BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/48819/3/BAB II.pdf · tanaman yang berkhasiat bagi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/48819/3/BAB II.pdf · tanaman yang berkhasiat bagi...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Eleutherine palmifolia
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Bawang dayak (Eluetherine palmifolia (L.) Merr adalah salah satu jenis
tanaman yang berkhasiat bagi kesehatan. Tanaman ini banyak ditemukan di daerah
Kalimantan. Penduduk lokal di daerah tersebut sudah menggunakan tanaman ini
sebagai obat tradisional. Bagian yang dapat dimanfaatkan pada tanamaan ini adalah
umbinya.
Klasifikasi dari tanaman Eleutherine palmifolia adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobinota
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Liliidea
Ordo : Liliales
Famili : Iridaceae
Genus : Eleutherine
Spsies : Eleutherine palmifolia (L.) Merr (Van Steenis, 1997).
Gambar 2.1 Eleutherine palmifolia (United State Department of Argiculture)
Sumber: (Anonim, 2014)
6
2.1.2 Nama Lain Eleutherine palmifolia
Nama lain dari tanaman bawang dayak antara lain Eleutherine american,
Eleutherine bulbosa, Eleutherine subayphyla, Eleutherine citriodora, Eleutherine
guatemalensis, Eleutherine latifolia, Eleutherine longifolia, Eleutherine plicata,
Eleutherine anomala. Di Indonesia, tanaman ini juga dikenal dengan nama bawang
merah, bawang hantu, bawang sabrang, dan bawang arab. Dalam ilmu toksonomi,
berikut adalah klasifikasi dari bawang dayak (Eluetherine palmifolia (L.) Merr
(Anonim, 2014).
2.1.3 Morfologi Tanaman
Tanaman ini banyak terdapat di pegunungan antara 600 sampai 1500 m di
atas permukaan laut. Penanamannya mudah dibudidayakan, tidak tergantung
musim dan dalam waktu 2 hingga 3 bulan setelah tanam sudah dapat dipanen
(Saptowalyono 2007). Ciri spesifik dari tanaman ini adalah umbinya yang berwarna
merah menyala dengan permukaan yang sangat licin, letak daun berpasangan
dengan komposisi daun bersirip ganda dan bunganya berwarna putih. Tipe
pertulangan daunnya sejajar dengan tepi daun licin dan bentuknya seperti pita
bergaris. Selain digunakan sebagai tanaman obat, tanaman ini juga bisa digunakan
sebagai tanaman hias karena memiliki bunga yang berwarna putih (Galingging,
2009).
Umbi Eleutherine palmifolia mengandung senyawa-senyawa turunan antrakinon
yang mempunyai daya pencahar, yaitu senyawa-senyawa eleutheurin, isoeleutherin
dan senyawa-senyawa sejenisnya. Senyawa-senyawa lakton yang disebut eleutherol
dan senyawa turunan pyron yang disebut eleutherinol (Kimura dkk., 1983). Adapun
senyawa bioaktif yang terdapat dalam umbi E. palmifolia terdiri dari senyawa alkaloid,
steroid, glikosida, flavonoid, fenolik, saponin, triterpenoid, tanin dan kuinon
(Galingging, 2007).
2.1.4 Distribusi Eleutherine palmifolia
E. palmifolia banyak tumbuh di pegunungan pada ketinggian 600-2.000
mdpl. Di Kalimantan Barat E. palmifolia ditanam pada ketinggian 1-2 mdpl, dengan
pH tanah antara 6-7. Tanah subur dan struktur yang remah, kandungan bahan
organik yang tinggi, pertanaman yang luas dapat dilakukan di lahan gambut dengan
7
produksi yang cukup baik dapat mencapai 5 ton/ha. Bagian yang di tanam adalah
umbinya (Yusuf, 2009).
Penyebaran E. palmifolia ditemukan mulai dari semenanjung Malaysia
hingga Filiphina, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
2.1.5 Kandungan Fitokimia Eleutherine palmifolia
E. palmifolia mengandung senyawa-senyawa kimia seperti alkaloid,
glikosid, flavonoid, fenolik, streoid, dan tanin yang merupakan sumber potensial
untuk dikembangkan sebagai tanaman obat. Alkaloid memiliki fungsi sebagai
antimikroba. Selain itu, alkaloid, glikosid, dan flavonoid juga memiliki fungsi
sebagai hipoglikemik sedangkan tanin biasa digunakan sebagai obat sakit perut
(Galingging, 2009).
Alkaloid yang terkandung dalam bawang dayak adalah suatu golongan
senyawa organik yang memiliki paling sedikit satu atom nitrogen. Kebanyakan
alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu, tidak berwarna dan
bersifat basa. Alkaloid dapat ditemukan dari berbagai bagian tumbuhan-tumbuhan
seperti pada biji, daun, ranting dan kulit batang. Hampir semua alkaloid mempunyai
efek biologis tertentu, ada yang beracun dan ada juga yang sangat berguna sebagai
obat (Lenny, 2006).
Flavonoid merupakan senyawa polar yang umumnya mudah larut dalam
pelarut polar seperti etanol, methanol, butanol, dan aseton (Markham, 1998).
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol, mempunyai sifat
menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur. Senyawa-senyawa flavonoid
umumnya bersifat antioksidan dan banyak yang telah digunakan sebagai salah satu
komponen bahan baku obat-obatan. Bahwa senyawa flavonoid dan senyawa
turunanya memiliki dua fungsi fisiologis tertentu yaitu sebagai bahan kimia untuk
mengatasi serangan penyakit (sebagai antibakteri) dan anti virus bagi tanaman
(Khunaifi, 2010). Flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteti, dengan cara
merusak permeabilitas dinding sel bakteri (Sabir, 2003; Mirzoeva dkk., 1997).
8
Tabel II. 1 Hasil Skrining fitokimia ekstrak n-Heksana dan fraksi-fraksinya :
Golongan
senyawa
Reagen Reaksi Ekstrak
etanol
96%
Fraksi
Etanol-
air
Fraksi
Etil
asetat
Fraksi
n-
Heksana
Flavonoid HCl + Mg Hijau
sampai biru
+ + + +
Fenolik FeCl3 1% Hijau/biru + + + -
Alkaloid Dragendroff
dan Mayer
Endapan
merah dan
endapan
putih
+ + + -
Saponin Aquadest+HCl
2N
Buih + + - -
Triterpenoid Lieberman-
Burchard
Merah + - + +
Tanin NaCl 10% +
garam gelatin
Endapan - - - -
Keterangan : + = Mengandung senyawa yang diuji ; - = Tidak mengandung
senyawa yang diuji (Setiawan, 2017).
2.1.6 Manfaat Eleutherine palmifolia Sebagai Herbal Medicine
Khasiat dari tanaman bawang dayak di antaranya sebagai antikanker payudara,
mencegah penyakit jantung, immunostimulant, antinflamasi, antitumor serta anti
bleeding agent (Saptowalyono, 2007). Hasil penelitian menunjukan bahwa umbi
bawang dayak mengandung senyawa naphtoquinonens dan turunannya seperti
elecanacine, eleutherine, eleutherol, eleuthernone (Hara ddk., 1997). Naphtoquinones
dikenal sebagai antimikroba, antifungal, antiviral dan antiparasitik. Selain itu,
naphtoquinones memiliki bioaktivitas sebagai antikanker dan antioksidan yang
biasanya terdapat di dalam sel vakuola dalam bentuk glikosida (Babula dkk., 2005).
Pada Penelitian Rani dan Nair (2016) dengan judul GC-MS analysis of ethyl
acetate extract of eleutherine bulbosa (urban) miller (iridaceae) didapatkan hasil
bahwa ekstrak etil asetat eleutherine bulbosa mengandung 24 senyawa dengan analisis
menggunakan GC-MS. Senyawa fenolik yang memiliki konsentrasi tertinggi (34,20%)
adalah, 1, 8 Naphthalenediol, 2, 7-diacetyl-3, 6-dimethyl, dimana pada senyawa ini
memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Selanjutnya adalah senyawa Propanedinitrile,
(3,4,5-trimethoxyphenyl) methylene dengan konsentrasi sebesar 22,53% memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Eschericia coli, Salmonella typhi, Pseudomonas
9
aeruginosa, dan Staphylococcus aureus. Kemudian senyawa Benzena dicarboxylic
acid di-n-octyl ester dengan konsentrasi sebesar 11,97% memiliki aktivitas sebagai
antibakteri terhadap Eschericia coli, Enterococcus spp, Klebsiella pneumonia,
Staphylococcus aureus, dan Proteus vulgaris. Senyawa lain yaitu asam n-
heksadekanoat (5,75%). Senyawa-senyawa lain yang mempunyai konsentrasi dibawah
5% adalah senyawa asam karboksilat dan fitosterol.
Senyawa naftokuinon dan turunannya dikenal sebagai antimikroba,
antifungal, antivirial dan antiparasitik. Selain itu, naftokuinon memiliki bioaktivitas
sebagai antikanker dan antioksidan yang biasanya terdapat di dalam sel vakuola
dalam bentuk glikosida (Babula dkk., 2005). Zat aktif eleutherinoside A,
eleuthoside B, dan eleutherol pada Eleutherine palmifolia dapat sebagai inhibitor
alpha-glucosidase yang bisa menurunkan kadar glukosa darah postpandrial, dan
juga dapat memperbaiki kerusakan sel beta pankreas, sehingga dapat meningkatkan
sekresi insulin secara langsung. Pada terapi diabetes digunakan ekstrak etanol dari
Eleutherine palmifolia dengan 100 mg/kg tikus perhari (Febrinda dkk., 2014).
Eleutherinoside A memiliki hasil yang paling aktif dengan IC50 0,5 mm, sedangkan
dua lainnya menunjukkan kurang dari 50% penghambatan pada konsentrasi 1mm
(Ieyama dkk., 2011).
2.2 Bakteri Shigella dysenteriae
Shigella sp dibagi menjadi 4 spesies yatu: Shigella dysentrial, Shigella flexneri,
Shigella boydii dan Shigella sonnei. (Jawetz dkk., 2005). Shigella sp merupakan
kuman kecil berbentuk batang dengan pengecatan gram bersifat negatif ramping
dengan ukuran 0,5 - 0,7 µm x 2 -3 µm, tidak mempunyai Flagel sehingga tidak
dapat bergerak dan tidak berspora. Pertumbuhan cepat pada suhu 370 C pada Mac
Conkey, SSA, EMBA dan Endo. Tampak koloni kecil dan transparan tidak dapat
meragikan laktosa kecuali pada Shigella sonnei bersifat laktosa fermenter lambat
(Brooks dkk.. 2001).
Pada uji citrat adanya perubahan warna hijau ke biru karena kuman tersebut
menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. (Brooks dkk., 2001) Bakteri ini tidak
meragi laktosa, kecuali Shigella sonnei. Ketidakmampuannya untuk meragikan
laktosa membedakan bakteri Shigella pada perbenihan diferensial. Shigella juga
10
dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian yang dapat memfermentasi manitol
dan yang tidak dapat memfermentasi manitol (Jawetz dkk., 2005).
Shigella sp mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak
tumpang tindih dalam sifat serologi berbagai spesies dan sebagian besar bekteri ini
mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh bakteri enteric lainnya. Antigen
somatic O dari Shigella sp. adalah lipopolisakarida. Kekhususan serologiknya
tergantung pada polisakarida dan terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi
Shigella sp didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigeniknya (Jawetz dkk.,
2005).
Semua spesies Shigella menyebabkan diare berdarah yang akut dengan
menyerang dan menyebabkan kehancuran dari colonic epitelium. Hal ini
menyebabkan pembentukan micro-ulcers dan peradangan exudates, dan
menyebabkan peradangan sel (polymorphonuclear leucocytes, PMNS ) dan darah
muncul pada feses. Feses diarrhoeal yang berisi 106- 108 Shigella per gram. Sekali
diekskresikan, organisme yang sangat peka terhadap kondisi lingkungan akan hidup
dan mati dengan cepat , terutama ketika kondisi lingkungan kering atau terkena
sinar matahari langsung (Lightfoot D., 2003).
2.2.1 Klasifikasi Bakteri
Shigella adalah binatang tidak bergerak, gram negatif, bersifat fakultatif
anaerobik yang dengan beberapa kekecualian tidak meragikan laktosa tetapi
meragikan karbohidrat yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan
gas. Habitat alamiah Shigella terbatas pada saluran pncernaan manusia dan primata
lainnya dimana sejumlah spesies menimbulkan disentri basiler (Kuniarsih, 2014).
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Shigella
Species : Shigella dysentriae
11
2.2.2 Morfologi Bakteri
Batang ramping, tidak berkapsul, tidak bergerak, tidak membentuk spora,
gram negatif. Bentuk cocobasil dapat terjadi pada biakan muda (Brooks dkk.,
2001). Shigella adalah fakultatif anaerob tetapi paling baik tumbuh secara aerobic.
Koloninya konveks, bulat, transparan dengan pinggir-pinggir utuh mencapai
diameter kira-kira 2mm dalam 24 jam. Kuman ini sering ditemukan pada
perbenihan diferensial karena ketidakmampuannya meragikan laktosa (Shrotriya,
2015).
Shigella mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak
tumpang tindih dalam sifat serologic berbagai spesies dan sebagian besar kuman ini
mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh kuman enteric lainnya. Antigen
somatic O dari Shigella adalah lipopolisakarida. Kekhususan serologiknya
tergantung pada polisakarida. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi Shigella
didasarkan pada sifatsifat biokimia dan antigenic (Shrotriya, 2015).
Gambar 2.3 Hasil pewarnaan Gram, berbentuk basil dengan pembesaran
1000x Sumber: (Nelma dkk., 2018)
Gambar 2.2 Shigella dysentriae Sumber: (CDC, 2015)
12
2.2.2.1 Sifat Biakan
Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi tumbuh paling baik secara aerob.
Koloni berbentuk konveks, bulat, transparan dengan tepi yang utuh dan mencapai
diameter sekitar 1-2 mm dalam 24 jam (Gibson, 1996). Bakteri Shigella dysentriae
berkembang biak dengan pembelahan biner, artinya Pada pembelahan ini, sifat sel
anak yang dihasilkan sama dengan sifat sel induknya. Pembelahan biner mirip
mitosis pada sel eukariot. Badanya, pembelahan biner pada sel bakteri tidak
melibatkan serabut spindle dan kromosom. Pembelahan biner dapat dibagi atas tiga
fase, yaitu sebagai berikut:
1. Fase pertama, sitoplasma terbelah oleh sekat yang tumbuh tegak lurus.
2. Fase kedua, tumbuhnya sekat akan diikuti oleh dinding melintang.
3. Fase ketiga, terpisahnya kedua sel anak yang identik. Ada bakteri yang segera
berpisah dan terlepas sama sekali. Sebaliknya, ada pula bakteri yang tetap
bergandengan setelah pembelahan, bakteri demikian merupakan bentuk koloni
(Nygren dkk., 2012).
Pada keadaan normal bakteri dapat mengadakan pembelahan setiap 20
menit sekali. Jika pembelahan berlangsung satu jam, maka akan dihasilkan delapan
anakan sel. Tetapi pembelahan bakteri mempunyai faktor pembatas misalnya
kekurangan makanan, suhu tidak sesuai, hasil eksresi yang meracuni bakteri, dan
adanya organisme pemangsa bakteri. Jika hal ini tidak terjadi, maka bumi akan
dipenuhi bakteri (Brooks dkk., 2001).
2.2.2.2 Sifat Pertumbuhan
Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kecuali Shigella sonnei,
shigella tidak memfermentasikan laktosa. Ketidakmampuannya
memfermentasikan laktosa membedakan shigella pada medium diferensial.
Shigella membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang menghasilkan gas.
Organisme ini dapat dibagi menjadi organisme yang memfermentasikan manitol
dan tidak memfermentasikan manitol. (Nygren dkk., 2012)
2.2.3 Fisiologi Bakteri
Sifat pertumbuhan adalah aerob dan fakultatif anaerob, pH pertumbuhan 6,4
- 7,8 suhu pertumbuhan optimum 37° C kecuali S. sonnei dapat tumbuh pada suhu
45° C. Sifat biokimia yang khas adalah negative pada reaksi adonitol tidak
13
membentuk gas pada fermentasi glukosa, tidak membentuk H2S kecuali S. flexneri,
negative terhadap sitrat, DNase, lisin, fenilalanin, sukrosa, urease, VP, manitol,
laktosa secara lambat, manitol, xylosa dan negative pada test motilitas. Sifat koloni
kuman adalah sebagai berikut : kecil, halus, tidak berwarna (Lampel & Maurelli,
2003).
2.2.4 Toksin
Shigella sp menghasilkan toksin yang disebut Shigatoksin dan mengadakan
multiplikasi tanpa invasi di dalam jejunum kemudian memproduksi toksin. Toksin
ini kemudian berikatan dengan reseptor dan menyebabkan aktivasi proses sekresi
sehingga terjadi diare cair yang tampak pada awal penyakit, hal ini merupakan
tanda dari sifat enterotoksik shigatoksin. Selanjutnya, perjalanan penyakit
melibatkan usus besar dan invasi jaringan dimana aksi shigatoksin akan
memperberat gejalanya. Efek enterotoksin shigatotoksin lebih pada penghambatan
absorpsi elektrolit, glukosa, dan asam amino dari lumen intestinal (Dzen dkk.,
2003).
Toksin Shigella dysenteriae dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Endotoksin
Pada waktu terjadi autolisis, semua Shigella mengeluarkan lipopolisakaridanya
yang toksik. Endotoksin ini mungkin menambah iritasi pada dinding usus. (Dzen
dkk., 2003).
2. Eksotoksin (S. dysentriae)
S. dysentriae tipe 1 (basil Shiga) memproduksi eksotoksin tidak tahan panas
yang dapat mempengaruhi saluran pencernaan dan sistem saraf pusat. Eksotoksin
merupakan protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan
mematikan hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini dpat menimbulkan
diare, sebagaimana halnya enterotoksin. (Dzen dkk., 2003).
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung
dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba
diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran
bakteri.Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama
3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan. (Dzen dkk., 2003).
14
Antibiotik terpilih untuk infeksi Shigella adalah ampisilin, kloramfenikol,
sulfametoxazol-trimetoprim. Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa
kanamisin, streptomisin dan neomisin merupakan antibiotik yang dianjurkan untuk
kasus-kasus infeksi Shigella. Masalah resistensi kuman Shigella terhadap antibiotik
dengan segala aspeknya bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Shigella yang
resisten terhadap multiantibiotik (seperti S. dysentriae 1) ditemukan di seluruh
dunia dan sebagai akibat pemakaian antibiotika yang tidak rasional. (Dzen dkk.,
2003).
2.3 Disentri
2.3.1 Definisi
Disentri basiler merupakan penyakit infeksi usus yang diakibatkan oleh
beberapa jenis basil gram negatif dari Genus Shigella. Masa inkubasi bakteri
Shigella dysentriae ini 1-7 hari. Gejalanya adalah demam sampai 39° - 40°, nyeri
perut, tenesmus serta diare beserta lendir dan darah (Tjay, 2013). Faktor-faktor
yang berhubungan dengan risiko epidemic Shigella seperti sanitasi dan kebersihan
personal yang buruk, tidak tersedianya air, malnutrisi, dan peningkatan penduduk
(Sukandar, 2013).
Berdasarkan aspek biokimia dan serologi, Shigella sp. dibagi menjadi 4
spesies, yaitu S. dysentriae (serogroup A), S. flexneri (serogroup B), S.boydii
(serogroup C) dan S. sonei (serogroup D). S. dysentriae menyebabkan disentri berat
dibandingkan dengan jenis Shigella lainnya (WHO, 2005).
Hal-hal lain dari S. dysentriae yaitu menghasilkan Shiga toksin yang kuat,
menyebabkan penyakit yang lebih lama, lebih parah, dan lebih sering fatal, lebih
sering meyebabkan resistensi antibiotik (WHO, 2005).
2.3.2 Epidemiologi
Penyakit Diare di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang tinggi
untuk angka morbiditas dan mortalitasnya. Diare masih menjadi penyebab
kematian pada anak dibawah 5 tahun yaitu sebesar 25,2% (Kemenkes, 2011).
Angka kesakitan (morbiditas) diare di Indonesia sepanjang tahun 2016 mencapai
6.897.463 dan diare yang telah ditangani mencapai 2.544.084 atau sebanyak 36,9%
15
(Kemenkes, 2017). Penyebab diare yang terpenting dan tersering di negara
berkembang adalah Shigella, khususnya S. dysentriae dan S. boydi yang
menyebabkan diare disentri (CDC, 2015).
Disentri basiler terjadi di seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih
dari 600.000 kematian setiap tahun, dengan 2/3 kasus kematian muncul pada anak-
anak usia dibawah 10 tahun (Public Health Agency of Canada, 2005). Penularan
penyakit ini umumnya disebabkan karena person-to-person infection. Selain itu
dapat terjadi melalui makanan atau minuman yang telah terkontaminasi bakteri
Shigella sp., menggunakan air yang tercemar, dan kurangnya higienitas (Shigellosis
Investigation Guidelines, 2012). Terkait dengan higienitas, disentri basiler terutama
terdapat pada negara berkembang dengan kebersihan lingkungan yang kurang dan
penghuni padat. Disentri basiler mudah menyebar pada kondisi lingkungan yang
jelek (Tjokoprawiro, 2007). Di Amerika, penyebab disentri basiler paling banyak
adalah Shigella sonnei yang mencapai 75,2% dan kejadian terendah disebabkan
oleh Shigella dysentriae yaitu sebesar 0,3% dari jumlah keseluruhan kasus disentri
basiler (CDC, 2012). Selain itu, pada tahun 2012 juga dilaporkan bahwa umur
ratarata terjangkit disentri basiler akibat Shigella sonnei adalah umur 7 tahun dan
angka tersebut relatif sama dari tahun ke tahun (CDC, 2012).
Di Indonesia, dari hasil penelitian yang dilakukan di berbagai rumah sakit
dari tahun 1998 sampai dengan 1999, terdapat 3848 penderita diare berat dan 5%
disebabkan oleh bakteri Shigella sp. (Subekti dkk., 2001). Selain itu juga dilaporkan
bahwa 29% kematian anak-anak usia 1 hingga 4 tahun yang disebabkan diare adalah
akibat disentri basiler (Herwana, 2010).
2.3.3 Etiologi
Disentri basiler dapat ditemukan di seluruh dunia. Disentri ini dapat terjadi di
daerah yang populasinya padat tetapi sanitasinya sangat buruk. Penyebarannya
dapat terjadi melalui kontaminasi makanan atau minuman dengan kontak langsung
atau melalui vektor, misalnya lalat. Namun faktor utama dari disentri basiler ini
adalah melalui tangan yang tidak dicuci sehabis buang air besar (WHO, 2005).
2.3.4 Patogenesis
Infeksi peroral, bakteri masuk lambung melalui makanan dan minuman
Masuk kedalam usus halus kemudian colon disini ditangkap epitel kemudian
16
Berkembang biak dan menyebabkan sel epitel hancur kemudian menyebar ke
Lamina propria, bereplikasi disini. Akibatnya timbul ulcera-ulcera dan mikro abses
mukosa kolon pada bagian terminal ileum. Terjadi nekrosis, perdarahan dan
pembentukan psedomembran di atas ulcer . Akhirnya terjadi reaksi inflamasi dan
trombosis kapiler. Berbeda dengan Salmonella, Shigella tidak menyebar ke tempat
lain. Adanya perdarahan kecil menyebabkan tinja berdarah dan berlendir tetapi
tidak terjadi perforasi dan tidak terjadi peritonitis. Bila sembuh ulkus akan ditutup
oleh jaringan granula dan terjadi jaringan parut. Setelah sembuh secara klinis tinja
yang positip bisa menjadi carrier (Fitria dkk., 2008).
Masa inkubasinya adalah 2-4 hari, atau bisa lebih lama sampai 1 minggu.
Oleh seseorang yang sehat diperlukan dosis 1000 bakteri Shigella untuk
menyebabkan sakit. Penyembuhan spontan dapat terjadi dalam waktu 2-7 hari
terutama pada penderita dewasa yang sehat sebelumnya, sedangkan pada penderita
yang sangat muda atau tua dan juga pada penderita dengan gizi buruk penyakit ini
akan berlangsung lama. Pernah ditemukan terjadinya septicemia pada penderita
dengan gizi buruk dan berakhir dengan kematian (Fitria dkk., 2008).
Penyebaran Shigella adalah dari manusia ke manusia lain, dimana karier
merupakan reservoir kuman. Dari karier ini Shigella disebarkan oleh lalat, juga
melalui tangan yang kotor, makanan yang terkontaminasi, tinja serta barang-barang
lain yang terkontaminasi ke orang lain yang sehat (Fitria dkk., 2008).
Shigellosis disebut juga disentri basiler, disentri sendiri artinya salah satu dari
berbagai gangguan yang ditandai dengan peradangan usus, terutama kolon dan
disertai nyeri perut, tenesmus dan buang air besar yang sering mengandung darah
dan mucus. Habitat alamiah bakteri disentri adalah usus besar manusia, tempat
bakteri tersebut dapat menyebabkan disentri basiler. Infeksi S. dysenteriae praktis
selalu terbatas pada saluran pencernaan, dan invasi bakteri ke dalam darah sangat
jarang. S. dysenteriae menimbulkan penyakit yang sangat menular dengan dosis
infektif dari bakteri S. dysenteriae adalah kurang dari 103 organisme dan
merupakan golongan Shigella sp yang cenderung resisten terhadap antibiotik
(Ahmed dkk., 2008).
Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput lender, mikroabses
pada dinding usus besar dan ileum terminal yang cenderung mengakibatkan
17
nekrosis selaput lender, ulserasi superficial, pendarahan, pembentukan
pseudomembran pada daerah ulkus. Ini terdiri dari fibrin, leukosit, sisa sel, selaput
lender yang nekrotik dan bakteri. Waktu proses patologik berkurang, jaringan
granulasi akan mengisis ulkus sehingga terbentuk jaringan parut (Ahmed dkk.,
2008).
2.3.5 Manifestasi Klinis Disentri
Diagnosis klinis dapat ditegakkan semata-mata dengan menemukan tinja
yang bercampur darah. Diagnosis etiologi biasanya sulit ditegakkan. Penegakan
etiologi dapat melalui gambran klinis semata sukar, sedangkan pemeriksaan biakan
tinja untuk mengetahui agen penyebab seringkali tidak perlu dilakukan karena
dapat memakan waktu yang cukup lama (minimal 2 hari) dan umumnya gejala
dapat membaik dengan terapi antibitika emipiris. Pemeriksaan penunjang juga
dapat di lakukan:
1. Pemeriksaan Tinja
2. Biakan Tinja
3. Pemeriksaan darah secara rutin
2.3.6 Pengobatan
Terapi pada kasus ringan umumnya merupakan terapi suportif, yaitu dengan
rehidrasi (Bush and Perez., 2014). Hal tersebut dilakukan karena kejadian fatal
terbesar kasus disentri basiler disebabkan karena penderita mengalami dehidrasi
akibat diare (Ranjbar dkk., 2010). Untuk kasus yang parah atau pasien dengan
respon imun yang rendah biasanya diperlukan antibiotik untuk menurunkan durasi
penyakit. Antibiotik yang biasa digunakan untuk penanganan disentri basiler
meliputi siprofloksasin, azitromisin, dan ceftriaxon (Bush and Perez., 2014).
Untuk penanganan dehidrasi yang biasa digunakan adalah dengan pemberian
terapi cairan secara oral atau intravena sesuai derajat dehidrasi. Obat-obatan anti-
diare seperti loperamid kontraindikasi pada kasus disentri basiler karena dapat
memperlama penyakit karena bakteri akan semakin lama kontak dengan sel epitel
usus sehingga kerusakan sel epitel akan semakin luas. Penggunaan antibiotik dapat
menurunkan gejala, namun tidak dianjurkan pada pasien dewasa dengan kasus
ringan (Bush and Perez, 2014). Beberapa Shigella banyak yang dilaporkan resisten
terhadap ampisilin, kotrimoksazole, dan tetrasiklin (Bush and Perez., 2014).
18
2.4 Tinjauan Tentang Antibiotik
Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat
secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis
dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007).
Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang
dalam jumlah kecik dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh pertumbuhan
mikroorganisme lain (Harmita dan Radji, 2008).
2.4.1 Penggunaan Antibiotik
Hasil studi di Indonesia, Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari
70% pasien diresepkan antibiotik. Dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan
antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan. Hasil sebuah studi pendahuluan di
New Delhi mengenai persepsi masyarakat dan dokter tentang penggunaan
antibiotik, 25% responden menghentikan penggunaan antibiotik ketika pasien
tersebut mulai merasa lebih baik, akan tetapi pada kenyataanya penghentian
pemberian antibiotik sebelum waktu yang seharusnya, dapat memicu resistensi
antibiotik tersebut (WHO, 2011).
Pada 47% responden, mereka akan mengganti dokternya jika dokter tersebut
tidak meresepkan antibiotik, dan 18% orang menyimpan antibiotik dan akan
mereka gunakan lagi untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya, sedangkan 53%
orang akan mengobati dirinya sendiri dengan antibiotik ketika sakit. Dan 16%
dokter meresepkan antibiotik pada pasien dengan demam yang tidak spesifik, 17%
dokter merasa pasien dengan batuk perlu antibiotik, 18% dokter merekomendasikan
antibiotik untuk diare dan 49% dokter mengobati telinga bernanah dengan
antibiotik. Penggunaan dan penggunaan antibiotik yang terlalu berlebihan tersebut
dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik (WHO, 2011).
2.4.2 Penggolongan Antibiotik
Berdasarkan spectrum atau kisaran terjadinya, antibiotik dapat dibedakan
menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum), yaitu antibiotik yang mampu
menghambat segolongan enis bakteri saja, contohnya hanya mampu
19
menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin.
2. Antibiotik berspektrum luas (broad spectrum), yaitu antibiotic yang dapat
mengahambat atau membunuh bakteri dari golongan gram positif dan gram
negative. Yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan derivatnya,
ampisilin, sefalosporin, carbapenem, dan lain-lain. (Pratiwi, 2008)
2.4.3 Ciprofloxacin
Ciprofloxacin merupakan antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
golongan florokuinolon yang paling umum digunakan dengan mekanisme kerja
menghambat DNA gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV yang terdapat
dalam bakteri. Penghambatan terhadap enzim yang terlibat dalam replikasi,
rekombinasi dan reparasi DNA tersebut mengakibatkan penghambatan terhadap
pertumbuhan sel bakteri (Sarro, 2001).
Ciprofloxacin digunakan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Gram negatif seperti E. coli, Proteus mirabilis, Klibsiella sp, Shigella sp.,
Enterobacter, Chlamydia sp, Salmonella sp, dan P. aeruginosa serta bakteri gram
positif tertentu. Mekanisme kerja dari antibiotik ini yaitu dengan menghambat
proses terbentuknya superkoil DNA yang berikatan dengan enzim DNA gyrase sub
unit A yaitu suatu enzim yang penting pada replikasi dan perbaikan DNA.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik ini dapat terjadi karena adanya mutasi gen
yang mengkode polipeptida sub unit A enzim DNA gyrase (Jawetz dkk., 2001).
Menurut Cushnie and Lamb (2005) senyawa flavonoid dapat berikatan
dengan peptidoglikan pada dinding sel bakteri sehingga terjadi pengendapan
protein yang selanjutnya dapat menghambat proses biosintesis peptidoglikan dan
menghambat DNA gyrase. Alkaloid dapat merusak sintesis dinding sel sehingga
dapat menyebabkan sel menjadi lisis (Cushnie and Lamb, 2005).
Gambar 2.4 Struktur Kimia Ciprofloxacin
Sumber: (Siswandono, 2008)
20
2.4.4 Resistensi Bakteri
Resistensi antimikroba (AMR) adalah kemampuan mikroorganisme
(seperti bakteri, virus, dan beberapa parasit) untuk menghentikan antimikroba
(seperti antibiotik, antivirus, dan antimalaria) dari aktivitas kerjanya.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan munculnya
mikroorganisme kebal terhadap antibiotik terebut dan mengakibatkan
berkurangnya aktivitas dari antibiotik tersebut. Infeksi oleh mikroorganisme
kebal terhadap berbagai antibiotik menyebabkan meningkatknya angka
kesakitan dan angka kematian, sehingga diperlukan antibiotik pilihan ke dua
atau bahkan pilihan ketiga, dimana efektifitasnya lebih kecil dan kemungkinan
mempunyai efek samping lebih banyak serta biaya yang lebih mahal dibanding
dengan pengobatan standar (Hadi, 2008).
Bakteri dikatakan resisten bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat
oleh antibiotika pada kadar maksimum yang dapat ditolerir oleh pejamu.
Munculnya resistensi disebabkan karena penggunaan antibiotik yang tidak
rasional dan tidak hati-hati pada keadaan yang mungkin dapat sembuh tanpa
pengobatan atau pada keadaan yang tidak membutuhkan antibiotik. (WHO,
2018).
Kemampuan mikroorganisme untuk melawan antimikroba tergantung
pada aspek biokimia serta genetik dari strain. Keragaman mekanisme resistensi
antibiotik yang luar biasa tergantung pada strain bakteri, sifat antibiotik, situs
target, dan resistensi tersebut. Mekanisme resistensi yang paling umum ini
melibatkan inaktivasi antibiotik menggunakan enzim yang menurunkan atau
memodifikasi obat dengan hidrolisis, transfer kelompok, dan mekanisme
redoks (Das, 2017).
2.5 Tinjauan Tentang Simplisia
2.5.1 Cara Pembuatan Simplisia
Dalam buku Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989
mendefinisikan bahwa simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
21
bahan yang telah dikeringkan. Pembuatan simplisia merupakan proses memperoleh
simplisia dari alam yang baik danmemenuhi syarat-syarat mutu yang dikehendaki.
Adapun tahap-tahap proses pembuatan simplisia meliputi:
1. Pengumpulan bahan / panen
a) Pengumpulan atau panen dapat dilakukan dengan tangan atau menggunakan
alat (mesin). Apabila pengambilan dilakukan secara langsung (pemetikan)
maka harus memperhatikan keterampilan si pemetik, agar diperoleh
tanaman/bagian tanaman yang dikehendaki, misalnya dikehendaki daun yang
muda, maka daun yang tua jangan dipetik dan jangan merusak tanaman
lainnya. Kalau menggunakan alat, harus disesuaikan dengan kandungan
kimianya agar tidak merusak zat aktif yang dikandungnya, misalnya jangan
menggunakan alat yang terbuat dari logam untuk simplisia yang mengandung
senyawa fenol dan glikosa (Depkes, 1989).
b) Waktu pengumpulan atau panen Kadar kandungan zat aktif suatu simplisia
ditentukan oleh waktu panen, umur tanaman, bagian tanaman yang diambil
dan lingkungan tempat tumbuhnya, sehingga diperlukan satu waktu
pengumpulan yang tepat yaitu pada saat kandungan zat aktifnya mencapai
jumlah maksimal tanaman yang diambil harus sehat, tidak berpenyakit atau
terjangkit jamur, bakteri dan virus karena dapat menyebabkan berkurangnya
kandungan zat aktif dan terganggunya proses metabolism serta terbentuknya
prosuk metabolit yang tidak diharapkan (Depkes, 1989).
2. Pencucian dan Sortasi Basah
Pencucian dan sortasi basah dimaksudkan untuk membersihkan simplisia dari
benda-benda asing dari luar (tanah, batu dan sebagainya), dan memisahkan
bagian tanaman yang tidak dikehendaki (Depkes, 1989).
3. Pengeringan
Tujuan pengeringan pada tanaman atau bagian tanaman adalah:
1. Untuk mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan
dalam jangka yang relatif lama.
2. Mengurangi kadar air, sehingga mencegah terjadinya pembusukan oleh jamur
atau bakteri karena terhentinya proses enzimatik dalam jaringan tumbuhan
22
yang selnya telah mati. Agar reaksi enzimatik tidak dapat berlangsung, kadar
air yang danjurkan adalah kurang dari 10 %.
3. Mudah dalam penyimpanan dan mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk.
Cara pengeringan dapat dilakukan secara alamiah dan secara buatan.
a. Pengeringan alamiah tergantung dari kandungan zat aktif simplisia,
pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Sinar matahari langsung, terutama pada bagian tanaman yang keras
(kayu, kulit biji, biji dan sebagainya) dan mengandung zat aktif yang
relatif stabil oleh panas.
2. Diangin-anginkan dan tidak terkena sinar matahari secara langsung,
umumnya untuk simplisia bertekstur lunak (bunga, daun dan lain-lain)
dan zat aktif yang dikandungnya tidak stabil oleh panas (minyak atsiri).
b. Pengeringan buatan cara pengeringan dengan menggunakan alat yang
dapat diatur suhu, kelembaban, tekanan atau sirkulasi udaranya.
4. Pewadahan dan penyimpanan simplisia. Sortasi kering dilakukan sebelum
pewadahan simplisia bertujuan memisahkan sisa-sisa benda asing atau bagian
tanaman yang tidak dikehendaki yang tidak tersortir pada saat sortasi basah.
Simplisia yang diperoleh diberi wadah yang baik dan disimpan pada tempat
yang dapat menjamin terpeliharanya mutu dari simplisia. Wadah terbuat dari
plastik tebal atau gelas yang berwarna gelap dan tertutup kedap memberikan
suatu jaminan yang memadai terhadap isinya. Ruangan penyimpanan
simplisia harus diperhatikan suhu, kelembaban udara dan sirkulasi udara
ruangannya (Depkes, 1989).
2.5.2 Pembuatan Serbuk Simplisia dan Klasifikasinya
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan
tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu
ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut: 1. Makin halus serbuk simplisia,
proses ekstraksi makin efektif-efisien, namun makin halus serbuk, maka makin
rumit secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi 2. Selama penggunaan
peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi dengan benda keras
(logam dll). Maka akan timbul panas (kalori) yang dapat berpengaruh pada senyawa
23
kandungan. Namun hal ini dapat dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair
(BPOM, 2000).
2.6 Tinjauan Tentang Ekstraksi & Fraksinasi
2.6.1 Pengertian Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 1995).
Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material tumbuhan yang
dikeringkan diproses dengan cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi dan bahan
ekstraksi mana (cairan, ekstraksi, menstruum) yang sebaiknya digunakan, sangat
tergantung kelarutan dan stabilitasnya. Untuk memperoleh sediaan yang cocok
umumnya digunakan campuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight,
1994).
1. Ekstrak kering (Sicca) adalah sediaan padat yang memiliki bentuk serbuk yang
didapatkan dari penguapan oleh pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dan
sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%. Ekstrak kering harus
mudah digerus menjadi serbuk. Ekstrak kering juga bersifat higroskopik, maka
setelah ditimbang harus segera diolah, jika dibiarkan di udara akan berubah
menjadi massa yang bergumpal sehingga tidak dapat diolah dengan baik (Van
Duin, 1947).
2. Ekstrak kental (Spissum) Ekstrak Kental atau ekstrak semisolid, adalah sediaan
yang memiliki tingkat kekentalan di antara ekstrak kering dan ekstrak cair. Suatu
ekstrak kental diartikan dengan ekstrak dengan kadar air antara 20-25%; hanya
pada Extractum Liquiritae diizinkan kadar air sebanyak 35% (Van Duin, 1947).
3. Ekstrak cair (Liquidum) Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang
mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai pelarut
dan pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap
ml ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat.
Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring
24
atau bagian yang bening dienaptuangkan. Beningan yang diperoleh memenuhi
persyaratan Farmakope. Ekstrak cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai
(Kemenkes, 1979).
2.6.2 Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Depkes, 1995).
2.6.3 Metode Ekstraksi
Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi,
perkolasi dan sokhletasi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode
ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel,
1989). Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus
dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi. Metode ekstraksi dapat
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
2.6.3.1 Cara Dingin
Metode ekstraksi dengan cara dingin dibagi menjadi beberapa cara yaitu:
A. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian dengan merendam simplisia dalam pelarut
yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan dan terlindung dari cahaya (Depkes, 2000). Maserasi biasanya dilakukan
pada temperatur (15-20)°C dalam waktu selama 3 hari sampai bahan-bahan yang
larut melarut (Ansel, 1989).
B. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan
(Depkes, 2000). Proses perkolasi memerlukan keterampilan operator yang lebih
banyak daripada proses maserasi dan dari kedua proses, perkolasi mungkin lebih
mahal dalam pelaksanaannya, karena memerlukan peralatanyang khusus dan waktu
yang lebih banyak diperlukan oleh operator (Ansel, 1989).
25
2.6.3.2 Cara Panas
Metode ekstraksi dengan cara panas dibagi menjadi beberapa cara yaitu:
A. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada
temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000)
B. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang dipanaskan hingga
mendidih sehingga uap membasahi serbuk simplisia karena adanya pendingin balik
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif
konstan (Depkes, 2000).
C. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur (40-50)°C (Depkes, 2000).
D. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada
suhu 90°C selama 15 menit (Depkes, 2000). Pembuatan infus merupakan cara yang
paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan
bunga (BPOM, 2010).
2.6.4 Pengertian Fraksinasi
Fraksinasi adalah prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan golongan
utama kandungan yang satu dari golongan utama yang lain. Pemisahan jumlah dan
jenisnya senyawa menjadi fraksi yang berbeda yang tergantung pada jenis
tumbuhan. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar,
begitu pula senyawa yang bersifat non polar akan masuk ke pelarut non polar
(Harborne, 1987). Pembagian atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap
fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih
ringan akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut
organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut
tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang
penting dan dapat diekstraksi dengan pelarut organik. Fraksinasi bertingkat
26
umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut
yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta
dielektrik pelarut (Adijuwana dan Nur, 1989).
2.7 Tinjauan Tentang Pelarut
Pemilihan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus berdasarkan
kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari zat aktif dan
semaksimal mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel, 1989). Pelarut
organik berdasarkan konstanta dielektrikum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pelarut polar dan pelarut non-polar. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya
maka pelarut semakin bersifat polar (Sudarmadji dkk., 1989).
Pelarut organik yang umum digunakan untuk memproduksi konsentrat,
ekstrak, absolut atau minyak atsiri dari bunga, daun, biji, akar, dan bagian lain dari
tanaman adalah setil asetat, n-heksan, petroleum eter, benzene, toluene, etanol,
isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay, 2002).
1. n-heksana
n-heksana adalah hidrokarbon alkana rantai lurus yang memiliki 6 atom karbon
dengan rumus molekul C6H14. Isomer heksana tidak reaktif dan digunakan sebagai
secara luas sebagai pelarut inert dalam reaksi organik karena heksana bersifat
sangat tidak polar. n-heksana dibuat dari hasil penyulingan minyak mentah dimana
untuk produk industrinya ialah fraksi yang mendidih pada suhu 65-70°C. Heksana
digunakan di laboratorium untuk mengekstrak minyak dan lemak (Aziz dkk., 2009).
Berikut ini adalah monografi n-heksana :
- Nama resmi : n-heksana
- Sinonim : n-heksana
- RM/BM : C6H14 / 86,18
- Pemerian : Cairan jernih, mudah menguap berbau seperti eter lemah atau bau
seperti potreleum.
- Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol mutlak, dapat campur
dengan eter, dengan kloroform, benzena, dan sebagian besar minyak lemak dan
minyak atsiri.
27
- Penyimpanan : Di tempat sejuk dan di dalam wadah tertutup rapat, jauhkan dari
nyala api.
- Kegunaan : Sebagai pelarut ekstrak (BPOM, 1995).
2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu teknik pemisahan dengan
menggunakan adsorben (fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang
disalutkan pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium,
atau pelat plastik. Teknik kromatografi yang banyak digunakan untuk analisis
kualitatif senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomopen,
analisis kuantitatif, dan isolasi berskala preparatif. (Mukhriani, 2014; Hajnos dkk.,
2008).
Sorbent yang diterapkan dalam KLT memiliki karakteristik permukaan yang
berbeda dan sifat fisikokimia yang berbeda. Pengembangan kromatografi terjadi
ketika fase gerak tertapis melewati adsorben (Deinstrop dkk., 2007). KLT dapat
digunakan jika :
1. Senyawa tidak menguap atau tingkat penguapannya rendah.
2. Senyawa bersifat polar, semi polar, non polar, atau ionik.
3. Sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan, hemat biaya, dan
dalam jangka waktu tertentu.
4. Sampel yang akan dianalisis akan merusak kolom pada Kromatografi Cair (KC)
ataupun Kromatografi Gas (KG).
5. Pelarut yang digunakan akan mengganggu penjerap dalam kolom Kromatografi
Cair.
6. Senyawa dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat dideteksi dengan
metode KC ataupun KG atau memiliki tingkat kesulitan yang tingggi.
7. Setelah proses kromatografi, semua komponen dalam sampel perlu dideteksi
(berkaitan dengan nilai Rf).
8. Komponen dari suatu campuran dari suatu senyawa akan dideteksi terpisah
setelah pemisahan atau akan dideteksi dengan berbagai metode secara
bergantian (misalnya pada drug screening).
28
9. Tidak ada sumber listrik.
Analisis senyawa dengan kromatografi lapis tipis tersebut dengan
menggunakan nilai Rf (Reterdation factor). Posisi noda yang dihasilkan senyawa
(spot) dalam kromatogram lapis tipis dapat dijelaskan dengan faktor retardasi. Rf
didefinisikan sebagai hasil bagi dari jarak antara zona zat dan garis start dengan
jarak antara pelarut dan garis start. Setiap senyawa aktif yang dianalisis memiliki
nilai Rf yang berbeda. Perhitungan nilai Rf pada dasarnya ≤ 1, diawali dengan 0
dan diikuti dengan angka decimal (Deinstrop dkk., 2007).
2.8.1 Fase Diam
Fase diam merupakan salah satu komponen penting dalam teknik pemisahan
kromatografi lapis tipis. Fase diam berupa lapisan tipis seragam yang disalutkan
pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat
plastik. Fase diam yang digunakan pada kromatografi lapis tipis yaitu plat yang
terdiri dari partikel yang homogen atau berpori (Mukhriani, 2014).
Pelarut dapat berjalan ke atas plat (fase diam) dengan noda sampel pada
pengikat tepat diatas pelarut. komponen paling polar dari sistem pelarut menjadi
akan memberikan noda pada dekat garis start. Sedangkan yang komponen kurang
polar akan menimbulkan noda menjauhi garis start (Deinstrop dkk., 2007).
Silika atau silika gel adalah fase diam yang paling sering digunakan dalam
teknik pemisahan kromatografi. Penggunaan silika gel sebagai fase diam karena
memiliki karakteristik adsorpsi yang kuat. Selain sebagai adsorben, silika gel
digunakan sebagai pengering karena dapat menyerap berbagai macam zat. Silika
adalah bentuk koloid yang dipolimerisasi asam silikat. Asam silikat, H2SO4, tidak
tersedia sebagai monomer bebas namun tersedia dalam bentuk larutan natrium
silikat. Bila larutan natrium silikat diasamkan maka akan terbentuk polimer silika
polimer. Silika yang digunakan untuk kromatografi mengalami proses pemurnian
untuk menghilangkan kotoran logam dan kemudian dilumatkan, dikeringkan dan
difraksinasi dalam ukuran partikel yang sesuai (Gandjar dan Rohman, 2012).
Silika memiliki luas permukaan antara 200-800 m2/g. besarnya luas
permukaan silika menjadikan silika memiliki stuktur yang berpori. Diameter pori
yang baik pada teknik pemisahan kromatografi yaitu 60-150 A (satu angstrom
adalah 10-10 m). Pada teknik pemisahan senyawa dengan KLT menggunakan plat
29
silika gel GR, GF254 R, HF254 R dll. Plat silika gel tersebut memiliki ketebalan
lapisan 0,25 mm atau 0,5 mm. Ukuran maksimum pelat KLT yang digunakan
adalah 20 × 20 cm (Gandjar dan Rohman, 2012; Deinstrop dkk., 2007).
2.8.2 Fase Gerak
Fase gerak merupakan zat yang membawa komponen suatu campuran melalui
fase diam. Pada KLT, fase gerak lebih nonpolar daripada fase diam dan dari pelarut
organik. Fase gerak tersebut memiliki tujuan, yaitu untuk:
1. Menjaga analit dalam larutan.
2. Mengangkut analit melalui fase diam.
3. Berkontribusi pada pemisahan.
4. Bersaing dengan analit untuk proses adsorpsi pada fase diam. Jika digunakan
fase diam silika yang merupakan adsorben polar maka digunakan fase gerak non
polar. Kekuatan fase gerak ditentukan oleh polaritas pelarut yang digunakan dan
kepolaran pelarut yang digunakan (Hansen dkk., 2012).
2.9 Uji Kepekaan Terhadap Antibakteri
Tujuan uji kepekaan antimikroba adalah untuk memberikan data in vitro
mengenai ketepatan dan kemampuan antimikroba dalam pengobatan sehingga
mendapatkan jaminan pengobatan yang optimal. Uji kepekaan terhadap obat
antibakteri pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
1. Metode dilusi
2. Metode difusi cakram
3. Bioautografi (Hajnos, 2008)
2.9.1 Metode Dilusi
Metode dilusi adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui
potensi suatu senyawa terhadap aktifitas mikroba dengan menentukan Konsentrasi
Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM). Penentuan
KHM dan KBM dilakukan dengan metode dilusi cair Kirby and Bauer yang
dimodifikasi menggunakan media cair Nutrien Broth (NB) dan diukur absorbansi
dengan spektrofotometer UV-Vis sebelum dan sesudah inkubasi untuk melihat
pertumbuhan jamur yang diuji (Fatisa, 2013).
30
Pada prinsipnya adalah menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media
cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Setelah itu masing-masing diuji
dengan obat yang telah diencerkan secara serial, yaitu tabung reaksi tersebut
kemudian diukur absorbansi (Optical Density = OD) jamur dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis (λ = 480 nm) Selanjutnya tabung-tabung tersebut
diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C dalam inkubator. Setelah diinkubasi,
diukur lagi absorbansi jamur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (λ =
480 nm). KHM ditentukan dengan membandingkan absorbansi perlakuan inkubasi
dikurangi absorbansi sebelum perlakuan. Nilai KHM (konsentrasi hambat
minimum) sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi inkubasi, media
pertumbuhan jamur, jenis kultur yang digunakan, dan bagaimana cara pertumbuhan
jamur yang diteliti (Fatisa, 2013; Azrifitria dkk., 2010).
2.9.2 Metode Difusi Cakram
Metode difusi cakram merupakan teknik mikrobiologi klasik yang paling
sering digunakan untuk uji kepekaan antimikroba. Hal ini karena metode tersebut
aman, murah, dan efisien. Metode ini dilakukan dengan meletakkan cakram kertas
yang telah direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi dengan
mikroba uji. Zona bening akan terbentuk disekitar cakram sebagai inokulasi dari
pertumbuhan mikroba. Zona bening yang terbentuk pada media yang telah
diinokulasi mikroba disekitar cakram kertas yang di celupkan sampel menunjukkan
aktivitas penghambatan dari sampel terhadap mikroba uji. (Ngaisah, 2010; Choma,
2011).
Pencelupan cakram kertas ke dalam larutan sampel sampai merata di seluruh
permukaan cakram kertas. Cakram dicelupkan ke dalam larutan sampel sampai
merata di seluruh permukaan cakram dengan berbagai macam konsentrasi yang
telah disiapkan. Konsentrasi terendah dari sampel yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba uji merupakan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM).
Penuangan media Nutrient Agar (NA) yang telah disterilkan ke dalam petridish.
Agar-agar biasanya mengandung (berat/volume): 30,0% infus daging sapi; 1,75%
kasein hidrolisat; 0,15% tepung; agar agar 1,7%; pH disesuaikan ke netral pada
suhu 25°C (Ngaisah, 2010; Choma, 2011).
31
Media Nutrient Agar (NA) yang telah dingin dan memadat selanjutnya di
tanami jamur. Jamur yang di tanam diratakan hingga seluruh permukan Nutrient
Agar (NA) dengan menggunakan spreader. Kemudian cakram tersebut diletakkan
dalam media Nutrient Agar (NA) yang telah ditanami jamur. Langkah selanjutnya
dilakukan dengan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Penghambatan
pertumbuhan di sekitar masing-masing cakram diukur dengan skala millimeter.
Aktivitas antijamur terbesar ditunjukkan oleh luas diameter zona bening terbesar
yang terbentuk dari konsentrasi tersebut. Konsentrasi terkecil dari sampel yang
mampu menghambat jamur yang diinokulasikan dengan terbentuknya zona bening
merupakan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dari sampel tersebut.
(Ngaisah, 2010).
2.9.3 Bioautografi
Bioautografi merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas
antibakteri, antiviral, dan antijamur. Metode ini pertama kali dilakukan Goodall dan
levi untuk mengetahui omposisi dan kemurnian antibiotik penisilin dalam suatu
campuran. Pada metode ini terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan seperti berikut:
1. Komposisi media
2. Mikroorganisme yang diuji
3. pH
4. Waktu inkubasi
5. Pewarnaan (Choma, 2011).
Teknik bioautografi dibagi menjadi 3 yaitu bioautografi langsung,
bioautigrafi kontak, dan bioautografi celup. Pada bioautografi kontak senyawa uji
atau antibiotik dipindahkan dari lapisan adsorben ke agar plate yang diinokulasikan
secara langsung dengan mikroba dengan adanya kontak langsung. Setelah 15 – 30
menit, zat uji tersebut akan berdifusi ke dalam media agar dan menghambat
pertumbuhan mikroba (Choma, 2011).
Pada bioautografi celup, plat kromatografi yang dikembangkan dan ditutupi
dengan media agar. Setelah terjadi pemadatan, plat kromatografi ditanamkan
mikroba sehingga pertumbuhan dan penghambatan pertumbuhan mikroba dapat
divisualkan. Pada bioautografi langsung, semua proses pemisahan, inkubasi benih,
prasyarat, dan visualisasi dilakukan pada lapisan adsorben. Pada prinsipnya adalah
32
suspense atau larutan mikroorganisme yang tumbuh diaplikasikan pada plat
kromatografi yang telah dikeringkan. Plat kromatografi tersebut diinkubasi pada
suhu optimum dimana mikroorganisme akan tumbuh dan berkembang. Proses
selanjutnya adalah proses visualisasi dengan bantuan pewarna sehingga sel hidup
mikroorganisme akan menyerap pewarna yang diberikan dan akan menimbulkan
warna. Hal tersebut karena dehidrogenase dari mikroorganisme hidup akan
mengubah garam tetrazolium menjadi korosi secara intensif yaitu formazan yang
dapat menyerap zat (Choma, 2011).
2.10 Tinjauan Skrining Fitokimia
Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien adalah segala jenis zat kimia atau
nutrient yang diturunkan dari tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan.
Tumbuhan memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang
disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan
yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai
fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang
diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid,
flavonoid, glukosida, glukosinolat, dan asam amino bukan protein (Kristanti dkk.,
2008).
Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa
metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam
metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa
tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan
ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder, namun secara umum
penentuan golongan senyawa kimia dilakukan dengan cara uji warna dengan
menggunakan pereaksi yang spesifik karena dirasakan lebih sederhana
(Harborne,1987).
Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau senyawa yang
bermanfaat dalam pengobatan, satu atau lebih konstituen yang mempunyai respon
farmakologi perlu diisolasi. Oleh karena itu pemeriksaan fitokimia, teknik skrining
dapat membantu langkah-langkah fitofarmakologi yaitu melalui seleksi awal dari
pemeriksaan tumbuhan tersebut untuk membuktikan ada tidaknya senyawa kimia
33
tertentu dalam tumbuhan tersebut yang dapat dikaitkan dengan aktivitas biologinya
(Farnsworth, 1996).
2.10.1 Uji Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa bahan alam yang mempunyai atom nitrogen yang
bersifat basa pada strukturnya. Nama alkaloid diturunkan dari kata alkalin yang
mendeskipsiksn berbagai nitrogen yang bersifat basa. Alkaloid dihasilkan oleh
berbagai makhluk hidup antara lain bakteri, jamur, tumbuhan, dan binatang.
Berbagai alkaloid dapat dipurifikasi atau dimurnikan dari ekstrak kasarnya dengan
metode ekstraksi asam basa. Untuk mendeteksi adanya alkaloid pada skrining
fitokimia, ada dua jenis reaktan yang tersedia yaitu presipitasi (tes pengendapan)
dan spray (tes dengan penyemprotan) (Hayati dkk.,2010).
Uji alkaloid dilakukan dengan metode Mayer, Wagner, dan Dragendorff.
Sampel sebanyak 3 mL diletakkan dalam cawan porselin kemudian ditambahkan 5
mL HCl 2 M, diaduk dan kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah
sampel dingin ditambahkan 0,5 g NaCl lalu diaduk dan disaring. Filtrat yang
diperoleh ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes, kemudian dipisahkan menjadi 4
bagian A, B, C, D. filtrat A sebangai blangko, filtrat B ditambah pereaksi Mayer,
filtrat C ditambah pereaksi Wagner, sedangkan filtrat D digunakan untuk uji
penegasan. Apabila terbentuk endapan pada penambahan pereaksi Mayer dan
Wagner maka identifikasi menunjukkan adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan
dengan penambahan ammonia 25% pada filtrat D hingga pH 8-9. Kemudian
ditambahkan kloroform, dan diuapkan diatas waterbath. Selanjutnya ditambahkan
HCl 2 M, diaduk dan disaring. Filtratnya dibagi menjadi 3 bagian.Filtrat A sebagai
blangko, filtrat B diuji dengan pereaksi Mayer, sedangkan filtrat C diuji dengan
pereaksi Dragendorff. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya alkaloid
(Harbone, 1987).
2.10.2 Uji Flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit sekunder tumbuhan yang umum dikenal
sebagai anti-oksidan, namun sekarang dengan perkembangan ilmu pengetahuan
flavonoid dipergunakan juga sebagai obat kanker dan sakit jantung. Flavonoid
sering juga dikenal dengan bioflavonoid karena sebagian besar berasal dari bahan
biologi atau hayati (Cowan, 1999).
34
Uji flavonoid dapat dilakukan dengan cara sebanyak 3 ml ekstrak eter
diuapkan, dicuci dengan heksana sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 ml
etanol kemudian disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. filtrat A sebagai
blangko, filtrat B ditambahkan 0,5 ml HCl pekat kemudian dipanaskan pada
penangas air, jika terjadi perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan
hasil yang positif (metode Bate Smith-Metchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 ml HCl
dan logam Mg kemudian diamati perubahan warna yang terjadi (metode Wilstater).
Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua
diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru diberikan oleh
aglikon atau glikosida (Hayati dkk.,2010).
Untuk uji Analisa KLT dapat menggunakan Fase gerak asam asetat glacial :
butanol : air (1:4:5), dengan penampak noda uap ammonia. Reaksi positif
ditunjukkan dengan terbentuknya noda berwarna kuning cokelat setelah diuapi
ammonia pada pengamatan dengan sinar tampak dan berwarna biru pada UV 366
nm menegaskan adanya kandungan flavonoid (Hayati dkk..,2010).
2.10.3 Uji Steroid/Triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang
kering, lalu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 2 tetes H2SO4 pekat.
Terbentuknya larutan berwarna jingga dan ungu untuk pertama kali menandakan
adanya senyawa triterpenoid, kemudian berubah menjadi biru dan hijau
menunjukkan reaksi positif mengandung senyawa steroid (Nohong, 2009).
Sedangkan untuk uji Analisa KLT Fase gerak yang digunakan adalah Kloroform -
metanol (9:1), dengan penampak noda pereaksi Liberman-Buchard disertai dengan
pemanasan pada suhu 105oC selama 5 menit. Reaksi positif steroid ditunjukkan
dengan adanya noda berwarna hijau biru (Kristanti dkk., 2008).
2.10.4 Uji Antrakinon
Termasuk golongan kuinon fenolik yang dalam biosintesisnya berasal dari
turunan fenol. Senyawa golongan kuinon telah tersebar luar di alam dan senyawa
ini memiliki ciri yang sangat reaktif. Kuinon merupakan cincin aromatik dengan
substitusi dua keton. Senyawa ini, bertanggung jawab dalam reaksi pencoklatan
pada buah-buahan dan sayuran dan sebagai perantara melanin dalam jalur sintesis
pada kulit manusia. Dengan menyediakan sumber radikal bebas yang stabil, kuinon
35
merupakan ireversibel kompleks nukleofilik asam amino dalam protein yang
menimbulkan inaktivasi protein dan hilangnya fungsi sehingga besar potensi
kuinon sebagai efek antimikroba (Cowan, 1999). Kuinon memiliki aktivitas
antimikroba yang cukup luas, senyawa tersebut juga dapat membentuk kompleks
dengan asam amino nukleofilik dalam protein sehingga dapat membentuk protein
kehilangan fungsinya. Kuinon bereaksi dengan protein adesin bulu-bulu sel,
polipeptida dinding sel, dan eksoenzim yang dilepaskan melalui membran
(Kristanti dkk., 2008).
2.10.5 Uji Polifenol
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat
ini mempunyai tanda khas yaitu banyak gugus fenol dalam molekulnya.
Senyawa fenol dalam tanaman dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu asam
fenol, flavonoid dan tanin (Kristanti dkk., 2008).
2.10.6 Uji Tanin
Ekstrak didihkan dengan 20 ml air lalu disaring. Ditambahkan beberapa tetes
feriklorida 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau biru kehitaman
menunjukkan adanya tanin (Edeoga dkk., 2005). Selain itu untuk uji Analisa KLT
dapat dilakukan dengan Fase gerak metanol-air (6:4), dengan penampak noda
Pereaksi FeCl3 5 %. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya noda berwarna
hitam (Banu dan Nagarajan, 2014).