BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

36
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi Autisme Istilah/kata autism pertama kali digunakan oleh seorang psikiater Swiss yang bernama Eugene Bleuler pada 1908-1911 yang mengamati adanya suatu ciri tertentu pada penderita skizofrenia dewasa yang ia sebut sebagai autism. Autism berasal dari kata bahasa Yunani yaitu “autos” artinya sendiri dan merupakan suatu istilah yang mencirikan seseorang yang menarik diri dari interaksi sosial dengan lingkungannya sehingga mereka seolah-olah hidup di dunia sendiri. Autism spectrum disorder (ASD) atau juga dikenal sebagai autism adalah gangguan perkembangan saraf umum yang bersifat genetik dan heterogen dengan ciri-ciri kognitif yang mendasari dan biasanya terjadi bersamaan dengan kondisi lain (Lord et al., 2020). Menurut American Psychiatric Association, Autism spectrum disorder (ASD) adalah kondisi perkembangan kompleks yang melibatkan tantangan terus- menerus dalam interaksi sosial, komunikasi verbal dan nonverbal dan perilaku terbatas / berulang, serta efek ASD dan tingkat keparahan gejala berbeda pada setiap orang. ASD biasanya dapat didiagnosis pada masa kanak-kanak dengan banyak tanda paling jelas muncul pada usia 2-3 tahun, tetapi beberapa anak autisme berkembang secara normal hingga masa balita kemudian mulai terjadi penurunan dalam perkembangannya (“American Autism Association,” 2018).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Autisme

2.1.1 Definisi Autisme

Istilah/kata autism pertama kali digunakan oleh seorang psikiater Swiss yang

bernama Eugene Bleuler pada 1908-1911 yang mengamati adanya suatu ciri

tertentu pada penderita skizofrenia dewasa yang ia sebut sebagai autism. Autism

berasal dari kata bahasa Yunani yaitu “autos” artinya sendiri dan merupakan suatu

istilah yang mencirikan seseorang yang menarik diri dari interaksi sosial dengan

lingkungannya sehingga mereka seolah-olah hidup di dunia sendiri.

Autism spectrum disorder (ASD) atau juga dikenal sebagai autism adalah

gangguan perkembangan saraf umum yang bersifat genetik dan heterogen dengan

ciri-ciri kognitif yang mendasari dan biasanya terjadi bersamaan dengan kondisi lain

(Lord et al., 2020). Menurut American Psychiatric Association, Autism spectrum disorder

(ASD) adalah kondisi perkembangan kompleks yang melibatkan tantangan terus-

menerus dalam interaksi sosial, komunikasi verbal dan nonverbal dan perilaku

terbatas / berulang, serta efek ASD dan tingkat keparahan gejala berbeda pada

setiap orang. ASD biasanya dapat didiagnosis pada masa kanak-kanak dengan

banyak tanda paling jelas muncul pada usia 2-3 tahun, tetapi beberapa anak autisme

berkembang secara normal hingga masa balita kemudian mulai terjadi penurunan

dalam perkembangannya (“American Autism Association,” 2018).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

10

2.1.2 Faktor Penyebab Autisme

Penyebab autisme sendiri multifaktor atau disebabkan oleh berbagai faktor

karena tidak ada satu penyebab pasti dari autisme. Penelitian menunjukkan bahwa

autisme berkembang dari kombinasi pengaruh genetic, non genetik, atau

lingkungan yaang meningkatkan risiko seorang anak mengalami autis (“American

Autism Association,” 2018). Seorang ahli embrio yaitu Patricia Rodier

menyebutkan bahwa gejala autisme disebabkan karena terjadinya kerusakan

jaringan otak. Peneliti lain menyebutkan karena bagian otak untuk mengendalikan

memori dan emosi menjadi lebih kecil dari anak normal. Autisme adalah

sekumpulan gejala disfungsional sistem kekebalan yang disebabkan oleh faktor

lingkungan yang muncul dari berbagai pemicu pada populasi yang rentan secara

genetik selama periode kritis pengembangan (Stephenson, 2018).

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan ada banyak

kemungkinan penyebab berbagai jenis ASD. Ilmuwan setuju bahwa gen adalah

salah satu faktor risiko yang dapat membuat seseorang lebih mungkin

mengembangkan ASD, anak-anak yang memiliki saudara kandung dengan ASD

berisiko lebih tinggi juga mengalami ASD dan individu dengan kondisi genetik

atau kromosom tertentu, seperti sindrom X rapuh atau sklerosis tuberous. Hal

lainnya yang bisa menjadi faktor penyebab autis dan disebutkan dalam penelitian

(Alfinna & Santik, 2019) yaitu:

a. Riwayat asfiksia

Anak yang mempunyai riwayat asfiksia berisiko 6,059 kali lebih

besar mengalami autisme. Hal ini dikarenakan gangguan pertukaran gas

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

11

dan transport oksigen selama masa kehamilan dan persalinan akan

mempengaruhi oksigenasi sel-sel pada tubuh yang kemudian akan

mengakibatkan gangguan fungsi sel. Pada tingkat awal, gangguan

pertukaran gas dan transport oksigen menimbulkan asidosis respiratorik

dan selanjutnya akan terjadi asfiksia. Apabila gangguan tersebut terus

berlanjut, akan terjadi metabolisme anaerobik pada tubuh, yang berakibat

pada terganggunya perkembangan otak janin. Terganggunya

perkembangan ada otak janin kemudian menyebabkan anak mengalami

autisme.

b. Usia Ibu

Ibu yang berusia lebih dari 30 tahun saat melahirkan berisiko 3,647 kali

lebih besar untuk anaknya mengalami autisme. Hal ini disebabkan karena

Ibu dengan usia tesebut akan berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi

selama persalinan dan kelahiran yang mungkin dapat dikarenakan

gangguan fungsi otot rahim dan suplai darah lalu menyebabkan

komplikasi perinatal yang kemudian dapat mengganggu perkembangan

otak janin yang berujung pada autisme. Faktor usia ibu ini juga yang akan

menyebabkan autoimun ibu berkurang dan menyebabkan rentannya ibu

terkena infeksi dan kemudian mengaktifkan sistem imun ibu dan

meningkatkan jumlah sitokine yang juga dapat mengarah pada gangguan

perkembangan otak janin kemudian menjadi autisme.

c. Riwayat penggunaan antidepresan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

12

Penggunaan obat antidepresan saat hamil berisiko 6,323 kali lebih

besar untuk anaknya mengalami autisme dikarenakan paparan obat

antidepresan golongan penghambat pelepasan selektif serotonin saat

masa kehamilan akan menyebabkan tingkat serotonin yang tidak normal.

Tingkat serotonin yang tidak noermal akan mengakibatkan gangguan

maturasi neuron target dan gangguan pembentukan dendrit dan sinaps.

Hilangnya serotonin pada pariode awal perkembangan fetus

menyebabkan pengurangan permanen jumlah neuron di hipokampus dan

korteks otak. Perkembangan otak pada janin akan terganggu dengan tidak

normalnya tingkat serotonin dan kemudian menyebabkan autis.

d. Perdarahan maternal

Terjadinya pendarahan pada ibu hamil akan menyebabkan

berkurangnya suplai oksigen dan glukosa dan kemudian mengakibatkan

terjadinya metabolisme anaerob, kurangnya ATP dan terjadinya

penimbunan asam laktat akan mempercepat proses kerusakan sel-sel otak

dan juga menyebabkan kerusakan pompa ion sehingga terjadi depolarisasi

anoksik yang mengakibatkan keluarnya ion K+ dan masuknya ion Na+

dan Ca2+ ke dalam sel bersamaan dengan masuknya ion Na+ dan Ca2+

air juga ikut masuk dan akan menimbulkan edema kemudian

mengakibatkan kerusakan sel otak pada janin.

e. Jenis Kelamin anak

Anak laki-laki berisiko 2,875 kali lebih besar untuk mengalami autisme

dari pada anak perempuan. Autisme lebih dominan terjadi pada anak

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

13

dengan jenis kelamin laki-laki, hal tersebut dikarenakan terjadinya proses

genetik tertentu yang kemudian berujung pada dominannya laki-laki

mengalami autisme, termasuk kausatif gen yang melekat pada kromosom

X (X-linked disorders) dan imprinting gen

Faktor-faktor lainnya yang dapat mengakibatkan autisme yaitu:

a) Faktor genetic

Menurut (Samsam, Ahangari, & Naser, 2014) faktor penyebab genetic

seperti tuberous sclerosis, sindrom X rapuh, sindrom Rett, dan beberapa

lainnya telah lama diimplikasikan menjadi etiologi dengan evidence based

yang kuat dalam kasus kondisi Autistic Sindrom Disorder (ASD). Faktor

genetic lainnya yaitu memiliki saudara kandung dan saudara kembar

penderita autisme juga memiliki insiden autisme yang lebih tinggi.

Beberapa penelitian menunjukkan peran mutasi DNA mitokondria di

ASD yang mungkin menyebabkan gangguan metabolisme energi

mitokondria sehingga berperan dalam terjadinya ASD dan disfungsi

mitokondria ini juga terlibat dalam beberapa gangguan neurologis

lainnya.

b) Faktor Neurobiologis

Tiga dari empat orang penderia autistik memiliki keterbelakangan mental

sebesar 30%-70% sehingga penderita autisme memperlihatkan

abnormalitas neurobiologis seperti kekakuan gerakan tubuh dan cara

berjalan yang abnormal dan melalui teknologi brain imaging seperti CT-

Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat memperlihatkan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

14

gambaran yang jelas mengenai terjadinya neurobiologis pada autistik yang

erhubungan dengan bentuk kerusakan organic (otak) (Pieter, 2011).

Komplikasi prenatal dan pascanatal juga mempengaruhi dalam kerusakan

sistem saraf pusat terutama pada otak kecil (cerebellum), kerusakan fungsi

otak akibat cedera otak saat dilahirkan dan adanya kelainan lainnya seperti

pada phenyhetonarin, tuberios sclerosis, congenital rubella syndrome dan fragile X

syndrome dan kerusakan fungsi otak hemisfer kiri yang membuat anak sulit

berbahasa dan berpikir.

c) Faktor imunologis dan bahan kimia

Inkompabilitas imunologi ibu dan embrio dapat menyebabkan tumbulnya

gangguan autistik yang dapat dilihat dari limposit beberapa anak autisme

bereaksi dengan antibodi maternal yang meningkatkan neural embrionik dan

ekstra embrionik. Kombinasoneutotoksin dan genetik juga dapat

berkontribusi pada pembentukan atistik sekitar 25% dan jenis bahan

kimia polyhorinated biplenyis (PcBs) perlu diwaspadai dikarenakan dalam bayi

yang mempunyai PcBs dalam jumlah tertentu diperkirakan akan

memperlihatkan tingkat kemampuan yang buruk, terutama pengenalan

dan kecerdasan (Pieter, 2011)

2.1.3 Klasifikasi Autisme

Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan

gejalanya yang sering kali disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Childhood

Autism Rating Scale (CARS) mengkasifikasikan beberapa tingkatan dari autisme

yaitu sebagai berikut:

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

15

1) Autisme Ringan

Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan adanya kontak mata

walaupun tidak berlangsung lama. Pada kategori ini anak dapat memberikan

sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi

muka, dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.

2) Autisme Sedang

Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan sedikit kontak mata namun

tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau

hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik

cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.

3) Autisme Berat

Anak autisme yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan

yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan

kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti.

Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon

dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang

tuanya, anak autisme tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti

setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis autisme yaitu termasuk gangguan dalam komunikasi dan

interaksi sosial, gangguan sensorik, perilaku berulang dan berbagai tingkat

kecacatan intelektual lainnya. Keseluruhan gejala inti ini, secara bersamaan muncul

gangguan kejiwaan atau neurologis lain yang sering terjadi pada orang dengan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

16

autism yaitu hiperaktif dan gangguan perhatian seperti gangguan attention-deficit /

hyperactivity (ADHD), kecemasan, depresi dan epilepsy (Lord et al., 2020).

2.1.5 Karakteristik Anak Autisme

Karakteristik anak dengan autisme berbeda-beda tergantung tingkat

keparahan dan kombinasi gejala yang berupa gangguan-gangguan sebagai berikut:

1) Gangguan pada Kognitif

Anak autisitik dalam bindang kognitif masih memiliki ingatan yang cukup

baik, namun kurang memiliki fantasi atau imajinasi sehingga memiliki sifat

ketidaktertarikan yang kompleks baik kepada orang, karakter khayalan,

binatang ataupun peran orang dewasa (Pieter, 2011).

2) Gangguan Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial merupakan keterampilan yang berkaitan dengan

hubungan atau interaksi antara individu dengan yang erat hubungannya

dengan kehidupan masyarakat. Keterampilan sosial anak merupakan cara

anak dalam melakukan interaksi, baik dalam hal bertingkah laku maupun

dalam hal berkomunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Anak autis tidak dapat menunjukkan ketertarikan pada interaksi sosial, hal

ini terlihat dari kontak mata yang kurang dan ekspresi wajah yang tidak ada,

perilaku yang tidak terkontrol dan tidak sesuai dengan keadaan serta emosi

yang sering berubah seperti tiba-tiba marah atau menangis menyebabkan

anak autis tidak dapat berinteraksi dengan orang lain bahkan dijauhkan oleh

teman sebayanya (Iskandar, 2019). Anak autistik sering memperlihatkan

kurangnya respon sosial dan gagal membentuk ikatan sosial dan kerap kali

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

17

memanifestasikan orang-orang disekitarnya sebagai objek pencapaian

kebutuhannya (Pieter, 2011). Dari hasil observasi yang dilakukan pada

penelitian oleh (Dewi, Juhanaini, & Listiana, 2017) anak yang mengalami

ASD akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, ia akan menghidar

kontak mata dengan seseorang yang mengajaknya berbicara (tidak fokus/

mengalihkan pandangan), kesulitan dalam menggunakan sikap tubuh untuk

berkomunikasi, lebih senang untuk menyendiri dan tidak tertarik untuk

bermain bersama teman-temannya. Dalam aspek sikap simpati dan empati

dengan temannya pun sulit, karna mereka sendiri biasanya tidak dapat

memahami dengan apa yang harus mereka lakukan, apakah yang mereka

lakukan itu baik ataupun buruk, kerap kali anak yang mengalami ASD juga

sangat kesulitan dalam mengekspresikan wajahnya ketika mereka

berkomunikasi dengan orang lain mereka biasanya memasang mimik muka

yang dingin dan tidak memperhatikan wajah orang yang sedang

mengajaknya bicara. Anak autisme mempunyai gangguan dalam bidang

interaksi sosial disebabkan karena pikirannya hanya mampu menafsirkan

keinginan pribadinya (Suraya, 2020). Anak autistik memiliki masalah dalam

menunjukkan atau mengungkapkan perasaan mereka dan memahami orang

lain, tidak menanggapi nama pada usia 12 bulan, menghindari kontak mata,

lebih suka bermain sendiri, menghindari atau menolak kontak fisik.

Beberapa anak mungkin tidak tertarik pada orang lain sama sekali dan lebih

mengalami kesulitan untuk belajar bermain bergantian dan berbagi dengan

anak-anak lain (Centers for Disease Control and Prevention, 2019). Jika bermain

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

18

anak autistik selalu menunjukan sifat yang monoton dan aneh, seperti

menderetkan sabun menjadi satu deretan panjang ataupun memutar bola

pada permainan mobil-mobilan dan selalu mengamati permainannya dalam

kurun waktu yang lama (Pieter, 2011)

3) Gangguan Komunikasi

Penderita Autism spectrum disorder (ASD) memiliki keterampilan

komunikasi yang berbeda. Beberapa bisa berbicara dengan baik, tidak dapat

berbicara sama sekali atau hanya sangat sedikit. Sekitar 40% anak-anak

dengan ASD tidak berbicara sama sekali. Sekitar 25% -30% (Centers for

Disease Control and Prevention, 2019). Ciri-ciri gangguan komunkasi pada

anak autisme yaitu keterampilan berbicara dan bahasa terlambat,

mengulangi kata atau frasa berulang kali dan beberapa adapula yang dapat

berbicara dengan baik tetapi mungkin mengalami kesulitan mendengarkan

apa yang orang lain katakan. Anak dengan ASD juga berbicara dengan cara

yang unik (seperti menggunakan pola atau nada yang aneh saat berbicara

atau "membuat skrip" dari acara favorit) (“American Autism Association,”

2018). Dalam berkomunikasi anak autistik juga seringkali meniru dan

mengulang kata-kata tanpa dimengertinya, memakai neologisme, simbol

kata-kata, senang membeo(ekolalia) adanya percakapan yang tak jelas dan

hanya muncul dalam bentuk babbling (Pieter, 2011)

4) Gangguan Presepsi Sensori

Perkembangan motorik terdiri dari motorik kasar dan motorik halus.

Motorik kasar adalah kemampuan anak dalam melakukan gerakan yang

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

19

melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot

besar yang merupakan area terbesar pada masa perkembangan, diawali

dengan kemampuan berjalan, kemudian berlari, lompat dan lempar

sedangkan motorik halus adalah kemampuan anak dalam melakukan

Gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh

otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti

mengamati, menjipit dan menulis. Pada anak autis mengalami kelemahan

otot-otot motoric tertentu sehingga dengan melakukan terapi bermain

secara rutin dapat melatih kemampuan motorik tersebut (Iskandar, 2019).

Perkembangan motorik halus merupakan faktor yang sangat penting dalam

menjalankan aktifitas sehari-hari yang berkaitan dengan otot-otot kecil dan

membutuhkan koordinasi mata, tangan dan kaki. Melalui motorik halus

anak dapat melakukan gerakan tubuh yang lebih spesifik seperti menulis,

melipat, menggunting, dan sebagainya. Hampir semua anak autisme

mempunyai permasalahan dalam keterlambatan dan perkembangan

motorik halus. Anak autisme mengalami kesulitan memegang pensil dengan

benar, kesulitan memegang sendok sehingga menyuap makanan

kemulutnya mengalami kesulitan dan permasalahan dalam kegiatan sehari

lainnya (Puspitaningtyas, 2019). Kebanyakan anak autis menunjukkan gejala

gangguan motorik seperti adanya stereotip: bertepuk-tepuk tangan dan

menggoyang-goyangkan tubuh, hiperaktif atau hipoaktif yang biasa terjadi

terutama pada anak prasekolah, gangguan pemusatan perhatian dan

impulsivitas, tiptoe walking, clumsiness, kesulitan belajar mengikat tali sepatu,

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

20

menyikat gigi, memotong makanan, dan mengancingkan baju (Widiyati,

2015). American Psychiatric Assosiation menyebutkan penderita autisme juga

mengalami aspek sensorik dengan cara yang tidak biasa atau ekstrim

(seperti ketidakpedulian terhadap rasa sakit, suhu, penciuman atau

sentuhan yang berlebihan objek, daya tarik dengan cahaya dan gerakan,

kewalahan dengan suara keras, dll), dan lain-lain

5) Gangguan Perilaku dan Perasaan

Gangguan peilaku pada anak autisme ditandai dengan perilaku yang

berlebihan (excessive), perilaku yang sangat kurang seperti impulsif, repetitif

dan pada waktu tertentu dia akan merasa terkesan dan melakukan hal-hal

yang monoton diakibakan karena adanya pola kelekatan terhadap benda-

benda tertentu (Pieter, 2011). Anak autisme juga mengalami gangguan pada

perasaan yang ditandai dengan kurangnya rasa empati dan tanpa empati,

toleransi yang sangat rendah, misal tertawa, menangis, marah atau

mengamuk (temper tantrum) tanpa sebab dan sulit dikendalikan. Apabila

tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya akan sulit mengontrol

perilaku agresi atau merusaknya, apalagi jika terdapat perubahan rutinias

harian terganggu yang berujung mengalami distress (Pieter, 2011).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

21

2.1.6 Pathway Proses Terjadinya Autisme

Gambar 1 - Pathway Autisme

Representasi diagram dari peristiwa dan interaksi yang diusulkan selama periode

perinatal yang dapat menyebabkan autisme. Disfungsi plasenta, juga autoimunitas,

infeksi maternal, dan stres gestasional menyebabkan prematuritas. Perkembangan

saraf yang rusak dan gen kerentanan membuat bayi rentan terhadap pemicu

lingkungan yang mengaktifkan sel mast untuk melepaskan mediator yang

mengganggu hambatan darah usus-otak yang menyebabkan peradangan otak yang

kemudian menyebabkan terjadinya autisme. beberapa hormone dan senyawa

kimia yang terlibat yaitu hormon CRH, hormon pelepas kortikotropin; IgE,

imunoglobulin E; IL, interleukin; LPS, lipopolisakarida; MCP-1, makrofag kemo-

atraktan protein-1; mtDNA, DNA mitokondria; NT, neurotensin; PCB, bifenil

poliklorinasi; ROS, spesies oksigen reaktif; SP, zat P; TNF, faktor nekrosis tumor.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

22

2.1.7 Instrumen Diagnosa Autisme

Diagnosis untuk Autisme cukup rumit dilakukann dikarena kompleksitas,

keparahan, dan tumpang tindih gejala autisme dengan gangguan kejiwaan lainnya,

sehingga penting untuk menggunakan instrumen dan skala yang tepat untuk

mendiagnosis autisme dengan benar untuk meningkatkan manajemen klinis pasien

ASD (Sharma, Gonda, & Tarazi, 2018). Skala ini secara otoritatif ditinjau oleh

(Vllasaliu et al., 2016) dan di antara skala yang banyak digunakan untuk

mendiagnosis ASD adalah sebagai berikut.

1) The developmental, dimensional, and diagnostic interview

Instumen ini merupakan waawancara perkembangan, dimensional, dan

diagnostik langsung dengan orang tua atau pengasuh yang berbasis

komputer. Terdiri dari 740 item; 183 item menilai latar belakang

demografis, 266 item mengevaluasi gejala ASD, dan 291 item memeriksa

komorbiditas potensial dengan gangguan lain. Jawaban dinilai dari "0"

(tidak ada bukti perilaku yang terganggu) hingga "2" (bukti pasti dari

perilaku tersebut). Instrument dapat digunakan untuk mendiagnosis

individu dengan ASD dari anak usia dini hingga dewasa.

2) Childhood Autism Rating Scale (CARS)

Childhood Autism Rating Scale (CARS) adalah skala yang paling sering

digunakan untuk membantu diagnosis ASD pada anak karena dapat

membantu dalam membedakan antara anak autis dan anak dengan

gangguan keterlambatan perkembangan lainnya seperti retardasi mental.

Beberapa studi mmendukung kegunaan CARS dalam mendiagnosis ASD

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

23

pada remaja dan dewasa. CARS terdiri dari 15 item yang mencakup

perbedaan gejala ASD, perbandingan perilaku dan keterampilan anak yang

terkena dampak terhadap pertumbuhan perkembangan pada anak yang

sehat. Setiap item diberi skor dari "1" (perilaku normal) hingga "4"

(perilaku sangat tidak normal). Skor antara 30 dan 37 menunjukkan ASD

ringan hingga sedang, sedangkan skor antara 38 dan 60 menunjukkan ASD

parah.

3) The Autism Spectrum Disorder-Observation for Children (ASD-OC)

ASD-OC adalah skala observasi yang terdiri dari 45 item dan digunakan

untuk mengamati dan menilai gejala inti autistik yang berupa gangguan

sosial, defisit komunikasi, dan perilaku berulang. Perilaku individu dengan

ASD dibandingkan dengan anak-anak dari kelompok usia yang sama dan

diberi skor sebagai "0" (tidak ada gangguan), "1" (gangguan ringan) atau

"2" (gangguan berat).

4) Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R)

Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R) adalah instrument yang berbasis

wawancara pada orang tua atau pengasuh yang berisi 93 item yang secara

khusus mengevaluasi perilaku yang berbeda pada usia yang berbeda,

termasuk interaksi sosial timbal balik, bahasa dan komunikasi, perilaku atau

minat berulang stereotip, dan kriteria usia onset. Ini biasanya diberi skor

dari "0" (tidak ada bukti) hingga "3" (gangguan perilaku yang yang sangat

parah).

5) The Asperger Syndrome Diagnostic Interview

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

24

Instrurmen ini merupakan wawancara berbasis investigasi singkat yang

dilakukan selama 15-20 menit dan digunakan untuk menentukan apakah

seorang pasien memenuhi kriteria untuk diagnosis autisme. Terdiri dari 20

item yang dibagi menjadi 6 kategori, yaitu: (A) masalah verbal dan wicara (5

item), (B) masalah komunikasi non verbal (5 item), (C) gangguan interaksi

sosial (4 item), (D) keterbatasan minat (3 item), (E) rutinitas (2 item) dan

(F) kejanggalan motorik (1 item). Untuk dapat didiagnosis AS atau autisme

fungsi tinggi, seseorang harus memiliki skor pasti dalam 3 item di grup A, 2

item di grup C, dan setidaknya satu item di grup B, D, E, F

6) The Diagnostic Interview for Social and Communication Disorders

(DISCO)

Instrumen ini menggunakan metode wawancara diagnostik untuk gangguan

sosial dan komunikasi semi-terstruktur untuk orang tua atau pengasuh dan

digunakan untuk mendiagnosis individu dengan ASD sejak bayi hingga usia

lanjut. Instrument ini memberikan evaluasi perkembangan perilaku sosial,

keterampilan dan komunikasi pasien sejak lahir hingga usia sekarang.

DISCO menggunakan pendekatan dimensi untuk penilaian daripada

memotong poin, dan bertujuan untuk menilai secara dekat, selama

bertahun-tahun, pola gangguan dalam perilaku sosial dan komunikasi pada

individu yang dicurigai menunjukkan gejala ASD.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

25

2.1.8 Terapi pada Anak Autisme

Terdapat berbagai jenis terapi yang dapat digunakan pada anak autisme dan

sudah dikembangkan untuk mendidik anak dengan bantuan khusus, termasuk

salah satunya adalah autis. Berikut terapi-terapi pada anak autis, yaitu:

a. Terapi Perilaku

Berbagai jenis trapi perilaku telah dikembangkan untuk mendidik

anak dengan bantuan khusus, termasuk salah satunya autis dan pola terapi

perilaku lebih menekankan usaha reduksi perilaku aneh dan tak lazim,

yakni menggantikan perilaku adaptif yang dapat diterima. Ada dua jenis

terapi perilaku yaitu terapi wicara dan terapi okupasi. Terapi wicara sebagai

metode untuk meningkatkan bicara pada anak autistik. Penatalaksanaan

keperawatan memakai metode analisis ABA (Applied Behavior Analysis) yang

dianggap berstruktur untuk menangani anak autisik (Pieter, 2011). Jenis-

jenis terapi wicara lain yang juga sering dipakai pada penanganan anak

autis adalah TEAHC (Treatment and Education of Autitstic Handicapped

children), DDT (Discrete Trial Training), option therapy, floor time and daily

therapy.

Kemudian ada terapi okupasi merupakan terapi yang tepat pada

penderita autistik yang mengalami perkembangan motorik yang kurang

baik seperti gerak-gerik kasar dan halusnya yang kurang luwes bila

dibandingkan dengan anak-anak seusianya dan terapi okupasi adalah terapi

yang tepat (Pieter, 2011). Terapi ini dilakukan untuk memperbaiki

koordinasi dan keterampilan otot-otot wicara pada anak autis dengan kata

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

26

lain juga untuk melatih motorik halus anak dan latihan okupasi ini dapat

berupa memegang pensil dengan cara yang benar, memegang sendok dan

menyuap makanan ke mulut, memasukan benda pada tempatnya seperti

memasukkan pasir/beras ke dalam botol, memasang kancing dan lain

sebagainya (Ismet, 2019).

b. Terapi Biomedik

Tujuan utama dari terapi biomedik yaitu mengurangi rasa ansietas,

agitasi psikomotorik berat dan kepekaan yang ekstrem pada stimulasi

lingkungan. Dalam penggunaaanya juga perlu banyak pertimbangan baik

dari sisi medis maupun hukum mengingat daya tahun anak autistik sangat

terbatas dan jenis-jenis obat yang dapat digunakan dalam terapi autis

(Pieter, 2011) antara lain:

a. Antipsikotik, adalahh obat yang digunakan untuk membantu dan

mereduksi perilaku agitasi, agresif dan impulsif anak autistik yang

penggunaanya dianggap mampu membantu dalam meningkatkan

kemampuan komunikasi anak autis

b. Stimulan sistem saraf, seperti dekstroamfetamin yang dipakai

untuk penenang paradosal pada anak autis

c. Antidepresan, seperti litium digunakan sebagai efek penenang

dalam menurunkan perilaku impulsive.

c. Terapi Lingkungan Sosial

Tujuan terapi ini untuk mengendalikan dan meminimalkan

perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar anak, menurunkan atau

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

27

mengubah perilaku yang mengganggu dengan memertahankan tugas yang

sederhana dan tidak membutuhkan kemampuan berpikir abstrak atau

bahasa sosial yang komplek. Terapi ini lebih menekankan pada pemberian

stimulasi pengalaman yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara

berulang-ulang dan mempertahankan jadwal perawatn dan aktivitas

bermainnya secara konsisten.

d. Terapi Bermain

Terapi ini dmaksudkan agar anak autistik dapat berinteraksi sosial

dengan temannya dan mengungkapkan emosinya. Pelaksanaan terapi

bermain, sebaiknya juga dapat berfokus pada penilaian anak pada

lingkungan sehingga anak dapat mengembangkan pola interaksi sosial yang

terstruktur dan tetap memberikan penguatan positif pada perilaku yang

sesuai.

2.2 Konsep Bermain

2.2.1 Definisi Bermain

Bermain merupakan sarana anak untuk belajar mengenal lingkungn dan

kebutuhan yang paling penting dan mendasar bagi anak dalam memenuhi

seluruh aspek kebutuhan perkembangan kognitif, afektif, social, emosi, motorik

dan bahasa serta bermanfaat untuk memicu kreativitas, mencerdaskan otak,

menanggulangi konflik, melatih empati, mengasah panca indra, terapi dan

melakukan penemuan (Wiwik Pratiwi, 2017). Bermain, menurut Smith and

Pellegrini (2008) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kepentingan diri

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

28

sendiri bukanlah kegiatan yang dilakukan demi menyenangkan orang lain

(Farikhah, 2018). Bermain bersifat fleksibel yang membuat anak dapat

melakukan kombinasi baru atau bertindak dalam cara-cara baru yang berbeda

dari sebelumnya dan tidak bersifat kaku. Bermain juga bersifat aktif, positif dan

membawa efek positif karena membuat pemainnya tersenyum dan tertawa

karena menikmati apa yang mereka lakukan.Bermain bagi anak tidak hanya

memberikan kepuasan terhadap anak tetapi juga dapat membangun karakter,

membentuk sikap dan kepribadian anak, memperoleh pengetahuan dan

mengembangkan kemampuan dirinya (Iswantiningtyas, 2019)

2.2.2 Kategori Bermain

Menurut (Saputro, 2017) kategori bermain dibagi menjadi dua yaitu

bermain aktif dan bermain pasif. Bermain aktif dalam kegiatannya timbul

kesenangan dari apa yang dilakukan anak dapat dalam bentuk kesenangan

bermain alat misalnya melipat kertas origami, mewarnai gambar, puzzle dan

menempel gambar. Bermain aktif jugda dapat dilakukan dengan bermain peran

misalnya bermain dokter-dokteran, menebak kata dan lain sebagainya. Adapun

bermain pasif atau bisa disebut sebagai hiburan, yaitu kesenangan yang

diperoleh dari kegiatan orang lain, anak tidak melakukan kegiatan bermain

secara langsung hanya menikmati temannya bermain atau menonton televisi dan

membaca buku. Bermain pasif ini merupakan kegiatan bermain tanpa

mengeluarkan banyak tenaga, tetapi kesenangannya hampir sama dengan

bermain pasif.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

29

2.2.3 Klasifikasi Bermain

Menurut (Saputro, 2017) permainan diklasifikasikan ke beberapa

kategori dan menyebutkan permanan berdasarkan isinya yatu:

a. Bermain afektif sosial (social affective play)

Permainan yang memiliki hubungan interpersonal yang

menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan mendapat

kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang menyenangkan dengan

orangtua dan orang lain.

b. Bermain untuk senang-senang (sense of pleasure play)

Permainan ini mengguakan alat yang dapat meimbulkan rasa senang

pada anak, misalnya dengan menggunakan pasir anak akan membuat

benda-benda apa saja yang dapat dibentuk sesuai kreativitasnya atau

menggunakan air anak bisa melakukan bermacam-macam permainan

seperti memindahkan air kedalam botol, bak atau tempat lain.

c. Permainan Keterampilan (skill play)

Permainan ini dapat memberikan keterampilan pada anak khususnya

motorik halus dan kasar yang diperoleh melalui pengulangan kegiatan

permainan yang dilakukan. Contohnya, bayi akan terampil memegang

benda-benda kecil, naik sepeda dan memindahkan benda dari satu tempat

ke tempat lain.

d. Permaian simbolik atau dramatic role play

Permainan yang dilakukan anak dengan memainkan peran orang lain

yang memiliki tujuan penting untuk memproses/mengidentifikasikan anak

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

30

terhadap peran tertentu. Contohnya memerankan sebagai ibu guru, ibu atau

ayahnya, kakaknya sebagai orang yang ingin ditiru.

Permainan berdasarkan karakteristik sosial menurut (Saputro, 2017) ada enam

permainan yaitu:

a. Solitary play. Merupakan jenis permainan yang sudah dimulai dari bayi atau

toddler yang dilakukan sendiri atau independen walaupun ada orang lain

disekitarnya disebabkan karena keterbaasan sosial, keterampilan fisik dan

kognitif.

b. Parallel play. Permainan yang dilakukan oleh satu kelompok anak balita atau

prasekolah dimana masing-masing memiliki permainian yang sama tetapi

tidak ada interaksi atau saling tergantung satu sama lain.

c. Assosiative play. Permainan yang dilakukan bersama dan aktivitasnya serupa

atau bahkan sesama tanpa tujuan besama. Anak saling pinjam-meminjam

mainannya, saling mengikuti, bertindak sesuai kemauannya sendiri dan

tidak ada tujuan kelompok.

d. Cooperative play. Merupakan permainan yang berbalikan dengan permainan

asosiatif. Permanain ini terorganisir dan tujuan kelompok yang biasanya

dilakukan pada usia sekolah dan remaja. Bermain kooperatif dilakukan

secara berkelompok dimana anak memiliki masing-masing peran untuk

mencapai tujuan permainan sehingga jika ada satu anak yang berhenti dari

permainan maka permainan tidak dapat dilanjutkan (Heryawati, 2018).

Menurut Dworetzy (dalam Heryawati, 2018) anak secara aktif untuk

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

31

menggalang hubungan dengan anak lain untuk membicarakan,

merencanakan dan melaksanakan kegiatan bermain.

e. Onlooker play. pada permainan ini anak melihat dan mengobservasi

permainan orang lain saja dan tidak ikut bermain, tetapi anak juga dapat

menanyakan permainan itu dan biasanya dimulai pada usia toodler.

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bermain

Ada beberapa faktor yang memengaruhi bermain pada anak yang sangat

menentukan terhadap jenis permainan yang akan dipilih oleh anak. Berikut

faktor-faktor yang mempengaruhi bermain anak menurut Harlock (Fadillah,

2019) :

1. Kesehatan. Tingkat sehat dan sakit anak sangat berpengaruh dalam

kegiatan bermainnya. Semakin sehat anak, maka akan semakin banyak

energinya sehingga dapat bermain dengan aktif. Sebaliknya, anak yang

sedang sakit akan memiliki tenaga yang lemah sehingga akan lebih menyukai

bermain pasif (huburan).

2. Perkembangan motorik. Setiap permainan yang dilakukan dan waktu

bermain pada setiap usia pasti melibatkan koordinasi motorik dan

tergantung pada perkembangan motorik anak sehingga pengendalian

motoric yang baik memungkinkan anak terlibat dalam permainan aktif.

3. Intelegensi. Pada setiap usia, anak yang memiliki intelegensi yang tinggi

akan lebih aktif dan permainan mereka lebih meunjukkan kecerdikan,

keseimbangan perhatian bermain yang lebih besar termasuk

menyeimbangkan faktor fisik dan intelektual yang nyata.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

32

4. Jenis Kelamin. Anak laki-laki memiliki kecenderungan bermain lebih kasar,

menykai permainan yang melibatkan fisik motorik dan menunjukkan

perhatian pada berbagai jenis perpainan yang lebih banyak daripada anak

perempuan.

5. Peralatan bermain. Peralatan yang dimiliki anak saat bermain

mempengaruhi permainannya misalnya, dominasi boneka dan binatang

buatan mendukung permaianan pura-pura dam balok, kayu, cat air dan lilin

dapat mendukung permainan yang bersifat konstruktif.

6. Status sosial ekonomi. Anak yang berasal dari kelompok sosial ekonomi

yang lebih tinggi lebih mengenal kegiatan bermain yang cenderung mahal

seperti lomba atletik, bermain sepatu roda sedangkan pada anak yang berasal

dari kalangan bawah terlihat bermain dalam kegiatan yang lebih simpel

seperti bermain bola dan berenang.

7. Jumlah waktu bebas. Jumlah waktu bermain ini sangat bergantung pada

status ekonomi keluarga dimana jika tugas rumah tangga atau pekerjaan

menghabiskan waktu luang dapat membuat anak terlalu lelah untuk

melakukan kegiatan seperti bermain yang membutuhkan tenaga yang besar.

2.3 Konsep Terapi Bermain

2.3.1 Definisi Terapi Bermain

Bermain merupakan kegiatan atau stimulasi yang tepat untuk anak dan

dapat meningkatkan daya pikir anak dalam aspek emosional, sosial, dan fisik,

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

33

dapat meningkatkan kemampuan fisik, pengalaman dan pengetahuan serta

keseimbangan mental anak (Saputro, 2017). Bermain juga merupakan kebutuhan

penting bagi anak dan dengan bermain anak dapat belajar untuk beradaptasi,

bersosialisasi serta bebas berekspresi (Iskandar, 2019). Bermain dapat digunakan

sebagai media psikoterapi atau pengobatan terhadap anak yang dikenal dengan

sebutan terapi bermain. Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah laku

bermasalah dengan menempatkan anak dalam situasi bermain dalam ruangan

khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak bisa merasa lebih santai

dan dapat mengekpresikan segala perasaan dengan bebas sehingga dapat

diketahui permasalahan anak dan bagaimana mengatasinya (Adriana, 2017).

Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku

anak-anak karena responsif terhadap kebutuhan unik dan beragam dalam

perkembangannya (Saputro, 2017).

2.3.2 Tujuan Terapi Bermain

Terapi bermain bertujuan untuk mengatasi masalah pada anak,

memberikan kesempatan untuk berekspresi dan mencoba hal baru sehingga

menciptakan suasana aman bagi anak-anak unruk mengekspresikan diri mereka,

memamhami bagaimana sesuatu terjadi dan mempelajari aturan sosial (Saputro,

2017). Terapi bermain juga dapat membantu anak menguasai kecemasan dan

konflik karena ketegangan mengendor dalam permaianan sehingga anak dapat

menghadapi masalah kehidupan, melepaskan emosi tertahan dan memungkinkan

menyalurkan kelebihan energi fisik. Terapi bermain efektif digunakan untuk

meningkatkan kemampuan motorik yang bekerja pada anak dengan cara

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

34

mengembangkan keterampilan baru yang disukai oleh anak itu sendiri, anak

dapat belajar beradaptasi, bersosialisasi serta bebas berekspresi (Iskandar, 2019).

Terapi bernain pada anak autisme bertujuan untuk mengurangi masalah

perilaku, meningkatkan kemampuan dan perkembangan belajar anak dalam hal

penguasaan bahasa serta membantu anak autisme agar mampu bersosialisasi

dalam beradaptasi di lingungan sosialnya (Sutinah, 2017). Terapi bermain juga

memiliki pengaruh yang signifikan pada anak autisme untuk meningkatkan

kemampuan kontak mata, dan keterampilan bahasa (Phytanza & Burhaein, 2019).

Tujuan terapi bermain pada anak autismelainnya yaitu untukmengembangkan

kekuatan otot dan motoric, meningkatkan ketahanan organtubuh bagian dalam,

serta mencegah dan memperbaiki sikap tubuh yang kurang baik (Suraya, 2020).

Terapi bermain yang diterapkan kepada anak autisme tertuju pada penekanan-

penekanan pada hal-hal seperti permainan yang cocok, sensoris motor, dilakukan

dengan gembira dan berfungsi sebagai wahana hubungan kasih sayang diantara

keluarga, mudah dilakukan, bersifat ekonomis dan mudah dibuat atau diperoleh.

2.3.3 Manfaat Terapi Bermain

Terapi bermain dapat digunakan sebagai media psikoterapi atau pengobatan

terhadap anak dalam permasalahan perkembangan anak dan sangat mendukung

pertumbuhan dan perkembangan anak. Adapun beberapa manfaat dari terapi

bermain menurut (Saputro, 2017) yaitu:

1) Perkembangan Kognitif

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

35

Manfaat terapi bermain pada perkembangan kognitif yaitu anak mampu

mengembangkan pemikiran yang fleksibel dan berbeda serta anak dapat

memiliki kesempatan untuk menemui dan mengatasi permasalahan.

2) Perkembangan Intelektual

Melalu bermain, anak melakukan eksplorasi dan memanipulasi terhadap

segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar terutama mengenal warna,

bentuk, ukuran, teksur dan membedakan objek, contohnya anak bermain

mobil-mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat

memeperbaikinya maka anak telah bejalahr memecahkan masalah mealui

eksplorasi mainannya dan untuk mencapai kemampuan ini, anak

menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal mungkin.

3) Perkembangan sosial dan emosional

Terapi bermain dapat mengembangkan keahlian berkomunikasi secara

verbal dan nonverbal melalui negosiasi peran. Terapi bermain bertujuan

untuk menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan

diri mereka, memahami, mempelajari aturan sosial dan memberi

kesempatan bagi anak-anak untuk mencoba sesuatu yang baru. Melalui

bermain, anak dapat belajar menghagai perasaan orang lain, merespon

perasaan teman sebaya sambil menanti giliran bermain dan saling berbagi

serta anak belajar menguasai perasaanya seperti marah sedih atau khawatir

dalam keadaaan terkontrol. Bermain dengan orang lain akan membantu

anak untuk mengembangkan hubungan sosial, berinteraksi dengan teman,

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

36

memahami lawan bicara dan belajar tentang nilai sosial yang ada pada

kelompoknya.

4) Perkembangan Bahasa

Terapi bermain dapat mengembangkan keahlian berkomunikasi secara

verbal dan nonverbal melalui negosiasi peran. Permainan dramatik

menggunakan pernyataan-pernyataan peran, infleksi (perubahan

nada/suara) dan bahasa komunikasi sehingga anak akan belajar

menggunakan bahasa untuk tujuan-tujuan dan situasi yang berbeda. Anak

akan mengekspresikan gagasan atau mengadakan dan meneruskan

permainan dan bereksperimen dengan kata-kata, suku kata bunyi dan

struktur bahasa.

5) Perkembangan Fisik

Dalam bermain anak akan terlibat aktif dalam permainan yang akan

menggunakan keahlian-keahlian motorik kasar. Anak akan mampu

memungut dan menghitung benda-benda kecil menggunakan keahlian

motorik halusnya. Permainan memiliki peran penting dalam

mengembangkan dan memperhalus berbagai kemampuan gerak dasar, jika

permainan secara tepat dimainkan ke dalam program pengembangan gerak

(Iskandar, 2019)

2.3.3 Jenis-Jenis Terapi Bermain

Penelitian telah menunjukkan keberhasilan pendekatan terapi bermain

untuk anak-anak dengan ASD (Autism Spectrum Disorder) yang mencakup berbagai

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

37

teori dan model terapi bermain (Kaduson, 2020). Berikut jenis-jenis terapi

bermain, yaitu:

1. Child-Centered Play Therapy

Child-Centered Play Therapy (CCPT) adalah pendekatan nondirective untuk

membantu anak-anak yang kesulitan emosi dan perilaku dan CCPT menganut

keyakinan bahwa anak-anak memiliki kapasitas bawaan untuk menyelesaikan

masalah yang mereka alami dan epningkatan penguasaan diri mereka (VanFleet,

2010). Terapi ini banyak digunakan oleh terapis anak karena memiliki prinsip

yang jelas dan keterampilan khusus yang dapat dipecah menjadi komponen yang

dapat diajar. CCPT didasarkan pada keyakinan bahwa hubungan yang selaras

dan terapeutik, diekspresikan dalam hal penerimaan yang tidak memenuhi syarat

dari anak dan resonansi empati, bersifat kuratif dan dalam prosesnya anak-anak

terlibat dalam permainan yang diarahkan sendiri, mengeksplorasi pengalaman

dan emosi mereka sehingga hasilnya anak dapat menguasai dan mengendalikan

dunianya (Schottelkorb et al., 2020). Tujuan lain CCPT menurut (Blanco,

Holliman, & Carroll, 2019) adalah untuk memfasilitasi aktualisasi diri anak atas

kemampuan perkembangan mereka sendiri dan mendorong eksplorasi dan

penemuan diri anak dengan tujuan perubahan konstruktif.

Terdapat delapan prinsif yang harus dilakukan terapis dalam sifat

hubungan terapi-anak dalam pelaksanaan CCPT menurut (Blanco et al., 2019)

yaitu terapis benar-benar tertarik pada anak, menunjukkan rasa hormat pada

anak, menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Terapis juga harus peka

terhadap perasaan anak dan merefleksikannya agar anak mengembangkan

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

38

pemahaman diri, sangat percaya pada kemampuan pribadi anak untuk bertindak

secara bertanggung jawab, mempercayai arahan batin anak, mempercayai proses

terapeutik dan menetapkan batasan yang diperlukan untuk mengembangkan

tanggung jawab anak itu sendiri.

2. Filial Therapy

Terapi ini adalah jenis terapi bermain khusus dengan metode terapeutik

unik yang melibatkan orang tua dan pengasuh secara langsung sebagai agen

terapi terapeutik anak dan masih berkaitan dalam jenis terapi bermain Child-

Centered Therapy (Mahalakshmi, 2016). Biasanya terapi ini membutuhkan waktu

3-6 bulan untuk menyelesaikannya atau dapat berlangsung lebih lama dengan

sesi tindak lanjut. Terapi ini dapat membantu anak-anak untuk

mengekspresikan perasaan dan ketakutannya melalui aktivitas bermain yang

alami. Tujuan Filial Therapy menurut (VanFleet, 2010) adalah untuk membuat

anak belajar dan memahami perasaannya sendiri, membantu anak belajar

bagaimana mengekspresikan perasaanya dengan benar, meningkatkan

kepercayaan antara anak dan orang tua, membiarkan anak mengatasii masalah

emosional yang mendasari perilaku negatif, meningtakan tingkat kepercayaan

dan penguasaan diri dan meningkatkan kepercayaan diri orang tua dalam

kemampuan parenting.

3. Cognitive-Behavioral Play Therapy

Terapi ini menggunakan mainan dan bertujuan untuk mengubah pikiran,

perilaku anak secara langsung dan pemilihan bahan permainanya berdasarkan

masalah yang ada serta menyesuakan kebutuhan dari masing-masing anak

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

39

(VanFleet, 2010). Hal ini didasarkan oleh asumsi bahwa Cognitive-Behavioral Play

Therapy memiliki hubungan diantara pikiran, situasi, emosi dan perilaku. Teori

kognitif ini juga menyatakan bahwa tiap pikiran tiap individu menentukan

pengalaman emosi dan perilaku kedepannya serta mengajarkan kemampuan

koping lebih baik untuk membantu dalam mengendalikan gangguan perasaan

dan menurunkan gejala (VanFleet, 2010).

4. Theraplay

Theraplay adalah intervensi yang berfokus pada peningkatan hubungan,

kepercayaan dan kegembiraan antara anak dan orang tua yang melibatkan

aktivitas interaktif dan menyenangkan menggunakan interaksi timbal balik tatap

muka sederhana dan melibatkan penggunaan semua indra, termasuk ritme,

gerakan, dan sentuhan (Lender, 2020). Theraplay menekankan hubungan antara

orang tua dan anak dan menggunakan teknik khusus untuk meningkatkan

permainan berbasis keterikatan dan tidak menggunakan mainan karena terapis

dan orang tua yang menjadi objek permainan sehingga membuat terapi ini

sebagai intervensi keluarga yang direktif (VanFleet, 2010). Theraplay

menggunakan beberapa alat peraga atau barang multisensori digunakan dalam

beberapa kegiatan. Pelaksanaanya dibawah bimbingan terapis, orang tua belajar

menggunakan kegiatan bermain yang menarik dan mengasuh dengan

menggunakan ekspresi wajah, kehadiran, ritme suara dan sentuhan sebagai cara

untuk mengetahui perasaan dari anak dan fokus terapi adalah pada komunikasi

nonverbal (VanFleet, 2010).

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

40

Menurut (Lender, 2020) dalam melakukan Theraplay harus mengikuti dan

sangat memahami prinsip-prinsip ini sehingga dapat berfokus, bertujuan dan

sensitif. Prinsip-prinsip ini yaitu keamanan dan keterlibatan timbal balik sosial,

menggunakan permainan face-to-face¸membuat model kerja yang lebih positif

dan pola ketertarikan. Dalam pelaksanaanya juga perlu memahami respond dan

perilaku anak dalam konteks hubungan, menggunakan Theraplay as framework,

mengikuti protokol dari Theraplay, melibatkan orang tua, tetap focus pada

komunikasi nonverbal, melacak urutan dan pola anak serta menciptakan

prediktabilitas

5. Autplay Therapy

Autplay therapy adalah pendekatan integratif yang mengikuti formula

terapi bermain preskriptif pada setiap anak yang kemudian dinilai secara

individu untuk mengidentifikasi tingkat keterampilan, defisit, tingkat

perkembangan dan sumber daya keluarga dalam memandu pelaksanaan

pengobatan lebih lanjut (Kaduson, 2020). Terapi bermain ini juga merupakan

pendekatan antara terapi bermain terapi perilaku untuk menangani anak-anak

dan remaja dengan ASD (Autism Spectrum Disorder) dan gangguan

perkembangan saraf lainnya yang melibatkan orang tua dalam prosesnya.

Terapi ini dirancang untuk focus pada area defisit inti yang ditemukan

pada anak-anak dengan ASD terutama regulasi emosional, nteraksi sosial,

keterampilan bermain, keterikatan dan koneksi hubungannya (Grant, 2017).

Terapi ini menggabungkan elemen proses pendidikan, perilaku, psikologis dan

focus pengembangan keterampilan. Sangat penting untuk mengetahui kriteria

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

41

diagnostik gangguan yang dialami oleh anak ASD dalam terapi ini, tujuannya

untuk memahami dengan baik tingkat gangguan yang mungkin dialami anak

tersebut dan bagaimana secara spesifik merancang teknik terapi bermain

sehingga bisa mengatasi gangguan tersebut (Grant, 2017).

2.3.4 Prinsip Pelaksanaan Terapi Bermain

Dalam melaksanakan terapi bermain pada anak autisme, ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan dikarena kondisi anak autis berbeda dengan anak normal.

Berikut ini beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam memberikan terapi

bermain pada anak autisme menurut (Saputro, 2017):

a. Keadaan Anak

Keadaan anak autisme berbeda satu sama lain, ada yang menderita

autisme ringan, sedang, atau berat, sehingga perlu diketahui karakter dan

perilaku anak sebelum melakukan terapi. Dalam kegiatan bermain anak juga

perlu energi yang cukup dalam melakukan aktivitas bermain yang bervariasi

untuk menghindari rasa bosan dan jenuh. Anak harus mempunyai cukup

waktu untuk bermain sehingga stimulus yang diberikan dapat optimal

sehingga memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat

permainannya. Permainan yang dipilih juga lebih baik tidak menggunakan

banyak energy untuk menghindari kelelahan dan dengan alat-alat yang lebih

sederhana. Lama pemberian terapi bermain bisa bervariasi, idealnya

dilakukan 15-30 menit dalam sehari. Menurut (Adriana, 2017) waktu untuk

terapi bermain 30-35 menit terdiri dari 5 menit tahap persiapan, 5 menit

tahap pembukaan dan 20 menit tahap kegiatan dan sisanya tahap penutup

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

42

b. Alat Permainan

Pemilihan alat permainan perlu menyesuaikan dengan umur dan

perkembangan anak. Begitupun dalam penentuan jenis permainan

berkaitan erat dengan kemampuan, usia, jenis kelamin, dan sifat permainan

itu sendiri, yaitu apakah permainan bersifat continue atau temporer. Hal

lain yang perlu diperhatikan adalah alat permainan aman dan tidak

berbahaya serta memiliki unsur edukatif bagi anak. Permainan harus

memerhatikan keamanan dan kenyamanan sehingga anak merasa nyaman

dan yakin terhadap benda-benda yang dikenalnya.

c. Teman Bermain

Anak harus merasa yakin bahwa mereka memiliki teman bermain

sehingga tidak kehilangan kesempatan belajar dari teman-temannya.

Frekuensi bermain pun perlu diperhatikan agar tidak mengakibatkan anak

merasa tidak memiliki kesempatan untuk menghibur diri sendiri dan

menemukan kebutuhannya sendiri. Orang tua sangat direkomendasikan

untuk melakukan kegiatan bermain bersama anak agar menjadi akrab dan

segera mengetahui setiap kelainan yang terjadi pada anak secara dini.

d. Keterlibatan orang tua dan keluarga

Keterlibatan orang tua dan keluarga dapat mendorong perkembagan

keterampilan dan kemampuan sosial anak, memberi dukungan bagi

perkembangan emosi positif, kepribadian yang adekuat dan kepedulian

terhadap orang lain. Dengan keterlibatanaktif orangtua dan keluarga dalam

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...

43

pelaksanaan terapi bermain bisa memberikan efek lebih besar dibandingkan

hanya diberikan oleh tenaga kesehatan professional.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...