BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan...

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tongkol Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tongkol adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Percomorphi Family : Scombridae Genus : Euthynnus Species : Euthynnus affinis Menurut Djatikusumo dalam Setiawan (1992), ikan tongkol memiliki ciri- ciri morfologis sebagai berikut : mempunyai bentuk badan fusiform (cerutu) dan memanjang. Panjang badan kurang lebih 3,4-3,6 kali panjang kepala dan 3,5-4 kali tinggi badannya. Panjang kepala kurang lebih 5,7-6 kali diameter mata. Kedua rahang mempunyai satu seri gigi berbentuk kerucut. Sisik hanya terdapat pada bagian korselet. Garis rusuk (linea lateralis) hampir lurus dan lengkap. Sirip dada pendek, kurang lebih hampir sama panjang dengan bagian kepala dibelakang mata. Jari-jari keras pada sirip punggung pertama kurang lebih sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata, kemudian diikuti dengan jari-jari keras sebanyak 15 buah. Sirip punggung kedua lebih kecil dan lebih pendek dari sirip punggung pertama. Permulaan sirip dubur terletak hampir di

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tongkol

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tongkol adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Class : Pisces

Sub Class : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Family : Scombridae

Genus : Euthynnus

Species : Euthynnus affinis

Menurut Djatikusumo dalam Setiawan (1992), ikan tongkol memiliki ciri-

ciri morfologis sebagai berikut : mempunyai bentuk badan fusiform (cerutu) dan

memanjang. Panjang badan kurang lebih 3,4-3,6 kali panjang kepala dan 3,5-4

kali tinggi badannya. Panjang kepala kurang lebih 5,7-6 kali diameter mata.

Kedua rahang mempunyai satu seri gigi berbentuk kerucut. Sisik hanya terdapat

pada bagian korselet. Garis rusuk (linea lateralis) hampir lurus dan lengkap.

Sirip dada pendek, kurang lebih hampir sama panjang dengan bagian

kepala dibelakang mata. Jari-jari keras pada sirip punggung pertama kurang lebih

sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata, kemudian diikuti dengan

jari-jari keras sebanyak 15 buah. Sirip punggung kedua lebih kecil dan lebih

pendek dari sirip punggung pertama. Permulaan sirip dubur terletak hampir di

akhir sirip punggung kedua dan bentuknya sama dengan sirip punggung pertama.

Sirip punggung pendek dan panjangnya kurang lebih sama dengan panjang antara

hidung dan mata. Bagian punggung berwarna kelam, sedangkan bagian sisi dan

perut berwarna keperak-perakan. Di bagian punggung terdapat garis-garis miring

ke belakang yang berwarna kehitam-hitaman.

Komponen kimia utama daging ikan adalah air, protein kasar dan lemak

komponen kimia tersebut semuanya sekitar 98 % dari total berat daging.

Komponen ini berpengaruh besar terhadap nilai nutrisi, sifat fungsi, kualitas

sensor dan stabilitas penyimpanan daging. Pada suhu ruang, kandungan air pada

ikan akan meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Beberapa

perubahan kimiawi yang disebabkan oleh aktivitas enzim, biasanya terjadi

sebelum berlangsungnya kerusakan karena aktivitas mikroorganisme. Reaksi

enzim ini terkait dengan proses rigor mortis. Proses ini mengakibatkan terjadinya

dekomposisi (pembusukan) beberapa komponen kimia seperti protein dan lemak.

Kerusakan protein dan oksidasi lemak biasanya terjadi pada tahap akhir dari

proses kerusakan ikan. Kecepatan reaksi oksidasi lemak tergantung pada jenis

ikan (ukuran, kadar lemak, musim). Kandungan lainnya seperti karbohidrat,

vitamin dan mineral hanya berjumlah sedikit, bagian ini juga berperan dalam

proses biokimia di dalam jaringan post-mortem. Zat tersebut berhubungan dengan

sifat sensor, nilai nutrisi dan penampakan produk (Sikorski, 1990). Penampakan

morfologi ikan tongkol ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Sumber: Chaerudin 2008 (http://www.balifish.com)

Ikan tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang tinggi

dimana nilai proteinnya mencapai 26%, kadar lemak rendah yaitu 2% dan

kandungan garam-garam mineral penting yang tinggi. Secara umum bagian ikan

yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50 % (Suzuki, 1981).

2.2 Pengasapan Dan Metode Pengasapan Panas

a. Pengasapan

Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan

memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia

alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Melalui pembakaran akan

terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan

panas. Senyawa asap tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air

yang ada di permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas

pada produk dan warnanya menjadi keemasan atau kecoklatan (Wibowo, 1995).

Menurut Afrianto dan Liviawati (1991), dalam proses pengasapan ikan,

unsur yang paling berperan adalah asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu.

Kandungan kimia asap terdiri dari air, asam asetat, alkohol, aldehid, keton, asam

formiat, phenol, karbon dioksida.

Tujuan pengasapan ikan yaitu untuk mendapatkan daya awet yang

dihasilkan asap, untuk memberikan aroma yang khas pada produk ikan asap dan

bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak

memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak. Melalui

pembakaran akan terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran

tar serta dihasilkan panas. Senyawa asap tersebut menempel pada ikan dan terlarut

dalam lapisan air yang ada di permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma

dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi keemasan atau kecoklatan

(Adawyah, 2007).

Adapun proses pengasapan ikan dapat dilihat pada Gambar 2

Gambar. 2 Skema Proses Pengasapan. (Wibowo, 1995)

Proses pengasapan dilakukan dengan cara mengasapi bahan pangan

dengan asap dari pembakaran kayu. Unsur yang paling berperan dalam proses

pengasapan ikan adalah asap yang dihasilkan dari bahan bakar yang digunakan

Ikan Segar

Penyiangan dan Pencucian

Perendaman Larutan Garam (10-15%)

Penggantungan dan Penirisan

Pengasapan

Ikan asap

pada proses pengasapan seperti kayu atau sabut kelapa. Asap yang dihasilkan

terdiri dari uap dan partikel padatan yang berukuran sangat kecil. Kedua unsur ini

mempunyai komposisi kimia yang sama tetapi dengan perbandingan yang

berbeda.

Faktor yang mempengaruhi proses pengasapan, diantaranya suhu

pengasapan, kelembaban udara, jenis kayu yang digunakan, jumlah asap, dan

kecepatan aliran asap. Jenis kayu yang baik untuk pengasapan adalah kayu dengan

proses pembakaran lambat, mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin dan

menghasilkan asam (Wibowo, 2002). Asap dari kayu keras mengandung banyak

senyawa kimia yang pada awalnya merupakan bagian dari proses metabolisme

kayu ketika masih dalam tahap pertumbuhan. Ikan yang diasapi akan menyerap

senyawa-senyawa kimia seperti komponen fenolik, formaldehida dan asam.

Proses pengeluaran ini disebut distillate destructive yaitu ketika kayu berubah

menjadi arang. Senyawa kimia alami dalam asap dari kayu keras bermanfaat baik

dalam membunuh maupun menghambat pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri.

Senyawa-senyawa kimia ini merupakan dasar utama akan kuatnya proses

pengawetan yang terjadi selama pengasapan (Spira, 2007 dalam Pratama, 2011).

Komposisi dan karakteristik asap tergantung dari jenis kayu, kandungan air kayu,

suhu dan cara pemanasan (untuk menimbulkan asap). Pengaruh pengawetan yang

berasal dari asap kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan sejumlah

komponen fenolik, formaldehida dan asam (Whittle & Howgate, 2000).

Asap mengandung senyawa asam fenolat, karbonil dan organik. Asam dan

senyawa karbonil terbentuk dari selulosa dan hemiselulosa, sedangkan fenol

dihasilkan dari proses pirolisis lignin. Asam terutama senyawa alifatik

berkontribusi terhadap rasa produk. Senyawa fenol memiliki peran sebagai rasa,

antioksidan dan komponen bakteriostatik. Senyawa karbonil akan bereaksi dengan

protein membentuk warna daging asap atau ikan yang diasapi. Asap bertindak

sebagai pengawet makanan karena efek desinfeksi formaldehid, asam asetat, dan

senyawa fenol (Giyatmi et al, 2002 dalam Siswina, 2011).

Senyawa penyusun asap terdiri dari gas, distilat cair dan distilat tar. Bagian

gasnya mengandung oksigen, hidrogen, nitrogen, karbondioksida dan

karbonmonoksida. Distilat cairnya mengandung alkohol, keton, aldehida, asam

format, asam asetat dan asam propionat, sedangkan distilat tar-nya mengandung

guiakol, kresol, katekol dan fenol. Asap juga mengandung polinukleo aromatic

hydrocarbon 3,4-benzopyrene yang merupakan senyawa bersifat karsinogen

(SCERT, 2006). Anion-anion format diketahui dapat mencegah proses peroksidasi

yang merupakan penangkap radikal yang ditemukan pada citarasa asap (Bower et

al, 2009). Komponen asap yang dominan adalah quaiakol, siringol dan

pirokatekol. Ketiga komponen ini termasuk dalam golongan fenol. Karena

komponen fenol mudah larut dalam lemak maka semakin banyak kadar lemak

bahan pangan makin sedap pula aroma asap yang didapat (Shahidi, 1994).

Komponen asap seperti formaldehida memiliki pengaruh dalam

mengeraskan protein otot. Komponen yang tersimpan dalam asap seperti fenol,

formaldehida dan nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada produk

(Njai 2000; Whittle & Howgate, 2000). Menurut Wibowo, (2002), fungsi

komponen asap tersebut adalah sebagai berikut:

1) Fenol berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan membentuk citarasa.

2) Alkohol memiliki fungsi utama membentuk citarasa, selain itu sebagai

antimikroba.

3) Asam-asam organik berfungsi sebagai antimikroba.

4) Karbonil memiliki fungsi untuk membentuk warna dan citarasa spesifik.

5) Senyawa hidrokarbon tertentu memiliki fungsi negatif karena bersifat

karsinogen.

Kualitas dan kuantitas komponen asap tergantung kepada jenis kayu yang

digunakan sebagai bahan bakar. Kayu yang baik untuk pengasapan ikan adalah

kayu yang banyak menghasilkan asap dengan proses pembakaran yang lama.

Bahan bakar untuk menghasilkan pengasapan yang paling baik adalah kayu yang

berjenis keras, sabut atau tempurung kelapa. Asap dari kayu yang lunak sering

mengandung zat-zat yang menyebabkan bau kurang baik pada hasil asapan. Hal

ini disebabkan bila dipakai kayu yang berjenis keras, maka bagian selulosenya

akan terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana antara lain alkohol

alifatik, aldehida-aldehida, keton-keton, asam-asam organik termasuk furfural,

formaldehida, asam-asam, dan fenol yang dapat bersifat sebagai pengawet. Bagian

ligninnya pecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol, guaiacol, dan pyrogalol

yang merupakan senyawa antioksidan dan antiseptik. Ini diperlukan, terutama

untuk pengasapan ikan berlemak (Moeljanto, 1992). Komposisi kimia asap kayu

dapat dilihat pada Tabel 1dan sabut kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Kayu

Komposisi Kimia Kandungan

% berat serbuk kayu mg/m3 asap

Formaldehid

Aldehit lain (termasuk furfural)

Keton (termasuk aseton)

Asam formiat

Asam asetat dan lainya

Metal Alcohol

Ter

Phenol

Air

0,16 30 - 50

0,19 180 - 830

0,13 190 - 200

0,43 115 - 160

1,8 600

1,04 -

5,28 1295

- 23 - 40

103,8 -

Sumber : Zaitsev et al. (1969)

Tabel 2. Komposisi Kimia Asap Sabut Kelapa

Komponen kimia Berat kering %

Pektin

Hemiselulosa

Komponen lain yang larut dalam air

Lignin

selulosa

Komponen lain yang tidak larut dalam air

Mineral

14,06

7,69

5,80

30,20

18,24

19,19

5,0

Sumber : Grimwood (1975)

b. Metode Pengasapan Panas

Metode pengasapan termasuk salah satu metode pengawetan produk

perikanan yang telah dilakukan sejak dulu. Cara melakukan pengasapan banyak

mengalami perkembangan mulai dari metode tradisional hingga modern.

Pemilihan metode pengasapan yang dilakukan akan bergantung pada tujuan

produk akhir yang dikehendaki dan sumber daya yang ada di lingkungan tempat

pengasapan.

Metode pengasapan yang umum dilakukan di Indonesia antara lain ialah

metode pengasapan panas yaitu ikan diasapi pada suhu ≥ 70 sehingga daging

menjadi matang selain terkena asap. Lapisan protein larut garam yang disebut

pellicle akan terbentuk pada permukaan daging selama proses. Lapisan ini

menyerap sebagian besar antioksidan dan komponen bakteriostatik dari asap.

Penghalang terhadap invasi bakteri terbentuk pada tahap berikutnya setelah

pengerasan (Lyhs 2002).

Ikan asap yang dijual di pasar tradisional ialah ikan yang diasapi dengan

cara panas (Spira, 2007). Ikan akan menjadi matang selama proses dan produk

dapat dimakan tanpa pemasakan lebih lanjut (Whittle & Howgate, 2000). Suhu

asap pada beberapa produk tertentu dapat ditingkatkan secara bertahap menjadi

95 . Pengasapan ini seringkali dikombinasikan dengan penggaraman dan

pengeringan yang lebih lama (Whittle & Howgate, 2000). Menurut Wibowo

(1995), konsentrasi garam yang dipakai berkisar 15-20% dan lamanya ± 1 jam,

dan penggunaan pengasapan panas dengan suhu 70-100 oC, dengan lama waktu

pengasapan 2-4 jam. Suhu internal produk pada pengasapan panas

≥ 71,12 tergantung dari produk yang diinginkan maka proses pengasapan

umumnya berlangsung selama 6-15 jam. Waktu pemasakan yang lebih singkat

akan menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih tinggi (Crapo 2000).

2.3 Penurunan Mutu Produk Pangan

Pengolahan pangan pada industry komersial umumnya bertujuan, untuk

menjaga mutu produk (warna, cita rasa, mutu gizi, dan tekstur), mempermudah

penanganan dan distribusi, meningkatkan nilai ekonomis bahan baku. Kriteria

atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan adalah keamanan,

kesehatan flavor, tekstur, warna, umur simpan, kemudahan, dan kehalalan.

Faktor yang harus diperhatikan pada produk pangan adalah mutu suatu

produk pangan. Hal ini dilakukan agar produk pangan yang dihasilkan aman

untuk dikomsumsi. Berkaitan dengan berkembangnya industry pangan skala usaha

kecil menengah (UKM), dipandang perlu untuk mengembangkan mengetahui

mutu produk selama masa penyimpanan sebagai bentuk jaminan keamanan

pangan. Namun, industri pangan skala usaha kecil menengah seringkali terkendala

oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas dan kurangnya pengetahuan produsen

pangan yang mereka terapkan hanyalah, pada saat produk baru diproduksi, mutu

produk dianggap dalam keadaan 100% dan penurunannya akan terjadi sejalan

dengan lamanya penyimpanan atau distribusi.

Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami

kehilangan bobot, nilai pangan, mutu dan harga jual dan kepercayaan terhadap

keamanan produk untuk dikonsumsi (Rahayu et al. 2003).

Hasil percobaan mengenai penentuan mutu produk pangan selama

penyimpanan hendaknya dapat memberikan informasi tentang suhu ideal dan

penyimpanan normal bagi konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu

yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim

atau tidak normal yang tidak sesuai dengan suhu penyimpanan produk akan

mempercepat terjadinya penurunan mutu produk. Suhu ekstrim ( suhu > 350C )

akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi

sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi, 2004). Pengendalian

suhu, kelembaban, dan penanganan fisik yang tidak sesuai dengan prosedur dapat

dikategorikan sebagai kondisi distribusi pangan yang tidak normal.

Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa terdapat enam faktor

utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada

produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi

atau bantingan dan bahan kimia toksik atau off flavor. Faktor-faktor tersebut dapat

mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida,

kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan,

perubahan unsur organoleptik dan kemungkinan terbentuknya racun.

2.4 Standar Mutu Produk Ikan Asap

Spesifikasi produk akhir yang diharapkan ialah ikan asap dan produknya

harus bebas dari mikroorganisme dalam jumlah yang membahayakan kesehatan

manusia, bebas dari parasit yang berbahaya bagi manusia dan tidak mengandung

bahan apapun yang berasal dari mikroorganisme, bebas dari kontaminan kimia,

bebas dari bahan yang tidak dikehendaki dan parasit dalam jumlah yang

membahayakan kesehatan manusia. Proses pengolahan ikan asap harus memenuhi

Good Manufacturing Practice (GMP) dan harus memenuhi semua ketentuan yang

ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission mengenai residu pestisida dan

bahan tambahan pangan (Codex Alimentarius 1979). Selain standar yang

ditetapkan oleh GMP juga harus memenuhi persyaratan mutu dan keamanan

pangan ikan asap menurut Standar Nasional Indonesia (SNI). Persyaratan mutu

dan keamanan pangan ikan asap menurut SNI 2725.1: 2009 dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka(1-9) Minimal 7

b. Cemaran mikroba*

- ALT

- Escherichia coli

- Salmonella

- Staphylococcus aureus*

- Vibrio cholerae*

Koloni/g

APM/g

per 25 g

Koloni/g

per 25 g

Maksimal 1x105

Maksimal<3

Negatif

Maksimal 1x103

Negatif

c. Kimia*

- Kadar air

- Kadar histamin

- Kadar garam

% fraksi massa

mg/kg

% fraksi massa

Maksimal 60

Maksimal 100

Maksimal 4

CATATAN *) Bila

diperlukan

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (SNI 2725.1: 2009)

Faktor lain yang harus diperhatikan pada produk perikanan adalah jumlah

cemaran mikroba. Adapun batas cemaran mikroba pada produk perikanan

menurut SNI 7388 : 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Batas cemaran mikroba pada produk perikanan

Kategori pangan Jenis cemaran mikroba Batas maksimum

Ikan asap ALT (300 C, 72 Jam) 5 x 10

5 koloni/g

APM Escherichia coli < 3/g

Salmonella sp negatif/25 g

Staphylococcus aureus 1 x 103 koloni/g

kapang < 1 x102 koloni/g

Ikan kering ALT (300 C, 72 Jam) 1 x 10

5 koloni/g

APM Escherichia coli < 3/g

Salmonella sp negatif/25 g

Vibrio cholera negatif/25 g

Ikan fermentase APM Escherichia coli < 3/g

Salmonella sp negatif/25 g

Staphylococcus aureus 1 x 103 koloni/g

Vibrio cholera negatif/25 g

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (SNI 7388 : 2009)

2.5 Kemasan

Kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat

yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya.

Fungsinya adalah membantu mencegah/mengurangi kerusakan, melindungi bahan

yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan,

benturan dan getaran (Junaedi, 2003). Dari segi promosi kemasan berfungsi

sebagai perangsang atau daya tarik pembeli.

Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian

untuk tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas

dan gelombang karton. Persiapan suatu hasil pertanian menjadi bentuk yang dapat

dimakan melibatkan pengolahan. Di dalam proses pengolahan makanan terjadi

perubahan-perubahan fisik maupun kimiawi yang dikehendaki atau tidak

dikehendaki. Perubahan-perubahan fisik maupun kimiawi yang dikehendaki

merupakan perubahan tekstur, warna, penampakan fisik, nilai gizi, maupun

makrobiologis sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang tidak diharapkan

adanya kerusakan perubahan tekstur, warna, penampakan fisik, nilai gizi yang

tidak sesuai dengan yang diharapkan akibat kesalahan dalam proses pengolahan

(Arpah, 2001).

Kemasan pada makanan mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan,

kemudahan, penyeragaman, promosi dan informasi. Ada begitu banyak bahan

yang digunakan sebagai pengemas primer pada makanan, yaitu kemasan yang

bersentuhan langsung dengan makanan.

Dalam pengemasan juga perlu dihindari interaksi dengan bahan lain atau

interaksi dengan lingkungan luar. Interaksi tersebut akan dapat menimbulkan

dampak yang merugikan bagi konsumen, produsen, bahkan bahan pangan

tersebut. Interaksi bahan pangan atau makanan dengan lingkungan dapat

menimbulkan dampak yang merugikan antara lain interaksi massa, interaksi

cahaya, dan interaksi panas. Interaksi massa meliputi kontaminasi mikroba seperti

jamur dan bakteri, kontaminasi serangga, penambahan air atau menguapnya air,

serta benturan atau gesekan yang terjadi pada bahan tersebut. Interaksi cahaya

dapat mengakibatkan oksidasi terhadap berbagai macam zat yang terkandung

dalam bahan pangan tersebut, contohnya seperti lemak, protein, dan vitamin.

Sedangkan interaksi panas akan mengakibatkan terjadinya gosong serta perubahan

warna dan rusaknya nutrisi serta case hardening (Junaedi, 2003).

Kemasan adalah wadah atau media yang digunakan untuk membungkus

bahan atau komoditi sebelum disimpan agar memudahkan pengaturan,

pengangkutan, penempatan pada tempat penyimpanan, serta memberikan

perlindungan pada bahan atau komoditi. Pengemasan terhadap produk bertujuan

untuk melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya

kontaminasi dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan

pengemasan, termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air,

perpindahan panas, kontaminasi dan serangan makhluk hayati (Harris dan Karnas,

1989).

a. Kemasan Kertas

Kertas adalah bahan kemasan buatan yang dibuat dari pulp (bubur kayu).

Kertas biasa digunakan untuk mengemas bahan atau produk pangan kering atau

untuk kemasan sekunder (tidak langsung kontak dengan bahan pangan yang

dikemas) dalam bentuk dus atau boks karton. Kelemahan kertas adalah mudah

robek dan terbakar, tidak dapat untuk mengemas cairan, dan tidak dapat

dipanaskan, akan tetapi sampah kertas dapat didegradasi secara alami (Junaedi,

2003). Kertas yang biasa digunakan untuk mengemas seperti kertas kraft, kertas

kraft karung, kertas manila, yang termasuk dalam kertas industri (Junaedi, 2003).

Salah satu sifat fisik kertas untuk keperluan pengemasan adalah ketahanan

atau kekuatan tarik kertas. Sifat ini berkaitan dengan daya tahan kemasan setelah

diisi terutama berhubungan dengan penanganan produk terkemas. Kekuatan tarik

adalah gaya tahan lembaran pulp atau kertas terhadap gaya yang bekerja pada

kedua ujungnya. Kekuatan tarik dibedakan menjadi kekuatan statis dinamis dan

kekuatan kelim pada sambungan. Uji kekuatan tarik memberi gambaran kekuatan

kertas jika kertas tersebut ditarik searah dengan alur kertas. Bahan pengemas

seperti kertas sampul, kertas pembungkus, dan lain sebagainya diuji dengan

berbagai perlakuan yang akan diterima bahan yaitu printing, pelapisan, dan

sebagainya. Umumnya kekuatan tarik kertas pada arah sejajar mesin kertas (MD)

lebih tinggi dibanding arah tegak lurus kertas (CD). Prinsip penentuan kekuatan

tarik dan regangan kertas (elongasi) berdasarkan jumlah gaya yang diperlukan

untuk memutuskan potongan kertas berukuran 1 x 10 inchi setelah kedua

ujungnya ditarik berlawanan.

Pengujian daya serap air dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penetrasi

cairan ke dalam kertas. Kertas memiliki sizer yang berpengaruh terhadap daya

serap air. Sizer merupakan tambahan untuk meningkatkan ketahaan kertas

terhadap cairan. Permukaan sizer umumnya selaput tipis tepung, getah, dan

polimer sintetis.

Kertas dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu kertas

kultural atau kertas halus, dan kertas industri atau kertas kasar (Junaedi, 2003).

Menurut macamnya, kertas digolongkan menjadi glassine, parchment paper,

waxed paper, karton (kertas manila dan chipboard), tyvek (kertas dengan kualitas

istimewa misalnya warnanya putih, sangat kuat, tidak mengkerut, tahan terhadap

bahan kimia) dan kertas berlapis polyethylene (Syarief dan Irawati, 1988).

b. Kemasan Plastik

Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer.

Monomer merupakan rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan

dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila

rantai tersebut dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola acak, menyerupai

tumpukan jerami maka disebut amorp, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin

dengan sifat yang lebih keras.

Klasifikasi plastik menurut struktur kimianya terbagi atas dua macam

yaitu:

a) Linear

Plastik dikatakan jenis linear apabila monomer membentuk rantai polimer

yang lurus (linear) maka akan terbentuk plastik thermop lastik yang mempunyai

sifat meleleh pada suhu tertentu, melekat mengikuti perubahan suhu dan sifatnya

dapat dibalik (reversible) kepada sifatnya yakni kembali mengeras bila

didinginkan.

b) Jaringan tiga dimensi

Plastik disebut jenis jaringan tiga dimensi apabila monomer berbentuk tiga

dimensi akibat polimerisasi berantai, akan terbentuk plastik thermosetting dengan

sifat tidak dapat mengikuti perubahan suhu (irreversible). Bila sekali pengerasan

telah terjadi maka bahan tidak dapat dilunakkan kembali. Sifat terpenting bahan

kemasan yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air, bentuk dan

permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan

mempengaruhi jumlah gas yang baik dan luas permukaan yang kecil

menyebabkan masa simpan produk lebih lama. Penggunaan plastik sebagai bahan

pengemas mempunyai keunggulan dibanding bahan pengemas lain karena

sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplatis dan selektif dalam

permeabilitasnya terhadap uap air, O2, CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap

uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang

kemas selama penyimpanan

Berikut ini merupakan jenis kemasan yang umumnya digunakan oleh

konsumen dan layak digunakan sebagai kemasan produk pangan (Syarief dan

Irawati, 1988):

1. Polyethylene

Polyethylene ialah kemasan yang lunak. Selain itu polyethylene juga

transparan dan fleksibel serta memiliki kekuatan benturan dan kekuatan sobek

yang baik. Polyethylene kerap digunakan sebagai kemasan dalam bahan pangan.

Polyethylene merupakan hasil dari proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang

diperoleh melalui hasil samping dari industry minyak dan batubara. Polyethylene

memiliki ketebalan 0,001 sampai 0,01 inchi.

Faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas pada kemasan plastik

Polyethylene antara lain adalah jenis permeabilitas, ada tidaknya ikatan silang

(cross linking), suhu, bahan tambahan elastis (plasticer), jenis polimer film, sifat

dan besar molekul gas, serta kelarutan bahan. Jenis permeabilitas film bergantung

pada bahan yang digunakan, dan permeabilitas film polyethylene (PE) lebih kecil

daripada polypropylene (PP).

Peningkatan suhu juga mempengaruhi pemuaian gas yang menyebabkan

terjadinya perbedaan konstanta permeabilitas. Keberadaan air akan menimbulkan

perenggangan pada pori-pori film sehingga meningkatkan permeabilitas ( Bucle et

al. 1987). Polimer film dalam bentuk kristal atau amorphous akan menentukan

permeabilitas. Permeabilitas low density polyethylene (LDPE) mencapai tiga kali

permeabilitas high density polyethylene (HDPE). Polyethylene banyak digunakan

sebagai pengemas makanan karena sifatnya yang thermoplastic. Polyethylene

dapat mudah dibuat menjadi kantung dengan derajat kerapatan yang baik.

2. LDPE (Low Density Polyethylene) dan HDPE HDPE (High Density

Polyethylene)

Plastik LDPE (Low Density Polyethylene) memiliki sifat mekanis yang

kuat, fleksibel, sedikit tembus cahaya, serta memiliki permukaan yang agak

berlemak. Akan resisten terhadap senyawa kimia apabila berada pada suhu di

bawah 60ºC. Sedangkan HDPE (High Density Polyethylene) memiliki sifat yang

keras, kuat, buram namun lebih tahan terhadap suhu tinggi.

3. Polypropylene

Polypropylene merupakan salah satu polimer yang sangat luas digunakan

dalam industri food packaging, moulding, synthetics fibre dan lain-lain. Kelebihan

dari polypropylene adalah memiliki kekuatan dan kekakuan tinggi. Melihat

kelebihan polypropylene tersebut, tentunya akan lebih memberi manfaat apabila

diolah menjadi produk lain tanpa menurunkan kualitas dari polypropylene sendiri

seperti melt flow rate, tensile strenght, impact strenght, dan elongation. Untuk

membuat TPE, kedua polimer (plastik dan elastomer) dipanaskan diatas suhu

glas dari masing-masing polimer kemudian dilakukan pencampuran dengan

metode meltmixing (pencampuran lelehan). Polypropylene (PP) inilah yang kerap

digunakan sebagai kemasan tepung. Sebagai usaha yang bergerak di bidang

produksi tepung, yaitu tepung wortel, maka produk akan dikemas dalam plastik

PP-OPP. Kemasan dalam plastik ini berkisar antara kemasan 1 kg sampai 2 kg.

Sifat dari PP ini adalah tahan panas sampai batas suhu tertentu dan fleksibel.

Polypropylene mempunyai titik leleh yang cukup tinggi (190-200ºC), sedangkan

titik kristalisasinya antara (130-135ºC).

Polypropylene mempunyai ketahanan terhadap bahan kimia (Chemical

Resistance) yang tinggi, tetapi ketahanan pukul (impact strength) rendah. PP juga

memiliki daya tarik yang lebih besar dibandingkan PE (polyethylene). Selain itu

apabila dibandingkan dengan PE, PP lebih kaku serta tidak mudah sobek.

c. Daun Lontar (Borassus flabellifer) Sebagai Pengemas

Dilihat dari kajian biologi tanaman lontar adalah jenis palem yang hidup

pada iklim yang agak kering, dapat dijumpai di Afrika, Myanmar, Tropika,

Malaysia, dan India, dan Indonesia. Di Indonesia lontar banyak dijumpai di NTT,

NTB, Bali, Madura, Jawa Tengah, dan Sulawesi. Lontar adalah tumbuhan atau

pohon memanjat dengan batang tidak bercabang dan mempunyai bekas pelepah

atau pangkal tangkai daun berbentuk cincin. Pohon ini tumbuh pada tempat

terbuka dekat pantai, tumbuh menyendiri, batang lurus dengan panjang mencapai

lebih dari 30 meter dengan permukaan batang berwarna kehitam-hitaman. Daun

bundar berbentuk seperti kipas yang tepinya mempunyai lekukan lancip. Buahnya

berdaging tebal, berbentuk bulat, ketika muda warnanya kecoklatan, setelah

matang warnanya menjadi kehitam-hitaman.

Pohon lontar terdiri dari dua jenis kelamin yaitu ada yang berjenis kelamin

jantan dan ada yang berjenis kelamin betina. Dimana perbedaan antara keduanya

adalah, kalau yang betina dapat menghasilkan buah namun yang jantan tidak

dapat menghasilkan buah tetapi menghasilkan tandan bunga lontar yang biasa

dipotong untuk dicari niranya. Seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi

manusia yaitu mulai dari daun sampai akar sehingga mendapat julukan “pohon

surga atau the tree of life ". Menurut madiya (2006), bahwa manfaat dari pohon

lontar yaitu daunnya digunakan sebagai bahan kerajinan, kemasan makanan dan

media penulisan naskah lontar, senyawa yang kandungan daun lontar terpenting

adalah lignin, selulosa, lilin, antimikroba (antijamur, antibakteri, antiparasit, dan

antivirus), serta senyawa silikat. Daun lontar sebagai bahan kemas biasanya

hanya dipakai untuk hasil pertanian atau hasil olahan yang berbentuk padatan dan

ukurannya relatif besar sebagai contoh pengemasan pada buah durian atau gula

merah dari aren. Keuntungan kemasan ini yaitu ukurannya yang relatif besar.

Kekurangannya yaitu keadaannya yang mudah pecah, sobek, patah atau belah,

oleh sebab itu daun lontar yang digunakan untuk mengemas biasanya daun yang

masih hijau, dan belum tua, sehingga mudah untuk dilipat.

Daun lontar digunakan sebagai pengemas pada hasil olahan, harus

mampu melindungi dan menutupi keseluruhan bagian produk. Oleh karena itu

daun lontar yang digunakannya harus disusun secara berlapis sehingga

produk yang dikemas dapat terlindungi dari air maupun panas

(http://rendangpadang2013.blogspot.com). Penggunaan daun lontar sebagai bahan

kemasan alami sudah lazim dipakai di seluruh masyarakat Indonesia, selain murah

dan praktis cara pemakaiannya, daun ini juga masih mudah didapat. Namun

kemasan daun lontar bukan merupakan kemasan yang bersifat representatif,

sehingga pada saat penanganannya harus ekstra hati-hati. Karena sifatnya yang

opak, kemasan daun ini dapat melindungi penguraian produk yang dikemasnya

dari pengaruh cahaya. Akan tetapi kelemahannya mudah robek atau pecah, dan

tidak dapat mempertahankan mutu produk dalam jangka waktu yang lama.