BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

48
15 BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS PEREMPUAN 2.1. Pengertian Poskolonial Studi Poskolonial (sering disebut dengan istilah Pascakolonial) merupakan sebuah studi yang relatife baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah perspektif “baru” dalam menganalisa dimensi Negara Barat atas kelompok Negara-negara Timur. Negara Barat diposisikan sebagai kelompok superior sedangkan Negara Timur diposisikan sebagai kelompok inferior yang tertindas. Studi poskolonial mencoba menganalisa posisi Negara Timur sebagai akibat dominasi budaya Barat. 1 Studi Poskolonial yang relatife masih baru menimbulkan kegairahan, kebingunan serta skeptisme dari berbagai pihak yang mendalaminya. Untuk menjelaskan definisi poskolonial tidak bisa dipisahkan dengan istilah kolonialisme (penjajahan). Pada awalnya istilah colonial bermakna “pertanian” atau “pemukiman” ( dari Bahasa Latin “colonia”), yang kemudian maknanya diperluas menjadi penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Proses penaklukan untuk membangun daerah pemukiman baru muncullah hubungan yang cukup kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia, antara penduduk lama dengan pendatang baru. Pembentukan komunitas baru ini ditandai oleh upaya membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada dengan melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhnan massal, perbudakan, serta berbagai pemberontakan. 2 1 Nanang Martono,Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern,Posmodern dan Poskolonial ,Ed.1 (Jakarta: Rajawali Pers, Cet.1.2012), 139. 2 Martono,Sosiologi Perubahan, 139-140.

Transcript of BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

Page 1: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

15

BAB II

PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS PEREMPUAN

2.1. Pengertian Poskolonial

Studi Poskolonial (sering disebut dengan istilah Pascakolonial) merupakan sebuah studi

yang relatife baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah

perspektif “baru” dalam menganalisa dimensi Negara Barat atas kelompok Negara-negara

Timur. Negara Barat diposisikan sebagai kelompok superior sedangkan Negara Timur

diposisikan sebagai kelompok inferior yang tertindas. Studi poskolonial mencoba

menganalisa posisi Negara Timur sebagai akibat dominasi budaya Barat.1

Studi Poskolonial yang relatife masih baru menimbulkan kegairahan, kebingunan serta

skeptisme dari berbagai pihak yang mendalaminya. Untuk menjelaskan definisi poskolonial

tidak bisa dipisahkan dengan istilah kolonialisme (penjajahan). Pada awalnya istilah colonial

bermakna “pertanian” atau “pemukiman” ( dari Bahasa Latin “colonia”), yang kemudian

maknanya diperluas menjadi penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli

oleh penduduk pendatang. Proses penaklukan untuk membangun daerah pemukiman baru

muncullah hubungan yang cukup kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia, antara

penduduk lama dengan pendatang baru. Pembentukan komunitas baru ini ditandai oleh upaya

membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada dengan

melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhnan massal, perbudakan,

serta berbagai pemberontakan. 2

1 Nanang Martono,Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern,Posmodern dan Poskolonial,Ed.1

(Jakarta: Rajawali Pers, Cet.1.2012), 139. 2 Martono,Sosiologi Perubahan, 139-140.

Page 2: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

16

Studi Poskolonial diharapkan mampu untuk mengadakan perubahan itu. Studi

Poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori studi kritis yang

menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan dan ditekan dalam

sejarah dan narasi-narasi. Untuk mengangkat dan menghadirkan suara-suara kaum minoritas

dan terabaikan serta yang telah hilang dalam sejarah. Poskolonial adalah teori yang

memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam

konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan

dampak yang masih dirasakan sampai saat ini.3 Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman

pribadi, sosial, budaya dan politik. Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi-asumsi

yang mendobrak “penjajahan” dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya.4

Moore dan Gilbert menjelaskan bahwa teori Poskolonial yang lahir pada paruh kedua

abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekontruksi terhadap model berpikir dualis (biner),

yang membedakan antara “Timur” dan “Barat”, meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli

dengan perspektif poskolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini.5

Teori

poskolonial juga menganalisis praktik-praktik “penjajahan” (kolonialisme) yang masih

berlanjut sampai sekarang, di era modern. Penjajahan yang dilakukan kelompok mayoritas

(Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (subaltern-dalam

bahasa Gayatri Chakravort Spivak), termasuk di dalamnya penjajahan laki-laki atas

perempuan. Edward William Said dan Bhabha lebih tertarik pada masalah percampuran

unsur-unsur budaya sebagai dampak kolonialisme, yang ternyata ”bekas daerah jajahan” akan

banyak mengadopsi unsur budaya bangsa penjajah. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan

melahirkan hibriditas.6

3 Setyawan, “Tuhan Yesus Kristus” sebagai Diskursus Politik, (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,2012), 3.

4 Setyawan, “Poskolonial Hermeneutic”, 7.

5 Martono, Sosiologi Perubahan, 140.

6 Martono, Sosiologi Perubahan, 141.

Page 3: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

17

2.1.1.Edward William Said

Said menggunakan pemikiran Foucault untuk membongkar narsisme dan kekerasan

epistemology Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang

terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialisme dan orientalisme.

Orientalisme mengadopsi gagasan Foucault dalam dua hal yaitu pertama, konsepsi

menguraikan tentang apa itu kekuasaan dan bagaimana kekuasaan dijalankan. Kedua, bahwa

“wacana” sebuah media yang memunculkan kekuasaan melalui wacana “membentuk” objek

pengetahuan. Bagi Said, rezim kekuasaan ini tertulis dalam tranformasi orientalisme Timur

secara nyata ke dalam diskursif “Orient” atau pengganti yang lebih baik daripada yang

lainnya. 7

Menurut Said, sejak jaman dulu, dunia Timur (Orient) memang sudah menjadi tempat

yang indah, banyak mengandung kekayaan alam yang subur dan memiliki tradisi yang unik.

Hal inilah yang mengundang keinginan orang-orang Barat (Eropa) untuk mempelajari dunia

Timur. Kajian mengenai budaya Timur ini dalam perkembangannya berubah menjadi tempat

kolonial dan hegemonisasi.8 Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat

dan budaya Timur sebagai “sesuatu yang asing”. Sering kali bahkan dilihat sebagai sejenis

alien atau objek yang indah dan eksotis. Menurut Said, penjajahan Barat atas timur melalui

teks bahasa, budaya, serta citra negatif mengenai dunia Timur oleh dunia Barat. Menurut

Said, dunia Timur masih menempatkan bahasa (teks) sebagai pusat kehidupan.9

2.1.2.Gayatri Chakravort Spivak

Spivak melakukan kajian kritis atas pengaruh kolonialisme dalam bidang budaya dan

sastra. Ia menggunakan perspektif Marxisme, feminisme dan dekontruksi; ia banyak

7 Martono, Sosiologi Perubahan, 142-143.

8 Martono, Sosiologi Perubahan, 145.

9 Martono, Sosiologi Perubahan, 146.

Page 4: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

18

mengkaji masalah yang dialami kaum perempuan dan pihak-pihak yang menjadi minoritas

dan tertindas. Kelompok penjajah telah meninggalkan – mewarisi – nilai-nilai budaya kepada

bangsa yang dijajahnya. Spivak melakukan dekontruksi terhadap struktur-struktur yang

menindas sehingga pihak yang tadinya tertindas dapat bersuara.10

Spivak menggunakan

istilah subaltern (menunjuk kelompok yang mengalami penindasan dari kelompok yang

berkuasa). Petani, buruh, perempuan, kelas miskin dan kelompok-kelompok lain yang tidak

memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” dapat disebut sebagai kelas subaltern.11

Spivak merupakan tokoh poskolonial yang mencoba memasukkan variable jenis

kelamin sebagai objek kajiannya untuk melihat adanya hubungan yang tidak setara antara

laki-laki dan perempuan yang kemudian dianalogikan dalam hubungan oposisi biner. Studi

mengenai gender dan feminism menjadi sebuah isu yang cukup krusial dalam studi

poskolonial.12

Pemikiran Poskolonial dalam perkembangan sejarah mencoba menempatkan masalah

perempuan dalam sebuah bentuk kolonisasi. Perempuan dipandang mengalami kolonisasi

ganda karena keberadaannya sebagai subjek yang dikuasai (colonial subject) dan diskriminasi

umum yang dialami sebagai perempuan dalam budaya patriakhal. Dalam kolonisasi ganda

tersebut, peran dan identitas perempuan cenderung direduksi pada tubuh dan fungsi

reproduksi masyarakat. Sebenaranya perbedaan antara perempuan dan laki-laki berkaitan

dengan konstruksi sosial yang merupakan hasil pertarungan ideologi antara kelas-kelas sosial

dalam masyarakat.13

10

Martono, Sosiologi Perubahan, 148. 11

Martono, Sosiologi Perubahan, 149. 12

Martono, Sosiologi Perubahan, 150. 13

Martono, Sosiologi Perubahan, 151.

Page 5: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

19

2.1.3.Hopmi K. Bhabha

Konsep utama dalam teori poskolonial Bhaba adalah mimikri (sebuah proses peniruan

unsur budaya dari kelompok penjajah) dan hibriditas. Bhaba dalam teori-teorinya berupaya

meluruskan pertentangan yang keliru antara teori dengan praktik politik dalam wacana

kolonialisme. Bhaba kemudian mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang

persinggungan antara teori dan praktik kolonialisasi dalam upaya menjembatani hubungan

timbal balik antara keduanya. Teori dan praktik tidak dapat dipisahkan untuk dikritik, karena

keduanya saling bersebelahan. Dengan menyejajarkan keduanya Bhaba berusaha menemukan

pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas. Konsep “hybrid”

digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat

tertentu dari masing-masing bentuk dan sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang

dimiliki keduanya. Poskolonialitas selain melahirkan hibriditas, juga menciptakan bentuk-

bentuk resistensi dan negosiasi baru antar pelaku.14

Hibriditas adalah bentuk lain dari mimikri yaitu sebuah teks hibrid yang berbeda dari

teks “resmi” wacana kolonial yang merupakan produk tindakan meniru (mimikri). Hibriditas

merupakan produk konstruksi kultural kolonial yang ingin tetap membagi strata identitas

murni asli penjajah dengan ketinggian budaya yang didiskriminasikan dengan kaum

campuran. Mimikri dan hibriditas melahirkan keragaman budaya (cultural diversity) dan

perbedaan budaya (cultural differences).15

Bhaba mengatakan bahwa pencarian identitas idealnya tidak pernah berhenti, identitas

terus mengalir sebagai sesuatu yang senantiasa mengalami perubahan. Bhaba juga

menawarkan teori yang menjelaskan bahwa ruang ketiga (teks) ini mampu berperan sebagai

ruang interaksi simbolik. 16

14

Martono,Sosiologi Perubahan, 158. 15

Martono,Sosiologi Perubahan, 160. 16

Martono,Sosiologi Perubahan, 161.

Page 6: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

20

Singkatnya, Bhaba menyoroti masalah identitas kelompok terjajah dengan kelompok

penjajah. Akibat kolonisasi, bangsa terjajah seolah mengalami proses mimikri, mereka

meniru budaya-budaya yang telah dibawa dan ditularkan bangsa penjajah, akibatnya budaya

mereka mengalami hibridasi, budaya asli akan hilang secara perlahan akibat percampuran

budaya mereka dengan budaya penjajah.17

2.2. Pengertian Gender / Perempuan

Secara fisik perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Perempuan adalah orang

(manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.18

Kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Masyarakat di

mana disitu ada perempuan menciptakan ketentuan bagi perempuan berdasarkan

kodratmya, terutama dua yang terakhir.19

Ketidakadilan gender menyentuh semua dimensi kehidupan manusia yaitu cultural,

religious-institusional, ideologis politik, ekonomis, dan ekologis. Sehingga seluruh level

kehidupan terkena yang meliputi pribadi, keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, Negara,

agama.20

Dalam dunia pendidikan teologi masih sangat kuat dipengaruhi oleh paradigma lama

yang bercirikan didominasi kaum laki-laki terutama dalam hal kurikulumnya. Masih sangat

sedikit Sekolah Teologi yang memiliki kurikulum dengan paradigma baru yang berorientasi

kepada inklusif: laki-laki dan perempuan seimbang, memberi dorongan untuk menerima

ajaran Gereja secara kritis, refleksi eksistensial dan inovatif kreatif.21

17

Martono, Sosiologi Perubahan, 163. 18

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 856. 19

Perempuan Indonesia Berteologi Feminis, (Yogyakarta: Jurnal Pusat Studi Feminis Fakultas Teologi

UKDW,cet 1,2004), 63. 20

Perempuan Indonesia, 13. 21

Judo Purwowidagdo,Dr. Tantang Jawab Pendidikan Teologi Menjelang Abad 21, (Yogyakarta, Duta Wacana

University Press,1994), 70-71.

Page 7: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

21

Sebuah pengakuan dalam doa seorang laki-laki yang sadar akan keberadaan perempuan

dibawah budaya patriarkal yaitu Ghaasan Rubeiz, seorang awam dari Gereja Ortodok

mengatakan demikian:22

“ Ya Tuhan, hari ini kami sebagai laki-laki mengaku dosa yang kami lakukan terhadap kaum perempuan.

Kami mengakui menindas para bayi perempuan, perempuan muda, perempuan dewasa, perempuan

setengah tua, perempuan tua dan semua perempuan. Kami sering menganggap enteng kaum perempuan,

memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang selalu harus siap untuk melayani dengan penuh

kerendahan hati, sabar dan patuh, siap berkorban. Ampuni kami, Tuhan, karena kecenderungan kami

untuk menganggap kaum perempuan sebagai orang-orang yang tidak berubah, semacam formula, patung,

boneka, sample, model.”

2.3. Peran Perempuan Indonesia

2.3.1. Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum 1928

Secara umum dapat dikatakan bahwa Gerakan Perempuan Indonesia ciri utamanya ialah

menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan model barat, sebagai bekal

untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Pejuang perintis saat itu diantaranya Kartini

(Habis Gelap Terbitlah Terang), Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad

Dahlan. Kartini menekankan bagaimana mengangkat kaum perempuan dari keterbelakangan

dalam hal pendidikan dan membebaskan kaumnya dari kungkungan tradisi yang menindas

terutama menyangkut masalah perkawinan dan perceraian, serta perempuan tidak mempunyai

hak ikut menentukan.23

Pada periode Budi Utomo, warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan

berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan meningkatnya perhatian

perjuangan perempuan. Pada tahun 1912 muncul organisasi perempuan pertama di Jakarta

yaitu “ Putri Mardika” atas bantuan Budi Utomo. Organisasi perempuan yang ada, bertujuan

untuk menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan perbaikan kedudukan

sosial dalam perkawinan dan keluarga. Sebelum tahun 1920, Gerakan ini sangat lambat

22

Perempuan Indonesia, 56-57. 23

Perjuangan Perempuan Indonesia Belajar Dari Sejarah, ( Salatiga: Yayasan Bina Darma, Cet. 1,2007), 1-8.

Page 8: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

22

karena sedikitnya sekolah bagi perempuan, adat serta tradisi yang sangat menghambat

kemajuan perempuan.24

Pada tahun 1920-1928, ada kemajuan pesat gerakan perempuan dengan makin

banyaknya perkumpulan-perkumpulan perempuan kecil-kecil yang berdiri sendiri. Gerakan

perempuan Indonesia fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan

kebangsaan, faham “Indonesia bersatu”. Pokok permasalahan yang di bicarakan adalah

kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami, pendidikan.25

2.3.2.Era Sumpah Pemuda – Kemerdekaan (1928 – 1945)

Gerakan perempuan dalam kurun waktu ini, berusaha mempertahankan persatuan yang

dibangun dengan menempatkan sejumlah interest nasional diatas interest gender. Kaum

perempuan Indonesia selalu berperan aktif diantaranya untuk menegakkan hak-hak kaum

perempuan. Ketika perempuan berorganisasi secara masif dan memperjuangkan kepentingan

membangun solidaritas diantara seluruh kaum perempuan.26

2.3.3.Era Soekarno ( 1945 – 1965 )

Kondisi masyarakat masa lalu yang patriakhal menempatkan perempuan pada posisi

yang marjinal dalam pengambilan keputusan dan kepentingan perempuan ditundukkan.

Gerakan Perempuan masih memperjuangkan kekerasan terhadap perempuan, isu poligami.

Poligami Soekarno cukup kontroversial dan memicu pro dan kontra dikalangan masyarakat

serta turut melemahkan perjuangan aktivis perempuan untuk mendapatkan undang-undang

perkawinan yang adil.27

24

Perjuangan Perempuan, 10-11. 25

Perjuangan Perempuan, 13-14. 26

Perjuangan Perempuan, 18-22. 27

Perjuangan Perempuan, 25-33.

Page 9: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

23

2.3.4.Era Soeharto 1966 – 1998

Pada masa Orde Baru, pergerakan perempuan sangat sulit untuk memberi inspirasi dan

aspirasi. Perempuan yang selama ini dianggap sebagai obyek pelengkap dalam proses

kapitalisasi sampai sebagai pemuas ”kebiadaban” kemanusiaan ternyata masih memiliki

beban sejarah yang berat. Perempuan masih menjadi tenaga kerja dalam bidang pertanian dan

industri sehingga berdampak ada ketergantungan baru perempuan kepada Negara. Organisasi

perempuan harus mau berada dibawah kekuasaan pemerintah untuk menjadi “agen” dalam

proses politik sentralistik. Efek dari kebijakan Orde Baru memberikan banyak bukti lahirnya

berbagai kekerasan baik fisik dan non fisik, bahkan sampai pada saat reformasi 1998.28

Sejak Rezim Orde baru, keberagaman organisasi perempuan di papras habis kecuali

organisasi perempuan yang mendukung kebijakan pemerintah. Organisasi perempuan yang

mendukung kebijakan pemerintah diantaranya adalah Darma Wanita dan PKK.29

Tradisi Jawa, Ideologi Orde Baru (1966-1998) serta kekuatan dogma agama yang

menekankan pentingnya kontrol dan hirarki, seringkali menimbulkan negosiasi yang tidak

seimbang bagi perempuan. Perempuan jarang mendapatkan tawaran yang adil untuk segala

pekerjaan atau jasa lainnya. Tradisi Jawa yang mengagungkan “kodrat” untuk perempuan

telah dipertahankan oleh rezim Orde Baru, sehingga perempuan dituntut untuk pasrah dan

mengabdi kepada keluarga dan suami.30

Hal ini menyiratkan betapa kuatnya cengkeraman

ideologi dalam manipulasi perempuan.31

28

Perjuangan Perempuan, 40-44. 29

Soe Tjen Marching, Kisah Dibalik Pintu Identitas Perempuan Indonesia Antar Publik Dan Privat,

(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), 13. 30

Marching, Kisah Dibalik, 192. 31

Marching, Kisah Dibalik, 222.

Page 10: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

24

2.3.5.Pasca Soeharto 1998 – Sekarang

Gerakan perempuan seluruh Indonesia menuntut kepada pemerintah atas kekejaman

Mei 1988 untuk diselesaikan secara tuntas. Sistem patriarkal menjadi dasar sistem filsafat

sosial dan politik dimana laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung atau melalui ritual,

tradisi, hukum, bahasa, adat kebiasaan, etika, pendidikan dan pembagian kerja, menentukan

peran apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan dan perempuan dianggap

lebih rendah dari laki-laki. (Rich, Adrienne. Of Women Born.1977). Sistem ini melahirkan

ideologi jender yaitu segala aturan, nilai, stereotip yang mengatur hubungan perempuan dan

laki-laki terlebih dulu melalui pembentukan identitas feminine dan maskulin yang menjadi

sifat dan struktur manusia di mana nilai-nilai tersebut dibentuk sejak masa kanak-kanak awal

sehingga selalu konsevatif dan ketinggalan dibelakang perubahan.32

2.4. Pengertian Kebudayaan Jawa dan Perempuan Jawa

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dari kepulauan Indonesia, suatu kepulauan yang

terbentang diantara 6° Lintang utara, 11° Lintang Selatan dan 95° Bujur timur, 141° Bujur

Timur. Pulau Jawa terletak diantara 5° Lintang Selatan, 10° Lintang Selatan dan 105°Bujur

Timur, 115° Bujur Timur. Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut

suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan budaya dan

bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan bertempat

tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari kedua daerah

itu. 33

Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda.

Demikian pula dengan suku bangsa Jawa. Suku bangsa Jawa memiliki kebudayaan khas

32

Perjuangan Perempuan, 55-58. 33

Budiono Herusatoto,Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT. Hanindita, 1984), 41.

Page 11: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

25

dalam sistem atau metode budaya yang menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang

sebagai sarana, media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehatnya.

Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang

memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

susunan W.J.S. Poerwadarminta simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda: lukisan,

perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud

tertentu; misalnya warna putih ialah lambang kesucian. Di dalam Kamus Logika

menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan yang bukan berujud kata-kata untuk

mewakili atau menyingkat sesuatu artian apapun.34

Kata budaya menurut perbendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi dan daya.

Penyatuan dua kata menjadi satu kata baru yang membentuk satu pengertian baru. Kata

budaya berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti

budi dan akal. Jadi kebudayaan bisa diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal

budi.35

Kebudayaan adalah semua hal yang adalah kelakuan manusia. Kebudayaan adalah

perilaku manusia yang diajarkan terus menerus dari generasi yang satu ke generasi

berikutnya. Bahkan lebih terperinci lagi bahwa dalam hal menyangkut yang bersifat material

maupun non material. Dengan demikian maka kebudayaan meliputi kelakuan-kelakuan

manusia baik yang rohani maupun yang jasmaniah sifatnya. Itu berarti semua yang dilakukan

manusia. Berdasarkan definisi tersebut maka bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan

kebudayaan adalah kelakuan atau kebiasaan yang senantiasa diulang-ulang serta diajarkan

sebagai yang baik dan yang patut diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.36

34

Herusatoto,Simbolisme, 10-11. 35

Herusatoto,Simbolisme, 6. 36

M. Suprihadi Sastrosupono,Menghampiri kebudayaan, (Bandung penerbit Alumni/1982), 50-51.

Page 12: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

26

Kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh

segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam satu ruang

dan suatu waktu.37

Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang

mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan dan

kebahagiaan lahir batin.38

Menurut Frans Magnis Suseno lebih mengkhususkan bahwa yang disebut dengan orang

Jawa adalah yang bahasa Ibunya adalah bahasa Jawa.39

Menurut Marbangun Hardjowirogo,

semua orang Jawa itu berbudaya Jawa. Mereka berpikir dan berperasaan seperti nenek

moyang mereka di Jawa Tengah yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta sebagai pusat-

pusat budaya.40

Filsafat hidup Jawa ini terbentuk karena perkembangan kebudayaan Jawa akibat

pengaruh Filsafat Hindu dan Filsafat Islam. Orang Hindu yang datang ke Jawa menyebarkan

agama Hindu membawa serta filsafat Hindu. Tradisi Jawa, kepercayaan Hindu,

tasawuf/mistikisme Islam dan agama Islam melebur diri menjadi suatu alam pikir

Jawa/filsafat Jawa.41

Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat warisan nenek

moyangnya, selalu mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat daripada pribadinya

sendiri. Hal ini jelas tergambar dalam pedoman-pedoman hidup yang sangat popular yaitu

Aja Dumeh dan Aji mumpung. Aja Dumeh adalah pedoman mawas diri bagi orang Jawa yang

sedang dikaruniai kebahagiaan dalam hidupnya. Aja dumeh juga merupakan peringatan agar

selalu ingat kepada sesamanya. Sedangkan Aji Mumpung atau yang sekarang lebih dikenal

37

J.W.M Bakker, Filsafat kebudayaan: sebuah pengantar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan 1,1984), 21. 38

Suwardi Endraswara, Buku pinter budaya Jawa: mutiara adiluhung orang Jawa, (Yogyakarta: Gelombang

Pasang,cetakan pertama 2005), 1. 39

Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafati tentang kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1999), 11. 40

Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, (Semarang : CV Masa Agung,1989), 7. 41

Herusatoto,Simbolisme, 72.

Page 13: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

27

dengan mumpungisme adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat- sifat serakah

dan angkara murka apabila seseorang sedang diberi anugerah kesempatan hidup” diatas”.

Orang Jawa percaya kalau hidupnya itu ada yang mengatur yaitu Tuhan, sehingga putaran

hidup manusia itu digambarkan seperti “roda kereta “ yang berputar pada asnya. 42

Sikap hidup seorang pemimpin Jawa hendaklah bersifat satria dan pandita. Seorang

pemimpin yang rame ing gawe, sepi ing pamrih, sugih tanpa banda atau giat bekerja, jauh

dari keserakahan dan selalu merasa kaya akan kebijakan dan selalu memberi siapa saja yang

minta pertolongan kepadanya.43

2.4.1.Budaya Patriarkal

Masyarakat Jawa menganut sistem kekeluargaan Patriarkal. Istilah Patriarkal secara

harafiah berarti kekuasaan berada di tangan laki-laki. Budaya Patriarkal menguasai dan

mewarnai hidup laki-laki dan perempuan. Hampir segala bidang di dominasi dan di kontrol

oleh laki-laki terhadap perempuan sangat terasa.44

Pada mulanya kata ini digunakan untuk

menyebut suatu jenis “keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki” yaitu rumah tangga besar

patriarkal yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan

rumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan sang laki-laki penguasa. Sekarang

istilah ini dipakai secara umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, suatu hubungan kuasa

dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat

perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara.45

Banyak orang beranggapan

bahwa laki-laki dilahirkan untuk berkuasa dan perempuan untuk dikuasai. Anggapan ini

selalu ada dan terus akan ada, dan bahwa seperti tatanan alam lainnya Patriarkal tidak bisa

42

Herusatoto,Simbolisme, 81-82. 43

Herusatoto,Simbolisme, 83. 44

Asnath Niwa Natar, Ketika Perempuan berteologi : Berteologi Feminis Kontektual, (Yogyakarta: Taman

Pustaka Kristen, 2012), 25. 45

Natar, Ketika Perempuan, 25.

Page 14: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

28

diubah.46

Budaya Patriarki mengakibatkan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah,

sementara suara perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak tersalurkan

melalui mekanisme pengambilan keputusan formal.47

Secara historis, munculnya ideologi Patriarkhi berasal dari Mesopotamia Kuno pada

zaman Neolitikum, seorang dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para

feminis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesungguhnya terjadi jauh sebelum

era Neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota tersebut.

Antara tahun 3500-3000 SZB, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota.

Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini

memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi

sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan penyampaian warisan

dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan seksualitas perempuan menjadi

melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi

dan dukungan dari institusi politik maupun negara.

Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan

ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan

perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan

demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi

kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat sekunderisasi

perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan.

Kondisi pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat

Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturan negara, berupa Undang-undang Hamurabi

46

Natar, Ketika Perempuan, 26. 47

Rencana Pembangunan Jangka menengah Dasar Propinsi Jawa Timur, Bab XVII, 346.

Page 15: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

29

(1750 SZB), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk. Sekali lagi perlu dipahami bahwa

peperangan merupakan simbol hegemonik dari petualangan laki-laki.

Kendati dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan

sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan

isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan Undang-undang

Assyiria (1200 SZB), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan

kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan

dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu

kepada isterinya bila ia mau, jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka

isterinya pergi dengan tangan kosong.48

Pada jaman dulu perempuan Jawa terikat serta terkekang kebebasannya oleh budaya

Patriarkal yang melekat dalam masyarakat tradisonal. Peran Perempuan Jawa dalam hidup

bergerejapun mengalami hal yang demikian. Hal ini sudah dibahas dalam bab 1 tentang

sedikitnya Perempuan Jawa dalam jabatan gerejawi.49

Menurut teolog feminis Kristen, Elizabeth Florenso, mengatakan bahwa di tengah

belenggu patriarkal yang sangat kuat berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa kaum

perempuan banyak berkontribusi terhadap transformasi masyarakat dan perkembangan

peradaban manusia. Perempuan aktif berjuang mempertahankan bangsa dan menata bangsa

yang baru saja merdeka, mulai dari ikut mengangkat senjata di medan perang sampai

mendukung seruan Soekarno “ merebut Irian Barat” dan “Ganyang Malaysia”.50

Ide Patriarkal adalah bahwa “tugas laki-laki untuk menjadi pemimpin dalam rumah

tangga dan mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan”. Kaum laki-lakilah yang akan

48

Fatmagul Berktay,” Ciri Khusus Patrarkhi: Kontrol Sosial terhadap Tubuh Perempuan”, dalam Suralaga &

Rosatria (ed.), Perempuan: dari Mitos, 1-39. 49

Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ, 205-206. 50

Perjuangan Perempuan, 25-33.

Page 16: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

30

mewariskan nama keluarga. Apalagi dalam hukum waris hak perempuan hanya separuh hak

laki-laki atau tentang warisanpun anak laki-laki 2kg (1 pikul) dan untuk anak perempuan 1kg

(1 gendongan). Laki-laki menjadi pemimpin unggul yang harus mengurus semua dan

mengambil keputusan sangatlah tertanam dan diakui, bahkan dapat menjadi sistem keluarga

yang disepakati. Pada zaman dahulu hal ini memang sangat dipegang teguh oleh semua orang

dan mereka yakin bahwa laki-laki memang bertanggung jawab penuh sebagai seorang

pemimpin. 51

Ada tiga asumsi dasar dalam struktur masyarakat patriarkal yaitu:52

Pertama, Manusia

pertama adalah laki-laki dan perempuan diciptakan darinya, sehingga ia adalah mahkluk

sekunder. Kedua, Walaupun perempuan adalah mahkluk kedua dalam penciptaan, tetapi ia

adalah mahkluk pertama dalam perbuatan dosa. Ketiga, Perempuan diciptakan dari dan untuk

laki-laki, sehingga tumbuh anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk

mendefinisikan status, hak dan martabatnya.

2.4.2.Pengaruh Budaya Jawa

Dalam pandangan kejawen, kesatuan kosmis yang harmonis dilengkapi dengan sebuah

tata pikir yang bersifat hierarkis. Setiap mahkluk dalam tatanan kosmos Jawa dipandang

memiliki posisi yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini tercermin dalam konsep

kekuasaan Jawa yang bersifat memusat, dimana pusat mempresentasikan superioritas baik

secara mistis maupun sosial. Sehingga model kekuasaan seperti ini mendasari dan mengatur

segala bentuk hubungan dalam dunia kosmos Jawa, tak terkecuali hubungan antara laki-laki

dan perempuan. Laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan perempuan periperinya. Karena

spiritualitas dinilai sebagai aspek superior dalam upaya pencpaian moralitas tertinggi dalam

51

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013, pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 52

Wanita Dalam Masyarakat Indonesia Akses.,Pemberdayaan dan Kesempatan, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga

Press, Cet I, 2001), 283.

Page 17: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

31

kosmos Jawa, maka jelaslah apabila perempuan cenderung ditempatkan sebagai kekuatan

moral yang inferior. 53

Melihat fenomena budaya dalam kontek Jawa yang begitu hirarkis dan feudal,

sepertinya sulit terjadi sebuah perubahan, apalagi perubahan budaya dan pemaknaan akan

budaya itu. Masyarakat yang patriakhal mungkin cenderung menempatkan lawan jenis

sebagai manusia kelas dua.54

Jika berbicara mengenai hirarki dan kelas maka akan bermuara

pada struktur sosial menyangkut 2 konsep, yaitu status dan peran. Status merupakan

sekumpulan hak dan kewajiban sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status.

Seseorang yang menjalankan perannya ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang

merupakan statusnya. Selain itu juga ada konsep ini menunjukkan bahwa dalam suatu

struktur sosial terdapat ketidaksamaan posisi sosial antar individu.55

Status dan peran

berbeda dengan apa yang disebut sebagai kedudukan. Kedudukan adalah tempat atau posisi

seseorang dalam suatu kelompok sosial. Hal ini menyangkut kedudukan seseorang dalam

masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,

prestisenya dan hak serta kewajiban-kewajibannya.56

Individu – individu, termasuk individu-

individu Jawa adalah agen kultural yang aktif dan kreatif dengan menggunakan berbagai

sarana prasarana yang tersedia.57

2.4.3. Perempuan Jawa

Perempuan Jawa adalah seorang perempuan yang dilahirkan oleh orang tua, bapak ibu,

orang yang tinggal di tanah Jawa dan menjunjung budaya Jawa yang menonjolkan

kesopanan. Perempuan Jawa tentunya juga mengemban kodratnya sebagai seorang

53

Perempuan Indonesia, 143. 54

G, Moetjanto, Konsep kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh raja raja mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987),

121. 55

Meriam Budiharjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa,(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1991), 16. 56

Soerjono Soekamto, Suatu Pengantar ( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), 7. 57

Moh. Roqid, Harmoni dalam Budaya Jawa ( Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender), (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), 41.

Page 18: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

32

perempuan Jawa yang nota bene dilahirkan untuk berbudi pekerti dalam setiap „solah

bawa‟nya (bertingkah laku), sehingga mampu menempatkan dirinya sebagai „konco

wingking‟. 58

Peran perempuan Jawa sebagai “konco wingking” mengandung nilai filosofi sebagai

sebuah “ketulusan dan kebesaran jiwa”. Secara kosa kata Jawa “wingking” memiliki arti

tempat/ruang/area yang posisinya di bagian paling belakang. Kalau peran perempuan

menduduki area belakang, maka laki-laki diposisikan di depan, sebagai khalifah yang harus

menindak lanjuti apa yang sudah direncanakan di belakang. 59

Ruang bagian belakang (wingking) merupakan tempat/ruang untuk mempersiapkan

segala solusi dari sebuah persoalan, di sanalah seluruh kerepotan-kerepotan teknis yang

sebenarnya terjadi. Padahal untuk pekerjaan tersebut sangat membutuhkan waktu dan

beragam ketrampilan. Pekerjaan di (wingking) ini akan sangat melelahkan. Perempuan Jawa

dapat diibaratkan sebagai pondasi sebuah bangunan yang mampu menopang tegar tinggi

bangunan di atasnya. Perempuan Jawa sebagai pondasi tidak lagi butuh berpongah diri.

Sebagai pondasi perempuan Jawa rela “dipendam” dalam tanah (tidak nampak) agar

bangunan diatasnya dapat berdiri elok dan mentereng. 60

Perempuan Jawa dalam posisi tawarnya seakan berada di pihak yang pasif, ia sering

dibilang “swarga nunut, neraka katut”. Perempuan Jawa rela menerima dikatakan “nunut”

ketika menapaki pintu surga, sikap ini dilakukan tanpa protes apalagi memberontak.

Kemudian dipertegas dengan statemen “neraka katut”, yang dapat diartikan sampai di

belanga neraka-pun perempuan tetap bertanggung jawab dan tetap setia menemani laki-laki

(suami). Pertanggung jawaban secara spiritual semacam ini telah diambil perempuan Jawa

58

Hasil wawancara dengan Ibu Ne, Ibu Wh, Ibu Hw, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat) 59

AW/IDD, Perempuan Jawa Perempuan Pekerja,(Malang: 18 September 2012), jam 6:28, 2. 60

AW/IDD,Perempuan Jawa, 2.

Page 19: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

33

dihadapan Tuhannya. Perempuan Jawa sejatinya telah berani mengambil sikap, sebagai

perempuan pekerja, perempuan yang tulus dan iklas dalam memberikan bhaktinya kepada

sang kalifah.

Sosok perempuan (istri) ideal diibaratkan seperti lima jari tangan manusia. Ibarat

jempol, perempuan harus mengabdi kepada laki-laki (suami). Ibarat telunjuk, perempuan

harus menuruti perintah laki-laki (suami). Ibarat penunjul (jari tengah), perempuan harus

mengunggulkan laki-laki (suami) bagaimanapun keadaaannya. Ibarat jari manis, perempuan

harus selalu bersikap manis. Ibarat jari jejenthik, perempuan harus berhati-hati, teliti, rajin,

dan terampil melayani laki-laki (suami).61

Fenomena ini memang seolah telah menjadi trend

setter bagi kebanyakan anggota masyarakat. Perempuan Jawa dalam kenyataaannya harus

mutlak berada dalam koridor domestik.62

Sikap hidup Perempuan Jawa dituntut untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika,

tata krama, kehalusan budi, menerima kodratnya sebagai perempuan, penurut, bersedia

mengalah, lemah lembut, dituntut untuk menjadi anak “manis” tidak macam-macam dan

menempatkan peran sentral sebagai istri dan ibu yang baik.63

Sebagai penyeimbang Perempuan Jawa lebih dikehendaki untuk berperan dari aspek

feminim. Sebagai ibu dengan peran mengasuh dan mendidik anak, menyediakan kebutuhan

rumah tangga sehari-hari, melayani suami dan anak, lebih halus dalam berkomunikasi, tidak

agresif, tidak dituntut untuk tampil memimpin baik di rumah, di masyarakat maupun di

organisasi, sehingga interaksi Perempuan lebih banyak di rumah. Perempuan Jawa umumnya

mendedikasikan hidupnya untuk melayani suami, anak-anak dan keluarga. Sebagai seorang

istri tidak boleh mempermalukan suami, Istri harus selalu menghormat suami, dan

menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan

61

Elizabeth D. Inandiak, Chentini Kekasih yang tersembunyi ( terjemahan), (Yogyakarta: Babad Alas, 2006) 62

Hildred Geertz, Keluarga Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), 129-134. 63

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

Page 20: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

34

suami. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk

mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya.64

Dalam rangka memelihara kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup orang Jawa

tersebut, maka ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Jawa. Laki-laki pada

umumnya diberi peran yang lebih maskulin yaitu bekerja keras untuk menafkahi keluarga,

bertanggungjawab pada keluarga, menjadi pemimpin dalam keluarga, pemimpin dalam

masyarakat/oraganisasi, lebih ekspresif menyampaikan pendapat/ide dsb, sehingga lebih

berkesempatan untuk berinteraksi di luar rumah.65

Namun sejalan dengan berjalannya waktu pembagian peran perempuan dan laki-laki di

Jawa tidak lagi sepenuhnya berpatokan pada laki-laki maskulin dan perempuan feminim.

Tuntutan kerasnya hidup khususnya kebutuhan ekonomi telah mendorong perempuan untuk

menjalankan dua peran. Peran pencari nafkah dan peran ibu dalam rumah tangga.

Masyarakatpun memahami dua peran dan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan

untuk melaksanakan dua peran tersebut. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Jawa sebagai

pencetus tumbuhnya emansipasi perempuan di Indonesia melalui peran ibu R.A Kartini.

Maka peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi saat ini

sudah lumrah akibat perubahan, namun hal itu mereka lakukan dengan tetap berusaha

menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari. 66

Berbeda dengan peranan perempuan sebagai ibu secara wajar menciptakan peranan

pendidikan anak-anak serta segala pengaturan rumah tangga. Tidak mengherankan apabila

peranan perempuan lebih pada lingkungan keluarga dan rumah tangga, sehingga ada istilah

“kanca wingking” bagi para laki-laki (suami). Perempuan tidak banyak bertindak ke luar,

lebih statis dan pasif, tunduk dan taat kepada kepala keluarga. Fungsi sosial dan ekonomi

64

Hasil wawancara dengan Ibu Hl Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 65 Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 66

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

Page 21: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

35

perempuan berbeda dari laki-laki, dan secara keseluruhan status perempuan dianggap

rendah.67

Pandangan mengenai anggapan rendahnya kedudukan perempuan disebabkan karena

sejak awal menurut adat tradisi selalu ditekankan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan

perempuan, salah satunya dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi kaum perempuan belum

bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat umum. Batu-batu yang berdiri di pekuburan

menunjukkan nenek moyang laki-laki dan yang rebah menjadi alamat atau simbol nenek

moyang perempuan yang terkubur didalamnya.68

Pemerintah Indonesia yang begitu ngotot dalam memilah, menciptakan,

mendoktrinasi dan memaksakan konsep gender adalah Orde Baru. Gender dipandang sebagai

hal yang biner (lelaki dan perempuan) dengan perempuan pada posisi yang tidak

menguntungkan. Kepasrahan perempuan juga sering kali diartikan sebagai pengabadian

budaya bangsa.69

Perempuan dalam hal ini, dituntut untuk tidak saja menjaga diri mereka sendiri,

namun juga keluarga dan manusia-manusia disekitarnya. Karena itu pula, fungsi perempuan

Indonesia adalah penanda dan penjaga batas dari kebudayaan Indonesia.70

2.4.4.Kedudukan Perempuan Jawa

Kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat tidak terlepas dari sistem sosial

budaya. Dengan demikian, perubahan sosial budaya akan mempengaruhi kedudukan dan

peran perempuan.71

Seberapa banyak uang yang didapat, tidak akan pernah dianggap sebagai

67

Herusatoto,Simbolisme, 119. 68

Herusatoto,Simbolisme, 119. 69

Soe Tjen Marching, Kisah Di balik, 13. 70

Marching, Kisah Dibalik Pintu, 15. 71

Budi Munawar-Rahman, Rekontruksi Figh Perempuan Dalam Peradaban Mayarakat Modern, (Yogyakarta:

ababil,1996), 47-48.

Page 22: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

36

pencari nafkah.72

Pemaparan tentang ideal menurut berbagai karya sastra Jawa

mencerminkan sebagaimana kedudukan dan peran perempuan keluarga dan masyarakat.

Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri (garwa), pendamping

laki-laki dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak.

Secara lebih luas sesuai dengan perannya dalam keluarga, perempuan dalam surat Candrarini

dilukiskan bisa macak, manak, dan masak.73

Sedangkan untuk mengetahui kedudukan

perempuan dalam keluarga Jawa maka perlu diperhatikan dan diketahui dari ciri terpenting

dalam hukum adat Jawa tentang ikatan keluarga.74

Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai mahkluk indah yang dengan

kecantikkannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa

perempuan adalah bunga yang indah, bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman.

Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang

siapa saja yang melihatnya.75

Perempuan ideal dalam budaya Jawa digambarkan penyandra.

Penyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan dan kehalusan melalui ibarat.76

Peran Perempuan Jawa pada masa lalu, konon diyakini hanya sebatas lingkup dapur

(memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani suami). Meminjam istilah Emile

Durkheim yang dikutip oleh Julia Cleves Mosse, kaum perempuan Jawa modern sedang

berada dalam kondisi anomie, masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya Jawa,

tetapi gaya hidupnya sudah universal dan modern.77

Hal ini menunjukkan betapa sempitnya

ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga tidak memiliki cakrawala diluar tugas-tugas

domestiknya. Dengan demikian perempuan bekerja dirumah digambarkan sebagai perempuan

72

Munawar Budi-Rahman, Rekontruksi, 67-68 73

Seri Dian IV, Kisah Dari Kampung Halaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), 276. 74

Hildred Geertz, Keluarga Jawa, 5. 75

Harwijaya, Seks Jawa Klasik, (Yogyakarta : Niagara Pustaka Sufi, 2004), 66-69. 76

Harwijaya, Seks Jawa, 66-69. 77

Julia Cleves Mosse, Gender dan Pambangunan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994 ), 8.

Page 23: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

37

yang tidak dapat mengupayakan atau menciptakan kebahagiaan bagi diri maupun

keluarganya.78

Hubungan antara laki-laki dan perempuan amat penting dalam menentukan posisi

keduanya yang meliputi peranan, kedudukan, hubungan dan tanggungjawab perempuan dan

laki-laki dalam keluaraga dan masyarakat.79

Perempuan telah menjadi bagian dari sejarah

tetapi perempuan hampir tidak dihadirkan dalam sejarah sosial. Sebelum tahun 1990an,

perempuan tidak dianggap penting dalam sejarah perempuan.80

Lebih tragis lagi,

pengkotakan laki-laki pada sektor publik dan perempuan disektor domestik juga berdampak

pada perolehan hak-hak perempuan. Dengan konsep sepikul-saghenddhongan sebagai hukum

pembagian harta warisan, seorang perempuan hanya memperoleh setengah dari yang diterima

laki-laki. Laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dibanding yang diterima perempuan.

Laki-laki mendapat sepikul dan perempuan mendapat se-gendhongan.81

2.4.5.Perempuan Jawa Dalam Bidang agama

Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan bukan berarti agama itu budaya, akan tetapi

agama mempunyai peran dalam membentuk dan mewarnai tingkah laku manusia dan

masyarakat. Menurut Clifford Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol-simbol yang

berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan

yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep ini dengan

semacam faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak lebih realistis.82

Departemen Kehakiman menemukan bahwa dalam ketentuan tentang keagamanan

masih ada perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Indikasi adanya diskriminasi

78

Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa, (Yogyakarta:

Gama Media, 2001), 36. 79

Mosse, Gender dan Pambangunan, 8. 80

Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan,Mempersoalan pokok mengenai feminism dan relevansinya, (Jakarta:

Gramedia,1993), 35. 81

Seri Dian IV, Kisah Dari, 291. 82

Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, 171-172.

Page 24: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

38

tersebut dapat dilihat dalam UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan, yaitu: Pasal 7 ayat (1)

perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak

perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Peraturan ini tidak memberikan perlakuan yang

sama antara laki-laki dan perempuan.83

Pasal 31 ayat (3), Suami adalah Kepala Keluarga dan

istri sebagai ibu rumah tangga. Peraturan ini membedakan peran yang rigid antara laki- laki

dan perempuan.84

Ajaran keagamaan yang meremehkan kaum perempuan berkembang disebabkan oleh

satu kenyataan bahwa ajaran agama itu dirumuskan dan disebarluaskan dalam struktur

masyarakat patriarkal. 85

Masalah kedudukan perempuan (istri) menurut ajaran Kristen Prostestan selalu

mengacu kepada hubungan suami istri seperti: Efesus 5:22,23,25 (22.Hai isteri, tunduklah

kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23. karena suami adalah kepala isteri sama seperti

Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 25 Hai suami, kasihilah

isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya

baginya. 1 Petrus 3:1 mengungkapkan Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah

kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka

juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.86

Selama berabad, pada umumnya diberikan tekanan pada “kepala” dengan

mengartikannya sebagai pemimpin yang berkedudukannya lebih tinggi dari perempuan. Hal

ini berdampak kepada diskriminasif terhadap perempuan dalam hubungannya dengan

kekeluargaan maupun kepemimpinan dalam gereja. Apalagi kalau ditambah dengan ayat-ayat

yang mengatakan bahwa laki-laki diciptakan pertama kali oleh Allah baru kemudian

83

Wanita Dalam, 152. 84

Riant Nugroho, Dr. Gender dan Administrasi Publik,studi tentang Kualitas kesetaraan Gender dalam

Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1.2008), 222-

223. 85

Wanita Dalam, 283. 86

Alkitab, 1922-1923.

Page 25: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

39

perempuan, sehingga ada kesan “superior dan inferior.87

Di bawah laki-laki, perempuan tidak

mempunyai otoritas dalam sistem politik dan hukum yang menentukan ukuran-ukuran sanksi

bagi terdakwa dan juga korban.88

Kedatangan misionaris tidak hanya membawa Injil Yesus Kristus tetapi juga dengan

kebudayaan patriarkalnya. Tidak dapat disangkal bahwa Injil dan kebudayaan telah diramu

dalam satu paket” firman Tuhan” dan di sampaikan kepada umat.89

Dalam Alquran menekankan logika yang berasal dari Tuhan, laki-laki dan perempuan

diciptakan dari jiwa (nafz) yang sama. Namun demikian, masih banyak para ahli hukum

yang membatasi persamaan antara kedudukan laki-laki dan perempuan hanya sampai pada

batas spiritual saja, dan membiarkan masyarakat membuat herarki-herarki dan pembatasan

tentang gender.90

Lebih lanjut dalam Alquran menyatakan dalam bagian pertamanya

(Alquran 4:34 disebut P) bahwa kaum laki-laki adalah qawwamun bagi perempuan. Apabila

diterjemahkan secara terpisah… (P) kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan,

oleh karenanya Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain

(perempuan), dan arena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.91

Sehingga

jelas bahwa perempuan tidak mempunyai kedudukan dalam Islam. Posisi perempuan pada

masa pra Islam tidak memiliki tempat terhormat dihadapan laki-laki karena tidak adanya

pengakuan atau sikap laki-laki terhadap peran perempuan dalam masyarakat. Perempuan

tidak memiliki hak dalam persoalan waris dan pemilikan harta. 92

Kendala terhadap perkembangan jati diri perempuan di kalangan islam banyak terjadi

hambatan terhadap munculnya dalam berbagai kegiatan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya

87

Wanita Dalam, 71-72. 88

Jane C. Ollenburger dan Helen A. moore, Sosiologi Wanita, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002), 234. 89

Perempuan Indonesia, 68. 90

Wanita Dalam, 19. 91

Wanita Dalam, 23. 92

Wanita Dalam, 39.

Page 26: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

40

dan politik. Adapaun hambatan tersebut diantaranya kuranngya dipahaminya ajaran agama

dengan baik dan tepat, Pengaruh adat kebiasaan dan budaya setempat. 93

2.4.6. Gereja Kristen Jawa dan Perempuan

Gereja Kristen Jawa merupakan gereja suku Jawa yang tumbuh dan berkembang di

pulau Jawa. Bermula dari sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan

profesi buruh miskin, tukang membatik yang bekerja pada Ny. Van oostrom Phillips di

Banyumas, nekad berjalan kaki sejauh 300 Km. Suatu perjalanan panjang untuk sekedar

mendapatkan tanda baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada tanggal 10 Oktober 1858.

Mereka inilah cikal bakal pertama gereja yang nanti bernama Gereja Kristen Jawa. GKJ

tumbuh pertama kali dikawasan Banyumas oleh golongan akar rumput, buta huruf, anggota

masyarakat kelas bawah. 94

Tokoh Jawa yang sangat terkenal dalam memberitakan injil kepada masyarakat Jawa

yaitu Kyai Sadrach. Semula Kyai Sadrach adalah seorang yang suka ngelmu (usaha manusia

untuk mengetahui rahasia hidup). Ia bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung, yang sudah

menjadi Kristen karena pemberitaan injil dari Mr.FL Anthing. Akhirnya Kyai Sadrach

bertemu dengan Mr.FL. Anthing dan mendapat pelajaran tentang Injil. Berbekal pelajaran

yang diterima maka Kyai sadrach memberitakan injil dengan menggunakan bahasa Jawa dan

adat Jawa yang tidak bertentangan dengan iman Kristen. Ia berkelana memberitakan Injil di

daerah Jawa Tengah, dari daerah Purworejo ke utara terus ke timur sampai ke daerah

Kendal.95

Seiring dengan perkembangan jaman, maka banyaklah orang Jawa yang menganut

agama Kristen. Pertumbuhan jemaat yang ada di Pulau Jawa tidak terlepas dari pekabaran

Injil dari Zending. Pada kenyataannya gereja Jawa tumbuh dalam ketergantungan yang akut

93

Wanita Dalam, 242. 94

Sejarah Singkat Sinode Gereja Kristen Jawa, (Salatiga: Agenda Sinode GKJ, 2014), 45-49. 95

45 Tahun Gereja Kristen Jawa Semarang Barat, (Semarang: PT Panji Graha, Cet 1, 2009), 3-5.

Page 27: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

41

pada Pendeta Missi dan zendingnya. Pendewasaan kelompok Gereja-gereja pertama kali

terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900), disusul dengan pendewasaan gereja di kota-

kota di Pulau Jawa. Sehingga 17 Pebruari 1931 berdirilah Gereja-gereja Kristen Jawa di

Kebumen Jawa Tengah.96

GKJ yang sebagian besar Jemaatnya berkultur Jawa menganggap sebagai suatu hal

yang wajar jika laki-laki diberi peran lebih dalam mengelola kehidupan berjemaat dibanding

perempuan. Partisipasi perempuan dalam kehidupan GKJ juga masih tergantung pada

kemampuan perempuan untuk melakukan manajemen waktu dengan tugas-tugas profesi dan

keluarga. Terkadang kaum perempuan Jawa sendiri yang merasa dirinya kurang mampu dan

kurang berani dalam mengambil keputusan sehingga tidak mau berperan sama dengan laki-

laki.97

Peran perempuan dalam kehidupan Gereja Kristen Jawa masih sangat kurang. Hal ini

didukung dengan adanya larangan melalui akta Sidang Sinode. (sudah tertuang dalam bab 1).

Sebagai penyeimbang Perempuan Jawa lebih dikehendaki untuk berperan dari aspek

feminim. Sebagai ibu dengan peran mengasuh dan mendidik anak, menyediakan kebutuhan

rumah tangga sehari-hari, melayani suami dan anak, lebih halus dalam berkomunikasi, tidak

agresif, tidak dituntut untuk tampil memimpin baik di rumah, di masyarakat maupun di

organisasi, sehingga interaksi Perempuan lebih banyak di rumah. Perempuan Jawa umumnya

mendedikasikan hidupnya untuk melayani suami, anak-anak dan keluarga. Sebagai seorang

istri tidak boleh mempermalukan suami, Istri harus selalu menghormat suami, dan

menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan

96

Sejarah Singkat, 45-49. 97

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Ibu Vk, Ibu Wh, Ibu Srk, IbuHw, Minggu, 19 Januari 2014, pkl 19.00Wib.

(Lokasi di GKJ Semarang Barat)

Page 28: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

42

suami. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk

mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya.98

2.5. Perspektif Perempuan Jawa tentang identitas Perempuan

2.5.1.Bermartabat sebagai Ciptaan Tuhan

Sejak semula, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Manusia diciptakan

segambar dengan Allah, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan.

Allah melihat untuk segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Karena ia

diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya

sesuatu, melainkan seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya,

mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.

Perempuan sebagai ciptaan Tuhan Allah yang sejajar dengan laki-laki. Masing-masing

dilengkapi dengan kebaikannya dan keindahannya. Dan semuanya itu baik adanya. Allah

memberkati dan mengasihi keduanya. Hal itu menandakan bahwa laki-laki maupun

perempuan begitu berharga di mata Allah dan keberadaan perempuan dan laki-laki sangat

berarti. Hidup sebagai perempuan atau laki-laki merupakan anugerah Allah. Allah

menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan mengembangkan satu

terhadap yang lain. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan bersifat komplementer (Kej 2 :

18-25). Mereka saling membutuhkan dan saling tergantung satu sama lain. Laki-laki tidak

dapat hidup tanpa perempuan dan sebaliknya perempuan tidak bisa hidup tanpa laki-laki.

Setiap laki-laki atau perempuan dipanggil untuk mengembangkan dirinya sebagai laki-laki

dan sebagai perempuan menuju kesempurnaannya sebagaimana dikehendaki Allah.99

98

Hasil wawancara dengan Ibu Srk, Ibu Sr, Ibu Hl, Minggu, 29 Desember 2013, pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat)

99 Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat)

Page 29: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

43

Manusia memiliki akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Dengan akal budinya,

manusia dapat mengerti dan menyadari dirinya dan dunia sekitarnya, dapat mengembangkan

hubungan yang khas antar manusia dan dapat membuat kemajuan. Dengan kehendak

bebasnya, manusia dapat bertindak, yaitu melakukan sesuatu dengan sengaja dan

bertanggung jawab. Ia dapat melakukan tindakan-tindakan moral. Dengan hati nurani

manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik dalam kehidupan kita

sehari-hari. Manusia dikaruniakan kemampuan untuk “berkuasa” oleh Allah. Ia diberi kuasa

untuk memanfaatkan, menata, dan melestarikan ciptaan lainnya. Ia menjadi rekan sekerja dari

Tuhan untuk mengembangkan alam ini. Karena semua manusia adalah citra Allah, berasal

dari Allah, maka semua manusia mempunyai ikatan kesatuan. Mereka harus saling

mengasihi, menghormati, tidak saling menghina dan merendahkan serta hidup sebagai

saudara satu terhadap yang lain.100

Kesederajatan antara perempuan dan laki-laki lebih menyangkut pemberian kesempatan

untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri seluas-luasnya tanpa kekangan. Hal itu

berarti memberi kemungkinan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk memiliki

dan mengungkapkan ide, gagasan, dan kreatifitasnya demi pengembangan diri dan

sesamanya. Perempuan mengungkapkan bermartabat untuk menyejajarkan identitas dalam

budaya Jawa. Perempuan mendapatkan hak hidup yang sama dengan laki-laki. Kejadian 2:18,

TUHAN Allah berfirman mengungkapkan bahwa posisi perempuan sebagai penolong laki-

laki yang sepadan. "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan

penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” ( Kejadian 2:18).101

100

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat) 101

Alkitab, 37.

Page 30: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

44

Responden menyampaikan bahwa Perempuan Jawa bukan hanya sekedar “ konco

wingking” tetapi adalah pasangan yang sepadan dengan laki-laki. Sosok Perempuan sebagai

ciptaan Tuhan merupakan pendamping bagi laki-laki, pendorong semangat bagi laki-laki dan

“sigaraning nyawa” atau belahan jiwa bagi laki-laki. Sehingga Perempuan Jawa dituntut

sikap hidupnya untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika dan martabat suami serta

keluarga.102

Perempuan Jawa harus ditumbuhkembangkan adanya pemahaman tentang kesetaraan

gender di tengah kehidupan berjemaat. Idealnya antara laki-laki dan perempuan itu sepadan.

Laki-laki harus memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk bisa tampil dan

berprestasi. Ternyata kesadaran laki-laki dan perempuan dapat menjadi kekuatan untuk

menciptakan keadilan dan kesetaraan antara manusia laki-laki dan perempuan. Hal ini

merupakan bukti sebagai ciptaan Tuhan yang segambar dengan Allah. Kaum perempuanpun

juga harus semangat dan percaya diri supaya bisa mengembangkan potensi diri dalam

bergereja, masyarakat, maupun dalam keluarga. Perempuan Jawa jangan dibeda-bedakan

dengan pendeta laki-laki, untuk membuktikan perlu dicoba kemampuannya. 103

Menurut responden, Perempuan sudah mendapatkan kesempatan yang sama besarnya.

Peluang untuk mengembangkan karier cukup terbentang luas tanpa ada batasan seperti

dahulu lagi. Ini artinya perempuan sudah menemukan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan,

yaitu Perempuan mendapatkan kesempatan berkarya yang sama. Tugas-tugas antara laki-laki

dan perempuan sudah tidak dibedakan. Perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam

melakukan pekerjaan di tengah-tengah masyarakat, namun perempuan harus tetap ingat akan

tugasa dan kodrat sebagai perempuan. Di tinjau dari berbagai kebijakan pemerintah

diantaranya Garis Besar haluan Negara (GBHN) 1993, perempuan yang bermartabat di

102

Hasil wawancara dengan Ibu Wh, Ts, Senin, 2 Des 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 103

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat)

Page 31: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

45

Indonesia mendapat kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengenyam pendidikan

dan untuk bekerja.104

Perlu diingatkan kembali bahwa dihadapan Tuhan semua manusia baik laki-laki

maupun perempuan adalah samaderajatnya, tidak ada warga Negara kelas 2. Dengan

pemahaman yang demikian, diharapkan supaya kaum perempuan tergugah dan terbuka

hatinya untuk sadar atas tanggungjawab gereja. Jika perempuan mampu melihat seseorang

dari potensinya, karakternya, integritas orang tersebut dan komitmennya maka akan lebih adil

dalam menilai seseorang tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu,

Pendeta perempuan harus diberi kepercayaan penuh.105

2.5.2.Identitas sebagai manusia berbudaya Jawa

Pandangan budaya Jawa tentang segala mitos Perempuan Jawa selalu diperhadapkan

dengan konflik dalam keluarga, gereja dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,

Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang dapat menjalani hidup secara

independen, percaya akan kemampuan dirinya, mampu menampilkan dirinya sebagai pribadi

yang utuh, serta memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap tindakan yang

merugikan kaumnya dalam hidup berkeluarga, bernegara maupun bergereja. Seorang

perempuan Jawa yang ideal juga harus mampu berjuang menuntut hak-hak kaumnya yang

selama ini terbelenggu oleh si perempuan sistem patriakal. Perempuan Jawa untuk turut

terlibat dalam pekerjaan yang bernilai ekonomi karena itu satu-satunya jalan untuk dapat

dihargai sebagai seorang pribadi yang utuh.106

Responden mengungkapkan bahwa Budaya Jawa adalah kebiasaan-kebiasaan hidup

manusia yang dilakukan bersama oleh sekelompok masyarakat khususnya masyarakat yang

104 2012,Pengarusutamaan Jender Lingkup Departemen Kehutanan, (http://www.dephut.go.id/index.php/news/detail/269)

Diakses pada tanggal 10 September 2014.pkl 21.12. 105

Hasil wawancara dengan Ibu Wh,Ts,Bl, Minggu,5 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 106

Hasil wawancara dengan, Ibu Hl, Minggu, 29 Desember 2013,pkl 10.00Wib.(Lokasi di GKJ SemarangBarat)

Page 32: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

46

berasal atau tinggal di pulau Jawa dan berbahasa Jawa. Masyarakat yang berbudaya Jawa

percaya bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu mengutamakan keseimbangan, keselarasan

dan keserasian. Hal ini tampak dalam keseharian hidup orang Jawa dari upaya mereka

menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhaaan.107

Perkembangan Jaman seperti sekarang ini, mendorong perempuan Jawa harus bisa

mandiri dan tidak boleh bergantung pada laki-laki. Perempuan Jawa bukan berarti pembantah

tetapi karena sudah adanya kemajuan dalam hal pendidikan maupun pengaruh luar, harus

berani tampil dan juga bersaing dengan laki-laki. Perlawanan perempuan terhadap budaya ini

sudah dibuktikan oleh R.A Kartini. Maka sudah saatnya peran perempuan dalam memimpin

keluarga, masyarakat maupun organisasi. Perempuan Jawa sudah terbiasa hidup dalam

perubahan dengan tetap berusaha menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan

keserasian hidup sehari-hari.108

Responden mengungkapkan bahwa Perempuan Jawa lebih maju, pandai, bisa mencari

nafkah sendiri, mampu menjadi seorang pemimpin. Perempuan Jawa semakin terangkat

derajatnya dengan adanya kesamaan gender dan sudah dibuktikan dengan mempunyai

Presiden Perempuan. Perempuan memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu,

mendapatkan jabatan struktural, baik dalam bidang politik dan organisasi sosial. Sudah

mulai diberi kesempatan, terbukti dengan adanya kuota-kuota yang di sediakan bagi

perempuan dalam berbagai bidang untuk menduduki jabatan puncak. Sekarang saatnya

perempuan Jawa mewujudkan Emansipasinya. Hal ini seharusnya membuat perempuan

makin sadar untuk menumbuhkan kemauan dan kemampuan agar memiliki peran yang sama

dengan laki-laki. Telah banyak bukti Perempuan Jawa kompeten sebagai pemimpin lokal,

107

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 108

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sh,TFj,Hl, Minggu,2 Des 13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat)

Page 33: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

47

nasional bahkan dunia. Bahkan di era Reformasi untuk pertama kalinya Indonesia memiliki

pemimpin negara perempuan.109

Perempuan Jawa kini semakin aktif berpolitik dengan adanya ketentuan Caleg dari satu

partai harus mencapai 30% dari seluruh calon. Peran perempuan Jawa dalam berpolitik

sangat baik yaitu ada menteri perempuan, presiden perempuan. Bahkan ada perempuan Jawa

mampu menjadi pemimpin bank dunia yaitu dalam diri Sri mulyani. Partisipasi perempuan

Jawa sebagai pemimpin politik telah mengalami peningkatan. Perempuan Jawa yang sudah

mempunyai wawasan yang luas dapat diandalkan dalam kancah politik. Kaum perempuan

saat ini sudah pandai-pandai dan kuat serta mandiri.110

Perempuan Jawa sebenarnya lebih maju, pandai, bisa mencari nafkah sendiri, mampun

menjadi seorang pemimpin. Pada masa Orde Baru kondisi perempuan Jawa terangkat

derajatnya dengan adanya Undang-undang Perkawinan dan PNS harus hanya mempunyai

satu istri. Kondisi perempuan Jawa dalam konteks orde baru, peran perempuan lebih

meningkat hal ini terbukti dari beberapa perempuan yang tampil dalam jabatan politik,

jabatan struktural maupun dalam organisasi sosial. Dan sebagai perempuan Jawa tetap

menunjukkan ciri khas kejawaannya yang selalu andhap asor, walau perempuan Jawa

tersebut menduduki jabatan sebagai ketua/kepala dalam unit kerja/aktifitasnya. Kaum

perempuan lebih mempunyai peluang yang lebih besar dalam berperan, perempuan mulai

berperan di gereja dan di masyarakat. Sudah mulai ada pejabat perempuan Jawa dalam

pemerintahan, dalam perusahaan dan banyak juga jenis pekerjaan laki-laki yang mulai

dikerjakan oleh perempuan. Perempuan Jawa mengalami perubahan, dengan adanya

emansipasi perempuan maka sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan bekerja

109

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,TFj, Minggu,28 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat 110

Hasil wawancara dengan Ibu Ks,Wh,Hl,Nn,Hs, Minggu,19 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat)

Page 34: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

48

sebagaimana laki-laki. Perempuan Jawa diberi kesempatan dalam berpendidikan, berkarya

dan bekerja.111

Dalam menjalankan tugasnya, perempuan Jawa pasti tidak mau kalah dengan kaum

laki-laki, terlebih lagi pendeta laki-laki bahkan lebih hebat. Untuk itulah, tuntutan pendeta

perempuan harus profesional dan proporsional dalam tugas pelayanannya. Secara normative

tidak ada aturan dari Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ yang membatasi dan

mendiskriminasi. Perempuan Jawa jaman sekarang juga sudah banyak yang tampil sebagai

pemimpin diberbagai lembaga/ instansi, perusahaan bahkan dikancah politik.112

Perempuan

perkotaan dalam realitas banyak yang mandiri, aktif, kritis, keluar dari lingkungan

domestiknya dan mampu memenuhi tuntutan perkembangan jaman. 113

Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang

identik. Segala suatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara

jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa

identitas adalah mustahil.114

Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari

proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti

sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya. Dalam konteks Indonesia misalnya bisa

dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh

institusi sosial berupa Dharma wanita. Demikian juga wacana mengenai posisi laki-

laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama.115

Selama ini perempuan tersisihkan dikarenakan rangkaian konvensi yang sangat kuat

mengatur perbedaaan antara peran privat dan peran publik perempuan. Pembedaan ini

111

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,Vk,Ews,Wh,Hw,DIk, Minggu,28 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di

GKJ Semarang Barat) 112

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 113

Einar M Sitompul, Agama-agama & Perjuangan Hak-hak Sipil, (Jakarta : Marturia, 2005), 160. 114

Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.)

Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001),

23-34. 115

Veven Sp. Wardhana, “ Puanografi dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”, dalam Nur

Iman Subono, Feminis Laki-laki, 90.

Page 35: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

49

memotong akses perempuan dipatok terus pada kewajiban-kewajiban di lingkup privat yang

menghabiskan hampir seluruh waktunya setiap hari, seperti yang ditekankan oleh Louise

Ackers bahwa perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestik yang membutuhkan full-

time. Tanggung jawab domestik yang amat banyak ini membuat mereka sulit untuk

berpartisipasi sebagai warga negara yang „sesungguhnya‟ di ranah publik.116

Gambaran ideal perempuan Jawa harus mempunyai sifat gemi, ati-ati, nastiti, sebagai

bentuk bakti kepada laki-laki.117

Ki Hajar dewantara mengatakan: “Inilah keadaan yang

nyata, yang khas, dan tubuh-tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan badan laki-laki,

perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya karena akan

menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak dan lain-lain”.118

Adapun fungsi

sebuah peran merupakan aspek dinamis dari status tersebut. Apabila seseorang melaksanakan

hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peran

sendiri adalah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan dan disertai dengan

cara tingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan tersebut.119

Pada umumnya masyarakat Jawa masih menilai tinggi bahwa setelah menikah

sebaiknya perempuan tinggal dirumah mengurus rumah tangga dan mendidik anak.120

Seorang laki-laki tidak pantas menyibukkan diri dengan seluk beluk rumah tangganya.121

Dalam

masyarakat Jawa, cerminan kepribadian perempuan Jawa akan terlihat dalam sistem

sosialnya, yakni bersifat conform ( berusaha menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang

berlaku supaya dapat memenuhi harapan lingkungan masyarakatnya, meskipun tindakan-

tindakannya itu tidak sejalan dan sesuai dengan keinginannya), melalui proses sosialisasi dan

116

Louse Ackers,Shifting Space: Women, Citizenship and Migration within th European Union, 41. 117

Sri Suhandjati Sukri, Perempuan dalam Tradisi Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 85. 118

J Raharjo, Wanita Kota Jakarta,Kehidupan Keluarga dan Keluarga Berencana (Yogyakarta: GajahMada

University Press, 1980), 16. 119

Brunetta R Wolfman, Peran Kaum Wanita, cet V (Yogyakarta: Kanisius,1994), 10. 120

Proyek Penelitian (Javanologi), Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman, peny. Gandarsih M.R. Santosa

(Yogyakarta: ttp,1985), 5. 121

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, cet II, 1994), 264.

Page 36: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

50

inkulturasi. Sosialisasi yang didapatkan perempuan adalah bahwa perempuan harus manis,

diam, menurut, menerima dan mendengarkan serta selalu mendukung. Sebaliknya

perempuan dilarang interupsi dan bertindak kompetitif.122

Dalam keseharian hidup orang Jawa mengutamakan hubungan baik seperti: kerukunan,

tolong menolong, ramah, santun, tidak agresif, tidak suka berdebat, tidak menonjolkan emosi,

tidak to the point, tidak suka mengkirik orang, Mikul dhuwur, mendhem jero artinya

menghormati orang lain terutama kepada atasannya, orang tuanya atau suami/isterinya, serta

menyimpan aib saudaranya didalam hatinya, dan sebagainya. Dalam berkomunikasi tingkat

kesopanan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian diperhatikan melalui penggunaan

bahasa yaitu bahasa Jawa yang bertingkat dari ngoko, krama hingga krama inggil. Orang

Jawa akan berusaha menggunakan tingkatan bahasa Jawa dan memperlihatkan bahasa tubuh

yang akan menimbulkan kesopanan dan keselarasan hidup dengan orang lain. Budaya Jawa

menjunjung tinggi derajat laki-laki dan seorang perempuan dianggap sebagai konco

wingking.123

Nilai-nilai tradisional Jawa banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam124

yang

menginterpretasikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan mengharuskan perempuan untuk

patuh kepada laki-laki. Pentingya kepatuhan perempuan itu direfleksikan dalam ungkapan

“swarga nunut neraka katut” yang artinya seorang perempuan harus mengikuti laki-laki

dengan setia, apakah ia akan ke surga atau ke neraka.125

Budaya Jawa juga menghasilkan kepercayaan sendiri yaitu Kejawen. Kejawen itu

sendiri berisikan seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa dalam

menjalankan hidup mereka sehari-hari, dalam interaksi dengan Tuhan, alam dan sesama

122

Nasarudin Umar, Bias Jender dalam pemahaman Islam, (Yogyakarta: gama Media, cet I, 2002), 18. 123

Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Ibu Ckb Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat) 124

Mark R Woodword, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, alih bahasa hamus Salim HS,

(Yogyakarta: LKiS,1999), 89. 125

Mohammad Hakimi, Membisu Dewi Harmoni, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women‟s Crisis Center, 2001),18.

Page 37: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

51

manusia. Kejawen ini semacam spiritualitasnya suku Jawa. Dulu masyarakat Jawa adalah

penganut agama Hindu, Budha dan Kejawen. Peninggalan kehidupan sehari-hari serta

kehidupan agama masa Hindu - Budha masih bisa kita temukan hingga sekarang. Namun

mengingat mayoritas orang Jawa sekarang telah menganut agama Islam, Kristen atau

Katholik, maka nilai Hindu, Budha atau Kejawen tidak lagi mendominasi budaya hidup

mereka. Secara kelas sosial orang Jawa dapat dibagi dalam 3 kelas yaitu Abangan, Priyayi

dan Santri. Sejarah yang menunjukan bahwa di Jawa dapat menerima pengaruh masuknya

berbagai agama, etnis, interaksi ekonomi ini sebenarnya telah membentuk masyarakat Jawa

yang tidak suka konfrontasi, hidup harmonis dan toleran dengan perbedaan. 126

Dari uraian diatas, pandangan atau perspektif perempuan Jawa tentang identitas

Perempuan adalah bahwa perempuan Jawa masih mengalami tekanan dalam hidupnya.

Perempuan Jawa masih merasakan adanya pembedaan, martabatnya masih rendah, dianggap

menjadi sumber masalah, tidak boleh interupsi, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-

laki, dan masih dimasih diperlakukan sebagai konco wingking. Perempuan Jawa masih

dianggap sebagai pembantu penguasa dalam hal ini laki-laki. Perempuan Jawa menganggap

bahwa perundang-undang yang bias, tidak menjamin akan hak-haknya dan Pemerintahpun

belum mempunyai kepekaan akal hal ini.

2.5.3. Perempuan Jawa mengubah sistem Patriakal

Segala anggapan dan perlakuan perempuan dalam gereja, masyarakat, keluarga

menimbulkan gerakan untuk melakukan sebuah perubahan. Demikian pula pemahaman

responden, sangat diperlukan adanya rekontruksi atau perubahan cara pandang. Perubahan

cara pandang harus dilakukan oleh semua pihak karena pada umumnya budaya tidak mudah

126

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

Page 38: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

52

untuk diubah, butuh waktu untuk mengubah kebiasaan, dan butuh keterlibatan berbagai

pihak. 127

Perempuan Jawa jaman sekarang sudah “dibebaskan” atau bebas dari penindasan, tidak

merasa ditindas seiring kemajuan emansipasi perempuan dalam berbagai bidang. Pada saat

ini perempuan sudah lebih dapat menikmati hak-haknya. Jika perempuan itu berpendidikan,

berwawasan yang luas, beriman dan berkeinginan maju dan berkeinginan untuk bangkit dan

maju maka akan sulit ditindas. Kesempatan perempuan Jawa untuk menuntut ilmu sama

seperti laki-laki. 128

Untuk jaman sekarang ini, sudah banyak berubah dimana kaum perempuan mendapat

hak yang sama dalam gereja, terlihat dengan banyak majelis perempuan, pendeta perempuan

dan juga pelayan-pelayan gerejawi yang lainnya juga banyak yang perempuan. 129

Peran

perempuan di luar kehidupan keluarga, bahan mulai dipandang sangat kompeten menjadi

pemimpin. Perempuan pada masa ini diperbolehkan ikut partai politik melalui Partai Golkar

yang dimotori oleh Kowani. Bahkan sebagai penghargaan beberapa pengurus Kowani

disediakan kursi diadalam Parlemen (DPR dan MPR). Pada masa Orde Baru ini pemerintah

membentuk organisasi perempuan yang diberi nama Komisi Nasional kedudukan Wanita

Indonesia ( KNKWI ).130

Dalam kehidupan bergereja di GKJ, perempuan sudah banyak yang diangkat sebagai

penatua dan diaken, bahkan dalam perkembangannya mampu menjadi ketua komisi, ketua

panitia. Maka perempuan diperlukan juga agar dapat ambil bagian di kehidupan Gereja

Kristen Jawa. Dan bukan hanya itu saja adanya masalah gender memang seharusnya

perempuan juga ambil bagian di kehidupan Gereja Kristen Jawa. Gereja Kristen Jawa tidak

127

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 128

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Ns, Minggu,21 Des13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat) 129

Hasil wawancara dengan Ibu Hw, Minggu,21 Des 2013.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 130

Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Tt, Minggu,28 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat

Page 39: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

53

membedakan jemaat baik laki-laki dan perempuan, demikian juga tempat duduk jemaat tidak

dipisahkan. Jabatan dalam kemajelisanpun bagi Perempuan tetap diperbolehkan, demikian

pula berkotbah bila perempuan mampu dan diberi talenta untuk berkotbah dipersilahkan,

sepanjang tidak keluar dari tata Gereja Kristen Jawa.131

Sebaiknya perlu juga Gereja Kristen Jawa mempertimbangkan adanya pendeta

perempuan sehingga dapat menampung hal-hal tertentu dari aspirasi jemaat. Karena masalah

perempuan itu banyak sekali, dan untuk mengemukakan hal-hal tertentu kepada pendeta laki-

laki agak sungkan. Maka diperlukan pendeta perempuan agar dapat menampung

permasalahan perempuan, tetapi juga diberikan hak-haknya sebagai perempuan (cuti hamil,

melahirkan dsb). Dalam era yang makin memberi ruang tumbuhnya kesamaan peran pria dan

wanita, maka GKJ perlu memotivasi perempuan untuk tampil menjadi Pendeta perempuan

atau pemimpin Jemaat. Hal ini perlu ditempuh dengan jalan melakukan sosialisasi dan

menunjukkan jalur yang harus mereka tempuh untuk sampai kesana yaitu kompeten menjadi

Pendeta Perempuan. GKJ bekerjasama dengan keluarga dan semua pihak agar Pendeta

Perempuan dapat terwujud.132

Mulai dari rekontruksi budaya keluarga akhirnya perubahan

budaya masyarakat, dan berbagai pihak yang terkait. Teladan Pendeta yang berhasil di sebuah

gereja Klasis lain atau gereja lain di luar GKJ dapat di jadikan referensi. 133

Dengan

perkembangan jaman sebaiknya perempuan sudah harus mulai maju dan berani menjadi

pendeta perempuan. Setiap GKJ perlu mendorong perempuan Jawa untuk bisa menjadi

memimpin bahkan menjadi Pendeta Perempuan .134

Mulai dari rekontruksi budaya dalam keluarga, dan pada akhirnya perubahan budaya

masyarakat, serta berbagai pihak yang terkait. Perubahan cara pandang sangat diperlukan

131

Hasil wawancara dengan Ibu Wh,Sh,Tt, Minggu,19 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 132

Hasil wawancara dengan Ibu Sh,Hl, Minggu,12 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 133

Hasil wawancara dengan Ibu Ht,Tt, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 134

Hasil wawancara dengan Ibu Bl,Hl, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Bara

Page 40: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

54

agar ada persamaan gender bukan hanya di bicarakan saja tetapi perlu diperjuangkan.

Seorang perempuan (calon pemimpin) bukan hanya dari gendernya saja tetapi harus dilihat

dari potensi yang ada didalam orang tersebut (baik itu laki-laki maupun perempuan). Pada

akhirnya perempuan tidak lagi dipandang kurang pantas dan kurang mumpuni untuk menjadi

seorang pendeta perempuan/pendeta jemaat dan juga dalam hal pengajaran iman.135

Perlu adanya penjemaatan sehingga warga gereja akan lebih memahami bahwa

perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki didalam berjemaat dan

perempuan juga pantas menjadi seorang pendeta. Pendeta perempuan harus diberi

kepercayaan penuh, jangan dibeda-bedakan dengan pendeta laki-laki, untuk membuktikan

perlu dicoba kemampuannya. Kebanyakan Jemaat perempuan ada yang lebih menikmati

membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi dengan Pendeta perempuan daripada dengan

pendeta laki-laki. Terutama permasalahan rumah tangga. Karena masalah perempuan itu

banyak sekali, dan untuk mengemukakan pada pendeta laki-laki agak sungkan. Maka

diperlukan pendeta perempuan agar dapat menampung permasalahan perempuan.136

GKJ perlu bekerjasama dengan keluarga dan semua pihak agar Pendeta Perempuan

dapat terwujud dan kesadaran sehingga perempuan dan laki-laki dalam pelayanan bisa

berjalan dengan baik. Supaya ideal maka perempuan dapat dijadikan Pendeta ke dua supaya

dapat saling melengkapi dalam satu gereja.137

Dengan adanya kondisi yang bersifat kultural (terkait dengan nilai-nilai budaya

patriarkal), sekaligus bersifat struktural (dimapankan oleh tatanan sosial politik yang ada),

maka diperlukan tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna menghilangkan kesenjangan

135

Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh, Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat) 136

Hasil wawancara dengan Ibu Ah, Ibu Ne, Ibu Hw, Ibu Nn Minggu,12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di

GKJ Semarang Barat)

137 Hasil wawancara dengan Ibu Skw, Minggu, 12 Desember 2013,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang

Barat)

Page 41: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

55

gender dalam berbagai bidang. Untuk itu, diperlukan kemauan yang kuat agar semua

kebijakan dan program memperhitungkan kesetaraan dan keadilan gender. Upaya

peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan, serta kesetaraan gender dilaksanakan

dalam kerangka arah kebijakan: Meningkatkan taraf pendidikan, dan layanan kesehatan, serta

bidang pembangunan lainnya, untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum

perempuan.138

Program ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup, peran, dan kedudukan

perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, dan meningkatkan perlindungan

bagi perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.139

Responden mengungkapkan bahwa ada pengaruh budaya Patriarkal terhadap hubungan

antara laki-laki dan perempuan Jawa. Responden mengungkapkan bahwa budaya patriarkal

adalah sebuah cara pandang dalam melihat eksistensi kaum perempuan, dimana peran laki-

laki lebih diutamakan ketimbang peran perempuan, maka akibatnya, lahir pola hubungan

yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan hubungan laki-laki

dan perempuan Jawa ini dapat terjadi baik dalam berbagai ranah. Perbedaan hubungan akan

terjadi baik di ranah sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Budaya patriarkal ini

tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melainkan juga telah menghasilkan kebijakan-

kebijakan yang berimbas pada persoalan ekonomi kaum perempuan. 140

Budaya patriakal yang disepakati di dalam keluarga dan masyarakat akan menimbulkan

hubungan dimana laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin, penggung jawab, pengambil

keputusan. Laki-laki atau Ayah dalam keluarga memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-

138

Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh, Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat) 139

Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh, Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat) 140

Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

Page 42: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

56

anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak

istimewa laki-laki dan menyebabkan urutan perempuan dibawah laki-laki (subordinasi).141

Patriarkal ini menyebabkan perbedaan distribusi kekuasaan antara laki-laki dan

perempuan di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti

penentuan garis keturunan (garis ayah dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung,

otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik, agama

atau pemilihan posisi dari berbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh

pembagian kerja secara gender.142

Mengingat budaya patriarkal di Indonesia sangatlah kuat pengaruhnya, maka keluarga

atau masyarakat yang melakukan budaya semacam ini akan mendorong laki-laki untuk

berpengaruh secara lebih kuat dalam keluarga. Laki-laki lebih berhak mengambil keputusan

ketika ada masalah dan menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam

keluarga. Jika budaya patirakal ini terjadi dalam suatu keluarga maka perempuan akan

cenderung memilih peran atau terpaksa berperan di luar peran laki-laki. Dominasi peran laki-

laki seringkali tidak memberi peluang sistem partnership (kerjasama), akibatnya apapun

pendapat perempuan tidak didengar maupun dihargai.143

Bagi sebagian orang budaya Patriakal di sisi lain membantu kubu perempuan Jawa

untuk tidak perlu bersusah payah mencari nafkah karena telah memberikan tanggung jawab

tersebut kepada laki-laki. Dampak positif dari budaya patriarkal di Indonesia bagi masyarakat

adalah budaya ini akan membuat laki-laki sadar bahwa dirinya harus bertanggung jawab

penuh untuk mengayomi keluarganya dan tidak ingin keluarganya menderita. Ini juga

menunjukan bahwa seorang laki-laki itu harus mapan dan juga mampu menjadi tulang

punggung keluarganya ketika membutuhkan sesuatu. Karena sistem patriakal dapat dilakukan

141

Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 142

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 143

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

Page 43: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

57

secara lebih sempurna oleh laki-laki yang baik dan bertanggung jawab dan bukan oleh laki-

laki yang hanya ingin santai dan tidak mau bekerja keras atau dan hanya tinggal di rumah.144

Opini responden, budaya patriakal dapat dilakukan dalam keluarga sepanjang kondisi

laki-laki memenuhi kriteria untuk berperan dalam aspek maskulinitas, sehingga perempuan

bisa memilih fokus pada peran mengurus rumah tangga, mendidik dan menyertai agar anak

anak dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi sejalan dengan tumbuhnya emansipasi yang

menumbuhkan peluang perempuan makin terdidik, kesempatan dalam ikut berperan dalam

ekonomi keluarga, maka meskipun pria mampu sebagai pemimpin keluarga, namun atas

kemauan perempuan itu sendiri dan dukungan keluarga, perempuan tetap dapat berperan dan

berkontribusi bagi masyarakatnya dalam berbagai bidang.145

Peran perempuan Jawa bahkan dapat lebih mendominasi dalam keluarga, akibat laki-

laki memberikan peluang atau karena laki-laki tidak dalam kondisi mampu bertanggung

jawab sepenuhnya dalam kehidupan keluarga.146

Hal inilah yang membuat sistem patriarkal

masih diakui oleh banyak orang dan dilakukan sampai sekarang karena dapat membangun

keseimbangan, keselarasan, keserasian hidup berkeluarga.147

Cara pandang seseorang memang tidak terlepas dari konsep budaya yang sudah ada

khususnya budaya Jawa. Tetapi cara pandang yang sudah terpartri dapat diubah dengan

memberikan masukan dan meyakinkan akan kemampuan Pendeta perempuan. Perubahan itu

perlu dilakukan supaya perempuan-perempuan itu tergugah dan terbuka hatinya untuk sadar

atas tanggungjawab gereja. Apalagi memiliki pendeta perempuan, kaum perempuan akan

lebih leluasa untuk membicarakan masalah mereka secara pribadi.148

Kebudayaan bukanlah

144

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 145

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 146

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 147

Hasil wawancara Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 148

Hasil wawancara dengan Ibu Ne, Ibu Wh, Ibu Hw, Minggu, 12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat)

Page 44: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

58

sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya

sejarah. Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan

laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan

pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi.149

Ternyata para responden menginginkan sesuatu yang ideal terlebih dalam era yang

makin memberi ruang tumbuhnya kesamaan peran laki-laki dan perempuan, maka GKJ perlu

memotivasi perempuan untuk tampil menjadi Pendeta perempuan atau pemimpin Jemaat.

Gereja harus terbuka dengan perkembangan jaman, di mana kaum perempuan saat ini sudah

pandai-pandai dan kuat serta mandiri. Hal ini perlu ditempuh dengan jalan melakukan

sosialisasi dan menunjukkan jalur yang harus mereka tempuh untuk sampai kesana yaitu

kompeten menjadi Pendeta Perempuan. Usaha yang harus ditumbuhkembangkan adalah

adanya kesetaraan gender di tengah kehidupan berjemaat. Disamping itu kelompok laki-laki

harus mau memberikan peluang, kesempataan kepada kaum perempuan agar dapat maju

bersama membangun gereja bahkan membangun Negara. Alangkah indahnya kalau sesuai uu

partai politik, sekurang-kurangnya representasi keterwakilan Pendeta perempuan di

pelayanan jemaat minimal 30 %.150

Dalam rangka memelihara kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup orang Jawa

tersebut, maka ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Jawa. Laki-laki pada

umumnya diberi peran yang lebih maskulin yaitu bekerja keras untuk menafkahi keluarga,

bertanggung jawab pada keluarga, menjadi pemimpin keluarga, pemimpin dalam

149

Ivan A. Hadar, “Feminisme, Feminis Laki-laki dan Wacana Gender Dalam Upaya Pengembangan

Masyarakat”, dalam Nur Iman Subono, Feminis Laki-laki, 93-111. 150

Hasil wawancara dengan Ibu Sp, Ibu Srt, Ibu Hl, Ibu Ts, Minggu, 12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di

GKJ Semarang Barat)

Page 45: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

59

masyarakat/oraganisasi, lebih ekspresif menyampaikan pendapat/ide dsb, sehingga lebih

berkesempatan untuk berinteraksi di luar rumah.151

Namun sejalan dengan berjalannya waktu pembagian peran perempuan dan laki-laki di

Jawa tidak lagi sepenuhnya berpatokan pada laki-laki maskulin dan perempuan feminim.

Tuntutan kerasnya hidup khususnya kebutuhan ekonomi telah mendorong perempuan untuk

menjalankan dua peran. Peran pencari nafkah dan peran ibu dalam rumah tangga.

Masyarakatpun memahami dua peran dan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan

untuk melaksanakan dua peran tersebut. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Jawa sebagai

pencetus tumbuhnya emansipasi perempuan di Indonesia melalui peran ibu R.A Kartini.

Maka peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi saat ini

sudah lumrah akibat perubahan, namun hal itu mereka lakukan dengan tetap berusaha

menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari. 152

Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka perempuan Jawa perlu menyatukan

kekuatan, menjalin kebersamaan untuk memerangi kondisi ini seperti tokoh pewayangan

yaitu Srikandi. Srikandi adalah tokoh wayang yang cukup diidolakan. Srikandi dalam versi

Mahabharata di India, lahir sebagai perempuan (titisan Amba). Sebagai istri Arjuna, Srikandi

juga berperang, mempunyai beberapa kekasih dan mempunyai banyak ciri kemaskulinan: ia

bisa mengubah dirinya menjadi lelaki.153

Perempuan Jawa menuntut kembali hak-haknya

yang telah direnggut oleh laki-laki supaya didengar, dihargai. Sehingga perempuan Jawa bisa

keluar dari tekanan sistem Patriakal. Cara yang harus ditempuh adalah dengan mengubah

cara pandang terhadap perempuan Jawa.

Perempuan Jawa mengharapkan adanya perubahan pandangan yang mendasar.

Perempuan Jawa harus melakukan rekontruksi identitas tentang status perempuan. Gereja

Kristen Jawa yang bertumbuh dan berkembang di Pulau Jawa diharapkan juga mampu

151

Hasil wawancara dengan, Ibu Hl, Minggu,29 Desember 2013,pkl 10.00Wib.(Lokasi di GKJ Semarang Barat) 152

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 153

Marching, Kisah Dibalik,14.

Page 46: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

60

melakukan perubahan dalam memandang perempuan. Oleh karena itu perlu adanya

pemahaman dan pemikiran yang lebih mendalam agar suatu perubahan dapat terjadi.

Perubahan-perubahan perlu diperhatikan oleh gereja dalam perjalanan menuju ke masa depan

dan meninggalkan status quo yang begitu lama dipertahankan. Sehingga perempuan Jawa

akan diterima menjadi pemimpin di Gereja Kristen Jawa sebagai pendeta jemaat. 154

2.6. Kesimpulan

Studi Poskolonial merupakan sebuah studi yang menawarkan sebuah perspektif “baru”

dalam menganalisa dampak dari penjajahan (kolonialisme), yang menyangkut dari orang-

orang minoritas dan tenggelam, diabaikan serta ditekan dalam sejarah. Studi poskolonial

merupakan teori yang memberikan kebebasan penafsir dalam konteks pengalaman sebagai

orang yang mengalami kolonialisasi bangsa-bangsa barat dan dampak yang masih dirasakan.

Teori poskolonial juga menganalisis praktik-praktik”penjajahan” yang masih berlanjut hingga

sekarang ini. Penjajahan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok

minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (subaltern-dalam bahasa Gayatri Chakravort

Spivak), termasuk didalamnya penjajahan laki-laki atas perempuan. Sedangkan Edward

William Said dan Bhaba sangat tertarik dengan masalah percampuran budaya sebagai

kolonialisme. Dampak dari penjajahan tersebut adalah adanya adopsi unsur budaya para

penjajah dan yang pada akhirnya melahirkan hibriditas. Menurut Gayatri, Pemikiran

poskolonial dalam perkembangan sejarah mencoba menempatkan masalah perempuan dalam

bentuk kolonialisasi. Perempuan mengalami kolonialisasi ganda yaitu sebagai yang dikuasai

dan diskriminasi dalam budaya patriakal. Studi poskolonial diharapkan mampu untuk

mengadakan perubahan dan menyuarakan dari kaum minoritas dan terabaikan tersebut.

154

Hasil wawancara dengan, Ibu Hl, Minggu, 29 Desember 2013,pkl 10.00Wib.(Lokasi di GKJ SemarangBarat)

Page 47: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

61

Perempuan merupakan ciptaan Tuhan yang berbeda fisiknya dengan laki-laki.

Perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil,

melahirkan anak dan meyusui. Oleh karena itu, ketidakadilan gender menyentuh semua

dimensi kehidupan manusia, misalnya dalam nidang budaya, religious, ideologi politik, dan

ekologis. Perempuan Indonesia dari tahun ke tahun selalu menekankan hak dalam bidang

pendidikan, mengangkat derajatnya, emansipasi perempuan, dan keadilan serta lepas dari

cengkeraman budaya patriakal.

Budaya Jawa adalah pengejawantahan atau pancaran budi manusia Jawa yang

mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan dan

kebahagiaan lahir batin. Masyarakat Jawa menganut sistem kekeluargaan patriakal yang

berarti kekuasaan berada ditangan laki-laki. Laki-laki dilahirkan untuk berkuasa dan

perempuan untuk dikuasai. Bahkan responden Hl menyampaikan bahwa laki-laki diciptakan

nomor satu dan perempuan nomor dua.

Perempuan Jawa adalah seorang manusia yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan

oleh orang tua, bapak ibu, orang yang tinggal dipulau Jawa yang menonjolkan kesopanan.

Sikap perempuan Jawa dituntut untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika, tatakrama,

kehalusan budi, melayani suami dan anak-anak. Perempuan Jawa terikat serta terkekang

kebebasannya oleh budaya Patriakal yang melekat dalam tradisional sehingga mendapat

predikat sebagai konco wingking. Konon, peran perempuan Jawa pada masa lalu diyakini

hanya sebatas lingkup dapur (memasak), sumur (mencuci) dan kasur (melayani suami).

Seorang perempuan Jawa dalam hal hukum pembagian warisan hanya menerima setengah

dari yang diterima laki-laki.

Gereja Kristen Jawa merupakan gereja suku yang tumbuh dan berkembang di pulau

Jawa. Jemaat Gereja Kristen Jawa menganggap wajar jika laki-laki diberi peran yang lebih

tinggi dalam mengelola kehidupan berjemaat dibanding dengan perempuan. Gereja Kristen

Page 48: BAB II PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS ...

62

Jawa juga mengembangkan sistem pemerintahan gereja yang patriakal sehingga peran

perempuan masih sangat kurang.

Ada tiga perspektif perempuan Jawa tentang identitasnya yaitu Pertama, Perempuan

Jawa bermartabat sebagai ciptaan Tuhan artinya perempuan sebagai ciptaan Tuhan Allah

yang sejajar dengan laki-laki. Kedua, Perempuan Jawa yang beridentitas sebagai manusia

berbudaya Jawa. Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang dapat menjalani hidup

secara bebas, percaya akan kemampuan dirinya, mampu menampilkan dirinya pribadi yang

utuh, serta memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap tindakan yang merugikan

kaumnya dalam hidup berkeluarga, bernegara maupun bergereja. Dalam keseharian hidup

perempuan Jawa diharapkan untuk bisa berkomunikasi dan mengutamakan hubungan baik

sesuai dengan budaya Jawa. Ketiga, perempuan Jawa yang menjadi agen perubahan untuk

mengubah sistem patriakal. Pemahaman responden sangat baik bahwa dalam situasi seperti

ini dibutuhkan adanya cara pandang atau rekontruksi. Rekontruksi harus dilakukan oleh

semua pihak walau membutuhkan waktu yang lama. Perempuan Gereja Kristen Jawa sangat

menginginkan adanya perubahan cara pandang yang lebih positif terhadap identitas

perempuan sehingga mungkinkan perempuan menjadi seorang pemimpin gereja.