BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi 2.1.1. Geologi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi 2.1.1. Geologi...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi
2.1.1. Geologi Regional
Secara regional daerah Ciherang termasuk ke dalam , Peta Geologi
Lembar Bogor (A.C. Efendi, Kusnama, dan B. Hermanto; 1998). Berdasarkan
peta tersebut diketahui bahwa batuan tertua yang tersingkap di wilayah studi
terdiri atas tufa berbatuapung yang termasuk ke dalam Batuan Gunungapi Tua
yang terdapat di sebelah timur, utara dan selatan daerah penelitian. Disusun
oleh litologi berupa lahar dan lava basal andesit yang termasuk kedalam
Batuan Gunungapi Gunung Pangrango. Di sebelah barat daerah penelitian
litologi penyusunnya berupa lahar, breksi tufan dan lapili, aliran lava berjenis
andesit basal yang termasuk kedalam Batuan Gunungapi Gunung Salak.
Batuan-batuan ini termasuk ke dalam Batuan Gunungapi yang berumur
Kuarter (gambar 3-1. Peta Geologi Regional Lembar Bogor A.C. Efendi,
Kusnama, dan B. Hermanto; 1998).
Aktivitas tektonik di daerah ini dimulai pada Awal Tersier, diikuti oleh
aktivitas tektonik Plio-Pleistosen yang mengaktifkan kembali produk tektonik
periode Awal Tersier, membentuk sesar-sesar yang berarah umum timurlaut –
baratdaya dan baratlaut – tenggara. Rekahan-rekahan yang terbentuk menjadi
zona lemah bagi kemunculan batuan-batuan vulkanik muda berumur Kuarter.
6
Gambar 2.1. geologi regional daerah penelitian A.C. Efendi, Kusnama, dan B.
Hermanto; 1998).
Secara geologi daerah penyelidikan umumnya disusun oleh kelompok batuan
berumur Kuarter, berupa endapan gunung api muda tidak terpisahkan yang terdiri
atas tufa batuapung pasiran, breksi lahar tufaan dari endapan Gunung Pangrango,
endapan ini cukup tebal. Di bawahnya berupa endapan vulkanik tua tak
terpisahkan terdiri atas breksi bersusunan andesitik – basaltik, lava andesit, tufa
dan aglomerat. Ke arah selatan berkembang sedimen klastik halus sampai kasar
berumur Tersier yang telah terlipatkan dan tersesarkan (Edi Murtianto, 1991).
7
2.1.2. Stratigrafi
Pembahasan stratigrafi regional dimaksudkan untuk memberikan gambaran
umum dari beberapa formasi yang erat hubungannya dengan stratigrafi daerah
penelitian dan diuraikan dari satuan yang tua ke satuan yang lebih muda.
Berdasarkan (A.C. Efendi, Kusnama, dan B. Hermanto; 1998) dalam peta geologi
regional lembar bogor, diketahui bahwa batuan tertua yang tersingkap di wilayah
studi terdiri atas tufa berbatuapung yang termasuk ke dalam Batuan Gunungapi
Tua yang terdapat di sebelah timur, utara dan selatan daerah penelitian. Disusun
oleh litologi berupa lahar dan lava basal andesit yang termasuk kedalam Batuan
Gunungapi Gunung Pangrango. Di sebelah barat daerah penelitian litologi
penyusunnya berupa lahar, breksi tufan dan lapili, aliran lava berjenis andesit
basal yang termasuk kedalam Batuan Gunungapi Gunung Salak. Batuan-batuan
ini termasuk ke dalam Batuan Gunungapi yang berumur Kuarter (gambar 2.2 Peta
Geologi Regional Lembar Bogor A.C. Efendi, Kusnama, dan B. Hermanto; 1998).
8
Gambar 2.2 Kolom stratigrafi daerah penelitian (A.C. Efendi, Kusnama, dan B.
Hermanto; 1998).
2.1.3. Struktur Geologi
Menurut Van Bemmelen (1949), Zona Bogor telah mengalami dua kali
masa periode tektonik, yaitu pada periode intra Miosen atau Miosen-Pliosen dan
periode Pliosen-Pleistoesen. Pada periode tektonik intra Miosen, berlangsung
pembentukan ”Geantiklin Jawa” akibat gaya tekanan dari arah selatan membentuk
struktur lipatan dan sesar pada sedimen di utara. Peristiwa ini terjadi setelah
Formasi Cidadap diendapkan pada Miosen Tengah. Pada kala Miosen-Pliosen,
9
antiklinorium ini mengalami intrusi dasit dan andesit hornblenda. Disamping itu,
terjadi pula ekstrusi Breksi Kumbang di ujung timur Zona Bogor.
Ketidakselarasan antara Formasi Subang dan Formasi Kaliwangu yang berumur
Pliosen Bawah (Silitonga, 1973) yang terjadi pada Zona Bogor bagian utara
menandakan bahwa pada periode Miosen-Pliosen tersebut terjadi proses
perlipatan pada keseluruhan Zona Bogor bagian utara.
Pada periode tektonik Pliosen-Pleistosen, terjadi proses perlipatan dan sesar
yang berpola barat-timur serta sesar mendatar yang bepola utara-selatan, yang
diakibatkan oleh terjadinya amblesan di bagian utara Zona Bogor yang kemudian
menimbulkan gangguan tekanan yang kuat pada zona ini. Pada kala Pliosen-
Pleistosen bagian barat Zona Bogor mengalami pengangkatan dan membentuk
Kaliglakah Beds yang terdiri dari endapan klastik dan lignit. Selanjutnya,
Cigintung Beds terendapkan.
Pada kegiatan tektonik Pliosen-Pleistosen mengakibatkan terjadinya sesar
terobosan Komplek Kromong yang andesitis dasitis. Setelah berakhir kegiatan
tersebut, terbentuklah Tambakan Beds yang berumur Pleistosen Bawah dan
menutupi satuan lainnya secara tidak selaras. Pada kala Pleistosen Tengah sampai
Atas di Zona Bogor bagian tengah dan timur terbentuk endapan vulkanik tua
(Gunung Slamet Tua) dan vulkanik muda dari Gunung Ciremai, selanjutnya
disusul oleh aktivitas pada Pleistosen Atas yang menghasilkan Linggopodo Beds
dan diikuti lago oleh kegiatan vulkanik Resan dari Gunung Ciremai sehingga
terbentuk endapan vulkanik muda ke bagian utara zona tersebut.
10
Situmorang (1976) membuat pola tektonik Pulau Jawa berdasarkan konsep
Wrench Fault Tectonic (Gambar 2.2), yaitu :
1. Sistem rekahan meridional yang merupakan akibat adanya kompresi lateral
berarah utara-selatan yang berhubungan proses konvergensi Lempeng Indo-
Australia dan Lempeng Eurasia.
2. Wrench orde pertama, kedua, dan ketiga dapat dijumpai di Pulau Jawa.
Lipatan pada umumnya mengikuti sistem lipatan primer, hanya beberapa
lipatan yang merupakan lipatan seret orde kedua.
Gambar 2.3 Pola-Pola Struktur Pulau Jawa (Situmorang, 1976).
2.2. Hidrogeologi Regional
Berdasarkan Peta Hidrogeologi Regional Indonesia Lembar Bogor, yang
disusun oleh Edi Muertianto (2006), akuifer batuan dasar, di daerah penyelidikan
penyebarannya terutama menempati daerah kaki gunungapi dari G. Salak dan G.
Gede-Pangrango. Berdasarkan telaah morfologi dan geologi, cekungan airtanah
11
dapat dibagi menjadi tiga wilayah , yaitu wilayah airtanah dengan luahan sumur
antara 5 – 25 l/det, wilayah airtanah dengan luahan sumur kurang dari 5 liter/det,
dan wilayah airtanah langka/nir-akuifer.
Sistem aliran airtanah pada akuifer batuan dasar bervariasi, umumnya
melalui ruang antar butir, ruang antar butir dan rekahan, serta sistem aliran
melalui celahan/saluran pelarutan pada mandala airtanah karst.
Akuifer batuan dasar umumnya terdiri atas beberapa lapisan akuifer dengan
ketebalan lapisan antara 3 - 66m. Litologi akuifer di daerah ini umumnya
merupakan batuan Kuarter terdiri atas beberapa lapis pasir dan tufa pasiran
dijumpai di daerah utara lembar peta meliputi daerah Bogor, Kedunghalang,
Ciawi. Di daerah Sukaraja, Sukabumi dan Pelabuhanratu dan sekitarnya, litologi
akuifer tersebut bervariasi dari pasir, tufa pasiran dan.
Hal ini didasarkan pada diagram pagar dari sumur bor-sumurbor terpilih di
sekitar Bogor, Kedunghalang, Ciawi dan daerah Sukaraja, Sukabumi menunjukan
lapisan-lapisan akuifer tersebut penyebarannya disebagian tempat menerus dan di
berbagai tempat lainnya tidak menerus.
Keseluruhan data yang diperoleh dari penelitian terdahulu seperti tersebut di
atas masih bersifat umum dan berskala regional. Deskripsi batuannya pun belum
teruraikan dengan jelas, sehingga agak sukar untuk mendapatkan gambaran yang
spesifik mengenai urut-urutan kejadian vulkanik (volcanic succession) dan
hubungan di antara endapan vulkanik yang telah dihasilkan.
12
Jika dihubungkan dengan geologi regional, maka hidrogeologi dan muka air
tanah di daerah ini berkaitan dengan kondisi batuan yang terbentuk di sekitarnya.
Kondisi hidrogeologi umumnya berkaitan erat dengan sistem akuifer tertentu.
Pada lokasi penyelidikan jenis batuan yang dapat bertindak sebagai akuifer
terutama pada kelompok batuan piroklastik kasar sampai sangat kasar yang
berumur Kuarter yaitu batuan gunungapi hasil Gunung Pangrango dan Gunung
Salak.
Gambar 2.4. hidrogeologi regional lembar Bogor (Edi Muertianto, 2006)
Daerah Studi
13
Akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir, setempat melalui rekahan,
melampar di bagian barat laut Gunung Pangrango. Umumnya merupakan endapan
gunung api muda, terdiri atas beberapa lapisan akuifer dengan ketebalan berkisar
antara 2 hingga 77 meter.
Kapasitas jenis sumur dapat mencapai 329,18 m³/hari, keterusan dapat
mencapai lebih besar dari 659 m³/hari. Muka Air tanah statis bervariasi mulai dari
40 meter di bawah muka tanah hingga 1,3 meter di atas muka tanah setempat.
Berdasarkan kondisi hidrogeologinya, wilayah studi termasuk ke dalam
sistem akuifer endapan vulkanik yang terdiri atas lapisan akuifer tufa bebrbutir
kasar, lapili, breksi laharik, breksi vulkanik, dan lava vesikuler.
Secara umum akuifer endapan vulkanik dapat dibedakan menjadi akuifer
bebas dan akuifer tertekan, dengan sistem aliran melalui gabungan antara media
pori dan media rekahan. Akuifer dengan sistem media pori (akuifer primer)
mempunyai debit yang lebih kecil daripada akuifer sistem rekahan (akuifer
sekunder).
Kondisi geologi wilayah studi dibentuk oleh perselingan antara material-
material vulkanik yang lepas-lepas ataupun masif dengan aliran lava yang dikenal
sebagai tipe gunungapi strato. Kondisi seperti ini membentuk sistem akuifer yang
bergradasi dari elevasi yang paling tinggi ke elevasi yang paling rendah. Sistem
akuifer yang bergradasi ini dicirikan oleh adanya hubungan antara lapisan yang
satu dengan lapisan lainnya, sehingga apabila airtanah dari akuifer bagian atas
14
merembes masuk ke dalam akuifer di bawahnya, maka kemungkinan
terbentuknya sistem akuifer yang baru dapat terjadi di bagian bawah.
Keterkaitan antara rekahan dan keluarnya airtanah dapat diterangkan
sebagai berikut:
Rekahan sebagai media pengalir airtanah dari satu akuifer ke akuifer lainnya.
Rekahan sebagai media pembentuk akuifer; lapisan impermeabel, seperti lava
atau breksi laharik padu, dapat berubah menjadi lapisan permeabel akibat adanya
rekahan hasil proses geologi.
2.3. Dasar Teori
2.3.1. Hidrogeologi
Hidrogeologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang keterdapatan, sifat
fisik, dan perilaku air tanah. Karakteristik air tanah di suatu daerah ditentukan
oleh kualits air yang masuk, kondisi lingkungan yang dilewati air dalam
perjalannya dan kondisi batuan tempat air itu berada.
Secara hidrogeologi terdapat beberapa istilah mengenai keterdapatan air
tanah, diantaranya:
1. Akuifer (Aquifer) adalah lapisan yang dapat menyimpan dan mengalirkan
air dalam jumlah yang ekonomis. Contoh : pasir, kerikil, batupasir,
batugamping rekahan.
2. Akiklud (Aquiclude) adalah lapisan yang mampu menyimpan air, tetapi
tidak dapat mengalirkan dalam jumlah yang berarti misalnya lempung,
serpih, tuf halus, lanau.
15
3. Akifug (Aquifuge) adalah lapisan batuan yang kedap air, tidak dapat
menyimpan dan mengalirkan air, misalkan batuan kristalin, metamorf
kompak.
4. Akitar (Aquitard) adalah lapisan yang dapat menyimpan air dan
mengalirkan dalam jumlah yang terbatas, misalnya lempung pasiran
(sandy clay).
Gambar 2.5. Berbagai Sistem Akuifer dan Airtanah yang terdapat di alam (Santosa
dan Adji, 2004).
2.3.1.1. Akuifer
Akuifer merupakan lapisan batuan yang dapat menyimpan dan
mengalirkan air. Beberapa jenis batuan dapat berfungsi sebagai akuifer. Akuifer
yang umum dijumpai di lapangan adalah endapan pasir, kerikil, kerakal dan
bernagkal yang belum terlitifikasi lanjut. Selain itu, yang cukup baik berfungsi
sebagai akuifer adalah batupasir, juga batugamping. Batuan sedimen yang lain
16
misalnya serpih (shale), batugamping pejal tak berongga bukan merupakan
akuifer yang baik.
Kemampuan akuifer untuk menyimpan dan menglirkan air dipengaruhi
oleh porositas dan permeabilitas.
Porositas merupakan persentase dari pori-pori batuan yang dapat terisi
oleh fluida. Porositas secara tidak langsung berhubungan dengan konduktivitas
hidrolik. Akuifer dengan porositas yang tinggi akan memiliki nilai konduktivitas
hidrolik yang tinggi pula.
Porositas dapat terbentuk secara primer dan sekunder. Proses
pembentukan porositas primer terjadi selama proses pengendapan berlangsung
(syngenetic), yaitu terbentuknya ruang antar butiran komponen penyusun batuan
sedimen. Sedangkan porositas sekunder terbentuk setelah litifikasi (postgenetic),
baik melalui pelarutan (contoh: batugamping) dan atau pengkekaran (joint) akibat
tekanan-tekanan oleh gejala tektonik). Oleh karena itu, baik batuan beku maupun
metamorf, sepanjang memiliki porositas yang tinggi (baik primer maupun
sekunder) akan mampu berfungsi sebagai akuifer.
Hal penting lainnya yang menunjang sifat kelulusan air dari akuifer
adalah permeabilitas. Permeabilitas adalah kemamapuan batuan untuk
mengalirkan air. Untuk itu diperlukan syarat adanya pori-pori yang saling
berhubungan (interconnected pores).
Berdasarkan sifat fisik batuan, secara garis besar ada 2 jenis media
penyusun akuifer, yaitu sistem media pori dan sistem media rekahan. Kedua
sistem ini memiliki karakter airtanah yang berbeda satu sama lain. Pada sistem
17
media berpori, airtanah mengalir melalui rongga antar butir yang terdapat dalam
suatu batuan misalnya batupasir dan batuan aluvial. Pada sistem media rekahan,
air mengalir melalui rekahan-rekahan yang terdapat pada batuan yang terkena
tektonik kuat, pada batugamping, batuan metamorf, dan lava. Rekahan terjadi
selain akibat proses tektonik, juga akibat proses pelarutan pada batu gamping.
Gambar 2.6. Model akuifer media pori ruang antar butir dan media Rekahan
(Sumber : S. Mandel, 1981)
Pembagian sistem Akuifer dan Airtanah di Alam menurut Santosa dan
Adji, 2004, yaitu :
1. Akuifer tertekan (Confined Aquifer)
Merupakan suatu jenis akuifer yang bagian atas dan bawahnya dibatasi oleh
lapisan bersifat kedap air akifug atau akiklud.
2. Akuifer bebas (Unconfined Aquifer)
Merupakan suatu jenis akuifer yang dibatasi oleh 1 lapisan impermeabel di
bagian bawahnya dan pada bagian atasnya tidak ada lapisan
penutup/impermeabel layer.
3. Akuifer semi (Semi-confined Aquifer)
18
Merupakan suatu jenis akuifer yang dibatasi oleh lapisan semi permeabel /
lapisan akitard (di atas dan atau di bawahnya).
4. Akuifer melayang (Perched Aquifer)
Merupakan suatu jenis akuifer berupa bentuk lensa-lensa batuan yang
dibatasi oleh lapisan impermeable (di atas dan di bawahnya).
Gambar 2.7. tipe-tipe akuifer santosa dan adji (2004).
2.3.1.1.1. Karakteristik Akuifer
Kuantitas air bawah tanah yang dapat disimpan atau diteruskan oleh akifer
tergantung pada karakteristik akuifer tersebut. Karateristik akuifer meliputi
porositas, konduktifitas hidrolik, transmisivitas, storativitas, specific yield
(porositas efektif),dan kapasitas jenis.Berikut penjelasan mengenai karakteristik
akuifer tersebut.
19
1. Porositas adalah semua lubang yang tidak terbatas ukurannya pada suatu
masa batuan yang kemungkinan bisa terisi oleh air (Todd, D.K., 1980).
Faktor porositas meliputi ukuran butir, bentuk butir, susunan butir dan
sementasi. Besarannya dinyatakan sebagai perbandingan antara seluruh
lubang pori-pori batuan dengan isi batuan dalam prosentase (%). Porositas
dari beberapa macam batuan dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Porositas beberapa macam batuan (Todd, D.K., 1980)
2. Konduktivitas hidrolika (K) atau sering disebut juga dengan permeabilitas
merupakan unit kecepatan dari kemampuan lapisan batuan untuk
meloloskan air (Todd, D.K., 1980). Konduktivitas hidrolika dipengaruhi
oleh sifat fisik yaitu porositas, ukuran butir, susunan butir, bentuk butir,
Batuan Porositas
Tanah 50 – 60
Lempung 45 – 55
Lanau 40 – 50
Campurankerikil kasar dan menengah 35 – 40
Pasir seragam 30 – 40
Campuran pasir halus dan menengah 30 – 35
Kerikil 30 – 40
Kerikil dan pasir 20 – 35
Batupasir 10 – 20
Serpih 1 – 10
Batugamping 1 – 10
20
dan distribusinya. Nilai konduktivitas hidrolika dari beberapa macam
batuan dapat dilihat dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Nilai konduktivitashidrolika (K) beberapa macam batuan (Todd,
D.K., 1980)
3. Transmisivitas adalah kemampuan akuifer untuk meneruskan air melalui
suatu bidang vertikal setebal akuifer dengan lebar satu satuan panjang dan
satu unit landaian hidrolika (Todd, D.K., 1980). Potensi air bawah tanah
berdasarkan nilai transmisivitas dapat dilihat dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Potensi air bawah tanah berdasarkan nilai transmisivitas dan
penggunaannya (US.Dept. Of The Interior, 1977)
Batuan K (m/hari) Batuan K (m/hari)
Kerikil kasar 150 Lempung 0,0002
Kerikil menengah 270 Batugamping 0,94
Kerikil 450 Dolomit 0,001
Pasir kasar 45 Sekis 0,2
Pasir menengah 12 Batusabak 0,00008
Pasir halus 2,5 Tuff 0,2
Batupasir menengah 3,1 Basalt 0,01
Batupasir halus 0,2 Gabro lapuk 0,2
Lanau 0,08 Granit lapuk 1,4
Transmisivitas (m2/hari) Domestik Irigasi
< 1 Jelek Sangat Jelek
1 – 8 Sedang Sangat Jelek
8 – 50 Baik Sangat Jelek
50 – 300 Sangat Baik Jelek
300 – 1000 Sangat Baik Sedang
21
4. Storativitas (S) adalah nilai koefisien yang menunjukkan besarnya volume
air yang dapat dikeluarkan atau disimpan oleh akuifer setiap satu satuan
luas per unit perubahan kedudukan muka air bawah tanah atau bidang
pisometrik (Todd, D.K., 1980). Nilai storativitas pada akuifer bebas
berkisar antara 0,01 hingga 0,35, sedangkan pada akuifer tertekan berkisar
antara 0,00005 hingga 0,005 (Todd, D.K., 1980).
5. Specific yield (Sy) atau porositas efektif merupakan perbandingan dalam
persen (%) air yang dapat diambil dari tanah atau batuan yang jenuh air
dibandingkan dengan volume total batuan atau tanah (Todd, D.K.,1980).
Nilai specific yield dari beberapa macam batuan dapat dilihat dalam Tabel
2.4.
Tabel 2.4. Nilai specific yield (Sy) dari beberapa macam batuan (Todd,
D.K., 1980)
1000 – 10.000 Sangat Baik Baik
> 10.000 Sangat Baik Sangat Baik
Batuan Sy (%) Batuan Sy (%)
Kerakal kasar 23 Lempung 3
Kerakal 24 Batupasir halus 21
Kerikil 25 Batupasir sedang 27
Pasir kasar 27 Batugamping 14
Pasir sedang 28 Sand dune 38
Pasir halus 23 Batulanau 12
Lanau 8 Tuff 21
22
6. Kapasitas jenis (Sc) merupakan besarnya debit air yang diperoleh pada
setiap penurunan muka air bawah tanah atau bidang pisometrik sepanjang
satu satuan panjang dalam suatu sumur pompa pada akhir periode
pemompaan (Kruseman & de Ridder, 1991).
2.3.1.1.2. Tipologi Sistem Akifer
Pengertian mengenai geometri keterdapatan airtanah di bawah permukaan,
merupakan hal yang mutlak diketahui. Dengan memahami geometri akuifer, maka
permasalahan mengenai karakteristrik dan sifat airtanah akan lebih mudah untuk
dijelaskan. Pendekatan yang digunakan meliputi berbagai aspek kimia fisik di
alam.Kondisi dan distribusi sistem akuifer dalam sistem geologi dikontrol oleh
faktor litologi, stratigrafi dan struktur dari endapan-endapan geologi.Litologi
adalah penyusun secara fisik meliputi komposisi mineral, ukuran butir dan kemas
dari endapan-endapan atau batuan yang membentuk sistem geologi.Stratigrafi
menggambarkan kondisi geometri dan hubungan umur antar lapisan, atau satuan
batuan dalam sistem geologi.Sedangkan struktur merupakan bentuk/sifat geometri
dari sistem geologi yang diakibatkan deformasi yang terjadi setelah batuan
terbentuk.Pada sedimen yang belum terkonsolidasi/kompak, kontrol yang
berperan adalah litologi dan stratigrafi. Pengetahuan akan ketiga faktor di atas
memberikan arahan kepada pemahaman karakteristik dan distribusi sistem akuifer
(Freeze dan Cherry, 1979).
Kesamaan iklim dan kondisi geologi di suatu daerah akan memberikan
kesamaan sistem airtanah. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap karakter fisika
23
dan kimia serta kualitas airtanah dalam sistem tersebut. Berdasarkan karakter
tersebut, serta mengacu pada klasifikasi Mandel (1981) dan kondisi geografis
serta morfologis keberadaan dan penyebaran airtanah di Indonesia, maka
Puradimadja (1993) mengajukan 5 (lima)tipologi sistem akuifer untuk wilayah
Indonesia, yaitu :
1. Tipologi Sistem Akuifer Endapan Gunungapi.
2. Tipologi Sistem Akuifer Endapan Aluvial.
3. Tipologi Sistem Akuifer Batuan Sedimen.
4. Tipologi Sistem Akuifer Batuan Kristalin dan Metamorf.
5. Tipologi Sistem Akuifer Endapan Glasial.
Penentuan Nilai Permeabilitas dari Pumping Test
Penilaian parameter atau karakteristik akuifer merupakan upaya untuk
mengetahui karakteristik hidraulika akuifer di daerah penyelidikan.Dalam hal
ini.didasarkan atas analisis data uji akuifer yang dilakukan pada beberapa lokasi
terpilih secara langsung di lapangan.
Pumping test atau uji pemompaan merupakan suatu tahapan untuk
menguji kapasitas debit aliran dan parameter-parameter fisik akuifer sebelum
dilakukan tahapan eksploitasi pada sumur bor tersebut. Secara umum uji
pemompaan atau pumping test terdiri dari dua metode yaitu uji akuifer dan uji
pompa.
24
Gambar 2.8. Diagram test pemompaan atau pumping test
Uji akuifer merupakan suatu test pemompaan yang dilakukan hanya pada
satu akuifer dengan pengamatan pada beberapa sumur panyau (observation well)
atau piezometer di sekitar sumur uji. Uji akuifer relatih lebih sederhana
dibandingkan dengan uji sumur bor. Dari sumur, yang dipasangi saringan tepat
pada letak akuifernya, dipompa selama waktu tertentu serta dengan debit tertentu.
Pengaruh pemompaan terhadap muka airtanah diukur pada sumur pompa dan
pada piezometer yang letaknnya di sekitar sumur pompa. Nilai Transmisitas (T)
dan Koefisien Penyimpanan (S) dapat diketahui dengan mengolah data penurunan
muka airtannah baik yang ada di sumur pompa maupun pada piezometer, jarak
piezometer terhadap sumur pompa, debit pemompaan dan waktu dengan
menggunakan persamaan tertentu.
Tes Pemompaan
Uji Akuifer /
Aquifer Test
Time Draw – Down
Test
Uji Sumur Bor
Well Test /
Pumping Test
Recovery Test
25
Uji Pompa atau uji sumur bor merupakan suatu uji pemompaan yang
dilakukan pada beberapa akuifer dalam satu sumur bor dengan pengamatan pada
beberapa sumur pantau (observation well) atau piezometer di sekitar sumur uji.
Uji sumur bor ditujukan untuk mengetahui kapasitas sumur, keadaan konstruksi
sumur, dasar penentuan jenis pompa dan perkiraan biaya operasi pemompaan
sumur produksi. Pada uji sumur bor ini piezometer tidak diperlukan, hanya
besarnya debit sarta penurunan muka airtanah pada sumur yang dipompa yang
diukur.
Dari kedua tahapan tersebut akan dicari besaran dari parameter hidrolik
akuifer atau sumur bor.
Gambar 2.9. Uji akuifer (Krusmen & Ridder, 1994)
26
Gambar 2.10. Uji pompa (Krusmen & Ridder, 1994)
Ada beberapa parameter hidrolik yang penting yaitu Debit Air (Q),
Koefisien Transmisitas (T), Konduktifitas Hidrolik (K), dan Koefisien Isian (S).
a. Debit air (Q) dengan satuan m3/s.
Q = (V) . A
= (K . i) . A
= K (i) . A
= K (dh/dl) . A
Q ini dapat diasumsikan sebagai volume air yang dikeluarkan per satuan
waktu.
b. Koefisien Transmisitas (T) dengan satuan m2/s.
Satuan yang menunjukkan kecepatan aliran di bawah satu unit gradien
hidrolik melalui sebuah penampang pada seluruh tebal jenuh suatu akuifer.
27
c. Konduktifitas Hidrolik (K) dengan satuan m/s.
Dapat didefinisikan sebagai sebuah koefisien yang secara proporsional
menggambarkan kecepatan air yang dapat melaju melalui permeabel
dalam unit waktu dan gradien hidrolik. Densitas dan viskositas air harus
diperhatikan dalam mendeterminasi konduktifitas hidrolik.
d. Koefisien Isian (S) tanpa satuan.
Merupakan nilai yang menyatakan volume air yang dapat dikeluarkan atau
dimasukkan dari/ke akuifer pada unit luas dan per unit perubahan paras
muka air.
2.3.1.2. Mata Air
Pengamatan karakteristik airtanah dapat dilakukan berdasarkan
pengamatan pada lokasi kemunculannya di permukaan. Secara alami
kemunculannya di permukaan berupa suatu mata air. Pengamatan lainnya dapat
dilakukan berdasarkan pengamatan muka airtanah di sumur/lubang bor.
Jenis mata air didasarkan pada kontrol geologi (baik struktur maupun
litologi) dan topografi (fetter, 1994) yaitu :
1. Depression spring (mataair depresi)
Mata air yang disebabkan karena permukaan tanah memotong muka air
tanah (water table).
2. Contact springs (mataair kontak)
Mata air akibat kontak antara lapisan akuifer dengan lapisan impermeabel
pada bagian bawahnya.
28
3. Fracture artesian springs (mataair Rekahan)
Mata air yang dihasilkan oleh akuifer tertekan yang terpotong oleh struktur
impermeabel.
4. Sinkhole Springs (mataair sinkhole)
Mata air yang terjadi akibat pelarutan batuan oleh air tanah.
5. Fault Springs (mataair patahan)
Mataair yang terjadi akibat adanya struktur patahan pada suatu lapisan
akuifer tertekan.
6. Joint Springs (mataair kekar)
Mataair yang dihasilkan dari celah-celah kekar pada suatu lapisan akuifer
tertekan.
Gambar 2.11. Jenis-jenis mata air didasarkan kontrol geologi dan topografi
(Sumber : Fetter 1994).
29
2.3.2. Kimia Air Tanah
Pembahasan mengenai kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat dalam air
tanah akan sangat membantu mengenai genesa airtanah serta kegunaanya dalam
budi daya manusia. Airtanah yang mengalir akan melewati akuifer dengan jenis
litologi yang berbeda-beda dan kandungan mineral yang berbeda pula, hal tersebut
akan berakibat pula dengan kandungan unsur kimia yang terkandung juga
berbeda.
Properti fisika dan kimia yang dapat dikenali di lapangan dan merupakan data
primer yang wajib diketahui dalam penelitian tentang kimia airtanah antara lain,
temperatur (0C), derajat keasaman (pH), Total Dissolved Solid (TDS) dan Daya
Hantar Listrik (DHL). Aspek-aspek tersebut dapat diukur secara kuantitatif
menggunakan alat ukur tersendiri dan harus dilakukan langsung di lokasi tubuh
sumber air, sehingga data yang didapatkan belum berubah sesuai dengan kondisi
sebenarnya.
Gambar 2.12. Hubungan temperatur udara dengan ketinggian (Matthess,1982).
30
Temperatur
Temperatur air tanah pada waktu dan tempat tertentu merupakan hasil dari
bermacam proses pemanasan yang terjadi di bawah dan atau di permukaan bumi.
Dari perbandingan antara temperatur air pada tubuh air dengan temperatur rata-
rata udara lokal saat pengukuran akan diketahui adanya zonasi hipertermal (Tair >
Tudara), mesotermal (Tair = Tudara), dan hipotermal (Tair < Tudara) seperti
terlihat pada gambar 2.12. Semakin tinggi lokasi pengukuran semakin rendah
temperatur udara. Sehingga untuk menentukan zonasi temperatur, perlu
diperhatikan gradien temperatur udara yang berlaku di daerah tersebut.
Kenaikan temperatur airtanah tidak selalu berhubungan dengan gradien
geotermik, tetapi bisa disebabkan oleh pengaruh aktifitas magmatic di bawah
permukaan. Komposisi kimia airtanah dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk
membedakan kedua faktor di atas. Kenaikan temperatur air tanah menyebabkan
kandungan ion-ion terlarut di dalam air semakin besar dan secara tidak langsung
akan menambah property kimia dan fisika air.
pH
pada temperatur 25oC keaktifan ion H
+ dan ion OH
- pada air adalah 9
-4,
sehingga dengan asumsi konsentrasi H+ = OH- (1 X 9-7 mol/liter) maka nilai pH
air murni = 7. Faktor utama penentu keaktifan ion adalah jumlah reaksi kimia
yang melibatkan ion hydrogen. Reaksi kimia akan meningkat seiring dengan
perubahan temperature air. Perubahan temperature menyebabkan pH air berubah,
dan perubahan pH air tersebut bergantung pada jenis endapan akuifernya.
31
Air yang bersifat asam (pH < 7) terdapat pada daerah-daerah dengan endapan
volkanik. Sedangkan air yang bersifat basa (pH > 7) terdapat pada daerah-daerah
dengan batuan ultramafik (Hem, 1985).
Daya Hantar Listrik (DHL)
Daya Hantar Listrik (Specific Conductivity atau Konduktivitas) ukuran
kemampuan suatu zat menghantarkan arus listrik dalam temperature tertentu yang
dinyatakan dalam micromohs per centimeter 0C. Satuan yang lebih umum
digunakan adalah mikrosiemens (µS). Untuk menghantarkan arus listrik ion-ion
bergerak dalam larutan memindahkan muatan listriknya (ionic mobility) yang
bergantung pada ukuran dan interaksi antar ion dalam larutan.
Setiap airtanah memiliki nilai DHL yang berbeda-beda tergantung dari ion-ion
logam yang dikandungnya.
Tabel 2.5 Nilai daya hantar listrik berbagai jenis air (Mandel, 1981)
Jenis Air Nilai DHL
Air Destilasi (aquades) 0,5 – 50 µS
Air Hujan 5,0 – 30 µS
Airtanah segar 30 – 2.000 µS
Air laut 45.000 – 55.000 µS
Air garam >90.000 µS
Nilai konduktifitas merupakan fungsi antara temperatur, jenis ion-ion
terlarut, dan konsentrasi ion terlarut. Peningkatan ion-ion terlarut menyebabkan
32
nilai konduktivitas air juga meningkat. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai
konduktivitas yang terukur merefleksikan konsentrasi ion yang terlarut pada air.
Total Dissolved Solid (TDS)
Konsentrasi ion-ion terlarut pada airtanah dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu kondisi lingkungan yang dilewati air dalam perjalanan dan kondisi batuan
dimana tempat air itu berada. Kandungan nilai TDS berbanding lurus dengan nilai
daya hantar listrik. Semakin tinggi nilai daya hantar listrik suatu air dapat
mengindikasikan jumlah TDS yang dikandungnya semakin tinggi pula.
Setiap airtanah memiliki nilai TDS yang berbeda-beda, tergantung dari jumlah
konsentrasi ion-ion terlarut yang dikandungnya.
Tabel 2.6 nilai TDS untuk berbagai jenis (Freeze and Cheery, 1979)
kategori Nilai TDS (mg/l atau g/m2)
Fresh water 0 – 1.000
Brackish water 1.000 – 10.000
Saline water 10.000 – 100.000
Brine water >100.000
33
2.3.3 Fasies Airtanah
Fasies airtanah adalah identifikasi jenis airtanah berdasarkan perbedaan dan
genesa air yang berhubungan dengan sistem dan tubuh tempat keterdapatan
airtanah (Back, 1961,1966 ; Morgan and Winner, 1962 ; Seaber, 1962 dalam
Freeze and Cheery, 1979). Fasies hidrokimia airtanah juga dinyatakan sebagai
zona dengan komposisi kation dan anion dalam kategori yang berbeda. Pembagian
fasies airtanah ini dapat dilihat pada Triliniear diagram yang umum digunakan
yaitu diagram Piper (1944) (Gambar 2.13). Unsur-unsur kimiawi yang digunakan
untuk fasies airtanah terdiri atas ion-ion Mg2+
, Ca2+
, Na+, K
+, Cl
-, SO4
2-, dan
HCO3-.
Gambar 2.13 diagram klasifikasi fasies anion kation airtanah
dalam persentasi ion utama menggunakan diagram Piper (1944).
34
Diagram ini menunjukkan bagaimana “Diagram Piper” dapat digunakan
dalam mengklasifikasi airtanah untuk mengetahui fasies kimia airtanahnya.
Apabila suatu sampel air dominan diplot pada bagian atas dari kedua segitiga
anion dan kation, maka air tersebut termasuk ke dalam tipe Magnesium – Sulfat.
Apabila suatu sampel air dominan diplot pada bagian bawah kiri dari segitiga
kation dan bawah kanan dari segitiga anion, maka air tersebut termasuk ke dalam
tipe Kalsium – Clorida. Jika sampel diplot dalam kedua segitiga (anion-kation)
berada di tengah-tengah segitiga, maka ini merupakan tipe non dominan.