BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Empirikeprints.stiei-kayutangi-bjm.ac.id/859/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Empirikeprints.stiei-kayutangi-bjm.ac.id/859/3/BAB II.pdf ·...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Empirik
Penelitian mengenai dampak pelaksanaan program Pusat Pemulihan Gizi
(PPG) yang selama ini dikenal sebagai Therapeutic Feeding Centre (TFC) dalam
penanggulangan gizi buruk di Puskesmas Berangas, Kabupaten Barito Kuala,
sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, baik secara
individu maupun secara kelompok. Penelitian lain yang berkaitan dengan
penelitian evaluasi pelaksanaan program diantaranya pernah dilakukan oleh :
2.1.1 Basirun (2004) melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi
Pelaksanaan Perawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Se-
Kabupaten Kebumen”. Tujuan dari penelitian untuk mengevaluasi
pelaksanaan perawatan kesehatan masyarakat di wilayah Kabupaten
Kebumen, sedangkan metode yang digunakan adalah penelitian secara
deskriptif. Kesimpulan dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa
kunjungan rumah pada keluarga sudah dilaksanakan oleh 48,48 %
Puskesmas.
2.1.2 Djaling dan Frans (2011) penelitiannya berjudul “Dampak Pelaksanaan
Program Mamangun Tuntang Mahaga Lewu (PM2L) dalam rangka
Percepatan Pengentasan Kelurahan Tertinggal di Kota Palangkaraya
Provinsi Kalimantan Tengah”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana input, proses, output, outcome dan dampak
pelaksanaan PM2L dalam percepatan pengentasan kelurahan Tertinggal
di Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Metode yang
digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Kesimpulan dari hasil
11
penelitian ini menyatakan bahwa P2ML dalam penyediaan sarana dan
prasarana dasar, peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan,
dan peningkatan akses masyarakat terhadap kesehatan terhadap
percepatan pengentasan kelurahan tertinggal di Kota Palangkaraya
memberikan dampak yang positif terhadap pengentasan kelurahan desa
tertinggal.
2.1.3. Mariana (2011) melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Pelaksanaan
Program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) pada Balita
Gizi Buruk di Puskesmas Malawei dan Puskesmas Klasaman Kota
Sorong Propinsi Papua Barat Tahun 2010”. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi input, proses, dan output dalam pelaksanaan
program pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) pada balita
gizi buruk di Puskesmas Melawei dan Puskesmas Klasaman Kota sorong
Propinsi Papua Barat pada bulan Mei-Juli 2010. Jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa
perencanaan di Puskesmas Malawei sudah terlaksana dengan baik,
sedangkan perencanaan yang dilakukan TPG Puskesmas Klasaman
belum baik. Penggerakan dan pelaksanaan (P2) PMT-P di Puskesmas
belum berjalan dengan baik dan optimal karena karena kurangnya TPG
yang terampil. Pengawasan, Pegendalian dan Penilaian (P3) di
Puskesmas Malawei berjalan dengan baik dan optimal yang terlihat dari
ketepatan waktu pelaksanaan program sedangkan di Puskesmas
Klasaman belum berjalan optimal. Penurunan Jumlah balita gizi buruk di
Puskesmas Malawei dan Puskesmas Klasaman masih dibawah 80%
sehingga dapat dikatakan program PMT-P di Puskesmas Malawei dan
Puskesmas Klasaman belum berhasil. Bagi pihak Koordinator PMT-P
disarankan untuk meningkatkan kemampuan TPG dalam perencanaan ,
12
penggerakan dan pelaksanaan serta pengawasan pengendalian dan
penilaian program kegiatan PMT-P dengan memberikan pelatihan-
pelatihan.
2.1.4. Saritua Harianja (2007) penelitiannya berjudul “Evaluasi Pelaksanaan
Program Gizi Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan” metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kasus
menggunakan data sekunder melalui laporan petugas Puskesmas dan
Dinas kesehatan Kabupaten. Kesimpulan dari penelitian Pelaksanaan
Program Gizi Puskesmas yang saat ini berjalan belum mampu
memecahkan permasalahan rakyat miskin. Puskesmas diminta untuk
melakukan lebih banyak pengawasan melalui kegiatan dan bertindak
sebagai fungsi pendukung dan pengawas yang mewakili dinas kesehatan
Kabupaten.
2.1.5. Toto Suharto (2006) judul penelitiannya “Koordinasi Lintas Sektor pada
Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi di Kabupaten Sleman”.
Tujuannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi koordinasi lintas
sektor pada tim SKPG di Kabupaten Sleman. Metode yang digunakan
adalah kualitatif untuk memperoleh data mengenai mekanisme koordinasi
dan strategi yang diterapkan. Data yang ada di kumpulkan melalui
wawancara. Kesimpulan penelitian mengambarkan bahwa Tim SKPG
belum menggunakan mekanisme koordinasi yang semestinya dilakukan
standarisasi proses pekerjaan, merupakan mekanisme yang dominan,
sedangkan penyesuaian bersama dan pengawasan langsung, tidak
dilakukan. Strategi yang dilakukan belum dapat memperbaiki koordinasi
SKPG.
13
2.2. Kajian Teori
2.2.1. Gizi Buruk
Kurang Energi Protein (KEP) sampai saat ini masih merupakan salah satu
masalah gizi utama di Indonesia. Anak disebut KEP bila berat badan anak di
bawah normal dibandingkan rujukan Word Health Organization-National Centre
For Health Statistic (WHO-NCHS). Kurang Energi Protein dikelompokkan
menjadi 2, yaitu gizi kurang (bila berat badan menurut umur di bawah -2SD) dan
gizi buruk (bila berat badan menurut umur di bawah -3SD) (Depkes, 2006).
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-
kwashiorkor. Faktor-faktor penyebab gizi buruk terutama yang berkaitan
langsung, misalnya konsumsi makanan, status perolehan vitamin A, penyakit
infeksi dan status imunisasi.
Kasus gizi buruk dapat disebabkan oleh asupan makanan anak yang
kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk melakukan aktivitas
dan berkembang. Hal ini dapat terjadi karena pola asuh yang salah, seperti ibu
yang sibuk bekerja di hutan/lading sehingga anak tidak terawat. Keadaan ini
diperberat dengan kebiasaan seperti member makanan padat sebelum usia 6
bulan dan kadang tidak higienis (Andewi dan Yulina, 2010).
Waktu makan merupakan saat belajar menyayangi, mencintai dan
berinteraksi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fisik, social
dan emosi anak. Kedua orang tua dan pengasuh harus mengajak bicara dengan
anak selama makan, member makan serta memperlakukan anak laki-laki dan
perempuan dengan setara dan sabar. Membujuk anak untuk mau makan
merupakan hal penting, tetapi tidak boleh memaksa mereka makan (Unicef,
2010)
14
Gizi buruk terjadi akibat kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak
ditangani secara tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian.
Perawatan gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi
buruk rawat inap di puskesmas perawatan, rumah sakit dan di puskesmas,
Therauphetic Feeding Centre (TFC) atau Pusat Pemulihan Gizi (PPG). Gizi
buruk tanpa komplikasi bisa diberi pelayanan dengan rawat jalan bisa
dilayani di puskesmas atau poskesdes. Kenyataan di lapangan, kasus gizi
buruk sering ditemukan terlambat dan atau ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi
karena belum semua puskesmas terlatih untuk melaksanakan tatalaksana gizi
buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana untuk
menyiapkan formula khususnya untuk balita gizi buruk, serta kurangnya tindak
lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah (Minarto, 2010).
Ada beberapa tipe gizi buruk yang sudah kronis, antara lain marasmus,
kwashiorhor dan perpaduan keduanya yaitu marasmus kwashiorhor. Marasmus
adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga
gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Kwashiorkor
adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama
di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil,
pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan. Sedangkan Marasmus-
Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari
marasmus dan kwashiorkor.
Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk (KLB-gizi buruk) adalah apabila terjadi lebih
dari 1% kasus gizi buruk disertai dengan meningkatnya faktor resiko perubahan
memburuknya pola konsumsi dan penyakit) di suatu wilayah tertentu.
15
Sumber : Laporan Gizi Buruk Dinas Kesehatan, Provinsi Kalimantan Selatan
Gambar 2.1. Foto Anak Balita Gizi Buruk
Sistem Kewaspadaan Dini KLB Gizi Buruk (SKD-KLB) merupakan
kewaspadaan terhadap ancaman terjadinya gizi buruk serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya melalui surveilans, yang informasinya dimanfaatkan untuk
meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya pencegahan dan
tindakan penanggulangan kejadian luar biasa secara cepat dan tepat.
2.2.3. Penanggulangan Gizi Buruk
Sasaran yang ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 adalah menurunnya prevalensi
kekurangan gizi (terdiri dari gizi-kurang dan gizi-buruk) pada anak balita menjadi
15,0 persen. Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen untuk memperbaiki
status gizi masyarakat, terutama masyarakat miskin. Untuk menanggulangi
tingginya prevalensi kekurangan gizi khususnya pada anak balita, pemerintah
telah melaksanakan berbagai program dan kegiatan sebagaimana telah
dirumuskan dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN PG) tahun
2006-2010. Kegiatan pada RAN PG antara lain sebagai berikut (i) peningkatan
kesadaran gizi keluarga (kadarzi) melalui penyuluhan dan pemantauan
16
perkembangan di masyarakat; (ii) pencegahan penyakit yang berhubungan
dengan gizi seperti diare, malaria, TBC, dan HIV dan AIDS; (iii) promosi pola
hidup sehat; dan (iv) perbaikan ketahanan pangan. Selain itu pemerintah juga
merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2004-2009 untuk sektor kesehatan yang antara lain meliputi program perbaikan
gizi masyarakat. (Anonim, 2010).
Depkes RI (2008) menyatakan bahwa Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG) merupakan suatu sistem pengelolaan informasi yang dilakukan
secara terus menerus untuk mendukung perencanaan dan penetapan langkah-
langkah tindakan penanggulangan jangka pendek maupun jangka panjang
berkaitan dengan masalah pangan dan gizi di suatu wilayah tertentu
Sedangkan Sistem kewaspadaan Gizi (SKG) adalah suatu sistem
pengelolaan informasi gizi yang merupakan bagian dari kegiatan SKPG yang
dilakukan secara terus menerus untuk mendukung perencanaan dan penetapan
langkah-langkah tindakan penanggulangan masalah gizi baik jangka pendek
maupun panjang.
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak
tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa
mengukur/melihat BB bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain
adalah KEP berat/Gizi buruk tipe kwasiorkor. Kwashiorkor adalah MEP berat
yang disebabkan oleh defisiensi protein. Penyakit kwashiorkor pada umumnya
terjadi pada anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah karena
tidak mampu menyediakan makanan yang cukup mengandung protein hewani seperti
daging, telur, hati, susu dan sebagainya. Makanan sumber protein sebenarnya
dapat dipenuhi dari protein nabati dalam kacang-kacangan tetapi karena kurangnya
pengetahuan orang tua, anak dapat menderita defisiensi protein. Marasmus adalah MEP
17
berat yang disebabkan oleh defisiensi makanan sumber energi (kalori), dapat
terjadi bersama atau tanpa disertai defsiensi protein. Bila kekurangan sumber kalori
dan protein terjadi bersama dalam waktu yang cukup lama maka anak dapat berlanjut ke
dalam status marasmik kwashiorkor. Penemuan kasus balita KEP dapat dimulai dari
Posyandu. Pada penimbangan bulanan di posyandu dapat diketahui apakah anak
balita berada pada daerah pita warna hijau, kuning, atau dibawah garis merah (BGM). Bila
hasil penimbangan BB balita dibandingkan dengan umur di KMS terletak pada
pita kuning, dapat dilakukan perawatan di rumah , tetapi bila anak dikategorikan
dalam KEP sedang-berat/BGM, harus segera dirujuk ke Puskesmas. Di
Puskesmas BB anak pada KMS berada di bawah garis merah (BGM) segera lakukan
penimbangan ulang dan kaji secara teliti. Bila KEP Berat/Gizi buruk (BB < 60%
Standard WHO-NCHS) lakukan pemeriksaan klinis dan bila tanpa penyakit
penyerta dapat dilakukan rawat inap di puskesmas. Bila KEP berat/Gizi buruk
dengan penyakit penyerta harus dirujuk ke rumah sakit umum.
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat
badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang
telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak
disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh
di bawah standar dikatakan gizi buruk. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis
disebut marasmus atau kwashiorkor. Marasmus adalah MEP berat yang
disebabkan oleh defisiensi makanan sumber energi (kalori), dapat terjadi
bersama atau tanpa disertai defsiensi protein. Bila kekurangan sumber kalori dan protein
terjadi bersama dalam waktuyang cukup lama maka anak dapat berlanjut kedalam
status marasmik kwashiorkor.
Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori
protein (Suriadi, 2001:196). Marasmus adalah malnutrisi berat pada bayi sering
18
ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau higiene kurang. Sinonim
marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu atau lebih
tanda defisiensi protein dan kalori.
Besarnya masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor
penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu lekatnya tradisi dan
kebiasaan yang mengakar di masyarakat khususnya dibidang makanan, cara
pengolahan makanan, dan cara penyajian serta menu masyarakat kita dengan
segala tabu-tabunya. Salah satu penyebab malnutrisi (kurang gizi) diantaranya
karena faktor ekonomi yaitu daya beli yang rendah dari para keluarga yang
kurang mampu. Nampaknya ada hubungan yang erat antara pendapatan
keluarga dan status gizi anak-anaknya. Pengetahuan ibu juga merupakan salah
satu faktor terjadinya kurang gizi pada balita, karena masih banyak orang yang
beranggapan bahwa bila anaknya sudah kenyang berarti kebutuhan mereka
terhadap gizi sudah terpenuhi.
KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak
menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan daya tahan tubuh yang
berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok
rentan biologis. Pengejawantahan KEP terlihat dari keadaan fisik seseorang
yang diukur secara Antropometri. Manifestasi KEP tercermin dalam bentuk fisik
tubuh yang apabila diukur secara Anthropometri (TB/U, BB/U, BB/TB) kurang
dari nilai baku yang dianjurkan.
Masalah KEP atau pencapaian status gizi (dalam arti positif) merupakan
salah satu keluaran penting dari pembangunan sosial-ekonomi-budaya secara
umum. Oleh karenanya status gizi dijadikan salah satu indikator suksesnya
pembangunan. Penentuan kriteria, target, dan tahapan pencapaiannya dapat
disusun secara teknis. Pencapaian status gizi tersebut dilaksanakan dalam
pendekatan lintas sektoral, multifaset dan komprehensif.
19
Sesuai dengan sifat masalah KEP yang kompleks, maka berkurangnya
prevalensi KEP pada anak balita merupakan dampak komplementer dari
berbagai program pembangunan sosial dan ekonomi yang ada, sedang program
gizi lebih banyak ikut memberi arah agar unsur perbaikan gizi tidak terlupakan.
Disamping itu, keberhasilan dalam meningkatkan keadaan gizi anak balita juga
merupakan akibat langsung peran serta aktif masyarakat, terutama peranan
wanita dan Lembaga Sosial Masyarakat lain di Posyandu. Penanggulangan KEP
diprioritaskan daerah tertinggal/miskin baik di pedesaan/perkotaan. Kegiatan ini
pelaksanaannya diintegrasikan ke dalam program penanggulangan kemiskinan
secara nasional.
Faktor penyebab dari KEP pada balita adalah Penyakit Infeksi, dan
rendahnya Tingkat Pendapatan Orang Tua, Konsumsi Energi, Perolehan
Imunisasi, Konsumsi Protein, Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan
dengan pengetahuan ibu. Dampak dari KEP adalah dapat menurunkan mutu
fisik dan intelektual serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat
meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan
biologis. Penanggulangan KEP yang dapat dilakukan adalah dengan
mengurangi/mengatasi faktor resiko, melalui perawatan kesehatan, pencegahan
infeksi potensial KEP, pemberian ASI eksklusif, perbaikan sosial ekonomi
keluarga, Keluarga berencana, Imunisasi, kerjasama lintas program dan lintas
sektor seperti: kesehatan, pertanian, ketenaga kerjaan, pendidikan,
kesejahteraan sosial dan kependudukan juga dibutuhkan. Selain mengurangi
factor resiko di atas, perlu juga dilakukan revitalisasi posyandu dengan
menggalakkan kegiatan program : penimbangan balita secara rutin, imunisasi,
upaya kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, upaya perbaikan
gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan, penyuluhan kesehatan
20
akan sangat mendukung, pelayanan gizi pada balita KEP berat/gizi buruk
meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap dan pelayanan rujukan.
2.2.3. Pusat Pemulihan Gizi (PPG)
Therauphetic Feeding Centre (TFC) atau Pusat Pemulihan Gizi (PPG)
yang dulu dikenal sebagai Panti Pemulihan Gizi (PPG) lebih dilihat dari
fungsinya sebagai perawatan dan pengobatan anak gizi buruk di suatu
tempat/ruangan khusus baik di puskesmas/puskesmas perawatan/rumah
sakit dimana ibu/keluarga dari anak balita gizi buruk tersebut ikut serta
merawat anaknya secara intensif (Depkes RI, 2009).
Sumber : Depkes RI, 2009 Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk, Buku I
Gambar 2.2. Alur Pelayanan Anak Gizi Buruk
21
Dari PPG para ibu akan mudah mendapatkan informasi seputar kesehatan
putra-putri mereka, melakukan konsultasi seputar masalah kesehatan Balitanya,
dan Balita-balita yang menderita gizi buruk pun dapat mendapatkan perawatan
intensif. Ibunya juga diajari cara mengubah pola asuh dan perilaku membuat
makanan sehat untuk menjaga kondisi kesehatan anak-anaknya.
PPG dapat dibentuk bila dalam satu wilayah kecamatan memenuhi criteria
Global Acute Malnutrition(GAM) atau prevalensi gizi kurang akut lebih dari 20%
serta GAM atau prevalensi gizi kurang akut 10-19,9% dengan faktor penyulit
seperti adanya bencana baik alam maupun non alam. Biasanya anak balita
dengan gizi buruk dirawat 2-3 bulan. Waktu ini dimanfaatkan untuk wahana
pendidikan bagi ibu balita. Disini balitapun menginap sambil diberi ketrampilan
bagaimana merawat anak balitanya, cara memasak dengan pemberian makanan
mengandung tinggi kalori dan protein dengan aneka bahan makanan setempat
sehingga kekurangan berat badan dapat terpenuhi dan dapat meningkatkan
tinggi badan. Jika dalam pemantauan selama masa perawatan di PPG
dinyatakan sembuh, anak dikembalikan dalam keluarganya untuk dilanjutkan
pemulihan status gizinya sehingga tidak kembali jatuh ke keadaan semula
(Andewi dan Yulina, 2010).
2.2.4. Pusat Pemulihan Gizi (PPG) Puskesmas Berangas, Kabupaten Barito Kuala
Kabupaten ini terdiri dari 17 kecamatan yang meliputi 200 desa/kelurahan.
Kecamatan yang terpilih dalam pelaksanaan PPG adalah Kecamatan Alalak
yang mempunyai jumlah penduduk sebanyak 41.463 jiwa tersebar di 18
desa/kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan 106,89 km². Kecamatan
Alalak pada awal berdiri hingga bulan Maret 2010 mempunyai 1 puskesmas
induk, yaitu Puskesmas Berangas (Puskesmas Perawatan). Secara geografis,
22
Puskesmas Berangas ini lebih dekat ke ibukota provinsi yaitu Kota Banjarmasin
(± 5 km) dibandingkan ke ibukota Kabupaten Barito Kuala yaitu Marabahan (±
42 km) ini.
Pada tanggal 04 Maret 2010 telah diresmikan Puskesmas Semangat
Dalam yang merupakan pengembangan dari Puskesmas Pembantu di Kelurahan
Handil Bakti menjadi Puskesmas Induk oleh Bapak Gubernur Provinsi
Kalimantan Selatan, dan pada moment yang sama juga diresmikan Pusat
Pemulihan Gizi oleh Ibu Bupati Barito Kuala.
Sumber : Profil Pusat Pemulihan Gizi Puskesmas Berangas, Kabupaten Barito Kuala
Gambar 2.3. Peresmian Pusat Pemulihan Gizi Puskesmas Berangas
Puskesmas Berangas memiliki jumlah karyawan 47 orang, yang terdiri dari
1 orang dokter, 2 orang ahli gizi, 4 orang perawat, 20 orang bidan, dan 3 orang
Sarjana Kesehatan Masyarakat. Puskesmas Berangas dibantu oleh 5 buah
puskesmas pembantu.
Peresmian TFC Puskesmas Berangas, Kabupaten Barito Kuala. Dari kanan, Gubernur Kalimantan Selatan
(baju biru tua), Bupati Barito Kuala (baju coklat) dan ketua TP PKK Kabupaten Barito Kuala (baju seragam
PKK)
23
Puskesmas Berangas membina 50 buah Posyandu balita dengan 250
orang kader 3.313 anak balita sebagai sasarannya. Pada tahun 2009 jumlah
balita yang beratnya dibawah garis merah (BGM) pada Kartu Menuju Sehat
(KMS) yang berhasil dilacak sebanyak 104 orang, dengan persentasi kehadiran
dalam kegiatan posyandu (D/S) rata-rata sangat rendah (4%). Rendahnya angka
kehadiran tersebut dinilai sangat memprihatinkan karena tumbuh kembangnya
tidak terpantau sehingga tidak diketahui status gizinya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, pihak pengelola Program Gizi Dinas
Kesehatan Kabupaten Barito Kuala mendapat tawaran untuk membentuk Panti
Pemulihan Gizi (PPG) yang selanjutnya namanya diganti menjadi Pusat
Pemulihan Gizi (PPG) dengan bantuan operasional dari Proyek DHS 2 Propinsi
Kalsel TA. 2009/2010.
Persiapan fisik PPG Berangas dimulai pada bulan Desember 2009,
sedangkan pelaksanaan operasional PPG menerima balita gizi kurang/buruk
pada tanggal 07 Januari 2010.
Pada prinsipnya PPG merupakan Pusat Pemulihan Gizi Buruk dengan
perawatan serta pemberian makanan anak secara intensif dan adekuat sesuai
usia dan kondisinya. Dengan melibatkan peran serta ibu agar dapat mandiri
ketika kembali ke rumah.
Sumber daya yang pada umumnya diperlukan untuk pelaksanaan
suatu program terdiri dari sumber daya manusia (tenaga), sarana dan
bahan dan dana. Tenaga yang terlibat dalam program PPG adalah Tim Asuhan
Gizi yang terdiri dari dokter, nutrisionis/dietisien dan perawat, yag melakukan
perawatan balita gizi buruk dengan menerapkan 10 langkah tatalaksana anak
gizi buruk meliputi fase stabilisasi, transisi, rehabilitasi dan tindak lanjut.
24
Sumber dana operasional kegiatan program PPG berasal dari APBN
dan APBD atau melalui DIPA Program Perbaikan gizi Provinsi Kalimantan
Selatan.
Tim asuhan gizi di PPG Puskesmas Berangas telah mendapat pelatihan
tatalaksana anak gizi buruk. Tim asuhan ini merawat secara bergantian selama
24 jam, 7 hari dalam seminggu. Pada kondisi tertentu dokter bertugas selama 24
jam apabila terdapat pasien dalam keadaan gawat darurat. Waktu kerja terbagi
dalam 3 giliran jaga yaitu: a). Giliran jaga I : PK. 08.00 s/d 14.00 ; b). Giliran
jaga II : PK. 14.00 s/d 20.00 dan c). Giliran jaga III : PK. 20.00 s/d 08.00.
PPG Puskesmas Berangas mendapatkan fasilitas berupa Ruang
perawatan yang terpisah dari ruang perawatan lainnya. Ruang perawatan
dengan ventilasi dan pencahayaan cukup, tanpa AC dan kipas angin, tempat
tidur anak gizi buruk dijauhkan dari jendela atau pintu masuk.
Fasilitas PPG Puskesmas Berangas ini terdiri dari tempat tidur dan
kelengkapannya (bantal, sprei, selimut, perlak, lemari pakaian dll), ruang
petugas/ administrasi, ruang konseling kesehatan dan gizi, tempat bermain anak,
tempat penyimpanan obat, dapur: ruang persiapan dan penyiapan formula
makanan (F-75, F-100, Resomal, dll), tempat penyimpanan bahan makanan,
fasilitas air bersih, Mandi Cuci Kakus (MCK) dan fasilitas pembuangan limbah.
Kegiatan PPG Puskesmas Berangas meliputi pelayanan medis, pelayanan
keperawatan, pelayanan dan konseling gizi, pendidikan kesehatan dan gizi,
rujukan, stimulasi pertumbuhan, pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan
evaluasi. Selain itu juga diterapkan 3 asuhan dalam perawatan balita gizi buruk
yaitu : yang pertama adalah asuhan medis berupa : a). Menentukan diagnosis
post anamnesa; b) Pemberian terapi sesuai penyakit; c). Pemeriksaan harian
atau pencatatan status pasien rawat inap PPG; d). Rujukan ke RS, bila
25
diperlukan; e). Evaluasi tiap pasien / hari bila tidak naik BB atau turun BB; f).
Anamnesa pasien inspeksi, perkusi dan palpasi.
Yang kedua adalah asuhan nutrisi yaitu dengan : melatih orang tua
menyiapkan makanan formula sesuai dengan pedoman penatalaksanaan gizi
buruk, melakukan anamnesa diit, menyusun menu, penyediaan makanan untuk
orang tua pasien, konsultasi gizi pasca perawatan, memantau dan evaluasi
pemberian makan pada pasien dan penyediaan makanan anak sesuai usia dan
kondisinya.
Dan yang ketiga adalah asuhan keperawatan yaitu dengan observasi
keadaan umum pasien per 24 jam, mengkur tanda-tanda vital per 24 jam,
edukasi orang tua selama perawatan, kolaborasi dengan ahli gizi tentang nutrisi
yang diberikan, kolaborasi dgn dokter tentang pemberian obat selama perawatan
dan melakukan tindakan sesuai advice (konsul & rujukan).
2.2.5. Kabupaten Barito Kuala
Kabupaten Barito Kuala, salah satu di antara 13 kabupaten - kota di
Propinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Nomor : 001/KPTS/ M.PDT /II/2005,
telah ditetapkan sebagai salah satu kabupaten "daerah tertinggal" bersama-sama
199 kabupaten lainnya di seluruh Indonesia. Wilayah kabupaten Barito Kuala,
keberadaannya memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, yang dicerminkan oleh
posisi dan potensi alaminya, baik yang menjadi keunggulan maupun yang
selanjutnya menjadi kelemahan dalam pemanfaatannya, dalam rangka proses
pembangunan. Posisi dan letak lokasi Kabupaten Barito Kuala yang perlu yang
perlu digarisbawahi adalah penyangga langsung aktifitas Kota Banjarmasin
sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan Selatan, dibelah dan menjadi muara
Sungai Barito, yakni sungai terpanjang di Pulau Kalimantan yang mengalir
26
melalui Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah dan Wilayah Propinsi Kalimantan
Selatan. Dengan posisi ini menjadikan Kabupaten Barito Kuala sebagai salah
satu pintu masuk dan menjadi lintasan menuju ke sebagian wilayah Propinsi
Kalimantan Tengah melalui jalan darat (Jalan Negara Trans Kalimantan Bagian
Selatan ) dan melalui sungai. Demikian pula posisi letak lokasi ini menjadikan
Kabupaten Barito Kuala sebagai pintu masuk ke Wilayah Propinsi Kalimantan
Selatan lainnya melalui akses prasarana jalan darat dan sekaligus akses
sungai. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya sesuai geografisnya,
Kabupaten Barito Kuala berada pada posisi yang sangat strategis, termasuk
ada pada wilayah pelayanan Pelabuhan Laut Tri Sakti dan hanya berada pada
jarak kurang lebih 40 km dari Bandar Udara Syamsudin Noor Banjarmasin.
Strategisnya posisi geografis wilayah Kabupaten Barito Kuala, tidak
selamanya memberikan konstribusi posisi positif bagi pengembangan wilayah,
sepanjang tidak ada perlakuan tepat atas "potensi internal" yang dimilikinya.
Pernyataan ini dapat dijelaskan, melalui permasalahan, bahwa pada wilayah
kabupaten yang menjadi penyangga Kota Banjarmasin ini, utamanya wilayah
yang terkait langsung dengan aktifitas Pelabuhan Tri Sakti, merupakan bagian
dari wilayah kawasan industri pengolahan kayu terbesar kedua di Indonesia.
Pada wilayah yang masuk territorial Kabupaten Barito Kuala, sebelum tahun
2006, paling tidak terdapat 14 (empat belas) industri pangolahan kayu berskala
sedang-besar, yang seluruh bahan bakunya dipasok dari luar wilayah
kabupaten. Namun, mengingat minimalnya prasarana wilayah di Kabupaten
Barito Kuala, menyebabkan industri pengolahan kayu dimaksud hanya
memanfaatkan keberadaan Sungai Barito pada sisi Kabupaten Barito Kuala
(sisi barat). Sedangkan aktivitas dan orientasi manejemen serta karyawan
perusahaan industri yang bersangkutan, tetap mengarah ke Kota Banjarmasin,
yang ada pada sisi lain (timur) Sungai Barito. Keberadaan dan kondisional ini
27
tidak selalu menguntungkan bagi pengembangan wilayah Kabupaten Barito
Kuala dan yang terpenting membuktikan bahwa "kunci" pembangunan dan
pengembangan wilayah adalah "'perlakuan" sebagai pemanfaatan potensi
internal yang dimiliki Kabupaten Barito Kuala itu sendiri. Dengan contoh
pengalaman ini, berdasarkan kecenderungan perkembangan regional yang
didominasi oleh aktifitas pemanfaatan batubara, maka untuk 5 (lima) tahun ke
depan, potensi intern wilayah yang terkait sangat erat dengan aktifitas
tersebut, harus benar-benar dioptimalkan guna kepentingan pemerintah dan
masyarakat Kabupaten Barito Kuala.
2.2.6. Penelitian Kualitatif
Moleong (2004:6) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain
secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.
Penelitian kualitatif menurut Moleong (2004:11) merupakan penelitian
yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap,
pandangan, perasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang. Metode
yang biasa dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara,
pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Data yang dikumpulkan dalam
penelitian kualitatif berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Laporan
penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian
laporan tersebut. Data berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto,
videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.
28
Penelitian kualitatif berakar pada latar alasan alamiah sebagai keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,
mengadakan analisis secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada
usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan
proses daripada hasil, membatasi studi dengan focus, memiliki seperangkat
criteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat
sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti
dan subjek penelitian (Moleong, 2004: 44).
Peneliti kualitatif melaksanakan kegiatan sedemikian rupa sehingga ia
melihat dan memandang kenyataan subjektif dari subjek penelitian. Metode yang
digunakan oleh peneliti membantu peneliti untuk menghindari subjektivitas. Satu
teknik dalam penelitian kualitatif ialah hasilnya harus diketahui bahkan dipelajari
serta disepakati oleh subjek penelitian. Dengan demikian, jika terjadi prasangka,
pandangan atau sikap suka-tidak suka muncul, hal itu akan dicek secara
langsung. Tujuan peneliti disini adalah menambah pengetahuan dan
menemukan teori baru, dan bukanlah memutuskan sesuatu pada latar tertentu.
Dalam hal ini peneliti kualitatif percaya bahwa situasi itu rumit sehingga mereka
ingin memperoleh gambaran umum dan menyeluruh dan bukan sekadar
menyempitkan kesimpulan pada suatu kejadian kecil tertentu. Pandangan
objektif peneliti harus mengatasi subjektivitas yang mungkin terjadi.
Peneliti kualitatif berusaha berinteraksi dengan subjek penelitiannya
secara alamiah, tidak menonjol dan dengan cara tidak memaksa. Peneliti
memperlakukan subjek sebagai subjek penelitian, dan mungkin tidak bertindak
dan bereaksi secara alamiah dalam latar alamiah. Penelitian kualitatif tertarik
untuk menyidik orang-orang dalam latar alamiah tentang bagaimana mereka
berpikir dan bertindak menurut cara mereka. Dalam hal ini diusahakan agar
jangan sampai terjadi oleh kehadiran seorang peneliti, tindakan dan cara para
29
subjek menjadi berubah. Oleh karena itu cara mengadakan wawancara jangan
dilakukan secara formal dalam arti antara pewawancara dan responden.
Wawancara hendaknya dilakukan secara informal, tanpa disadari oleh subjek
penelitian bahwa dia sedang diwawancarai dan dilakukan antara dua orang
dengan derajad yang sama.
Tahap penelitian kualitatif menurut Moleong (2004:127) terdiri atas:
Tahap Pra-lapangan, menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan
penelitian, mengurus perijinan, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan
memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan etika
penelitian.
2.2.7. Ruang Lingkup Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian atas hasil (dalam hal pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang baru atau yang telah ditingkatkan) dan dampak
(pada pemecahan atau pengurangan masalah kesehatan dan pada keseatan
masyarakat yang lebih baik) pelatihan dan proses yang melahirkan hasil dan
dampak tersebut (Mc Mahon, 1999).
Evaluasi program merupakan evaluasi terhadap kinerja program,
sebagaimana diketahui bahwa program dapat didefinisikan sebagai
kumpulan kegiatan-kegiatan nyata, sistematis dan terpadu yang
dilaksanakan oleh satu atau beberapa instansi instansi pemerintah ataupun
dalam rangka kerjasama dengan masyarakat, atau yang merupakan
partisipasi aktif masyarakat, guna mencapai sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan. Evaluasi program merupakan hasil komulatif dari berbagai
kegiatan (Mac Kenzie, 2007).
Evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu
mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian
30
pembinaan yang tepat pula. Evaluasi program sangat penting dan bermanfaat
terutama bagi pengambil keputusan. Alasannya adalah dengan masukan hasil
evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak
lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan (Antina Nevi, 2009).
Evaluasi program kesehatan merupakan bagian dari proses manajerial
pembangunan kesehatan nasional yang lebih luas. Dalam melakukan evaluasi
kita sebenarnya menetapkan suatu nilai. Kita dapat mengurangi unsur subyektif
pada penilaian tersebut dengan mendasarkan penilaian atas fakta-fakta yang
ada. Penerapannya menghendaki pikiran yang terbuka dan mampu memberi
kritik yang membangun menuju kepada pemikiran pendapat yang sehat
(Soekarwati, 1995).
1. Tujuan Evaluasi
Evaluasi memiliki tujuan sebagai berikut: a). Membantu perencanaan di
masa yang akan datang; b). Mengetahui apakah sarana yang tersedia
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya; c). Menentukan kelemahan dan kekuatan
daripada program, baik dari segi teknis maupun administratif yang selanjutnya
diadakan perbaikan-perbaikan; d). Membantu menentukan strategi, artinya
mengevaluasi apakah cara yang telah dilaksanakan selama ini masih bisa
dilanjutkan, atau perlu diganti; e). Mendapatkan dukungan dari psonsor
(pemerintah atau swasta), berupa dukungan moral maupun material; f).
Motivator, jika program berhasil, maka akan memberikan kepuasan dan rasa
bangga kepada para staf, hingga mendorong mereka bekerja lebih giat lagi.
Penilaian sebagai salah satu fungsi manajemen bartujuan untuk
mempertanyakan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu perencanaan,
sekaligus mengukur seobyektif mungkin hasil-hasil pelaksanaan itu dengan
memakai ukuran-ukuran yang dapat diterima pihak-pihak yang terlibat dalam
31
suatu perencanaan. Penilaian adalah suatu upaya untuk mengukur member nilai
secara obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya.
Tujuan utama dari penilaian adalah agar hasil penilaian tersebut dapat dipakai
sebagai umpan balik untuk perencanaan sebelumnya (Muninjaya, 2004).
2. Dinamika Evaluasi
Salah satu ciri evaluasi adalah sebagai suatu proses yang
berkesinambungan, maka dengan sendirinya disamping mempunyai ciri-ciri
yang khas juga mencerminkan sifat kedinamisannya dengan cara
membedakan: input, procces dan output. Pada sisi input, evaluasi
pengembangan personil sangat penting untuk melihat kebutuhan sesuai
dengan keterampilan yang diharapkan, sehingga dapat dikembangkan
pengawasan yang mendukung pada organisasi logistik serta mekanisme
pendukung lainnya. Sebagai suatu langkah awal yang penting dalam sisi input
adalah evaluasi terhadap penetapan tujuan, dikaitkan dengan visi dan misi
program atau organisasi, serta penetapan sasaran program itu sendiri
(Azwar, 1996).
Pada sisi proses adalah untuk mengarahkan sumber-sumber daya agar
menghasilkan pelayanan yang diinginkan yang juga harus dievaluasi. Aspek
proses evaluasi dapat diikut sertakan sebagai input sumber daya, atau
dipandang sebagai proses output, akan tetapi harus di identifikasi secara
terpisah untuk membedakan kapasitas tindakan dari penggunaan nyata dari
kapasitas tersebut. Output adalah merupakan hasil pelayanan yang memberi
dampak yang berbeda-beda terhadap status kesehatan (Mubarak dkk., 2009).
Menurut Mantra (1997) secara umum evaluasi dapat dibedakan atas
beberapa tahap yaitu: a). Evaluasi pada tahap awal program, yaitu evaluasi
yang dilakukan pada tahap pengembangan program sebelum program
32
dimulai. Evaluasi ini akan menghasilkan informasi yang akan di pergunakan
untuk mengembangkan program agar program dapat lebih sesuai dengan
situasi dan kondisi sasaran; b). Evaluasi pada tahap proses, yaitu evaluasi
yang dilakukan disini adalah pada saat program sedang dilakasanakan.
Tujuannya adalah untuk mengukur apakah program yang sedang berjalan
telah sesuai dengan rencana atau tidak atau apakah telah terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan pencapaian tujuan dari program; c).
Evaluasi pada akhir program, yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat
program telah selesai dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan
pernyataan efektifitas atau tidaknya suatu program selama kurun waktu
tertentu. Sehingga dapat dipergunakan dalam pengambilan keputusan untuk
merencanakan dan mengalokasikan resources; dan d). Evaluasi dampak
program, yaitu evaluasi yang menilai keseluruhan efektifitas program dalam
menghasilkan perubahan sikap dan perilaku pada target sasaran, evaluasi
dampak merupakan kebalikan dari penilaian kebutuhan program mana kalau
evaluasi kebutuhan menentukan kebutuhan suatu program sedangkan
penilaian dampak akan menentukan tingkat kebutuhan yang nyata setelah
diintervensi oleh program kesehatan.
Langkah-langkah dalam evaluasi/penilaian adalah sebagai berikut: a).
Menentukan tujuan evaluasi, tujuan dari evaluasi harus dimengerti, sebab hal
ini mempengaruhi bagian apa dari program yang perlu diamati, selanjutnya
memengaruhi pula macam informasi yang akan dikumpulkan; b). Menentukan
bagian apa dari program yang akan dievaluasi, apakah yang dievaluasi
masukannya, proses, keluaran, atau dampaknya, atau kombinasi dari bagian-
bagian tersebut; c). Mengumpulkan data awal (base line data), data ini dapat
dipergunakan sebagai pembanding, anatara sebelum diadakan suatu kegiatan
dengan situasi sesudah diadakan kegiatan. Data awal yang diperlukan
33
bergantung pada apa yang akan dinilai dan maksud penilaian; d). Mempelajari
tujuan program, tujuan program merupakan syarat penting suatu program,
agar penilaian dapat dilakukan dengan baik, tujuan harus dapat dikur dan
jelas, tujuan dapat dirumuskan menjadi tujuan jangka pendek, menengah, dan
panjang dimana tujuan jangka pendek adalah tujuan yang ingin dicapai dalam
waktu dekat, merupakan loncatan untuk bisa sampai pada tujuan jangkat
menengah dan tujuan jangka menengah untuk bisa sampai pada tujuan yang
harus dicapai dulu, untuk bisa mencapai tujuan jangak panjang serta tujuan
jangka panjang merupakan tujuan akhir dari sebuah program; e). Menentukan
tolok ukur (indikator), perlu ditetapkan patokan apa yang akan digunakan
sebagai dasar pengukuran. Dengan kata lain, harus ditentukan apa yang akan
diukur, contohnya jika tujuannya adalah meningkatakan kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya olahraga, harus ditentukan dahulu apa yang
akan dipakai untuk mengukur kesadaran masyarakat, misalkan untuk
mengukur berapa persen masyarakat yang berolahraga pada pagi hari, maka
mereka yang membiasakan olahraga pada pagi hari adalah tolok ukurnya, hal
ini harus dibandingkan antara sebelum dan sesudah kegiatan; f). Menentukan
cara menilai, alat penilaian, dan sumber datany; g). Mengumpulkan data;
h).Mengolah dan menyimpulkan data yang didapat; dan i). Feedback (umpan
balik) dan saran-saran kepada program yang akan dinilai (Notoatmodjo,
2007).
Evaluasi di bidang kesehatan adalah suatu kegiatan yang penting untuk
menilai kualitas, rasionalitas, efektifitas, efisiensi dan equitas pada pelayanan
kesehatan. Evaluasi suatu program kesehatan yang menyeluruh adalah
eveluasi yang dilakukan terhadap 3 komponen yaitu masukan (input),
pelaksanaan (procces), dan keluaran (output) (Seokarwati, 1995).
34
Tipe-tipe evaluasi antara lain adalah : a). Penilaian akan kebutuhan
program, penilaian ini dilaksanakan pada tahap sebelum program ini
dilaksanakan disuatu daerah dengan maksud agar program yang
direncanakan sesuai masalah dan kebutuhan masyarakat setempat; b).
Penilaian perencanaan program, penilaian ini dilaksanakan pada tahap untuk
menilai kelayakan dan menandainya rencana program dan kebutuhan
masyarakat; c). Penilaian penampilan kerja. Penilaian untuk melihat
kesesuaian antara pelaksanaan nyata program dan rencana dengan perhatian
diarahkan pada hasilnya dalam segi kuantitas maupun kualitas; d). Penilaian
efek, yaitu penilaian terhadap pengaruh langsung dari hasil suatu program; e).
Penilaian dampak, yatu penilaian untuk mengetahui pengaruh
dilaksanakannya suatu program baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap masyarakat (Farida, Y.T, 2000).
Evaluasi program kesehatan merupakan bagian dari proses manajerial
pembangunan kesehatan nasional yang lebih luas. Dalam melakukan evaluasi
kita sebenarnya menetapkan suatu nilai. Kita dapat mengurangi unsur
subyektif pada penilaian tersebut dengan mendasarkan penilaian atas fakta-
fakta yang ada. Penerapannya menghendaki pikiran yang terbuka dan mampu
memberi kritik yang membangun menuju kepada pemikiran pendapat yang
sehat (Rita, S., 1990).