BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14691/2/T1_312014086_BAB II... ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14691/2/T1_312014086_BAB II... ·...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan membahas perjanjian internasional
secara umum untuk menjawab rumusan masalah yang akan dibahas
didalam bab pembahasan nanti. Pembahasan kali ini penulis menggunakan
metode konseptual di mana terdapat beberapa argumentasi yang
disampaikan oleh beberapa ahli mengenai perjanjian internasional.
Sehingga penulis akan membahas mengenai isu hukum berupa sikap
negara non peserta perjanjian terhadap perjanjian yang bersifat universal.
Adapun argumentasi penulis dari isu tersebut yaitu penulis berpendapat
bahwa perjanjian yang bersifat universal dan mengandung prinsip-prinsip
umum atau general principles merupakan perjanjian yang bersifat law
making treaty di mana bila dilihat dari karakteristiknya perjanjian tersebut
secara praktik akan mengikat bagi semua negara baik itu negara peserta
maupun negara non peserta.
Sehingga sebelum penulis memberikan pembahasan mengenai alasan
argumentasi tersebut,penulis akan menjelaskan terlebih dahulu
memberikan beberapa pembahasan yaitu pertama pandangan teoretik
tentang eksistensi hubungan internasional, kedua sumber-sumber hukum
internasional, ketiga hubungan antara hukum internasional dengan hukum
nasional, keempat perjanjian internasional sebagai sumber hukum
internasional , kelima treaty contract dan law making treaty kemudian
13
yang keenam perjanjian internasional sebagai hasil kodifikasi hukum
kebiasaan internasional berikut pembahasan dari penulis.
A. Pandangan Teoretik tentang Eksistensi Hukum Internasional
1. Teori Hukum Alam/Naturalisme
Dalam hal ini teori hukum alam (natural law) merupakan hukum
yang diturunkan untuk bangsa-bangsa, dengan alasan bahwa hukum
yang tertinggi adalah hukum alam. Teori hukum alam ini berasaskan
kebenaran dan keadilan. Hukum alam merupakan hukum yang tidak
dapat diubah. Tokoh dalam teori hukum alam adalah Emmerich de
Vattel, Hugo Grotius (Hugo de Groot).
Pada dasarnya teori hukum alam adalah hukum yang berasal dari
Tuhan yang berbentuk asas kebenaran dan keadilan yang bersifat
mutlak yang dimiliki oleh setiap manusia contohnya human rights.
Socrates berpegang teguh bahwa keadilan yang sesungguhnya serta
hukum yang benar itu tidak akan ditemui dalam Undang-Undang yang
dibentuk penguasa-penguasa negara, ia bertempat tinggal di dalam diri
dan dalam kesadaran manusia itu sendiri.
Sumbangan yang diberikan kepada hukum internasional berupa
dasar-dasar pembentukkan hukum yang ideal konsep hidup
bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan
oleh akal budi manusia, teori hukum alam setelah meletakkan dasar
rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan
damai antarbangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki
14
asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-
beda. Dalam perjanjian internasional dikenal dengan istilah customary
law
Kelemahan dari teori ini adalah tidak adanya kepastian hukum
yang dapat dibenarkan. Karena keadilan dan kebenaran sebuah hal
yang relatif bagi masing-masing individu.
2. Teori Hukum Positif/Positivisme
Teori hukum positif berbeda dengan teori hukum alam, sumber
hukum dalam teori hukum positif yaitu berasal dari perundang-undangan.
Dengan keadilan dan kebenaran yang dikodifikasi ini dapat memberikan
kepastian bagi pihak-pihak terikat.
Dalam hukum internasional sering dijumpai yaitu dalam bentuk
konvensi. Istilah konvensi ini sangat populer di kalangan masyarakat
internasional. Pembuatan konvensi ini dibuat oleh perwakilan negara
dengan berbagai pertimbangan berdasarkan suasana dalam negara-negara
pihak
Kelemahan dari teori ini adalah perundang-undangan dibentuk oleh
manusia. Setiap negara tidak dapat menerapkan dan rentan terjadinya
sebuah konflik.
15
B. Sumber-Sumber Hukum Internasional
Secara material sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber isu
hukum atas dasar berlakunya hukum dan kaidah-kaidah hukum itu
diciptakan. Dapat juga diartikan sebagai sumber hukum yang
mempersoalkan sebab apa hukum tersebut mengikat? dan sumber hukum
apakah yang menjadi dasar untuk mengikat.
Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional
menyebutkan bahwa :
1. The Court, whose function is to decide in accordance with
international law such disputes as are submitted to it, shall
apply:
a. international conventions, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contesting
states
b. international custom, as evidence of a general practice
accepted as law
c. the general principles of law recognized by civilized
nations
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions
and the teachings of the most highly qualified publicists of
the various nations, as subsidiary means for the
determination
of rules of law
Dalam terjemahan bahasa Indonesia maka hakim dalam mengadili
perkara-perkara yang diajukan Mahkamah Internasional akan
mempergunakan sumber hukum tersebut. Adapun urutan penyebutan
sumber hukum dalam Pasal 38 ayat 1 dibagi menjadi dua yaitu pertama
sumber hukum utama/primer yaitu perjanjian internasional, kebiasaan-
kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip hukum. Kedua Sumber hukum
subsidier keputusan yurisprudensi internasional dan ajaran para ahli.
Berikut pembahasan mengenai sumber hukum internasional
16
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum yang sudah
tidak asing lagi dikalangan masyarakat internasional. Selain itu
perjanjian internasional merupakan instrumen terpenting dalam
pelaksanaan hubungan internasional antarnegara. Dalam perjanjian
Internasional akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi setiap pihak,
yang menjadi pesertanya. Selain itu perjnjian internasional juga
berperan sebagai sarana untuk meningkatkan kerjasama antarnegara.
Kelebihan dari perjanjian internasional dibandingkan dengan
kebiasaan internasional yaitu sifat dari perjanjian internasional bersifat
tertulis sehingga mudah digunakan pembuktian. Dengan demikian
perjanjian Internasional dapat memberikan kepastian hukum.
Istilah-istilah perjanjian internasional beragam yaitu convention,
final act, declaration, memorandum of understanding (MoU),
agreement,protocol dan lain-lain. Istilah tersebut hanya penyebutan
biasa tidak mengandung dampak yuridis. 1 Syarat penting untuk
dikatakan sebgai perjanjian internasional bahwa perjanjian tersebut
tunduk pada rezim hukum internasional walaupun para pihaknya
adalah negara. Diatur dalam Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang
hukum perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-
negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internsional.
Berdasarkan jumlah pesertanya perjanjian Internasional terdapat
perjanjian bilateral dan multilateral. Kemudian berdasarkan luas
1 Sefriani, pengantar hukum internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h.28
17
wilyahnya regional dan universal. Berdasarkan kaidah hukumnya
terdapat perjanjian treaty contract dan law making treaty.
2. Kebiasaan Internasional
Menurut Dixon hukum kebiasaan internasional adalah hukum
yang berkembang dari praktik atau kebiasaan-kebiasaan negara.
Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum tertua dalam hukum
internasional. Walaupun saat ini hukum kebiasaan internasional
semakin kecil karena bertambah banyaknya perjanjian-perjanjian yang
membentuk hukum namun secara substansial hukum kebiasaan
merupakan bagian dari perjanjian internasional. Hukum kebiasaan
internasional dikristalisir dari adat istiadat atau praktek-praktek negara
melalui hubungan diplomatik antar negara, praktek-praktek organisasi
internasional dan Undang-Undang nasional.2 Sehingga terdapat 2 unsur
kebiasaan diantaranya adalah unsur faktual dan unsur psikologis.
Unsur faktual memiliki karakter merupakan praktik dari negara-negara,
unsur praktik umum,unsur praktik yang berulang-ulang dan unsur
jangka waktu. Sedangkan unsur psikologis merupakan penilaian yang
bersifat abstrak dan subjektif.
Namun tidak dapat disangkal eksistensi dari new customary law
yang dapat menggantikan hukum kebiasaan yang sudah ada existing
2 J.G Starke,Pengantar Hukum Internasional jilid II, Penerbit C,V Alumni, Bandung ,
1968 h. 20
18
rule yang didukung oleh opinio juris 3 contoh kasusnya adalah
Indonesia melanggar hukum kebiasaan internasional yaitu dalam kasus
Tobacco Case dimana Indonesia tidak memberikan ganti rugi sesuai
hukum kebiasaan Internasional yang berlaku ketika menasionalisasi
perusahaan dan perkebunan tembakau milik warga dan perusahaan
Belanda. Sehingga menurut hukum kebiasaan internasional Belanda
harus memenuhi unsure promp dan effective.
3. Prinsip – Prinsip Umum tentang Hukum
Prinsip-prinsip hukum umum diperkenalkan pertama kali oleh
Statuta PCIJ dengan maksud untuk menghindari masalah non liquet
dalam suatu perkara yang dihadapkan pada hakim karena pada
prinsipnya hakim tidak dapat menolak perkara yang dijauhkannya
dengan alasan tidak ad hukumnya.
Adapun beberapa prinsip-prinsip hukum secara umum mencakup
seluruh bidang hukum baik itu pidana,perdata,lingkungan dan lain-
lain. Beberapa prinsip-prinsip lain yaitu pacta sunt servanda,good
faith,nullum delictum nulla poena legenali,nebis in idem,good
governance dan lain-lain. Dalam kasus EASTERN Carelia Case 1923
PCIJ menyatakan bahwa kemerdekaan negara merupakan prinsip yang
fundamental dalam hukum internasional.4
3 Sefriani, Ibid, h.46
4 Ibid, h. 50
19
4. Keputusan-Keputusan Hakim atau Yurisprudensi Internasional
Dalam Pasal 38 Statuta MI disebutkan sebagai sumber hukum
tambahan (subsidiary) bagi sumber hukum di atasnya. Bukan berarti
bahwa putusan pengadilan lebih rendah dibandingkan dengan sumber
hukum lainnya, karena putusan pengadilan ini tidak dapat berdiri
sendiri yang dasarnya dimambil oleh hakim. Serta putusan pengadilan
digunakan hakim untuk memperkuat argumentasi sumber hukum di
atasnya.
Walaupun putusn hakim tidak dapat mengikat namun putusan ini
dapat menimbulkan kebiasaan-kebiasaan Internasional yang kemudian
digunakan oleh hakim untuk dasar putusan dengan kasus-kasus yang
serupa. Contohnya adalah dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries
Case 1952 serta Reparation for Injuries Suffered in the Crevice of the
UN 1949 . Dalam kasus pertama hakim menciptakan ketentuan baru
dalam Hukum Internasional mengenai batas teritorial berdasarkan
geografis dan kepentingan ekonominya. Kemudian kasus yang kedua
hakim menciptakan kaidah baru UN sebagai organisasi baru
memberikan ganti rugi berdasarkan hukum internasional.
5. Ajaran dari Ahli
Doktrin sama halnya dengan putusan pengadilan yaitu hanya
subsider. Ajaran para ahli bukanlah hukum ysng mengikat meskipun
banyak ahli seperti Bynkershoek,Grotius, Vattel,Strake atau pakar
20
hukum lain karena hanya berupa opini tidak mengikat dan bukan
hukum. Sehingga hakim tidak dapat memutus perkara berdasarkan
opini para pakar ahli.
Namun ajaran ahli meskipun bukan hukum banyak para ahli
memberikan pendapat seperti Gidel tentang zona laut tambahan yang
kemudian diikuti pakar lainnya sehingga menjadi hukum kebiasaan
internasional.
C. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
1. Teori Dualisme
Dalam teori ini hukum internasional dan hukum nasional
merupakan sistem hukum yang dipisahkan sehingga tidak memiliki
hubungan hierarki antara kedua sistem hukum ini. Adapun ciri-ciri dari
dualisme yaitu :5
1. Hukum internasional dan hukum nasional berlaku pada wilayah
yang berbeda
2. Aparat hukum menerapkan hukum internasional dalam
statusnya sebagai norma hukum nasional
3. Hukum internasional ditransformasikan kedalam hukum
nasional
4. Tidak mungkin terjadi konflik karena wilayahnya berbeda
5Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktik Indonesia.
Bandung: PT Refika Aditma, 2010,h.97
21
Proses transformasi dimana norma hukum internasional berubah
karakter menjadi produk hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata
urutan perundang-undangan nasional. 6 maka konsekuensi yang diterima
negara harus adanya lembaga hukum untuk mengkonversikan hukum
internasional ke hukum nasional.
2. Teori Monisme
Aliran monisme menempatkan hukum internasional merupakan
satu kesatuan sistem hukum. Pemberlakuan hukum internasional
tidak harus melalui transformasi bila ada proses legalisasi hanya
merupakan implementasi dari norma hukum internasional.
Dengan demikian hukum internasional yang berada dalam sistem
hukum internasional berkarakter hukum Internasional .7 Karena aliran
satu sistem maka untuk menghindari adanya konflik antara hukum
nasional dan internasional aliran ini dibagi menjadi dua yaitu
mendahulukan hukum nasional (primat hukum nasional) dan
mendahulukan hukum internasional (primat hukum internasional.
berikut ciri-ciri dari monoisme yaitu8:
1. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu
kesatuan sistem
2. Aparat hukum menerapkan norma hukum internasional dalam
statusnya sebagai norma hukum internasional
6 Ibid., h.97
7 Mochtar kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit
PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.61-64. 8Damos Dumoli, Op.Cit., h.88
22
3. Hukum internasional di inkorporasi dengan hukum nasional
4. Terbuka munculnya konflik antara hukum internasional dengan
hukum nasional. Melahirkan primat hukum nasional.
a. Teori Monisme dengan Primat Hukum Internasional
Menurut A Verdross, G.Scelle,Hans Kelsen, W.Kaufaman, teori
ini berpendapat bahwa terdapat suatu kesatuan sistem hukum dimana
hukum internasional berada ditingkatan teratas. Akibatnya hukum
nasional harus selalu sesuai dan mengikuti hukum internasional. Hal
ini disebabkan alasan bahwa subjek hukum internasional sebenarnya
tidak terlalu berbeda dengan subjek hukum nasional, dimana didalam
hukum internasional maupun hukum nasional individu adalah subjek
hukum yang utama , walaupun didalam hukum internasional yang
dimksud dengan individu merujuk pada statusnya sebagai pejabat
negara.
Selain itu sumber hukum internasional sebenarnya lebih superior
secara hierarki daripada hukum nasional sehingga dalam
pemberlakuannya hukum internasional tidak perlu ditransformasikan
lebih lanjut. Namun konstitusi nasional dapat memberikan
pengecualian lebih lanjut
b. Teori Monisme dengan Primat Hukum Nasional
Menurut J.J Moser, C.Bergobhm, A Zhorn, M.Wensel dalam
teori ini hukum nasional diutamakan dari pada hukum internasional
23
dengan alasan bahwa hukum internasional bukanlah suatu bentuk
pedoman perilaku individu yang diutamakan adalah kepentingan
negara terkait. Dalam doktrin ini hanya mengenal satu sistem saja.
3. Doktrin Inkorporasi dan Transformasi
Doktrin pertama yaitu doktrin inkorporasi yang menyebutkan
bahwa Hukum Internasional akan berlaku otomatis menjadi bagian
dari Hukum Nasional tanpa adopsi sebelumnya. Sedangkan doktrin
transformasi Hukum Internasional tidak menjadi Hukum Internasional
kecuali sampai diimplementasikan dalam Hukum Nasional lebih dulu.
Menurut akademisi Ninon Melatyugra dalam jurnal menyebutkan
bahwa teori inkorporasi merupakan teknik dari monisme dimana
negara dapat menerapkan hukum internasional di wilayah nasional
tanpa mengubah dasar hukumnya. Teknik incorporation memberi
implikasi terciptanya jenis treaty yakni selfexecuting treaty yang
bersifat dapat diterapkan secara langsung dalam sistem hukum
nasional. 9
Sedangkan teori dualisme menggunakan teknik transformation
dimana penerapan hukum internasional harus diikuti dengan proses
legislasi untuk mengubah hukum internasional menjadi bagian dari
hukum nasional. Teknik transformasi ini menghasilkan jenis hukum
yang bersifat non-self-executing treaty dimana jenis tersebut tidak akan
9 Ninon Melatyugra,”Mendorong sikap lebih bersahabat terhadap hukum internasional :
penerapan hukum internasional oleh pengadilan indonesia”, jurnal refleksi Hukum Fakultas Hukum Univeristas Kristen Satya Wacana, 2016, hal 48.
24
memiliki daya eksekusi tanpa aturan tambahan atauaturan pelaksana
nasional.
Adapun kelemahan dalam teori tersebut menurut Ninon memiliki
beberapa kelemahan diantaranya Pertama, teori tersebut bersifat expost
yang hanya melihat pada praktik-praktik negara saja. Kedua, teori
tersebut kurang mengandung normative content yang tidak dapat
digunakan sebagai argumen di pengadilan nasional. Ketiga, teori
tersebut tidak mampu menghadapi praktik overlapping terhadap teori
itu sendiri di suatu negara.
Walaupun dari uraian diatas Hukum Internasional dan Hukum
Nasional tidak mempunyai pengaruh sama sekali, justru dalam praktik
Hukum Internasional dan Hukum Nasional saling mempengaruhi dan
membutuhkan satu sama lain khususnya untuk Indonesia
Pertama, hukum internasional akan lebih efektif apabila
ditransformasikan kedalam hukum nasional. Sebelum meratifikasi
GATT/WATO Indonesia sempat tidak dapat menggunakan anti
dumping untuk melindungi perdagangan Internasional. Kedua, Hukum
Internsional akan menjembatani ketika Hukum Nasional tidak dapat
diterapkan di wilayah lain. Contohnya ketika indonesia menangkap
seorang buronan yang lari ke luar negeri maka diperlukan perjanjian
ekstradisi antar negara.
Ketiga, hukum internasional mengharmonisasikan perbedaan-
perbedaan dalam hukum nasional misalnya pencemaran air laut, setiap
negara memiliki peraturan yang berbeda-beda maka agar terjadi
25
kesamaan dan kepastian hukum kelompok ASEAN membuat
perjanjian. Hukum internasional tumbuh dari praktik hukum nasional.
Kelima meskipun negara mempunyai prescription jurisdiction, dalam
pembuatan perundang-undangan nasional, negara tidak dapat membuat
seenaknya harus melihat hukum internasional yang sudah ada.
D. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan bentuk kodifikasi dari kaidah
kaidah kebiasaan (custom). Kaidah-kaidah hukum ini semakin hari
semakin menyusut akibat dari “yang membentuk hukum”
(lawmaking)10
bentuk kodifikasi tersebut contohnya yaitu Vienna
Convention On The Law Of Treaties 1969. Namun praktik tentang
perjanjian internasional sudah berjalan lebih dahulu dan menjadi
kebiasaan internasional sehingga kebiasaan internasional tetap akan
berperan sebagai sumber dinamis bagi hukum internasional.
Maka menurut Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969
perjanjian internasional adalah :
An international agreement concluded between states in written
form and governed by international law, whether embodied in a
single instrument or in two or more related instruments and
whatever its praticular designation
Sehingga unsur-unsur dari pengertian perjanjian internasional
adalah ; an international agreement yang berarti bahwa perjanjian ini
10
Strake, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h.45
26
berkarakter internasional yang mengatur aspek-aspek hukum
internasional dan permasalahan antar lintas negara ; subject of
international law pembuatan ini harus subjek-subjek hukum tertentu
yaitu negara, organisasi internasional, palang merah internasional,
tahta suci/vatican, belligerent ; In written form pembatasan ruang
lingkup perjanjian internasional hanya pada perjanjian tertulis ;
Governed by international law mengatakan bahwa setiap negara
melaksanakan kewajiban dan tunduk terhadap hukum internasional (
biasanya berbentuk kontrak antar negara ) ; Whatever forms definisi
perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian
internasional.
Sejarah dibentuknya Vienna Convention On The Law Of Treaties
1969. Pada tahun 1935 komisi hukum internasional mengkodifikasi
kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam bentuk rancangan konvensi
tentang hukum internasional. Sehingga pada tahun 1948 ILC yang
didirikan PBB ditugaskan untuk membuat konvensi perjanjian
internasional hingga sidang yang kesebelas baru terumuskan konvensi
Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969 dan memenuhi
syarat berlaku (entry into force) sebagai hukum positif internasional
pada tanggal 27 Januari 1980.
Secara praktik perjanjian internasional tidak memiliki konsekuensi
namun perjanjian internasional tetap di klasifikasikan berdasarkan
ruang lingkupnya. Mengenai perjanjian internasional dilihat dari sudut
pandang formil sebagai berikut. Banyak negara-negara yang akan
27
menuangkan hubungan internasional kedalam bentuk perjanjian
internasional dengan tujuan agar memperoleh jaminan kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.
Dalam sub bab ini penulis hanya memfokuskan mengenai sifat
perjanjian yaitu law making treaty dan treaty contract. Jenis perjanjian
lain yang dijabarkan hanya secara umum saja. Perjanjian internasional
di bagi menjadi beberapa bagian diantaranya :
a. Ditinjau dari segi jumlah negara yang menjadi pihak
pesertanya
Perjanjian Internasional bilateral, yaitu perjanjian
internasional yang para pihaknya atau negara peserta yang
terikat dalam perjanjian tersebut hanya dua negara saja
contohnya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia
tentang kepulauan Sipadan dan Ligitan. Dengan demikian
negara diluar pihaknya tidak dapat ikut campur atas
perjanjian yang telah disepakati oleh kedua negara tersebut
Perjanjian internasional multilateral, yaitu perjanjian
internasionalnya yang pihak-pihak pesertanya lebih dari
dua negara. Contohnya konvensi wina 1969 tentang Hukum
Perjanjian. Perjanjian ini bersifat terbuka bagi negara
manapun yang akan menjadi pesertanya.
28
b. Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya
Perjanjian Internasional regional perjanjian ini bersifat
terbatas dan hanya pada satu kawasan tertentu saja
contohnya perjanjian internasional antara negara-negara
dikawasan Amerika Latin, Afrika, dan Timur tengah
Perjanjian Internasional universal merupakan perjanjian
internasional yang substansi dan ruang lingkup berlaku
diseluruh muka bumi perjanjian ini bersifat law making
treaty contohnya DUHAM 1948
2. Pengaturan Perjanjian Internasional
Selain perjanjian Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969
yang mengandung norma kebiasaan internasional terdapat pula
perjanjian The Vienna Convention on The Law of Treaties between
States and International Organizations or between International
Organizations (yang kemudian disingkat menjadi konvensi wina
1986).
Ditetapkan dalam sidang umum PBB pada 18 Februari hingga 21
Maret 1986 di Wina Austria. Dalam perjanjian tersebut merupakan
salah satu sumber perjanjian internasional multilateral yang
diposisikan untuk melihat hak dan kewajiban dari subyek hukum
internasional. Adapun isi dan tujuan dari konvensi wina 1986 tidak
jauh berbeda dengan konvensi wina 1969 yang membedakan hanyalah
29
subyek yang terikat berbeda. Dimana konvensi 1986 mengatur antar
organisasi internasional
3. Prinsip-Prinsip Perjanjian Internasional
Dalam perjanjian internasional terdapat prinsip-prinsip hukum
internasional seperti prinsip pacta sunt servanda menurut Schmitthoff
dan Goldstajn menganggap bahwa prinsip ini diakui secara
internasional dan merupakan prinsip penting. Prinsip ini menyebutkan
bahwa para pelaku harus melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang
telah disepakatinya dan dituangkan dalam bentuk kontrak. Prinsip ini
banyak ditemui dalam perjanjian kontrak.
Terdapat general principles of law berdasarkan Pasal 38 (1)
Statuta Mahkamah Internasional merupakan bentuk hukum
internasional mengenai prinsip-prinsip atau asas-asas hukum
umum (General principles of law). Secara historis dan empiris
(kenyataan) kebiasaan internasional dan perjanjian internasional
merupakan sumber hukum internasional primer yang terpenting
atau terutama. 11
Kemudian mengenai konsep jus cogens merupakan
serangkain prinsip atau norma yang tidak dapat diubah
(peremptory) yang tidak boleh diabaikan.12
Sehingga konsekuensi
11
Alma,. Loc.Cit hal.138 12
JG Strake., Loc.Cit hal.66
30
negara harus menerima dan patuh karena jus cogens bersifat
memaksa.
McNair mendefinisikan jus cogens merupkan norma yang
memaksa yaitu dengan cara mengikat para pembentuk hukum
internasional. Jus cogens merupakan bahasa latin yang memiliki
arti “compelling law. A mandatory norm of genereal international
law from which no or two more nations may exempt themselves or
release one another” 13
Dengan demikian general principles of law merupakan
kebiasaan internasional yang sejak dulu terikat bagi setiap negara.
DUHAM merupakan bentuk dari general principles of laws karena
mengatur seluruh masyarakat internasional dan juga telah diakui
oleh masyarakat internasional. Karena sifatnya tersebut masih
mengatur secara umum maka banyak konvensi-konvensi yang
saling bermunculan mengadopsi dari DUHAM atau bisa disebut
sebut konvensi tersebut merupakan lex specialist.
Prinsip pacta teritiis nec nocent nec prosount prinsip ini
menyebutkan bahwa suatu perjanjian internasional hanya memberikan
hak dan kewajiban kepada pihak-pihak yang terikat pada perjanjian
tersebut. Pihak lain atau pihak ketiga tidak ada sangkut pautnya
terhadap perbuatan hukum yang ada dalam perjanjian internasional.
Prinsip jus cogens merupakan prinsip atau norma yang tidak dapat
13
Bryan a Garner, Black’s law dictionary st paul minn 1999 hlm 184
31
diubah,tidak boleh diabaikan dan karenanya dapat untuk membatalkan
suatu perjanjian apabia tidak sesuai dengan salah satu norma atau
prinsip. Dalam perjanjian internasional dikenal dengan prinsip
clausula rebus sic stantibus dimana dalam prinsip ini menegaskan
bahwa negara peserta dapat mengambil langkah yang ditunjukan untuk
mengesampingkan kewajiban yang dikehendaki oleh traktat.14
Prinsip equality rights pihak yang berhubungan memiliki
kedudukan yang sama. Adapun negara memiliki prinsip free consent
yaitu negara bebas menyatakan kehendaknya. Jadi pihak ketiga tidak
memiliki peran apapun dan tidak memiliki hak serta melaksanakan
kewajiban yang diatur dalam perjanjian Reciprositas (Asas timbal-
balik), yaitu tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas
setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif atau pun posistif.
Courtesy, yaitu asas saling menghormati dan saling menjaga
kehormatan masing-masing negera. Rebus sic stantibus, yaitu asas
yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara sepihak
apabila terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan
yang bertalian dengan perjanjian internasional yang telah disepakati.
E. Treaty Contract dan Law Making Treaty
1. Treaty Contract
Treaty Contract perjanjian yang bersifat treaty contract lebih
condong kepada perjanjian bilateral. Perjanjian bilateral ini hanya
14
Janwahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, hukum internasional kontemporer, Refika Aditama,Bandung, 2006. H. 57
32
memiliki 2 subyek hukum. Perjanjian ini dapat ditemukan pada
perjanjian bilateral, trilateral, dan regional.15
Contoh perjanjian
bilateral adalah perjanjian mengenai Dwi kewarganegaraan antara
Indonesia dan Tiongkok. Pada tanggal 22 April 1955 telah tercapai
perjanjian antara pemerintah indonesia dan pemerintah Tiongkok
(Lembaran negara no.5 tahun 1958) oleh menteri luar negeri Sunario
dan Chou En Lai. Isi perjanjian tersebut dituangkan dalam Undang-
Undang No.2 Tahun 1958 pada 11 Januari 1958 yang
diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1959
adapun waktu pelaksanaan diberi batasan yaitu dua tahun pada 20
Januari 1960-1962 sesuai dengan perjanjian. Sehingga Ausralia tak
dapat turut serta dalam perjanjian dwi kewarganegaraan antara
Indonesia dan Tiongkok
Perjanjian bilateral merupakan perjanjian internasional bila dilihat
dari segi fungsinya dikatakan sebagai treaty contract biasannya
bersifat perdata.16
Karena hanya mengakibatkan hak dan kewajiban
bagi pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Sehingga
pihak ketiga diluar perjanjian tersebut tidak dapat bergabung kecuali
pihak ketiga meratifikasi perjanjian. Hak dan kewajiban negara yang
terikat harus dilaksanakan.
Terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak setelah
perjanjian tersebut maka timbulah perbuatan hukum. Treaty contract
tergolong perjanjian yang bersifat khusus dan tertutup. Karena
15
Sefriani, loc. it hal 29 16
Mochtar kusumaatdja. Loc. Cit. h.113
33
kekhususan perjanjian tersebut konsekuensinya adalah perjanjian ini
tidak dapat bersifat universal atau berlaku bagi semua negara.17
Sehinggga perbuatan hukum tersebut hanya dapat dilakukan oleh para
pihak yang terikat.
2. Law Making Treaty
Law making treaty Perjanjian internasional yang bersifat Law
making-treaty merupakan perjanjian internasional yang meletakkan
ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum bagi masyrakat
internasional sebagai keseluruhan.18
Contoh perjanjian-perjanjiannya
adalah Konvensi 1949 tentang perlindungan korban perang, konvensi-
konvensi hukum laut tahun 1958, dan konvensi vienna tahun 1961
tentang hukum diplomatik.
Sifat dari perjanjian ini terbuka bagi pihak lain diluar perjanjian
dibandingkan dengan treaty contract. Karena perjanjian law making
treaty ini mengatur tentang masalah-masalah umum mengenai semua
anggota masyarakat internasional .19
karena sifatnya terbuka sehingga
pihak ketiga dapat tergabung dalam perjanjian tersebut dan perjanjian
ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang berlaku dari
17
Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional, Kompas Gramedia, Jakarta, 2016. h. 98
18 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1976
h.114 19
Ibid
34
sebelumnya yang berisikan progressive development 20
merupakan
kebiasaan baru atau prinsip hukum yang berlaku internasional.
Karakteristik progressive development dimana negara peserta
terikat pada seluruh pasal perjanjian, kemudian untuk negara bukan
peserta hanya terikat pada isi pasal (existing customary law) karena
hukum kebiasaan, maka karakteristik utama dalam progressive
development bersifat new customary 21
.
Contoh negara diluar pihak perjanjian adalah Tanzania,
Gahana, dan Guinea.22
Negara tersebut tidak turut dalam konversi
Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
Sehingga perjanjian yang bersifat law-making treaty ini
memperbolehkan pihak-pihak diluarnya untuk mendukung perjanjian
tersebut. Ada beberapa jenis law-making treaty diantaranya adalah23
:
1. Masalah yang diatur adalah masalah yang menjadi
kepentingan beberapa negara saja. Contohnya
negara penghasil cengkeh yang diikuti oleh tiga atau
lima negara saja namun negara diluar perjanjian
tersebut dapat (negara penghasil cengkeh) menjadi
peserta.
2. Masalah yang diatur merupakan kepentingan
sebagian besar atau seluruh negara dunia.
20
Sefriani. Loc.cit. hal.30 21
Ibid hal. 31 22
Mochtar kusumaatmadja, loc.cit. hal.114 23
I wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar maju, Bandung, hal.164
35
Contohnya hukum laut internasional,perlindungan
korban perang dan sejenisnya. Perjanjian-perjanjian
tersebut memiliki sifat dan isi yang menyangkut
kepentingan seluruh negara didunia sehingga
melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional
universal
Implikasi yang ditimbulkan bagi negara peserta yaitu berupa
kewajiban dalam ketentuan tersebut akan mengikat sedangkan
terhadap negara-negara yang non peserta maka ketentuan
perjanjian tersebut mengikat selama ketentuan tersebut
mencerminkan hukum kebiasaan.24
Kewajiban tersebut muncul
karena norma atau kewajiban berasal dari hukum yang sebelumnya
terdapat dalam kebiasaan. 25
Sehingga berdsarkan jenis law making treaty diatas ditegaskan
kembali bahwa yang dimaksudkan dengan “menjadi kaidah hukum
yang berlaku umum” tidak berlaku untuk semua perjanjian
multirateral. Harus disesuaikan dengan isi atau masalah dan daerah
/ kawasan itu sendiri. Jadi perjanjian internasional law making
treaty merupakan universal atau umum, ini merupakan “Ruang
Lingkup Konvensi” (Framework Convention).26
24
Janwahir. Loc.Cit.hal.60 25
Martin Dixton, Textbook on International Law, London: Blackstone Press, 1996, hlm.25.
26 Strake,Introduction to International Law, London, 1977 hal.37
36
F. Perjanjian Internasional Sebagai Hasil Kodifikasi Hukum Kebiasaan
Internasional
Dari pembahasan dalam bab sebelumnya telah disebutkan bahwa
perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional
primer dan perjanjian internasional merupakan bentuk kodifikasi dari
hukum kebiasaan internasional yang dalam norma dan kaidahnya
mengadopsi unsur kebiasaan internasional. Prinsip dari perjanjian
internasional jus cogens dimana prinsip ini merupakan sebuah norma yang
memiliki keutamaan dibandingkan dengan norma-norma yang lainnya27
.
Perjanjian internasional terdapat dalam perjanjian yang bersifat
multilateral dimana dalam perjanjian ini mengandung kebiasaan-kebiasaan
negara yang kemudian dikodifikasikan dalam bentuk normatif contohnya
adalah tentang Konvensi Hukum laut. Dalam perjanjian multilateral
memiliki implikasi bahwa perjanjian ini menimbulkan kewajiban yang
dibebankan kepada negara-negara baik negara peserta dan negara bukan
peserta28
Sehingga perjanjian multilateral merupakan bentuk kodifikasi
dari hukum kebiasaan yang sudah berlaku sebelumnya.29
Perjanjian yang pengkodifikasiannya merupakan existing
customary law merupakan perjanjian multilateral yang bersifat progresive
development maka setiap negara bukan peserta perjanjian hanya terikat
pada isi pasal yang bersifat existing customary law merupakan perjanjian
campuran antara hukum kebiasaan yang sudah berlaku dengan
perkembangan baru. Contoh dari perjanjian yang bersifat new customary
27
Janwahir,LOC.Cit, h. 74 28
Ibid, h. 60 29
Sefriani,Ibid, h.29
37
adalah perjanjian Space Treaty 1967. Dimana perjanjian ini belum ada
norma yang mengatur tentang luar angkasa sebelumnya sehingga karena
semakin berkembangnya teknologi modern, maka dibuatlah Space Treaty
1967.