BAB II PEMBAHASAN · 2020. 10. 12. · Pasien berasal dari kata patient (bahasa inggris) yang...
Transcript of BAB II PEMBAHASAN · 2020. 10. 12. · Pasien berasal dari kata patient (bahasa inggris) yang...
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Dasar
Rumah sakit adalah suatu lembaga dalam mata rantai Sistem Kesehatan Nasional yang
mengembangkan tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat dan juga menyediakan
serta memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek maupun jangka yang terdiri atas tindakan
observasi, diagnostik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka dan untuk
yang melahirkan.1 Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian
integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan
paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif)
kepada masyarakat, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat
penelitian medik. Berdasarkan Pasal (1) Bab I Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit yang dimaksudkan dengan rumah sakit adalah:
Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
1 Hendrik, Op.Cit., h. 41.
Pasien berasal dari kata patient (bahasa inggris) yang memiliki pengertian sabar. Patient
diturunkan dari bahasa latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati
yang memiliki makna menderita. Pasien adalah orang sakit yang dirawat dokter dan tenaga
kesehatan lainnya di tempat praktek atau rumah sakit. Berdasarkan Pasal (1) Bab I Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang dimaksudkan dengan:
a) Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung di Rumah Sakit.
b) Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera
guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
Tidak semua pasien sakit dikategorikan sebagai bentuk gawat darurat, gawat darurat mempunyai
kriteria esuai dengan Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Kegawatdaruratan yang berbunyi:
a) Pelayanan Kegawatdaruratan harus memenuhi kriteria kegawatdaruratan.
b) Kriteria kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;
b. adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;
c. adanya penurunan kesadaran;
d. adanya gangguan hemodinamik; dan/atau
e. memerlukan tindakan segera.
c) Menteri dapat menetapkan kriteria gawat darurat selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Dalam melakukan pelayanan kesehatan pada keadaan gawat darurat rumah sakit wajib mengikuti
aturan yang telah ditetapkan, sesuai yang tertera pada Pasal 4, 5 dan 6 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan yang berbunyi:
a) Pelayanan Kegawatdaruratan meliputi penanganan kegawatdaruratan: a.
prafasilitas pelayanan kesehatan; b. intrafasilitas pelayanan kesehatan; dan c.
antarfasilitas pelayanan kesehatan.
b) Pelayanan Kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sistem penanggulangan gawat darurat terpadu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c) Penanganan kegawatdaruratan prafasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi : a. tindakan pertolongan;
dan/atau - 6 - b. evakuasi medik, terhadap Pasien.
d) Tindakan pertolongan terhadap Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan di tempat kejadian atau pada saat evakuasi medik.
e) Evakuasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan upaya
memindahkan Pasien dari lokasi kejadian ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai
kebutuhan medis Pasien dengan menggunakan ambulans transportasi atau
ambulans Gawat Darurat disertai dengan upaya menjaga resusitasi dan stabilisasi.
Dalam hal tidak terdapat ambulans transportasi atau ambulans Gawat Darurat,
evakuasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan alat
transportasi lain di sekitar lokasi kejadian dengan tetap melakukan upaya menjaga
resusitasi dan stabilisasi.
f) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan penanganan
Kegawatdaruratan intrafasilitas pelayanan kesehatan dan antarfasilitas pelayanan
kesehatan.
Sesuai Pasal 3 Bab II Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah
ditegaskan tujuan diselenggarakan pelayanan rumah sakit adalah:
a) Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
b) Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien masyarakat, lingkungan
rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
c) Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
d) Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia
rumah sakit, dan rumah sakit.
Dari keempat hal tersebut maka dapat diketahui betapa naifnya apabila banyak pelaku profesi
yang mencoba melarikan diri dari tanggungjawab profesinya ketika berhadapan dengan
kegagalan atau penolakan upaya pelayanan kesehatan.
Beberapa rumah sakit di Indonesia lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada
mengutamakan fungsi sosial. Karena didalam pelaksanaannya terdapat sejumlah uang yang dapat
diperoleh dari upaya pelayanan daripada harus menunggu klaim-klaim asuransi kesehatan yang
terutama ditangani pemerintah ternyata tidak dibayarkan sebagaimana mestinya, hal tersebut
berdampak langsung pada pasien miskin yang harus membutuhkan pertolongan medis apalagi
dalam keadaan gawat darurat. Hal ini menjadikan suatu kondisi yang menyakitkan, bahwa sistem
negeri ini dalam memindahkan ranah sosialisme kepada neoliberalisme telah menjadikan rumah
sakit sebagai pabrik kesehatan dengan produk gagal karena pelayanan yang tidak bermutu.
Padahal setiap rumah sakit memiliki hak dan kewajiban yang tidak saja secara moral harus
dilakukan tetapi diatur di dalam hukum yang mengikat.2 Rumah sakit juga wajib mementingakn
keselamatan pasien sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit yang berbunyi:
a. Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
b. Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah
dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
c. Rumah Sakit melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Menteri.
d. Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat
secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Tujuan-tujuan hukum itu akan tercapai jika masing-masing subjek hukum mendapatkan
hak-haknya secara wajar dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku.3 Dengan adanya hak dan kewajiban tersebut maka diharapkan rumah sakit dapat
memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien, bukan hanya pasien dari golongan atas saja
namun juga perlu diperhatikan pasien dengan keterbatasan finansial. Jangan sampai terjadi
tindakan malpraktik serta penolakan pasien miskin. Tentang pasien tidak mampu telah diatur
2 Ide Alexandra, Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta: Grasia., 2012, h.322.
3 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti., 2000. h. 53.
oleh Dinas Kesehatan di Jakarta dengan Petunjuk Pelaksana No.2785/1.842.5 tanggal 23 Oktober
1985.4 Rumah sakit meskipun merupakan badan usaha baik milik negara maupun swasta apabila
dilihat dari bentuk pelayanan dan jasa yang diberikan merupakan suatu bentuk pelayanan publik.
berdasarkan Doctrine of vicarious liability rumah sakit yang juga sebagai badan hukum dapat
dituntut dan dipertanggungjawabkan atas tindakan kelalaian yang dapat merugikan pasien. Oleh
sebab itu pelayanan yang diberikan harus memenuhi standar pelayanan publik yang baik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rumah sakit tidak boleh menolak pasien apabila dalam keadaan darurat, fasilitas
pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan
bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Pasal 32 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah tegas menyatakan
bahwa:
a) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien
dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
b) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Kewajiban memberikan pertolongan kepada pasien ini juga berlaku bagi tenaga kesehatan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan yang menyatakan bahwa:
a) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
wajib memberikan pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan
4 Ameln Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Lampung: Grafikatama Jaya., 1991. h.54.
dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa
dan pencegahan kecacatan.
b) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak
Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih
dahulu.
Larangan penolakan pasien juga berlaku bagi rumah sakit yang tidak bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan. Pasal 47 ayat (1) Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan menyebutkan bahwa:
Setiap peserta jaminan kesehatan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan
obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan.
Pasal 47 ayat (3) Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan
yang dijamin oleh BPJS Kesehatan terdiri atas:
a) Pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama.
b) Pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan
c) Pelayanan gawat darurat.
d) Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai.
e) Pelayanan ambulance.
f) Pelayanan skrining kesehatan.
g) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Dalam Lampiran huruf A angka 3 Bab IV Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat disebutkan bahwa:
Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik jaringan
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau bukan, wajib memberikan pelayanan
penanganan pertama kepada peserta Jamkesmas. Bagi fasilitas kesehatan yang bukan
jaringan Jamkesmas, pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial, fasilitas
kesehatan, selanjutnya fasilitas kesehatan tersebut dapat merujuk ke fasilitas kesehatan
jaringan Jamkesmas untuk penanganan lebih lanjut.
2. Teori Hukum
Rumah sakit yang menolak memberikan pelayanan medis terhadap pasien dalam keadaan
gawat darurat berarti secara sengaja melanggar Undang-Undang. Penolakan pasien oleh rumah
sakit memang tidak secara terang-terangan, namun dengan berbagai alasan rumah sakit menolak
pasien miskin. Penolakan medis tersebut jelas melanggar Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi:
Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta
dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Dalam pasal tersebut tertulis dengan jelas menyebutkan bahwa dalam kondisi gawat darurat
rumah sakit dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Seperti kasus yang dialami
ibu Reny Wahyuni yang sedang dalam kondisi gawat darurat karena akan melahirkan dan butuh
penanganan medis secepatnya. Oleh karena itu, seharusnya fasilitas pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk tindakan medis tanpa
memandang sikap diskriminasi terhadap pasien miskin. Apabila rumah sakit melakukan
penolakan pelayanan medis maka termasuk dalam kategori melakukan perbuatan melawan
hukum. Dalam menyikapi terjadinya penolakan pelayanan medis terhadap pasien miskin,
menunjukan bahwa pemerintah di dalam melakukan pengawasan dan pembinaan unit pelaksana
teknis pelayanan kesehatan kurang optimal sehingga menyebabkan masih terjadi penolakan
pasien miskin terhadap perawatan medis yang dilakukan oleh rumah sakit dengan berbagai
alasan, seperti yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan bahwa:
Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina
dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat.
Dalam kasus yang dialami oleh Reny Wahyuni dapat di kaitkan dengan prinsip praduga untuk
selalu bertanggung jawab karena prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia
tidak bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena
ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat
membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindarkan terjadinya kerugian.
Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Hal ini tampak beban
pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum
praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Rumah sakit sebagai tergugat akan memiliki
kewajiban untuk membuktikan jika ia tidak bersalah dengan menghadirkan bukti-bukti bahwa
dirinya tidak bersalah.
3. Konsep Hukum
Perikatan adalah suatu hubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, dimana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya itu
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan
kreditur (si berpiutang), sedangkan pihak lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu
dinamakan debitur (si berhutang).5 Definisi perikatan menurut Subekti: “Suatu perikatan adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu.” Transaksi terapeutik merupakan perjanjian antara pasien dengan rumah
sakit, transaksi ini berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak yang melahirkan suatu hak
dan kewajiban. Transaksi terapeutik didalam kasus ini memiliki ciri khusus yaitu objek yang
diperjanjikan merupakan sebuah upaya untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau transaksi
terapeutik adalah transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi
pasien yang dilakukan oleh dokter. Jadi menurut hukum objek perjanjian ini bukan kesembuhan
pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.6
Dalam transaksi terapeutik memiliki pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan
atau perjanjian, yaitu rumah sakit/ dokter sebagai pihak yang memberikan atau melaksanakan
pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis. Dalam perjanjian
terapeutik memiliki kekhususan yaitu cara pengadaan perjanjian, cara yang dimaksud adalah
5 Dadang Iskandar,” Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak,” 1 Juli 2017,
http://www.legalakses.com/download/Hukum%20Perjanjian/Perikatan, dikunjungi pada 15 Agustus 2019 pukul
16.00. 6 Nasution Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Yogyakarta: Rineka Cipta., 2005, h.11.
dengan datangnya pasien kerumah sakit tempat dokter bekerja , dengan tujuan memeriksakan
dirinya atau untuk berobat, telah dianggap adanya suatu perjanjian terapeutik.7
Apabila terjadi penolakan pasien dalam keadaan gawat darurat oleh rumah sakit, maka rumah
sakit wajib memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan Pasal 46 ayat (1) bab IX Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Disini peran dari pemerintah juga dituntut
untuk sigap dalam memberikan pembinaan bahkan sanksi yang tegas tanpa sikap diskriminasi
terhadap rumah sakit yang diduga telah melakukan tindakan penolakan pasien miskin dalam
kondisi gawat darurat sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, terkait dengan apapun alasan yang diberikan pihak rumah sakit. Dalam kasus
penolakan pasien dalam keadaan gawat darurat oleh rumah sakit termasuk dalam tindakan
malpraktek perdata, karena telah menyebabkan luka ataupun mati terhadap seseorang yang
diduga disebabkan oleh kelalaian, kesalahan dan pelanggaran hukum oleh pihak rumah sakit.
Pertanggungjawaban malpraktek tidak hanya disebabkan adanya perjanjian atau perikatan antara
pasien dan rumah sakit, tetapi juga karena tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang
seharusnya dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau standar dalam
melaksanankan pelayanan medis. Tindakan malpraktek juga termasuk dalam Pasal 1365, Pasal
1366, dan Pasal 1367 KUHPerdata, karena dalam ketiga pasal didalamnya telah mengatur unsur
kesalahan dan kelalaian. Mengenai hilangnya nyawa seseorang baik karena perbuatan sengaja
atau kerena kelalaian adalah diatur dalam Pasal 1370 KUHPerdata. Apabila kematian pasien
terjadi karena kesengajaan dari pihak Rumah sakit dalam melakukan upaya pelayanan medis,
maka dalam hal ini Rumah sakit akan bertanggung jawab secara hukum untuk memberikan ganti
rugi kepada pasien tersebut.
7 Ibid., h. 12.
3.1 Hak dan Kewajiban Pasien
Hubungan pasien dan rumah sakit adalah hubungan antara subyek hukum dan subyek
hukum. Diatur oleh kaidah-kaidah Hukum Perdata dan memenuhi hubungan yang mengatur
tentang hak dan kewajiban.8 Setiap hubungan hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya
disatu pihak hak, sedangkan dipihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya
tidak ada kewajiban tanpa hak.9 Hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah:
a) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis.
b) Meminta pendapat dokter.
c) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
d) Menolak tindakan medis.
e) Mendapatkan isi rekam medis.
Kewajiban pasien sesuai yang diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran adalah:
a. Memberikan informasi selengkap-lengkapnya dan jujur tentang masalah
kesehatan yang dialami.
b. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter.
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan.
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
8 Wila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung: Mandar Maju., 2001. h 10.
9 Komalawati Veronica, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., 1989, h.95.
3.2 Hak dan Kewajiban Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan mempunyai hak dan kewajiban
dalam hubungan hukum perjanjian terapeutik dengan pasien sebagaimana diatur dalalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit. Adapun hak didalam rumah sakit
menurut Pasal 30 ayat (1) Bab VIII Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit adalah:
a) Menentukan jumlah, jenis dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan
kualifikasi didalam rumah sakit.
b) Melakukan kerja sama dengan pihak ketiga guna mengembangkan pelayanan
didalam rumah sakit.
c) Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
d) Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di
masyarakat.
e) Menerima imbalan atas jasa pelayanan serta menentukan renumerasi, insentif dan
penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewajiban dari rumah sakit menurut Pasal 29 ayat (1) Bab VIII Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah:
a) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada
masyarakat.
b) Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
Rumah Sakit.
c) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya.
d) Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai
dengan kemampuan pelayanannya.
e) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin.
f) Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan
pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan
gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi
misi kemanusiaan.
g) Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
h) Menyelenggarakan rekam medis.
i) Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah,
parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak,
lanjut usia.
j) Melaksanakan sistem rujukan.
k) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika
serta peraturan perundang-undangan.
l) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban
pasien.
m) Menghormati dan melindungi hak-hak pasien.
n) Melaksanakan etika Rumah Sakit.
o) Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana.
p) Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional
maupun nasional.
q) Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
r) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws).
s) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit
dalam melaksanakan tugas.
t) Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
4 . Aturan Terkait
4.1 Aturan Tentang Penanganan Gawat Darurat Pada Rumah Sakit
Dalam kondisi gawat darurat tidak dibenarkan apabila pihak rumah sakit menunda
pelayanan kesehatan dengan alasan uang muka yang belum dibayarkan, karena pada dasarnya
rumah sakit memiliki fungsi sosial yang wajib dilaksanakan dan tidak bisa diabaikan.
Berdasarkan Pasal 29 Nomor 1 huruf C dan F Bab VIII Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa setiap rumah sakit memiliki kewajiban untuk:
a) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya.
b) Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan
pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan
gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi
misi kemanusiaan.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Nomor 3 huruf A Bab IV Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
40 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang
menyatakan:
Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik jaringan
Jamkesmas atau bukan, wajib memberikan pelayanan penanganan pertama kepada
peserta Jamkesmas. Bagi fasilitas kesehatan yang bukan jaringan Jamkesmas pelayanan
tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial fasilitas kesehatan, selanjutnya fasilitas
kesehatan tersebut dapat merujuk ke fasilitas kesehatan jaringan fasilitas kesehatan
Jamkesmas untuk penanganan lebih lanjut.
4.2 Aturan Tentang Penanganan Peserta BPJS Kesehatan Dalam Kondisi Gawat
Darurat
Dalam kondisi gawat darurat setiap pasien berhak mendapat pelayanan medis di rumah
sakit seluruh Indonesia, begitu juga dengan peserta BPJS Kesehatan yang sedang sedang sakit
dan membutuhkan penanganan kegawat daruratan bisa mendapatkan pelayanan medis di seluruh
rumah sakit Indonesia meskipun rumah sakit tersebut tidak bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan. Untuk biaya atas pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh rumah sakit yang
tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dapat ditagihkan langsung kepada pihak BPJS
Kesehatan. Rumah sakit tidak diperkenankan untuk menarik biaya kepada pasien tersebut.
Adapun Landasan hukum yang digunakan adalah:
a) Pasal (25) poin b, Pasal (33), dan Pasal (40) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun
2013 tentang Jaminan Kesehatan.
b) Pasal (29) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Pada JKN.
Dalam kondisi gawat darurat dan lekas membutuhkan pertolongan, pasien dapat mengikuti
prosedur yang berlaku:
a) Peserta dapat dilayani di Faskes tingkat pertama maupun Faskes tingkat lanjutan
(Rumah Sakit) yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan.
b) Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan.
c) Peserta yang mendapat pelayanan di Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke Fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi
dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.
d) Pengecekan validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam
kriteria gawat darurat dilakukan oleh Fasilitas kesehatan.
e) Fasilitas kesehatan tidak diperkenankan menarik biaya.
Prosedur pelayanan gawat darurat di faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan:
a) Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh Fasilitas kesehatan baik yang
bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan dengan BPJS Kesehatan,
wajib memberikan pelayanan kegawatdaruratan sesuai indikasi medis.
b) Pelayanan kegawatdaruratan di Faskes tingkat pertama dapat diberikan pada
Faskes tempat peserta terdaftar maupun bukan tempat peserta terdaftar.
c) Pelayanan kegawatdaruratan di Faskes tingkat pertama maupun lanjutan
mengikuti prosedur pelayanan yang berlaku.
Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Faskes Tingkat pertama dan Faskes Rujukan yang
tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan:
a) Pada kasus gawat darurat peserta BPJS dapat langsung mendapatkan pelayanan di
Faskes terdekat meskipun Faskes tersebut tidak bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan.
b) Pelayanan gawat darurat di Faskes rujukan dapat langsung diberikan tanpa surat
rujukan dari Faskes tingkat pertama.
c) Peserta melaporkan status kepesertaan BPJS Kesehatan miliknya.
d) Faskes memastikan status kepesertaan BPJS Kesehatan milik pasien.
e) Apabila kondisi kegawatdaruratan peserta telah teratasi dan dapat dipindahkan,
maka harus segera dirujuk ke Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan.
f) Apabila kondisi kegawatdaruratan pasien sudah teratasi dan pasien dalam kondisi
dapat dipindahkan, tetapi pasien tidak bersedia untuk dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka biaya pelayanan
selanjutnya tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Faskes harus menjelaskan hal ini
kepada peserta dan peserta harus menandatangani surat pernyataan bersedia
menanggung biaya pelayanan selanjutnya.
g) Penanganan kondisi kegawatdaruratan di Faskes yang tidak bekerjasama
ditanggung sebagai pelayanan rawat jalan kecuali kondisi tertentu yang
mengharuskan pasien dirawat inap.
h) Bagi pasien dengan kondisi kegawatdaruratan sudah teratasi serta dapat
dipindahkan akan tetapi masih memerlukan perawatan lanjutan, maka pasien
dapat dirujuk ke Faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan menggunakan
ambulan yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.10
5.3 Aturan Tentang Penanganan Pasien Dalam Kondisi Gawat Darurat
Untuk penanganan pasien dalam kondisi gawat darurat maka dibentuklah Peraturan
Menteri Kesehatan. Penanganan tersebut sesuai dengan Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal
21 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu yang berisikan:
10
“PanduanBPJS.com Jembatan Menuju Kesejahteraan Rakyat,”2017-2019,
https://www.panduanbpjs.com/prosedur-pelayanan-kesehatan-gawat-darurat-bpjs-kesehatan, dikunjungi pada
tanggal 14 Agustus 2019 pukul 22.00.
a) Penanganan prafasilitas pelayanan kesehatan merupakan tindakan pertolongan
terhadap Korban/Pasien Gawat Darurat yang cepat dan tepat di tempat kejadian
sebelum mendapatkan tindakan di fasilitas pelayanan kesehatan.
b) Tindakan pertolongan terhadap Korban/Pasien Gawat Darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan dari PSC.
c) Tindakan pertolongan terhadap Korban/Pasien Gawat Darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kecepatan penanganan
Korban/Pasien Gawat Darurat.
d) Penanganan intrafasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf b merupakan Pelayanan Gawat Darurat yang diberikan kepada
pasien di dalam fasilitas pelayanan kesehatan sesuai standar Pelayanan Gawat
Darurat.
4.3 Bagan Penanganan Pasien Gawat Darurat
11
Keterangan bagan:
a) Pasien datang ke rumah sakit.
b) Pasien umum atau pasien peserta BPJS Kesehatan melakukan registrasi. kepada petugas
pendaftaran.
c) Pasien diperiksa dan diberikan penanganan medis.
d) Setelah keluar hasil diagnosa pasien di berlakukan rawat inap atau rawat jalan.
e) Apabila pasien diberlakukan rawat jalan maka akan diberikan obat yang bisa diambil di
aoptek.
f) Pasien melunasi biaya administrasi.
g) Pasien dipersilahkan pulang.
B. ANALISIS
11
Rumah sakit umum sufina aziz”Alur dan Persyaratan Layanan” http://www.sufinaaziz.com/en/alur-persyaratan-
pelayanan/, dikunjungi pada tanggal 15 Agustus 2019 pukul 17.15.
1. HUBUNGAN HUKUM PENOLAKAN PASIEN MISKIN PADA KEADAAN
GAWAT DARURAT OLEH RUMAH SAKIT
Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek hukum atau
lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban dipihak
yang lain.12
Hukum mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi
hubungan hukum terdiri atas ikatan-ikatan antara individu dengan individu dan antara individu
dengan masyarakat dan seterusnya. Dengan kata lain hubungan hukum adalah hubungan yang
diatur oleh hukum. Adapun hubungan yang tidak diatur oleh hukum bukan merupakan hubungan
hukum. Pertunangan dan lamaran misalnya bukan merupakan hubungan hukum karena tidak
diatur oleh hukum.
Hubungan hukum dapat terjadi diantara sesama subyek hukum dan antara subyek hukum
dengan barang. Hubungan antara sesama subyek hukum dapat terjadi antara seseorang dengan
seorang lainnya, antara seseorang dengan suatu badan hukum, dan anatara suatu badan hukum
dengan badan hukum lainnya. Sedangkan hubungan antara subyek hukum dengan barang berupa
hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu atas barang tersebut baik barang berwujud dan
barang bergerak atau tidak bergerak.13
Dalam menetapkan hubungan hukum apakah bersifat
publik atau privat yang menjadi indikator bukanlah subyek hukum yang melakukan hubungan
hukum itu, melainkan hakikat hubungan itu atau hakikat transaksi yang terjadi (the nature
transaction). Apabila hakikat hubungan itu bersifat privat, hubungan itu dikuasai oleh hukum
12
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika., 2006. h. 269. 12
Ameln Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Lampung: Grafikatama Jaya., 1991. h.54 13
Peter Marzuki, Op.Cit, h.254.
privat. Apabila dalam hubungan itu timbul sengketa, siapapun yang menjadi pihak dalam
sengketa itu, sengketa itu berada dalam kompetensi peradilan perdata.14
Pasien memiliki suatu hak dan kewajiban sama halnya dengan rumah sakit sesuai yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dalam kaitannya
dengan permasalahan ini rumah sakit memiliki kewajiban sebagaimana di atur dalam Pasal 29
ayat (1) Bab VIII Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang berbunyi:
a) Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
Rumah Sakit.
b) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya.
c) Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan
pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan
gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi
misi kemanusiaan.
Adapun hak pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran adalah:
Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
Dari hal ini menunjukan bahwasannya terdapat sebuah perikatan (Verbintenis) yang lahir
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila ditemukan perbuatan melawan hukum,
14 Ibid., h.256.
dimana rumah sakit tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan, serta tidak memberikan hak pasien di dalam kondisi gawat darurat maka
akan terkena sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dilihat
dari unsur perdata sesuai dengan pasal 1365 KUH Perdata yaitu:
Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
Maka dapat terdapat kaitannya dengan permasalahan rumah sakit yang menolak pasien dalam
kondisi gawat darurat, perbuatan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum. Adapun unsur
perbuatan melawan hukum adalah:
a) Ada perbuatan melawan hukum.
b) Ada kesalahan.
c) Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan.
d) Ada kerugian.
Dalam kaitannya dengan khasus penolakan pasien pada keadaan gawat darurat oleh rumah sakit,
rumah sakit terbukti telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum karena:
a) Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun2009 tentang Rumah Sakit,
telah dijelaskan tentang larangan menolak pasien dalam kondisi gawat darurat,
namun dalam contoh khasus ini, rumah sakit melakukan penolakan kepada pasien.
b) Dengan adanya penolakan pasien dalam kondisi gawat darurat, rumah sakit
dianggap lalai akan tugas dan tanggung jawabnya sehinggan memenuhi unsur
kesalahan.
c) Dari perbuatan tersebut maka akan berakibat pada pasien yang mengalami
kerugian.
d) Kerugian yang dimaksud berupa inmateriil.
Apabila ditemukan pelanggaran atau penyelewengan tentang kewajiban yang sebelumnya telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, maka disinilah akan timbul hubungan hukum. Dengan timbulnya hubungan
hukum apabila pasien mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan dipengadilan. Sesuai
dengan Pasal 32 Huruf Q Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
berbunyi:
Setiap pasien mempunyai hak: menggugat dan/ atau menuntut Rumah Sakit apabila
Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata ataupun pidana.
Secara perdata Reny Wahyuni dapat mengajukan gugatan ke pengadilan atau melalui badan
penyelesaian sengketa konsumen terhadap rumah sakit yang akibat dari tindakannya telah
merugikkan pasien. Dalam hal ini rumah sakit tersebut akan terkena akibat hukum yang
berdampak pada pertanggungjawaban bahkan pemberian sanksi sesuai peratutan perundang-
undangan yang berlaku karena terbukti melakukan pelanggaran terkait peraturan tersebut. Tujuan
diberlakukannya pertanggungjawaban dan sanksi hukum agar rumah sakit lebih memperhatikan
dan menjalankan tugas dan fungsinya sesuai yang diatur dalam Undang-Undang agar penolakan
pasien miskin pada keadaan gawat darurat tidak lagi terjadi.
2. AKIBAT HUKUM PENOLAKAN PASIEN DALAM KONDISI GAWAT
DARURAT SERTA BENTUK TANGGUNG JAWAB
Akibat dari penolakan pasien oleh rumah sakit yang dialami oleh Reny Wahyuni
menyebabkan meninggalnya bayi yang masih terdapat dikandungannya. Meskipun Reny
Wahyuni berada dalam kondisi gawat darurat namun rumah sakit menolaknya dengan dalih
kamar penuh. Disinilah timbul akibat hukum karena pihak dari rumah sakit telah melanggar
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, perbuatan tersebut telah
bersinggungan dengan pengembanan kewajiban rumah sakit yang telah diatur dalam Undang-
Undang tersebut.
Berdasarkan fakta dari permasalahan tersebut maka rumah sakit yang telah terbukti melanggar
peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) Bab VIII
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang berbunyi:
Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
admisnistratif berupa:
a. Teguran.
b. Teguran tertulis.
c. Denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.
Sanksi bagi rumah sakit yang terbukti melakukan penolakan pasien dalam kondisi gawat darurat
juga terdapat pada Pasal 190 ayat (1) dan (2) Bab XX Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang berbunyi:
a) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan
sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam
keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal
85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
b) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Sudah begitu jelas didalam peraturan perundang-undangan bahwa terdapat larangan penolakan
pasien dalam kondisi gawat darurat beserta sanksi yang diterapkan, diharapkan seluruh rumah
sakit di Indonesia agar dapat mematuhi dan melaksanakan sesuai yang diamanatkan dalam
Undang-Undang.
Dalam hal penolakan pasien miskin pada keadaan gawat darurat termasuk kategori
kelalaian medik, karena memberi dampak pada luka ataupun mati terhadap seseorang yang
diduga disebabkan oleh kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit. Tenaga kesehatan yang
melalaikan kewajibannya, berarti tidak melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan.
Seharusnya tenaga kesehatan memberikan pertolongan pertama pada pasien dalam keadaan
gawat darurat walaupun pasien tersebut miskin, bukan malah menolak pasien atau pun meminta
uang muka kepada pasien tersebut. Hal ini menjadikan tenaga kesehatan melalaikan
kewajibannya sebagai tenaga kesehatan yang terdapat pada Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pertanggungjawaban malpraktek
medis tidak hanya disebabkan adanya perjanjian antara pasien dan rumah sakit ataupun
wansprestasi, tetapi juga karena tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang seharusnya
dilakukan menurut Undang-Undang yang berlaku ataupun standar dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan. Maka bentuk tanggung jawab dalam kasus penolakan pasien miskin pada
keadaan gawat darurat oleh tenaga kesehatan di rumah sakit adalah tanggung jawab dengan
unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUH Perdata
yaitu:
Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Rumah Sakit, yang mengatur bahwa
rumah sakit akan bertanggung jawab secara hukum terhadap kelalaian tenaga kesehatan, maka
tindakan malpaktek medik akan menjadi tanggung jawab pihak rumah sakit, dan bukan menjadi
tanggungjawab tenaga kesehatan. Pihak rumah sakit sebagai pengelola pelayanan kesehatan
masyarakat, untuk melindungi pasien dan masyarakat serta melindungi sumber daya di kawasan
rumah sakit maka sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat (1) bab IX Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang berbunyi:
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
Maka segala bentuk malpraktek medik yang terjadi dikawasan rumah sakit, akan menjadi
tanggungjawab dari rumah sakit itu sendiri terhadap proses hukum yang berlaku di Indonesia.
Rumah sakit sebagai badan hukum dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan atas tindakan
kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit yang merugikan pasien, berdasarkan doktrin
pembenaran korporasi dibebani pertanggungjawaban sebagai berikut:
a) Doctrine of vicarious liability. Ajaran ini diambil dari hukum perdata dalam
konteks pertanggungjawaban melawan hukum yang diterapkan pada hukum
pidana. Ajaran ini disebut pula sebagai ajaran pertanggungjawaban pengganti.
Seorang majikan bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan
oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. Hal ini
memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-
perbuatan melawan hukum dari mereka itu menggugat majikannya agar
membayar ganti rugi.
b) Doktrin respondeat superior Di dalam doktrin ini mengandung makna bahwa
majikan bertanggung atas tindakan-tindakan, pelayanan-pelayan yang menjadi
tanggung jawabnya, termasuk tindakan -tindakan yang menyebabkan kerugian
bagi orang lain. Dengan adanya doktrin respondeat superior, merupakan jaminan
bahwa ganti rugi diberikan/dibayarkan kepada pasien yang menderita kerugian
akibat kelalaian tenaga kesehatan. Selain itu dengan doktrin ini, secara hukum dan
keadilan, menghendaki akan sikap kehati-hatian dari para tenaga kesehatan.
Selain rumah sakit bentuk pertanggungjawaban pihak BPJS Kesehatan ketika pihak
rumah sakit menolak peserta BPJS diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu dimana pihak BPJS Kesehatan akan mengadakan
kordinasi dengan pihak rumah sakit terkait penolakan pasien dalam gawat darurat guna
menanyakan alasan penolakan dari pihak rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan.
Kemudian apabila setelah dilakukan kordinasi terkait masalah tersebut pihak rumah sakit
tidak juga memberikan pelayanan kepada pasien tersebut, maka pihak BPJS Kesehatan akan
memberikan fasilitas kepada peserta BPJS Kesehatan dengan melakukan sistem rujukan terhadap
rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan juga menyediakan
sarana dan prasarana dalam proses rujukan, serta menanggung segala biaya administrasi kepada
pasien yang sedang dalam kondisi gawat darurat