BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Suku Annonaceaerepository.ub.ac.id/974/3/Bab II.pdf · 8 jenis...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Suku Annonaceaerepository.ub.ac.id/974/3/Bab II.pdf · 8 jenis...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Suku Annonaceae
Annonaceae merupakan salah satu suku dari Angiospermae yang termasuk dalam
bangsa Ranales (termasuk diantaranya suku Ranaceae) dan kelas tumbuhan dikotil.
Annonaceae diklasifikasikan sebagai suku pantropik (Weichiu, 1995) yang memiliki
habitus pohon, semak atau liana (woody climber) dengan jumlah marga sebanyak 120-130
dan 2.100-2.300 jenis di seluruh dunia. Suku ini tergolong tumbuhan dikotil yang primitif
dalam sub kelas Dialypetalae, atau terkadang disebut dengan “Annoniflorae”, yang sering
diartikan dengan jumlah bagian bunga yang tidak terbatas dan benang sari yang tersusun
secara spiral (Bele dkk., 2011b). Beberapa bangsa lain yang termasuk dalam sub kelas
Dialypetalae adalah Rosales (suku Mimosaceae dan Rosaceae), Brassicales (suku
Papaveraceae dan Capparidaceae), Malvales (suku Malvaceae) serta Rutales (suku
Rutaceae).
Annonaceae memiliki berbagai macam nama daerah (vernacular names) yang
berbeda-beda di tiap daerah. Nama-nama tersebut diambil dari masing-masing marga dari
jenis Annonaceae. Secara umum, suku Annonaceae merupakan anggota sirsak-sirsakan.
Beberapa jenis Annonaceae yang memiliki vernacular names bermacam-macam antara
lain Stelechocarpus burahol, Uvaria littoralis, Uvaria purpurea, Uvaria rufa, Cananga
odorata, Anomianthus auritus, Polyalthia glauca, Saccopetalum horsfieldii, Orophea
hexandra, Pseuduvaria reticulata, Mitrephora polypyrena, Annona muricata, Annona
reticulata, Annona squamosa, dan lain-lain. Menurut Heyne (1987), Stelechocarpus
burahol di daerah Sunda disebut burahol, turalak; di Jawa disebut kepel, kecindul, simpol,
cindul. Uvaria littoralis di daerah Lampung disebut pepisang, di Sunda disebut kalak, dan
di Jawa disebut oyod kalak. Uvaria jenis lain seperti Uvaria purpurea dan Uvaria rufa
juga disebut kalak (Jakarta, Jawa), ada yang menyebut pisang akar, larap putih, larap nyapa
(Lampung), dan tali pisang (Maluku). Sebutan kalak juga dikenal oleh masyarakat Jawa,
Madura dan Pulau Kangean, Jawa Timur untuk Anomianthus auritus, Saccopetalum
horsfieldii (Sunda), Orophea hexandra (Jawa), Pseuduvaria reticulata (Jawa) dan
Mitrephora polypyrena (Jawa). Jenis Anomianthus auritus dikenal dengan kalak asu, kalak
mantang, atau kalak ucet (Jawa), kalak gedang (Madura) dan andeurah (Pulau Kangean).
Polyalthia glauca memiliki nama daerah kayu bulan, kayu kalet hingga kayu tinyang
(Sunda). Polyalthia longifolia dikenal dengan glodokan tiang. Cananga odorata dan jenis-
8
jenis dari Annona (Verheij & Coronel, 1992) memiliki sebutan yang cukup banyak di tiap-
tiap daerah, dimana jenis Annona banyak dimanfaatkan sebagai tanaman buah.
Karakteristik utama sebagai pembeda Annonaceae dengan suku lainnya adalah daun
tersusun secara berseling (distichous leaves), batang atau ranting mudanya apabila
dikelupas akan mengeluarkan aroma yang khas (aromatik), dan penampang melintang
batang akan menunjukkan pola kambium yang khas dari suku Annonaceae (striate). Secara
umum karakter morfologi dari suku Annonaceae adalah memiliki habitus pohon, semak,
bahkan sebagian liana. Kulit batang berserat, sangat sulit saat dikelupas dan menimbulkan
robekan yang panjang dan tidak terputus. Karakter kulit batang tersebut juga menjadi
karakter khas dari suku Annonaceae apabila karakter generatifnya tidak ditemui. Pada
umumnya kayu dan daunnya mengeluarkan senyawa aromatik, indumentum tunggal atau
sedikit namun pada marga Uvaria memiliki indumentum berbentuk bintang (stellate) yang
rapat pada cabang, ranting muda hingga tangkai daunnya. Tidak memiliki stipula (Kessler,
1993; Wu dkk., 2011). Daunberseling (alternate), bagian tepi rata (entire), kebanyakan
distichous. Tangkai daun (petiole) umumnya pendek, daun tunggal, bentuk daun yang
simpel, serta tulang daun menyirip (Wu dkk., 2011). Bungaterletak pada ujung daun
(axillary) atau non-axillary, sebagian besar berada di ketiak daun dan posisinya
berlawanan dengan tangkai daun (terminal), bracteate, tunggal atau tersusun dalam
perbungaan yang rhipidiate, tangkai bunga sebagian besar basal kecuali pada marga
Guatteria memiliki tangkai bungasuprabasal. Sepal berjumlah 3, bebas dan connate secara
bervariasi. Petal berjumlah 3 yang tersusun dalam 2 rangkaian yaitu outer dan inner petal,
sebagian besar bebas. Jumlah benang sari banyak, terikat dengan pemanjangan secara
apikal yang berbentuk seperti perisai. Staminodia jarang. Carpels sebagian besar berjumlah
banyak, dari berjumlah satu hingga banyak, dengan ovule basal atau parietal. Buah
kebanyakan bebas satu sama lain (apocarpous), pada umumnya monocarps, tidak merekah
atau pecah (indehiscent), jarang yang pecah (dehiscent), terkadang syncarpous (diantara
marga Annona). Biji berukuran lebih lebar dibanding jenis dari suku selain Annonaceae,
dengan ruminate endosperm, terkadang arillate (Maas dkk., 2007).
Suku Annonaceae dibedakan dalam 4 anak suku yaitu Ambavioideae,
Anaxagoreoideae, Annonoideae dan Malmeoideae. Anak suku Ambavioideae memiliki 9
marga yaitu Drepananthus, Lettowianthus, Cyathocalyx, Tetrameranthus, Mezzetia,
Ambavia, Cananga, Cleistopholis, dan Meiocarpidium. Anak suku Anaxagoreoideae hanya
memiliki satu marga yaitu Anaxagorea. Anak suku Annonoideae terbagi ke dalam 7 tribus
(tribe) yaitu Annoneae, Bocageeae, Duguetieae, Guatterieae, Monodoreae, Uvarieae dan
9
Xylopieae. Anak suku Malmeoideae juga memiliki tribus sebanyak 7 yaitu
Dendrokingstonieae, Fenerivieae, Maasieae, Malmeeae, Miliuseae, Monocarpieae dan
Piptostigmateae. Masing-masing tribus tersebut masih dibedakan lagi menjadi beberapa
marga dalam satu tribus. Tribus Annoneae terbagi dalam 8 marga yaitu Annona,
Anonidium, Boutiquea, Neostenanthera, Asimina, Diclinanona, Disepalum dan
Goniothalamus. Tribus Bocageeae juga terbagi dalam 8 marga yaitu Mkilua, Bocagea,
Cardiopetalum, Cymbopetalum, Frosiodendron, Hornschuchia, Borcelia dan Trigynaea.
Tribus Duguetieae memiliki 5 marga yaitu Duguetia, Letestudoxa, Pseudoartabotrys,
Duckeanthus dan Fusaea. Tribus Guatterieae hanya memiliki satu marga yaitu Guatteria.
Tribus Monodoreae memiliki 11 marga yaitu Uvariopsis, Monocyclanthus, Mischogyne,
Hexalobus, Uvariastrum, Isolona, Monodora, Asteranthe, Ophrypetalum, Sanrafaelia dan
Uvariodendron. Tribus Uvarieae cukup banyak memiliki marga yaitu sebanyak 15,
diantaranya Cleistochlamys, Afroguatteria, Dielsiothamnus, Exellia, Friesodielsia,
Gilbartiella, Monanthotaxis, Toussantia, Uvaria, Sphaerocoryne, Dasymaschalon,
Desmos, Fissistigma, Melodorum dan Schefferonitra. Tribus Xylopieae hanya memiliki 2
marga yaitu Artabotrys dan Xylopia. Tribus Dendrokingstonieae, Fenerivieae, Maasieae,
dan Monocarpieae masing-masing hanya memiliki satu marga yaitu Dendrokingstonia,
Fenerivia, Maasia dan Monocarpia. Tribus Malmeeae memiliki 13 marga yaitu
Crematosperma, Bocageopsis, Ephedranthus, Klarobelia, Malmea, Oxandra,
Pseudephedranthus, Pseudomalmea, Pseudoxandra, Unonopsis, Ruizodendron,
Mosannona dan Onychopetalum. Marga yang dimiliki tribus Miliuseae paling banyak
diantara tribus lainnya yaitu sejumlah 25 marga, antara lain Alphonsea, Polyalthia,
Desmopsis, Enicosanthum, Haplostichanthus, Huberantha, Meiogyne, Miliusa, Mitrella,
Mitrephora, Monoon, Neo-uvaria, Orophea, Phaeanthus, Platymitra, Popowia, Sageraea,
Sapranthus, Stelechocarpus, Stenanona, Tridimeris, Trivalvaria, Oncodostigma,
Pseuduvaria dan Winitia. Tribus Piptostigmateae memiliki 6 marga yaitu Piptostigma,
Mwasumbia, Annickia, Greenwayodendron, Polyceratocarpus dan Sirdavidia (Chatrou
dkk., 2012). Meskipun suku Annonaceae merupakan suku yang sangat terbatas, namun
beberapa kategori dalam infra-sukunya memiliki permasalahan. Klasifikasi pada level
tersebut sangat jauh apabila dibandingkan dengan suku lainnya, meskipun Annonaceae
mempunyai nilai penting di dalamnya (Kessler, 1995). Masing anak suku dalam
Annonaceae dapat dibedakan berdasarkan morfologi bunga dan buah serta struktur
mikroskopis anatomi kayu batangnya (Koek-Noorman & Westra, 2012).
10
Annonaceae memiliki hubungan monofili dengan kelompok sister-nya yang
ditunjukkan melalui analisis Maximum Parsimony, yaitu antara marga Anaxogorea dari
Anaxagoreoideae dengan anggota marga dari Ambavioideae, Annonoideae dan
Malmeoideae. Diversitas jenis dalam kelompok Annonoideae dan Malmeoideae sebesar
˃97% (Gambar 1). Sinapomorfi marga dalam anak suku Ambavioideae berdasarkan
karakter morfologinya adalah tidak adanya integumen biji bagian tengah. Sinapomorfi dari
anak suku Annonoideae adalah adanya bracts, articulation di bagian bawah dan atas
permukaan daun, pertumbuhan perbungaan (inflorescence) secara simpodial, jumlah bunga
tunggal dan collumelar polyads(Chatrou dkk., 2012).Hubungan antar tribus dalam anak
suku Annonoideae sangat kuat yang ditunjukkan melalui analisis Maximum Parsimony,
Bayessian dan Maximum Likelihood. Anak suku Annonoideae dibedakan dalam dua
kelompok besar yaitu tribus Bocageeae dan
[Xylopieae+Duguetieae+Guatterieae+Annoneae+Monodoreae+Uvarieae] seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Anak suku Malmeoideae memiliki hubungan yang paling
rendah dibanding anak suku Annonoideae dan Ambaviodeae, serta dibagi dalam lima
kelompok dikotom (Gambar 3).
Chatrou dkk. (2012) Gambar 1. Kladogram dalam anak suku Anaxagoreoideae dan Ambavioideae
11
Chatrou dkk. (2012)
Gambar 2. Kladogram dalam anak suku Annonoideae
12
Chatrou dkk. (2012) Gambar 3. Kladogram dalam anak suku Malmeoideae
Karakter pembeda tribus dalam Annonaceae meliputi struktur gynoecium,aestivation
of petals, jumlah petal, ukuran relatif dari outer dan inner petal, bentuk petal,bunga atau
perbungaan yang sympetalous,ujung dariconnective, plasenta and jumlah ovule, posisi
bunga atau perbungaan, tipe phyllotaxis dan ada tidaknya indumentum atau rambut (Koek-
Norman dkk., 1990).
13
2.2 Distribusi Suku Annonaceae
Annonaceae memiliki distribusi pada kawasan tropis hingga subtropis, mulai dari
Neotropis, Amerika Serikat, Afrika, Australia dan Asia, khususnya Indonesia (Gambar 4).
Jenis-jenis tumbuhan Annonaceae memainkan peran yang penting dalam fungsi
ekologisnya dimana berhubungan dengan diversitas jenis, khususnya pada ekosistem hutan
hujan tropis (Maas dkk., 2007;Kerrigandkk.,2011; Couvreur dkk., 2012).Diversitas jenis
dari Annonaceae dapat ditunjukkan melalui karakteristik morfologi dari marganya. Jenis-
jenis suku Annonaceae berkembang baik dalam kawasan tropis diantara Old dan New
World, khususnya pada hutan hujan tropis dengan ketinggian yang rendah. Pada kawasan
subtropis hangat seperti Amerika Selatan, subtropis Amerika Utara, Afrika Selatan dan
Australia bagian selatan hanya memiliki jenis Annonaceae yang sedikit apabila
dibandingkan dengan kepulauan sekitar Pasifik (Weichiu, 1995).
Weichiu (1995)
Gambar 4. Distribusi Annonaceae di seluruh dunia
Annonaceae menjadi suku dengan habitus liana terpenting di kawasan hutan tropis
kawasan Asia Tenggara (Gentry, 1991), dan beberapa diantaranya menjadi habitat asli dari
anak suku Annonoideae. Secara keseluruhan sekitar 500 jenis liana dari suku Annonaceae
yang diketahui palaeotropik (Couvreur dkk., 2015).
2.3 Pemanfaatan TanamanSuku Annonaceae
Annonaceae memiliki beberapa manfaat yang diambil dari bagian-bagian tanamannya,
yaitu sebagai tanaman pangan karena buahnya dapat dimakan (edible fruit), tanaman obat,
tanaman aromatik, tanaman hias dan tanaman pagar. Beberapa marga dari Annonaceae
yang dikenal menghasilkan buah yang dapat dimakan adalah Annona, Anonidium, Asimina,
14
Dennettia tripetala, Monodora myristica, Xylopia aethiopica, Rollinia dan Uvaria.
Khususnya, beberapa jenis dari marga Annona yang diketahui memang dibudidayakan dan
tumbuh sebagai tanaman domestik atau komersial di beberapa negara penghasil buah yang
bernutrisi dan dapat dimakan (Dike, 2010; Focho dkk., 2010). Pada umumnya,
Annonaceae (marga Annona) menunjukkan banyak aktivitas yang mencirikan sebagai
antitumor, antioksidan dan antimikroba (Mustapha, 2013; Biba dkk., 2014). Kulit batang
dan kayu dari 24 jenis tumbuhan Annonaceae di Pegunungan Kamerun, wilayah barat daya
Kamerun digunakan sebagai obat-obatan tradisional oleh penduduk lokal. Jenis-jenis
tersebut antara lain Annona senegalensis, Friesodelsia gracilipies, Monodora brevipes,
Piptostigma pilosum, Uvaria anonoides, Xylopia acutiflora dan lain-lain(Bele dkk.,
2011a). Cananga odorata mempunyai minyak aromaterapi dan digunakan sebagai parfum
atau saat upacara keagamaan sebagai bunga segar maupun bunga untuk sesaji (Oyen &
Nguyen, 1999). Jenis lain yang juga menghasilkan minyak aromaterapi adalah Artabotrys
hongkongensis, Melodorum fruticosum, Polylathia longifolia var. pendula, Fissistigma
maclurei, F. rufinerve (Thang dkk., 2013), Miliusa sinensis dan Artabotrys taynguyenensis
(Thang dkk., 2014).Beberapa jenis dari Polyalthia (sepertiPolyalthia longifolia, P.
lateriflora, P. longifolia var. pendula, P. glauca, P. celebica dan jenis lainnya) digunakan
sebagai tanaman hias (Lestari dkk., 2013).
2.4 Klasifikasi Annonaceae Menurut Beberapa Ahli
Klasifikasi tumbuhan merupakan pembentukan kelompok-kelompok dari seluruh
tumbuhan yang ada di bumi hingga dapat disusun sebuah taksa secara teratur mengikuti
suatu hirarki. Sifat-sifat yang dijadikan dasar dalam klasifikasi berbeda-beda tergantung
dari personal yang melakukan pengklasifikasian serta tujuan yang hendak dicapai.
Klasifikasi Annonaceae mengalami beberapa kali perubahan yang dilakukan oleh beberapa
ahli. Perubahan tersebut pada dasarnya disebabkan oleh pengkajian ulang terhadap
karakter morfologi yang terus mengalami perkembangan.
Klasifikasi menurut sistem APG (Angiospermae Phylogeny Group) merupakan sistem
klasifikasi tumbuhan yang pertama dengan versi modern, sebagian besar berdasarkan
molekuler dan sistem taksonomi tumbuhan. Sistem klasifikasi tersebut dipublikasikan pada
tahun 1998, kemudian direvisi menjadi APG II pada tahun 2003 (The APG, 2003), APG
III pada tahun 2009 (The APG, 2009) dan APG IV pada tahun 2016 (The APG,
2016).Klasifikasi Annonaceae menurut APG II dan III adalah Annonaceae termasuk dalam
kerajaan Plantae, kelompok Angiospermae, sub kelompok Magnoliids, super
15
bangsaMagnolianae, bangsa Magnoliales, bersamaan dengan suku yang lain seperti
Degeneriaceae, Eupomatiaceae, Himantandraceae, Magnoliaceae dan Myristicaceae. APG
IV mengklasifikasikan Annonaceae dalam clade Mesangiospermae, sebelum sub
kelompok Magnoliids.
Beberapa ahli taksonomi mengklasifikasikan Annonaceae dalam berbagai pandangan
sesuai dengan penggolongan masing-masing. Cronquist mengklasifikasikan Annonaceae
dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Magnoliidae, bangsa
Magnoliales, suku Annonaceae bersamaan dengan suku lainnya seperti Winteraceae,
Degeneriaceae, Himantandraceae, Eupomatiaceae, Austrobaileyaceae, Magnoliaceae,
Lactoridaceae, Myristicaceae dan Canellaceae (Cronquist, 1981).Bessey(1915)
mengklasifikasikan Annonaceae dalam kelompok Angiospermae, kelas Oppositifoliae syn.
Dicotyledone, sub kelas Oppositifoliae – Strobiloideae, super bangsa Apopetalae –
Polycarpellatae, bangsa Ranales, dan suku Annonaceae. Suku lain disamping Annonaceae
dalam bangsa Ranales antara lain Magnoliaceae, Calycanthaceae, Monimiaceae,
Cercidiphyllaceae, Trochodendraceae, Leineriaceae, Lactoridaceae, Gomortegaceae,
Myristicaceae, Saururaceae, Piperaceae, Lacistemaceae, Chloranthaceae, Ranunculaceae,
Lardizabalaceae, Berberidaceae, Menispermaceae, Lauraceae, Nelumbonaceae,
Cabombaceae, Ceratophyllaceae, Dilleniaceae dan Winteraceae. Sistem klasifikasi ini
dipengaruhi oleh Darwin dan Wallacea serta berdasarkan prinsip evolusi dan menempatkan
Ranales sebagai bangsa asli atau paling primitif dalam Angiospermae. Engler dan Prantl
(1887) mengklasifikasikan Annonaceae dalam kelas dikotil yang primitif dan tergabung
dalam sub kelas Dialypetalae. Sistem pengelompokan Engler dan Prantl berdasarkan
tingkatan evolusinya dengan konsep bunga primitif (uniseksual, achlamydous). Menurut
United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service(USDA,
2017), Annonaceae termasuk dalam kerajaan Plantae, sub kerajaan Tracheobionta
(vascular plants), divisi Magnoliophyta (flowering plants), kelas Magnoliopsida
(tumbuhan dikotil), sub kelas Magnoliidae dan bangsa Magnoliales.
2.5 Analisis Fenetik dan Filogenetik
Fenetik dan filogenetik merupakan konsep penting yang bermanfaat bagi
biosistematika tumbuhan, karena merupakan pola hubungan kekerabatan atau total
kesamaan diantara kelompok tumbuhan berdasarkan karakter yang spesifik dari setiap
kelompok tumbuhan tersebut. Penentuan jenis berdasarkan pendekatan karakter fenetik
berupa pengelompokan jenis tanpa mempertimbangkan dimensi waktu atau tingkatan
16
evolusi, sedangkan penentuan jenis berdasarkan pendekatan karakter filogenetik
mempertimbangkan dimensi waktu atau tingkatan evolusi, dan akan terus mengalami
perubahan mulai kondisi sebelumnya, saat ini maupun masa mendatang. Analisis tersebut
bertujuan untuk meningkatkan obyektivitas dalam proses analisis data dan heritabilitas
klasifikasi yang diperoleh berdasarkan taksa yang diamati. Hal ini sangat penting bagi
taksa-taksa yang kategori pengklasifikasiannya masih mengalami perdebatan (Arrijani,
2003; Rasnovi, 2004).
Analisis fenetik berdasarkan karakter secara morfologi menghasilkan dendrogram, dan
analisis filogenetik berdasarkan karakter secara morfologi serta molekuler menghasilkan
kladogram. Pada dasarnya, kedua analisis tersebut merupakan analisis dengan
menggunakan pendekatan biosistematika namun memiliki banyak perbedaan yang
fundamental. Analisis secara fenetik melalui pendekatan morfologi mempunyai nilai
penting karena dapat mengetahui jarak taksonomi hubungan kekerabatan antar jenis
maupun varietas. Hasil hubungan kekerabatan tersebut dapat digunakan untuk pemanfaatan
lebih lanjut seperti pengembangan varietas baru dalam pemuliaan tanaman, identifikasi
jenis baru maupun mencari varietas substitusi apabila suatu varietas atau jenis tanaman
memiliki kendala dalam budidayanya. Bentuk atau karakter morfologi secara umum
memang merupakan data yang baik untuk membatasi suatu takson, karena karakternya
mudah dilihat dan bukan merupakan karakter yang tersembunyi. Karakter tersebut dapat
digunakan sebagai sumber bukti taksonomi (Hardiyanto dkk., 2007; Lestari dkk., 2014).
Analisis secara fenetik atau lebih dikenal dengan taksonomi numerik
merupakanpengelompokan suatu unit taksonomi dengan metode numerik ke dalam taksa
tertentuberdasarkan atas karakter yang dimiliki. Tujuan utamanya yaitu untuk
menghasilkan suatu klasifikasi yang bersifat teliti, reprodusibel serta padat informasi. Lima
prinsip utama di dalamnya meliputi a) taksonomi yang ideal dan merupakan taksonomi
yang mengandung informasi terbesar, dimana masing- masing karakter diberi nilai yang
setara dalam mengkonstruksikan takson yang bersifat alami, b) tingkat kedekatan antara
dua jenis merupakan fungsi proporsi similaritas sifat yang dimiliki bersama, c) taksa yang
berbeda dibentuk berdasarkan atas sifat yang dimiliki, dan d) similaritas tidak bersifat
filogenetis melainkan bersifat fenetik. Setiap karakter memiliki nilai yang dapat bersifat
kualitatif atau kuantitatif. Karakter yang berkaitan dengan bentuk dan struktur merupakan
karakter kualitatif. Sedangkan karakter yang mendeskripsikan ukuran, panjang, dan jumlah
merupakan karakter kuantitatif. Secara umum, karakter kualitatif lebih berguna dalam
membedakan taksa pada tingkat taksonomi yang lebih tinggi. Sementara karakter
17
kuantitatif banyak digunakan untuk membedakan kategori taksonomi pada tingkatan yang
lebih rendah (Sokal & Sneath, 1963; Singh, 2010).Pengklasifikasian secara fenetik tidak
mencerminkan hubungan kekerabatan, karenaklasifikasi ini didasarkan atas algoritma
fenetik (kemiripan) dan tanpamempertimbangkan tingkatan evolusinya.
Beberapa keuntungan dalam menggunakan analisis secara fenetik menurut Sokal
&Sneath (1963) meliputi 1) analisis secara fenetik memiliki kemampuan untuk
mengintegrasikan data dari berbagai sumber, seperti morfologi, fisiologi, kimiawi, urutan
asam amino dalam protein dan sebagainya, 2) melalui serangkaian proses taksonomi secara
otomatis dalam porsi besar maka akan terjadi peningkatan efisiensi kerja, 3) data yang
dikode dalam bentuk numerik dapat diintegrasikan dengan sistem proses data elektronik
yang ada dalam kajian taksonomi sehingga dapat digunakan dalam pembuatan kunci
determinasi, deskripsi, katalog, dan dokumen lainnya, 4) dikarenakan bersifat kuantitatif,
metode ini memberikan diskriminasi lebih tinggi di sepanjang rentang perbedaan
taksonomi dan lebih sensitif dalam membatasi jumlah taksa, 5) pembentukan tabel data
yang bersifat eksplisit telah mendorong para ahli dalam bidang taksonomi untuk
menggunakan karakter yang lebih jelas, 6) keuntungan fundamental dari analisis ini adalah
metode ini telah mengecek ulang prinsip-prinsip taksonomi serta tujuan klasifikasi. Hal ini
memberikan manfaat bagi taksonomi secara umum dan telah memunculkan berbagai
pertanyaan fundamental dalam taksonomi, 7) analisis secara fenetik telah menunjukkan
interpretasi ulang beberapa konsep biologi dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru
terkait biologi evolusi. Oleh karena itu, metode ini juga telah menjadi alat heurestik dalam
penelitian biologi.Kekurangan dari analisis secara fenetik adalah hasil klasifikasi numerik
fenetikdalam wujud dendrogram tidak dapat diinterpretasikan sebagai cerminan dari
hubungan kekerabatan (filogenetik) karena klasifikasi ini memang didasarkan atas
algoritma fenetik(kemiripan).
Analisis secara fenetik berdasarkan persamaan dan perbedaan karakter fenetik yang
diamati, kemiripan karakter berkurang pada kategori yang lebih tinggi, tidak memerlukan
pengetahuan atau analisis tentang evolusi serta sulit membedakan karakter yang terlihat
sama atau menunjukkan kemiripan. Analisis secara filogenetik berdasarkan kesamaan
nenek moyang, artinya makin dekat nenek moyang dua unit taksonomi maka akan
berkerabat makin dekat dan ditempatkan pada kategori taksonomi yang lebih rendah
dibanding dengan unit taksonomi yang berbagi moyang lebih jauh, serta hanya dapat
diterapkan pada obyek yang benar-benar mempunyai riwayat perkembangan nenek
moyang.
18
Penanda molekuler adalah pewarisan sekuen DNA yang berbeda dan menunjukkan
adanya polimorfisme. Secara fenotip lebih bersifat netral, berkembang dalam kondisi
lingkungan yang stabil sehingga dapat menjadi solusi untuk penentuan jenis yang akurat
serta memiliki kemampuan untuk mengisolasi konflik dalam signal hubungan filogenetik
yang ditimbulkan akibat variasi dalam pendekatan karakter morfologi (Chatrou dkk.,
2012). Penanda molekuler yang baik adalah yang memiliki nilai atau persentase
polimorfisme tinggi dan dan dapat diobservasi lebih lanjut (Spooner dkk., 2005).
2.6 Bentuk-Bentuk Penelitian Tentang Karakterisasi Annonaceae Dengan
Pendekatan Morfologi
Bentuk-bentuk penelitian dengan menggunakan pendekatan morfologi pada
Annonaceae telah banyak dilakukan oleh para peneliti di berbagai belahan dunia. Saat ini
penelitian dengan pendekatan morfologi telah banyak dikaitkan dengan pendekatan secara
molekuler. Penelitian tentang kajian karakterisasi morfologi di Indonesia juga banyak
dilakukan seperti kajian tentang genus Artabotrys di wilayah Sumatra dan Annonaceae
pemanjat di Kalimantan Timur (Priyanti, 2002; Nurainas, 2004), serta beberapa jenis baru
dari wilayah Kalimantan dan wilayah lain di Indonesia (Turner, 2009). Hingga saat ini
penelitian tentang karakterisasi morfologi pada Annonaceae di Kebun Raya Purwodadi
baru berkisar tentang kajian morfometri pada marga Annona, Anagorea luzonensis sebagai
jenis baru bagi koleksi KRP dan variasi gland pada marga Orophea (Lestari, 2011; Lestari
& Hikmah, 2012; Lestari, 2013). Penelitian tentang hubungan kekerabatan Annonaceae
secara fenetik maupun filogenetik belum pernah dilakukan, terutama di Kebun Raya
Purwodadi.
2.7 Bentuk-Bentuk Penelitian Tentang Analisis Hubungan Kekerabatan Annonaceae
Saat ini, analisis hubungan kekerabatan pada Annonaceae banyak dipelajari serta
diteliti oleh banyak peneliti di seluruh dunia. Beberapa dan bahkan sebagian besar
diantaranya menggunakan penanda molekuler untuk menganalisis hubungan kekerabatan
dalam setiap marga Annonaceae. Analisis hubungan kekerabatan tersebut digunakan untuk
mengetahui variasi genetik dalam satu jenis, keperluan identifikasi jenis baru melalui
penanda molekuler DNA, serta diversitas genetik suatu jenis maupun yang terkait dengan
biogeografi suatu jenis tertentu. Pirie dkk. (2005) menggunakan analisis hubungan
kekerabatan dan penanda molekuler untuk menduga hipotesis tentang biogeografi
Annonaceae kawasan Neotropik, yaitu Cremastosperma R.E.Fr., Klarobelia Chatrou,
19
Malmea R.E.Fr. dan Mosannona Chatrou. Erkens dkk. (2009) menggunakan analisis
hubungan kekerabatan untuk mengetahui pola migrasi atau penyebaran dari Guatteria pada
hutan hujan tropis dataran rendah di Afrika hingga Amerika Selatan. Chatrou dkk. (2012)
menggunakan analisis hubungan kekerabatan menggunakan penanda molekuler DNA
untuk mengetahui klasifikasi anak suku dan tribus baru Annonaceae.
Penanda molekuler DNA yang banyak digunakan untuk menganalisis hubungan
kekerabatan pada Annonaceae adalah matK, rbcL dan trnL-F(Mols dkk., 2004; Pirie dkk.,
2007; Couvreur dkk., 2008; Su dkk., 2008; Zhou dkk., 2009; Zhou dkk., 2010; Chaowasku
& Keβler, 2013; Tang dkk., 2015a; Tang dkk., 2015b). Penanda molekuler DNA lain juga
banyak digunakan seperti ycf1 (Neubig & Abbott, 2010), psbA-trnH, ndhF, AP3, phyA (Li
dkk., 2015), trnL, αtpB-rbcL, trnSG dan psbM-trnD (Couvreur dkk., 2008; Tang dkk.,
2015b)seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Penanda molekuler DNA yang digunakan dalam penelitian hubungan kekerabatan Annonaceae
Pustaka Jenis Annonaceae matK psbA-
trnH rbcL trnL-F ndhF ycf1 AP3 phyA trnL
Zhou dkk. (2009)
Uvaria v v v v
Zhou dkk. (2010)
Uvaria v v v v
Tang dkk. (2015a)
Goniothalamus v v v v v
Li dkk. (2015)
Disepalum v v v v v v
Chaowasku& Kesβler (2013)
Miliusa v v v v v v
Su dkk. (2008)
Pseuduvaria v v v v
Mols dkk. (2004)
Miliuseae v v
Neubig& Abbott (2010)
Annonaceae v v v
Pirie dkk. (2007)
Annonaceae v v v v
Couvreur dkk. (2008)
Annonaceae v v v v v
Tang dkk. (2015b)
Goniothalamus v v v v v v
Chatrou dkk. (2012)
Annonaceae v v v v v v
Total 11 9 10 12 5 4 1 1 2
20
2.8 Pemilihan Out-group
Out-group merupakan taksa yang terkait erat dengan in-group namun bukan
merupakan anggota di dalam in-group. Pada umumnya out-group adalah sister dari in-
group yang paling primitif (Simpson, 2010). Pemilihan out-group sangat penting dalam
studi hubungan kekerabatan dikarenakan ketepatan dalam menentukan out-group akan
berpengaruh terhadap kladogram yang dihasilkan. Apabila taksa yang dipilih terlalu dekat
maka kemungkinan out-group berada dalam satu clade dengan in-group sangat besar,
namun apabila taksa yang dipilih terlalu jauh maka clade yang dihasilkan dalam pohon
filogenetik terlihat semu.
Out-groupterdekat dari suku Annonaceae dalam berbagai studi tentang analisis
hubungan kekerabatan adalah suku Magnoliaceae dan Eupomatiaceae (Ping dkk., 1999;
Chatrou dkk., 2012; Pirie & Doyle, 2012). Pemilihan out-group tersebut didasarkan
padatingkatan evolusi dari sister terdekat suku Annonaceae. Tribus dari suku Annonaceae
yang terdekat dengan out-group Magnoliaceae dan Eupomatiaceae adalah Anaxagoreideae,
khususnya marga Anaxagorea (Gambar 5). Secara garis besar, kriteria pemilihan outgroup
didasarkan pada a) taksa yang berada di luar in-group, b)dijadikan sebagai acuan (root), c)
bersifat lebih primitif satu tingkat dibanding in-group dan d) berfungsi untuk menentukan
indeks kesamaan dan memverifikasi posisi dalam in-group atau mengetahui diversitas in-
group (Simpson, 2010).
Doyle dkk. (2004); Pirie & Doyle (2012)
Gambar 5. Posisi out-group dari Annonaceae
21
2.9 Penanda Molekuler DNA (rbcL, matKdan trnL-F)
2.9.1 Penanda Molekuler rbcL
rbcL merupakan gen yang mengkode sub unit ribulose-1,5-biphosphate
carboxylasedalam jumlah besar, yaitu sebesar ˃1400 bp yng menyediakan berbagai
informasi tentang sejumlah karakter untuk penelitian studi tentang analisis hubungan
kekerabatan maupun filogenetik. rbcL merupakan salah satu enzim yang mengontrol
proses fotosintesis pada tanaman, khususnya yang berdaun hijau (Wall & Herbeck, 2003).
Melalui penanda rbcL akan banyak informasi komparatif yang berhasil dikumpulkan dan
tingkatan evolusi rbcL telah terbukti sangat tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
terkait filogenetik tumbuhan dalam tingkatan suku atau level tertinggi di atasnya (Avise,
1994). Metode dalam urutan sekuen rbcL telah banyak digunakan untuk tujuan penelitian
yang terkait dengan studi filogeni, evolusi, biogeografi, sistematika dan genetika populasi
karena dapat dengan mudah disalin serta sangat berbeda untuk jenis-jenis yang saling
terkait atau lebih dekat hubungan kekerabatannya. Urutan sekuen DNA dalam rbcL
bersifat lebih variabel dan memiliki tingkatan yang cepat apabila menunjukkan tinggi
rendahnya suatu diversitas genetik (Wongsawad & Peerapornpisal, 2014).
Penanda molekulerrbcL diketahui dapat digunakan untuk mengidentifikasi
komunitas akar dari kelompok rumput-rumputan, gametofit paku air, leptosporangiate
ferns, seedling pada plot hutan tropis dan beberapa jenis tanaman obat (Hasebe dkk., 1994;
Bahadur dkk., 2015).Analisis hubungan kekerabatan menggunakan penanda molekuler
rbcL telah diteliti pada bangsa Zingiberales pada tingkatan infra-suku, suku Cornaceae,
Cupressaceae, Ericaceae, Geraniaceae, Onagraceae dan Saxifragaceae pada tingkatan
taksonomi terendah yaitu inter dan intra genetik, serta anggota suku Poaceae (Gielly &
Taberlet, 1994; Bieniek dkk., 2015).
2.9.2 Penanda Molekuler matK
matK (MaturaseK gene) adalah gen yang berdiri diantara gen-gen plastid dan banyak
digunakan dalam analisis biosistematika tumbuhan, memiliki tiga kali tingkatan substitusi
yang lebih tinggi dari tingkatan nukleotida dan enam kali lebih tinggi dari tingkatan asam
amino pada rbcL, memiliki ukuran gen sebesar 1500 bp panjangnya, berlokasi di intron
trnK serta merupakan kode untuk protein maturase yang termasuk dalam kelompok II
intron splicing(Gambar 6). matK mengandung nilai rata-rata substitusi yang tinggi dalam
jenis dan dianggap potensial untuk mempelajari sistematika tumbuhan dan tingkatan
evolusi(Selvaraj dkk., 2008). Informasi molekuler dari gen matK telah digunakan untuk
22
menyelesaikan permasalahan dalam hubungan kekerabatan atau filogenetik ke dalam
tingkatan taksonomi yang lebih mendalam (Barthet & Hilu, 2007).
Diketahui matK dapat menghasilkan data yang bermanfaat secara komparatif
khususnya untuk mengetahui hubungan kekerabatan diantara marga dalam satu suku (pada
Lauraceae) dan bahkan diantara jenis dalam satu marga (dalam Saxifragaceae). Susbtitusi
insersi dan delesi pada Poaceae juga dapat diketahui melalui matKyang bertujuan untuk
mengakses posisi taksonomi filogenetik pada taksa yang diragukan(Hilu & Alice, 1999;
Stuessy, 2009). Aplikasi matK sebagai DNA barcodingpada tanaman diketahui terdapat
pada identifikasi jenis anggrek, beberapa jenis lumut, seedling pada plot hutan tropis,
beberapa jenis tanaman obat seperti anggota suku Zingiberaceae dan tanaman beracun
(Selvaraj dkk., 2008; Bahadur dkk., 2015).matK juga diketahui pada tanaman dari
kelompok Gymnospermae yang memiliki tingkatan berbeda secara evolusi dengan anggota
tanaman dari kelas monokotil (suku Alliaceae, Agavaceae, Iridaceae, Bromelliaceae,
Liliaceae, Orchidaceaedan Poaceae) dan dikotil (suku Brassicaceae, Fabaceae, Urticaceae,
Chenopodiceae, Malvaceae, Rosaceae, Lamiaceae, Oleaceae, Theaceae, Vitaceae,
Hamameliaceae, Asteraceae dan Umbellifera) melalui analisis parsimoni (Ince dkk.,
2005).matK digunakan pula untuk mengetahui evolusi karakter pada tribus Millettiaeae,
Papilionidae (Hu dkk., 2000) serta untuk mengetahui variasi sekuen nukleotida antar jenis
pada marga Fagopyrum, Polygonaceae (Ohsako & Ohnishi, 2001).
Young & de Pamphilis (2000)
Gambar6. Sketsa gen plastid trnK dan matKyang mengandung intron
2.9.3 Penanda Molekuler trnL-F
trnL-F menjadi spacer gene yang memiliki primer tertinggi bila dibandingkan
dengan rbcL dan matK. Menurut Chen dkk. (2013), trnL-F merupakan sebuah alat yang
efisien untuk mengidentifikasi gametofit dan potensial untuk menggali gametofit
kelompok tumbuhan paku. Tingkatan substitusi yang lebih tinggi dari rbcL dan matK dapat
berhasil diidentifikasi hingga tingkatan jenis. Kondisi tersebut juga dapat diaplikasikan
pada suku tumbuhan lainnya. Menurut Richardson dkk. (2000), kladogram yang
23
dihasilkan dari penanda molekuler trnL-F mempunyai konsistensi yang lebih tinggi dan
indeks retensi yang lebih besar dibanding penanda molekuler rbcL. Posisi primer yang
digunakan untuk mengamplifikasi dan sekuensing gen trnL-F pada Annonaceae
ditunjukkan dalam Gambar 7.
Penanda molekuler trnL-F digunakan untuk mendeteksi hubungan diantara jenis
Graptopetalum, Crassulaceae (Acevedo-Rosas dkk., 2004),mendeteksi hingga tingkatan
hibrida pada jenis Gaura, Onagraceae (Hoggard dkk., 2004), determinasi jenis Rubus
(Yang dkk., 2012), filogeografi pada jenis Chrysanthemum indicum L., Compositae (Fang
dkk., 2010), serta filogeni jenis dari marga Cercis, Fabaceae (Coskun & Parks, 2009).
Identifikasi DNA untuk jenis paku-pakuan juga menggunakan penanda molekuler trnL-F
yang dikombinasikan dengan rbcL, karena kombinasi rbcL dan matK tidak berlaku untuk
identifikasi jenis tersebut (de Groot dkk., 2011).
Pirie dkk. (2007)
Gambar 7. Skema primer yang digunakan untuk amplifikasi dan sekuensing trnL-F pada Annonaceae
2.10 Kebun Raya Purwodadi – LIPI Sebagai Lembaga Konservasi Ex-Situ
Kebun Raya Purwodadi (KRP) merupakan salah satu satuan kerja di bawahPusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang didirikan pada tahun 1941 dengan
spesifikasi habitat Hortus Iklim Kering, terletak di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur.KRP dengan luas 85 ha berada pada ketinggian 300 m dpl dengan
kisaran suhu 22-32°C, rata-rata curah hujan per tahun sebesar 2366 mm dengan bulan
basah antara November dan Maret, topografi datar hingga bergelombang dan tipe tanah
24
vertisol. Kebun Raya Purwodadi mempunyai tugas melaksanakan konservasi ex-situ
tumbuhan dataran rendah kering. Fungsinya sebagai: a) pelaksanaan eksplorasi tumbuhan
dataran rendah kering; b) pelaksanaan pengelolaan koleksi tumbuhan dataran rendah
kering; c) pelaksanaan penelitian dan pengembangan konservasi tumbuhan dataran rendah
kering; d) pelaksanaan layanan jasa dan informasi dan e) pelaksanaan urusan tata usaha
dan rumah tangga (Perka LIPI, 2016). Berdasarkan data koleksi tanaman di Unit Registrasi
per Mei 2017, jumlah koleksi tanaman secara keseluruhan di KRP sebanyak 178 suku, 965
marga, 2027 jenis dan 11.692 spesimen (krpurwodadi.lipi.go.id, 2017).
Koleksi tanaman Annonaceae di KRP berdasarkan data dari Unit Registrasi (2014)
sebanyak 49 marga, 51 jenis, 381 spesimen, 117 nomor koleksi yang belum diketahui
jenisnya dan 23 nomor koleksi yang belum teridentifikasi. Sekitar 65% dari total
keseluruhan jenis tanaman koleksi Annonaceae di KRP mengalami periode pembungaan
dan pembuahan, namun sebagian besar tanaman koleksi tersebut belum diketahui identitas
jenisnya.
2.11 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian tentang analisis hubungan kekerabatan Annonaceae dari
Jawa Timur berdasarkan karakter morfologi dan penanda molekuler DNA diawali dari
permasalahan bahwa Annonaceae merupakan salah satu suku dari Angiospermae yang
dianggap termasuk dalam kelompok tumbuhan primitif karena bagian-bagian bunganya
tersusun secara spiral pada sumbu bunganya dan kadang-kadang tidak jelas batas-batas
antara kelopak, mahkota, benang sari dan daun-daun buah (Gambar 8). Namun tingkatan
evolusi dan keprimitifan Annonaceae belum diketahui secara pasti. Pada umumnya jenis-
jenis dari kelompok tumbuhan yang primitif akan memiliki spesifikasi habitat tertentu
sehingga rentan terhadap ancaman kerusakan. Hal ini dikarenakan jenis tumbuhan tersebut
hanya mampu beradaptasi pada lingkungan habitat tertentu, dan apabila terjadi kerusakan
maka jenis tumbuhan tersebut kemungkinan akan mengalami kepunahan akibat tidak dapat
mempertahankan diri. Kondisi tersebut menjadi permasalahan bagi jenis tumbuhan dari
suku Annonaceae. Kebun Raya Purwodadi sebagai salah satu lembaga konservasi ex-situ
memiliki koleksi jenis tumbuhan Annonaceae yang berasal dari berbagai wilayah di
Indonesia. Sebagian besar koleksi tumbuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan eksplorasi
di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Jawa (khususnya Jawa Timur), beberapa di Maluku,
Papua, Nusa Tenggara dan Sumatra. Karakter generatif pada koleksi tumbuhan
Annonaceae tersebut tidak sepenuhnya muncul, sementara sejauh ini karakter morfologi
25
secara generatif sangat diperlukan dalam identifikasi jenis pada suku Annonaceae secara
morfologi. Karakter vegetatif hanya mampu mengidentifikasi hingga tingkatan marga,
belum mencapai tingkatan jenis. Oleh karena itu diperlukan data pendukung berupa data
molekuler untuk mengkonfirmasi pengklasifikasian jenis tersebut. Data molekuler tersebut
belum tersedia di Kebun Raya Purwodadi sebagai dasar pengujian klasifikasi secara
konvensional yang telah ada (karakter morfologi). Disamping itu, adanya koleksi
Annonaceae yang belum teridentifikasi hingga tingkatan jenis serta adanya variasi pada
beberapa marga menimbulkan permasalahan pada posisi takson jenis tersebut.
Permasalahan tersebut terjadi pada koleksi tumbuhan Annonaceae yang berasal dari
wilayah Jawa Timur. Analisis hubungan kekerabatan sangat diperlukan untuk menjawab
permasalahan di atas. Selain itu, penelitian tentang hubungan kekerabatan koleksi
tumbuhan Annonaceae Jawa Timur belum pernah dilakukan baik berdasarkan karakter
morfologi (fenetik dan filogenetik) maupun penanda molekuler DNA.
Hubungan kekerabatan dapat diketahui melalui observasi dan penelitian
menggunakan karakter morfologi dan penanda molekuler DNA. Karakter morfologi yang
diamati melalui analisis secara fenetik (berdasarkan ada tidaknya karakter secara morfologi
tanpa mempertimbangkan tingkatan evolusinya) dan filogenetik (berdasarkan karakter
secara morfologi dengan mempertimbangkan tingkatan evolusinya). Analisis secara
molekuler menggunakan analisis filogenetik berdasarkan urutan sekuen DNA. Analisis
dengan penanda molekuler DNA lebih bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, berbeda dengan karakter morfologi. Maksud kedua analisis tersebut adalah
sebagai konfirmasi atas klasifikasi secara konvensional (karakter morfologi) melalui
penanda molekuler DNA pada jenis Annonaceae dari Jawa Timur,dan perbandingan
pengelompokan hubungan kekerabatan jenis Annonaceae dari Jawa Timur antara karakter
morfologi dan penanda molekuler DNA untuk mengetahui posisi taksonnya. Output dari
tujuan tersebut pada akhirnya akan menjadi dasar bagi strategi konservasi untuk jenis
Annonaceae dari Jawa Timur.
26
Gambar 8. Bagan alir kerangka konsep penelitian.Keterangan: kotak warna biru adalah
permasalahan yang ditemui pada Annonaceae di Kebun Raya Purwodadi, kotak warna merah adalah permasalahan Annonaceae secara keseluruhan
Tingkatan evolusi dan keprimitifan belum diketahui
Karakter generatif belum sepenuhnya muncul
Annonaceae Kebun Raya Purwodadi
Belum tersedianya data molekuler untuk menguji klasifikasi secara konvensional
yang ada (karakter morfologi)
Variasi Jenis-jenis yang belum teridentifikasi
Jawa Timur Hubungan kekerabatan Belum pernah dilakukan pada jenis Annonaceae dari Jawa Timur koleksi KRP
Spesifikasi habitat pada jenis yang primitif rentan ancaman kerusakan
Posisi takson dan jenis
Karakter morfologi
Penanda molekuler DNA
Analisis fenetik Analisis filogenetik Tingkatan evolusi Kemiripan
Subyektifitas tinggi, observasi lama, tidak
stabil
Stabil, tidak dipengaruhi lingkungan,
polimorfisme tinggi DNA kloroplas
1. Konfirmasi atas klasifikasi secara konvensional (karakter morfologi) melalui penanda molekuler DNA pada jenis Annonaceae dari Jawa Timur
2. Perbandingan pengelompokan hubungan kekerabatan jenis Annonaceae dari Jawa Timur antara karakter morfologi dan penanda molekuler DNA
3. Penentuan posisi takson &jenis Annonaceae dari Jawa Timur berdasarkan pengelompokan hubungan kekerabatannya
Dasar strategi konservasi untuk jenis Annonaceae dari Jawa Timur