BAB II - sinta.unud.ac.id€¦ · perdarahan antepartum dan postpartum, preeklamsia/eklamsia,...
Transcript of BAB II - sinta.unud.ac.id€¦ · perdarahan antepartum dan postpartum, preeklamsia/eklamsia,...
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kematian ibu
2.1.1 Definisi kematian ibu
Kematian ibu adalah jumlah kematian ibu selama periode waktu tertentu per
100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil
atau dalam 42 hari pengakhiran kehamilan, terlepas dari durasi dan tempat kehamilan,
dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau
penanganannya tetapi bukan dari penyebab kecelakaan atau insidental (WHO, 2010).
Berdasarkan definisi WHO tersebut menggambarkan adanya hubungan akibat
dan sebab antara kehamilan dan kematian maternal. Ibu yang hamil mungkin
mengalami keguguran atau kehamilan ektopik terganggu, atau ibu yang hamil
mungkin meninggal dunia sebelum melahirkan atau ibu yang hamil telah melahirkan
seorang bayi dalam keadaan hidup atau mati yang diikuti dengan komplikasi
kehamilan persalinan dan nifas yang menyebabkan kematian maternal.
Kematian dan kesakitan pada ibu hamil dan bersalin serta bayi baru lahir sejak
lama telah menjadi masalah, khususnya di negara-negara berkembang. Sekitar 25-50%
kematian perempuan usia subur disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan
kehamilan. Kematian saat melahirkan menjadi faktor utama mortalitas perempuan
pada masa puncak produktivitasnya.
14
Walaupun kematian ibu telah lama menjadi masalah di negara-negara
berkembang, baru pada tahun 1987 untuk pertama kali diadakan Konferensi
Internasional tentang kematian ibu di Nairobi Kenya. Pada tahun 1990 dilangsungkan
World Summit for children di New York, USA yang antara lain bersepakat untuk
menurunkan angka kematian ibu menjadi separuh pada tahun 2000. (Saifudin, 2005).
2.1.2 Penyebab kematian ibu
Penyebab kematian dan kesakitan ibu dan bayi telah dikenal sejak dulu dan
tidak berubah banyak. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan post partum,
eklampsia, infeksi, aborsi tidak aman, partus macet, dan sebab-sebab lain seperti
kehamilan ektopik dan mola hidatidosa. Keadaan ini diperkuat dengan kurang gizi,
malaria, dan penyakit-penyakit lain seperti tuberkulosis, penyakit jantung, hepatitis,
asma, atau HIV. Pada kehamilan remaja lebih sering terjadi komplikasi seperti anemia
dan persalinan preterm. Sementara itu, terdapat berbagai hambatan yang mengurangi
akses memperoleh pelayanan kesehatan maternal bagi remaja, kemiskinan,
kebodohan, kesenjangan hak asasi pada remaja perempuan, kawin pada usia muda,
dan kehamilan yang tidak diinginkan. Kematian pada bayi baru lahir disebabkan oleh
tidak adekuatnya dan tidak tepatnya asuhan pada kehamilan dan persalinan, khususnya
pada saat-saat kritis persalinan. Konsumsi alkohol dan merokok merupakan penyebab
kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir yang seharusnya dapat dicegah. Ibu
perokok berhubungan dengan komplokasi seperti perdarahan, ketuban pecah dini, dan
persalinan preterm. Juga dapat berakibat pertumbuhan janin terhambat, berat badan
lahir rendah, serta kematian janin. Konsumsi alkohol selama kehamilan berhubungan
15
dengan abortus, lahir mati, prematuritas, dan kelainan bawaan fetal alcohol syndrome.
(Saifudin, 2005).
Menurut Saifudin (2002) kematian ibu dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
(1). Kematian obstetri langsung (direct obstetric death) yaitu kematian ibu yang
disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang timbul akibat
tindakan atau kelalaian dalam penanganan. Komplikasi yang dimaksud antara lain
perdarahan antepartum dan postpartum, preeklamsia/eklamsia, infeksi, persalinan
macet, dan kematian pada kehamilan muda. (2). Kematian obstetri tidak langsung
(indirect obstetric death) adalah kematian ibu yang disebabkan oleh suatu penyakit
yang sudah diderita sebelum kehamilan atau persalinan yang berkembang dan
bertambah berat yang tidak berkaitan dengan penyebab obstetri langsung. Kematian
obstetri tidak langsung ini misalnya disebabkan oleh penyakit jantung, hipertensi,
hepatitis, malaria, anemia, tuberkulosis, HIV/AIDS, diabetes dan lain-lain.
Penyebab kematian ibu yang diakibatkan oleh kecelakaan atau kebetulan
tidak di klasifikasikan ke dalam kematian ibu yang ada hubungannya dengan
kehamilan, persalinan dan nifas. Kematian yang dihubungkan dengan kehamilan
International Classifation of Deases (ICD-10) memudahkan identifikasi penyebab
kematian ibu ke dalam kategori baru yang disebut pregnancy related death yaitu
kematian wanita selama hamil atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan dan
tidak tergantung dari penyebab kematian lain.
Batasan 42 hari ini dapat berubah karena telah diketahui bahwa dengan
adanya prosedur-prosedur dan teknologi baru maka terjadinya kematian dapat
diperlama dan ditunda sehingga ICD-10 juga memasukkan suatu kategori baru yang
16
disebut kematian maternal terlambat (late maternal death) yaitu kematian wanita
akibat penyebab obstetric langsung atau tidak langsung yang terjadi lebih dari 42 hari
tetapi kurang dari satu tahun setelah berakhirnya kehamilan (WHO et al, 2010).
2.1.3 Epidemiologi Kematian ibu
Walaupun berbagai upaya telah dilaksanakan, angka kematian ibu di berbagai
Negara berkembang masih tetap atau penurunannya sangat lambat. Safe Motherhood
Technical Consultation yang diadakan di Colombo, 1997 mengidentifikasi beberapa
isu kunci sebagai berikut:
a. Kurang jelasnya prioritas serta intervensi program Safe Motherhood sehingga
kurang terarah dan kurang efektif.
b. Kurangnya informasi tentang intervensi yang mempunyai dampak bermakna dan
segera dalam menurunkan kematian ibu.
c. Strategi Safe Motherhood kadang-kadang terlalu luas, mulai dari meningkatkan
status perempuan, memperbaiki undang-undang, memperluas pelayanan kesehatan
maternal, dan memperluas pelayanan emergensi.
d. Beberapa program yang khusus dalam pelayanan kesehatan maternal ternyata
dikemudian hari tidak atau kurang efektif, seperti penapisan risiko pada asuhan
antenatal dan pelatihan dukun.
e. Tidak dilakukannya intervensi yang sebenarnya efektif seperti penanganan
komplikasi aborsi karena masih dianggap sebagai isu yang sensitif.
f. Tidak tersedianya panduan teknis atau program, kurikulum pelatihan dan sumber
lain secara luas.
g. Kurangnya komitmen politik dari penentu kebijakan.
17
h. Kurangnya koordinasi dan komitmen diantara pemerintah dan lembaga donor.
(Saifudin, 2005).
Menurut perkiraan WHO setiap tahun terjadi 500.000 kematian ibu yang
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, 99% di antaranya terjadi di Negara-
negara berkembang. Lebih dari separuhnya (300.000) terjadi di Asia, yang hampir 3/4-
nya di Asia Selatan. Risiko kematian maternal di negara maju 1 diantara 15-50, yang
berarti peningkatan 200-250 kali.
Kematian maternal merupakan fungsi dari berbagai hal, bukan hanya dari
faktor-faktor pelayanan kesehatan saja. Kehamilan dan persalinan yang terlalu dini,
kemiskinan, ketidaktahuan, kebodohan, budaya diam kaum wanita, dan rendahnya
status wanita pada hal-hal tertentu. Transportasi yang sulit, ketidakmampuan
membayar pelayanan yang baik, dan pantangan tertentu pada wanita hamil juga ikut
berperan. ( Hadijono, 2006).
Kematian ibu atau AKI di daerah berkembang sebesar 240 adalah 15 kali lebih
tinggi dari pada di negara maju yaitu 16 per 100.000 kelahiran hidup atau 99%
(284.000) kematian ibu secara global dan mayoritas di antaranya berada di sub-Sahara
Afrika (162.000 kematian ibu) dan Asia Selatan (83.000 kematian ibu).
Sub-Sahara Afrika memiliki angka kematian ibu (AKI) tertinggi yaitu 500
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (KH), sedangkan Asia Timur memiliki yang
terendah di antara negara berkembang yaitu 37 kematian ibu per 100.000 KH. Urutan
AKI di negara berkembang adalah Asia Selatan 220/100.000 KH, Oceania
200/100.000 KH, South-East Asia 150/100.000 KH, Amerika Latin dan Karibia
18
80/100.000 KH, Afrika Utara 78/100.000 KH, Asia Barat 71/100.000 KH, Caucasus
dan Asia Tengah 46/100.000 KH.
Meskipun sebagian besar negara-negara Afrika sub-Sahara memiliki AKI tinggi
namun ada beberapa nergara yang memiliki AKI rendah berkisar antara 20-99/100.000
KH seperti: Mauritius (60/100.000 KH), Sao Tome Principe (70/100.000 KH) dan
Cabo Verde (79/100.000 KH) sedangkan negara-negara di Afrika yang dikategorikan
AKI moderat (100-299/100.000 KH) antara lain: Botswana 160/100.000 KH, Djibouti
200/100.000 KH, Namibia 200/100.000 KH, Gabon 230/100.000 KH, Equatorial
Guinea 240/100.000 KH, Eritrea 240/100.000 KH dan Madagaskar 240/100.000 KH.
(WHO et al., 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu hamil diklasifikasi sebagai
berikut:
2.1.4 Faktor Medis
Faktor medis yang dipengaruhi oleh status reproduksi dan status kesehatan
ibu antara lain: umur, paritas, jarak kehamilan dan penyakit ibu, anemia dan kurang
gizi.
19
2.1.4.1 Umur ibu
Umur ibu saat kehamilan terakhir dihitung dalam tahun berdasarkan tanggal
lahir atau ulang tahun terakhir yang ada hubungannya dengan faktor risiko dalam
kehamilan. Indeks kehamilan risiko tinggi adalah usia ibu pada waktu hamil terlalu
muda yaitu kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun (Fortney dalam Manuaba
2001).
Total fertility rate (TFR) adalah jumlah total anak yang mungkin akan dimiliki
oleh seorang wanita sampai akhir periode reproduksinya selama usia suburnya 15-49
tahun, atau disebut juga dengan rata-rata jumlah kelahiran per wanita. (Merrill RM,
2014).
2.1.4.2 Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang memperoleh janin yang dilahirkan.
Paritas yang tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan persalinan
diantaranya dapat menyebabkan terganggunya transport O2 dari ibu ke janin sehingga
terjadi asfiksia yang dapat dinilai dari APGAR Score menit pertama setelah lahir.
(Manuba, 2010).
Menurut Saifudin (2002) paritas/jumlah kehamilan 2 sampai 3 adalah paritas
yang paling aman dilihat dari sudut kematian ibu. Paritas kurang dari satu dan usia
ibu terlalu muda di kategorikan berisiko tinggi karena ibu belum siap secara mental
maupun secara medis sedangkan paritas diatas empat dan usia ibu terlalu tua secara
fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan.
20
2.1.4.3 Jarak kehamilan
Jarak kehamilan yang terlalu dekat atau kurang dari dua tahun berisiko
terhadap kematian maternal dan tergolong dalam kelompok risiko tinggi untuk
mengalami perdarahan post partum. Jarak kehamilan yang disarankan pada umumnya
adalah dua tahun agar memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra
pada masa kehamilan dan laktasi. (Djaja dkk, (2001).
2.1.5 Faktor Non Medis
Faktor non medis berkaitan dengan perilaku kesehatan ibu, status ibu dalam
keluarga, status sosial ekonomi dan budaya yang menghambat upaya penurunan
kesakitan dan kematian ibu adalah sebagai berikut: Kurangnya kesadaran ibu untuk
mendapatkan pelayanan ANC/ante natal care, terbatasnya pengetahuan ibu tentang
bahaya kehamilan resiko tinggi, ketidak berdayaan sebagian besar ibu hamil di daerah
terpencil maupun di perkotaan dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk.
2.1.5.1 Perilaku Kesehatan Ibu
Perilaku kesehatan ibu (health behavior) adalah respon seseorang terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang
mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan pelayanan
kesehatan. (Skiner dalam Notoatmodjo, 2014).
2.1.5.2 Status ibu dalam keluarga.
Status ibu dalam keluarga berkaitan dengan status pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan begitu juga berkaitan dengan ketidakmampuan ibu mengambil keputusan
dalam keluarga. Pengambilan keputusan dalam keluarga sangat mempengaruhi
21
keterlambatan dalam merujuk ibu ke fasilitas kesehatan yang lebih baik. Masih sering
ditemukan kasus yang terlambat dirujuk karena masalah ketersediaan transportasi dan
biaya juga masih merupakan kendala dalam upaya penyelamatan dan rujukan ke
Rumah Sakit sehingga pemanfaatan pusat rujukan primer masih rendah
(underutilized). Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiobudaya, ketidaktahuan, dan
ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. (Manuaba
dkk, 2005).
2.1.5.3 Status kesehatan ibu .
Status kesehatan ibu hamil merupakan suatu proses yang membutuhkan
perawatan khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Resiko kehamilan ini bersifat
dinamis karena ibu hamil yang pada mulanya normal, secara tiba-tiba dapat berisiko
tinggi. Jika status kesehatan ibu hamil buruk, misalnya menderita anemia maka bayi
yang dilahirkan berisiko lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR
ini memilki risiko kesakitan seperti infeksi saluran nafas bagian bawah dan kematian
yang lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal. Bagi ibu
sendiri anemia ini meningkatkan risiko pendarahan pada saat persalinan dan pasca
persalinan, gangguan kesehatan bahkan resiko kematian (Kusmiyati, 2009).
Menurut Lubis (2003) ibu hamil yang menderita Kekurangan Energi
Kronik (KEK) dan anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama
pada trimester ke tiga kehamilan di bandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya
mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR,
kematian saat persalinan, perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan
22
mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR
umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat
berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat
menganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga ibu hamil dengan KEK akan
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi
saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, serta masalah perilaku. Seorang
ibu hamil juga memerlukan tambahan zat gizi besi rata-rata 20 mg per hari, sedangkan
kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg per hari (Najoan
dkk., 2011).
2.1.6 Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan
Menurut Dubois dan Miley (2005), sistem pelayanan kesehatan merupakan
jaringan pelayanan interdisipliner, komprehensif dan kompleks, terdiri dari aktivitas
diagnosis, treatmen, rehabilitasi, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan untuk
masyarakat pada seluruh kelompok umur dan dalam berbagai keadaan. Pelayanan
kesehatan adalah sebuah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-
sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan baik secara
perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.
23
Faktor-faktor yang mempengaruhi Sistem Pelayanan Kesehatan antara lain :
1. Pergeseran masyarakat dan konsumen.
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen
terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. Sebagai
masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat,
maka mereka mempunyai kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya
hidup terhadap kesehatan. Hal ini mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan juga meningkat.
2. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan
memadai walau di sisi yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti
meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, melambungnya biaya kesehatan dan
dibutuhkannya tenaga profesional akibat pengetahuan dan peralatan yang lebih
modern.
3. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pengobatan, issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka
menerima pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang
memadai dan kurang manusiawi sehingga persoalan hukum kerap akan
membayanginya.
24
4. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat
dirasakan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh
fasilitas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status
ekonomi rendah tidak akan mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna
karena tidak dapat menjangkau biaya pelayanan kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh
pada kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang diberikan dan
siapa yang menanggung biaya pelayanan kesehatan karena sistem terbentuk dari
subsistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sistem terdiri dari:
input, proses, output, dampak, umpan balik dan lingkungan. a) Input merupakan
subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya sebuah sistem.
Input sistem pelayanan kesehatan: potensi masyarakat, tenaga dan sarana kesehatan,
dan sebagainya. b) Proses kegiatan yang mengubah sebuah masukan menjadi sebuah
hasil yang diharapkan dari sistem tersebut. Proses dalam pelayanan kesehatan:
berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan. c) Output merupakan hasil yang
diperoleh dari sebuah proses output pelayanan kesehatan yang berkualitas serta
terjangkau sehingga masyarakat sembuh dan sehat. d) Dampak merupakan akibat dari
output/hasil suatu sistem, terjadi dalam waktu yang relatif lama. Dampak sistem
Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian menurun.
e) Umpan balik/feedback merupakan suatu hasil yang sekaligus menjadi masukan.
25
Terjadi dari sebuah sistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi sebagai
umpan balik dalam pelayanan kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan. f) Lingkungan
merupakan semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan
kesehatan (Murniati, 2012).
2.1.6.1 Jangkauan pelayanan kesehatan
Adalah keterjangkauan lokasi pelayanan kesehatan dimana tempat pelayanan yang
tidak strategis sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil
terhadap pelayanan kesehatan. Akses terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat
dilihat dari beberapa faktor seperti lokasi dimana ibu dapat memperoleh pemeriksaan
ANC, pelayanan kontrasepsi, pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan
rujukan yang tersedia di masyarakat. Pemeriksaan ANC dilakukan minimal 4 kali
selama kehamilan dengan ketentuan 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan
belum 14 minggu) 1 kali selama trimester kedua (usia kehamilan antara 14 sampai 28
minggu) dan 2 kali selama trimester ketiga (usia kehamilan antara 28 sampai dengan
36 minggu). Pemeriksaan ANC dilakukan dengan standar “ 7 T ” yaitu meliputi:
timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, pemberian
imunisasi Tetanus Toxoid, pemberian tablet zat besi, tes terhadap penyakit menular
sexual dan temu wicara dalam rangka persiapan rujukan. (Depkes RI, 2004).
Tujuan dari antenatal care adalah menjaring ibu hamil secara teratur selama
masa kehamilan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko
komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Sebuah studi oleh Abraham & Joseph
(1985) menemukan bahwa sekitar 87% kehamilan berisiko tinggi di identifikasi
26
menerima antenatal care dengan baik namun sekitar 15% dari kasus berisiko tinggi
tidak menerima antenatal care dengan baik selama pemeriksaan rutin kehamilan.
Menurut Rooney (2001) bahwa tujuan utama dari antenatal care adalah untuk
memperhatikan serta memperoleh hasil yang aman dan sehat bagi ibu dan anak pada
akhir kehamilan, namun peningkatan kesehatan ibu selama masa kehamilan dan
persalinan masih dipertanyakan. Sebuah tinjauan komprehensif studi juga
menunjukkan bahwa prosedur rutin pelayanan antenatal care memiliki pengaruh yang
kurang maksimal terhadap kesakitan dan kematian ibu.
Jumlah kunjungan antenatal care mungkin tidak mencerminkan gambaran
yang benar, seperti skrining faktor resiko tertentu yang memerlukan kunjungan rutin
selama periode waktu tertentu (trimester kehamilan). Sebuah studi yang dilakukan
oleh Bulatao & Ross pada tahun 2002 di 49 negara-negara berkembang menunjukkan
bahwa dalam implementasi antenatal care program yang paling mendapat perhatian
adalah imunisasi tetanus, hipertensi, pemberian makanan tambahan di banding dengan
konseling atau promosi kesehatan untuk memperkenalkan kepada ibu hamil tentang
tanda-tanda bahaya yang biasa terjadi selama kehamilan. (Faudjan et al 2006).
27
2.1.6.2 Sitem Rujukan
Ada dua pengertian Sistem Rujukan yaitu pengertian konseptual yang bersifat
universal dan diterima semua negara di dunia dan pengertian (Teknik) Operasional
harus disesuaikan dengan keadaan di negara masing-masing.
1. Pengertian Konseptual Rujukan.
Sistem Rujukan adalah suatu sistem pelayanan kesehatan di mana terjadi pelimpahan
tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul, baik
secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman penderita,
pendidikan, maupun penelitian.
2. Pengertian (Teknik) Operasional.
Sistem Rujukan merupakan suatu tatanan, dimana berbagai komponen dalam jaringan
pelayanan kesehatan reproduksi dapat berinteraksi dua arah timbal balik, antara
parteira/bidan di desa, parteira/bidan dan dokter centro saude/Puskesmas di pelayanan
kesehatan dasar, dengan para dokter spesialis di hospital/rumah sakit
municipio/kabupaten, untuk mencapai rasionalisasi penggunaan sumber daya
kesehatan, dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, melalui penanganan ibu
risiko tinggi dan gawat darurat obstetri, secara profesional, efisien, efektif, rasional
dan relevan. Dalam Sistem Rujukan, sarana dan prasarana alat yang berteknologi
cangih, dipusatkan pada suatu tempat, yaitu Hospital (RS) Kabupaten atau Hospital
(RS) Nasional.
Sistem rujukan adalah suatu sistem pelayanan kesehatan di mana terjadi
pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang
28
timbul, baik secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman
penderita, pendidikan, maupun penelitian. (Poedji Rochjati, 2005).
Kematian ibu di negara berkembang pada umumnya berkaitan dengan
setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models). Keterlambatan
pertama adalah keterlambatan dalam pengambilan keputusan untuk mencari perawatan
pada tenaga kesehatan professional apabila terjadi komplikasi obstetrik. Ibu yang
mengalami komplikasi dalam waktu tidak lebih
dari 30 menit harus segera dirujuk untuk mendapatkan penanganan, akan tetapi ini
seringkali terjadi keterlambatan karena berbagai alasan misalnya harus menunggu
suami atau mertua yang sedang tidak berada di tempat untuk mengambil keputusan
guna mencari pertolongan pada tenaga kesehatan.
Keterlambatan kedua terjadi setelah mendapat keputusan untuk dirujuk ke
fasilitas kesehatan namun keterlambatan ini terjadi akibat kesulitan transportasi.
Kendala geografis di lapangan mengakibatkan rumah sakit rujukan sulit dicapai dalam
waktu 2 jam dan merupakan waktu maksimal yang diperlukan untuk menyelamatkan
ibu dalam keadaan gawat darurat obstetrik.
Keterlambatan ketiga biasanya terlambat dalam memperoleh pelayanan
perawatan di fasilitas kesehatan. Ibu yang bersangkutan harus menunggu beberapa jam
di fasilitas kesehatan sebelum mendapat pelayanan dari petugas kesehatan karena
manajemen staf yang kurang baik misalnya: ibu kesulitan memperoleh darah untuk
keperluan transfusi dan tindakan operasi. Pelaksanaan sistem pelayanan kebidanan
yang baik didasarkan pada regionalisasi pelayanan perinatal dimana ibu hamil harus
29
mempunyai kesempatan mendapatkan penanganan dalam waktu 30 menit dan
pelayanan operatif dalam waktu tidak lebih dari satu jam dan bayi harus dapat segera
dilahirkan. (Joko Pratomo, 2003).
Faktor nonmedis yang besar pengaruhnya terhadap terjadinya Rujukan
Terlambat adalah:
a.Komplikasi persalinan yang tak terduga
Dalam keadaan ini sering keluarga menjadi panik sehingga tidak segera dapat
mengambil keputusan apakah penderita akan dirujuk atau tidak. Keterlambatan
pengambilan keputusan ini mungkin karena faktor sosiobudaya, biaya, transportasi dan
lingkungan.
b. Penolong pertama, jumlah penolong dan lama pertolongan di luar rumah sakit.
c. Pertolongan “estafet”
d. Geografis.
2.1.6.3 Penolong persalinan
Salah satu faktor tingginya AKI di RDTL disebabkan karena masih rendahnya
cakupan pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan yaitu 29% sedangkan 70%
persalinan ditolong oleh bukan tenaga kesehatan dan 1% tidak diketahui penolongnya.
(WHO, 2010).
Penolong persalinan yang terlatih merupakan salah satu teknik yang paling
penting dalam menurunkan AKI. Sebagian besar komplikasi obstetri terjadi pada saat
persalinan berlangsung. Angka kematian ibu akan dapat diturunkan secara adekuat
30
apabila 15% kelahiran ditangani oleh dokter dan 85% ditangani oleh bidan. Rasio ini
paling efektif bila bidan dapat menangani persalinan normal dan dapat secara efektif
merujuk 15% persalinan yang mengalami komplikasi kepada dokter. (Ika., 2014).
Selain faktor-faktor tersebut diatas menurut McCarthy (1992)
mengemukakan bahwa ada tiga faktor determinan yang berperan penting
mempengaruhi proses terjadinya kematian ibu hamil antara lain: determinan dekat,
determinan antara dan determinan jauh. (Saifudin, 2005) .
2.2 Determinan dekat
Adalah proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian ibu yaitu
kehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan nifas
(komplikasi obstetri). Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi
baik komplikasi kehamilan maupun persalinan sedangkan wanita yang tidak hamil
tidak memiliki risiko tersebut.
2.2.1 Komplikasi kehamilan
Komplikasi kehamilan merupakan penyebab langsung kematian ibu yang
sering terjadi adalah perdarahan, preeklamsia atau eklamsia dan infeksi.
a. Perdarahan
Pada masa kehamilan muda dan kehamilan lanjut biasanya terjadi perdarahan
yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu (KET) dan abortus. Di negara-
negara berkembang angka kejadian kehamilan ektopik terkesan meningkat menjadi
sekitar 1 : 80 sampai 150 kehamilan. Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi
bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.
31
Sebagian besar kehamilan ektopik (ectopic gestation) terjadi di tuba falopii namun
kadang-kadang ovum yang sudah dibuahi dapat mengadakan implantasi pada
permukaan ovarium, servik uteri atau yang sangat jarang adalah pada omentum.
Beberapa istilah yang berkaitan dengan kehamilan ektopik antara lain: (1).
Kehamilan ektopik terganggu adalah kehamilan ektopik yang membahayakan
wanita. (2). Kehamilan heterotopik adalah kehamilan intrauterin yang berdekatan
dengan kehamilan ektopik. (3). Kehamilan ektopik kombinasi (combined ectopic
pregnancy) adalah kehamilan intrauterin yang bersamaan dengan kehamilan
ekstrauterin. (4). Kehamilan ektopik rangkap (compound ectopic pregnancy) adalah
kehamilan intrauterin dan ekstrauterin lebih dulu terjadi, tapi janin sudah mati dan
menjadi litopedion (janin yang sudah membatu).
Penyebab kehamilan ektopik belum diketahui secara pasti. Namun demikian,
penyebab kehamilan ektopik yang paling sering adalah faktor tuba (95%). Di bawah
ini merupakan penyebab kehamilan ektopik:
1. Faktor tuba, meliputi: penyempitan lumen tuba, gangguan silia tuba, operasi
dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna, endometriosis tuba, tumor.
2. Faktor ovum, meliputi: rapid cell devision, migrasi eksternal dan internal
ovum, perlekatan membran granulose.
3. Penyakit radang panggul
4. Kegagalan kontrasepsi
5. Efek hormonal, meliputi: penggunaan kontrasepsi minum pil, dan
32
6. Riwayat terminasi kehamilan sebelumnya.
Faktor resiko kehamilan ektopik diantaranya adalah: endometriosis; riwayat
radang panggul, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat pembedahan tuba,
riwayat infertilitas, riwayat pemakaian IUD belum lama berselang, riwayat penyakit
menular seksual (PMS) seperti: gonore dan klamidia, faktor usia hamil di atas 35
tahun, riwayat kebiasaan buruk (merokok) dan pasien dalam proses fertilisasi in vitro.
Gejala dan tanda kehamilan ektopik adalah sebagai berikut: Ibu hamil yang
mengalami kehamilan ektopik akan merasakan gejala pada usia kehamilan 6-10
minggu. Adapun gejala dan tanda yang dirasakan antara lain: amenorea/tidak haid,
nyeri perut bagian bawah, perdarahan per vaginam iregular (biasanya dalam bentuk
bercak-bercak darah), rasa sakit pada salah satu sisi panggul, tampak pucat, tekanan
darah rendah, denyut nadi meningkat, ibu hamil mengalami pingsan dan terkadang
disertai nyeri bahu akibat iritasi diafragma dari hemoperitoneum. Selain perdarahan
akibat kehamilan ektopik terganggu ada perdarahan yang disebabkan oleh abortus
karena berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum kehamilan
tersebut berusia 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram atau buah kehamilan
belum mampu hidup diluar kandungan. (Rahmawati, 2011).
Perdarahan pada kehamilan lanjut atau perdarahan antepartum biasanya
terjadi pada kehamilan trimester ketiga disebabkan adanya kelainan plasenta yaitu
plasenta previa dan solutsio plasenta. Plasenta previa perdarahan yang terjadi pada
implantasi plasenta yang menutupi sebagian atau seluruh osteum uteri internum.
33
Plasenta previa dibagi menjadi plasenta previa totalis, lateralis, marginalis
dan plasenta previa letak rendah sedangkan solusio plasenta adalah perdarahan yang
terjadi akibat lepasnya plasenta dari insersinya di fundus uteri sebelum waktu
persalinan. Solusio plasenta dibagi menjadi solusio plasenta ringan dengan
perdarahan kurang dari 500 cc, solusio sedang dengan perdarahan sekitar 1000 cc
dan solusio plasenta berat suatu keadaan dimana plasenta sudah lepas melebihi 2/3
bagian, perut nyeri dan tegang, bagian janin sulit diraba seperti papan, darah dapat
masuk otot rahim, uterus couvelaire yang menyebabkan atoni uteri serta perdarahan
pascapartus dan terdapat gangguan pembekuan darah fibrinogen kurang dari 100
mg% sampai 150 mg%. (Manuaba, 2001).
b. Perdarahan post partum
Perdarahan pasca persalinan (post partum) adalah perdarahan pervaginam
500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan pasca persalianan dapat disebabkan
oleh atoni uteri sisa plasenta, retensio plasenta, inversion uteri, robekan pada jalan
lahir dan gangguan pembekuan darah. Haemorargic Post Partum (HPP) adalah
hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi.
Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: 1).
Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrage) atau perdarahan
post partum primer atau perdarahan Pasca Persalinan Segera. Perdarahan pasca
persalinan primer terjadi 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca
persalinan primer adalah atoni uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir dan inversion uteri.
34
2). Perdarahan masa nifas atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca
Persalinan Lambat. Perdarahan Persalinan Sekunder terjadi setelah 24 jam pertama.
Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan
rahim yang tidak baik atau sisa plasenta yang tertinggal. (Rahmawati, 2011).
Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu
disebabkan oleh pendarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10 persen sampai
hampir 60 persen. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami
pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang
berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.
(WHO, 2010).
c. Aborsi
Aborsi adalah penghentian kehamilan dengan alasan apapun sebelum hasil
konsepsi dapat bertahan hidup di luar kandungan ibunya. (WHO, 1994). Sedangkan
dunia kedokteran berpendapat bahwa janin yang lahir dengan berat badan kurang dari
atau sama dengan 500 gram tidak mungkin hidup di luar kandungan, karena janin
yang berat badan 500 gram sama dengan usia kehamilan 22 minggu, maka kelahiran
janin dibawah umur 22 minggu dianggap sebagai aborsi.
35
Ada dua jenis aborsi yaitu Aborsi spontaneous dan aborsi provocatos.
1. Abortus Spontaneous atau dikenal sebagai keguguran merupakan proses keluarnya
embrio atau fetos akibat kecelakaan, ketidaksengajaan atau penyebab alami lainnya
yang mengakibatkan terhentinya kehamilan sebelum minggu ke- 22. Aborsi spontan
merupakan proses terjadi sendiri tanpa campur tangan manusia. Secara global 10-50%
kehamilan berakhir dengan keguguran tergantung usia dan kesehatan perempuan
hamil. Kebanyakan keguguran terjadi di masa awal kehamilan dan pada kebanyakan
kasus biasanya perempuan bahkan tidak menyadari dirinya sedang hamil.
Berdasarkan pengeluaran hasil konsepsi aborsi spontan terbagi menjadi, 2.
Abortus incompletus yaitu pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan
sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam uterus, abortus
completus yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim dan keadaan
demikian tidak memerlukan pengobatan. Semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan dan
missed abortion adalah keadaan dimana hasil pembuahan yang telah mati tertahan
dalam rahim selama delapan minggu atau lebih dan pasien biasanya tidak menderita
gejala kecuali tidak mendapat haid. Kebanyakan akan berakhir dengan pengeluaran
buah kehamilan secara spontan dengan gejala yang sama dengan abortus yang lain.
(Inna Hudaya, 2009).
3. Abortus provocatus adalah proses penghentian kehamilan sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan tujuan tertentu.
Abortus provocatus dapat dikategorikan menjadi (a) Abortus therapeuticus yaitu
abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik, dengan alasan bila kehamilan
36
dilanjutkan akan dapat membahayakan jiwa si ibu (berdasarkan indikasi medis).
Biasanya diperlukan persetujuan dari 2 sampai 3 orang dokter ahli, (b) Abortus
Provokatus Kriminalis, abortus yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik
(ilegal). Perilaku ini sifatnya ilegal dan seringkali dilakukan secara sembunyi-
sembunyi oleh tenaga tradisional.
d. Pre eklamisia dan Eklamsia.
Pre-eklamsia adalah suatu kondisi yang bisa dialami oleh setiap wanita hamil.
Penyakit ini ditandai dengan meningkatnya tekanan darah yang diikuti oleh
peningkatan kadar protein di dalam urine. Wanita hamil dengan preeklampsia juga
akan mengalami pembengkakan pada kaki dan tangan. Preeklampsia umumnya
muncul pada pertengahan umur kehamilan, meskipun pada beberapa kasus ada yang
ditemukan pada awal masa kehamilan.
Preeklamsia dibagi dalam dua bagian yaitu preeklamsia ringan dan preeklamsia
berat. Preeklamsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinurea dan edema
setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini timbul
sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas. Sedangkan Pre-eklamsia
berat adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110
mmHg atau lebih disertai proteinuria dan edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih
(Rahmawati, 2011).
37
Eklamsia merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak teratasi
dengan baik. Selain mengalami gejala preeklampsia, pada wanita yang terkena
eklampsia juga sering mengalami kejang kejang. Eklampsia dapat menyebabkan koma
atau bahkan kematian baik sebelum, saat atau setelah melahirkan. Penyebab pasti dari
kelainan ini masih belum diketahui, namun beberapa penelitian menyebutkan ada
beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya preeklamsia dan eklamsia. Faktor
faktor tersebut antara lain, gizi buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim.
Faktor resiko terjadinya preeklamsia antara lain: pada umumnya terjadi pada
kehamilan yang pertama kali, kehamilan di usia remaja dan kehamilan pada wanita
diatas 40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah : riwayat tekanan darah tinggi yang
khronis sebelum kehamilan, riwayat mengalami preeklampsia sebelumnya, riwayat
preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan, kegemukan, mengandung lebih dari
satu orang bayi, riwayat kencing manis, kelainan ginjal, lupus atau rematoid arthritis.
e. Infeksi pada kehamilan.
Infeksi pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir yang terjadi pada kehamilan
muda dan tua. Infeksi pada kehamilan muda adalah infeksi jalan lahir yang terjadi
pada kehamilan kurang dari 20 sampai 22 minggu yang disebabkan adanya abortus
yang terinfeksi. Sedangkan infeksi jalan lahir pada kehamilan pada kehamilan tua
adalah infeksi yang terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Infeksi jalan lahir ini
dapat terjadi akibat ketuban pecah sebelum waktunya, infeksi saluran kencing
misalnya sistitis, nefritis atau akibat penyakit sistemik seperti: malaria, demam tifoid,
38
hepatitis dan lain-lain. Keadaan ini berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya
sepsis yang dapat menyumbang kematian ibu sebesar 15%. (WHO, 2003).
f. Infeksi pada nifas
Infeksi nifas merupakan keadaan yang mencakup semua peradangan yang
disebabkan oleh masuknya kuman-kuman ke dalam alat genital pada waktu persalinan
dan nifas. Kuman penyebab infeksi dapat masuk ke dalam saluran genital dengan
berbagai cara antara lain melalui tangan penolong persalian yang tidak bersih atau
penggunaan instrumen yang kotor. Mula-mula infeksi terbatas pada uterus dimana
terdapat rasa nyeri dan nyeri tekan pada perut bagian bawah dengan cairan vagina
yang berbau busuk. Demam disertai nyeri perut yang bertambah, muntah, nyeri kepala
dan kehilangan nafsu makan menandakan terjadinya penyebaran infeksi ke tempat
lain. Selanjutnya dapat terjadi abses di tuba falopii, panggul dan difragma bagian
bawah. Pada kasus yang berat infeksi dapat menyebar ke dalam aliran darah
(septicemia) menimbulkan abses dalam otak dan otot ginjal. Jika infeksi tidak
dikendalikan selanjutnya dapat terjadi gangguan mental dan koma. Infeksi nifas
menyebabkan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca persalinan. Kematian terjadi
karena berbagai komplikasi termasuk syok, gagal ginjal, gagal hati dan anemia.
Insidensi infeksi nifas terjadi antara 2-8% dari seluruh wanita hamil dan memberikan
kontribusi sebesar 8% terhadap kejadian kematian maternal setiap tahunnya. Faktor
predisposisi infeksi nifas antara lain kurang gizi, anemia, higyene persalinan yang
buruk, kelelahan ibu, sosial ekonomi rendah, proses persalinan yang bermasalah
39
seperti partus lama atau partus macet, persalinan traumatik, manipulasi berlebihan dan
kurang baiknya proses pencegahan infeksi.
2.3 Determinan antara
Determinan antara mencakup status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke
pelayanan kesehatan, perilaku perawatan/penggunaan pelayanan kesehatan dan faktor-
faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga.
2.3.1 Status kesehatan ibu
Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal
meliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu dan riwayat komplikasi pada
kehamilan dan persalinan sebelumnya. Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari hasil
pengukuran terhadap lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran lingkar lengan atas
bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu hamil termasuk kategori kurang energi kronis
(KEK) atau tidak. Ibu dengan status gizi buruk memiliki resiko untuk terjadinya
perdarahan dan infeksi pada masa nifas. Anemia merupakan maslah penting yang
harus diperhatikan selama kehamilan. Seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia
bila kadar haemoglobin (Hb) kurang dari 11g/dl. Berbagai sebab anemia yang saling
berkaitan antara lain intake yang kurang adekuat, malaria, parasit, defisiensi zat besi,
asam folat dan vitamin A. Kurang lebih 50% dari seluruh ibu hamil di seluruh dunia
menderita anemia. Wanita yang menderita anemia berat akan lebih rentan terhadap
infeksi selama kehamilan dan persalinan akan meningkatkan risiko kematian akibat
perdarahan dan akan memiliki risiko komplikasi operatif bila dibutuhkan persalinan
dengan seksio sesaria. Penyebab kematian maternal tidak langsung lainnya antara lain
40
malaria, hepatitis, HIV/AIDS, diabetes mellitus dan bronkopneumonia. Riwayat
obstetrik yang buruk seperti persalinan dengan tindakan, perdarahan, partus lama dan
bekas seksio sesaria akan mempengaruhi kematian maternal. (Saifudin, 2005).
2.3.2 Status reproduksi ibu
Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian maternal
adalah usia ibu hamil, jumlah paritas, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu. Usia
di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko untuk hamil dan
melahirkan. Risiko paling besar terdapat pada ibu hamil berusia ≤ 14 tahun.
Komplikasi yang sering timbul pada kehamilan di usia muda adalah anemia, partus
prematur, partus macet. Akses ke pelayanan kesehatan yang kurang untuk
mendapatkan perawatan kehamilan dan persalinan merupakan penyebab yang penting
bagi terjadinya kematian maternal di usia muda. Kemiskinan dan ibu hamil yang tidak
berpendidikan atau buta huruf maupun ketidak setaraan kedudukan antara pria dan
wanita, pernikahan usia muda dan kehamilan yang tidak diinginkan akan
memperburuk keadaan ini.
Kehamilan diatas usia 35 tahun menyebabkan wanita terpapar pada komplikasi
medik dan obstetrik seperti risiko terjadinya hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit
kardiovaskuler, penyakit ginjal dan gangguan fungsi paru. Kejadian perdarahan pada
usia kehamilan lanjut meningkat pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun dengan
peningkatan insidensi perdarahan akibat solusio plasenta dan plasenta previa.
41
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal. Paritas kurang dari satu atau belum pernah melahirkan atau baru melahirkan
petama kali dan paritas labih 4 kali memiliki angka kematian maternal lebih tinggi.
2.4 Determinan jauh
Determinan jauh mempengaruhi kejadian kematian ibu melalui pengaruhnya
terhadap determinan antara yang meliputi faktor sosio-kultural dan faktor ekonomi,
seperti status wanita dalam keluarga dan masyarakat, status keluarga dalam
masyarakat dan status masyarakat, (Arulita IF, 2007)
Faktor sosio-kultural dan faktor ekonomi seperti status wanita dalam
keluarga dan masyarakat merupakan determinan antara yang mempengaruhi kejadian
kematian ibu walaupun diklasifikasikan dalam determinan jauh. Disamping itu
determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu status
kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku pelayanan
kesehatan atau pengunaan pelayanan kesehatan dan faktor-faktor lain yang tidak
diketahui atau tidak terduga. Proses yang paling dekat terhadap kematian ibu disebut
sebagai determinan dekat yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi yang terjadi
dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas yang dikenal dengan komplikasi obstertri.
(Royston, 1998).
42
Model perubahan perilaku dari Lawrence Green mengatakan bahwa kesehatan
individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan
faktor-faktor di luar perilaku ( non-perilaku). Selanjutnya, faktor perilaku ini ditentukan
tiga kelompok faktor: faktor-faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor
pendorong. Faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri
individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana
pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong
(reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Menurut Green
pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan
ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan
perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada
umumnya. Sebagai contoh model Green ini dapat digunakan untuk menganalisis
program imunisasi di Indonesia. Pemerintah menyediakan sarana obat dan petugas
imunisasi di setiap desa (faktor pendukung), para dokter, perawat dan petugas
imunisasi memberikan penyuluhan (pendidikan kesehatan) dan mendekati para ibu
yang anaknya memerlukan imunisasi (faktor pendorong), sehingga ibu-ibu menjadi
paham atas pentingnya mencegah penyakit melalui imunisasi (faktor predisposisi). Ini
semua diarahkan untuk mencapai perilaku positif, yaitu membawa anak ke posyandu,
Puskesmas atau praktek dokter swasta untuk imunisasi. Namun disamping perilaku, ada
pula aspek non-perilaku yang dapat mempengaruhi pencapaian kesehatan
individu/masyarakat, misalnya sulitnya mencapai sarana pelayanan kesehatan,
mahalnya biaya transport dan pengobatan, dan lain-lainnya. (Solita, 1993).
43
Menurut Kelman (2005), proses perubahan sikap dan perilaku individu
dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi.
Mula-mula individu mematuhi anjuran/instruksi petugas tanpa kerelaan untuk
melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sangsi
jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia
mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya
perubahan yang terjadi dalam tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu
dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetatpi begitu pengawasan itu
mengendur/hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pengawasan itu tidaklah perlu berupa
kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap
ancaman sangsi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut.
Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidak pahaman tentang
pentingnya perilaku yang baru itu, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda
jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau
tokoh yang mengajurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini
timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi tokoh tersebut, sehingga ingin
menirukan tindakannya tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari tindakan
tersebut. Proses ini disebut identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku
individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam compliance, namun motivasi ini
belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat
mengkaitkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya sehingga jika
ditinggalkan oleh tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu lagi melanjutkan
perilaku tersebut.
44
Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut
terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai
positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai kehidupannya.
(Solita, 1993).
Selain faktor sikap dan perilaku yeng berkontribusi pada penyebab kematian ibu
hamil meurut Saifudin ada faktor penyebab kematian lain yang perlu mendapat
perhatian. Penyebab kematian ibu digolongkan menjadi (1). Penyebab
kematian langsung (direct obstetric death) yaitu kematian ibu yang disebabkan
langsung oleh penyulit obstetrik pada masa kehamilan, persalinan dan nifas atau
kematian ibu yang disebabkan oleh suatu tindakan atau berbagai hal yang terjadi akibat
tindakan yang dilakukan selama hamil, persalinan dan nifas dan (2). Penyebab
kematian tidak langsung (indirect obstetric death) yaitu kematian ibu yang disebabkan
oleh suatu penyakit yang berkembang dan bertambah berat akibat kehamilan dan
persalinan atau nifas. (Saiffudin, 2002).
William dkk. (2010) melakukan studi kualitatif tentang keterlibatan suami
dalam pemberian perawatan di daerah terpencil Bangladesh. Studi ini memberikan
bukti baru tentang keterlibatan laki-laki dalam pelayanan persalinan di daerah terpencil
Bangladesh. Temuan ini memiliki implikasi yang baik bagi penangugjawab program
melalui strategi pendidikan yang efektif dan tidak bertentangan dengan budaya
setempat untuk melibatkan suami dalam pelayanan kesehatan maternal.
Di Nepal sebagian besar kelahiran berlangsung di rumah terutama di daerah
terpencil dan tidak ditolong oleh tenaga kesehatan yang trampil. Tujuan utama
45
penilitian ini adalah untuk mengetahui masalah apa yang membatasi tenaga kesehatan
untuk mengakses ke daerah terpencil guna memberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat terutama untuk membantu persalinan
dan perawatan kepada ibu hamil di daerah pedesaan. Penelitian ini dilakukan pada
tahun 2006 dengan rancangan cross-sectional, dan yang menjadi target adalah 150
wanita yang memiliki kelahiran hidup dalam 24 bulan sebelum survey dilakukan. Data
diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Sampel adalah
perempuan menikah dengan usia 15-49 tahun yaitu 46 (31%) wanita melahirkan bayi
mereka di rumah sakit dan 104 (69%) yang melahirkan di rumah. (Roman Shrestha,
2012).
Pada tahun (2007) di Peru para dokter untuk Hak Asasi Manusia
menyebutkan kematian ibu yang terjadi sering disebakan oleh Penundaan Mematikan:
tidak ada pendekatan berbasis hak untuk keselamatan ibu, terdapat dokumentasi
pelayanan kasus yang tidak adil terhadap perempuan pribumi seperti contoh ibu hamil
di daerah pedesaan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat
yang sebenarnya tidak sampai menyebabkan kematian ibu tidak perlu. Masalah
kematian ibu adalah masalah sosial, penyebab kematian ibu diketahui oleh semua
orang teatpi tidak tersedia solusi untuk semua ibu hamil.
Ada empat alasasn utama yang menyebabkan penundaan dalam penanganan
masalah ibu hamil antara lain: kurangnya pengetahuan mengenali risiko kehamilan,
terlambat memutuskan untuk merujuk, terlambat sampai ke fasilitas kesehatan karena
46
kurangnya transportasi, dan waktu yang dibutuhkan oleh staf di Puskesmas untuk
memutuskan bagaimana untuk merespon. (Fraser and Barbara, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Islam (2004), mengenai faktor yang
berhubungan dengan komplikasi persalinan pada daerah penelitian ini 993 wanita
hamil yang diseleksi yang paling sedikit satu kali menerima ante natal care (ANC)
selama masa kehamilan. Dilaporkan juga bahwa setiap tahun sekitar 500.000 wanita
hamil meninggal dunia berkaitan dengan masalah komplikasi selama masa kehamilan
dan hal ini 99% terjadi di negara-negara berkembang. Di Bangladesh hampir semua
wanita hamil di daerah terpencil dilayani oleh dukun bersalin dan hal ini sangat
mempengaruhi meningkatnya angka Maternal Mortality Ratio.
Di Nepal masalah utama yang dirasakan oleh masyarakat di daerah terpencil
dalam mengakses ke fasilitas kesehatan adalah jarak, kurangnya transportasi,
kurangnya kesadaran terhadap persalinan, dan biaya. Alasan utama untuk mencari
perawatan adalah persalinan yang lama, retensi plasenta, dan perdarahan yang
berlebihan. Hanya seperempat wanita mencari perawatan setelah masalah terjadi dan
alasan utama mencari perawatan akhir adalah wanita hamil atau keluarga kurang
menyadari bahwa ada masalah serius mengenai jarak ke fasilitas kesehatan dan kurang
transportasi dan lain lain. Dengan demikian persalinan yang di lakukan oleh tenaga
tidak terlatih masih merupakan pilihan terbaik bagi masyarakat di daerah terpencil di
Nepal. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang ada erat hubungannya dengan
pelayanan dari tenaga kesehatan yang ikut diidentifikasi meliputi usia, etnis, pekerjaan
suami dan pekerjaan istri, jumlah kehamilan dan anak-anak, penggunaan ANC dan
47
pengalaman maslah selama kehamilan. Oleh karena itu tersedianya tenaga kesehatan
trampil di daerah terpencil untuk menyadarkan ibu hamil dalam proses persalinan di
daerah terpencil adalah solusi yang terbaik, (Amalraj et.al, 2006).
Kehamilan dan persalinan di dalam lingkaran hidup manusia diharapkan
karena prokreasi manusia dalam kehidupan melalui keturunannya. Pandangan umum
lainnya bahwa kehamilan dan persalinan memiliki potensi-potensi yang patologik bagi
wanita karena periode ini dilalui dengan kondisi-kondisi yang rawan dan rentan,
lemah, perdarahan dan banyaknya keluar cairan tubuh yang secara ekstrim dapat
berakibat kematian. Potensi dan kondisi patologik ini dapat mengganggu fungsi social
seseorang berkaitan dengan kompleks peranan yang dimainkannya sehingga
keberlangsungan kehidupan sosial dalam komunitasnya terancam (Foster Anderson,
1986).
Kondisi-kondisi umum dari peristiwa kehamilan dan persalinan tersebut
diinterpretasikan berbeda menurut kebudayaan yang berbeda. Pada banyak masyarakat
pedesaan di negara-negara Asia misalnya pengalaman ini bermuatan magis
keagamaan, bersifat personal dan merupakan pengalaman yang akrab bagi anggota
keluarga lainnya. Perawatan sejak awal kehamilan terjadi hingga pasca persalinan
biasa dilakukan di rumah dengan dibantu seorang dukun bayi. Pada kesempatan itu
anggota keluarga seperti ibu, suami, serta saudara dan kerabat memainkan peranan
tertentu sebagai penyembuh. Fenomena ini memperlihatkan bahwa peristiwa
kehamilan dan persalinan sebagai suatu gejala social (Foster Anderson, 2005).
48
Berikut ini adalah gambaran maternal moratlity rate dan maternal mortality
ratio di selururh dunia yang dilaporkan oleh WHO pada tahun 2010 sebagai berikut:
2.5 Peta Maternal mortality rate worldwide
Gambar 2.5 Peta Maternal Mortality Rate World Wide (WHO, 2010).
Gambar 2.6. Maternal Mortality Ratio World Wide (WHO, 2010).
2.7. Peta 13 lokasi penelitian di República Democrática de Timor-Leste