Adalah pengangguran yang terjadi karena kemunduran
ekonomi yang mengakibatkan tidak semua pekerja bisa terserap.
5. Pengangguran Musiman
Adalah pengangguran yang terjadi karena siklus ekonomi
yang berfluktuasi akibat pergantian musim.
6. Pengangguran Total
Adalah pengangguran yang sungguh-sungguh tidak mendapat
pekerjaan, karena tidak adanya lapangan kerja atau tidak adanya
peluang untuk membuka lapangan kerja.
17
Hukum Okun (Okun’s Law) menjelaskan hubungan antara tingkat
pengangguran dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dimana terdapat
indikasi hubungan negatif antara tingkat pengangguran dan tingkat
pertumbuhan ekonomi. Hukum Okun mengemukakan bahwa untuk setiap
2 persen kemerosotan GNP dari GNP potensialnya, maka tingkat
pengangguran akan melonjak 1 persen, begitupun sebaliknya. Hukum
Okun juga menerangkan keterkaitan antara pasar tenaga kerja dan pasar
output yang mendeskripsikan implikasi perubahan angka pengangguran
dan pergerakan jangka pendek pada GDP riil (Astuti, 2016).
Ada pandangan bahwa pengangguran akan menyebabkan
ketimpangan. Pengangguran yang tinggi tidak hanya berkaitan dengan
kemiskinan yang lebih tinggi, tetapi juga dengan ketimpangan yang lebih
tinggi dikarenakan para penganggur akan kehilangan lebih banyak
pendapatan secara proporsional dibanding dengan orang yang mempunyai
pekerjaan, hal ini terjadi di beberapa wilayah Eropa Timur dan Asia
Tengah. Diperkirakan salah satu dasar teoritis faktor yang mengakibatkan
pengangguran yang tinggi dan menurunkan pertumbuhan secara persisten
berkaitan erat dengan ketimpangan. Pengangguran yang tinggi memiliki
efek negatif bagi pertumbuhan jangka panjang, tetapi memiliki efek positif
terhadap ketimpangan (Castells-Quintana dan Royuela dalam (Yumna et
al., 2017).
18
2.1.7 Investasi
Menurut (Utomo, 2017), mengemukakan bahwa investasi adalah
sebagai salah satu komponen dari output nasional atau PDB. Oleh karena
itu, investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Untuk mengejar
ketertinggalan ekonomi, suatu negara membutuhkan dana atau modal yang
besar agar bisa membangun negara untuk dapat mengejar ketertinggalan
tersebut. Menurut (Hidayati, 2017), investasi adalah suatu kegiatan
menempatkan dana pada satu atau lebih dari satu jenis aset selama periode
tertentu dengan harapan dapat memperoleh penghasilan dan meningkatkan
nilai investasi dimasa yang akan datang.
Sumanto dalam (Endarwati et al., 2017), mendefinisikan investasi
sebagai komitmen sejumlah dana suatu periode untuk memperoleh
pendapatan yang diharapkan di masa yang akan datang sebagai
kompensasi unit yang diinvestasikan. Pada dasarnya investasi dibedakan
atas investasi finansial dan investasi non finansial. Investasi finansial
adalah bentuk kepemilikan instrumen finansial seperti uang tunai,
tabungan, deposito, surat berharga, obligasi, modal, dan sejenisnya.
Sedangkan investasi non finansial direalisasikan dalam bentuk investasi
fisik (BKPM dalam (Endarwati et al., 2017). Harapan untuk mendapatkan
keuntungan dan tingkat keuntungan (return) merupakan alasan utama
seseorang untuk melakukan investasi. Return yang diharapkan investor
adalah risiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi dan
kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost).
19
Myrdal mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi
menciptakan suatu proses sebab menyebab sirkuler yang menjadikan si
kaya meraih keuntungan semakin banyak, dan mereka yang tertinggal di
belakang menjadi semakin terhalang. Dampak balik (backwash effect)
cenderung mengembang dan dampak sebar (spread effect) semakin
berkurang. Makin bertumpuk kecenderungan ini maka akan memperbesar
ketimpangan internasional dan mengakibatkan ketimpangan regional di
negara-negara terbelakang (Jhingan dalam (Angelia, 2010).
Ketimpangan regional berhubungan dengan sistem kapitalis yang
dikendalikan oleh motif laba. Berkembangnya pembangunan yang
berpusat di wilayah-wilayah yang mempunyai harapan laba tinggi
didorong oleh motif laba, sementara wilayah-wilayah lain tetap terabaikan.
Gejala ini disebabkan oleh kecenderungan peranan bebas kekuatan pasar
yang memperluas dibandingkan mempersempit ketimpangan regional. G.
Myrdal mengutarakan bahwa transfer modal juga cenderung memperbesar
ketimpangan wilayah. Hal ini dikarenakan, di wilayah maju permintaan
yang meningkat akan memacu investasi yang pada akhirnya dapat
menaikkan pendapatan dan mendatangkan putaran kedua investasi dan
begitu selanjutnya (Jhingan dalam (Angelia, 2010).
2.1.8 Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah orang yang melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat (UU RI No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, 2003).
20
Tenaga kerja dapat juga diartikan sebagai penduduk yang berada dalam
batas usia setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun masyarakat. Menurut (Zenda & Suparno, 2017), tenaga kerja
adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, termasuk mereka
yang menganggur. Selain itu, walaupun bersedia dan sanggup bekerja,
mereka yang menganggur terpaksa menganggur dikarenakan tidak adanya
kesempatan kerja.
Tenaga kerja disebut juga dengan golongan produktif. Tenaga kerja
merupakan modal untuk penggerak roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Pertambahan tenaga kerja yang tidak
dibarengi dengan pertambahan lapangan pekerjaan akan mengakibatkan
kecenderungan tingkat kesempatan kerja menurun, sehingga memicu
munculnya pengangguran. Penduduk yang tidak berperan secara ekonomi
dikategorikan ke dalam golongan bukan angkatan kerja, yang terdiri dari
golongan mereka yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah
tangga, yaitu mereka yang mengurus rumah tangga tanpa menerima upah
dan golongan lainnya.
Dasar teori nilai tenaga kerja Karl Marx berasal dari analisis Marx
mengenai ekploitasi buruh oleh kapitalis. Marx membagi nilai menjadi tiga
macam, yakni nilai lebih (surplus value), nilai tukar (exchange value) dan
nilai pakai (use value). Selain itu, marx mengatakan bahwa buruh dapat
21
melahirkan nilai lebih (surplus value), nilai tukar (exchange value) dan
nilai pakai (use value),dimana nilai surplus ini akan digunakan sebagai
akumulasi modal oleh kapitalis (Hasanah, 2020).
Nilai tenaga kerja adalah nilai setiap barang hasil produksi yang
diukur dengan kerja yang dibutuhkan untuk produksinya. “The value of
labour-power is determined, as in the case of every other commodity, by
the labour-time necessary for the production” (Marx, 1887). Waktu kerja
yang diperlukan bagi produksi merupakan penentu dari nilai tenaga kerja.
Ini berarti nilai tenaga kerja merupakan nilai bahan-bahan kebutuhan
hidup yang dibutuhkan dalam memproduksi barang pemiliknya.
Tenaga kerja adalah sumber nilai yang mana harga
menggambarkan sebuah nilai. Tenaga kerja diartikan sama dengan
komoditi. Yang berarti tenaga kerja bisa diperjualbelikan, sehingga nilai
tenaga kerja adalah output dari tenaga kerja. Serta seberapa besar nilai
yang didapat dari hasil kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja tersebut.
Orientasi pemikiran marx untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat dalam suatu negara (Brewer, 2000).
Ada teori yang menyatakan bahwa penurunan produktivitas tenaga
kerja akan menurunkan ketimpangan, begitupun sebaliknya. Kenaikan
produktivitas tenaga kerja di daerah A tetapi di daerah B tidak terjadi
kenaikan produktivitas tenaga kerja, sehingga mengakibatkan kesenjangan
produktivitas tenaga kerja antara daerah A dan B disebabkan produksi
yang lebih besar di daerah A dibanding daerah B (Ebel & Yilmaz, 2002).
22
Sebuah studi kasus di Afrika Selatan yang menjelaskan mengenai
persoalan ketenagakerjaan dan ketimpangan. Setelah masa apartheid,
konsentrasi pendapatan hanya tertuju pada lapisan kelompok pendapatan
tertinggi tanpa memikirkan kelompok yang lain. Selain itu, persentase
tingkat penyerapan tenaga kerja dan partisipasi angkatan kerja yang paling
besar ada pada kelompok pendapatan tertinggi. Sungguh jelas bahwa
faktor utama yang mendorong terjadinya ketimpangan di Afrika Selatan
yaitu pasar tenaga kerja yang teridentifikasi melalui pembagian sumber
pendapatan (Leibbrandt et al., 2010).
2.1.9 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Dalam konsep pendapatan regional, digunakan kata "Domestik"
yang berarti jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi di
suatu wilayah kabupaten/kotamadya atau provinsi tanpa melihat siapa
pemilik faktor produksinya. Dengan kata lain, produk domestik regional
bruto (PDRB) memggambarkan kinerja suatu daerah dalam menghasilkan
pendapatan atau balas jasa terhadap faktor produksi yang telah digunakan
dalam proses produksi di wilayah tersebut (BAPPEDA Kota Bogor, 2010).
Menurut (BAPPEDA Kota Bogor, 2010), produk domestik regional bruto
(PDRB) dapat didefinisikan ke dalam 3 pendekatan, yaitu:
1. PDRB Menurut Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)
PDRB adalah jumlah semua pengeluaran untuk konsumsi rumah
tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok
23
dan ekspor neto di suatu wilayah (region). Makna dari ekspor neto
disini adalah ekspor dikurangi impor.
2. PDRB Menurut Pendekatan Produksi (Production Approach)
PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang
didapatkan dari bermacam unit produksi pada suatu wilayah (region)
dalam jangka waktu tertentu.
3. PDRB Menurut Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima dari faktor-faktor
produksi yang telah digunakan pada proses produksi di suatu wilayah
(region) dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa dari faktor produksi
tersebut yang berup sewa tanah, upah dan gaji, bunga modal dan
keuntungan. Kemudian, balas jasa tersebut dipotong pajak yaitu pajak
penghasilan dan pajak tidak langsung lainnya. Dalam arti PDRB,
jumlah semua komponen tersebut diartikan sebagai nilai tambah bruto,
termasuk komponen penyusutan barang modal tetap dan pajak tak
langsung neto, terkecuali faktor pendapatan. Serta produk domestik
regional bruto diperoleh dari enumerasi nilai tambah bruto seluruh
sektor lapangan usaha.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Berlaku (ADHB) adalah PDRB yang dihitung sesuai dengan harga yang
berlaku pada tahun yang bersangkutan. Sedangkan PDRB Atas Dasar
Harga Konstan (ADHK) adalah Produk Domestik Regional Bruto yang
dihitung atas dasar harga tetap suatu tahun tertentu (tahun 2010).
24
Dalam definisi ini, dapat diartikan bahwa pendapatan dari faktor
produksi yang berada diluar suatu kabupaten/kota, maka faktor produksi
tersebut dimiliki oleh penduduk kabupaten/kota tersebut yang seharusnya
dihitung sebagai pendapatan kabupaten/kota itu. Begitupun sebaliknya,
pendapatan dari faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk luar
kabupaten/kota itu harus dikeluarkan. Berkenaan dengan hal tersebut,
penghitungan yang bisa dilakukan hanyalah produk domestik regional
bruto (PDRB). Angka PDRB ini merupakan indikator yang
menggambarkan kemampuan wilayah tersebut untuk menghasilkan
pendapatan atau balas jasa terhadap faktor produksi yang telah digunakan
dalam proses produksi di wilayah tersebut (BAPPEDA Kota Bogor, 2010).
Tahun 1955, Kuznets menyatakan bahwa mula-mula ekonomi
tumbuh, maka ketimpangan mengalami peningkatan. Seiring berjalannya
waktu, ketimpangan justru akan menurun. Keadaan ini dikenal dengan
Hipotesis Kuznets (Kuznets Hypothesis). Hipotesis Kuznets
menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan. Hipotesis Kuznets menjelaskan bahwa tahap awal
pembangunan, distribusi pendapatan cenderung tidak merata. Akan tetapi,
setelah menjangkau tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan
cenderung merata. Jika hipotesis ini digambarkan dengan kurva, maka
akan membentuk pola seperti “U” terbalik. Sehingga hipotesis ini juga
dikenal dengan hipotesis kurva U terbalik (Inverted U Curve).
25
Tingkat
Ketimpangan
Tingkat
Pertumbuhan
Ekonomi
Gambar 2.2 Kurva U Terbalik (Inverted U Curve) Kuznets
Kurva U Terbalik (Inverted U Curve) merupakan uraian dari kurva
hipotesa neoklasik. Sumbu vertikal dari kurva U terbalik yaitu variabel
ketimpangan regional yang diproksi dengan ketimpangan pendapatan.
Sedangkan sumbu horizontalnya adalah variabel tingkat pembangunan
nasional yang diproksi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Ketimpangan pendapatan berbeda dengan ketimpangan pembangunan.
Pengukuran ketimpangan pendapatan hanya melihat distribusi pendapatan
antar kelompok masyarakat. Sedangkan ketimpangan pembangunan diukur
dengan melihat distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat dan
perbedaannya dengan antar wilayah.
Pandangan Kuznets ini berawal dari mobilitas tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor industri. Yang mana transmisi sektor tenaga
kerja yang mempunyai produktivitas rendah, kemudian beralih ke sektor-
sektor yang memiliki produktivitas tinggi (tingkat kesenjangan menengah).
26
Secara substansial, hal ini akan memicu kesenjangan antara tenaga kerja
pada setiap sektor. Kemudian, tenaga kerja yang bergeser mendapati
kenaikan pendapatan per kapita, yang mana dampak pergeseran ini bagi
perekonomian secara umum menyebabkan ketimpangan cenderung
melebar. Sehingga, arah hubungan antara pendapatan per kapita dan
ketimpangan adalah positif pada awal pertumbuhan (Barro, 2000). Selain
itu, analisa Kuznets ini didasarkan oleh penelitian data time series terhadap
indikator kesenjangan pada negara Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.
Tahun 2012, Binatli melakukan penelitian mengenai pertumbuhan
dan ketimpangan dengan menggunakan model comparative antara tahun
1970-1985 dan 1985-1999. Hasilnya, pada tahun 70an ketimpangan
terhadap pertumbuhan terdapat efek negatif. Namun, pada tahun 90an
ketimpangan terhadap pertumbuhan terdapat efek positif secara konsisten
(Binatli, 2012). Selanjutnya, tahun 2014 Halter, Oechslin dan Zweimüller
melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara ketimpangan dan
pertumbuhan ekonomi. Hasilnya sejalan dengan teori, dimana dalam
jangka pendek ketimpangan yang lebih tinggi menurunkan tingkat
pertumbuhan PDB per kapita. Sedangkan dalam jangka panjang,
ketimpangan cenderung mengalami penurunan (Halter et al., 2014).
2.2 Pengaruh Antar Variabel Penelitian
2.2.1 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Ketimpangan
Pengeluaran pemerintah merupakan faktor penting dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pertambahan permintaan
27
agregat. Kebijakan pengeluaran pemerintah daerah termuat dalam
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tergambar dari total
belanja pemerintah yang dialokasikan ke dalam pembiayaan anggaran
daerah. Pada umumnya pengeluaran pemerintah memberikan dampak
positif bagi pertumbuhan ekonomi (Sodik dalam (Zahari, 2017).
Pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil dapat merugikan
pertumbuhan ekonomi, sedangkan pengeluaran pemerintah yang sesuai
(proporsional) dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta
pengeluaran pemerintah yang terlalu berlebihan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Program-program yang bersifat
produktif dapat direalisasikan melalui pengeluaran pemerintah yang
menjadi stimulus bagi perekonomian dengan memanfaatkan potensi
sumber daya yang ada di suatu wilayah, sehingga dapat menurunkan
tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi pada suatu wilayah
(Dhyatmika, 2013).
2.2.2 Pengaruh Pengangguran terhadap Ketimpangan
Pengangguran adalah persoalan makroekonomi yang berdampak
secara langsung terhadap kelangsungan hidup seseorang. Menurut
sebagian orang, kehilangan pekerjaan merupakan penurunan standar
kehidupan. Permasalahan pengangguran merupakan salah satu
permasalahan makroekonomi yang menjadi penghambat pembangunan
daerah karena akan menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya
(Yehosua et al., 2019). Pengangguran membahayakan kestabilan ekonomi,
28
dikarenakan tingginya jumlah pengangguran akan menurunkan daya beli
masyarakat, sehingga mengurangi kegiatan produksi barang dan jasa.
Tidak hanya itu, pengangguran juga menyebabkan dampak negatif
terhadap perekonomian, seperti berkurangnya penghasilan pajak yang
diterima oleh pemerintah, menurunnya aktivitas investasi, menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya.
Mankiw dalam (Sugianto & Permadhy, 2020), pengangguran bisa
terjadi dikarenakan ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini
menggambarkan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan lebih besar dari
jumlah tenaga kerja yang diminta. Pengangguran bisa memberikan
dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi maupun kestabilan sosial dan
politik (Asfia Murni dalam (Ibrahim, 2019). Meningkatnya jumlah
pengangguran memicu terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin
karena masyarakat tidak memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga secara tidak langsung hal ini dapat menyebabkan
terjadinya ketimpangan pembangunan.
2.2.3 Pengaruh Investasi terhadap Ketimpangan
Dalam pembangunan wilayah, investasi merupakan indikator
fundamental untuk meningkatkan ketersediaan cadangan modal. Investasi
asing dipandang signifikan, karena akan memfasilitasi terjadinya transfer
teknologi. Fluktuatifnya investasi di suatu wilayah dipengaruhi selain
kebijakan yang ada, juga beberapa faktor baik dari sisi penawaran maupun
29
permintaan. Ini dikenal dengan konsep OLI (ownership, location and
internally), yang dikemukakan oleh Dunning tahun 1981 (Firdaus, 2013).
Menurut Myrdal dalam (Angelia, 2010), investasi cenderung
menambah ketidakmerataan. Di wilayah yang sedang berkembang,
permintaan barang dan jasa akan mendorong naiknya investasi yang pada
akhirnya akan meninggikan pendapatan. Sedangkan di wilayah yang
kurang berkembang, permintaan akan investasi cenderung kecil
dikarenakan pendapatan masyarakat yang rendah. Faktor perbedaan inilah
yang akan mengakibatkan ketimpangan antar wilayah menjadi semakin
meluas.
Kebijakan investasi juga mempengaruhi tinggi rendahnya investasi
di suatu wilayah. Hasil temuan ini berarti investasi akan cenderung masuk
ke wilayah yang lebih maju, dengan kualitas SDM yang memadai dan
infrastruktur yang baik. Selain itu, hasil dari studi konvergensi menyatakan
bahwa investasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
wilayah. Kemajuan ekonomi di wilayah-wilayah yang kurang berkembang
di Indonesia akan terus menurun, apabila diabaikan secara natural.
Sehingga, ketimpangan antar wilayah akan cenderung terus meluas
(Firdaus, 2013).
2.2.4 Pengaruh Tenaga Kerja terhadap Ketimpangan
Menurut Suparmoko dalam (Nursetianingrum, 2018), tenaga kerja
adalah penduduk yang berada pada usia kerja yaitu antara 15 – 64 tahun
atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang memproduksi
30
barang atau jasa. Definisi menurut (UU RI No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, 2003), tenaga kerja adalah orang yang melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun masyarakat.
Pengaruh tenaga kerja terhadap ketimpangan pembangunan
ekonomi dapat dilihat dari adanya penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian menuju ke sektor industri dan atau jasa yang mengakibatkan
terjadinya transformasi ke sektor industri dan atau jasa. Transformasi
tenaga kerja tersebut akan dapat mendorong peningkatan pendapatan dan
distribusi pendapatan. Tetapi pada kenyataannya, transformasi tenaga
kerja tersebut belum mampu terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan
adanya kesenjangan jumlah penduduk, kendala geografis dan faktor
lainnya, sehingga mengakibatkan timbulnya ketimpangan pembangunan.
2.2.5 Pengaruh PDRB terhadap Ketimpangan
Produk domestik regional bruto (PDRB) memggambarkan kinerja
suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan atau balas jasa terhadap
faktor produksi yang telah digunakan dalam proses produksi di wilayah
tersebut. Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah bisa dilihat dengan
membandingkan PDRB pada satu tahun tertentu (PDRBt) dengan PDRB
tahun sebelumnya (PDRBt-1).
Menurut Mudrajad Kuncoro dalam (Angelia, 2010), ada teori yang
menyatakan bahwa pertumbuhan dan ketidakmeratan memiliki trade-off.
Tetapi pada kenyataannya, ketidakmerataan di negara sedang berkembang
31
(NSB) berkaitan kecil dengan pertumbuhan dalam dekade belakangan ini.
Maka dari itu, di banyak negara sedang berkembang (NSB) tidak memiliki
trade off antara pertumbuhan dan ketidakmerataan. Apabila suatu wilayah
dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya, maka wilayah tersebut
dianggap mampu menjalankan pembangunan ekonomi dengan produktif.
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat merefleksikan
keberhasilan pembangunan wilayah tersebut. Namun, apakah pertumbuhan
ekonomi dalam suatu wilayah sudah merata dirasakan oleh seluruh
golongan masyarakat, hal ini masih menjadi persoalan sampai dengan
sekarang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat menaikkan
pendapatan per kapita masyarakat. Saat pendapatan per kapita naik dan
tersebar secara merata, maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat
dan secara tidak langsung ketimpangan pembangunan akan berkurang.
2.3 Penelitian Terdahulu
Ketimpangan pembangunan merupakan permasalahan yang sukar
untuk dihindari oleh suatu wilayah hingga sampai saat ini. Terdapat banyak
penelitian terdahulu mengenai ketimpangan pembangunan. Adapun penelitian
terdahulu yang dijadikan referensi guna mendukung penelitian ini,
diantaranya adalah penelitian Harun & Maski (2012), dalam penelitiannya
yang berjudul “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah dan
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah (Studi
pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur)”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pertumbuhan
32
Ekonomi terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah di kabupaten dan
kota di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2007-2011. Metode analisis data
yang digunakan adalah metode analisis regresi data panel dengan pendekatan
Random Effect Model. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengeluaran
Pemerintah Daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Ketimpangan
Pembangunan Wilayah dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah.
Dhyatmika & Atmanti (2013), dalam penelitiannya yang berjudul
“Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) menganalisis besarnya ketimpangan
pembangunan yang terjadi di Provinsi Banten setelah pemekaran daerah; 2)
mengklasifikasikan kabupaten/kota; berdasarkan tipologi Klassen; 3)
menganalisis pengaruh penanaman modal asing langsung (FDI), pengeluaran
pemerintah (GE), dan tingkat pengangguran (UE) dari ketimpangan
pembangunan. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1)
Indeks williamson, 2) Tipologi Klassen, dan 3) Analisis data panel dengan
metode fixed effect model (FEM) dengan waktu penelitian 2001-2011. Hasil
analisis penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan
pembangunan di Provinsi Banten cenderung meningkat. Hasil analisis data
panel dengan metode FEM, foreign direct investment (FDI) dan pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif dan negatif terhadap ketimpangan, sedangkan
variabel tingkat pengangguran tidak berpengaruh terhadap ketimpangan
pembangunan di Banten Provinsi setelah pemekaran wilayah.
33
Nurhuda et al. (2013), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Ketimpangan Pembangunan (Studi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-
2011)”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi seberapa besar
ketimpangan yang ada di Provinsi Jawa Timur dan apakah hipotesis kuznet
berlaku di wilayah ini. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah indeks williamson, hipotesis kuznet dan regresi berganda dengan
bantuan SPSS. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa nilai
ketimpangan di wilayah ini dikategorikan rendah, hal ini dikarenakan nilai
indeks williamson mendekati nilai 0. Selanjutnya, hipotesis kuznet juga
berlaku di wilayah ini. Kemudian, variabel PAD dan IPM berpengaruh
negatif terhadap ketimpangan pembangunan. Sedangkan untuk variabel
PDRB dan DAU tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan.
Endarwati et al. (2017), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Provinsi Di Pulau Jawa”. Tujuan
penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan menganalisis ketimpangan
pembangunan ekonomi antar provinsi di Pulau Jawa; (2) menguji dan
menganalisis pengaruh tenaga kerja dan investasi terhadap ketimpangan
pembangunan ekonomi antar provinsi di Pulau Jawa. Alat analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Williamson dan Regresi Data
Panel. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ketimpangan
pembangungan ekonomi antar provinsi di Pulau Jawa termasuk kategori
ketimpangan tinggi, yaitu nilai indeks Williamson lebih besar 1 dan
cenderung mengalami penurunan. (2) tenaga kerja dan atau investasi
34
berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi antar
provinsi di Pulau Jawa.
Andhiani et al. (2018), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan di Wilayah
Sumatera”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan
ekonomi dan ketimpangan pembangunan di wilayah Sumatera. Alat analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi data panel. Hasil analisis
penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah
Sumatera cenderung menurun, sedangkan ketimpangan pembangunan
berkisar dari IW (Williamson Index) 0,406-0,446. Berdasarkan hasil regresi
data panel diketahui bahwa secara simultan investasi, belanja pemerintah,
aglomerasi, dan tenaga kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Demikian juga, secara simultan investasi, belanja pemerintah, aglomerasi,
dan tenaga kerja berpengaruh juga terhadap ketimpangan pembangunan.
Yusica et al., (2018), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Aglomerasi dan Tingkat Pengangguran
Terhadap Ketimpangan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Timur”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
ketimpangan wilayah serta menganalisis pengaruh variabel pertumbuhan
ekonomi, aglomerasi dan tingkat pengangguran terhadap ketimpangan
wilayah di Provinsi Kalimantan Timur. Alat analisis yang digunakan adalah
analisis regresi data panel. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa
PDRB per kapita tingkat ketimpangan wilayah di provinsi Kalimantan Timur
35
masih menunjukkan ketimpangan wilayah yang lemah karena rata-rata masih
menunjukkan angka negatif. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa
variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan wilayah serta variabel aglomerasi dan tingkat pengangguran
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
Alfiansyah & Budyanra (2019), dalam penelitiannya yang berjudul
“Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi
Nusa Tenggara Timur Tahun 2013-2017”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi
NTT serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya yang diukur
dengan indeks Jaime Bonet. Metode yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan analisis regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa masih ada beberapa kabupaten/kota yang mengalami ketimpangan
yang sangat tinggi. Analisis regresi data panel menunjukkan bahwa variabel
angka melek huruf (AMH) dan dana alokasi umum (DAU) memiliki
pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ketimpangan antardaerah,
sedangkan variabel pendapatan asli daerah (PAD), belanja modal dan tingkat
pengangguran terbuka (TPT) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi NTT.
Haikal (2020), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar
Wilayah di Provinsi Sumatera Utara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh Produk Domestik Regional Bruto per
36
kapita (PDRB pe kapita), Investasi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap ketimpangan pembangunan (Indeks
Williamson) baik secara parsial maupun simultan. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda. Temuan hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial PDRB Per Kapita dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap ketimpangan
pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Disisi lain, Investasi dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berpengaruh negatif terhadap
ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.
Dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dipaparkan, sebagian
besar memiliki kesamaan dalam metode penelitian yaitu menggunakan
metode kuantitatif. Selain itu, sebagian besar penelitian-penelitian terdahulu
yang telah dipaparkan memiliki topik yang sama yaitu mengenai
ketimpangan pembangunan, namun dengan variabel-variabel dan objek
penelitian yang berbeda. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji mengenai
Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah Antar Provinsi di Pulau
Sumatera selama periode 2010-2019.
2.4 Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, variabel bebas yang digunakan untuk mengkaji
mengenai analisis ketimpangan pembangunan wilayah antar provinsi di Pulau
Sumatera adalah pengeluaran pemerintah, pengangguran, investasi, tenaga
kerja dan PDRB. Untuk lebih jelasnya, akan diterangkan oleh kerangka
pemikiran penelitian ini yang ditunjukkan pada gambar 2.3.
37
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
2.5 Hipotesis
Berdasarkan dari kerangka pemikiran yang telah digambarkan pada
gambar 2.3, maka rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
H1: Diduga variabel pengeluaran pemerintah, investasi, tenaga kerja dan
PDRB berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan wilayah.
H2: Diduga variabel pengangguran berpengaruh positif terhadap ketimpangan
pembangunan wilayah.
Ketimpangan
Pembangunan Wilayah
Ketimpangan
Pembangunan Wilayah
Antar Provinsi di
Pulau Sumatera
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ketimpangan Pembangunan Wilayah
PDRB
Per Kapita
Jumlah
Penduduk
Pengeluaran
Pemerintah
Pengangguran Investasi Tenaga
Kerja
PDRB
Indeks Williamson
Regresi Data Panel
Kesimpulan dan Saran