BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/66268/3/BAB II.pdf · 2020. 9. 9. · 5 . BAB II ....

12
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepar Tikus 2.1.1 Anatomi dan histologi hepar tikus Manusia mempunyai banyak kemiripan dengan tikus (Rattus norvegicus L.). Jenis tikus yang sering digunakan yaitu albino galur Sprague Dawley dan Wistar (Wolfensohn & Lloyd, 2013). Tikus galur wistar memiliki tingkat kemiripan genetis sebesar 98% meskipun sudah berkembang biak lebih dari 20 generasi (Krinke, 2006). hepar tikus memiliki berat sekitar 2 g dan terletak di wilayah subdiafragma dan memiliki 4 lobus. Struktur hepar tikus mirip dengan manusia meskipun hepatosit manusia lebih tebal dan terdefini dengan baik dibandingkan hepatosit tikus, serta memiliki trias porta berupa v. porta, a. Hepatica dan duktusbiliaris yang mirip dengan manusia (Rogers, et al., 2012). 2.1.2 Perbedaan Anatomi Hepar Tikus Dan Manusia Tabel 2. 1 perbedaan anatomi dan histologi hepar tikus dan manusia Karakteristik Tikus Manusia Gross Lokasi Subdiaphragma Abdomen Kuadran kanan atas Lobus 4: Medial, sinistra (terbesar), dextra (terbelah dua), caudatus 4: dextra (terbesar), sinistra, caudatus, quadratus Gallbladder Menonjol dari isthmus sentral lobus medial Di bawah lobus dextra Ligamen Tidak jelas Terlihat jelas (Rogers, Arlin dan Renee, 2012)

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/66268/3/BAB II.pdf · 2020. 9. 9. · 5 . BAB II ....

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepar Tikus

    2.1.1 Anatomi dan histologi hepar tikus

    Manusia mempunyai banyak kemiripan dengan tikus (Rattus norvegicus L.).

    Jenis tikus yang sering digunakan yaitu albino galur Sprague Dawley dan Wistar

    (Wolfensohn & Lloyd, 2013). Tikus galur wistar memiliki tingkat kemiripan genetis

    sebesar 98% meskipun sudah berkembang biak lebih dari 20 generasi (Krinke, 2006).

    hepar tikus memiliki berat sekitar 2 g dan terletak di wilayah subdiafragma dan

    memiliki 4 lobus. Struktur hepar tikus mirip dengan manusia meskipun hepatosit

    manusia lebih tebal dan terdefini dengan baik dibandingkan hepatosit tikus, serta

    memiliki trias porta berupa v. porta, a. Hepatica dan duktusbiliaris yang mirip dengan

    manusia (Rogers, et al., 2012).

    2.1.2 Perbedaan Anatomi Hepar Tikus Dan Manusia

    Tabel 2. 1 perbedaan anatomi dan histologi hepar tikus dan manusia

    Karakteristik Tikus Manusia Gross Lokasi Subdiaphragma Abdomen Kuadran kanan atas

    Lobus 4: Medial, sinistra (terbesar), dextra (terbelah dua), caudatus

    4: dextra (terbesar), sinistra, caudatus, quadratus

    Gallbladder Menonjol dari isthmus sentral lobus medial

    Di bawah lobus dextra

    Ligamen Tidak jelas Terlihat jelas (Rogers, Arlin dan Renee, 2012)

  • 6

    (Rogers, et.al., 2012)

    Gambar 2. 1 Perbedaan anatomi hepar tikus dan hepar manusia

    (A) Hepar tikus terdiri dari empat lobus: kiri yang terbesar, kanan, medial, dan kaudatus. Fundus kandung empedu menonjol di ismus sentral dari lobus medial jika hepar dilihat dari ventral (B) Hati manusia juga terdiri dari empat lobus: kanan yang terbesar, kiri, kaudatus, dan kuadratus. Ada juga beberapa ligamen di permukaan yang menonjol (Rogers, Arlin & Renee, 2012).

    2.1.3 Perbedaan Histologi Hepar Tikus Dan Manusia

    Tabel 2. 2 perbedaan histologi hepar tikus

    Karakteristik Tikus Manusia Sel hepatosit Bi- dan

    multinuclear (lebih dari 1 inti),

    sering, terutama dengan usia lanjut

    Dapat mencakup 25% sel

    klirens sitoplasma contohnya degenerasi hidropik, cloudy swelling

    Sering terjadi setelah makan; paling jelas terlihat pada hepatosit centrilobular

    Tidak sering

    Sel Ito stellate Tampak di dalam sinusoid Tampak di dalam sinusoid (Rogers, et.al., 2012)

    A B

  • 7

    (Rogers, et.al., 2012)

    Gambar 2. 2 Perbedaan histologi hepar tikus dan manusia

    Perbandingan histologi hepar tikus dilihat dari daerah midzonal. (A) Korda hepatika tikus kurang terdefinisi dengan baik dibandingkan korda hepatika manusia; pewarnaan hepatosit pada zona 3 lebih pucat daripada di zona 1 dikarenakan adanya akumulasi glikogen postprandial sentrilobular. Sell binukleat atau multinuleat sering terjadi pada tikus (panah). (B) hepar manusia menunjukkan korda hepatik yang terdefinisi dengan baik, pewarnaan sel yang relatif seragam, dan hepatosit binukleat juga sering terjadi (panah) (Rogers, et.al., 2012).

    2.1.4 Fisiologi hepar

    Hepar merupakan organ vital dengan laju metabolisme yang tinggi, saling

    memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke metabolisme yang

    lain, mengolah serta menyintesis berbagai zat untuk diangkut ke daerah tubuh lain,

    serta menyelenggarakan fungsi metabolisme terbesar pada tubuh. Salah satu fungsi

    metabolisme hepar yaitu metabolisme lemak. Metabolisme lemak yang terjadi di hepar,

    terdiri dari:

    a. oksidasi asam lemak dalam menyuplai energi bagi fungsi tubuh.

    b. sintesis kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein

    c. sintesis lemak dari protein ataupun karbohidrat (Hall, 2015)

    A B

  • 8

    Sebagian besar lemak makanan yang ditelan berada dalam bentuk

    trigliserida(TG) rantai Panjang. TG mengandung asam lemak tidak jenuh dan asam

    lemak jenuh. Masuknya lemak ke dalam duodenum, ditambah dengan asam lambung,

    menyebabkan pelepasan sekretin dan kolesitositokinin yang menimbulkan stimulasi

    keluarnya cairan empedu dan pancreas. Hidrolisis TG melibatkan 3 enzim yaitu lipase,

    kolipase dan garam empedu. Garam empedu membersihkan perbatasan minyak-air

    pada lemak makanan dari protein yang berasal dari luar (eksogen) dan dari dalam

    (endogen), sehingga membuatnya siap mengalami lipolysis oleh lipase pancreas.

    Kolipase berfungsi dalam melabuhkan lipase dekat permukaan droplet TG. Adanya

    kolipase dan lipase tetap berasa pada perbatasan dan membentuk monogliserida-2 dan

    asam lemak.

    Garam empedu mempunyai komponen polar dan nonpolar berkelompok

    membentuk misel. Asam lemak dan monogliserida memasuki misel dan diserap oleh

    usus halus dan memasuki vena porta dan masuk ke siklus enterohepatik. Selanjutnya

    asam lemak dan monogliserida dan direestrifikasi menjadi trigliserida oleh enzim

    retikulo endoplasma. Selanjutnya TG akan berinteraksi dengan apolipoprotein spesifik

    ditambah kolesterol dan fospolipid untuk membentuk kilomikron dan lipoprotein yang

    berdensitas rendah (VLDL) yang akan berakumulasi di Golgi pada sel dan disekresikan

    menjadi dalam pembuluh lakteal dan limfe usus (Isselbacher, et al., 2015).

    2.2 Dislipidemia

    Keadaan dislipidemia ditemukan 56% pada pasie NAFLD di Indonesia ,

    dislipidemia ditandai dengan peningkatan kadar Trigliserida (TG) dan Low Density

  • 9

    Lipoprotein (LDL) serta penurunan konsentrasi kolesterol dalam darah.pada pasien

    NAFLD terjadi akumulasi dislipidemia aterogenik yang mengakibatkan sumbatan pada

    pembuluh darah sehingga secara independen terkait dengan morbiditas dan mortalitas

    pada penyakit jantung koroner (PJK). (Katsiki, et al., 2016).

    2.3 NAFLD

    2.3.1 Terminologi Dan Definisi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease

    Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) adalah suatu penyakit penumpukan

    lemak dalam hepatosit. Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak

    di hati (sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat hati.

    Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis dibuat

    berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu ditemukannya minimal 5-10%

    sel lemak dari keseluruhan hepatosit (Setiati, et al., 2014).

    NAFLD dibedakan dalam dua tipe yaitu tipe pertama yaitu dihubungkan dengan

    peningkatan konsentrasi FFA di plasma sebagai hasil dari mobilisasi lemak dari

    jaringan adiposa atau dari hidrolilis lipoprotein triacylglycerol (TG) oleh lipoprotein

    lipase di jaringan ekstrahepatik. Produksi VLDL tidak dapat mengimbangi influx dan

    esterifikasi dari FFA sehingga memungkinkan akumulasi dari triacylglycerol di

    hepatosit yang mengakibatkan perlemakan hati. Tipe kedua yaitu blok senyawa

    metabolik pada produksi lipoprotein plasma yang mengakibatkan penurunan konversi

    ke VLDL sehingga terjadi akumulasi dari TG (Murray, et al., 2009).

  • 10

    2.3.2 Epidemiologi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease

    Dari banyak penelitian terbukti bahwa abnormalitas fungsi hati akibat

    perlemakan hati maupun steatohepatis non alkoholik merupakan kelainan yang sangat

    sering ditemukan di masyarakat. Angka yang dilaporkan sangat bervariasi karena

    metodologi survei yang berbeda-beda (Setiati, et al., 2014).

    2.3.3 Patogenesis Non-Alcoholic Fatty Liver Disease

    Teori kejadian NAFLD disebut two hit hipotesis. 'First hit' berupa akumulasi

    trigliserida di hepatik disebut dengan steatosis, sedangkan peningkatan kerentanan hati

    untuk mengalami cedera dimediasi oleh 'second hit' seperti sitokin inflamasi atau

    adipokin, disfungsi dari mitokondria dan stres oksidatif yang menyebabkan

    steatohepatitis atau fibrosis. Namun, peningkatan asam lemak bebas juga berperan

    secara langsung terhadap kejadian cedera hati, menyebabkan modifikasi teori ini.

    (Dowman, et al., 2010)

    Peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati. Asam lemak bebas ini

    mengalami β-oksidasi atau esterifikasi dengan gliserol membentuk trigliserida yang

    mengakibatkan penumpukan lemak di hati. Namun sekarang telah dibuktikan bahwa

    substansi dari asam lemak bebas secara langsung dapat menyebabkan efek toksik

    dengan cara meningkatkan stres oksidatif dan aktivasi jalur inflamasi. Oleh karena itu

    akumulasi trigliserida di hati dianggap sebagai mekanisme perlindungan terhadap efek

    toksik dari asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi.Kejadian steatosis erat

    kaitannya dengan peradangan hati kronis, yang dimediasi oleh aktivasi jalur sinyal Ikk-

    b/NF-kB. Pada steatosis diet tinggi lemak, terjadi melalui aktivitas NF-kB yang

  • 11

    berkaitan degan peningkatan ekspresi sitokin inflamasi di hati seperti TNF-a,

    interleukin- 6 (IL-6), interleukin 1-beta (IL-1b), dan aktivasi sel kuppfer (Dowman, et

    al., 2010).

    Stres oksidatif dan disfungsi mitokondria memiliki peran cukup jelas, derajat

    lebih besar dari stres oksidatif mengakibatkan pula keparahan lebih lanjut dari

    penyakit. β-oksidasi dalam hati yang normal terjadi di dalam mitokondria, tetapi dalam

    konteks perlemakan hati proses ini dapat menjadi akibat peningkatan beban asam

    lemak bebas, sehingga menimbulkan reactive oxidative species (ROS). ROS

    menginduksi stres oksidatif dengan mengaktivasi jalur inflamasi dan kerusakan

    mitokondria (Dowman, et al., 2010).

    2.3.4 Gambaran histopatologi NAFLD

    Gambaran histopatologi NAFLD terdiri dari steatosis, hepatocelular ballooning,

    inflamasi intralobuler. Steatosis adalah gambaran histologi yang umum terjadi pada

    berbagai penyakit hati. Namun pada NAFLD setidaknya terdapat 5% dari hepatosit

    yang mengalami steatosis. Steatosis pada NAFLD biasanya berupa steatosis

    makrovesikuler yang terlihat menonjol di zona 3 pada awal perjalanan penyakit dan

    dapat menyebar sampai panacinar jika tingat keparahan sudah tinggi atau severe.

    (Brown & Kleiner, 2016)

    Hepatoseluler steatosis diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu makrovesikuler dan

    mikrovesikuler. Pada makrovesikuler steatosis terdapat lipid droplet tunggal yang

    besar atau beberapa lipid droplet kecil yang terdefinisi dengan baik di sitoplasma

    hepatosit dan mendorong inti ke perifer sel hepatosit. Pada steatosis mikrovesikuler ,

  • 12

    sitoplasma terisi droplet lemak kecil yang tidak mendorong inti sehingga inti tetap

    berasa di sentral (Takahashi & Fukusato, 2014).

    (Takahashi & Fukusato, 2014)

    Gambar 2. 3 Steatosis makrovesikuler di zona 3 pada pasien NAFLD

    Terdapat droplet lemak tunggal yang besar yang mendorong inti ke perifer sel

    2.4 Hubungan NAFLD dengan aterosklerosis

    Mekanisme patofisiologis yang menghubungkan NAFLD dengan penyakit

    jantung koroner (PJK), disfungsi miokard / hipertrofi, sklerosis katup aorta (SKA) dan

    aritmia jantung tidak sepenuhnya dipahami. Interaksi yang kompleks terjadi karena

    resistensi insulin dan obesitas viseral mengakibatkan sulit untuk memisahkan

    hubungan sebab akibat yang tepat untuk peningkatan risiko jantung koroner pada

    pasien dengan NAFLD. Konsepnya yaitu pada pasien dengan Non-Alcoholic Steato

    Hepatis, ada peningkatan resistensi insulin secara sistemik sehingga menyebabkan

    akumulasi dislipidemia aterogenik(tinggi TG, rendah HDL dan tinggi VLDL.) dan

    peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti asam urat dan protein C-reaktif

    (CRP), IL-6, TNF-α serta penanda pro fibrogenik dapat menyebabkan jantung coroner

    (Than & Newsome, 2015).

  • 13

    Dislipidemia pada NAFLD cenderung bersifat pro-aterogenik. Temuan khas

    yaitu adanya peningkatan konsentrasi VLDL, TG plasma dan penurunan kolesterol

    HDL, ditemukan hingga 80% dari kasus NAFLD. Lipoprotein adalah bagian penting

    dari mekanisme yang mendasari pada dislipidemia yang berhubungan dengan NAFLD.

    Lipoprotein membantu pengiriman kolesterol dan TG dari hati dan usus ke jaringan

    otot dan lemak dan tindakan itu dimediasi baik oleh partikel chylomicron dan VLDL

    yang mengandung apolipoprotein (apo) B48 dan apoB100 atau dalam kasus kolesterol,

    secara tidak langsung dengan konversi dari lipoprotein densitas menengah (IDL) ke

    LDL. Fungsi kedua lipoprotein adalah pengangkutan kolesterol berlebih dari jaringan

    ekstra-hati ke hati untuk eliminasi melalui empedu, yang dimediasi terutama oleh

    partikel HDL. Kedua fungsi diubah dalam NAFLD. Individu dengan NAFLD telah

    mengurangi sensitivitas insulin hati dan pembersihan glukosa meskipun memiliki

    kadar insulin sirkulasi tinggi yang dapat berkontribusi terhadap dislipidemia (Than &

    Newsome, 2015).

    Apolipoprotein adalah protein yang mengangkut lipid dalam sirkulasi darah.

    Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa rasio Apo B / Apo A1 terkait dengan

    prevalensi NAFLD dan tidak tergantung pada obesitas dan komponen metabolisme

    lainnya dan oleh karena itu, rasio ini mungkin berguna sebagai penanda predikatif

    untuk risiko kardiovaskular pada NAFLD (Than & Newsome, 2015).

  • 14

    2.5 Labu siam

    2.5.1 Labu siam

    Labu siam merupakan tanaman semusim yang bersifat menjalar atau

    memanjat dengan perantara alat pemegang berbentuk pilin atau spiral, berambut

    kasar, berbatang basah dengan panjang 5-25 meter. Perbanyakan tanaman ini dapat

    dilakukan dengan biji. Tanaman labu siam mempunyai sulur dahan berbentuk

    spiral yang keluar di sisi tangkai daun. Berdaun tunggal, berwarna hijau, dengan

    letak berselang-seling, dan bertangkai panjang (Soedarya, 2009).

    Tanaman labu siam tergolong satu famili dengan melon dan semangka.

    Tanaman labu siam dibudidayakan di ladang, halaman rumah, kebun, atau rumah

    kaca. Tanaman labu siam tidak tahan terhadap hujan yang terus-menerus.

    Pertumbuhannya memerlukan kelembapan udara yang tinggi, tanah yang gembur,

    dan mendapat sinar matahari penuh dengan drainase yang baik. Tanaman ini lebih

    baik dirambatkan (Soedarya, 2009).

    (Soedarya, 2009) Gambar 2. 4 buah labu siam

  • 15

    2.5.2 Taksonomi

    Kingdom : Plantae

    Subkingdom : Tracheobionta

    Superdiviso : Spermatophyta

    Divisio : Magnoliophyta

    Kelas : Magnoliopsida

    Subkelas : Dilleniidae

    Suku : Cucurbitaceae

    Marga : Sechium

    Jenis : Sechium edule (Husada, 2001)

    2.5.3 Kandungan ekstrak etanol buah labu siam

    Ekstrak etanol labu siam memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan 6

    buah famili Cucurbitaceae yaitu baligo, labu, labu air, gambas, peria, dan pare. Ekstrak

    etanol labu siam mengandung gallic acid, luteolin dan caffeic acid dengan kandungan

    gallic acid sebagai kandungan senyawa tertinggi (Sulaiman, et al., 2013). Labu siam

    juga mengandung flavonoid tipe C-glycosile flavonoid. (Neeraja, et al., 2015). Dalam

    penelitian (Flores, et al., 2017) kandungan dari ekstrak etanol labu memiliki kandungan

    flavonoid yang tinggi sebesar 8mg/ 100gr ekstrak kering.

  • 16

    2.5.4 Pengaruh Ekstrak Etanol Labu Siam Terhadap Perlemakan Hati Tikus

    Beberapa kandungan buah labu siam dapat berfungsi sebagai berikut : Ekstrak

    etanol labu siam memiliki potensi antioksidan yang besar. Flavonoid mampu

    menurunkan kadar kolesterol total dengan cara menghambat absorbsi kolesterol dalam

    usus dan dapat meningkatkan reaksi pembentukan asam empedu dari kolesterol untuk

    diekskresikan melalui feses.

    Senyawa C-glycosyl flavonoid memiliki efek hepatoprotective yang berfungsi

    mencegah kerusakan yang mengakibatkan perubahan histologi pada hepatosit juga

    berfungsi sebagai anti inflamasi karena dapat menghambat pembentukan TNF-a yang

    menginduksi kematian sel hepatosit tikus (Xiao, et al., 2015). Gallic acid yang

    terdapat dalam ekstrak etanol labu siam bersifat hepatoprotektor dan antiinflamasi

    dengan cara menghambat pengeluaran mediator inflamasi yang dapat mengakibatkan

    kerusakan mitokondria sehingga proses esterifikasi kolesterol dapat terjadi dan

    menurunkan simpanan TG dalam hepatosit (Chao, et al., 2014).

    Luteolin yang terdapat di dalam ekstrak etanol labu siam dapat menghambat

    perlemakan hati dengan cara mengaktivasi sinyal AMPK yang dapat meningkatkan

    proses β-oksidasi dan menghambat lipogenesis (Salomone, et al., 2016). Caffeic acid

    dapat menghambat akumulasi lipid dengan cara mengaktivasi sinyal AMPK dan

    menurunkan lipogenic enzim SREBP yang secara cepat meningkatkan proses β-

    oksidasi dan menurunkan lipogenesis (Antonucci, et al., 2017).

    HASIL PENELITIANLEMBAR PENGESAHANLEMBAR PERNYATAAN ORISINALITASLEMBAR PENGUJIANKATA PENGANTARUCAPAN TERIMAKASIHABSTRAKABSTRACTDAFTAR ISIDAFTAR TABELDAFTAR GAMBARDAFTAR SINGKATANDAFTAR LAMPIRANBAB IPENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANG1.2 RUMUSAN MASALAH1.3 TUJUAN PENELITIAN1.3.1 TUJUAN UMUM1.3.2 TUJUAN KHUSUS

    1.4 MANFAAT PENELITIAN1.4.1 Manfaat Akademis1.4.2 Manfaat untuk Masyarakat

    BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Hepar Tikus2.1.1 Anatomi dan histologi hepar tikus2.1.2 Perbedaan Anatomi Hepar Tikus Dan Manusia2.1.3 Perbedaan Histologi Hepar Tikus Dan Manusia2.1.32.1.4 Fisiologi hepar

    2.2 Dislipidemia2.3 NAFLD2.3.1 Terminologi Dan Definisi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease2.3.2 Epidemiologi Non-Alcoholic Fatty Liver Disease2.3.3 Patogenesis Non-Alcoholic Fatty Liver Disease2.3.4 Gambaran histopatologi NAFLD2.4 Hubungan NAFLD dengan aterosklerosis2.5 Labu siam2.5.1 Labu siam2.5.2 Taksonomi2.5.3 Kandungan ekstrak etanol buah labu siam2.5.4 Pengaruh Ekstrak Etanol Labu Siam Terhadap Perlemakan Hati Tikus

    BAB IIIKERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN3.1 KERANGKA KONSEPTUAL3.2 HIPOTESIS PENELITIAN

    BAB IVMETODE PENELITIAN4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian4.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian4.3 Populasi dan Sampel4.3.1 Populasi4.3.2 Sampel4.3.3 Besar Sampel4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel4.3.5 Karakteristik Sampel Penelitian4.3.6 Variabel Penelitian4.3.7 Definisi Operasional

    4.4 Alat dan Bahan Penelitian4.4.1 Alat4.4.1.1 Alat Pemeliharaan Tikus4.4.1.2 Alat Pembedahan Tikus4.4.1.3 Alat Lain

    4.4.2 Bahan

    4.5 Prosedur Penelitian4.5.1 Pembagian Kelompok Tikus4.5.2 Adaptasi Hewan Percobaan4.5.3 Pemberian Dosis Pakan Aterogenik4.5.4 Pemberian Dosis Ekstrak Etanol Labu Siam4.5.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Labu Siam4.5.5.1 Bahan dan Alat4.5.5.2 Cara Pembuatan Ekstrak Etanol Labu Siam

    4.5.6 Proses Anestesi dan Pembedahan Hewan Coba4.5.6.1 Proses Anestesi4.5.6.2 Proses Pembedahan

    4.5.7 Proses Pembuatan sediaan Histologi Hepar Tikus4.5.8 Pengamatan Hasil

    4.6 Alur Penelitian4.7 Analisis Data

    BAB VHASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA5.1 Hasil Penelitian5.2 Analisis data5.2.1 Analisis uji t independent5.2.2 Analisis One Way Anova5.2.3 Analisis Post Hoc Bonferroni5.2.4 Analisis Regresi Linier

    BAB VIPEMBAHASANBAB VIIKESIMPULAN DAN SARAN7.1 Kesimpulan7.2 Saran

    DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN