BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kecemasan II.pdf · 2019. 10. 2. · BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kecemasan II.pdf · 2019. 10. 2. · BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kecemasan
2.1.1. Pengertian Kecemasan
Menurut Stuart ( 2012 ) kecemasan adalah kondisi jiwa yang penuh dengan ketakutan
dan kekhawatiran dan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi, baik berkaitan dengan
permasalahan yang terbatas maupun hal - hal yang aneh. Deskripsi umum akan kecemasan
yaitu “ perasaan tertekan dan tidak tenang, serta berpikiran kacau dengan disertai banyak
penyesalan”. Hal ini sangat berpengaruh pada tubuh, hingga tubuh dirasa menggigil,
menimbulkan banyak keringat, jantung berdegup cepat, lambung terasa mual, tubuh terasa
lemas, kemampuan berproduktivitas berkurang, hingga banyak manusia yang melarikan diri
kealam imajinasi sebagaibentuk terapi sementara.
Lazarus dalam Wati ( 2012 ) mengatakan kecemasan merupakan suatu respon dari
pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan
takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor
perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena menghadapi
tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya individu tidak
menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia mengalami kecemasan.
Namun pengertian lain menurut Wilkinson dalam Wati ( 2012 ) menyatakan bahwa
kecemasan adalah suatu keresahan, perasaan tidak nyaman dan menakutkan, disertai dengan
respon automatis, dan sumbernya sering kali tidak spesifik, antisipasi terhadap keadaan
bahaya.
Sedangkan menurut Stuart ( 2012 ) mengartikan kecemasan adalah suatu perasaan
diri, pengalaman subjektif individu. Keadaan emosi ini tidak memiliki subjek yang spesifik.
2.1.2. Jenis dan Tingkat Kecemasan
a. Jenis Kecemasan
Sigmund freud sang pelopor psikoanalisis banyak mengkaji tentang kecemasan ini, dalam
kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan
penting dalam dinamika kepribadian seorang individu. Freud membagi kecemasan kedalam
tiga tipe yaitu kecemasan realistik, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral ( Stuart, 2012 )
1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya bahaya nyata
yang ada dilingkungan maupun di dunia luar.
2. Kecemasan neurotik yaitu rasa takut, jangan - jangan insting – insting (dorong Id)
akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang dapat
membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting -
insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya
jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan
pengalaman yang diperoleh pada masa kanak - kanak terkait dengan hukuman atau
ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia
melakukan perbuatan implusif.
3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati ( super ego ) . orang - orang
yang memiliki super ego baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka
berbuat atau berpikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan
kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang pada masa kanak - kanak
terkait dengan hukuman atau ancaman orang tua maupun orang lain yang mempunyai
otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma.
b. Tingkat Kecemasan
Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau mengidentifikasi
4 tingkatan kecemasan yaitu ( Wati, 2012 ) :
1. Kecemasan Ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari - hari.Kecemasan dapat memotivasi
belajar menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda dan gejala antara lain persepsi dan
perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi
masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai dengan
gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.
2. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang pada hal yang penting dan mengesampingkan
yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan
sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah
naik, mulut kering, gelisah, konstipasi. sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi
menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi
perhatiaannya.
3. Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain.
Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan
berat yaitu: persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian
sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat
belajar secara efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual,
gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar,
dan diare.Secara emosi individu mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada
dirinya.
4. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan
teror.Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak dapat
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.Panik menyebabkan peningkatan aktivitas
motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang, kehilangan pemikiran yang rasional.Kecemasan ini tidak sejalan dengan
kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan
kematian.Tanda dan gejala dari tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian.
2.1.3. Penyebab Kecemasan
Pada lembaga pendidikan banyak faktor pemicu kecemasan pada siswa yaitu ( Yuni, 2011 ) :
a. Kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum : target kurikulum yang terlalu
tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat,
sistem penilaian yang ketat, ujian.
b. Kecemasan yang bersumber dari guru : sikap atau perlakuan guru yang kurang
bersahabat, galak, judes, kurang berkompeten.
c. Kecemasan yang bersumber dari manajemen lembaga pendidikan: penerapan disiplin
sekolah atau lembaga pendidikan yang ketat, mengedepankan hukuman, iklim
lembaga pendidikan yang kurang nyaman, serta sarana belajar - mengajar yang
kurang nyaman.
2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor - faktor yang mempengaruhi kecemasan seseorang meliputi beberapa aspek
antara lain, terdapat komponen genetik terhadap kecemasan, scan otak dapat melihat
perbedaan terutama pada pasien kecemasan yang respons dengan signal berbahaya, sistem
pemrosesan informasi dalam seseorang berjalan dengan singkat ( hal ini dapat direspon
dengan suatu ancaman sebelum yang bersangkutan menyadari ancaman tersebut ), akar dari
gangguan kecemasan mungkin tidak akan menjadi pemisahan mekanisme yang menyertainya
namun terjadi pemisahan mekanisme yang mengendalikan respons kecemasan dan yang
menyebabkan situasi diluar kontrol. Proses terjadinya kecemasan perasaan tidak nyaman atau
terancam pada ansietas diawali dengan adanya faktor predisposisi dan faktor presipitasi
( Stuart, 2012 )
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat digunakan individu untuk mengatasi. Berbagai teori dikembangkan mengenai faktor
predisposisi terjadinya ansietas
b. Biologi ( Fisik )
Penelitian terkini berfokus pada penyebab biologis terjadinya ansietas yang berlawanan
dengan penyebab psikologis.Beberapa individu yang mengalami episode sikap bermusuhan,
iritabilitas, perilaku sosial dan perasaan menyangkal terhadap kenyataan hidup dapat
menyebabkan ansietas tingkat berat bahkan ke arah panik.Salah satu faktor penyebab secara
fisik yaitu adanya gangguan atau ketidakseimbangan pada fisik seseorang.
c. Gangguan fisik
Gangguan fisik yang dapat menyebabkan ansietas adalah antara lain gangguan otak dan
saraf ( neurologis ) seperti cedera kepala, infeksi otak, dan gangguan telinga dalam,
gangguan jantung, seperti kelumpuhan jantung dan irama jantung yang abnormal ( aritma ),
gangguan hormonal( Endrokrin ) seperti kelenjar andrenal atau thyroid terlalu aktif,
gangguan paru - paru ( pernafasan ) berupa asma, paru – paru obstruktif kronis atau COPD.
d. Mekanisme terjadinya kecemasan akibat gangguan fisik
Pengaturan ansietas berhubungan dengan aktivitas dari neurotransmmiter Gamma
Aminobutyric Acid ( GABA ), yang mengontrol aktivitas neuron pada bagian otak yang
berfungsi untuk pengeluaran ansietas. Mekansime kerja terjadinya ansietas diawali dengan
penghambatan neurotransmmiter di otak oleh GABA. Ketika bersilangan di sinaps dan
mencapai atau mengikat ke reseptor GABA di membran postsinaps, maka saluran reseptor
terbuka, diikuti oleh pertukaran ion - Ion. Akibatnya terjadi penghambatan atau reduksi sel
yang dirangsang dan kemudian sel beraktivitas dengan lamban . Mekanisme biologis ini
menunjukkan bahwa ansietas terjadi karena adanya masalah terhadap efisiensi proses
neurotransmmiter. Neurotransmiter sendiri adalah utusan kimia khusus yang membantu
informasi bergerak dari sel saraf ke sel saraf.
Jika neurotransmitter keluar dari keseimbangan, pesan tidak bisa melalui otak dengan benar.
Hal ini dapat mengubah cara otak bereaksi dalam situasi tertentu, yang menyebabkan
kecemasan.
e. Psikologis
Pendapat yang dikemukan oleh Taylor kecemasan merupakan pengalaman subyektif
mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai bentuk reaksi umum dan
ketidakmampuan menghadapi masalah atau munculnya rasa tidak aman pada
individu.Kecemasan muncul dikarenakan adanya ketakutan atas sesuatu yang mengancam
pada seseorang, dan tidak ada kemampuan untuk mengetahui penyebab dari kecemasan
tersebut. Freud mengemukakan bahwa lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang
memicu munculnya kecemasan. Freud berpendapat bahwa sumber ancaman terhadap ego
tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id tuntutan - tuntutan dari superego.
Freud juga mengatakan jika pikiran menguasai tubuh maka ini berarti bahwa ego yang
menguasai pikiran dan pikiran berkuasa secara mutlak . `Freud menyatakan bahwa ego
disebut sebagai eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu - pintu ke arah tindakan,
memilih segi - segi lingkungan kemana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting
- insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi
- fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id, superego, dan dunia
luar yang sering bertentangan.
Hal ini sering menimbulkan tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya
kecemasan. Freud membagi teori kecemasan menjadi 3 yaitu (Stuart, 2012 ) :
1. ID/Impulse anxiety : perasaan tidak nyaman pada anak
1. Saparation anxiety : pada anak yang merasa takut akan kehilangan kasih sayang
orang tuanya
2. Cstration anxiety : merupakan fantasi kastrasi pada masa kanak – kanak yang
berhubungan dengan pembentukan impuls seksual
3. Super Ego anxiety : pada fase ahkir pembentukan super ego yaitu pre pubertas .
f. Sosial Budaya
Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada timbulnya ansietas. Individu
yang mempunyai cara hidup sangat teratur dan mempunyai. falsafah hidup yang jelas maka
pada umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Budaya seseorang juga dapat menjadi
pemicu terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh Mudjadid,dkk tahun 2006 pada
lima wilayah pada masyarakat DKI Jakarta didapatkan data bahwa tingginya angka ansietas
disebabkan oleh perubahan gaya hidup serta kultur dan budaya yang mengikuti
perkembangan kota . Namun demikian, faktor predisposisi di atas tidaklah cukup kuat
menyebabkan sesorang mengalami ansietas apabila tidak disertai faktor presipitasi
( pencetus ).
2.1.5. Aspek - Aspek Kecemasan
Deffenbacher dan Hazeleus dalam Register mengemukakan bahwa sumber penyebab
kecemasan, meliputi hal - hal di bawah ini (Wati, 2012 ) :
a. Kekhawatiran ( Worry )
Kekhawatiran ( worry) merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri, seperti perasaan
negatif bahwa ia lebih jelek dibandingkan dengan teman - temannya.
b. Emosionalitas ( imosionality) Emosionalitas (imosionality) sebagai reaksi diri
terhadap rangsangan saraf otonom, seperti jantung berdebar - debar, keringat dingin
dan tegang.
c. Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas ( task generated interference )
Gangguan dan hambatan dalam menyelsaikan tugas merupakan kecenderungan yang
dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas.
2.2. Konsep Tidur
2.2.1. Definisi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya ( Guyton&
Hall, 2009 dalam Wiyono, 2010 ). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang
terjadi berulang – ulang selama periode tertentu ( Potter& Perry, 2010 ). Menurut Chopra
( 2003 ), tidur merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat
secara tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang
bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di
siang hari ( Harson, 2007 dalam Widya, 2010 ).
2.2.2. Fisiologi Tidur
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola dunia
yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam antara lain
diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam -
tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan binatang pada siang hari
dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 2007 dalam Widya, 2010 ).
Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang
sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang
bekerja (Harsono, 2007 dalam Wiyono, 2010 ). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan
dalam tidur adalah Reticular Activating System ( RAS ) dan Bulbar Synchronizing Regional
( BSR ) yang terletak pada batang otak ( Potter & Perry, 2010 ).
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat
termasuk kewaspadaan dan tidur.RAS ini terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons.
Selain itu RAS dapat member rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat
menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam
keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus
yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR ( Potter& Perry, 2010 ).
2.2.3. Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye
Movement ( REM ) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement
( NREM ). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur
stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat, lalu diikuti oleh
fase REM ( Patlak, 2005) . Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4 - 6
siklus dalam semalam ( Potter& Perry, 2010 ).
a. Tidur Stadium Satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan
mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak
peralahan - lahan, dan aktivitas otot melambat ( Patlak, 2005 dalam Widya, 2010 ).
b. Tidur Stadium Dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu tubuh
menurun ( Smith& Segal, 2010 ). Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti
( Patlak, 2005 dalam Widya, 2010).
c. Tidur Stadium Tiga
Tidur pada tahap ini lebih dalam dari tidur tahap stadium dua sebelumnya ( Ganong, 1998 ).
Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak
dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit ( Smith&
Segal, 2010 ).
d. Tidur Stadium Empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam.Gelombang otak sangat lambat. Aliran
darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik ( Smith&
Segal, 2010 ). Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat
restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di
siang hari ( Patlak, 2005 dalam Widya, 2010). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung
antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM
jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun ( Japardi, 2002 dalam Wiyono, 2010). Selama tidur REM, mata
bergerak cepat keberbagai arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup.Pernafasan juga
menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat ( Patlak,
2005 dalam Widya, 2010 ).
Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM
lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang
( Potter& Perry, 2010 ).
2.2.4. Siklus Tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata - rata 7 jam, REM dan NREM terjadi
berselingan sebanyak 4 - 6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka
esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat
mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup,
keadaan fisik menjadi kurang gesit ( Mardjono, 2008 ).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut.
Tahap pratidur
NREM I NREM II NREM III NREM IV
REM
NREM IV NREM III
Gambar 2.1.Tahapan Tidur ( Mardjono, 2008 )
Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus dari 24
jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan keteraturan tidur
seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu ( Potter&
Perry, 2010 ).
2.2.5. Mekanisme Tidur
Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter fisiologis.NREM
ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan lambat serta tekanan
darah yang rendah.
NREM adalah tahapan tidur yang tenang.REM ditandai dengan gerakan mata yang
cepat dan tiba - tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi.Pada tidur REM terdapat fluktuasi
luas dari tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas.Keadaan ini disertai dengan
penurunan tonus otot dan peningkatan aktivitas otot involunter. REM disebut juga aktivitas
otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks ( Smith& Segal, 2010 ).
Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5 - 20 menit, rata - rata timbul
setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80 – 100 menit setelah seseorang tertidur.
Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I dengan
gelombang beta, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas
tidak teratur ( pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid eye
movement ), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur gelombang lambat atau NREM.
Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang disebut
Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka orang
tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut
akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System ( RAS ) ini sangat dipengaruhi
oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik,
histaminergik ( Japardi, 2002 dalam Widya, 2010).
a. Sistem Serotoninergik
Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino triptofan.
Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalam triptofan
terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/ jaga.
Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak system serotoninergik ini terletak
pada nucleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktivitas serotonis
di nucleus raphe dorsalis dengan tidur REM ( Potter& Perry, 2010 ).
b. Sistem Adrenergik
Neuron - neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan sel
nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat
mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat - obatan yang mempengaruhi
peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada
tidur REM dan peningkatan keadaan jaga ( Potter& Perry, 2010 ).
c. Sistem Kolinergik
Menurut Sitaram dkk, ( 1976 ) dalam ( Japardi, 2002 dalam Widya, 2010)
membuktikan dengan pemberian prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur
REM. Stimulasi jalur kolinergik ini, mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam
kedaan jaga. Gangguan aktivitas kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur
ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik ( scopolamine ) yang menghambat pengeluaran kolinergik dari lokus sereleus
maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM ( Japardi, 2002 dalam Widya,
2010 ).
d. Sistem Histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur ( Japardi, 2002 dalam Widya,
2010).
e. Sistem Hormon
Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin
Hormone ( ACTH ), Growth Hormon ( GH ), Tyroid Stimulating Hormon ( TSH ),
Lituenizing Hormon ( LH ).
Hormon - hormon ini masing - masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis
anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran
neurotransmitter norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur
dan bangun ( Potter& Perry, 2010 ).
2.2.6. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut
tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis,
kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah - pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk ( Hidayat, 2006 dalam
Wiyono, 2010). Kualitas tidur, menurut American Psychiatric Association( 2000 ), dalam
Wavy ( 2008 ), didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa
dimensi. Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur,
waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti
kedalaman dan kepulasan tidur ( Daniel et al, 1998; Buysse, 1998 dalam Wiyono, 2010).
Persepsi mengenai kualitas tidur itu sangat bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi
oleh waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau efesiensi tidur.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda adalah
80 – 90 % ( Dament et al, 1985; Hayashi & Endo, 1982 dikutip dari Carpenito, 1998 ). Disisi
lain, Lai ( 2001 ) dalam Wavy ( 2008 ) menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh
bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur,
kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur
yang baik dapat memberikan perasaan tenang dipagi hari, perasaan energik, dan tidak
mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan
vital untuk hidup sehat semua orang ( Wavy, 2008 ).
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasaan laboraorium yaitu EEG
yang merupakan rekaman arus listrik dari otak.Perekaman listrik dari permukaan otak atau
permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus - menerus
timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari
keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe gelombang EEG
diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan delta ( Guyyton& Hall, 2009 ).
Selain itu, menurut Hidayat ( 2006 ), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan tanda - tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam
tidurnya. Tanda - tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda
psikologis. Di bawah ini akan dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang dialami
Hidayat ( 2006 dalam Wiyono, 2010).
a. Tanda Fisik
Ekspresi wajah ( area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva
kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan ( sering menguap ), tidak
mampu untuk berkonsentrasi ( kurang perhatian ), terlihat tanda - tanda keletihan seperti
penglihatan kabur, mual dan pusing ( Mardjono, 2008 ).
b. Tanda Psikologis
Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara,
daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran,
kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun ( Mardjono, 2008 ).
2.2.7. Gangguan Tidur
Gangguan tidur sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari berbagai
gangguan fisik, mental dan spiritual ( Johanna& Jachens, 2004 dalam Mardjono, 2008 ).
Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin,
berpendidikan tinggi dan rendah, orang muda serta yang paling sering ditemukan pada usia
lanjut.
Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan
perubahan - perubahan pada siklus tidur biologisnya, menurun daya tahan tubuh serta
menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang
pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain ( Potter & Perry,
2010 ). Gangguan tidur merupakan masalah yang sangat umum. Di Negara - negara industri
khususnya, banyak orang menderita dari beberapa bentuk gangguan tidur. Data tentang
frekuensi bervariasi antara 25 – 50 % dari populasi ( Johanna& Jachens, 2004 dalam
Mardjono, 2008).
Menurut International Classification of Sleep Disorders dalam Japardi( 2002 dalam
Widya, 2010), gangguan tidur terbagi atas : disomnia dan parasomnia. Disomnia terdiri atas
gangguan tidur spesifik diantaranya adalah narkolepsi, gangguan gerakan anggota gerak
badan secara periodik/ mioklonus nokturnal, sindroma kaki gelisah/ Restless Legs Syndrome
atau Ekboms Syndrome, gangguan pernafasan saat tidur/ sleep apnea dan pasca trauma
kepala; gangguan tidur irama sirkadian diantaranya adalah gangguan tidur irama sirkadian
sementara/ acute work shift/ jet lag, gangguan tidur irama sirkadian menetap/ shift worker.
Sedangkan parasomnia terdiri atas tiga, yaitu gangguan tidur berjalan ( sleep walking/
somnabulisme ), gangguan terror tidur ( sleep terror ), gangguan tidur berhubungan dengan
fase REM ( Mardjono, 2008 ).
2.3. Konsep Lansia
2.3.1. Pengertian Menua
Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan - lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita ( Sudirman S, 2011 ). Menurut organisasai kesehatan dunia ( WHO ), yang termasuk
lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. Menurut Undang – undang No.4
tahun 1965 pasal 1, seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau lanjut usia setelah yang
bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah
sendiri untuk keperluan hidupnya sehari - hari dan menerima nafkah dari orang lain (Azizah
L. 2011 )
2.3.2. Teori - Teori Proses Menua
Menurut Stanley ( 2006 ) dalam Azizah L. 2011), teori - teori proses menua terdiri dari :
a. Teori Biologis
1. Teori Genetic Clock
Menurut teori ini menua telah terprogam secara genetic untuk spesies - spesies
tertentu. Tiap spesies mempunyai di dalam inti sel nya suatu jam genetik yang
telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis
dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar, jadi menurut konsep ini bila jam
kita itu berhenti akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan
lingkungan atau penyakit akhir.
2. Teori Wear and Tear
Teori wear and tear ( dipakai dan rusak ) mengusulkan bahwa akumulasi sampah
metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong
malfungsi organ tubuh. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak
stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi O2 bahan - bahan organik seperti
karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel - sel tidak dapat melakukan
regenerasi ( Maryam, 2008 ).
3. Riwayat lingkungan
Menurut teori ini, faktor -faktor di dalam lingkungan ( misalnya karsinogen dari
industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi ) dapat membawa perubahan dalam
proses penuaan. Walaupun faktor - faktor ini diketahui dapat mempercepat proses
penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan
merupakan faktor utama dalam penuaan.
4. Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang
berhubungan dengan penuaan.Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka
terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan
untuk menderita penyakit.Seiring dengan berkurangnya fungsi system imun,
terjadilah peningkatan dalam respon autoimun tubuh.
5. Teori Neuroendokrin
Penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon
tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem
saraf.Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal, dan
reproduksi. Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal
akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses
dan bereaksi terhadap perintah ( Stanley, 2006 dalam Azizah L. 2011). Seluruh
reflek volunter menjadi lebih lambat sehingga kemampuan lanjut usia untuk
berespon terhadap stimulus akan berkurang.
b. Teori Psikososiologis
Sudirman ( 2011 ) teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku
yang menyertai peningkatan usia. Teori psikososiologis terdiri dari:
1. Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek - aspek pertumbuhan psikologis Separuh
kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan memiliki tujuannya sendiri,
yaitu untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri melalui aktivitas yang dapat
merefleksikan dirinya sendiri.
2. Teori tugas perkembangan
Hasil penelitian Erickson tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan
yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap - tahap spesifik dalam hidupnya
untuk mencapai penuaan yang sukses. Tugas utama lanjut usia adalah mampu
melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang harus dijalani dengan
integritas.
3. Teori disengagement
Teori disengagement ( teori pemutusan hubungan ) menggambarkan proses
penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting
untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lanjut usia
dikatakan akan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggung jawab
telah diambil oleh generasi yang lebih muda.
4. Teori aktivitas
Penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Gagasan pemenuhan
kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan
oleh orang lain. Kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh arti
bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen
kesejahteraan yang penting bagi lanjut usia.
5. Teori kontinuitas
Teori kontinuitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan, merupakan
suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan
dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar
mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan diusia tua. Teori ini
menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian
sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan
diri terhadap perubahan akibat menua. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap tidak
berubah walapun usianya telah lanjut.
2.3.3. Perubahan Fisiologis Pada Lanjut Usia
Perubahan fisiologis pada lanjut usia yang berkaitan dengan kejadian jatuh diantaranya
adalah perubahan sistem musculoskeletal, sistem persyarafan dan sistem sensoris ( Sudirman,
2011 ).
a. Perubahan Muskuloskeletal
Tulang - tulang pada sistem skelet ( rangka ) membentuk fungsi penunjang, pelindung,
gerakan tubuh dan penyimpanan mineral. Jaringan otot rangka melekat pada rangka dan
bertanggung jawab untuk gerakan tubuh volunter.Persendian diklasifikasikan secara
struktural dan fungsional.Klasifikasi structural didasarkan pada ikatan materi tulang dan
apakah ada rongga persendian.Klasifikasi fungsional didasarkan pada jumlah gerakan yang
dimungkinkan pada persendian.Bila artikulasis diantara tambahan tulang, sendi menahan
tulang dan memungkinkan gerakan. Penurunan progesif pada massa tulang total terjadi sesuai
proses penuaan. Beberapa kemungkinan penyebab dari penurunan ini meliputi ketidakaktifan
fisik, perubahan hormonal, dan resorpsi tulang.Efek penurunan tulang adalah makin
lemahnya tulang vertebra lebih lunak dan dapat terteka, dan tulang berbatang panjang kurang
tahan terhadap penekukan dan menjadi lebih cenderung fraktur.
Serat otot rangka berdegenerasi.Fibrosis terjadi saat kolagen menggantikan otot,
mempengaruhi pencapaian suplai oksigendan nutrisi. Massa, tonus dan kekuatan otot
semunya menurun: otot lebih menonjol dari ekstremitas yang menjadi kecil dan lemah, dan
tangan kurus dan tampak bertulang. Penyusupan dan sklerosis pada tendon dan otot
mengakibatkan perlambatan respon selama tes reflek tendon.
b. Perubahan muskuloskeletal antara lain pada jaringan penghubung, kartilago, tulang,
otot dan sendi.
1. Jaringan penghubung ( kolagen dan elastin )
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago
dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan penurunan
hubungan pada jaringan kolagen, merupakan salah satu alasan penurunan
mobilitas pada jaringan tubuh.Sel kolagen mencapai puncak mekaniknya karena
penuaan, kekakuan dari kolagen mulai menurun.Kolagen dan elastin yang
merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitas
dan kuantitasnya. Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya
fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke
berdiri, jongkok dan berjalan dan hambatan dalam melekukan aktivitas sehari -
hari.upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan
latihan untuk menjaga mobilitas.
2. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi
akhirnya permukaan sendi menjadi rata.Selanjutnya kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progesif.
Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matrik kartilago.berkurang atau
hilang secara bertahap. Sehingga jaringan fibril pada kolagen kehilangan
kekuatanya dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi.Kartilago
mengalami kalsifikasi di beberapa tempat seperti pada tulang rusuk dan
tiroid.Fungsi kartilago menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai peredam kejut,
tetapi sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya kartilago pada
persendian menjadi rentan terhadap gesekan.Perubahan tersebut sering terjadi
pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah
mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya
aktivitas sehari - hari..untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dapat diberikan
teknik perlindungan sendi.
3. Tulang
Kekurangan kepadatan tulang, setelah diobservasi adalah bagian dari penuaan
fisiologis.Trabekula longitudinal menjadi tipis trabekula tranversal terabsorbsi
kembali, sehingga akibat perubahan itu, jumlah tulang spongiosa berkurang dan
tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain yang terjadi adalah penurunan
estrogen sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan penyerapan
kalsium dalam usus, peningkatan haversi sehingga tulang keropos. Berikutnya
jaringan tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan tulang menurun.
Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis
lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas, fraktur. Latihan fisik dapat
diberikan sebagai cara untuk mencegah osteoporosis.
4. Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi.Menurunnya jumlah dan
ukuran serabut otot, meningkatnya jaringan penghubung dan jaringan lemak pada
otot mengakibatkan efek negatif. Perubahan otot pada penuaan antara lain
menurunya jumlah serabut otot, atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril
menjadi tidak teratur dan hipertropi pada serabut otot yang lain, penurunan 30 %
massa otot, meningkatnya jaringan lemak, degenerasi miofibril. Dampak dari
perubahan otot tersebut adalah menurunya kekuatan, menurunnya fleksibilitas,
meningkatnya waktu reaksi dan menurunnya kemampuan fungsional otot.Untuk
mencegah perubahan lebih lanjut dapat diberikan latihan untuk mempertahankan
mobilitas.
5. Sendi
Pada lanjut usia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia
mengalami penurunan elastis, ligamen, kartilago dan jaringan periartikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi,
kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi.Sendi kehilangan fleksibilitasnya
sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi, gangguan jalan dan aktivitas
keseharian lainnya. Upaya pencegahan kerusakan sendi antara lain memberikan
teknik perlindungan sendi dalam beraktivitas.
c. Perubahan Sistem Persarafan
Sistem neurologis , terutama otak adalah suatu faktor utama dalam penuaan. Neuron - neuron
menjadi semakin komplek dan tumbuh, tetapi neuron-neuron tersebut tidak dapat mengalami
regenerasi. Perubahan struktural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri.Walaupun
bagian lain dari sistem saraf pusat juga terpengaruh.Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi
oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak.Korteks serebral adalah daerah otak
yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron.Penurunan aliran darah serebral dan
penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan. Perubahan dalam sistem neurologis
dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 105 kehilangan yang
diketahui pada usia 80 tahun. Secara fungsional terdapat suatu perlambatan reflek tendon,
terdapat kecenderungan ke arah tremor dan langkah yang pendek - pendek atau gaya berjalan
dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Waktu
reaksi menjadi lebih lambat, dengan penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki
dan pengurangan reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena pengurangan dendrite dan
perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi.
Menurut Pujiastuti ( 2003 dalam Sudirman , 2011), lanjut usia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari - hari. Penuaan menyebabkan
penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada susunan SSP .hal ini terjadi karena SSP
pada lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan
berkurangnya kandungan protein dan lemah pada otak sehingga otak menjadi lebih
ringan.Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian, sedang yang hidup
banyak mengalami perubahan.Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami
perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami
penurunan 10 % sehingga gerakan menjadi lamban.Akson dalam medula spinalis menurun 37
%.Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan,
kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi.Hal itu dapat dicegah dengan latihan
koordinasi dan keseimbangan. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan defisit neurologis
pada klien lanjut usia dapat dipandang dari berbagai perspektif: fisik, fungsional, kognisi dan
komunikasi.
d. Fisik
Dampak dari penuaan pada SPSS sukar untuk ditentukan, karena hubungan fungsi sistem ini
dengan sistem tubuh yang lain. Dengan gangguan perfusi dan gangguan aliran darah serebral,
lanjut usia berisiko lebih besar untuk mengalami kerusakan serebral. Dan metabolism yang
sudah diketahui.Dengan penurunan kecepatan konduksi saraf, reflek yang lebih lambat, dan
respon yang tertunda untuk berbagai stimulus yang dialami maka terdapat pengurangan
sensasi kinestetik.
e. Fungsi
Defisit fungsional pada gangguan neurologis berhubungan dengan penurunan mobilitas pada
lanjut usia, yang disebabkan oleh penurunan kekuatan, rentang gerak dan kelenturan.
Penurunan pergerakan merupakan akibat dari kifosis, pembesaran sendi - sendi, kesenjangan
dan penurunan tonus otot.Atrofi dan penurunan jumlah serabut otot dengan jaringan fibrosa
secara berangsur - angsur menggantikan jaringan otot. Dengan penurunan massa otot,
kekuatan dan pergerakan secara keseluruhan, lamjut usia memperlihatkan kelemahan secara
umum dihubungkan dengan degenerasi sistem ekstrapiramidal. Kekejangan dapat diakibatkan
oleh cedera motor neuron didalam SSP. Kejang yang berat dapat mengakibatkan
berkurangnya fleksibilitas, postur tubuh dan mobilitas fungsional, juga nyeri sendi,
kontraktur dan masalah dengan pengaturan posisi.Tendon dapat mengalami sklerosis dan
penyusutan, yang menyebabkan penurunan hentakan tendon. Defisit mobilitas fungsional dan
pergerakan membuat lanjut usia menjadi sangat rentan untuk mengalami gangguan integritas
kulit dan jatuh.
f. Perubahan Sensoris
Banyak lanjut usia memiliki masalah sensoris yang berhubungan dengan perubahan normal
akibat penuaan. Perubahan sensoris dan permasalahn yang dihasilkan merupakan faktor yang
turut berperan paling kuat dalam perubahan gaya hidup yang bergerak ke arah
ketergantungan yang lebih besar dan persepsi negatif tentang kehidupan. Defisit sensoris
perubahan penglihatan merupakan bagian dari penyesuaian berkesinambungan yang datang
dalam kehidupan usia lanjut. Perubahan penglihatan mempengaruhi pemenuhan AKS.
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, konstriksi pupil akibat
penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata. Perubahan penglihatan pada
awalnya dimulai dengan terjadinya presbiopi, kehilangan kemampuan akomodatif dimulai
pada dekade keempat kehidupan, ketika seseorang memiliki masalah dalam membaca huruf -
huruf yang kecil. Kerusakan akomodasi mata terjadi karena otot – otot siliaris menjadi lemah
dan lebih kendur, dan lensa mengalami sklerosis dengan kehilangan elastisitas dan
kemampuan untuk memusatkan data ( penglihatan jarak dekat ). Ukuran pupil menurun
karena sfingter pupil mengalami sklerosis.Miosis pupil dapat mempersempit lapang pandang
dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.Perubahan warna misalnya
menguning dan meningkatnya kekeruhan lensa Kristal yang terjadi dari waktu ke waktu dapat
menimbulkan katarak.Katarak menimbulkan tanda dan gejala penuaan yang mengganggu
penglihatan dan aktivitas setiap hari. Penglihatan yang kabur dan seperti terdapat selaput di
atas mata adalah gejala umum, yang mengakibatkan kesukaran dalam mengfokuskan
penglihatan dan membaca..selain itu lanjut usia harus didorong untuk menggunakan lampu
yang terang dan tidak menyilaukan. Sensitivitas terhadap cahaya sering terjadi, menyebabkan
lanjut usia sering mengedipkan mata terhadap cahaya terang atau ketika berada di luar pada
siang hari yang cerah. Lanjut usia memerlukan penggunaan cahaya pada malam hari di dalam
rumah dan waktu tambahan untuk melakukan penyesuaian penglihatan terhadap perubahan
kekuatan penerangan ketika meninggalkan suatu lingkungan yang memiliki pencahayaan
baik kesuatu lingkungan yang pencahayaan redup. Lanjut usia harus diajarkan untuk
menggunakan tangan mereka sebagai pemandu pada pegangan tangga dan menggunakan cat
yang terang pada bagian tepi anak tangga. ( Stanley, 2006 )
Menurut Pujiastuti (2003) dalam Sudirman ( 2011), perubahan penglihatan pada lanjut usia
erat kaitanya dengan presbiopi. Lensa kehilangan elastisitasnya dan kaku, otot penyangga
lensa lemah dan kehilangan tonus.Ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh
atau dekat berkurang.Penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik dapat
digunakan untuk mengkompensasi hal tersebut. Perubahan penglihatan pada lanjut usia
antara lain penglihatan menurun, akomodasi lensa menurun, iris mengalami arkus senilities,
koroid memperlihatkan atrofi disekitar discus, lensa dibutuhkan lebih banyak cahaya untuk
melihat warna, konjungtiva menipis dan terlihat kekuningan, air mata menurun infeksi dan
iritasi meningkat, pupil ukuranya berbeda, kornea terdapat arkus senilis. Kehilangan
pendengaran pada lanjut usia disebut presbikusis. Penyebab tidak diketahui tetapi berbagi
faktor yang telah diteliti adalah nutrisi, faktor genetika, suara gaduh, hipertensi, stress
emosional. Penurunan pendengaran terutama berupa sensorineural, tetapi juga dapat berupa
komponen konduksi yang berkaitan dengan presbikusis. Penurunan pendengaran
sensorineural terjadi saat telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan
baik ( saraf pendengaran, batang otak atau jalur kortikal pendengaran ). Penyebab dari
perubahan konduksi tidak diketahui, tetapi masih berkaitan dengan perubahan pada tulang di
dalam telinga tengah, dalam bagian koklear atau di dalam tulang mastoid. Dalam presbikusis,
suara konsonan derngan nada tinggi merupakan yang pertama kali terpengaruh, dan
perubahan dapat terjadi secara bertahap..karena perubahan berlangsung lambat, lanjut usia
mungkin tidak segera mencari bantuan yang dalam hal ini sangat penting sebab semakin
cepat kehilangan pendengaran dapat diidentifikasi dan alat bantu diberikan, semakin besar
kemungkinan untuk berhasil. Karena kehilangan pendengaran pada umunya berkangsung
secara bertahap. Dua masalah fungsional pendengaran pada populasi lanjut usia adalah
ketidakmampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan untuk mendeteksi
suara dengannada frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan misalnya f, s, sk,sh dan
perubahan – perubahan ini dapat terjadi pada salah satu atau kedua telinga
2.3.4. Karakteristik Lansia Dan Permasalahannya
1. Pertumbuhan dan Penuaan
Setiap manusia menjalani serangkaian tahap pertumbuhan sepanjang daur
kehidupannya yang berawal dari tahap bayi, kanak - kanak, remaja, dewasa awal, dan
diakhiri dengan dewasa akhir ( lanjut usia ). Menurut Carl Gustav Jung, daur kehidupan
terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama yang berlangsung sampai kira - kira 40 tahun yang
terdiri atas bayi, kanak - kanak, remaja, dan dewasa awal; dan tahap kedua yang disebut tahap
dewasa akhir atau tahap lanjut usia yang berlangsung sejak umur 40 tahun hingga orang
tersebut meninggal dunia.
Proses penuaan pada seseorang adalah fenomena alamiah sebagai akibat
bertambahnya umur, oleh karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit melainkan suatu
keadaan wajar yang bersifat universal. Menurut dr. Maria Sulindro ( direktur medis Pasadena
anti-aging, USA ), proses penuaan tidak terjadi serta merta melainkan secara bertahap dan
secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu sebagai berikut :
a. Fase I: terjadi pada saat seseorang mencapai usia 25 - 35 tahun. Pada masa ini
produksi hormon mulai berkurang dan mulai terjadi kerusakan sel tetapi tidak
memberi pengaruh pada kesehatan. Tubuh pun masih bugar terus.
b. Fase II: pada usia 35 - 45 tahun, produksi hormon sudah menurun sebanyak 25 %
dan tubuh pun mulai mengalami penuaan. Pada masa ini, mata mulai mengalami
rabun dekat sehingga perlu menggunakan kacamata berlensa plus, rambut mulai
beruban, stamina tubuh pun berkurang.
c. Fase III: terjadi pada usia 45 tahun ke atas. Pada masa ini produksi hormon sudah
berkurang hingga akhirnya berhenti sama sekali. Kaum perempuan mengalami
masa yang disebut menopause sedangkan kaum pria mengalami masa andropause.
Pada masa ini kulit pun menjadi kering karena mengalami dehidrasi sehingga
tubuh menjadi cepat lelah dan capek. Berbagai penyakit degeneratif seperti
diabetes, osteoporosis, hipertensi dan penyakit jantung koroner mulai menyerang.
Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan
normal yang akan dialami oleh setiap individu dan merupakan kenyataan yang
tidak dapat dihindari. Batasan lanjut usia (lansia) dapat ditinjau dari aspek biologi,
sosial, dan usia atau batasan usia, yaitu:
1. Aspek Biologi
Lansia ditinjau dari aspek biologi adalah orang/individu yang telah menjalani
proses penuaan ( menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat
menyebabkan kematian ). Hal ini disebabkan seiring meningkatnya usia terjadi
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
2. Aspek Sosial
Dari sudut pandang sosial, lansia merupakan kelompok sosial tersendiri.Di
negara Barat, lansia menduduki strata sosial di bawah kaum muda.Bagi
masyarakat tradisional di Asia, lansia menduduki kelas sosial yang tinggi yang
harus dihormati oleh masyarakat.
3. Aspek Umur
Dari kedua aspek di atas, pendekatan umur adalah yang paling memungkinkan
untuk mendefinisikan lansia secara tepat. Beberapa pendapat mengenai
pengelompokkan usia lansia adalah sebagai berikut :
- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), lanjut usia adalah tahap
masa tua dalam perkembangan individu dengan batas usia 60 tahun ke atas
- UU RI No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteran Lanjut Usia menyatakan
bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun
keatas.
- Departemen Kesehatan RI membuat pengelompokkan sebagai berikut :
a. Kelompok Pertengahan Umur: kelompok usia dalam masa vertilitas
yaitu masa persiapan usia lanjut yang menunjukkan keperkasaan fisik
dan kematangan jiwa ( 45 - 54 tahun ).
b. Kelompok Usia Lanjut Dini: kelompok dalam masa prasenium yaitu
kelompok yang mulai memasuki usia lanjut ( 55 - 64 tahun ).
c. Kelompok Usia Lanjut: kelompok dalam masa senium ( 65 tahun ke
atas )
d. Kelompok Usia Lanjut dengan Resiko Tinggi: kelompok yang berusia
lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri,
terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.
2. Penuaan
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) membuat pengelompokan penuaan sebagai
berikut:
1. Usia pertengahan adalah kelompok usia 45 - 59 tahun.
2. Usia lanjut adalah kelompok usia antara 60 - 70 tahun.
3. Usia lanjut tua adalah kelompok usia antara 75-90 tahun.
4. Usia sangat tua adalah kelompok usia di atas 90 tahun.
5. Menurut Second World Assembly on Ageing ( SWAA ) di Madrid ( 8 - 12 April
2002 ) yang menghasilkan Rencana Aksi Internasional Lanjut Usia ( Madrid
International Plan of Action on Ageing ), seseorang disebut sebagai lansia jika
berumur 60 tahun ke atas ( di negara berkembang ) atau 65 tahun ke atas di negara
maju.
2.3.5. Kategori Lansia
Berdasarkan tingkat keaktifannya, lansia dibagi menjadi tiga kategori yaitu: go go's yang
bersifat aktif bergerak tanpa bantuan orang lain, slow go's yang bersifat semi Cooper dan
Francis juga mengelompokkan lansia menjadi tiga bagian berdasarkan usia dengan penjelasan
sebagai beriku : aktif, dan no go's yang memiliki cacat fisik dan sangat tergantung pada pada
orang lain
Tabel 2.1.Kategori Lansia Menurut Cooper Dan Francis
Young old Old Old – old
Usia Antara usia 55-70
tahun
Antara usia 70-80
tahun
80 tahun keatas
Kemampuan Mandiri dalam
bergerak
Cukup mandiri
dalam bergerak.
Kurang mandiri,
memiliki
keterbatasan gerak
dan membutuhkan
perawatan lebih
Aktivitas Inisiatif sendiri,
santai, rekreasi,
bersosialisasi,
berhubungan
dengan kesehatan
Inisiatif sendiri
dan kelompok,
mulai jarang
berpindah (duduk
terus),
bersosialisasi,
berhubungan
dengan kesehatan
Inisiatif terbatas
(biasanya dari orang
yang mengurus),
jarang berpindah,
bersosialisasi, terapi
(Azizah L, 2011 )
2.3.6. Penurunan Kondisi Pada Lansia
Secara normal, seseorang yang berada pada keadaan usia lanjut akan mengalami
penurunan berbagai organ atau sistem tubuh, baik dari segi anatomi maupun fungsional.
Beberapa penurunan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut :
1. Penurunan fisik, meliputi :
a. Lansia tidak tahan terhadap temperatur yang sangat panas atau sangat dingin. Hal
ini disebabkan oleh menurunnya fungsi pembuluh darah pada kulit.
b. Dalam kemampuan visual, lansia mengalami kemunduran dalam hal ketajaman
dan luas pandangan. Mata kurang peka dalam melihat cahaya dengan intensitas
terlalu tinggi dan lebih sensitif terhadap sesuatu yang menyilaukan serta kurang
mampu membedakan warna.
c. Dalam kemampuan pendengaran, lansia mengalami kesulitan dalam menangkap
frekuensi percakapan yang kecil atau besar diwaktu bersamaan
d. Dalam kemampuan indera perasa, lansia menjadi kurang menyadari akan
perubahan suhu, rasa dan bau.
e. Penurunan fungsi sistem motorik ( otot dan rangka ), antara lain berkurangnya
daya tumbuh dan regenerasi, kemampuan mobilitas dan kontrol fisik, semakin
lambatnya gerakan tubuh, dan sering terjadi getaran otot (tremor). Jumlah otot
berkurang, ukurannya menciut, volume otot secara keseluruhan menciut dan
fungsinya menurun. Terjadi degenerasi di persendian dan tulang menjadi keropos
( osteoporosis ).
f. Kulit tubuh menjadi berkerut karena kehilangan elastisitas dan mudah luka apabila
tergores benda yang cukup tajam. Kulit tubuh menjadi lebih kering dan tipis.
g. Semakin tua usia seseorang, tingkat kecerdasan semakin menurun, memori
berkurang, kesulitan berkonsentrasi, lambatnya kemampuan kognitif dan kerja
saraf.
2. Penurunan psikologis
a. Demensia adalah suatu gangguan intelektual atau daya ingat yang sering terjadi
pada orang yang berusia > 65 tahun.
b. Depresi. Gangguan depresi merupakan hal yang terpenting dalam problem lansia.
Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi tetapi suatu keadaan penyakit
medis kronis dan masalah - masalah yang dihadapi lansia yang membuat mereka
depresi. Gejala depresi pada lansia adalah kehilangan minat, berkurangnya energi
( mudah lelah ), konsentrasi dan perhatian berkurang, kurang percaya diri, sering
merasa bersalah, pesimis, gangguan pada tidur dan gangguan nafsu makan.
c. Delusi merupakan suatu kondisi dimana pikiran terdiri dari satu atau lebih delusi.
Delusi diartikan sebagai ekspresi kepercayaan yang dimunculkan kedalam
kehidupan nyata seperti merasa dirinya diracun oleh orang lain, dicintai, ditipu,
merasa dirinya sakit atau disakiti.
d. Gangguan kecemasan merupakan gangguan psikologis berupa ketakutan yang
tidak wajar atau phobia. Kecemasan yang tersering pada lansia adalah tentang
kematiannya.
e. Gangguan tidur. Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan
dengan peni ngkatan kejadian gangguan tidur yang berupa gangguan tidur di
malam hari ( sering terbangun dini hari ) dan sering merasa ngantuk terutama
disiang hari.
3. Penurunan sosial
a. Masa pensiun menyebabkan sebagian lansia sering merasa ada sesuatu yang
hilang dari hidupnya. Beberapa perasaan yang dirasakan adalah sebagai berikut:
1. Kehilangan status atau kedudukan sosial sebelumnya, baik di dalam
masyarakat, tempat kerja atau lingkungan.
2. Kehilangan pertemanan baik di lingkungan masyarakat.
3. Kehilangan gaya hidup yang biasa dijalaninya.
b. Banyak lansia yang merasa kesepian atau merasa terisolasi dari lingkungan di
sekitarnya, antara lain karena jarang tersedia pelayanan kendaraan umum khusus
bagi lansia, tingginya tingkat kejahatan di sekitar lingkungan tempat tinggal, dan
lain - lain.
2.3.7. Permasalahan Lansia
Permasalahan lansia terjadi karena secara fisik mengalami proses penuaan yang disertai
dengan kemunduran fungsi pada sistem tubuh sehingga secara otomatis akan menurunkan
pula keadaan psikologis dan sosial dari puncak pertumbuhan dan perkembangan.
Permasalahan - permasalahan yang dialami oleh lansia, diantaranya (Azizah L. 2011 ) :
1. Kondisi mental: secara psikologis, umumnya pada usia lanjut terdapat penurunan baik
secara kognitif maupun psikomotorik. Contohnya, penurunan pemahaman dalam
menerima permasalahan dalam kelambanan dalam bertindak
2. Keterasingan ( loneliness): terjadi penurunan kemampuan pada individu dalam
mendengar, melihat, dan aktivitas lainnya sehingga merasa tersisih dari masyarakat.
3. Post power syndrome: kondisi ini terjadi pada seseorang yang semula mempunyai
jabatan pada masa aktif bekerja. Setelah berhenti bekerja, orang tersebut merasa ada
sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
4. Masalah penyakit: selain karena proses fisiologis yang menuju ke arah degeneratif,
juga banyak ditemukan gangguan pada usia lanjut, antara lain: infeksi, jantung dan
pembulu darah, penyakit metabolik, osteoporosis, kurang gizi, penggunaan obat dan
alkohol, penyakit syaraf ( stroke ), serta gangguan jiwa terutama depresi dan
kecemasan.
Permasalahan yang dialami lansia memberikan kesimpulan bahwa dengan
keterbatasan yang dialami maka harus diciptakan suatu lingkungan yang dapat
membantu aktivitas lansia dengan keterbatasannya.
2.3.8. Kebutuhan Hidup Lansia
Lansia juga mempunyai kebutuhan hidup seperti orang lain agar kesejahteraan hidup
dapat dipertahankan. Kebutuhan hidup seperti kebutuhan makanan yang mengandung gizi
seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin dan sebagainya diperlukan oleh lansia agar
dapat mandiri. Menurut pendapat Maslow dalam teori Hierarki Kebutuhan, kebutuhan
manusia meliputi ( Azizah L. 2011 ) :
1. Kebutuhan fisik ( physiological need s) adalah kebutuhan fisik atau biologis seperti
pangan, sandang, papan, seks dan sebagainya.
2. Kebutuhan ketentraman ( safety needs ) adalah kebutuhan akan rasa keamanan dan
ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah seperti kebutuhan akan jaminan hari tua,
kebebasan kemandirian dan sebagainya
3. Kebutuhan sosial ( social needs ) adalah kebutuhan untuk bermasyarakat atau
berkomunikasi dengan manusia lain melalui paguyuban,organisasi profesi, kesenian,
olah raga, kesamaan hobi dan sebagainya.
4. Kebutuhan harga diri ( esteem needs ) adalah kebutuhan akan harga diri untuk diakui
akan keberadaannya.
5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah kebutuhan untuk
mengungkapkan kemampuan fisik, rohani maupun daya pikir berdasar
pengalamannya masing - masing, bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam
kehidupan
2.4. Konsep Panti Wreda
2.4.1. Pengertian Panti Wreda
Pengertian panti wreda menurut Departemen Sosial RI adalah suatu tempat untuk
menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan pelayanan sehingga mereka
merasa aman, tentram dengan tiada perasaan gelisah maupun khawatir dalam menghadapi
usia tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) mendefinisikan panti wredha
sebagai rumah tempat memelihara dan merawat lansia. Secara umum, Panti wredha
mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Pusat pelayanan kesejahteraan lanjut usia ( dalam memenuhi kebutuhan pokok
lansia ).
2. Menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan kesempatan
pula bagi lansia melakukan aktivitas - aktivitas sosial-rekreasi
3. Bertujuan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan
mandiri. Sesuai dengan permasalahan lansia, pada umumnya penyelenggaraan panti
wredha mempunyai tujuan antara lain :
a. Agar terpenuhi kebutuhan hidup lansia.
b. Agar dihari tuanya dalam keadaan tenteram lahir dan batin.
c. Dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri
2.4.2. Tipe - Tipe Panti Wreda
Berdasarkan faktor ketergantungan lansia, maka tipe pemukiman untuk lansia dapat
dibagi menjadi beberapa tipe yaitu :
1. Independent Elderly Housing ( Rumah Orang Tua yang Mandiri )
Rumah konvensional untuk lansia yang bersifat mandiri sepenuhnya.umumnya
bangunannya seperti rumah tinggal dan ditempati oleh beberapa lansia yang masih
mandiri dengan fasilitas selayaknya rumah tinggal
2. Independent Elderly / Family Mixed Housing ( Rumah Campuran Keluarga Orang
Tua Mandiri ) Fasilitas harus disediakan untuk orang - orang tua yang mandiri dan
digabungkan dengan tipe rumah konvensional.
3. Dependent Elderly Housing ( Rumah Orang Tua yang Bergantung ) Orang tua disini
hidupnya masih tergantung pada fasilitas pendukung dan bentuk bangunan ini seperti
bangunan rumah sakit
4. Independent / Dependent Elderly Mixed Housing ( Rumah Campuran Orang Tua
Mandiri dan Bergantung ) Fasilitas untuk lansia yang bergantung dan lansia yang bisa
memenuhi kebutuhannya sendiri ( mandiri ). Pada umumnya bangunan ini berbentuk
seperti rumah tinggal dengan fasilitas pendukung yang memadai.
Tipe - tipe panti wredha berdasarkan fasilitas yang tersedia, antara lain :
1. Skilled nursing facilities ( Fasilitas perawatan terampil )
Pelayanan perawatan selama 24 jam.Biasanya lansia berasal dari rumah sakit yang
kondisinya serius dan membutuhkan terapi rehabilitasi khusus.
2. Intermediate care facilities ( Fasilitas perawatan lanjutan )
Pelayanan perawatan professional tetapi tidak 24 jam, beberapa terapi medis
disediakan tetapi difokuskan pada program - program sosial. Pelayanan ini disediakan
untuk orang yang membutuhkan lebih dari sekedar kamar dan makanan atau
perawatan oleh perawat.
3. Residential care facilities ( Fasilitas Perawatan Rumah )
Pelayanan perawatan yang menawarkan kamar dan makanan serta beberapa
perawatan perseorangan seperti membantu memandikan dan berpakaian serta
pelayanan-pelayanan sosial.
2.4.3. Prinsip - Prinsip Perancangan Panti Wreda
Dalam artikel “Pynos dan Regnier”17 (1991) tertulis tentang 12 macam prinsip yang
diterapkan pada lingkungan dalam fasilitas lansia untuk membantu dalam kegiatan - kegiatan
lansia. Kedua belas prinsip ini dikelompokkan dalam aspek fisiologis dan psikologis, yaitu
sebagai berikut :
1. Aspek fisiologis
a. Keselamatan dan keamanan, yaitu penyediaan lingkungan yang memastikan
setiap penggunanya tidak mengalami bahaya yang tidak diinginkan. Lansia
memiliki permasalahan fisik dan panca indera seperti gangguan penglihatan,
kesulitan mengatur keseimbangan, kekuatan kaki berkurang, dan radang
persendian yang dapat mengakibatkan lansia lebih mudah jatuh atau cedera.
Penurunan kadar kalsium ditulang, seiring dengan proses penuaan, juga dapat
meningkatkan resiko lansia mengalami patah tulang. Permasalahan fisik ini
menyebabkan tingginya kejadian kecelakaan pada lansia.
b. Signage/orientation/wayfindings, keberadaan penunjuk arah di lingkungan dapat
mengurangi kebingungan dan memudahkan menemukan fasilitas yang tersedia.
Perasaan tersesat merupakan hal yang menakutkan dan membingungkan bagi
lansia yang lebih lanjut dapat mengurangi kepercayaan dan penghargaan diri
lansia. Lansia yang mengalami kehilangan memori ( pikun) lebih mudah
mengalami kehilangan arah pada gedung dengan rancangan ruangan-ruangan yang
serupa ( rancangan yang homogeny ) dan tidak memiliki petunjuk arah
c. Aksebilitas dan fungsi, Tata letak dan aksebilitas merupakan syarat mendasar
untuk lingkungan yang fungsional. Aksebilitas adalah kemudahan untuk
memperoleh dan menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas bagi lanjut usia
untuk memperlancar mobilitas lanjut usia.
d. Adaptabilitas, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Lingkungan harus dirancang sesuai dengan pemakainya, termasuk
yang menggunakan kursi roda maupun tongkat penyangga. Kamar mandi dan
dapur merupakan ruangan dimana aktivitas banyak dilakukan dan keamanan harus
menjadi pertimbangan utama.
2. Aspek psikologis
a. Privasi, yaitu kesempatan bagi lansia untuk mendapat ruang/tempat
mengasingkan diri dari orang lain atau pengamatan orang lain sehingga bebas dari
gangguan yang tak dikenal. Auditory privacy merupakan poin penting yang harus
diperhatikan
b. Interaksi sosial, yaitu kesempatan untuk melakukan interaksi dan bertukar
pikiran dengan lingkungan sekeliling ( sosial ). Salah satu alasan penting untuk
melakukan pengelompokkan berdasarkan umur lansia di panti wredha adalah
untuk mendorong adanya pertukaran informasi, aktivitas rekreasi, berdiskusi, dan
meningkatkan pertemanan. Interaksi sosial mengurangi terjadinya depresi pada
lansia dengan memberikan lansia kesempatan untuk berbagi masalah, pengalaman
hidup dan kehidupan sehari - hari mereka.
c. Kemandirian, yaitu kesempatan yang diberikan untuk melakukan aktivitasnya
sendiri tanpa atau sedikit bantuan dari tenaga kerja panti wredha. Kemandirian
dapat menimbulkan kepuasaan tersendiri pada lansia karena lansia dapat
melakukan aktivitas - aktivitas yang dilakukannya sehari-hari tanpa bergantung
dengan orang lain.
d. Dorongan/tantangan, yaitu memberi lingkungan yang merangsang rasa aman
tetapi menantang. Lingkungan yang mendorong lansia untuk beraktifitas didapat
dari warna, keanekaragaman ruang, pola - pola visual dan kontras.
e. Aspek panca indera, kemunduran fisik dalam hal penglihatan, pendengaran,
penciuman yang harus diperhitungkan di dalam lingkungan. Indera penciuman,
peraba, penglihatan, pendengaran, dan perasaan mengalami kemunduran sejalan
dengan bertambah tuanya seseorang. Rangsangan indera menyangkut aroma dari
dapur atau taman, warna dan penataan dan tekstur dari beberapa bahan.
Rancangan dengan memperhatikan stimulus panca indera dapat digunakan untuk
membuat rancangan yang lebih merangsang atau menarik.
f. Ketidakasingan/keakraban, lingkungan yang aman dan nyaman secara tidak
langsung dapat memberikan perasaan akrab pada lansia terhadap lingkungannya.
Tinggal dalam lingkungan rumah yang baru adalah pengalaman yang
membingungkan untuk sebagian lansia. Menciptakan keakraban dengan para
lansia melalui lingkungan baru dapat mengurangi kebinggungan karena perubahan
yang ada.
g. Estetik/penampilan, yaitu suatu rancangan lingkungan yang tampak menarik.
Keseluruhan dari penampilan lingkungan mengirimkan suatu pesan simbolik atau
persepsi tertentu kepada pengunjung, teman, dan keluarga tentang kehidupan dan
kondisi lansia sehari-hari.
h. Personalisasi, yaitu menciptakan kesempatan untuk menciptakan lingkungan
yang pribadi dan menandainya sebagai “milik” seorang individu. Tempat tinggal
lansia harus dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan
ekspresi diri sendiri dan pribadi.
2.4.4. Lingkungan Dan Kesehatan
Menurut Christoper Day dalam Fitria Nita, Sriati Aat, dkk. (2013), seluruh manusia
memiliki empat aspek yang mempengaruhi kesehatannya yaitu fisik, energi kehidupan,
kondisi jiwa ( soul), dan individualitas. Berikut adalah penjelasan bagaimana lingkungan
berhubungan dengan keempat aspek tersebut :
1. Fisik
Manusia mengalami bentuk dan dimensi yang berhubungan dengan skala tubuh,
proporsi dan gerak yang akan menimbulkan suatu reaksi dan perasaan tertentu, untuk
itu pengaruh bentuk dan dimensi ruang terhadap kenyamanan dalam beraktifitas
menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan melalui desain ruang yang ergonomis.
2. Energi kehidupan
Makhluk hidup mengalami siklus mulai dari lahir, tumbuh, berkembang,
metamorfosis hingga mati, dan manusia menjalani siklus ini dengan selalu
diperbaharui.Dalam merancang, arsitek diharapkan melihat siklus dan
menerjemahkannya kedalam bentuk bangunan.Sebagai contoh yaitu pengunaan
jendela yang menghubungkan manusia dengan siklus alam diluarnya. Berdasarkan
penelitian Roger Ulrich disebuah rumah sakit, pasien yang ruangannya memiliki
pandangan keluar melalui jendela menunjukkan kondisi kesehatan yang lebih cepat
membaik dibandingkan dengan pasien di ruangan tanpa jendela.
3. Kondisi Jiwa (soul)
Lingkungan mempunyai peran yang signifikan terhadap kondisi psikologis
manusia.Aspek ini berhubungan dengan perasaan dan kondisi jiwa.Pada saat manusia
berada di suatu tempat dapat muncul perasaan risih, tegang, tenang atau nyaman.
Berbagai hal dapat menjadi penyebab seperti suara, perubahan warna atau cahaya,
tekstur dari material, dan lain – lain
4. Individualitas
Manusia mengalami dan merasakan secara pribadi lingkungannya yang kemudian
membentuk dirinya.Setiap perjalanan kehidupan merupakan perjalanan dari
perkembangan nilai dalam individunya sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa
pengalaman ruang dalam lingkungan binaan dapat berkontribusi didalamnya.Ada
lingkungan tertentu yang tidak memungkinkan penghuni untuk mempersonalisasikan
seperti sel penjara. Berada didalamnya akan mengundang reaksi seperti menghindar,
menghancurkan benda - benda sampai berkelahi. Akhirnya lingkungan tersebut
berkontribusi terhadap tumbuhnya kejahatan individu.
2.4.5. Lingkungan Dan Psikologis Manusia
Ada dua elemen dasar yang dapat menyebabkan pengguna lingkungan bertingkah
laku tertentu terhadap lingkungannya, yaitu stressor dan stres. Stressor adalah elemen
lingkungan ( stimulus ) seperti kebisingan, suhu, kepadatan, dan suasana yang meransang
manusia, sedangkan stress ( tekanan atau ketegangan jiwa ) adalah hubungan antara stressor
dengan reaksi yang ditimbulkan oleh efek lingkungan dalam diri manusia.
Lingkungan mengandung stimulus atau ransangan yang kemudian akan ditanggapi
oleh manusia dalam bentuk respon tertentu. Dalam menanggapi respon tersebut manusia
berupaya untuk mengerti, memahami dan menilai lingkungannya.Adaptasi seringkali
dilakukan oleh manusia dalam upaya untuk mengatasi keadaan tertekan dan tidak nyaman
dalam ruang yang terasa asing baginya. Dalam hal ini manusia akan berusaha untuk
menerima atau membuat sebuah "perubahan" yang dapat membuatnya merasa lebih nyaman.
Dalam desain interior, sebagai lingkungan binaan, terdapat beberapa stimulus yang
akan mempengaruhi indera manusia. Dari beberapa teori psikologi menyebutkan bahwa ada
sembilan alat indera yaitu penglihatan, pendengaran, kinestesis, vestibural, perabaan,
temperatur, rasa sakit, perasa serta penciuman. Semua alat indera tersebut dapat dijadikan
stimulus yang dimunculkan dari sebuah obyek desain interior, manusia berinteraksi,
berkomunikasi dengan ruang
Beberapa teori membuktikan bahwa dari berbagai macam stimulus yang ada, stimulus visual
mempunyai kemampuan paling dominan dalam menciptakan sensasi. Berdasarkan
kemampuan kapasitas otak menangkap informasi ( stimulus ), maka dapat diperbandingkan
kecepatan ragam stimulus dalam mempengaruhi individu.
Stimulus visual dalam terminologi desain mempunyai spektrum yang sangat luas.
Elemen - elemen rancangan yang dapat dikategorikan ke dalam stimulus visual antara lain
warna, iluminasi, bentuk dan skala.