BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fashion Film 2.1.1 Sejarah ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fashion Film 2.1.1 Sejarah ...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fashion Film
2.1.1 Sejarah Fashion Film
Dalam sejarah awal fashion film, 100 Tears of Fashion Film: Frameworks and
Histories, Uhlirova (2013), meneliti penggunaan awal istilah fashion film oleh pers
dalam kaitannya dengan tampilan peragaan busana di film Pathe-Freres Newsreels
sejak 1911. Selain itu George Meiles memperkenalkan fashion dalam iklan film. Film
tersebut mengiklankan korset Mystere dan topi Delion menggunakan penari latar yang
ditembak secara terbalik dan dilaporkan diproyeksikan ke jalan-jalan di luar melies
theatre Robert-Houdin di Paris sekitar tahun 1898 dan 1900.
Pada tahun 1930 fotografer avant-garde dan seniman surialis Man Ray, dibantu
oleh model dan fotografer perang Lee Miller, menggunakan proyeksi gambar bergerak
pada undangan “stritctly white dress” dan mempertunjukkan pertunjukkan langsung
dalam pergaaan busana contemporer.
Salah satu fotografer fashion yang disoroti oleh Uhlirova (2013) adalah George
Hoyningen-Huene, yang membuat serangkaian film tanpa plot pada awal tahun 1930-
an. Fotografer fashion Cecil Beaton tidak hanya bereksperimen dengan film tetapi,
juga bekerja sebagai art director, perancang kostum dan perancang produksi pada
produksi ikonik Hollywood seperti Gigi (1958) dan My Fair Lady (1964).
Menurut Tortora (2015), Fashion Film pertama kali diproduksi oleh seorang
desainer Prancis, Pul Poiret, sebagai cara untuk menampilkan kreasinya pada tahun
1900-an. Saat itu fashion film yang dibuat belum seperti yang ada dimasa sekarang.
8
Film tersebut tidak memiliki alur cerita dan menampilkan fashionnya dalam warna
hitam dan putih. Secara umum fashion film saat ini lebih baik daripada di masa lalu.
Fashion film saat ini adalah film promosi pendek yang dimaksudkan untuk memberi
tahu khalayak tentang sebuah brand melalui alur cerita.
Meskipun Fashion film didorong oleh distribusi digital online, film itu ada dan
topik utamanya terbentuk sebelum Internet dan masih memiliki eksistensi offline yang
dapat disaksikan di festival, pameran, bioskop, dan pertunjukan (Linden, 2017).
2.1.2 Pengertian Fashion Film
Moving image telah menjadi alat pemasaran utama dalam fashion. Fashion film
adalah studi rinci pertama tentang pergeseran bentuk citra fashion di era digital,
menyelidiki peran moving image dalam promosi, komunikasi, dan tontonan fashion
kontemporer (Ress-Roberts, 2018).
Fashion Film dipahami oleh mereka yang berada dalam industry fashion merujuk
pada produksi video digital konten dan hiburan yang digunakan oleh brand fashion
atau desainer sebagai alat promosi. Fashion Film adalah bentuk komunikasi baru yang
digunakan oleh brand fashion yang merupakan iklan audiovisual, film, film pendek,
klip video dan seni video (Pino et al., 2013) dan merupakan konsekuensi dari cara
khalayak berprilaku diabad ke-21 dalam menanggapi revolusi digital. Film dan fashion
selalu berbagi hubungan simbolis yang mempengaruhi komersial dan budaya.
Sejarawan Adrienne Munich berpendapat bahwa, dari era film paling awal, fashion
sudah menghargai kedekatannya dengan film sebagai cara untuk meningkatkan
visibilitasnya.
9
Brand-brand fashion membuat fashion film dan mempostingnya di media sosial
seperti Youtube, Instagram, Facebook dan situs resmi web mereka. Dengan majunya
fashion film dimasa sekarang, sudah banyak platform digital yang mewadahi fashion
film sebagai konten yang mereka baut. Sebagai contoh diluar negeri terdapat
SHOWstudio. SHOWstudio adalah situs fashion yang berdiri tahun 2000 yang
menyajikan project kreatif di industry fashion. SHOWstudio merupakan pelopor
platform digital fashion film yang bertujuan mendorong fashion untuk terlibat dengan
moving image di era digital.
Saloga & Guerero (2016) menjelaskan secara umum bagaimana perusahaan
fashion memanfaatkan fashion film sebagai cara untuk membangun mereknya di era
digital, yaitu:
1. Fashion film Sebagian besar diproduksi oleh perusahaan fashion mewah
sebagai bentuk pengalaman baru melalui hiburan dan rayuan, sebagai
manifestasi pemasaran berdasarkan pengalaman
2. Fashion film membangun hubungan baru dengan konsumen, lebih dekat dan
lebih intim dariopada startegi komunikasi lainnya, karena memungkinkan
interaktif format digital
3. Storytelling dan serialisasi dalam fashion film adalah beberapa ide yang paling
sering muncul untuk membangun keterlibatan brand
4. Fashion film mencari keseangan setetika, melalui penggunaan keindahan,
keseimbangan, kejutan, dan harmoni sebagai cara untuk mencapai dampak
yang mendalam pada konsumen
10
5. Fashion film mendematerialisasi produk dan membedakannya dari ciri
fisiknya, namun secara paradoks produk fashion juga bisa menjadi elemen
nyata dan subjektif dengan kehidupan dan kepribadiannya sendiri.
2.1.3 Perbedaan Fashion Film dan Fashion dalam Film
Ada perbedaan antara fashion film dan fashion dalam film. Singkatnya, fashion
film menggunakan film sebagai media untuk membingkai secara kreatif dan
mengekspresikan ide-ide artistic yang melekat pada fashion, sedangkan fashion dalam
film lebih banyak menggunakan fashion sebagai ekspresi artistic atau ekspresi
spektakuler untuk yang menarik untuk meningkatkan kualitas kreatif sebuah film (S.
Kim & Ha, 2015). Namun, dalam praktiknya, keduanya saling terkait dan saling
berpengaruh.
Perbedaan lain adalah fashion film memiliki format seperti video yang hanya
berdurasi antara 1-15 menit dan Sebagian besar dapat dilihat secara online. Sedangkan
fashion dalam film tertutama mengacu pada fitur film yang diputar di bioskop. Baik
fashion maupun film terobsesi dengan gerakan, yang kedua ekspresi artistic tersebut
dapat diperkuat melalui penggunaan media lain (Film adalah media yang sempurna
sebagai sarana untuk menampilkan fashion).
2.1.4 Jenis-Jenis Fashion Film
Dalam fashion film terdapat 3 (tiga) kategori konsep diantaranya, Film fiksi
komersial, film documenter, dan film avant-garde (J. Kim & Suh, 2017).
1. Fictional Fashion Film
11
Dalam fashion film fiksi storytellingnya sebagian besar didasarkan pada gaya
Hollywood klasik pada akhir 1910-an hingga 1950-an. Karakteristik dari jenis ini
adalah psikologis para tokoh berperan sebagai penyebab peristiwa tersebut atau
sebagai protagonist pahlawan, dan dicirikan oleh struktur naratif terstruktur dari ending
yang tertutup (penciptaan dan resolusi konflik). Dalam konsep fictional fashion film,
para tokoh secara alami berasimilasi atau tidak terlalu terkespos dalam narasi yang
banyak tetapi sebagian besar memainkan peran penting dalam pengembangan naratif.
2. Avant-Garde Fashion Film
Avant-Garde dapat dipandang sebagai sebuah karya yang eksperimental.
Dalam dunia fashion, avant garde termasuk kedalam style yang ekstrim. Dalam fashion
film, avant-garde menolak standar dan objek objektif menggunakan gaya
eksperimental dan ekspresionis. Konsep ini mengadopsi topik yang sangat tabu dan
menggunakan strategi non-naratif. Penggunaan lensa dan filter distorsi, pencahayaan
yang sangat menyipang dari kehidupan sehari-hari, transisi antara bidikan yang tajam
dan mengejutkan, dan pemisahan gambar dan suara melalui suara yang ekstrim.
3. Documentary Fashion Film
Kebalikan dari film fiksi komersial, dalam film documenter menggunakan
struktur non-naratif yang memuat fakta-fakta obyekif. Film documenter berupaya
menimimalisir campur tangan artfisial, manipulasi, dan distorsi. kamera pada dasarnya
dianggap sebagai mekanisme perekaman daripada media ekspresi. Dalam film ini
creator meghindari sudut yang ekstrim dan mencoba menjaga netralitas dan
transparansi melalui metode ekspresi realistis dengan menggunakan lensa standar,
komposisi dan pencahayaan alami, pengeditan minimal, dan noise alami
12
2.1.5 Bentuk-Bentuk Fashion Film
Mijovic ( 2013) menyatakan bahwa ada tiga bentuk fashion film diantaranya:
1. Conventional Narrative Fashion Film (Fashion Film Naratif Konvensional):
Fashion berperan sebagai symbol aspiratif.
Dalam fashion fotografi di akhir abad ke-20, cara para model berpose didepan
kamera semakin menjadi isyarat akting dalam memerankan karakter. Wardrobe
ditampilkan secara menonjol dalam film naratif dan mendukung karakter yang
memainkan peran mereka dalam narasi. Dalam naratif konvensional tujuan utamanya
adalah untuk menguraikan produk fashion. Dalam Fashion film naratif konvensional
terdapat karakteristik di dalamnya yaitu:
a. Narasi dasar didukung oleh karakter yang ditentukan
b. Produk fashion direpresentasikan dalam narasi dan mendukung karakter
c. Dialog dan narasi yang digariskan mencerminkan kembali produk dan label brand
dimasukkan ke dalam gambar.
2. Organic Narrative Fashion Film (Fashion Film Naratif Organik): Gaya visual
dan system formal dari moving pictures dibangun di sekitar pakaian.
Dalam sinema klasik dan film fashion naratif, semua elemen berada didalam
penceritaan, termasuk sinematografi, pengeditan suara, desain latar dan wardrobe yang
ditampilkan. Dalam fashion film naratif organic, wardrobe atau pakaian mulai
memainkan peran terpenting di dalamnya. Model-modelnya hanya memainkan peran
yang kurang penting dan mungkin hanya terlihat Sebagian. Fashion adalah focus utama
dan narasinya didasarkan pada penampilan pakaian atau wardrobe yang dipakai.
Dalam fashion film naratif organic terdapat karakteristik di dalamnya, yaitu:
13
a. Tidak ada dialog yang disajikan
b. Penggambaran cerita digambarkan dengan music ambience
c. Setiap shot ditampilkan dengan focus utama pada pakaian atau wardrobe yang
dikenakan para model
d. Dengan menyembunyikan karakter, narasi film yang ambigu dibangun secara
ekskulif melalui wardrobe, aksesoris dan riasan wajah.
3. Non-narrative Fashion Film (Fashion Film Non-Naratif): status fashion
sebagai objek desain berada di latar depan.
Dalam fashion film non-naratif, film-film tersebut menggunakaan abstarksi, loop
dan non-naratif lainnya. Dalam fashion film non-naratif terdapat karakteristik di
dalamnya, yaitu:
a. Close-up dari bidikan yang berulang dan bidikan yang diperpanjang pada detail
memungkinkan pakaian tersebut ditampilkan
b. Beberapa bidikan menciptakan bentuk baru dari garmen dan secara keseluruhan
lebih memperhatikan gambar daripada produk itu sendiri
c. Peran peragaan busana telah berubah dengan pengulangan yang tidak ada
habisnya.
2.2 Film Sebagai Medium Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa. Media massa yang
digunakan biasanya adalah surat kabar, majalah, radio, televisi dan film. Film
merupakan salah satu kajian ilmiah dalam komunikasi massa. Komunikan dalam
komunikasi sendiri bersifat heteregoen yang dimana bahwa penonton film itu beragam,
14
antara lain pendiidkan, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, status jabatan, agama
dan kepercayaan yang berbeda (Nurudin, 2013).
Fungsi-fungsi komunikasi massa dipaparkan oleh (Effendy, 2017) disederahanakn
menjadi 4 (empat) yaitu:
1. Menyampaikan Informasi (to inform)
2. Mendidik (to educate)
3. Menghibur ( to entertain)
4. Mempengarhui (to influence)
2.3 Pesan Komunikasi Dalam Fashion Film
Fashion film telah ada sejak lama, seiring perkembangan teknologi proses
penyampaian pesan pun semakin mudah untuk dilakukan. Fashion film memiliki
format Film yang dimana format tersebut merupakan salah satu kajian ilmiah dalam
komunikasi massa. Pesan komunikasi dalam komunikasi massa salah satunya adalah
bersifat Umum atau Publik, yang berarti komunikasi massa sendiri ditunjukkan ke
semua orang dan bersifat terbuka. Sama halnya dengan fashion film.
Fashion film sendiri memiliki beberapa sifat komunikasi yang dipaparkan dalam
jurnal yang ditulis oleh (J. Kim & Suh, 2017) bahwa dalam sifat komunikasi dalam
fashion film dapat terjadi secara one way (satu arah) dan juga interaktif (dua arah)
tergantung dengan bagaimana fashion film tersebut disebarluaskan dan konsep dari
fashion film tersebut. Seiring perkembangan teknologi, proses penayangan fashion
film sendiri dapat disaksikan melalui sosial media dan website yang di dalamnya dapat
15
tercapai sebuah komunikasi interaktif karena terdapat kolom komenar dan pesan
sehingga penontonnya dapat langsung memberikan pesan (feedback).
2.4 Fashion Dalam Komunikasi
Pakaian memiliki banyak fungsi seperti untuk melindungi tubuh dan untuk
memberikan kenyamanan. Lurie, (1981) menjelaskan tujuan pakaian yang paling
menarik adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain, hal itu memungkinkan
seseorang untuk mengekspresikan bagian dari diri mereka yang ingin dilihat orang
lain. Fashion adalah perpaduan estetika dan unsur kreatifitas dari masing-masing
individu yang dibuat sebagai bentuk untuk ekspresi dalam pakaian (Candra, 2020)
Seperti halnya bahasa verbal, fashion juga memiliki kekuatan untuk bercerita dan
menyampaikan pesan.
Fashion termasuk kedalam aspek komunikasi. Apa yang dipakai seseorang
adalah cara nonverbal untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan cara
mengirimkan pesan konotatif kepada orang disekitar. Fashion sendiri tidak hanya
berfungsi untuk menyampaikan keindahan estetika, tetapi juga nilai-nilai dan pribadi
pemakainya. Saat kita mengenakan pakaian yang dipilih, kita memilihnya karena
mengandung konotasi yang menarik bagi pesan dan maksud yang kita ingin kirim.
Fischer-Mirkin (1995) dalam bukunya yang berjudul Dresscode: Understanding
the Hidden Meanings of Women’s Clothes mengatakan bahwa Tindakan memutuskan
apa yang akan dikenakan pada hari tertentu memiliki dampak yang jauh melampaui
dari sekedar merogoh lemari dan menyusun pakaian, pilihan dibuat berdasarkan
16
dorongan hati atau kalkulasi, pilihan seseorang sangat terbuka entah seserang
menyadari itu atau tidak.
Seseorang dapat menggunakan fashion untuk mempengaruhi audiens. Fashion
kemudian dapat dianalisis sebagai aspek bidang komunikasi strategis seperti
periklanan dan media massa. Dalam era digital, Fashion dan komunikasi bersatu
melalui fashion film yang bertujuan untuk menyampaikan pesan dan emosi kepada
orang lain lewat fashion sendiri.
2.5 Storytelling
Storytelling berasal dari dua kata yang digabung yaitu story yang berarti cerita dan
telling yang berarti penceritaan. Dari penggabungan dua kata tersebut terbentuklah
pengertian storytelling yang berarti penceritaan cerita atau menceritakan cerita.
Storytelling dapat dilakukan secara verbal (perkataan) dan non-verbal (melali tulisan
dan gambar). Ashley Fell yang merupakan Director of Communications dari
perusahaan research Australia McCrindle, dalam presentasinya di TED Talk tahun
2017, ia menjelaskan poin-poin penting untuk membuat sebuah cerita yang baik yang
ia sebut sebagai The 4I’s of Storytelling diantaranya:
1. Interest (Menarik Perhatian)
Sebuah cerita yang baik akan menarik perhatian audiensnya
2. Instruct (Mengintruksikan)
Dalam sebuah cerita yang interesting akan menghasilkan sebuah makna yang
berupa instruksi atau pelajaran yang didapat
3. Involve (Terlibat)
17
Ketika menemukan narasi yang atau cerita yang berhubungan atau melibatkan
seseorang, seseorang itu pasti akan merasakan terlibat dalam cerita tersebut
4. Inspire (Menginspirasi)
Dalam sebuah carita yang baik, makna yang sampaikan dapat menginspirasi
seseorang.
2.5.1 Storytelling dalam Film
Dalam dunia storytelling terdapat istilah Three Act Structure . Dalam buku
Screenplay: Writing the Picture, Russin & Downs (2000) menjelaskan istilah yang
bernama Three Act Structure, yang merupakan pembagian sebuah cerita kedalam tiga
bagian. “Act One, Act Two, and Act Three” merupakan hal yang berbeda dengan
“Awal, Tengah, dan Akhir”, disetiap bagian atau act terdapat perbedaan disetiap
elemennya, yaitu:
1. Act One – The Situation (Situasi)
Berikut ini adalah elemen dan titik plot yang terdapat pada bagian awal yang
berupa: the Opening Balance (Membuka Keseimbangan), an Opening Event
(Pembukaan Acara), a Disturbance (Gangguan), a Major Dramatic Question
(Pertanyaan yang Dramatis), dan a Decision (Keputusan).
a. Opening Balance (Membuka Keseimbangan), Sebagian besar scenario dimulai
dalam keseimbangan. Kehidupan karakter telah mencapai keseimbangan tertentu
yang mana harus diganggu jika akan ada konflik.
18
b. Opening Event (Pembukaan Acara), sebuah pembukaan acara adalah moment
yang unik yang terjadi didalam kehidupan karakternya. Hal itu bisa berupa
insiden yang tidak biasa, acara special atau krisis.
c. The Disturbance (Gangguan), Gangguan adalah titik plot yang menganggu
keseimbangan dan membuat aksi utama bergulir. Kekuatan lawan, protagonist
dan antagonis, dilingkup kedalam situasi yang kaya dengan kemungkinan
konflik.
d. The Major Dramatic Question (Pertanyaan Dramatis), gangguan dan keputusan
protagonist menyebabkan pertanyaan dramatis yang besar. Ini adalah pengait
yang menahan orang-orang di teater atau bisokop selama dua jam karena mereka
ingin tahu jawabannya, atau outcame. Ini bukanlah pernyataan atau tema
keseluruhan dari drama tersebut, tetapi sebuah pertanyaan yang menimbulkan
rasa ingin tahu dan ketegangan.
e. A Decision, jika penonton tahu keputusan seperti apa yang dibuat oleh protagonis
di akhir dan di awal, maka penonton juga dapat memprediksi berapa lama
permulaan itu (inilah mengapa disebut formula: keputusan dibuat tanpa penulis
skenario untuk harus memikirkan mereka)
2. Act Two – The Complications (Komplikasi)
Plot yang terdapat di tengah adalah: Conflict (Konflik), Crises (Krisis), Obstacles
(Rintangan), Complications or Reversals (Komplikasi atau Pembalikan), Rising
Action (Naik Aksi), dan the Protagonist’s ‘Dark Moment’ (‘Momen Kelam’ sang
Protagonis)
19
a. Conflict, Crisis, Obstacles & Complications/Reversals, Pertengahan dari
skenario three-act ini terdiri dari rintangan jalan yang memastikan bahwa
Tindakan protagonist tidak berlayar jelas, karena berlayar jelas adah kematian
dari drama (dan komedi). Sampai klimaks terakhir, selalu ada konflik, krisis,
rintangan dan komplikasi lainnya
b. Rising Action (Naik Aksi), di tengah -tengah screenplay, dunia menjadi tidak
stabil. Ketidakstabilan ini diatur oleh peningkatan aksi yang memmbuat setiap
konflik, krisis, rintangan dan komplikasi menjadi lebih kuat, lebih dramatis dan
lebih penting dari sebelumnya
c. The Dark Moment (Momen Kelam), akhir dari act two terjadi ketika pahlawan
gagal total, misi gagal, kekeuranga dari protagonist telah membuatnya
tersandung dan tujuannya menjadi tidak tercapai. Ini adalah babak dimana
rintangan terakhir yang dimeangkan oleh antagonis dan pertempuran tampaknya
telah berakhir.
3. Act Three – The Conclusion (Kesimpulan)
Pont-poin plot yang terdapat di bagian akhir adalah: Enlightenment
(Pencerahan), Climax (Klimaks, dan Catharsis (Katarsis)
a. Enlightenment (Pencerahan), Awal mula dari act three ada pencerahan.
Pencerahan terjadi Ketika protagonist mengerti bagaimana cara mengalahkan
antagonis. Pencerahan bisa datang dari banyak hal misalnya, Protagonis bisa
bergabung dengan yang lain, mungkin adal hal yang memberi penerangan pada
masalah atau protagonist, dengan jatuh kedalam jurang emosional sampai bisa
melihat kesalahannya sendiri
20
b. Climax (Klimaks), bersamaan dengan ketika mendapat pencerahan, disini
protagonist siap untuk melawan si antagonis. Hasil dari cerita menjadi clear
meskipun harus ada cukup keraguan siapa yang akan menang untuk
mempertahankan ketegangan. Klimaks sendiri dalam formula three-act
screenplay biasanya didefinisikan sebagai momen dimana antagonis kalah
c. Catharsis (Katarsis), setelah klimaks terdapat katarsis. Katarsis adalah
pembersihan terakhir emosi dari karakter, memulihkan dunia untuk
menyeimbangkan dan mengisyaratkan apa yang mungkin akan dibawa di masa
depan. Ada dua persyaratan katarsis. Pertama, tidak boleh berlama-lama setelah
klimaks selesai dan antagonis dikalahkan. Kedua, akhir harus konsisten dengan
awal.
2.5.2 Storytelling dalam Fashion Film
Diane Pernet dalam BOF 2012 mengatakan “apa yang membuat fashion film bagus
adalah apa yang membuat film bagus” jadi intinya untuk mengkomunikasikan,
karakteristik narasi film sama pentingnya dengan potensi ekspresif. Fashion film
adalah video yang dibuat oleh brand fashion dan creator yang berupa konten dari brand
yang diterjemahkan ke dalam moving images. creator membuat narasi brand yang
berputar di sekitar konten utama identitas brand tersebut. karena fashion film sendiri
adalah sinergi tiga Bahasa yang berbeda yaitu: Fashion, Cinema, dan Internet. Tiga
dunia tersebut menemukan sintesis aslinya dalam alat komunikasi baru ini, sehingga
mengahsilkan sesuatu yang unik dan inovatif (Buffo, 2017).
21
Fashion film sudah diakui sebagai strategi baru untuk brand fashion di lingkungan
digital. Fashion film menawarkan lebih dari sekedar storytelling kepada public, karena
storytelling dalam fashion adalah cara terbaik untuk berpikir dan mengenal tentang
desainer dan brand.
Fashion menciptakan narasinya sendiri, dalam kata lain ini adalah tentang pakaian
yang berfungsi secara independent dari karakter dan narasi. Interpretasi sinematik baru
tentang fashion merupakan hasil dari fashion yang meningkatkan peran penting dalam
masyarakat konsumeris modern, memasukkan objek-objek busana ini dengan makna
dan konotasi yang beragam sehingga menjadi kaya akan narasi dan makna dalam
konteks yang berbeda. Ada tiga jenis pilihan naratif dalam fashion film diantaranya;
Telling a Story, Drawing a personality, dan Creating an Atmosphere (Buffo, 2017).
1. Telling a Story (Menceritakan sebuah Cerita)
Telling a Story sendiri sebenarnya adalah narasi merek dengan plot naratif, yang
merupakan salah satu tema utama dan mengungkapkan aspek penting dari identitas
brand Konsep utamanya adalah memilih apa yang dianggap brand sesuai untuk
dikomunikasikan secara tepat. Dalam pilihan ini peristiwa atau situasi dinarasikan
dalam urutan yang logis: perkembangan gambar (pilihan pengeditan) atau voiceover
yang membantu untuk menafsirkan apa yang dilihat.
2. Drawing a Personality (Menggambar Kepribadian)
Drawing a Personality berfokus pada individualitas protagonist ketika ada peristiwa
atau situasi, ini berfungsi untuk menunjukka jalur kepribadian tertentu. Dalam pilihan
ini tidak selalu mengikuti urutan logis yang jelas , tetapi lebih memilih menggunakan
22
aspek-aspek kepribadian dari protagonist untuk menunjukkan aspek khas dari brand
tersebut.
3. Creating an Atmosphere (Menciptakan Suasana)
Dalan pilihan naratif ini, yang menjadi focus narasi adalah suasana hati, yang
umumnya merupakan terjemahan dari gaya brand, yang berarti bahwa sugesti yang
dapat dibuat oleh brand fashion yang dapat dibuat diterjemahkan kedalam kode film.
Dalam suasana yang diciptakan oleh brand, konsumen diajak masuk untuk
membagikannya. Dalam jenis ini, tidak ada urutan kejadian yang berurutan yang
diterjemahkan kedalam konten melalui pengeditan gambar atau voiceover.
Dalam buku Fashion system karangan Roland Barthes membedakan tiga tipe
busana, yakni (1) Image clothing, busana yang ditampilkan sebagai fotografi atau
gambar; (2) Written clothing, busana yang dideskripsiskan secara tertulis atau
ditransfirmasikan ke dalam Bahasa; (3) Real clothing, busana aktual yang dikenakan
pada tubuh manusia atau busana sebagai objek (Barthes, 1990).
Written clothing menjadi tipe yang relevan dalam fashion film karena menjelaskan
bahwa busana bisa bercerita tentang diri sang pemakai. Dalam fashion film, seperti
yang sudah dijelaskan bahwa fashion dapat menciptakan narasinya sendiri karena
memiliki tanda dan pesan yang akan memberikan maknanya sendiri sehingga
storytelling di dalamnya tidak hanya melalui narasi tetapi melalui busana yang
digunakan.
23
2.6 Elemen-Elemen Storytelling dalam Fashion Film
Gambar 1.1 Film Storytelling Eelemnts and Fashion Film Storytelling Elements
Terdapat 3 (tiga) elemen-elemen storytelling dalam fashion film diantaranya ada
Contents (Konten), Forms (Bentuk), dan Communications (Komunikasi).
1. Content (Konten)
Elemen konten dalam fashion film adalah menjelaskan tentang pesan, plot
cerita, dan struktur dalam fashion film.
Struktur dalam fashion film sendiri ada naratif, non-naratif, dan anti-naratif.
2. Forms (Bentuk)
Elemen Bentuk dalam fashion film meliputi bagaimana hal-hal diluar narais
yaitu performance, pakaian, property, warna, lighting, camera movement
position, editing, serta sound yang digunakan dalam fashion film ini.
3. Communications (Komunikasi)
Channel komunikasi dalam fashion film meliputi Mass media, Web site,
Mobile App, dan social media. Metode komunikasinya sendiri bisa berlangusng
one way (satu arah) dan interaktif.
24
2.6.1 Karateristik Storytelling dalam Fashion Film
Fashion film tampil dalam aspek yang dibedakan dari karakteristik storytelling
menurut jenisnya. Fashion film dibagi menjadi 3(tiga) jenis yaitu Fictional fashion
film, Avant garde fashion film, dan Documentary fashion film. Karakteristik
storytellingnya sendiri ditinjau dari elemen-elemen storytelling yaitu segi Content,
Forms, dan Communication (J. Kim & Suh, 2017). Berikut adalah Karakteristik
storytelling dalam fashion film berdasarkan jenis-jenisnya:
1. Fictional Fashion Film
Fictional fashion film mengungkap narasi yang dibangun dengan adanya
sebuah tokoh atau karakter sebagai protagonist yang mirip dengan fitur film
pada umumnya. Unsur-unsur formal seperti pakaian, property, music, dan angle
kamera juga berperan dalam mendukung narasi secara efektif dan berorientasi
pada konten storyteling. Dalam fictional fashion film, narasi yang menarik dan
pengambilan gambar yang kreatif dari sutradara film memiliki pengaruh besar
di dalamnya. Brand fashion secara eksplisit atau diam-diam muncul dalam
produk fashion untuk memberikan peran utama dalam pengembangan naratif
dan produk fashion yang ditampilkan sendiri merangkul dua atribut yaitu
komersial dan seni. Fictional fashion film bercirikan menampilkan ending yang
tertutup yang membatasi partisipasi publik. Namun, karena berbasis media
digital yang dapat diakses kapan saja, dimungkinkan untuk memanipulasi
narasi, dan lebih jauh lagi publik dapat berpartisipasi meskipun bersifat pasif
sehingga dapat dengan mudah dibagikan oleh siapa saja.
25
2. Avant Garde Fashion Film
Avant Garde fashion film bertujuan memperluas kemungkinan intervasi
penonton dengan menggunakan subjek anti-estetika dan social kritis, memiliki
ending yang terbuka dan editing yang sengaja di interupsi. Produk fashion yang
ditampilkan berfungsi sebagai medium yang menimbulkan perlawanan
terhadap adat istiadat dan medium yang menimbulkan wacana social dan
budaya diluar ‘pakaian’, selain itu produk fashion juga digunakan sebagia alat
untuk menciptakan makna dan interpretasi baru diluar nilai komersial. Avant
Garde menampilkan cara bercerita yang berpusat pada bentuk yang tidak
konvensional.
3. Documentary Fashion Film
Documentary fashion film menampilkan keseluruhan proses dari tahap
produksi karya desainer hingga pakaian jadi dan produk fashion sebagai filosofi
estetika desainer. Menampilkan cerita yang berorientasi pada komunikasi
berdasarkan teknologi digital yang berperan penting dalam jenis ini karena
menggunakan penyuntingan sebagai objek dan untuk menggambarkan pakaian
yang bergerak diatas tubuh dengan sangat presisi. Orang-orang yang
bersentuhan langusung dengan documentary fashion film dapat bepartisipasi
dan berkomunikasi secara real time, seperti prosesnya.
2.7 Definisi dan Teori Analisis Naratif
Keraf (2010), menjelaskan bahwa narasi adalah suatu bentuk wacana yang
menggambarkan suatu peristiwa yang telah terjadi dengan sejelas-jelasnya. Singkatnya
adalah narasi berusaha menjawab sebuah pertanyaan “apa yang telah terjadi”. Sobur
26
(2014), menejaskan bahwa narasi pada dasarnya adalah sebuah cerita yang didasarkan
pada suatu peristiwa dimana didalam peristiwa tersebut terdapat tokoh dan tokoh
tersebut mengalami atau menghadapi suatu konflik yang dimana kejadian, tokoh, dan
konfilk tersebut merupakan unsur pokok sebuah narasi.
Secara ringkas Branston & Stafford (2003), mengungkapkan bahwa narasi terdiri
darai empat macam jenis yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu:
1. Todorov, narasi memiliki alur awal, tengah dan akhir
2. Propp, suatu cerita yang memiliki karakter tokoh
3. Levis-Strauss, Cerita yang memuliki sifat-sifat berlawanan
4. Joseph Campbell, Cerita terkait dengan mitos.
Kesimpulan dari keempat jenis narasi tersebut adalah bahwa pesan yang disampaikan
dalam sebuah cerita melalui narasi merupakan sebuah cara bagaimana cerita tersebut
dalam disampaikan dan dimengerti.
Menurut Sobur (2014), teori naratif berutang banyak pada karya Vladmirir Propp
yang mengungkap dasar kesamaan dari struktur naratif dalam cerita rakyat Rusia.
Dalam teori Propp ia mengungkapkan bahwa dongeng Rusia dapat dipahami dengan
empat prinsip dasar yaitu; fungsi karakter merupakan elemen dongeng yang stabil,
fungsi-fungsi di dalam dongeng terbatas, sekuen-sekuen fungsi tersebut selalu identik,
dan dongen hampir selalu berpegang pada struktur.
Beda dengan Propp, Levi-Strauss (dalam Denzin & Lincolin, 2009) menganalisis
mitos atau cerita dengan oposisi biner (analisis ini meminjam konsep linguistic Roman
Jakobson), system relasi, model sinkronis, dan satuan-satuan baku. Perbedaan lain
27
yaitu Levis-Strauss menganggap cerita (mitos) bersifat paradigmatic dengan dasar
oposisi dan bukan dengan fungsi-fungsi yang bersifat linear (sintagmatis). Dalam teori
naratif terdapat sebuah ketertarikan terutama sebagai hasil dari rangkaian didalam
kajian media. Contohnya adalah TV seri bisa dibedakan secara jelas dengan serial
menggunakan teori naratif. Dalam TV seri terdapat cerita yang dirahasiakan yang
dipotong dalam setiap episode. Sedangkan dalam serial, ceritanya berlanjut tanpa akhir
dari satu episode ke episode selanjutnya.
Sedangkan dalam film, unsur naratif berkaitan dengan aspek cerita atau tema
sebuah film. Setiap cerita memiliki elemen-elemen yaitu; tokoh, konflik, masalah,
lokasi dan waktu. Elemen-elemen tersebut saling berhubungan hingga akhirnya
terbentuk unsur naratif sebuah film. Analisis naratif memiliki beberapa fungsi.
Pertama, analisis naratif membantu peneliti memahami bagaimana makna dan nilai
diproduksi dalam film, dan bagaimana ia disebarkan. Kedua, analisis naratif membantu
peneliti memahami bagaimana kehidupan social dan politik diceritakan dalam
perspektif tertentu. Ketiga, penelitian naratif membantu peneliti memahami makna
dibalik teks. Keempat, analisis naratif mencerminkan kontinuitas dan perubahan
komunikasi.
2.7.1 Struktur Naratif Tzvetan Todorov
Tzvetan Todorov adalah seorang sastrawan dari Bulagira, ia memberikan gambaran
tentang struktur naratif. Menurut Todorov dalam Eriyanto (2014), narasi tidak datar
tetapi terdiri dari tingkatan tertentu. Struktur naratif dari Tzvetan Todorov adalah
tentang bagaimana narasi dalam sebuah cerita dibuat. Dalam teori ini, Todorov
menyebutkan bahwa ada lima tahapan yang karakter akan lalui yaitu:
28
1. Equilibrium (Keseimbangan)
Equilibrium adalah tahapan yang dimulai dalam kondisi yang seimbang atau
damai dimana karakter memiliki kehidupan normal dan melakukan aktivitas
sehari-hari yang dimiliki karakter
2. Disruption (Gangguan Keseimbangan)
Disruption adalah tahap dimana karakter telah mulai mendapat gangguan dalam
hidupnya
3. Recognition (Mengenali Gangguan)
Recognition adalah tahapan dimana karakter telah menyadari dan mengenali
masalah gangguan yang mempengaruhi kehidupan karakter
4. An Attempt Repair the Damage (Upaya Memperbaiki Kerusakan)
Repair the Damage adalah tahap dimana karakter mencoba memperbaiki dan
mengatur seluruh masalah yang terjadi di dalam cerita
5. Equilibrium again (Keseimbangan lagi)
Equilibrium again adalah tahapan dimana karakter telah memperbaiki dan
mengatur semua masalah yang etrjadi dalam ceita dan pada tahap ini, karakter
sedang menjalani kehidupan normal seperti di cerita pertama atau menyesuaikan
situasi baru dalam cerita.
2.8 Penelitian Terdahulu
No. Peneliti dan Judul
Penelitian
Hasil Penelitian Relevansi & Perbedaan
1. Risyani Nurul Haq
Bilqi (2020)
Analisis Narasi
Pada penelitian yang
dilakukan Risyani,
menghasilkan sebuah
Relevansi yang terdapat
dalam penelitian ini adalah
yang akan dikaji oleh peneliti
29
Tzvetan Todorov
Dalam Film
Keluarga Cemara
Sebagai
Komunikasi
Keluarga,
Universitas
Muhammadiyah
Malang (Risyani,
n.d.)
kesimpulan bahwa
narasi mengenai
komunikasi keluarga
disampaikan melalui
para tokoh lewat
dialog seta adegan
dalam film. Bentuk
komunikasi keluarga
telah tercakup dalam
keseluruhan cerita
dalam film Keluarga
Cemara yang
meliputi tahapan
narasi menurut
Tzvetan Todorov
yakni bagian awal,
tengah, dan akhir.
adalah bagaimana
karakteristik storytelling
dalam genre fashion film
yang akan diteliti
menggunakan analisis naratis
Tzvetan Todorov.
Perebdaannya adalah dalam
penelitian yang dilakukan
oleh Risyani, ia
menggunakan 3 bagian alur
film model Tzvetan Todorov,
sedangkan peneliti
menggunakan 5 Stages
Structure Narrative Theory.
2. Nunik Fajar Tri L.
(2016) Narrative
Analysis of Maluku
Conflict in The Film
“Cahaya Dari Timur:
Beta Maluku” Jurnal
Komunikator Vol. B
No. 1 Mei 2016
Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta (Lestari,
2016)
Hasil dalam penelitian ini
adalah berdasarkan 5
tahapan struktur naratif
diketahui bahwa
peristiwa konflik selalu
muncul di setiap tahapan
dan menjadikan narasi
konflik sebagai cerita
latar belakang.
Relevansi yang terdapat
dalam penelitian ini adalah
sama-sama menggunakan 5
Stages Narrative Theory dari
Tzvetan Todorov.
Perbedaannya adalah focus
penelitiannya dimana dalam
penelitian tersenut
membahas konflik,
sedangkan focus penelitian
saya adalah karakteristtik
storytelling.
30
3. Jiye Kim & Seunhee
Suh (2015) The study on
Characteristics of
Stotyrelling by Fashion
Film Categorization,
Fashion Journal Vol.
21, No. 4 pp.1~20, Sept
2017 Sungkyunkwan
University, Korea (J.
Kim & Suh, 2017)
Penelitian ini
menganalisis bagaimana
karakterististik
storytelling berdasarkan
kategorisasi fashion film
antara lain Theatrical
Fashion Film, Avant
Garde, dan Documentary
Relevansin yang terdapat
dalam penelitian ini adalah
sama-sama membahas
tentang karakteristik
storytelling.
Perbedaannya adalah dalam
journal ini membahasa
karakteristik storytelling
berdasarkan kategorisasi
konsep fashion film,
sedangkan saya menjelaskan
karakteristik storytelling
dalam genre fashion film dan
focus pada fashion film
tertentu.
Table 1.1 Penelitian Terdahulu