BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Autisme 2.1.1 Definisi ...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Autisme
2.1.1 Definisi Autisme
Istilah/kata autism pertama kali digunakan oleh seorang psikiater Swiss yang
bernama Eugene Bleuler pada 1908-1911 yang mengamati adanya suatu ciri
tertentu pada penderita skizofrenia dewasa yang ia sebut sebagai autism. Autism
berasal dari kata bahasa Yunani yaitu “autos” artinya sendiri dan merupakan suatu
istilah yang mencirikan seseorang yang menarik diri dari interaksi sosial dengan
lingkungannya sehingga mereka seolah-olah hidup di dunia sendiri.
Autism spectrum disorder (ASD) atau juga dikenal sebagai autism adalah
gangguan perkembangan saraf umum yang bersifat genetik dan heterogen dengan
ciri-ciri kognitif yang mendasari dan biasanya terjadi bersamaan dengan kondisi lain
(Lord et al., 2020). Menurut American Psychiatric Association, Autism spectrum disorder
(ASD) adalah kondisi perkembangan kompleks yang melibatkan tantangan terus-
menerus dalam interaksi sosial, komunikasi verbal dan nonverbal dan perilaku
terbatas / berulang, serta efek ASD dan tingkat keparahan gejala berbeda pada
setiap orang. ASD biasanya dapat didiagnosis pada masa kanak-kanak dengan
banyak tanda paling jelas muncul pada usia 2-3 tahun, tetapi beberapa anak autisme
berkembang secara normal hingga masa balita kemudian mulai terjadi penurunan
dalam perkembangannya (“American Autism Association,” 2018).
10
2.1.2 Faktor Penyebab Autisme
Penyebab autisme sendiri multifaktor atau disebabkan oleh berbagai faktor
karena tidak ada satu penyebab pasti dari autisme. Penelitian menunjukkan bahwa
autisme berkembang dari kombinasi pengaruh genetic, non genetik, atau
lingkungan yaang meningkatkan risiko seorang anak mengalami autis (“American
Autism Association,” 2018). Seorang ahli embrio yaitu Patricia Rodier
menyebutkan bahwa gejala autisme disebabkan karena terjadinya kerusakan
jaringan otak. Peneliti lain menyebutkan karena bagian otak untuk mengendalikan
memori dan emosi menjadi lebih kecil dari anak normal. Autisme adalah
sekumpulan gejala disfungsional sistem kekebalan yang disebabkan oleh faktor
lingkungan yang muncul dari berbagai pemicu pada populasi yang rentan secara
genetik selama periode kritis pengembangan (Stephenson, 2018).
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan ada banyak
kemungkinan penyebab berbagai jenis ASD. Ilmuwan setuju bahwa gen adalah
salah satu faktor risiko yang dapat membuat seseorang lebih mungkin
mengembangkan ASD, anak-anak yang memiliki saudara kandung dengan ASD
berisiko lebih tinggi juga mengalami ASD dan individu dengan kondisi genetik
atau kromosom tertentu, seperti sindrom X rapuh atau sklerosis tuberous. Hal
lainnya yang bisa menjadi faktor penyebab autis dan disebutkan dalam penelitian
(Alfinna & Santik, 2019) yaitu:
a. Riwayat asfiksia
Anak yang mempunyai riwayat asfiksia berisiko 6,059 kali lebih
besar mengalami autisme. Hal ini dikarenakan gangguan pertukaran gas
11
dan transport oksigen selama masa kehamilan dan persalinan akan
mempengaruhi oksigenasi sel-sel pada tubuh yang kemudian akan
mengakibatkan gangguan fungsi sel. Pada tingkat awal, gangguan
pertukaran gas dan transport oksigen menimbulkan asidosis respiratorik
dan selanjutnya akan terjadi asfiksia. Apabila gangguan tersebut terus
berlanjut, akan terjadi metabolisme anaerobik pada tubuh, yang berakibat
pada terganggunya perkembangan otak janin. Terganggunya
perkembangan ada otak janin kemudian menyebabkan anak mengalami
autisme.
b. Usia Ibu
Ibu yang berusia lebih dari 30 tahun saat melahirkan berisiko 3,647 kali
lebih besar untuk anaknya mengalami autisme. Hal ini disebabkan karena
Ibu dengan usia tesebut akan berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi
selama persalinan dan kelahiran yang mungkin dapat dikarenakan
gangguan fungsi otot rahim dan suplai darah lalu menyebabkan
komplikasi perinatal yang kemudian dapat mengganggu perkembangan
otak janin yang berujung pada autisme. Faktor usia ibu ini juga yang akan
menyebabkan autoimun ibu berkurang dan menyebabkan rentannya ibu
terkena infeksi dan kemudian mengaktifkan sistem imun ibu dan
meningkatkan jumlah sitokine yang juga dapat mengarah pada gangguan
perkembangan otak janin kemudian menjadi autisme.
c. Riwayat penggunaan antidepresan
12
Penggunaan obat antidepresan saat hamil berisiko 6,323 kali lebih
besar untuk anaknya mengalami autisme dikarenakan paparan obat
antidepresan golongan penghambat pelepasan selektif serotonin saat
masa kehamilan akan menyebabkan tingkat serotonin yang tidak normal.
Tingkat serotonin yang tidak noermal akan mengakibatkan gangguan
maturasi neuron target dan gangguan pembentukan dendrit dan sinaps.
Hilangnya serotonin pada pariode awal perkembangan fetus
menyebabkan pengurangan permanen jumlah neuron di hipokampus dan
korteks otak. Perkembangan otak pada janin akan terganggu dengan tidak
normalnya tingkat serotonin dan kemudian menyebabkan autis.
d. Perdarahan maternal
Terjadinya pendarahan pada ibu hamil akan menyebabkan
berkurangnya suplai oksigen dan glukosa dan kemudian mengakibatkan
terjadinya metabolisme anaerob, kurangnya ATP dan terjadinya
penimbunan asam laktat akan mempercepat proses kerusakan sel-sel otak
dan juga menyebabkan kerusakan pompa ion sehingga terjadi depolarisasi
anoksik yang mengakibatkan keluarnya ion K+ dan masuknya ion Na+
dan Ca2+ ke dalam sel bersamaan dengan masuknya ion Na+ dan Ca2+
air juga ikut masuk dan akan menimbulkan edema kemudian
mengakibatkan kerusakan sel otak pada janin.
e. Jenis Kelamin anak
Anak laki-laki berisiko 2,875 kali lebih besar untuk mengalami autisme
dari pada anak perempuan. Autisme lebih dominan terjadi pada anak
13
dengan jenis kelamin laki-laki, hal tersebut dikarenakan terjadinya proses
genetik tertentu yang kemudian berujung pada dominannya laki-laki
mengalami autisme, termasuk kausatif gen yang melekat pada kromosom
X (X-linked disorders) dan imprinting gen
Faktor-faktor lainnya yang dapat mengakibatkan autisme yaitu:
a) Faktor genetic
Menurut (Samsam, Ahangari, & Naser, 2014) faktor penyebab genetic
seperti tuberous sclerosis, sindrom X rapuh, sindrom Rett, dan beberapa
lainnya telah lama diimplikasikan menjadi etiologi dengan evidence based
yang kuat dalam kasus kondisi Autistic Sindrom Disorder (ASD). Faktor
genetic lainnya yaitu memiliki saudara kandung dan saudara kembar
penderita autisme juga memiliki insiden autisme yang lebih tinggi.
Beberapa penelitian menunjukkan peran mutasi DNA mitokondria di
ASD yang mungkin menyebabkan gangguan metabolisme energi
mitokondria sehingga berperan dalam terjadinya ASD dan disfungsi
mitokondria ini juga terlibat dalam beberapa gangguan neurologis
lainnya.
b) Faktor Neurobiologis
Tiga dari empat orang penderia autistik memiliki keterbelakangan mental
sebesar 30%-70% sehingga penderita autisme memperlihatkan
abnormalitas neurobiologis seperti kekakuan gerakan tubuh dan cara
berjalan yang abnormal dan melalui teknologi brain imaging seperti CT-
Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat memperlihatkan
14
gambaran yang jelas mengenai terjadinya neurobiologis pada autistik yang
erhubungan dengan bentuk kerusakan organic (otak) (Pieter, 2011).
Komplikasi prenatal dan pascanatal juga mempengaruhi dalam kerusakan
sistem saraf pusat terutama pada otak kecil (cerebellum), kerusakan fungsi
otak akibat cedera otak saat dilahirkan dan adanya kelainan lainnya seperti
pada phenyhetonarin, tuberios sclerosis, congenital rubella syndrome dan fragile X
syndrome dan kerusakan fungsi otak hemisfer kiri yang membuat anak sulit
berbahasa dan berpikir.
c) Faktor imunologis dan bahan kimia
Inkompabilitas imunologi ibu dan embrio dapat menyebabkan tumbulnya
gangguan autistik yang dapat dilihat dari limposit beberapa anak autisme
bereaksi dengan antibodi maternal yang meningkatkan neural embrionik dan
ekstra embrionik. Kombinasoneutotoksin dan genetik juga dapat
berkontribusi pada pembentukan atistik sekitar 25% dan jenis bahan
kimia polyhorinated biplenyis (PcBs) perlu diwaspadai dikarenakan dalam bayi
yang mempunyai PcBs dalam jumlah tertentu diperkirakan akan
memperlihatkan tingkat kemampuan yang buruk, terutama pengenalan
dan kecerdasan (Pieter, 2011)
2.1.3 Klasifikasi Autisme
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan
gejalanya yang sering kali disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Childhood
Autism Rating Scale (CARS) mengkasifikasikan beberapa tingkatan dari autisme
yaitu sebagai berikut:
15
1) Autisme Ringan
Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan adanya kontak mata
walaupun tidak berlangsung lama. Pada kategori ini anak dapat memberikan
sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi
muka, dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
2) Autisme Sedang
Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan sedikit kontak mata namun
tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau
hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik
cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3) Autisme Berat
Anak autisme yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan
yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan
kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti.
Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon
dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang
tuanya, anak autisme tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti
setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis autisme yaitu termasuk gangguan dalam komunikasi dan
interaksi sosial, gangguan sensorik, perilaku berulang dan berbagai tingkat
kecacatan intelektual lainnya. Keseluruhan gejala inti ini, secara bersamaan muncul
gangguan kejiwaan atau neurologis lain yang sering terjadi pada orang dengan
16
autism yaitu hiperaktif dan gangguan perhatian seperti gangguan attention-deficit /
hyperactivity (ADHD), kecemasan, depresi dan epilepsy (Lord et al., 2020).
2.1.5 Karakteristik Anak Autisme
Karakteristik anak dengan autisme berbeda-beda tergantung tingkat
keparahan dan kombinasi gejala yang berupa gangguan-gangguan sebagai berikut:
1) Gangguan pada Kognitif
Anak autisitik dalam bindang kognitif masih memiliki ingatan yang cukup
baik, namun kurang memiliki fantasi atau imajinasi sehingga memiliki sifat
ketidaktertarikan yang kompleks baik kepada orang, karakter khayalan,
binatang ataupun peran orang dewasa (Pieter, 2011).
2) Gangguan Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial merupakan keterampilan yang berkaitan dengan
hubungan atau interaksi antara individu dengan yang erat hubungannya
dengan kehidupan masyarakat. Keterampilan sosial anak merupakan cara
anak dalam melakukan interaksi, baik dalam hal bertingkah laku maupun
dalam hal berkomunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Anak autis tidak dapat menunjukkan ketertarikan pada interaksi sosial, hal
ini terlihat dari kontak mata yang kurang dan ekspresi wajah yang tidak ada,
perilaku yang tidak terkontrol dan tidak sesuai dengan keadaan serta emosi
yang sering berubah seperti tiba-tiba marah atau menangis menyebabkan
anak autis tidak dapat berinteraksi dengan orang lain bahkan dijauhkan oleh
teman sebayanya (Iskandar, 2019). Anak autistik sering memperlihatkan
kurangnya respon sosial dan gagal membentuk ikatan sosial dan kerap kali
17
memanifestasikan orang-orang disekitarnya sebagai objek pencapaian
kebutuhannya (Pieter, 2011). Dari hasil observasi yang dilakukan pada
penelitian oleh (Dewi, Juhanaini, & Listiana, 2017) anak yang mengalami
ASD akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, ia akan menghidar
kontak mata dengan seseorang yang mengajaknya berbicara (tidak fokus/
mengalihkan pandangan), kesulitan dalam menggunakan sikap tubuh untuk
berkomunikasi, lebih senang untuk menyendiri dan tidak tertarik untuk
bermain bersama teman-temannya. Dalam aspek sikap simpati dan empati
dengan temannya pun sulit, karna mereka sendiri biasanya tidak dapat
memahami dengan apa yang harus mereka lakukan, apakah yang mereka
lakukan itu baik ataupun buruk, kerap kali anak yang mengalami ASD juga
sangat kesulitan dalam mengekspresikan wajahnya ketika mereka
berkomunikasi dengan orang lain mereka biasanya memasang mimik muka
yang dingin dan tidak memperhatikan wajah orang yang sedang
mengajaknya bicara. Anak autisme mempunyai gangguan dalam bidang
interaksi sosial disebabkan karena pikirannya hanya mampu menafsirkan
keinginan pribadinya (Suraya, 2020). Anak autistik memiliki masalah dalam
menunjukkan atau mengungkapkan perasaan mereka dan memahami orang
lain, tidak menanggapi nama pada usia 12 bulan, menghindari kontak mata,
lebih suka bermain sendiri, menghindari atau menolak kontak fisik.
Beberapa anak mungkin tidak tertarik pada orang lain sama sekali dan lebih
mengalami kesulitan untuk belajar bermain bergantian dan berbagi dengan
anak-anak lain (Centers for Disease Control and Prevention, 2019). Jika bermain
18
anak autistik selalu menunjukan sifat yang monoton dan aneh, seperti
menderetkan sabun menjadi satu deretan panjang ataupun memutar bola
pada permainan mobil-mobilan dan selalu mengamati permainannya dalam
kurun waktu yang lama (Pieter, 2011)
3) Gangguan Komunikasi
Penderita Autism spectrum disorder (ASD) memiliki keterampilan
komunikasi yang berbeda. Beberapa bisa berbicara dengan baik, tidak dapat
berbicara sama sekali atau hanya sangat sedikit. Sekitar 40% anak-anak
dengan ASD tidak berbicara sama sekali. Sekitar 25% -30% (Centers for
Disease Control and Prevention, 2019). Ciri-ciri gangguan komunkasi pada
anak autisme yaitu keterampilan berbicara dan bahasa terlambat,
mengulangi kata atau frasa berulang kali dan beberapa adapula yang dapat
berbicara dengan baik tetapi mungkin mengalami kesulitan mendengarkan
apa yang orang lain katakan. Anak dengan ASD juga berbicara dengan cara
yang unik (seperti menggunakan pola atau nada yang aneh saat berbicara
atau "membuat skrip" dari acara favorit) (“American Autism Association,”
2018). Dalam berkomunikasi anak autistik juga seringkali meniru dan
mengulang kata-kata tanpa dimengertinya, memakai neologisme, simbol
kata-kata, senang membeo(ekolalia) adanya percakapan yang tak jelas dan
hanya muncul dalam bentuk babbling (Pieter, 2011)
4) Gangguan Presepsi Sensori
Perkembangan motorik terdiri dari motorik kasar dan motorik halus.
Motorik kasar adalah kemampuan anak dalam melakukan gerakan yang
19
melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot
besar yang merupakan area terbesar pada masa perkembangan, diawali
dengan kemampuan berjalan, kemudian berlari, lompat dan lempar
sedangkan motorik halus adalah kemampuan anak dalam melakukan
Gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh
otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti
mengamati, menjipit dan menulis. Pada anak autis mengalami kelemahan
otot-otot motoric tertentu sehingga dengan melakukan terapi bermain
secara rutin dapat melatih kemampuan motorik tersebut (Iskandar, 2019).
Perkembangan motorik halus merupakan faktor yang sangat penting dalam
menjalankan aktifitas sehari-hari yang berkaitan dengan otot-otot kecil dan
membutuhkan koordinasi mata, tangan dan kaki. Melalui motorik halus
anak dapat melakukan gerakan tubuh yang lebih spesifik seperti menulis,
melipat, menggunting, dan sebagainya. Hampir semua anak autisme
mempunyai permasalahan dalam keterlambatan dan perkembangan
motorik halus. Anak autisme mengalami kesulitan memegang pensil dengan
benar, kesulitan memegang sendok sehingga menyuap makanan
kemulutnya mengalami kesulitan dan permasalahan dalam kegiatan sehari
lainnya (Puspitaningtyas, 2019). Kebanyakan anak autis menunjukkan gejala
gangguan motorik seperti adanya stereotip: bertepuk-tepuk tangan dan
menggoyang-goyangkan tubuh, hiperaktif atau hipoaktif yang biasa terjadi
terutama pada anak prasekolah, gangguan pemusatan perhatian dan
impulsivitas, tiptoe walking, clumsiness, kesulitan belajar mengikat tali sepatu,
20
menyikat gigi, memotong makanan, dan mengancingkan baju (Widiyati,
2015). American Psychiatric Assosiation menyebutkan penderita autisme juga
mengalami aspek sensorik dengan cara yang tidak biasa atau ekstrim
(seperti ketidakpedulian terhadap rasa sakit, suhu, penciuman atau
sentuhan yang berlebihan objek, daya tarik dengan cahaya dan gerakan,
kewalahan dengan suara keras, dll), dan lain-lain
5) Gangguan Perilaku dan Perasaan
Gangguan peilaku pada anak autisme ditandai dengan perilaku yang
berlebihan (excessive), perilaku yang sangat kurang seperti impulsif, repetitif
dan pada waktu tertentu dia akan merasa terkesan dan melakukan hal-hal
yang monoton diakibakan karena adanya pola kelekatan terhadap benda-
benda tertentu (Pieter, 2011). Anak autisme juga mengalami gangguan pada
perasaan yang ditandai dengan kurangnya rasa empati dan tanpa empati,
toleransi yang sangat rendah, misal tertawa, menangis, marah atau
mengamuk (temper tantrum) tanpa sebab dan sulit dikendalikan. Apabila
tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya akan sulit mengontrol
perilaku agresi atau merusaknya, apalagi jika terdapat perubahan rutinias
harian terganggu yang berujung mengalami distress (Pieter, 2011).
21
2.1.6 Pathway Proses Terjadinya Autisme
Gambar 1 - Pathway Autisme
Representasi diagram dari peristiwa dan interaksi yang diusulkan selama periode
perinatal yang dapat menyebabkan autisme. Disfungsi plasenta, juga autoimunitas,
infeksi maternal, dan stres gestasional menyebabkan prematuritas. Perkembangan
saraf yang rusak dan gen kerentanan membuat bayi rentan terhadap pemicu
lingkungan yang mengaktifkan sel mast untuk melepaskan mediator yang
mengganggu hambatan darah usus-otak yang menyebabkan peradangan otak yang
kemudian menyebabkan terjadinya autisme. beberapa hormone dan senyawa
kimia yang terlibat yaitu hormon CRH, hormon pelepas kortikotropin; IgE,
imunoglobulin E; IL, interleukin; LPS, lipopolisakarida; MCP-1, makrofag kemo-
atraktan protein-1; mtDNA, DNA mitokondria; NT, neurotensin; PCB, bifenil
poliklorinasi; ROS, spesies oksigen reaktif; SP, zat P; TNF, faktor nekrosis tumor.
22
2.1.7 Instrumen Diagnosa Autisme
Diagnosis untuk Autisme cukup rumit dilakukann dikarena kompleksitas,
keparahan, dan tumpang tindih gejala autisme dengan gangguan kejiwaan lainnya,
sehingga penting untuk menggunakan instrumen dan skala yang tepat untuk
mendiagnosis autisme dengan benar untuk meningkatkan manajemen klinis pasien
ASD (Sharma, Gonda, & Tarazi, 2018). Skala ini secara otoritatif ditinjau oleh
(Vllasaliu et al., 2016) dan di antara skala yang banyak digunakan untuk
mendiagnosis ASD adalah sebagai berikut.
1) The developmental, dimensional, and diagnostic interview
Instumen ini merupakan waawancara perkembangan, dimensional, dan
diagnostik langsung dengan orang tua atau pengasuh yang berbasis
komputer. Terdiri dari 740 item; 183 item menilai latar belakang
demografis, 266 item mengevaluasi gejala ASD, dan 291 item memeriksa
komorbiditas potensial dengan gangguan lain. Jawaban dinilai dari "0"
(tidak ada bukti perilaku yang terganggu) hingga "2" (bukti pasti dari
perilaku tersebut). Instrument dapat digunakan untuk mendiagnosis
individu dengan ASD dari anak usia dini hingga dewasa.
2) Childhood Autism Rating Scale (CARS)
Childhood Autism Rating Scale (CARS) adalah skala yang paling sering
digunakan untuk membantu diagnosis ASD pada anak karena dapat
membantu dalam membedakan antara anak autis dan anak dengan
gangguan keterlambatan perkembangan lainnya seperti retardasi mental.
Beberapa studi mmendukung kegunaan CARS dalam mendiagnosis ASD
23
pada remaja dan dewasa. CARS terdiri dari 15 item yang mencakup
perbedaan gejala ASD, perbandingan perilaku dan keterampilan anak yang
terkena dampak terhadap pertumbuhan perkembangan pada anak yang
sehat. Setiap item diberi skor dari "1" (perilaku normal) hingga "4"
(perilaku sangat tidak normal). Skor antara 30 dan 37 menunjukkan ASD
ringan hingga sedang, sedangkan skor antara 38 dan 60 menunjukkan ASD
parah.
3) The Autism Spectrum Disorder-Observation for Children (ASD-OC)
ASD-OC adalah skala observasi yang terdiri dari 45 item dan digunakan
untuk mengamati dan menilai gejala inti autistik yang berupa gangguan
sosial, defisit komunikasi, dan perilaku berulang. Perilaku individu dengan
ASD dibandingkan dengan anak-anak dari kelompok usia yang sama dan
diberi skor sebagai "0" (tidak ada gangguan), "1" (gangguan ringan) atau
"2" (gangguan berat).
4) Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R)
Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R) adalah instrument yang berbasis
wawancara pada orang tua atau pengasuh yang berisi 93 item yang secara
khusus mengevaluasi perilaku yang berbeda pada usia yang berbeda,
termasuk interaksi sosial timbal balik, bahasa dan komunikasi, perilaku atau
minat berulang stereotip, dan kriteria usia onset. Ini biasanya diberi skor
dari "0" (tidak ada bukti) hingga "3" (gangguan perilaku yang yang sangat
parah).
5) The Asperger Syndrome Diagnostic Interview
24
Instrurmen ini merupakan wawancara berbasis investigasi singkat yang
dilakukan selama 15-20 menit dan digunakan untuk menentukan apakah
seorang pasien memenuhi kriteria untuk diagnosis autisme. Terdiri dari 20
item yang dibagi menjadi 6 kategori, yaitu: (A) masalah verbal dan wicara (5
item), (B) masalah komunikasi non verbal (5 item), (C) gangguan interaksi
sosial (4 item), (D) keterbatasan minat (3 item), (E) rutinitas (2 item) dan
(F) kejanggalan motorik (1 item). Untuk dapat didiagnosis AS atau autisme
fungsi tinggi, seseorang harus memiliki skor pasti dalam 3 item di grup A, 2
item di grup C, dan setidaknya satu item di grup B, D, E, F
6) The Diagnostic Interview for Social and Communication Disorders
(DISCO)
Instrumen ini menggunakan metode wawancara diagnostik untuk gangguan
sosial dan komunikasi semi-terstruktur untuk orang tua atau pengasuh dan
digunakan untuk mendiagnosis individu dengan ASD sejak bayi hingga usia
lanjut. Instrument ini memberikan evaluasi perkembangan perilaku sosial,
keterampilan dan komunikasi pasien sejak lahir hingga usia sekarang.
DISCO menggunakan pendekatan dimensi untuk penilaian daripada
memotong poin, dan bertujuan untuk menilai secara dekat, selama
bertahun-tahun, pola gangguan dalam perilaku sosial dan komunikasi pada
individu yang dicurigai menunjukkan gejala ASD.
25
2.1.8 Terapi pada Anak Autisme
Terdapat berbagai jenis terapi yang dapat digunakan pada anak autisme dan
sudah dikembangkan untuk mendidik anak dengan bantuan khusus, termasuk
salah satunya adalah autis. Berikut terapi-terapi pada anak autis, yaitu:
a. Terapi Perilaku
Berbagai jenis trapi perilaku telah dikembangkan untuk mendidik
anak dengan bantuan khusus, termasuk salah satunya autis dan pola terapi
perilaku lebih menekankan usaha reduksi perilaku aneh dan tak lazim,
yakni menggantikan perilaku adaptif yang dapat diterima. Ada dua jenis
terapi perilaku yaitu terapi wicara dan terapi okupasi. Terapi wicara sebagai
metode untuk meningkatkan bicara pada anak autistik. Penatalaksanaan
keperawatan memakai metode analisis ABA (Applied Behavior Analysis) yang
dianggap berstruktur untuk menangani anak autisik (Pieter, 2011). Jenis-
jenis terapi wicara lain yang juga sering dipakai pada penanganan anak
autis adalah TEAHC (Treatment and Education of Autitstic Handicapped
children), DDT (Discrete Trial Training), option therapy, floor time and daily
therapy.
Kemudian ada terapi okupasi merupakan terapi yang tepat pada
penderita autistik yang mengalami perkembangan motorik yang kurang
baik seperti gerak-gerik kasar dan halusnya yang kurang luwes bila
dibandingkan dengan anak-anak seusianya dan terapi okupasi adalah terapi
yang tepat (Pieter, 2011). Terapi ini dilakukan untuk memperbaiki
koordinasi dan keterampilan otot-otot wicara pada anak autis dengan kata
26
lain juga untuk melatih motorik halus anak dan latihan okupasi ini dapat
berupa memegang pensil dengan cara yang benar, memegang sendok dan
menyuap makanan ke mulut, memasukan benda pada tempatnya seperti
memasukkan pasir/beras ke dalam botol, memasang kancing dan lain
sebagainya (Ismet, 2019).
b. Terapi Biomedik
Tujuan utama dari terapi biomedik yaitu mengurangi rasa ansietas,
agitasi psikomotorik berat dan kepekaan yang ekstrem pada stimulasi
lingkungan. Dalam penggunaaanya juga perlu banyak pertimbangan baik
dari sisi medis maupun hukum mengingat daya tahun anak autistik sangat
terbatas dan jenis-jenis obat yang dapat digunakan dalam terapi autis
(Pieter, 2011) antara lain:
a. Antipsikotik, adalahh obat yang digunakan untuk membantu dan
mereduksi perilaku agitasi, agresif dan impulsif anak autistik yang
penggunaanya dianggap mampu membantu dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi anak autis
b. Stimulan sistem saraf, seperti dekstroamfetamin yang dipakai
untuk penenang paradosal pada anak autis
c. Antidepresan, seperti litium digunakan sebagai efek penenang
dalam menurunkan perilaku impulsive.
c. Terapi Lingkungan Sosial
Tujuan terapi ini untuk mengendalikan dan meminimalkan
perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar anak, menurunkan atau
27
mengubah perilaku yang mengganggu dengan memertahankan tugas yang
sederhana dan tidak membutuhkan kemampuan berpikir abstrak atau
bahasa sosial yang komplek. Terapi ini lebih menekankan pada pemberian
stimulasi pengalaman yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara
berulang-ulang dan mempertahankan jadwal perawatn dan aktivitas
bermainnya secara konsisten.
d. Terapi Bermain
Terapi ini dmaksudkan agar anak autistik dapat berinteraksi sosial
dengan temannya dan mengungkapkan emosinya. Pelaksanaan terapi
bermain, sebaiknya juga dapat berfokus pada penilaian anak pada
lingkungan sehingga anak dapat mengembangkan pola interaksi sosial yang
terstruktur dan tetap memberikan penguatan positif pada perilaku yang
sesuai.
2.2 Konsep Bermain
2.2.1 Definisi Bermain
Bermain merupakan sarana anak untuk belajar mengenal lingkungn dan
kebutuhan yang paling penting dan mendasar bagi anak dalam memenuhi
seluruh aspek kebutuhan perkembangan kognitif, afektif, social, emosi, motorik
dan bahasa serta bermanfaat untuk memicu kreativitas, mencerdaskan otak,
menanggulangi konflik, melatih empati, mengasah panca indra, terapi dan
melakukan penemuan (Wiwik Pratiwi, 2017). Bermain, menurut Smith and
Pellegrini (2008) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kepentingan diri
28
sendiri bukanlah kegiatan yang dilakukan demi menyenangkan orang lain
(Farikhah, 2018). Bermain bersifat fleksibel yang membuat anak dapat
melakukan kombinasi baru atau bertindak dalam cara-cara baru yang berbeda
dari sebelumnya dan tidak bersifat kaku. Bermain juga bersifat aktif, positif dan
membawa efek positif karena membuat pemainnya tersenyum dan tertawa
karena menikmati apa yang mereka lakukan.Bermain bagi anak tidak hanya
memberikan kepuasan terhadap anak tetapi juga dapat membangun karakter,
membentuk sikap dan kepribadian anak, memperoleh pengetahuan dan
mengembangkan kemampuan dirinya (Iswantiningtyas, 2019)
2.2.2 Kategori Bermain
Menurut (Saputro, 2017) kategori bermain dibagi menjadi dua yaitu
bermain aktif dan bermain pasif. Bermain aktif dalam kegiatannya timbul
kesenangan dari apa yang dilakukan anak dapat dalam bentuk kesenangan
bermain alat misalnya melipat kertas origami, mewarnai gambar, puzzle dan
menempel gambar. Bermain aktif jugda dapat dilakukan dengan bermain peran
misalnya bermain dokter-dokteran, menebak kata dan lain sebagainya. Adapun
bermain pasif atau bisa disebut sebagai hiburan, yaitu kesenangan yang
diperoleh dari kegiatan orang lain, anak tidak melakukan kegiatan bermain
secara langsung hanya menikmati temannya bermain atau menonton televisi dan
membaca buku. Bermain pasif ini merupakan kegiatan bermain tanpa
mengeluarkan banyak tenaga, tetapi kesenangannya hampir sama dengan
bermain pasif.
29
2.2.3 Klasifikasi Bermain
Menurut (Saputro, 2017) permainan diklasifikasikan ke beberapa
kategori dan menyebutkan permanan berdasarkan isinya yatu:
a. Bermain afektif sosial (social affective play)
Permainan yang memiliki hubungan interpersonal yang
menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan mendapat
kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang menyenangkan dengan
orangtua dan orang lain.
b. Bermain untuk senang-senang (sense of pleasure play)
Permainan ini mengguakan alat yang dapat meimbulkan rasa senang
pada anak, misalnya dengan menggunakan pasir anak akan membuat
benda-benda apa saja yang dapat dibentuk sesuai kreativitasnya atau
menggunakan air anak bisa melakukan bermacam-macam permainan
seperti memindahkan air kedalam botol, bak atau tempat lain.
c. Permainan Keterampilan (skill play)
Permainan ini dapat memberikan keterampilan pada anak khususnya
motorik halus dan kasar yang diperoleh melalui pengulangan kegiatan
permainan yang dilakukan. Contohnya, bayi akan terampil memegang
benda-benda kecil, naik sepeda dan memindahkan benda dari satu tempat
ke tempat lain.
d. Permaian simbolik atau dramatic role play
Permainan yang dilakukan anak dengan memainkan peran orang lain
yang memiliki tujuan penting untuk memproses/mengidentifikasikan anak
30
terhadap peran tertentu. Contohnya memerankan sebagai ibu guru, ibu atau
ayahnya, kakaknya sebagai orang yang ingin ditiru.
Permainan berdasarkan karakteristik sosial menurut (Saputro, 2017) ada enam
permainan yaitu:
a. Solitary play. Merupakan jenis permainan yang sudah dimulai dari bayi atau
toddler yang dilakukan sendiri atau independen walaupun ada orang lain
disekitarnya disebabkan karena keterbaasan sosial, keterampilan fisik dan
kognitif.
b. Parallel play. Permainan yang dilakukan oleh satu kelompok anak balita atau
prasekolah dimana masing-masing memiliki permainian yang sama tetapi
tidak ada interaksi atau saling tergantung satu sama lain.
c. Assosiative play. Permainan yang dilakukan bersama dan aktivitasnya serupa
atau bahkan sesama tanpa tujuan besama. Anak saling pinjam-meminjam
mainannya, saling mengikuti, bertindak sesuai kemauannya sendiri dan
tidak ada tujuan kelompok.
d. Cooperative play. Merupakan permainan yang berbalikan dengan permainan
asosiatif. Permanain ini terorganisir dan tujuan kelompok yang biasanya
dilakukan pada usia sekolah dan remaja. Bermain kooperatif dilakukan
secara berkelompok dimana anak memiliki masing-masing peran untuk
mencapai tujuan permainan sehingga jika ada satu anak yang berhenti dari
permainan maka permainan tidak dapat dilanjutkan (Heryawati, 2018).
Menurut Dworetzy (dalam Heryawati, 2018) anak secara aktif untuk
31
menggalang hubungan dengan anak lain untuk membicarakan,
merencanakan dan melaksanakan kegiatan bermain.
e. Onlooker play. pada permainan ini anak melihat dan mengobservasi
permainan orang lain saja dan tidak ikut bermain, tetapi anak juga dapat
menanyakan permainan itu dan biasanya dimulai pada usia toodler.
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bermain
Ada beberapa faktor yang memengaruhi bermain pada anak yang sangat
menentukan terhadap jenis permainan yang akan dipilih oleh anak. Berikut
faktor-faktor yang mempengaruhi bermain anak menurut Harlock (Fadillah,
2019) :
1. Kesehatan. Tingkat sehat dan sakit anak sangat berpengaruh dalam
kegiatan bermainnya. Semakin sehat anak, maka akan semakin banyak
energinya sehingga dapat bermain dengan aktif. Sebaliknya, anak yang
sedang sakit akan memiliki tenaga yang lemah sehingga akan lebih menyukai
bermain pasif (huburan).
2. Perkembangan motorik. Setiap permainan yang dilakukan dan waktu
bermain pada setiap usia pasti melibatkan koordinasi motorik dan
tergantung pada perkembangan motorik anak sehingga pengendalian
motoric yang baik memungkinkan anak terlibat dalam permainan aktif.
3. Intelegensi. Pada setiap usia, anak yang memiliki intelegensi yang tinggi
akan lebih aktif dan permainan mereka lebih meunjukkan kecerdikan,
keseimbangan perhatian bermain yang lebih besar termasuk
menyeimbangkan faktor fisik dan intelektual yang nyata.
32
4. Jenis Kelamin. Anak laki-laki memiliki kecenderungan bermain lebih kasar,
menykai permainan yang melibatkan fisik motorik dan menunjukkan
perhatian pada berbagai jenis perpainan yang lebih banyak daripada anak
perempuan.
5. Peralatan bermain. Peralatan yang dimiliki anak saat bermain
mempengaruhi permainannya misalnya, dominasi boneka dan binatang
buatan mendukung permaianan pura-pura dam balok, kayu, cat air dan lilin
dapat mendukung permainan yang bersifat konstruktif.
6. Status sosial ekonomi. Anak yang berasal dari kelompok sosial ekonomi
yang lebih tinggi lebih mengenal kegiatan bermain yang cenderung mahal
seperti lomba atletik, bermain sepatu roda sedangkan pada anak yang berasal
dari kalangan bawah terlihat bermain dalam kegiatan yang lebih simpel
seperti bermain bola dan berenang.
7. Jumlah waktu bebas. Jumlah waktu bermain ini sangat bergantung pada
status ekonomi keluarga dimana jika tugas rumah tangga atau pekerjaan
menghabiskan waktu luang dapat membuat anak terlalu lelah untuk
melakukan kegiatan seperti bermain yang membutuhkan tenaga yang besar.
2.3 Konsep Terapi Bermain
2.3.1 Definisi Terapi Bermain
Bermain merupakan kegiatan atau stimulasi yang tepat untuk anak dan
dapat meningkatkan daya pikir anak dalam aspek emosional, sosial, dan fisik,
33
dapat meningkatkan kemampuan fisik, pengalaman dan pengetahuan serta
keseimbangan mental anak (Saputro, 2017). Bermain juga merupakan kebutuhan
penting bagi anak dan dengan bermain anak dapat belajar untuk beradaptasi,
bersosialisasi serta bebas berekspresi (Iskandar, 2019). Bermain dapat digunakan
sebagai media psikoterapi atau pengobatan terhadap anak yang dikenal dengan
sebutan terapi bermain. Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah laku
bermasalah dengan menempatkan anak dalam situasi bermain dalam ruangan
khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak bisa merasa lebih santai
dan dapat mengekpresikan segala perasaan dengan bebas sehingga dapat
diketahui permasalahan anak dan bagaimana mengatasinya (Adriana, 2017).
Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku
anak-anak karena responsif terhadap kebutuhan unik dan beragam dalam
perkembangannya (Saputro, 2017).
2.3.2 Tujuan Terapi Bermain
Terapi bermain bertujuan untuk mengatasi masalah pada anak,
memberikan kesempatan untuk berekspresi dan mencoba hal baru sehingga
menciptakan suasana aman bagi anak-anak unruk mengekspresikan diri mereka,
memamhami bagaimana sesuatu terjadi dan mempelajari aturan sosial (Saputro,
2017). Terapi bermain juga dapat membantu anak menguasai kecemasan dan
konflik karena ketegangan mengendor dalam permaianan sehingga anak dapat
menghadapi masalah kehidupan, melepaskan emosi tertahan dan memungkinkan
menyalurkan kelebihan energi fisik. Terapi bermain efektif digunakan untuk
meningkatkan kemampuan motorik yang bekerja pada anak dengan cara
34
mengembangkan keterampilan baru yang disukai oleh anak itu sendiri, anak
dapat belajar beradaptasi, bersosialisasi serta bebas berekspresi (Iskandar, 2019).
Terapi bernain pada anak autisme bertujuan untuk mengurangi masalah
perilaku, meningkatkan kemampuan dan perkembangan belajar anak dalam hal
penguasaan bahasa serta membantu anak autisme agar mampu bersosialisasi
dalam beradaptasi di lingungan sosialnya (Sutinah, 2017). Terapi bermain juga
memiliki pengaruh yang signifikan pada anak autisme untuk meningkatkan
kemampuan kontak mata, dan keterampilan bahasa (Phytanza & Burhaein, 2019).
Tujuan terapi bermain pada anak autismelainnya yaitu untukmengembangkan
kekuatan otot dan motoric, meningkatkan ketahanan organtubuh bagian dalam,
serta mencegah dan memperbaiki sikap tubuh yang kurang baik (Suraya, 2020).
Terapi bermain yang diterapkan kepada anak autisme tertuju pada penekanan-
penekanan pada hal-hal seperti permainan yang cocok, sensoris motor, dilakukan
dengan gembira dan berfungsi sebagai wahana hubungan kasih sayang diantara
keluarga, mudah dilakukan, bersifat ekonomis dan mudah dibuat atau diperoleh.
2.3.3 Manfaat Terapi Bermain
Terapi bermain dapat digunakan sebagai media psikoterapi atau pengobatan
terhadap anak dalam permasalahan perkembangan anak dan sangat mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak. Adapun beberapa manfaat dari terapi
bermain menurut (Saputro, 2017) yaitu:
1) Perkembangan Kognitif
35
Manfaat terapi bermain pada perkembangan kognitif yaitu anak mampu
mengembangkan pemikiran yang fleksibel dan berbeda serta anak dapat
memiliki kesempatan untuk menemui dan mengatasi permasalahan.
2) Perkembangan Intelektual
Melalu bermain, anak melakukan eksplorasi dan memanipulasi terhadap
segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar terutama mengenal warna,
bentuk, ukuran, teksur dan membedakan objek, contohnya anak bermain
mobil-mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat
memeperbaikinya maka anak telah bejalahr memecahkan masalah mealui
eksplorasi mainannya dan untuk mencapai kemampuan ini, anak
menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal mungkin.
3) Perkembangan sosial dan emosional
Terapi bermain dapat mengembangkan keahlian berkomunikasi secara
verbal dan nonverbal melalui negosiasi peran. Terapi bermain bertujuan
untuk menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan
diri mereka, memahami, mempelajari aturan sosial dan memberi
kesempatan bagi anak-anak untuk mencoba sesuatu yang baru. Melalui
bermain, anak dapat belajar menghagai perasaan orang lain, merespon
perasaan teman sebaya sambil menanti giliran bermain dan saling berbagi
serta anak belajar menguasai perasaanya seperti marah sedih atau khawatir
dalam keadaaan terkontrol. Bermain dengan orang lain akan membantu
anak untuk mengembangkan hubungan sosial, berinteraksi dengan teman,
36
memahami lawan bicara dan belajar tentang nilai sosial yang ada pada
kelompoknya.
4) Perkembangan Bahasa
Terapi bermain dapat mengembangkan keahlian berkomunikasi secara
verbal dan nonverbal melalui negosiasi peran. Permainan dramatik
menggunakan pernyataan-pernyataan peran, infleksi (perubahan
nada/suara) dan bahasa komunikasi sehingga anak akan belajar
menggunakan bahasa untuk tujuan-tujuan dan situasi yang berbeda. Anak
akan mengekspresikan gagasan atau mengadakan dan meneruskan
permainan dan bereksperimen dengan kata-kata, suku kata bunyi dan
struktur bahasa.
5) Perkembangan Fisik
Dalam bermain anak akan terlibat aktif dalam permainan yang akan
menggunakan keahlian-keahlian motorik kasar. Anak akan mampu
memungut dan menghitung benda-benda kecil menggunakan keahlian
motorik halusnya. Permainan memiliki peran penting dalam
mengembangkan dan memperhalus berbagai kemampuan gerak dasar, jika
permainan secara tepat dimainkan ke dalam program pengembangan gerak
(Iskandar, 2019)
2.3.3 Jenis-Jenis Terapi Bermain
Penelitian telah menunjukkan keberhasilan pendekatan terapi bermain
untuk anak-anak dengan ASD (Autism Spectrum Disorder) yang mencakup berbagai
37
teori dan model terapi bermain (Kaduson, 2020). Berikut jenis-jenis terapi
bermain, yaitu:
1. Child-Centered Play Therapy
Child-Centered Play Therapy (CCPT) adalah pendekatan nondirective untuk
membantu anak-anak yang kesulitan emosi dan perilaku dan CCPT menganut
keyakinan bahwa anak-anak memiliki kapasitas bawaan untuk menyelesaikan
masalah yang mereka alami dan epningkatan penguasaan diri mereka (VanFleet,
2010). Terapi ini banyak digunakan oleh terapis anak karena memiliki prinsip
yang jelas dan keterampilan khusus yang dapat dipecah menjadi komponen yang
dapat diajar. CCPT didasarkan pada keyakinan bahwa hubungan yang selaras
dan terapeutik, diekspresikan dalam hal penerimaan yang tidak memenuhi syarat
dari anak dan resonansi empati, bersifat kuratif dan dalam prosesnya anak-anak
terlibat dalam permainan yang diarahkan sendiri, mengeksplorasi pengalaman
dan emosi mereka sehingga hasilnya anak dapat menguasai dan mengendalikan
dunianya (Schottelkorb et al., 2020). Tujuan lain CCPT menurut (Blanco,
Holliman, & Carroll, 2019) adalah untuk memfasilitasi aktualisasi diri anak atas
kemampuan perkembangan mereka sendiri dan mendorong eksplorasi dan
penemuan diri anak dengan tujuan perubahan konstruktif.
Terdapat delapan prinsif yang harus dilakukan terapis dalam sifat
hubungan terapi-anak dalam pelaksanaan CCPT menurut (Blanco et al., 2019)
yaitu terapis benar-benar tertarik pada anak, menunjukkan rasa hormat pada
anak, menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Terapis juga harus peka
terhadap perasaan anak dan merefleksikannya agar anak mengembangkan
38
pemahaman diri, sangat percaya pada kemampuan pribadi anak untuk bertindak
secara bertanggung jawab, mempercayai arahan batin anak, mempercayai proses
terapeutik dan menetapkan batasan yang diperlukan untuk mengembangkan
tanggung jawab anak itu sendiri.
2. Filial Therapy
Terapi ini adalah jenis terapi bermain khusus dengan metode terapeutik
unik yang melibatkan orang tua dan pengasuh secara langsung sebagai agen
terapi terapeutik anak dan masih berkaitan dalam jenis terapi bermain Child-
Centered Therapy (Mahalakshmi, 2016). Biasanya terapi ini membutuhkan waktu
3-6 bulan untuk menyelesaikannya atau dapat berlangsung lebih lama dengan
sesi tindak lanjut. Terapi ini dapat membantu anak-anak untuk
mengekspresikan perasaan dan ketakutannya melalui aktivitas bermain yang
alami. Tujuan Filial Therapy menurut (VanFleet, 2010) adalah untuk membuat
anak belajar dan memahami perasaannya sendiri, membantu anak belajar
bagaimana mengekspresikan perasaanya dengan benar, meningkatkan
kepercayaan antara anak dan orang tua, membiarkan anak mengatasii masalah
emosional yang mendasari perilaku negatif, meningtakan tingkat kepercayaan
dan penguasaan diri dan meningkatkan kepercayaan diri orang tua dalam
kemampuan parenting.
3. Cognitive-Behavioral Play Therapy
Terapi ini menggunakan mainan dan bertujuan untuk mengubah pikiran,
perilaku anak secara langsung dan pemilihan bahan permainanya berdasarkan
masalah yang ada serta menyesuakan kebutuhan dari masing-masing anak
39
(VanFleet, 2010). Hal ini didasarkan oleh asumsi bahwa Cognitive-Behavioral Play
Therapy memiliki hubungan diantara pikiran, situasi, emosi dan perilaku. Teori
kognitif ini juga menyatakan bahwa tiap pikiran tiap individu menentukan
pengalaman emosi dan perilaku kedepannya serta mengajarkan kemampuan
koping lebih baik untuk membantu dalam mengendalikan gangguan perasaan
dan menurunkan gejala (VanFleet, 2010).
4. Theraplay
Theraplay adalah intervensi yang berfokus pada peningkatan hubungan,
kepercayaan dan kegembiraan antara anak dan orang tua yang melibatkan
aktivitas interaktif dan menyenangkan menggunakan interaksi timbal balik tatap
muka sederhana dan melibatkan penggunaan semua indra, termasuk ritme,
gerakan, dan sentuhan (Lender, 2020). Theraplay menekankan hubungan antara
orang tua dan anak dan menggunakan teknik khusus untuk meningkatkan
permainan berbasis keterikatan dan tidak menggunakan mainan karena terapis
dan orang tua yang menjadi objek permainan sehingga membuat terapi ini
sebagai intervensi keluarga yang direktif (VanFleet, 2010). Theraplay
menggunakan beberapa alat peraga atau barang multisensori digunakan dalam
beberapa kegiatan. Pelaksanaanya dibawah bimbingan terapis, orang tua belajar
menggunakan kegiatan bermain yang menarik dan mengasuh dengan
menggunakan ekspresi wajah, kehadiran, ritme suara dan sentuhan sebagai cara
untuk mengetahui perasaan dari anak dan fokus terapi adalah pada komunikasi
nonverbal (VanFleet, 2010).
40
Menurut (Lender, 2020) dalam melakukan Theraplay harus mengikuti dan
sangat memahami prinsip-prinsip ini sehingga dapat berfokus, bertujuan dan
sensitif. Prinsip-prinsip ini yaitu keamanan dan keterlibatan timbal balik sosial,
menggunakan permainan face-to-face¸membuat model kerja yang lebih positif
dan pola ketertarikan. Dalam pelaksanaanya juga perlu memahami respond dan
perilaku anak dalam konteks hubungan, menggunakan Theraplay as framework,
mengikuti protokol dari Theraplay, melibatkan orang tua, tetap focus pada
komunikasi nonverbal, melacak urutan dan pola anak serta menciptakan
prediktabilitas
5. Autplay Therapy
Autplay therapy adalah pendekatan integratif yang mengikuti formula
terapi bermain preskriptif pada setiap anak yang kemudian dinilai secara
individu untuk mengidentifikasi tingkat keterampilan, defisit, tingkat
perkembangan dan sumber daya keluarga dalam memandu pelaksanaan
pengobatan lebih lanjut (Kaduson, 2020). Terapi bermain ini juga merupakan
pendekatan antara terapi bermain terapi perilaku untuk menangani anak-anak
dan remaja dengan ASD (Autism Spectrum Disorder) dan gangguan
perkembangan saraf lainnya yang melibatkan orang tua dalam prosesnya.
Terapi ini dirancang untuk focus pada area defisit inti yang ditemukan
pada anak-anak dengan ASD terutama regulasi emosional, nteraksi sosial,
keterampilan bermain, keterikatan dan koneksi hubungannya (Grant, 2017).
Terapi ini menggabungkan elemen proses pendidikan, perilaku, psikologis dan
focus pengembangan keterampilan. Sangat penting untuk mengetahui kriteria
41
diagnostik gangguan yang dialami oleh anak ASD dalam terapi ini, tujuannya
untuk memahami dengan baik tingkat gangguan yang mungkin dialami anak
tersebut dan bagaimana secara spesifik merancang teknik terapi bermain
sehingga bisa mengatasi gangguan tersebut (Grant, 2017).
2.3.4 Prinsip Pelaksanaan Terapi Bermain
Dalam melaksanakan terapi bermain pada anak autisme, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dikarena kondisi anak autis berbeda dengan anak normal.
Berikut ini beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam memberikan terapi
bermain pada anak autisme menurut (Saputro, 2017):
a. Keadaan Anak
Keadaan anak autisme berbeda satu sama lain, ada yang menderita
autisme ringan, sedang, atau berat, sehingga perlu diketahui karakter dan
perilaku anak sebelum melakukan terapi. Dalam kegiatan bermain anak juga
perlu energi yang cukup dalam melakukan aktivitas bermain yang bervariasi
untuk menghindari rasa bosan dan jenuh. Anak harus mempunyai cukup
waktu untuk bermain sehingga stimulus yang diberikan dapat optimal
sehingga memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat
permainannya. Permainan yang dipilih juga lebih baik tidak menggunakan
banyak energy untuk menghindari kelelahan dan dengan alat-alat yang lebih
sederhana. Lama pemberian terapi bermain bisa bervariasi, idealnya
dilakukan 15-30 menit dalam sehari. Menurut (Adriana, 2017) waktu untuk
terapi bermain 30-35 menit terdiri dari 5 menit tahap persiapan, 5 menit
tahap pembukaan dan 20 menit tahap kegiatan dan sisanya tahap penutup
42
b. Alat Permainan
Pemilihan alat permainan perlu menyesuaikan dengan umur dan
perkembangan anak. Begitupun dalam penentuan jenis permainan
berkaitan erat dengan kemampuan, usia, jenis kelamin, dan sifat permainan
itu sendiri, yaitu apakah permainan bersifat continue atau temporer. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah alat permainan aman dan tidak
berbahaya serta memiliki unsur edukatif bagi anak. Permainan harus
memerhatikan keamanan dan kenyamanan sehingga anak merasa nyaman
dan yakin terhadap benda-benda yang dikenalnya.
c. Teman Bermain
Anak harus merasa yakin bahwa mereka memiliki teman bermain
sehingga tidak kehilangan kesempatan belajar dari teman-temannya.
Frekuensi bermain pun perlu diperhatikan agar tidak mengakibatkan anak
merasa tidak memiliki kesempatan untuk menghibur diri sendiri dan
menemukan kebutuhannya sendiri. Orang tua sangat direkomendasikan
untuk melakukan kegiatan bermain bersama anak agar menjadi akrab dan
segera mengetahui setiap kelainan yang terjadi pada anak secara dini.
d. Keterlibatan orang tua dan keluarga
Keterlibatan orang tua dan keluarga dapat mendorong perkembagan
keterampilan dan kemampuan sosial anak, memberi dukungan bagi
perkembangan emosi positif, kepribadian yang adekuat dan kepedulian
terhadap orang lain. Dengan keterlibatanaktif orangtua dan keluarga dalam
43
pelaksanaan terapi bermain bisa memberikan efek lebih besar dibandingkan
hanya diberikan oleh tenaga kesehatan professional.