BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gantangan · membentuk keteraturan dalam sistem sosial masyarakat...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gantangan · membentuk keteraturan dalam sistem sosial masyarakat...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gantangan
Gantangan berasal kata dari “gantang”, yaitu satuan ukur dengan
nilai 1 gantang = 10 liter beras. Artinya, gantangan adalah pertukaran
beas (beras) dan artos (uang) yang dilakukan antar tetangga/kenalan
kepada bapak hajat (penyelenggara hajatan) sebelum atau ketika pesta
hajatan berlangsung dan jumlahnya dicatat dalam buku catatan oleh juru
tulis pencatat Gantangan. Beas dan artos tersebut akan menjadi simpanan
bagi tamu undangan/penyumbang dan menjadi hutang yang kelak harus
dibayarkan oleh bapak hajat.
Gantangan dapat dilihat sebagai suatu kelompok sosial (social
group) karena didalamnya terdapat “two or more individuals who are
connected by and within social relationships”. Kelompok sosial
gantangan ini juga memiliki struktur (the underlying pattern of roles,
norms, and relations among members that organizes group),
kesalingtergantungan (the state of being dependent to some degree on
other people, as when one’s outcomes, actions, thoughts, feelings, and
experiences are determined in whole or in part by others) dan kohesivitas
kelompok (the strength of the bonds linking individuals to and in group)
(Forshyth, 2010:2-10)
Gantangan dapat pula dilihat sebagai kebiasaan (folkways) yang
berubah menjadi adat istiadat (custom) karena di dalamnya terkandung
beragam peran (roles), aturan (rules), prosedur (procedures), dan sanksi
(sanction) yang membangunnya. Segenap perangkat itulah yang
membentuk keteraturan dalam sistem sosial masyarakat pedesaan
sehingga pola pertukaran tersebut dapat terus dilakukan berulang-ulang.
Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah sistem arisan, karena
gantangan ini memiliki pola yang mirip dengan arisan, dimana setiap
anggota yang terlibat di dalamnya pada waktu tertentu mendapatkan
giliran untuk mendapatkan akumulasi simpanan (narik) dari seluruh
anggota lainnya, tentu saja setelah dia juga secara rutin menyimpan
kepada rumah tangga lainnya.
Gambar 4. Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan
Gantangan juga dapat dianggap sebagai sebuah sistem jaminan
sosial informal berbasis komunitas. Sebab, melalui gantangan yang bisa
digelar sewaktu-waktu ini, rumah tangga di pedesaan dapat memenuhi
kebutuhan mendesaknya melalui bantuan (pinjaman atau hutang) kepada
saudara dan tetangga di desanya. Tentu saja tanpa persyaratan atau
jaminan tertentu, kecuali janji dan kepercayaan antar sesama anggota
masyarakat itu sendiri. Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah pola
resiprositas atau hubungan timbal balik, dimana setiap rumah tangga
saling memberi (menyimpan) dan menerima (narik) dalam jumlah dan
waktu pengembalian yang tidak tentu, tetapi pasti. Gantangan ini juga
dapat dilihat sebagai sebuah pola pertukaran sosial, dimana setiap anggota
Gantangan
Arisan
Pertukaran Sosial
Modal Sosial
Perspektif
Jaminan Sosial Informal
Kelompok Sosial
Kebiasaan & Adat Istiadat
Resiprositas
gantangan ini telah mempertimbangkan secara rasional aspek biaya dan
manfaat dari keterlibatannya. Setiap rumah tangga berupaya untuk
mendapatkan keuntungan (sunda : aya leuwihna, indonesia : ada
lebihnya) melalui sistem gantangan ini. Selain itu, gantangan ini juga
merupakan bentuk modal sosial lokal, dimana pola jaringan (network),
norma (norms) dan kepercayaan (trust) telah terbangun dengan mapan
untuk mewadahi tujuan-tujuan individual maupun kolektif masyarakat di
pedesaan Subang.
2.2. Resiprositas
Resiprositas merupakan transaksi antara dua kelompok, dimana
barang dan jasa yang memiliki nilai setara dipertukarkan. Hal ini mencakup
pula pemberian hadiah. Motif dalam pertukaran adalah untuk memenuhi
kewajiban sosial dan mungkin untuk memperoleh semacam prestise dalam
proses tersebut. Bronislaw Malinowski (1884-1942) pada tahun 1922
melakukan sebuah studi tentang kegiatan ekonomi suku asli kepulauan
Papua Melanesia. Dari hasil studinya, selain menekankan pentingnya peran
kekeluargaan dan kepala suku dalam sistem produksi dan pertukaran, ia
juga mengidentifikasi adanya berbagai bentuk pemberian murni (suami
kepada istri, orang tua kepada anak). Selain itu, ada juga pertukaran
barang-barang untuk hal non-ekonomis, seperti hak (privileges) dan gelar.
Beberapa tahun kemudian, Marcell Mauss (1872-1950) menulis sebuah
buku berjudul “The Gift” (pemberian hadiah) yang mengungkapkan adanya
kewajiban-kewajiban yang mengikat kepada si pemberi untuk memberi, si
penerima untuk menerima dan si penerima untuk membalas (reciprocate)
dengan waktu dan jumlah pengembalian yang terbuka untuk berbagai
kemungkinan (Smelser, 1990:33-35).
Sementara itu, Karl Polanyi (1886-1964) mengatakan bahwa
resiprositas merupakan salah satu dari ciri yang melekat dalam masyarakat
pra-industri disamping redistribusi rumah tangga. Resiprositas itu sendiri
menurutnya merupakan gerakan di antara kelompok-kelompok simetris
yang saling berhubungan dan hal ini dapat terjadi jikalau hubungan timbal
balik antar individu itu sering dilakukan (Damsar, 2006:24). Dari berbagai
literatur yang ada, maka kita dapat klasifikasikan beberapa bentuk dari
resiprositas, antara lain:
2.2.1 Resiprositas umum (generalized reciprocity)
Suatu model pertukaran dimana nilai pemberian (hadiah)
maupun waktu pembayaran kembali tidak dikalkulasikan secara
spesifik. Misalnya, praktek pendistribusian makanan. Umumnya
resiprositas umum berlangsung antar kerabat dekat atau antar orang
yang memiliki ikatan sangat erat
2.2.2 Resiprositas seimbang (balanced reciprocity)
Suatu model pertukaran dimana si pemberi maupun si
penerima memiliki kekhususan dalam nilai barang dan waktu
pemberiannya. Misalnya, arisan. Pemberian, penerimaan, dan
berbagi bersama digambarkan membangun suatu bentuk jaminan
sosial atau asuransi sosial. Mekanisme bertingkat juga bekerja
dalam proses resiprositas umum maupun seimbang
2.2.3 Resiprositas negatif (negative reciprocity)
Suatu bentuk pertukaran dimana si pemberi mencoba
mendapat lebih baik dari pertukaran tersebut. Kelompok yang
terlibat memiliki kepentingan berbeda, dan tidak berhubungan
dekat. Bentuk ekstrim dari resiprositas negatif adalah mengambil
sesuatu dengan kekerasan atau paksaan
Dalam konteks pedesaan, norma-norma dan prosedur-prosedur yang
berlaku di sebuah desa tidak lain merupakan pencerminan dari masalah-
masalah berat yang dihadapi oleh petani. Pada titik inilah etika subsistensi
menemukan ekspresi sosialnya dalam bentuk pola-pola kontrol sosial dan
resiprositas yang memberi struktur pada tindak-tanduk sehari-hari. Dalam
desa pra-kapitalis, lembaga-lembaga yang dikuasai para petani diorganisir
untuk memberi jaminan kepada yang lemah dari kejatuhan dengan
memberikan tuntutan-tuntutan tertentu kepada petani yang lebih kaya. Jadi,
dalam hubungan petani dengan sesama warga desanya, titik perhatiannya
adalah keterikatannya pada norma dan peran mereka (Popkin, 1986:8-9).
2.3. Pilihan Rasional, Pertukaran Sosial dan Jaringan Pertukaran
2.3.1. Pilihan Rasional
Seperti kita tahu, banyak dari para peletak dasar teori
sosiologi klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak
bangunan teoritisnya, misalnya Comte yang melihat evolusi
masyarakat dari sisi tahap-tahap perkembangan intelektual, Sorokin
melihatnya dari mentalitas budaya, Marx dari konflik kelas,
Durkheim dengan konsep solidaritas sosial, dan Weber dengan
perkembangan rasionalitasnya (Johnson, 1986:207). Dalam konteks
tersebut, Teori Pilihan Rasional merupakan perkembangan lebih
lanjut dari teori tentang perkembangan rasionalitas manusia. Teori ini
adalah salah satu cabang sosiologi yang paling banyak dipengaruhi
oleh ilmu ekonomi. Meskipun demikian, teori pilihan rasional dalam
sosiologi berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi.
Sosiologi dalam teori pilihan rasional ini mengasumsikan
bahwa aktor bertindak secara rasional dalam arti yang luas. Tidak
seperti teori-teori sosiologi lainnya yang menganggap bahwa
tindakan individu dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab yang
ada di belakangnya, teori pilihan rasional menganggap aktor sebagai
pembuat keputusan yang memiliki kesadaran penuh dan secara
signifikan dipengaruhi oleh nilai biaya dan manfaat dari berbagai
tindakan alternatif lainnya (Hedstrom & Steren, 2007:2). Sebagian
besar teori pilihan rasional tidak hanya menjelaskan tindakan
individu tunggal, tetapi juga berfokus pada penjelasan makro tentang
kemunculan sebuah norma, pola-pola kelembagaan dan beragam
bentuk tindakan kolektif. Oleh karenanya, teori ini berfokus pada
berbagai tindakan dan interaksi yang membentuk institusi sosial
tersebut (Hechter & Kanazawa, 1997:2009).
Contoh :
Gambar 5. Relasi Mikro-Makro Coleman (1986) dalam Hedtsrom & Stern
(2007:9, Coleman (2010:11)
Dalam teori pilihan rasional, kita harus lebih menekankan
perhatian pada hubungan antara makro-mikro. Kita harus berfokus
pada bagaimana jaringan, norma-norma sosial, proses sosialisasi, dan
lain sebagainya mempengaruhi orientasi tindakan individu
A D
B C
Makro :
Mikro :
Doktrin religius protestan
Nilai-nilai ekonomi Perilaku
Kapitalisme
(kepercayaan, preferensi, dan lain sebagainya) (A B). Kemudian,
bagaimana orientasi tindakan tersebut mempengaruhi individu dalam
bertindak (B C). Dari tindakan-tindakan individu itulah kemudian
kita dapat menerangkan tentang fenomena sosial sebagai hasil
interaksi sosial makro-mikro tersebut (CD). Berbeda dengan ilmu
ekonomi yang cenderung matematis, pendekatan dalam sosiologi
bersifat induktif dan empiris.
Selain itu, sebagaimana pemahaman Weber tentang tindakan
rasional, menurutnya tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai
manifestasi dari rasionalitas. Emosi-emosi tertentu seperti
kemarahan, penderitaan, cinta, ketakutan dan lain sebagainya
seringkali diungkapkan individu dalam bentuk perilaku yang sepintas
lalu terlihat tidak rasional. Tetapi orang pasti dapat mengerti
(verstehen) perilaku itu kalau dia tahu emosi mendasar yang sedang
diungkapkannya. Dengan demikian, tindakan rasional itu
berhubungan dengan pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan
itu dinyatakan/diwujudkan (Johnson, 1980:220).
Namun demikian, rasionalitas itu sendiri secara metodologi
dapat didekati melalui dua pendekatan, yaitu : pendekatan
individualistik dan komunitarian. Pendekatan individualistik berakar
dari pemikiran ekonom neoklasik dan filsafat pilihan rasional yang
dikemukakan oleh Hobbes, Hume dan Kant (Di Caccio, 2005:44).
Dalam pendekatan ini, individu dianggap sebagai makhluk yang
bebas dan independen dalam mengambil suatu keputusan. Sebagai
agen yang rasional, individu mengambil keputusan atau tindakan
hanya berdasarkan pada pertimbangan konsekuensi dan kegunaan
dari pilihan mereka (the consequences-utilities-of their acts).
Pendekatan ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek diluar
individu itu sendiri, seperti sistem nilai, kebudayaan, solidaritas dan
sebagainya.
Berlawanan dengan pendekatan individualistik adalah
pendekatan komunitarian, yaitu pendekatan yang percaya bahwa
pilihan rasional atau perilaku individu itu sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai kebudayaan yang melekat dalam diri individu yang
dipelajarinya secara pasif dalam komunitas tradisional. Seperti
dikemukakan oleh Becker (1996) dalam Di Caccio, 2005:49
“individual’s preferences are also inffluenced by the decisions of the people whom the individual is related to”. Maka dari itu, implikasi dari pandangan komunitarian ini
adalah kita harus memberikan interpretasi yang holistik terhadap
struktur sosial yang mendasarinya. Selain itu, otomatis kebebasan
individual (individual’s freedom) dalam memilih menjadi masalah
nomor dua. Disinilah tarik menarik antara kebebasan (freedom) dan
solidaritas (solidarity) itu menjadi menarik, mana sebenarnya yang
lebih dominan mempengaruhi pilihan rasional individu?
2.3.2. Pertukaran Sosial
Jika teori pilihan rasional dapat menjelaskan mengapa orang
melakukan suatu tindakan/perilaku? maka kita dapat menggunakan
teori pertukaran sosial dengan tujuan untuk memprediksi (predict)
dan menjelaskan (explain) suatu perilaku. Teori pertukaran ini
merupakan hasil mutasi atau varian dari model pilihan rasional dan
behaviorisme. Ia adalah kombinasi antara asumsi dasar behaviorisme
(operant psychology) dan teori kegunaan (utility maximization)
dalam ilmu ekonomi (Zafirovski, 2005:31). Selain dari ekonomi dan
psikologi, teori pertukaran juga berhutang pada Simmel - yang
disebut Homans sebagai “the ancestor of small-group research” –
yang telah memberikan basis teori tentang perilaku sosial dasar
(elementary social behaviour) (Homans, 1958:597). Beberapa
definisi dan penjelasan tentang pertukaran sosial ini antara lain
(Cook, 1977:62-82):
Hubungan pertukaran (exchange relations) (contoh Ax:By)
dibangun dari beragam transaksi intensif yang menghasilkan
transfer sumberdaya (x, y, …) antara dua aktor atau lebih (A,B,
…) untuk mendapatkan manfaat bersama (mutual benefit)
Dalam berbagai hubungan pertukaran Ax:By maka kekuasaan
(power) A terhadap B (Pab) adalah kemampuan dari A untuk
menurunkan rasio x/y
Ketergantungan A terhadap B (Dab) adalah fungsi dari (1)
penilaian A terhadap sumberdaya yang diterimanya dari B dan (2)
ada tidaknya alternatif lain untuk melakukan hubungan pertukaran
Hubungan pertukaran Ax:By dikatakan seimbang jika Dab=Dba,
tidak seimbang jika Dab-Dba
Selain itu, teori pertukaran ini memiliki beberapa asumsi
dasar dan proposisi kunci, antara lain :
Perilaku sosial adalah bentuk dari pertukaran, baik material
maupun non-material seperti simbol penerimaan dan gengsi
(G.C.Homans, 1958:597)
Manusia memberikan sesuatu dengan harapan akan mendapatkan
balasannya kemudian (Marcell Mauss)
Seseorang yang memberi banyak kepada orang lain sebenarnya
sedang berharap mendapatkan lebih banyak dari mereka dan
seseorang yang menerima banyak dari orang lain akan berada
dalam tekanan untuk memberi/mengembalikan lebih banyak pula.
This process of influence tends to work out at equilibrium to a
balance in the exchange (G.C. Homans:1958:606)
Setiap hubungan sosial berbasis pada pertimbangan biaya dan
manfaat. Orang akan tetap mempertahankan hubungan jika
manfaat (material dan non-material) yang diperolehnya lebih besar
daripada biaya yang dikeluarkannya (G.C. Homans)
Frekuensi dalam interaksi sosial (intensitas) akan mempengaruhi
struktur dan keseimbangan dalam pertukaran sosial (Peter M.
Blau)
b + j
b + j
A B
6.1. Pertukaran Barter
6.2. Pertukaran dengan janji bayar
b + j
Pa
A B
Pa
b + j
A B
Waktu 1
Waktu 2
Gambar 6. Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial (Coleman,
2010:165-166)
6.3. Pertukaran dengan janji bayar pihak ketiga
b + j
Pa
A B
Waktu 1 b + j
Pa
A B
Waktu 2
Waktu 3 b + j
Pa
A B
Pd Pb
6.4. Pertukaran dengan janji dari bank sentral
b+j b+j
b+j b+j
Pa Pa
Pa Pa
E
B D
C
A
Keterangan : b = barang, j = jasa, P =janji A-E = Aktor
Konsep pertukaran sosial Peter M. Blau (1964)
mengungkapkan bahwa tindakan seseorang akan berhenti jika reaksi
yang diharapkan tidak kunjung datang. Artinya, ketika ikatan antara
individu dengan individu atau kelompok terbentuk, maka hadiah
yang saling mereka pertukarkan di dalamnya akan membantu
mempertahankan ikatan diantara mereka. Ketika hadiah dirasa tidak
memadai oleh satu pihak atau keduanya, maka ikatan diantara
mereka bisa jadi melemah atau hancur. Selain itu, ketika ada
seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain tetapi ia tidak
memiliki sesuatu yang sebanding untuk dipertukarkan, maka akan
terjadi empat kemungkinan, pertama, ia akan memaksa orang lain
untuk membantunya, kedua, ia akan mencari sumber lain untuk
memenuhi kebutuhannya, ketiga, ia akan terus mencoba bergaul
dengan baik tanpa mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari orang
lain dan keempat, ia akan menundukkan diri terhadap orang lain (ciri
esensial dari kekuasaan).
Blau sendiri memulai dari premis dasar bahwasanya interaksi
sosial itu memiliki nilai bagi individu. Dengan mengeskplorasi
beragam nilai inilah kemudian Ia memahami hasil kolektif dari
interaksi sosial tersebut, termasuk didalamnya distribusi kekuasaan di
dalam masyarakat (Scott & Calhoun, 2004:10-11). Menurut Peter M.
Blau, seseorang melakukan interaksi sosial untuk satu alasan yang
sama, yaitu mereka membutuhkan sesuatu dari orang lain. Selain itu,
seseorang berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan orang lain
tidak semata hanya karena motif transaksi ekonomi dan norma
resiprositas saja, melainkan juga karena dengan pemberian (gives)
mereka itu dapat memberikan peluang untuk mendapatkan kekuasaan
(power).
“the tendency to help others is frequently motivated by the expectation that doing so will bring social rewards” (Blau, 1964)
Blau percaya bahwasanya struktur sosial itu terbentuk dari
interaksi sosial, akan tetapi ia juga meyakini bahwa segera setelah
struktur sosial itu terbentuk maka ia akan sangat mempengaruhi
interaksi sosial itu sendiri (fakta sosial). Dengan demikian,
pendekatan pertukaran sosial Blau bergerak dari aras mikro subjektif
hingga ke makro objektif (struktur sosial) dengan memberikan
penjelasan saling pengaruh diantara keduanya. Penghubung antara
kedua aras itu menurut Blau adalah Nilai dan Norma (konsensus)
yang berkembang dalam masyarakat setempat. Menurut Blau,
“konsensus mengenai nilai sosial menyediakan basis untuk
memperluas jarak transaksi sosial melampaui batas-batas kontak
sosial langsung dan untuk mengekalkan struktur sosial melampaui
batas umur manusia” (Ritzer & Goodman, 2010:373). Kita bisa
melihat dalam konteks modal sosial gantangan dimana norma dan
nilai silih bantu (resprositas) yang disepakati ini dapat tertanam
dengan kuat dan berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
sekalipun dengan perubahan dan transformasi pola yang terus
berkembang.
Sebagaimana dikemukakan oleh Peter M. Blau, terdapat
empat (4) langkah proses atau tahapan dari pertukaran antar pribadi
ke struktur sosial hingga perubahan sosial (Ritzer & Goodman,
2010:369) antara lain :
Langkah 1: pertukaran atau transaksi individu yang meningkat ke ….
Langkah 2: diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke ….
Langkah 3: Legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit
dari …
Langkah 4: oposisi dan perubahan
Pada tingkat kemasyarakatan, misalnya, Blau membedakan
antara dua jenis organisasi sosial, yaitu kelompok sosial asli dan
organisasi sosial yang dengan sengaja didirikan untuk mencapai
keuntungan maksimal (Ritzer & Goodman, 2010:371). Kedua jenis
organisasi sosial ini nantinya dapat menjadi dasar untuk menjelaskan
bagaimana munculnya varian tipe dan pola pertukaran dalam modal
sosial gantangan, yakni ketika tipe nyambungan (gift) yang asli
mampu melahirkan organisasi sosial baru dalam bentuk Gintingan
dan Golongan/Rombongan yang mirip dengan arisan dan bertujuan
untuk memaksimalkan keuntungan bagi anggotanya.
Gintingan dan Golongan ini nantinya dapat kita sebut sebagai
sebuah “jaringan pertukaran” yaitu sebuah struktur sosial khusus
yang dibentuk oleh dua aktor atau lebih yang menghubungkan
hubungan pertukaran diantara para aktor (Cook, 1977, 62-82). Dalam
jaringan pertukaran inilah kemudian kita akan memahami
bahawasanya kekuasaan seseorang atas orang lain dalam hubungan
pertukaran adalah kebalikan fungsi dari ketergantungannya terhadap
orang lain. Hal ini terjadi karena pemahaman bahwa setiap sistem
yang terstruktur itu cenderung terstratifikasi, sehingga komponen
tertentu pasti tergantung pada komponen lainnya. Dengan kata lain,
akses individu atau kelompok terhadap sumber daya yang bernilai itu
berbeda sehingga menimbulkan kekuasaan dan ketergantungan.
Maka premis dasar dalam teori pertukaran jaringan (network
exchange theory) adalah “semakin besar peluang aktor untuk
melakukan pertukaran, semakin besar kekuasaan si aktor” (Ritzer &
Goodman, 2010:387). Dengan memahami relasi antara pertukaran
sosial, jaringan pertukaran dan pertukaran jaringan inilah kita akan
mampu menjelaskan bagaimana proses komersialisasi sosial
(komodifikasi dan sistem bandar) dalam pertukaran sosial gantangan
di pedesaan Subang ini.
2.3.3. Jaringan Pertukaran
Kekuasaan (power) adalah dimensi utama yang membentuk
ketidakseimbangan di dalam masyarakat. Kekuasaan juga merupakan
faktor yang menentukan pilihan-pilihan hidup (life chances) individu.
Ia adalah fokus utama yang dipelajari dalam ilmu-ilmu sosial dan
politik, bahkan sejak jaman Hobbes, Machiavelli, Marx dan Weber.
Apa yang menentukan seseorang/kelompok memiliki kekuasaan dan
bagaimana kekuasaan itu dimainkan adalah isu utama dari kajian
tentang kekuasaan ini. Salah satu teori paling berpengaruh dalam
membahas kekuasaan ini adalah hasil analisis dari Emerson (1972)
tentang “relasi kekuasaan-ketergantungan” (power-dependence
relations). Kajian tersebut merupakan salah satu isu utama dalam
psikologi sosial kontemporer, dimana ia menyempurnakan karya-
karya sebelumnya tentang teori pertukaran sosial yang dibangun oleh
Homans dan Blau (1964).
Menurut Blau dan Emerson, hubungan antara kekuasaan dan
pertukaran sosial ini sangatlah jelas. Faktanya adalah ketika
seseorang menguasai sumber daya yang paling bernilai di dalam
suatu masyarakat maka secara otomatis ia mendapat posisi sebagai
social debts dalam pertukaran serta menciptakan ketimpangan dan
subordinasi dalam relasi pertukaran tersebut. Dominasi oleh mereka
yang lebih berkuasa tersebut yang menimbulkan ketimpangan dalam
hubungan pertukaran. Ketimpangan dan diferensiasi kekuasaan inilah
yang dilihat oleh Blau sebagai sesuatu yang pasti muncul dalam
proses pertukaran sosial. Perbedaan alamiah dalam kepemilikan
sumberdaya yang bernilai diantara para aktor menghasilkan saling
ketergantungan dan kebutuhan untuk saling bertukar. Kondisi ini
juga menjadi dasar lahirnya ketimpangan dalam hasil pertukaran
(sesuai dengan perbedaan kekuasaan diantara para aktor dalam
jaringan pertukaran tersebut).
Hubungan pertukaran antara dua aktor, A dan B, menurut
Emerson (1972), dapat digambarkan sebagai berikut :
Kekuasaan aktor A terhadap aktor B dalam hubungan pertukaran Ax:By (dimana x dan y merepresentasikan nilai sumberdaya) meningkat sebagai fungsi dari nilai y bagi A dan menurun secara proporsional pada derajat ketersediaan y bagi A dari alternatif sumberdaya yang ada (selain dari B). Dua faktor ini, nilai sumberdaya dan ketersediaan sumberdaya, mempengaruhi level ketergantungan B terhadap A dan kekuasaan A terhadap B. Semakin besar ketergantungan B terhadap A, semakin besar kekuasaan A terhadap B. Postulat dalam hubungan pertukaran ini adalah bahwa basis kekuasaan itu adalah ketergantungan (power is based on dependence) yang kemudian diformulasikan oleh Emerson :
Pab = Dba
(Ketergantungan B terhadap A merupakan fungsi positif dari “motivasi investasi” B dalam mencapai “Tujuan yang dimediasi” oleh A dan menjadi fungsi negatif dari “ketersediaan tujuan tersebut” bagi B diluar hubungan A-B)
Dalam pertukaran Gantangan, teori diatas dapat menjelaskan
fenomena tentang mengapa ketika orang kaya (tokoh masyarakat,
tokoh berpengaruh, elit desa, penguasa=A) melakukan hajatan, maka
sebagain besar warga (B) berbondong-bondong menyimpan beras
dan uang dalam jumlah yang lebih banyak/besar dari biasanya.
Sebab, B termotivasi untuk mendapatkan pengembalian yang sama
besar atau lebih besar kelak ketika mereka hajatan (goals). B melihat
bahwa A memiliki sumberdaya yang mencukupi dan dapat dipercaya
untuk mengembalikan simpanan mereka. Disamping itu, tidak
banyak pilihan elit/orang kaya di desa tersebut, sehingga B akan
memaksimalkan kesempatan tersebut.
Meskipun formula dasar Emerson diatas berfokus pada
hubungan dua aktor (dyadic), namun ciri hubungan pertukaran A:B
tersebut melekat juga dalam jaringan pertukaran yang melibatkan
multi aktor (C,D,…N). Struktur sosial dari peluang pertukaran
dibangun dari basis teori struktural tentang kekuasaan dari Emerson.
Satu dari dua penentu utama kekuasaan adalah peluang adanya
pertukaran yang melekat di dalam jaringan. Jaringan (networks),
dalam kerangka Emerson, dibentuk oleh relasi sosial yang terhubung
untuk memperpanjang/memperluas pertukaran dalam satu hubungan
saling mempengaruhi. Menurut Emerson, koneksi tersebut dapat
bersifat positif atau negatif. Hubungan negatif berarti pertukaran
dalam satu relasi mengurangi jumlah atau frekuensi pertukaran dalam
relasi yang lain. Sebagaimana diungkapkan oleh Bourdieu bahwa
jaringan bukanlah sesuatu yang alamiah (natural given), melainkan
harus dikonstruksi oleh masing-masing individu sebagai sebuah
investasi yang strategis (Portes, 1998:3).
Contoh : A-B dan B-C, hubungan pertukaran dikatakan negatif bagi B jika pertukaran dalam hubungan A-B mengurangi frekuensi atau jumlah pertukaran dalam hubungan B-C. Sebaliknya, hubungan pertukaran dikatakan positif jika
pertukaran dalam hubungan A-B meningkatkan jumlah atau frekuensi dalam hubungan B-C
Emerson sendiri mengadopsi operant psychology sebagai
pondasi perilaku dalam teorinya, sebab ia melihatnya sebagai teori
sosial yang bersifat mikro-level. Namun kemudian, Cook dan
Emerson (1978) memperkenalkan konsep lainnya termasuk resiko
(risk), ketidakpastian, dan kalkulasi rasional dari manfaat dan biaya
ke dalam teori “pertukaran sebagai perilaku sosial”. Dalam teori ini,
aktor dimotivasi oleh keuntungan masa depan,
pertimbangan/antisipasi terhadap kehilangan atau biaya, atau secara
sederhana mereka belajar dari interaksi di masa lalu yang
menguntungkan. Asumsi dasar dalam pertukaran sosial diringkas
oleh Molm (1997) antara lain :
1. Perilaku dimotivasi oleh hasrat untuk meningkatkan keuntungan
dan menghindari kerugian/kehilangan, meningkatkan hasil positif
dan mengurangi dampak negatif.
2. Hubungan pertukaran dibangun dalam struktur hubungan saling
tergantung
3. Setiap aktor terlibat dalam pengulangan, saling tergantung dalam
pertukaran dengan partner khusus/spesifik sepanjang waktu (tidak
dalam satu transaksi pendek/sekali)
4. Keluaran yang dihasilkan sesuai dengan hukum ekonomi (law of
deminishing marginal utility) atau prinsip kejenuhan (principle of
satiation) dalam psikologi.
Beberapa konsep lain yang akan sangat membantu dalam
memahami pertukaran sosial antara lain : resiprositas, keseimbangan,
kohesi, dan power-balancing operations. Emerson, sebagaimana
Homans, memberikan perhatian utama pada pondasi mikro dari
pertukaran, khususnya pada bagian I dari formulasinya :
Suatu hubungan pertukaran dikatakan seimbang jika :
Dab=Dba, yaitu ketika masing-masing aktor saling tergantung secara
equal. Emerson membangun teori pertukaran untuk menjelaskan
pengaruh kekuasaan dalam hubungan sosial. Interaksi sosial yang
melampaui hubungan dua orang adalah bentuk dari jaringan sosial
(social network) yang hubungan satu sama lain diikat oleh hubungan
pertukaran. Cook dan Emerson (1978) telah secara spesifik
menggambarkan jaringan sosial ini sebagai suatu sistem yang
menghubungkan tiga atau lebih individu yang saling bertukar nilai
barang atau jasa. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi
dimana pertukaran dua individu (dyadic) saja tidak cukup, sebab
menganalisa kekuasaan akan selalu membutuhkan penjelasan tentang
jaringan, dimana alternatif sosial menjadi muncul dalam pertukaran
jaringan ini. Ada tidaknya alternatif itulah yang menjadi salah satu
faktor kuat berjalannya suatu hubungan pertukaran.
Selain jaringan sosial, kekuasaan dalam pertukaran sosial
juga sangat dipengaruhi oleh prinsip kompetisi. Kompetisi ini
merupakan basis fundamental dalam berbagai tipe ekonomi dan
hubungan pasar. Ide pokok dalam teori ketergantungan-kekuasaan
adalah peluang dan alternatif individu tergantung kepada penurunan
peluang dan alternatif individu lainnya. Dengan demikian, struktur
dalam jaringan ini pun secara terbuka memberi peluang bagi aktor
untuk menjadi penguasa yang dominan.
Dalam membahas dinamika kekuasaan ini Emerson juga
berbicara tentang keseimbangan kekuasaan (power balancing
operations). Dengan memfokuskan pada dua variabel yang
mempengaruhi ketergantungan, Emerson mengajukan empat proses
yang mungkin membuat kekuasaan menjadi lebih seimbang (equal)
di dalam berbagai hubungan yang tidak seimbang. Contohnya :
A lebih berkuasa dari B (Pab>Pba dan Dba>Dab). Untuk
menyeimbangkan hubungan ini maka :
B dapat menurunkan level motivasinya dalam mencapai tujuan
yang dimediasi/difasilitasi oleh A
B dapat menempatkan sumber alternatif lainnya (misal aktor C)
sebagai tujuan yang dimediasi oleh A (network extension)
B dapat mencoba meningkatkan motivasi A dalam mencapai
tujuan-tujuannya yang dapat dimediasi oleh B
B dapat mencoba untuk mengeliminasi sumber alternatif dari A
untuk tujuan yang dimediasi oleh B (bentuk koalisi atau tindakan
kolektif dengan aktor lainnya)
Dengan prinsip keseimbangan-kekuasaan ini Emerson dapat
memprediksi beragam tipe perubahan dalam jaringan pertukaran
yang diproduksi oleh para aktor untuk meraih kekuasaan atau
mengelola kekuasaan di dalam suatu jaringan. Jaringan kekuasaan itu
sendiri dapat didefinisikan sebagai (Cook, 1977, 62-82):
1. Kesatuan dari tiga atau lebih aktor yang masing-masing
menyediakan kesempatan untuk bertransaksi dengan sekurang-
kurangnya satu aktor lain di dalam jaringan. Dengan demikian,
jaringan dapat dianggap sebagai “struktur kesempatan”
(opportunity structure) bagi masing-masing aktor di dalam
jaringan.
2. Dua hubungan pertukaran, A:B dan A:C adalah saling terhubung
jika frekuensi atau magnitude dari hubungan transaksi yang satu
merupakan fungsi dari hubungan transaksi yang lainnya.
3. Kategori pertukaran mewakili kesatuan dari seluruh aktor yang
memiliki sumber daya yang sama dan yang sama-sama bernilai
untuk dipertukarkan.
4. Kesatuan hubungan pertukaran mempertemukan satu aktor kepada
dua atau lebih anggota suatu kategori pertukaran yang kemudian
menghasilkan hubungan alternatif bagi aktor tersebut.
2.4. Komersialisasi Sosial
Komersialisasi adalah suatu proses sosial dimana kegiatan-
kegiatan ekonomi secara garis besar diatur atas dasar prinsip pertukaran
pasar. Secara bahasa, komersial dan komersialisasi berarti (1) mempunyai
sifat dagang (2) bersifat mencari untung (3) membuat sesuatu seperti
perdagangan untuk mencari untung (Badudu-Zain, 1996:707-708). Untuk
kepentingan penelitian terhadap sistem pertukaran sosial Gantangan di
pedesaan Subang ini, maka penulis mendefinisikan Komersialisasi Sosial
Gantangan sebagai “penciptaan hubungan-hubungan pasar dalam
lingkup pesta hajatan dan ekonomi lokal, dimana alokasi sumber daya
sosial diwujudkan dalam mekanisme harga yang terbentuk dari proses
permintaan dan pernawaran”. Disini kewajiban timbal balik (resiprositi)
terwujud dalam bentuk “nilai terhadap uang”, “imbalan yang pantas bagi
jasa yang diberikan” dan hal-hal semacam itu. Proses komersialisasi ini
mempengaruhi banyak aspek kemasyarakatan sehingga kita dapat
membicarakan suatu masyarakat yang didominasi oleh prinsip pasar.
Diluar kegiatan yang diatur oleh prinsip pasar itu juga terdapat prinsip-
prinsip pengaturan ekonomi lainnya seperti prinsip keluarga, organisasi
sukarela, dan pemerintah (Peny, 1990:134-139).
2.5. Kemiskinan
Dalam perspektif tentang kemiskinan, salah satu indikator utama
individu atau rumah tangga disebut miskin adalah akibat ketidakmampuan
atau ketertutupan akses dalam memenuhi kebutuhan pangan. Meskipun
memang banyak sekali definisi dan cara pengukuran kemiskinan yang
digunakan para ahli atau pemerintah yang berbeda satu sama lain. Akan
tetapi, ada dua kategori tingkat kemiskinan yang berlaku umum, yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan
suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan
pendidikan). Sedangkan kemiskinan relatif merupakan perhitungan
kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah.
Dikatakan relatif karena berkaitan dengan distribusi pendapatan antar
lapisan sosial (Huraerah, 2008:168). Pendekatan kemiskinan absolut
pernah digunakan oleh Sajogyo pada tahun 1971, yaitu perhitungan
kemiskinan yang dikembangkan dengan memperhitungkan standar
kebutuhan pokok berdasarkan kebutuhan beras dan gizi (pendapatan per
kapita per tahun beras). Dari perhitungan Sajogyo ini lahir tiga golongan
orang miskin, yaitu golongan paling miskin, miskin sekali dan miskin.
Tabel 1. Batas Tingkat Pengeluaran (Garis Kemiskinan) Untuk Penduduk
Perkotaan dan Penduduk Perdesaan Menurut Kategori Kemiskinan9
Kategori Kemiskinan
Batas Tingkat Pengeluaran (setara beras per kapita per tahun)
Perkotaan Perdesaan 1. Miskin 480 kg 320 kg 2. Miskin Sekali 360 kg 240 kg 3. Paling Miskin 270 kg 180 kg
9 Sajogyo (1978) dalam Said Rusli dkk (1995:6)
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2007-2010 di Provinsi Jawa
Barat
Tahun Jumlah Penduduk Miskin (000)
% Penduduk miskin
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa 2007 2
654.6 2 803.3 5 457.9 11.21 16.88 13.55
2008 3 654.6 2 705.0 5 322.4
10.88 16.05 13.01
2009 4
654.6 2 452.2 4 983.6 10.33 14.28 11.96
2010 5
654.6 2423.2 4773.7 9.43 13.88 11.27
Sumber : BPS, 2010
Meskipun demikian, dialog tentang kemiskinan ini masih terus
berkembang dengan sudut pandang yang berbeda, di satu sisi banyak pihak
menekankan pada persoalan produksi dan produktivitas masyarakat sebagai
keseluruhan, dan di sisi lain lebih menekankan pada pembagian yang
merata, keadilan dan sebagainya. Kemudian, ukuran mutlak seperti
konsumsi pangan (beras) sebagai tolak ukur kemiskinan tidak akan
mencukupi lagi, walaupun faktor-faktor tersebut juga tidak dapat
ditiadakan karena menjadi kebutuhan dasar manusia. Artinya, semakin
kebutuhan dasar terpenuhi, maka semakin tinggi pula tuntutan akan
kebutuhan sekunder dan tersier (Tjondronegoro,2008:295).
Dengan demikian, secara filosofis, makna kemiskinan relatif yang
dikemukakan oleh Simmel (1908) nampaknya lebih tepat digunakan untuk
memahami fenomena kemiskinan di pedesaan ini. Ia menyatakan bahwa
orang miskin bukan sekedar mereka yang berada pada lapisan paling
bawah masyarakat, melainkan ditemukan pada seluruh strata masyarakat.
Anggota masyarakat kelas atas, misalnya, yang lebih miskin dari
sesamanya, cenderung merasa miskin jika dibandingkan dengan
sesamanya. Oleh karena itu, sekalipun orang-orang dalam lapisan bawah
itu dapat terangkat dari kemiskinan semula, maka banyak orang yang
berada dalam sistem stratifikasi masih akan merasa lebih miskin bila
dibandingkan dengan sesamanya (Ritzer & Goodman, 2010:183)
Jika diringkas, kemiskinan merupakan masalah kekurangan
(deprivation), meskipun kekurangan atau kemiskinan relatif ini tidak
pernah lengkap untuk dijadikan pendekatan dalam mengukur kemiskinan.
Sementara pendekatan yang lebih biologis seperti jumlah konsumsi kalori,
cenderung mereduksi hanya pada pengertian kemiskinan absolut.
Kemiskinan dan ketidakadilan (inequality) juga sering dihubungkan. Akan
tetapi keduanya adalah konsep yang berbeda. Apakah kemiskinan adalah
persoalan nilai (value judgement)? Pendekatan moral ini tidaklah cocok
untuk sebuah studi pengukuran tingkat kemiskinan. Dengan demikian,
alternatif pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur kemiskinan ini
adalah dengan identifikasi dan agregasi (identification of the poor and
agregation of their poverty characteristic into an over-all measure) (Sen,
1982:9-24).
2.6. Teori Permainan
Dengan asumsi bahwa para pelaku atau orang yang terlibat dalam
pertukaran sosial gantangan ini adalah mereka yang mampu mengambil
keputusan secara bebas dan rasional, maka di akhir penelitian ini dapat
direkonstruksi suatu model pengambilan keputusan berbasis teori
permainan. Secara sederhana, teori permainan yang dikembangkan oleh
John von Neumann dan Morgenstern (1944) ini merupakan sebuah
pendekatan terhadap kemungkinan strategi yang disusun secara matematis
(logis dan rasional) serta digunakan untuk mencari strategi terbaik dalam
suatu aktivitas, dimana setiap pemain (aktor) di dalamnya sama-sama
mencapai utilitas tertinggi (Osborne & Rubinstein, 1994:1).
Dalam kajian-kajian sosiologi, teori permainan ini mulai populer
digunakan sejak tahun 1980-an. Namun demikian, penggunaan teori
permainan oleh para sosiolog ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun
1950an sampai pertengahan 1970an. Swedberg (2001:1)
mengklasifikasikan bahwa teori permainan yang dikembangkan oleh para
sosiolog pada periode 1950-1970an itu sebagai “old sociological game
theory” dan teori permainan yang dikembangkan pada tahun 1980an
sebagai “new sociological game theory”. Tabel dibawah ini akan
membantu kita memahami penggunaan teori permainan dalam analisis-
analisis sosiologis :
Tabel 3. Perbedaan penggunaan teori permainan dan analisis terkait permainan dalam kajian sosiologi dari tahun 1950-2000
Tipe teori
permainan atau pendekatan
terkait permainan
Karakteristik umum
Contoh penelitian/kajian
Topik kajian
1 Teori permainan high-tech
Penggunaan standar teori permainan dengan teknik yang tinggi (deduktif, matematis, dan model simulasi)
Raub (1988), Raub dan Weesie (1990), Heckathorn (1988, 1989), Macy dan Skvoretz (1988), montgomery (1998)
Dilema sosial terkait dengan kerjasama, tindakan kolektif dan norma-norma
2 Teori permainan low-tech
Penggunaan logika dasar dan bahasa konseptual dari teori permainan, termasuk penggunaan payoff matrix
Bernard (1964,1968) Gamson (1961) Boudon (1979) Coleman (1990)
Konflik, koalisi, koordinasi, pendidikan dan norma-norma
3 Permainan sebagai metafora umum
Kosa kata dalam teori permainan digunakan dengan tanpa pendekatan
Goffman (1961), Elias (1970), Crozier dan Thoenig (1975),
Kekuasaan, kerja, organisasi, dilema
teknis matematis (permainan, pemain, strategi, dll)
Crozier (1976), Burawoy (1979)
dalam penjara, interaksi strategis
4 Permainan khusus digunakan dalam analisis
Permainan khusus digunakan untuk menganalisis peristiwa sosial
Vinake dan Arkoff (1954), Boorman (1967), Coleman (1967,1969)
Pachisii, wei-ch’i, pengambilan keputusan kolektif,
5 Studi tentang permainan di dalam masyarakat
Permainan yang ditemukan di dalam masyarakat dianalisis secara sosiologis
Andersoon and moore (1960), Goffman (1961), Leifer (1988, 1991)
Permainan secara umum, contoh : catur
6 Kajian laboratorium
Pengalaman dengan orang-orang
Bonacich (1972,1976), Snijders dan Raub (1998)
Kekuasaan, dilema dalam pernjara, kerjasama
Sumber : Swedberg, 2001:309
Teori permainan ini digunakan untuk melihat kecenderungan
masyarakat pedesaan dalam menyikapi atau mengambil keputusan untuk
terlibat atau tidak terlibat ke dalam pertukaran sosial gantangan beserta
keuntungan yang mungkin mereka peroleh. Langkah awal yang dilakukan
dalam menerapkan teori ini dan membuat suatu model strategi
pengambilan keputusan adalah dengan terlebih dahulu menentukan empat
unsur utama, yaitu (1) pemain (2) strategi-strategi (3) preferensi dan (4)
reaksi dari setiap pemain. Model strategi yang dihasilkan pun dapat
diklasifikasikan ke dalam sejumlah cara, seperti (1) jumlah pemain (2)
jumlah keuntungan dan (3) jumlah strategi dan kemudian dituangkan dalam
matrik ganjaran (payoff matrix).