BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit - sinta.unud.ac.id II.pdf · menganggu enzim proteolitik yang...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit - sinta.unud.ac.id II.pdf · menganggu enzim proteolitik yang...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit
Kulit merupakan organ terluar tubuh manusia yang rentan terhadap berbagai
risiko internal maupun eksternal akibat tingginya mobilitas manusia (Pamela,
2012). Kulit memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari gangguan dan
rangsangan dari lingkungan. Fungsi perlindungan kulit berupa berbagai
mekanisme biologis seperti pembentukan lapisan tanduk yang berkelanjutan
(keratinasi dan pelepasan sel-sel yang telah mati), respirasi dan pengaturan suhu
tubuh, sekresi sebum dan keringat, serta pigmentasi oleh melanin sebagai
pelindung dari paparan sinar matahari yang mengandung sinar UV. Selain sebagai
pelindung, kulit juga berfungsi sebagai organ peraba dan perasa (Tranggono dan
Latifah, 2007). Fungsi estetik juga merupakan fungsi penting dari kulit karena
kulit dapat menggambarkan kesehatan, keindahan, status sosial, dan status
ekonomi seseorang (Mescher, 2013).
Secara struktural, kulit terdiri atas dua lapisan utama, yaitu lapisan epidermis
dan lapisan dermis. Epidermis merupakan lapisan superfisialis dari kulit dan
merupakan lapisan tipis yang disusun oleh sel-sel epitel (Gartner et al., 2011).
Epidermis terutama disusun oleh sel-sel keratinosit dan tiga jenis sel lainnya, yaitu
melanosit, langerhan’s cell, dan sel merkel. Lapisan epidermis dapat dibagi
menjadi lima lapisan, yaitu:
8
a. Stratum corneum merupakan lapisan terluar dari lapisan epidermis.
Lapisan tanduk disusun dari sel-sel yang pipih, mati, tak berinti, tak
mengalami metabolisme, tak berwarna, dan sangat sedikit mengandung
air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin yang merupakan
protein yang tidak larut dalam air dan resisten terhadap bahan-bahan
kimia. Permukaan lapisan tanduk dilapisi oleh lapisan pelindung yang
lembab dan tipis dan bersifat asam yang disebut sebagai mantel asam;
b. Stratum lucidum merupakan lapisan yang terletak di bawah stratum
corneum dan merupakan lapisan yang tipis, jernih, dan mengandung
eleidin. Stratum lucidum hanya dijumlai pada kulit yang tebal. Antara
stratum lucidum dengan lapisan di bawahnya,yaitu stratum granulosum
terdapat lapisan keratin yang disebut rein’s barrier;
c. Stratum granulosum tersusun atas 3-5 lapisan sel keratinosit yang gepeng
dan berinti. Stratum granulosum merupakan lapisan tempat
diproduksinya keratin;
d. Stratum spinosum atau malphigi layer terdiri atas sel-sel keratinosit yang
berbentuk kubus dan tampak berduri. Inti sel dari sel keratinosit
penyusun lapisan ini besar dan berbentuk oval. Pada lapisan ini, sel
keratinosit secara aktif bermitosis, terutama pada lapisan yang lebih
dalam. Langerhan’s cell juga terdapat pada lapisan ini, dimana
langerhan’s cell merupakan sel yang berasal dari sumsum tulang
belakang yang merupakan bagian dari sistem imunitas;
9
e. Stratum basale atau stratum germinativum merupakan lapisan sel
epidermis yang paling dalam dan mengandung sel-sel melanosit dan
merkel sel. Sel melanosit merupakan sel yang tidak mengalami keratinasi
dan berfungsi menghasilkan pigmen melanin dan menyalurkannya
kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya. Sel merkel berada
dalam jumlah kecil dalam stratum basale dan letaknya dekat dnegan
vaskularisasi. Sel ini mendapat persarafan dari ujung saraf aferen dan
diduga berfungsi sebagai mekanoreseptor sensorik.
(Tranggono dan Latifah, 2007; Gartner et al., 2011)
Lapisan epidermis melekat pada lapisan dermis yang merupakan lapisan
dalam yang tebal dan merupakan bagian dari jaringan ikat. Lapisan dermis
berasal dari mesoderm dan terutama disusun atas serabut kolagen dan elastin yang
tebal. Pada lapisan dermis terdapat folikel rambut, papilla, dan otot anektor pili,
kelenjar dan saluran keringat, kelenjar sebasea, ujung pembuluh darah, ujung
saraf. Sebagian besar lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit
(subkutis/hipodermis) (Tranggono dan Latifah, 2007; Gartner et al., 2011).
Dermis tediri atas dua lapisan yang tidak memiliki batas yang jelas, yaitu
lapisan papilaris dan lapisan retikularis. Lapisan papilaris merupakan lapisan
superfisialis yang tipis dan membentuk papilla dermis. Lapisan papilaris
mengandung serat kolagen halus, fibril-fibril yang tertanam, mikro fibril, dan serat
elastin. Sedangkan lapisan retikularis merupakan bagian dermis yang sangat luas
dan mengandung serat elastin dan serat kolagen yang tebal. Pada lapisan ini juga
terdapat arteri, vena, dan pembuluh getah bening (Gartner et al., 2011).
10
Antara lapisan dermis dengan jaringan atau organ di bawahnya terdapat suatu
lapisan lemak yang terdiri dari jaringan adiposa. Lapisan ini disebut lapisan
subkutan atau hipodermis. Lapisan ini berfungsi sebagai pengikat kulit dengan
permukaan di bawahnya, penyerap guncangan dari bernturan kulit, dan penyedia
penyekat suhu (Pack, 2007).
Stratum corneum merupakan lapisan kulit yang berfungsi sebagai barrier
terhadap pengaruh fisika dan kimia, juga berfungsi dalam mencegah terjadinya
dehidrasi kulit (Faria et al., 2014). Abnormalitas stratum corneum menyebabkan
kulit kering dengan gejala klinis berupa permukaan kulit yang terasa kencang,
kaku, kasar, kusam, bersisik, gatal, kemerahan, bahkan nyeri (Egelrud, 2000).
Pada kondisi normal, stratum korneum mengandung 30% air. Pada kondisi kulit
kering, kandungan air pada stratum korneum kurang dari 10% dan hal ini dapat
menyebabkan kulit menjadi dehidrasi dan mangalami gangguan fungsi kulit
(Sevrain and Bonte, 2007).
Komponen yang berperan besar dalam menjaga hidrasi kulit ada dua, yaitu
Natural Mosturizing Factor (NMF) dan komponen lemak interselular pada
stratum korneum. NMF merupakan asam amino hasil pemecahan filagrin dan
terdapat di sel korneosit yang menyusun stratum korneum. NMF bekerja dengan
cara menarik air pada lapisan kulit ke dalam sel, sehingga hidrasi kulit terjaga.
Produksi dari NMF dipengaruhi oleh berbagai faktor baik intriksik maupun
ekstrinsik seperti kelembaban dan radiasi sinar UV. Radiasi sinar UV dapat
menganggu enzim proteolitik yang akan memecah filagrin menjadi NMF. NMF
terdiri atas asam amino bebas, pyrrolidone carbocylic acid, laktat, gula, urea,
11
klorida, sodium, potassium, ammonia, uric acid, glukosamin, keratin, kalsium,
magnesium, fosfat, sitrat dan format yang penting dalam menjaga hidrasi dan sifat
fisik stratum korneum, termasuk pH (Sevrain and Bonte, 2007). Lipid interseluler
terdiri atas 45-50% ceramides, 20-25% kolesterol, dan 10-15% asam lemak bebas.
Lipid interseluler melapisi setiap sel korneosit yang menyusun stratum korneum
dengan rapat, sehingga mencegah cairan transepidermal. Berdasarkan penilitian,
diketahui bahwa peningkatan pH stratum korneum akan menyebabkan
terganggunya fungsi stratum korneum yang disebabkan oleh degradasi enzim
yang mensintensis lipid interseluler. Kulit yang menua menunjukkan penurunan
lipid interseluler stratum korneum hingga 30% (Wertz, 2004).
Kulit memiliki pH yang relatif asam, yaitu 5,4-5,9 (Flour, 2009). Pada
permukaan stratum corneum terdapat lapisan asam yang merupakan lapisan yang
halus pada permukaan kulit. Mantel asam ini terdiri atas asam laktat, asam amino,
asam lemak bebas, asam karbosiklik pyrolidine, dan potassium yang berasal dari
keringat, kelenjar sebaseus dan sebum, proses pembentukan keratin pada kulit dan
hasil pemecahan filagrin menjadi NMF. Lapisan mantel asam ini berfungsi
sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme, dan memberikan
perlindungan terhadap bahan-bahan yang bersifat alkali (alkali neutralizing
capacity atau skin buffering capacity). Selain itu, lapisan mantel ini juga
mengandung garam yang menyebabkan kondisi hiperosmosis yang dapat
menyebabkan tertariknya kandungan air dalam bakteri ke luar sel, sehingga
menyebabkan kematian bakteri. Apabila lapisan ini terganggu, maka kulit akan
kehilangan keasamannya yang menyebabkan kulit menjadi lebih mudah rusak dan
12
teriritasi, serta rentan terhadap berbagai penyakit kulit. Kondisi pH juga ikut
mempengaruhi hidrasi kulit, dimana pH akan mempengaruhi enzim hidrolitik
yang berperan dalam sintesis lipid interseluler stratum korneum (Sevrain and
Bonte, 2007). Seiring penuaan kulit baik akibat pengaruh intrinsik maupun
ekstrinsik akan menyebabkan pH kulit semakin basa (Flour, 2009).
Ketika hidrasi dan pH kulit terganggu, maka fungsi fisiologis kulit akan
terganggu, antara lain proses kornifikasi, deskuamasi dan fungsi homeostasis kulit
(Flour, 2009). Deskuamasi merupakan proses pengelupasan stratum korneum
yang normal terjadi. Deskuamasi dapat terjadi ketika desmosom rusak, sehingga
sel-sel korneosit lepas satu sama lain dan kulit pun terlihat terkelupas. Desmosom
dapat dirusak oleh enzim proteolitik stratum corneum chymotriptyc enzyme
(SCCE) dan kerja enzim ini sangat bergantung pada hidrasi dan pH kulit yang
sesuai. Jika proses deskuamasi tidak dapat terjadi, maka akan terjadi penumpukan
stratum korneum yang menyebabkan kulit tampak kusam dan bersisik (Brannon,
2007).
Gambar 2.1 Struktur Kulit Manusia (Pack, 2007)
13
2.2 Sinar UV
Radiasi sinar UV dibutuhkan untuk kesehatan seperti dalam formasi vitamin
D3 (7-dehidrotokoferol) dan penyembuhan beberapa penyakin kulit. Akan tetapi,
radiasi sinar UV juga dapat menyebabkan penyakit kulit. Salah satu penyakit kulit
akibat radiasi sinar UV yang paling berbahaya adalah kanker kulit (Svobodova, et
al., 2006).
Sinar matahari teridiri atas tiga bagian spektrum elektromagnetik, yaitu sinar
ultraviolet (45%), sinar tampak (5%), dan sinar infrared (50%). Sinar ultraviolet
(UV) memiliki panjang gelombang 200-400 nm. Berdasarkan panjang
gelombangnya, sinar UV dapat dibagi menjadi tiga, yaitu UVA (315-400 nm),
UVB (280-315 nm), dan UVC (200-280 nm). Lapisan ozon yang melapisi bumi
dalam kondisi normal akan mengabsorbsi radiasi sinar UV dengan panjang
gelombang sekitar 310 nm, yang berarti seluruh UVC dan sebagain besar UVB.
Akan tetapi, akibat kerusakan lapisan ozon, radiasi sinar UVB yang diserap akan
semakin tinggi (Svobodova, et al., 2006).
Radiasi sinar UVB hanya 4-5% dari keseluruhan sinar UV dan intensitasnya
paling tinggi pada pukul 11 siang hingga 1 siang. Akan tetapi, UVB bersifat lebih
genotoxic dan 1000 kali lebih kuat dalam menyebabkan terjadinya sunburn.
Sebagian radiasi sinar UVB dapat terpenetrasi hingga ke lapisan dalam kulit.
Sebagian besar akan berefek pada lapisan epidermis terutama stratum basale,
sehingga secara langsung dapat berakibat pada kerusakan DNA. UV-B juga dapat
merangsang produksi radikal bebas dan menginduksi penurunan antioksidan pada
14
kulit secara signifikan, sehingga mengganggu kemampuan proteksi kulit terhadap
radikal bebas akibat paparan sinar matahari (Svobodova et al., 2006).
Ketika kulit terpapar radiasi sinar UV-B, radiasi UV-B akan mampu
menghilangkan satu elektron dari oksigen pada kulit, sehingga terbentuk radikal
bebas Reactive Oxygen Species (ROS) yaitu superoxide radical, hydrogen
peroxide dan hydroxyl radical. ROS akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif
yang mampu menyebabkan kerusakan DNA, RNA, protein dan lemak.
Pembentukan ROS terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit setelah paparan UV.
Stres oksidatif yang terjadi akibat aktivasi ROS kemudian dapat merusak enzim
hidrolitik yang berfungsi untuk memecah filagrin menjadi NMF dan merusak
lemak intraseluler yang menyebabkan terjadinya penurunan hidrasi kulit dan
peningkatan pH kulit yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya penuaan kulit
dini (Fisher et al., 2002; Sevrain and Bonte, 2007; D’Orazio et al., 2013).
Gambar 2.2 Radiasi Sinar UV Menyebabkan Stres Oksidatif (D’Orazio et al., 2013)
15
Efek akut paparan radiasi sinar UV berupa induksi reaksi inflamasi. UV-B
mampu menginduksi sitokin dan mediator inflamasi pada kulit, sehingga
menghasilkan respon inflamasi dan menyebabkan sunburn (D’orazio et al., 2013).
Inflamasi yang terjadi pada kulit dapat meningkatkan kehilangan cairan
transepidermal yang berakibat pada penurunan hidrasi kulit (Goldstein, 2003).
2.3 Penuaan Kulit
Penuaan kulit merupakan proses fisiologis yang terjadi pada semua makhluk
hidup. Ketika kulit mengalami penuaan, akan terjadi berbagai masalah seperti
kulit menjadi kering, kasar, kendur, timbul kerutan, bercak pigmentasi, hingga
tumor kulit. Berdasarkan penyebab ternjadinya, penuaan kulit dapat dibenakan
menjadi dua, yaitu penuaan intrinsik (chronologic aging) dan penuaan ekstrinsik
(Leijden, 1990).
Penuaan instrinsik berlangsung secara alamiah dan tidak dapat dihindari,
disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh sendiri seperti hormonal, gen, dan ras.
Penuaan ekstrinsik disebabkan oleh faktor dari luar seperti polusi, suhu,
kelembaban, dan sinar ultraviolet (UV). Proses penuaan ekstrinsik dapat dicegah
dengan menghindari faktor-faktor pencetusnya (Baumann and Saghari, 2009).
Penuaan kulit akibat paparan sinar UV disebut dengan photoaging. Tanda-
tanda klinis photoaging berupa kulit kering, kulit menebal dan kasar, kerut lebih
dalam dan nyata, bercak pigmentasi tidak teratur, pelebaran pembuluh darah
(telangiektasi) hingga timbulnya tumor jinak, prakanker maupun kanker kulit
(Helfrich et al., 2008; Jusuf, 2005).
16
Radiasi sinar UV akan menyebabkan jumlah filagrin yang disintesis akan
mengalami penurunan yang berakibat pada penurunan jumlah NMF, sehingga
akan terjadi penurunan hidrasi kulit dan peningkatan pH dan menyebabkan kulit
tampak kering (Fowler, 2012).
Salah satu cara mengurangi kerusakan kulit akibat radikal bebas sinar UV
adalah dengan menggunakan sediaan topikal yang mengandung antioksidan
(Murray, et al., 2008; Burke, 2010).
2.4 Antioksidan
Radikal bebas merupakan molekul yang tidak stabil akibat kehilangan
elektron. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan mengambil elektron dari
molekul atau sel lain dalam tubuh kita. Proses pengambilan elektron dari sel-sel
tubuh kita menyebabkan kerusakan sel. Radikal bebas dapat dibentuk oleh sinar
UVA dan UVB (Paramawati, 2010). Antioksidan dapat menghambat produksi
ROS dengan pembilasan langsung, mengurangi jumlah oksidan di dalam dan
sekitar sel-sel, mencegah ROS mencapai target biologis, membatasai penyebaran
oksidan seperti yang terjadi pada peroksidasi lipid, dan menggagalkan stress
oksidatif sehingga dapat digunakan dalam mencegah penuaan kulit (Pouillot, et
al., 2011).
Antioksidan merupakan substansi yang mampu menstabilkan, menonaktifkan,
atau meminimalkan reaksi oksidatif dalam sel akibat reaksi dari radikal bebas
(Priyadarsini, 2005). Sinar UV menyebabkan penuaan dini dengan cara
membentuk radikal bebas yang kemudian merusak berbagai komponen jaringan
17
seperti lipid, protein, lemak, dan DNA. Selain itu, paparan sinar UV juga
menurunkan kadar antioksidan tubuh seperti pada penuaan alami (Pandel, et al.,
2013). Antioksidan tersebut antara lain berasal dari golongan flavonoid, seperti
polifenol, katekin, antosianin, isoflavon, proantosianindin, serta golongan non
flavonoid seperti asam monofenolik dan stilbene (Bosch, et al., 2015).
Berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh Manosroi et al. (2011),
ditemukan bahwa senyawa polifenol yang memiliki aktivitas antioksidan yang
dibuat dalam sediaan gel dan krim mampu meningkatkan hidrasi kulit dan
menghambat perusakan lipid interseluler ketika dipaparkan dengan sinar UV,
sehingga pH kulit dapat dipertahankan
. Oleh karena itu, penggunaan antioksidan topikal akan lebih efektif dalam
mengurangi kadar radikal bebas pada kulit, sehingga mencegah terjadinya
penuaan dini pada kulit akibat paparan radiasi sinar UV (Murray, et al., 2008;
Bosch, et al., 2015).
2.5 Manggis (Gancinia mangostana L.)
2.5.1 Klasifikasi Tanaman
Hutapea (1994) mengklasifikasikan tanaman manggis sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Guttiferanales
18
Family : Guttiferae
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana L.
2.5.2 Deskripsi Buah Manggis
Buah manggis berbentuk bulat dengan diameter 6-8 cm dan kulit buah
berdinding tebal lebih dari 9 mm. Kulit buah berwarna hijau saat muda dan
akan berubah menjadi merah tua hingga ungu kehitaman setelah tua. Daging
buah manggis berwarna putih, mengandung banyak air dengan rasa agak
asam dan manis, beraroma khas, berbiji bulat berwarna coklat dengan
diameter 2 cm, dan tiap 1 buah manggis terdapat 5-7 biji (Hutapea, 1994;
Jung et al., 2006).
Simplisia kulit buah manggis berupa potongan padar, agak keras,
permukaan luar agak kasar, agak mengkilat, bekas patahan tak rata, dan
warna kecoklatan hingga coklat kehitaman. Sedangkan permukaan dalam
Gambar 2.3 Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) (Paramawati, 2010)
19
licin, berwarna coklat, berbentuk seperempat bola atau setengah bola dengan
diameter 4-6 cm, tebal 3-6 mm, terdapat sisa sekat yang membagi buah
menjadi 4 bagian atau lebih, tidak berbau, dan memiliki rasa yang pahit.
Dalam pemeriksaan secara mikroskopik dapat ditemukan sel batu, parenkim
endocarp, parenkim eksokarp, periderm, dan parenkim mesokarp sebagai
fragmen penanda (Depkes RI, 2010).
2.5.3 Kandungan Kimia Kulit Buah Manggis
Kandungan kimia yang terdapat pada kulit buah manggis terdiri dari
flavonoid, saponin, tanin, steroid/triterpenoid, kuinon, natrium, kalium,
magnesium, kalsium, besi, zink dan tembaga (Praptiwi, 2010). Senyawa
golongan flavonoid dan polifenol yang terdapat pada kulit buah manggis
adalah xanton. Kandungan xanton dalam kulit buah manggis sangat tinggi,
yaitu mencapai 123,97 mg/100 mL (Yatman, 2012). Priya et al. (2010)
memperoleh xanton dalam ekstrak kulit manggis sebesar 95%. Beberapa
senyawa turunan xanton antara lain α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin,
gartanine, garcinone E, dan 8-deoxygartanine (Chaverri et al., 2008).
2.5.4. Aktivitas Farmakologi
Gambar 2.4 Struktur Senyawa Xanton (Paramawati, 2010)
20
Manggis merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang memiliki
berbagai manfaat bagi kesehatan. Bagian buah manggis yang paling sering
digunakan sebagai obat dan bahan terapi adalah kulit buahnya. Masyarakat
Asia Tenggara menggunakan kulit buah manggis untuk mengatasi penyakit
kulit akibat infeksi dan luka, disentri amoebik, tuberculosis, demam, jerawat,
kolera, dan berbagai penyakit lainnya. Dalam pengobatan ayurvedi, kulit
buah manggis banyak digunakan untuk mengatasi inflamasi, diare, kolera,
dan disentri (Chaverri et al., 2008; Permana, 2012).
Kulit buah manggis mengandung berbagai macam senyawa seperti
mangostin, tanin, xanton, flavon, fenol, dan lain-lain yang menjadi penyebab
banyaknya aktivitas biologi bagian tanaman ini, antara lain aktivitas
antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, antitumor, dan sebagainya (Li and Xu,
2015). Lim (2012) menyatakan bahwa xanton yang di isolasi dari kulit buah
manggis menunjukkan aktivitas antioksidan, antitumor, antialergi,
antiinflamasi, antibakteri, antifungal, serta antiviral.
Berdasarkan penelitian aktivitas antioksidan ekstrak kulit manggis
dengan metode DPPH menggunakan pelarut air, etanol, dan etil asetat yang
dilakukan oleh Weecharangsan et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak
etanol memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi, yaitu dengan nilai
Inhibition Concetration 50% (IC50) sebesar 30,76 ± 1,66 µg/mL. Mardawati
dkk. (2008) juga melakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan metode
DPPH pada fraksi metanol, fraksi etanol, dan fraksi etil asetat kulit buah
manggis, diperoleh nilai IC50 berturut-turut 8,00 µg/mL, 9,26 µg/mL dan
21
29,48 µg/mL. Yaar dan Gilcherst (2007) menyatakan bahwa penggunaan
antioksidan topikal pada kulit mampu menurunkan akumulasi peroksida pada
kulit, sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan kulit akibat stres
oksidatif.
Aktivitas antioksidan senyawa xanton dibutuhkan dalam formulasi
sediaan yang mampu memberikan perlindungan jangka pendek, jangka
panjang dan stres oksidatif akibat paparan sinar UV (Moffet and Shah, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Susanti et al. (2012) menunjukkan bahwa
senyawa xanton dalam kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.)
memiliki panjang gelombang maksimum 305-330 nm yang merupakan
rentang panjang gelombang sinar UV, sehingga mampu menyerap sinar UV.
Manosroi et al. (2011) menyatakan bahwa senyawa polifenol memiliki
aktivitas antioksidan dan mampu meningkatkan hidrasi kulit dan mencegah
terbentuknya lipid peroksida, sehingga mampu melindungi hidrasi dan pH
kulit. Hasil penelitian Tilaar, et al. (2009) menunjukkan bahwa penggunaan
krim ekstrak kulit manggis mampu meningkatkan kelembaban kulit.
Xanton yang terdapat pada kulit buah manggis memiliki aktivitas
antioksidan dengan cara berperan sebagai radikal bebas scavenging agent.
Mekanisme antioksidan senyawa golongan polifenol adalah:
a. H-atom transfer (HAT) dan proton-coupled electron transfer
(PCET). HAT adalah pemberian proton dan elektron dari atom H
pada orbital atom radikal bebas. PCET adalah transfer proton
22
yang terjadi dari ikatan H ke atom O yang tak berpasangan milik
radikal bebas.
Keterangan: ArOH = Senyawa polifenol; R = Radikal bebas; ArO = Radikal baru yang terbentuk; RH = Radikal bebas dalam keadaan stabil
b. Electron transfer-proton transfer (ET-PT) merupakan dua tahap
mekanisme yang diinisiasi oleh transfer elektron dan diikuti
dengan pelepasan proton. Transfer proton (PT) terjadi sangat
cepat, sehingga mekanisme ET-PT dapat dianggap sebagai HAT.
Keterangan: ArOH = Senyawa polifenol; R = Radikal bebas; ArO = Radikal baru yang terbentuk; RH = Radikal bebas dalam keadaan stabil
c. Sequential proton loss-electron transfer (SPLET) merupakan
mekanisme yang terjadi sebagai respond dari ET-PT. SPLET
diinisiasi oleh kehilangan proton. Anion dari polifenol kemudian
akan mengalami transfer elektron. SPLET akan terjadi ketika
anion (ArO-) cukup stabil untuk terjadinya transfer elektron
sebelum reprotonasi.
Gambar 2.5 Mekanisme HAT dan PCET (Meo et al., 2013)
Gambar 2.6 Mekanisme ET-PT (Meo et al., 2013)
23
Keterangan: ArOH = Senyawa polifenol; R = Radikal bebas; ArO = Radikal baru yang terbentuk; RH = Radikal bebas dalam keadaan stabil; H = Atom Hidrogen
Penelitian Nakatani et al., (2002) menunjukkan bahwa kandungan γ-
mangostin ekstrak kulit buah manggis memiliki aktivitas antiinflamasi pada
pengujian secara in vitro terhadap sintesa PGE-2 dan siklooksigenase (COX)
dalam sel glioma tikus C-6. γ- mangostin menghambat secara poten pelepasan
PGE-2. γ-mangostin menghambat perubahan asam arakidonat menjadi PGE-2
dalam mikrosomal, ini ada kemungkinan penghambatan pada jalur
siklooksigenase. Pada percobaan enzimatik in vitro, senyawa ini mampu
menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2 (Nakatani et al., 2002).
2.6 Masker Wajah Peel Off
Masker merupakan sediaan kosmetik yang digunakan dengan cara dioleskan
pada permukaan kulit dan dibiarkan beberapa saat (15-30 menit) dan berfungsi
untuk merawat kulit, membersihkan, menjaga kelembaban, melindungi dari
bahaya sinar UV, memutihkan, mencegah penuaan kulit, mencegah kerutan dan
kulit kendur, juga mengatasi jerawat (Mitsui, 1997; Shai et al., 2009).
Gambar 2.7 Mekanisme SPLET (Meo et al., 2013)
24
Berdasarkan cara pembersihannya dari permukaan kulit, masker dibedakan
menjadi dua, yaitu masker yang dibilas dan masker yang dikelupas (masker peel
off). Masker peel off dapat berupa gel, pasta, atau pun serbuk. Masker peel off
dalam bentuk gel memiliki karakteristik berupa pembentukan lapisan yang
transparan atau semitransparan, mampu menyebar dengan baik dan saat
pengaplikasian mudah diangkat setelah dikeringkan. Keuntungan masker peel off
dalam bentuk gel adalah dapat menimbulkan efek dingin, tidak menghambat
fungsi fisiologis kulit karena tidak membentuk lapisan lilin ayng kedap dan dapat
menyumbat pori, memungkinkan pengaplikasian pada permukaan tubuh yang
berambut, daya sebar dan daya lekat baik, serta mampu melepaskan zat aktif
dengan baik (Lieberman dan Bunker, 1989; Mitsui, 1997; Shai et al., 2009).
Manosroi et al. (2011) telah melakukan pengujian gel dan krim antioksidan
yang mengandung senyawa polifenol terhadap hidrasi kulit dan dinyatakan
bahwa hidrasi kulit yang dioleskan dengan sediaan dan dipaparkan dengan radiasi
sinar UV lebih tinggi dibandingkan dengan hidrasi kulit yang tidak dioleskan
dengan sediaan gel ataupun krim antioksidan. Formulasi masker gel peel off kulit
buah manggis sebagai antioksidan telah dilakukan dengan menggunakan bahan
berupa PVA (10-16%), HPMC (2-4%) dan propilen glikol (2-15%) (Sukmawati,
2013). Adhiningrat (2015) dan Weda (2015) telah melakukan optimalisasi
formulasi masker gel peel off ekstrak etanol kulit buah manggis. Nesa (2015) telah
melakukan pengujian profil stabilitas masker gel peel off ekstrak kulit buah
manggis dengan menggunakan HPMC sebagai gelling agent dengan hasil
diperolehnya sediaan yang stabil selama 28 hari pengujian. Utami (2014) telah
25
melakukan pengujian aktivitas antioksidan masker gel peel off kulit buah manggis
dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan masker gel
peel off kulit buah manggis memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat
daripada standar vitamin C dengan nilai IC50 masker gel peel off ekstrak kulit buah
manggis sebesar 17,90 ± 0,06 g/mL dan nilai IC50 vitamin C sebesar 20,58 ± 0,11
g/mL. Pengujian iritasi masker gel peel off kulit buah manggis telah dilakukan dan
hasil pengujian menunjukkan tidak ditimbulkannya iritasi pada sukarelawan uji
(Laras, 2014). Selain itu, Darayanthi (2015) telah melakukan uji toleransi sinar
UV-B dan dinyatakan bahwa masker gel peel off ekstrak kulit buah manggis dapat
meningkatkan dosis toleransi terhadap sinar UV-B.