BAB II MASALAH LIMBAH B3 DAN KESEPAKATAN KONVENSI …eprints.umm.ac.id/56004/3/BAB II.pdfKasus...

17
28 BAB II MASALAH LIMBAH B3 DAN KESEPAKATAN KONVENSI BASEL TERKAIT PERDAGANGAN LIMBAH B3 Pada bab ini, penulis akan menjelaskan Masalah Limbah B3 dan Kesepakatan Konvensi Basel terkait perdagangan limbah. Dimana pada bab ini, penulis akan mepaparkan Masalah dan dampak dari Limbah B3, Konvensi Basel sebagai rezim perdagangan Limbah B3, Serta Konsekuensi terhadap negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel. Posisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dilalui jalur lalu lintas pelayaran dunia membuat Indonesia rentan akan ancaman perpindahan Limbah B3. Sadar akan hal tersebut, untuk mengantisipasi perpindahan Limbah B3 secara ilegal masuk ke dalam negeri, Indonesia meratifikasi Konvensi Basel untuk melindungi Indonesia dari perpindahan Limbah B3. 2.1 Masalah dan Dampak dari Limbah B3 Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) merupakan limbah yang pengolahannya harus diperhatikan secara khusus, bukan hanya dampaknya yang dapat membahayakan kesehatan manusia namun juga dampak yang diberikan pada lingkungan. Konsentrasi dan jumlah dari Limbah B3 dapat mencemari lingkungan serta mengancam keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Limbah B3 perlu diolah dengan hati-hati karena sifat Limbah B3 yang mudah terbakar, korosif, reaktif, mudah meledak, dapat menyebabkan infeksi serta beracun. Limbah B3 dapat mencemari udara, air tanah, air permukaan, tanah dan dari media lainnya. Limbah

Transcript of BAB II MASALAH LIMBAH B3 DAN KESEPAKATAN KONVENSI …eprints.umm.ac.id/56004/3/BAB II.pdfKasus...

28

BAB II

MASALAH LIMBAH B3 DAN KESEPAKATAN KONVENSI

BASEL TERKAIT PERDAGANGAN LIMBAH B3

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan Masalah Limbah B3 dan

Kesepakatan Konvensi Basel terkait perdagangan limbah. Dimana pada bab ini,

penulis akan mepaparkan Masalah dan dampak dari Limbah B3, Konvensi Basel

sebagai rezim perdagangan Limbah B3, Serta Konsekuensi terhadap negara yang

telah meratifikasi Konvensi Basel. Posisi Indonesia yang merupakan negara

kepulauan yang dilalui jalur lalu lintas pelayaran dunia membuat Indonesia rentan

akan ancaman perpindahan Limbah B3. Sadar akan hal tersebut, untuk

mengantisipasi perpindahan Limbah B3 secara ilegal masuk ke dalam negeri,

Indonesia meratifikasi Konvensi Basel untuk melindungi Indonesia dari

perpindahan Limbah B3.

2.1 Masalah dan Dampak dari Limbah B3

Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) merupakan limbah yang

pengolahannya harus diperhatikan secara khusus, bukan hanya dampaknya yang

dapat membahayakan kesehatan manusia namun juga dampak yang diberikan pada

lingkungan. Konsentrasi dan jumlah dari Limbah B3 dapat mencemari lingkungan

serta mengancam keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Limbah B3 perlu diolah

dengan hati-hati karena sifat Limbah B3 yang mudah terbakar, korosif, reaktif,

mudah meledak, dapat menyebabkan infeksi serta beracun. Limbah B3 dapat

mencemari udara, air tanah, air permukaan, tanah dan dari media lainnya. Limbah

29

B3 juga dapat masuk dalam tubuh manusia. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh

Limbah B3 apabila terkontaminasi dan masuk kedalam tubuh manusia sangatlah

beragam, diantaranya yaitu gangguan atau kerusakan jaringan tubuh dan jaringan

syaraf yang berujung pada kecacatan, disfungsi organ tubuh hingga kematian.24

The Resource Conservation and Recovery Act (RCRA) mendefinisikan

limbah berbahaya zat limbah gas, padat, cair, lumpur atau wadah yang karena

kandungan, konsentrasi atau sifat kimia dapat menyebabkan ancaman yang

signifikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan jika tidak dikelola dengan

semestinya.25 Terdapat berbagai masalah dalam pengolahan Limbah B3 khususnya

bagi negara berkembang. Dibandingkan negara maju yang mempunyai teknologi

yang maju dalam pengolahan Limbah, negara berkembang tidak atau belum

mampu memiliki teknologi maju untuk pengolahan limbah berbahaya dengan

memadai dikarenakan kendala keuangan, yang menyebabkan negara berkembang

tidak mampu untuk memenuhi teknologi yang diperlukannya dan juga banyak

negara yang bergantung kepada donor untuk akusisi teknologi dari negara maju.26

Limbah B3 baik padat, cair, maupun gas mempunyai potensi merusak bagi

kesehatan manusia serta lingkungan akibat sifat-sifat yang dimiliki senyawa

tersebut. Pembuangan limbah pada lingkungan akan menimbulkan masalah yang

merata dan menyebar pada lingkungan luas. Limbah gas akan terbawa angin dari

satu tempat ketempat lain. Limbah cair atau padat yang dibuang kesungai akan

24 Teddy Prasetiawan, Op.Cit., Hal.142 25 “Hazardous Waste”, diakses pada http://www.pollutionissues.com/Fo-Hi/Hazardous-Waste.html

(21/12/2017, 11.54 WIB) 26 Kahn Daniel, “Manajemen Limbah berbahaya” diakses pada https://www.eolss.net/Sample-

Chapters/C09/E1-08-03-00.pdf (21/12/2017, 12.14 WIB)

30

mengkontaminasi sungai maupun laut yang menyebakan pencemaran air. Limbah

yang terbuang kelingkungan akan berdampak pada kesehatan. Hal ini dapat

berdampak langsung dari sumber ke manusia, misalnya meminum air yang telah

terkontaminasi atau melalui rantai makanan seperti memakan ikan yang telah

menggandakan (biological magnification) pencemaran karena memakan mangsa

yang tercemar.27

Terdapat beberapa kasus di dunia yang terjadi akibat dari kurangnya

penanganan terhadap Limbah B3 diantaranya:

1. Kasus Love Canal, Amerika Serikat28

Love Canal merupakan suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat

pembuangan limbah industri dan limbah militer yang terletak dekat Niagara

Falls, New York. Kasus ini bermula dengan adanya keluhan dari masyarakat

sekitar, dimana masyarakat sekitar secara misterius menderi berbagai macam

penyakit seperti kanker, epilepsi, hiperaktivitas, penyakit kandung kemih,

kelahiran cacat dan berbagai penyakit lainnya.

2. Kasus pembuangan Limbah di Koko, Nigeria29

Kasus ini terjadi pada bulan Agustus 1987 serta Mei 1988, dimana terdapat

5 kapal dari beberapa negara di Eropa serta Amerika serikat yang mengangkut

3800 ton limbah menuju Koko, Nigeria. Pengangkutan limbah tersebut terjadi

27 “Dampak Limbah B3 terhadap kesehatan”, diakses pada https://id.linkedin.com/pulse/dampak-

Limbah-b3-terhadap-kesehatan-hsp-academy-training-center (22/12/2017, 10.57 WIB) 28 Ethan Frome, “Kejahatan Ekonomi dalam Prngelolaan Limbah B3 serta pengaruhnya terhadap

pelestarian Lingkungan” diakses pada https://media.neliti.com/media/publications/25228-ID-

kejahatan-ekonomi-dalam-pengelolaan-Limbah-bahan-berbahaya-dan-beracun-serta-pen.pdf

(07/12/2018,12.51 WIB), Hal.113 29 Ibid

31

karena adanya perjanjian antara pengusaha Italia dengan seorang warga Nigeria.

Dimana warga Nigeria tersebut bersedia menyiapkan sebidang tanah untuk

dijadikan tempat pembuangan limbah dengan imbalan $100 setiap bulannya.

Karena hal ini, banyak penduduk setempat yang menderita berbagai penyakit mulai

melapor pada pemerintah Nigeria untuk segera dilakukan pemeriksaan. Hasil dari

pemeriksaan tersebut terdapat limbah-limbah yang diberikan label palsu serta

beberapa drum yang berisi limbah berbahaya yang bocor.

3. Kasus Minamata, Jepang30

Kasus ini terjadi pada tahun 1950-an,dimana setidaknya terdapat 46 orang

meninggal dunia serta 3000 warga terpapar limbah merkuri yang telah dibuang

sejak tahun 1932 oleh sebuah perusahaan pupuk diperairan teluk Minamata, Jepang.

Akibat pembuangan tersebut merkuri bertransformasi menjadi gugus metil dan

mengendap diperairan serta bersifat bioakumulatif ditubuh ikan dan kerrang yang

telah dikonsumsi oleh para korban.

Sejak tahun 1980, Indonesia juga telah menjadi negara yang ditargetkan

menjadi tempat pembuangan Limbah B3 maupun Non-B3. Terdapat beberapa

pengajuan dari negara lain serta kasus yang telah terjadi di Indonesia terkait

pembuangan limbah diantaranya yaitu pengajuan negara luar agar Tanjung Ucang

yang terletak di Pulau Batam agar dijadikan sebagai daerah pengolahan limbah

yang mengandung hidrokarbon dari hasil pembersihan tanker, Pulau Jangkar yang

terletak di Pronvisi Riau diajukan oleh pembisnis agar dijadikan tempat

pembersihan dan perbaikan Kapal tanker dan juga dijadikan tempat pembuangan

30 Teddy Prasetiawan, Op.Cit., Hal.142

32

lumpur yang dihasilkan dari pembersihan Kapal tenker selain itu juga ditemukan

lumpur dari pembersihan kapal tanker diteritorial Bintan dan Kepulauan Batam

yang hingga saat ini belum diketahui pihak yang membuangnya.31

Hingga saat ini, kasus pembuangan Limbah B3 masih marak terjadi di

dunia, terutama dilakukan oleh negara-negara maju ke negara berkembang.

Berkembangnya praktek perdagangan limbah antar negara ini disebabkan oleh

beberapa hal diantaranya yaitu:32

1. Negara-negara maju telah menetapkan serta menerapkan berbagai

peraturan untuk mencegah pencemaran lingkungan secara ketat.

2. Akibat dari standar lingkungan yang ketat dinegara maju, biaya

pengolahan limbah semakin tinggi, sehingga para pengusaha yang

menghasilkan limbah lebih memilih membuang atau mengekspor

limbah ke negara berkembang karena biaya pengiriman limbah lebih

murah dibandingkan biaya pengelolaan limbah dinegaranya sendiri.

3. Keuntungan devisa negara semakin bertambah dikarenakan keuntungan

dari kegiatan ekspor limbah tersebut. (ekspor limbah yang dilakukan

Australia mengahasilkan pemasukan devisa negara sebesar 120.721 juta

dolar Australia per setiap 10 Ton Limbah).

4. Meningkatkan program daur ulang atau 3 R (Reuse, Recycling and

Recovery).

31 Danar Anindito, Op.Cit., Hal.21 32 Ethan Frome Op,Cit., Hal.111

33

5. Negara pengekspor limbah tidak memiliki fasilitas pengolahan Limbah

yang memadai sehingga berusaha dalam mengekspor Limbah ke negara

lain, atau negara pengekspor tidak memiliki lahan yang cukup sebagai

tempat pembuangan akhir Limbah dinegaranya.

2.2 Konvensi Basel sebagai Rezim yang Mengatur Perpindahan Limbah B3

Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of

Hazardous Waste and Their Disposal atau yang sering disebut sebagai Konvensi

Basel merupakan perjanjian internasional untuk mengurangi perpindahan limbah

berbahaya antar negara, yang secara khusus diberlakukan untuk mencegah

pengiriman limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Pengelolaan

limbah berbahaya telah menjadi fokus lingkungan internasional sejak 1980-an dan

menjadi salah satu dari tiga prioritas utama dalam agenda United Nation

Enviroment Programme’s (UNEP) pada tahun 1981. Konvensi Basel diadopsi pada

tahun 1989 sebagai tanggapan atas kecaman masyarakat atas temuan adanya import

limbah beracun di Afrika dan beberapa negara berkembang lainnya pada tahun

1980. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an masyarakat industrialisasi di negara

maju cenderung memiliki sindrom NIMBY (Not in my back yard) dimana sindrom

ini, masyarakat tidak memedulikan kelestarian lingkungan yang bukan dalam

teritorialnya, sehingga mereka lebih memilih untuk membuang limbah di negara

Eropa timur serta negara berkembang lainnya yang biaya pembuangannya lebih

murah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan Limbah. Kurangnya

kesadaran lingkungan serta mekanisme peraturan yang tepat mendorong

34

diadopsinya Konvensi Basel untuk memerangi perdagangan limbah beracun.

Konvensi Basel mulai diberlakukan pada tahun 1992.33

Maraknya perdagangan limbah berbahaya dari negara maju ke negara

berkembang pada tahun 80-an menyebabkan Dewan UNEP harus mengambil

langkah yang signifikan yaitu menyetujui Cairo Guidelines yang merupakan

sebuah instrument hukum yang bersifat tidak mengikat namun pada dasarnya

bertujuan untuk membantu pemerintah dalam perkembangan dan implementasi

daripada kebijakan pengaturan nasional tentang limbah berbahaya. Di waktu yang

sama, atas pengajuan proposal dari Hungaria dan Swiss, Dewan UNEP memberikan

mandat kepada Dewan Eksekutif untuk membuat sebuah working group yang

bertugas untuk membentuk sebuah Konvensi tentang pengawasan terhadap

perpindahan lintas batas limbah berbahaya dengan memanfaatkan Cairo Guidelines

dan organ nasional, regional dan internasional yang terkait. Working group yang

bersifat ad-hoc ini, memantapkan langkah dalam sebuah pertemuan internasional

pada Oktober 1987 dan menyelenggarakan lima kali sesi negosiasi diantara

Februari 1988 hingga Maret 1989. Pada akhirnya pada tanggal 20-22 maret 1989,

Konferensi Plenipotentiaries akan Konvensi Global tentang pengawasan

perpindahan lintas batas limbah berbahaya diselenggarakan atas undangan dari

pemerintah Swiss pada 22 Maret. Konvensi Basel diadopsi beserta dengan delapan

resolusi terkait dengan perkembangan lebih lanjut dan pengimplementasian dari

Konvensi Basel.34

33 Katrina Kummer Peiry, Op.Cit., 34 Danar Anindito, Op.Cit., Hal.29

35

Terdapat seratus lima negara bagian serta The European Economic

Community (EEC) yang menandatangani Konvensi Basel pada 22 Maret 1989 dan

mulai berlaku sejak 5 Mei 1992. Hingga saat ini negara yang menandatangani

Konvensi Basel pun bertambah menjadi 174 pihak, dimana 173 merupakan pihak

negara dan satunya merupakan Uni Eropa. Indonesia merupakan salah satu negara

yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 dan Basel Ban Amandemen sejak 24

Oktober 2005, yang kemudian dicantumkan didalam Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 sebelum pada Tahun 2005, dikeluarkan Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2005 untuk mengesahkan

amandemen terhadap Konvensi Basel.35 Jepang juga merupakan negara pihak

Konvensi Basel akan tetapi Jepang memilih untuk tidak meratifikasi Basel Ban

Amandement yaitu amandemen pelarangan total pengiriman Limbah B3 yang telah

ditetapkan oleh Konvensi Basel. Jepang berjanji untuk tidak melakukan

pembuangan Limbah B3 dan limbah lainnya ke negara lain serta mendukung

Konvensi Basel.36

Konvensi Basel memiliki dua kewajiban umum yaitu Pertama,

meminimalisir produksi dan perpindahan lintas batas dari limbah berbahaya.

artinya negara pihak yang telah meratifikasi Konvensi Basel diminta untuk

mengambil langkah yang tepat untuk mengurangi tingkat generasi limbah

berbahaya hingga pada tingkat minimum. Kewajiban ini bagaimanapun bersifat

35 Katrina Kummer Peiry Op.Cit., 36 Irma Jelita, “Alasan Jepang belum meratifikasi Basel Ban Amandement” diakses pada

https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/3137/3038, (02/03/2019, 12.45 WIB)

36

tidak mutlak, sosiologis, aspek ekonomi dan aspek teknologi dapat diperhitungkan

(Pasal 4 ayat 2 (a)). Negara pihak yang meratifikasi harus bekerjasama dalam

pengembangan dan pelaksanaan teknologi untuk mengurangi produksi limbah

berbahaya secara drastis (Pasal 10 ayat 2 (c)). Negara pihak yang meratifikasi, harus

berusaha menjamin tersedianya fasilitas pengolahan limbah di negaranya serta

meminimalisir kegiatan ekspor Limbah (Pasal 4 ayat 2 (b) dan (d)). Limbah

berbahaya hanya dapat diekspor jika negara tidak memiliki fasilitas pengelolaan

limbah secara ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 9 (a)), atau jika limbah di impor

sebagai bahan baku yang diperlukan oleh negara pengimpor (Pasal 4 ayat 9 (b)),

atau sesuai dengan kriteria tambahan yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan

negara pihak yang meratifikasi Konvensi Basel (Pasal 4 ayat 9 (c)). Pada Pasal 4

ayat 13, Konvensi Basel mewajibkan semua pihak agar terus meninjau secara

berkala kemungkinan pengurangan jumlah dan atau adanya potensi berbahaya dari

limbah yang diekspor terutama pada negara-negara berkembang.37

Kedua, pengelolaan Limbah berbahaya yang ramah lingkungan. Negara

pihak yang meratifikasi Konvensi Basel harus menyaratkan bahwa Limbah

berbahaya yang mengalami perpindahan lintas batas harus dikelola secara ramah

lingkungan dimanapun tempat pembuangannya (Pasal 4 ayat 8); Negara memiliki

kewajiban untuk mengelola limbah secara ramah lingkungan agar tidak dialihkan

untuk di ekspor ataupun di transit (Pasal 4 ayat 10). Negara penghasil limbah

37 Lihat Khatrina Kummer, 1992, “The International Regulation of Transboundary Traffic in

Hazardous Waste; The 1989 Basel Convention”, diakses pada

https://www.jstor.org/stable/760546?read-now=1&seq=1#page_scan_tab_contents, (04/12/2018,

01.30 WIB) Hal. 530-562

37

dilarang untuk mengekspor limbah berbahaya jika tidak ada jaminan pengolahan

limbah secara ramah lingkungan dinegara penerima (Pasal 4 ayat 2 (e)). Begitupula

negara harus melarang pengiriman limbah berbahaya ke negaranya jika, negara

tersebut belum mampu untuk mengelola limbah secara ramah lingkungan (Pasal 4

ayat 2 (g)). Inti tujuan atau tujuan umum dari Konvensi Basel yaitu memastikan

limbah berbahaya atau limbah lainnya dikelola secara ramah lingkungan sehingga

dapat melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari efek samping yang

mungkin akan ditimbulkan dari limbah tersebut.38

Selain tujuan umum terdapat pula tujuan khusus dari terbentuknya Konvensi

Basel diantaranya yaitu:39

1. Mengurangi perpindahan lintas batas Limbah B3 dan limbah lainnya dan

pengelolaan konsisten dengan berwawasan lingkungan

2. Pembuangan Limbah B3 yang dihasilkan, sebaiknya dibuang dinegara

dimana dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan

3. Mengurangi jumlah timbunan Limbah B3 serta potensi bahayanya

4. Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas Limbah B3

guna mencegah perdagangan illegal

5. Melarang pengiriman Limbah B3 menuju negara yang kurang memadai

dalam hal teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan

38 Ibid. 39 KLHK,”Pengelolaan Limbah B3 terkait implementasi Konvensi Basel” diakses pada

http://www.apbi-icma.org/wp-content/uploads/2014/12/Implementasi-Peraturan-Bidang-

Pengumpulan-dan-Pemanfaatan-LB3.pdf (04/12/2018, 02.15 WIB)

38

6. Membantu negara-negara berkembang dalam alih teknologi yang

berwawasan lingkungan untuk pengolaan Limbah B3 yang dihasilkan.

Berdasarkan Konvensi Basel Pasal 2 ayat 1, limbah diartikan sebagai “zat

atau benda yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau sedang dibuang

oleh ketentuan hukum nasional”. Terdapat 5 lampiran yang membahas definisi

limbah berbahaya dalam Konvensi Basel diantaranya yaitu Annex I (kategori

limbah yang harus dikontrol), Annex II (kategori limbah yang membutuhkan

pertimbangan khusus), Annex III (daftar karakterisitik Limbah berbahaya), Annex

VIII (karakteristik sebagai limbah berbahaya berdasarkan Konvensi Basel Pasal 1

ayat 1 (a)) dan yang terakhir Annex IX (Karakteristik Limbah yang tidak tercakup

dalam Konvensi Basel Pasal 1 ayat 1 (a)).40

Dalam Annex III Konvensi Basel telah diatur karakteristik limbah yang

termasuk dalam golongan Limbah B3 diantaranya yaitu eksplosif (mudah

meledak), berbentuk cairan yang mudah terbakar, berbentuk padat yang mudah

terbakar, zat yang dapat terbakar spontan, zat yang bila berkontak dngan air

menghasilkan gas yang mudah terbakar, zat pengoksidasi yang dapat memicu

terbakarnya material lain, peroksida organik, beracun, zat yang mengandung

mikroorganisme atau toksin yang dapat menginfeksi makhluk hidup lain, korosif,

serta zat yang menhasilkan gas toksik bila berkontak dengan udara dan air.41

40 UNEP, “Basel Convention on The Control of Transboundary Movement of Hazardous Waste and

Their Disposal” , diakses pada

http://www.Basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/pub/metologicalguidee.pdf (04/12/2018,

02.08 WIB), Hal:28 41 Danar Anindito, Op.Cit., Hal.18

39

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel

pada 12 Juli 1993 dengan keputusan Presiden No.61 Tahun 1993 dan dijelaskan

kembali pada peraturan Presiden No.47 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden No.60

Tahun 2005.42 Indonesia meratifikasi Konvensi Basel dengan kesadaran akan

adanya ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau

pembuangan Limbah dari luar kedalam negeri. Berdasarkan pertimbangan

keputusan Presiden No.61 Tahun 1993, Indonesia meratifikasi Konvensi Basel

dikarenakan:43

1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan perairan terbuka yang

sangat berpotensial menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya dan

beracun secara illegal dari negara lain.

2. Memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah wilayah Indonesia

sebagai tempat pembuangan limbah beracun dan berbahaya.

3. Perairan Indonesia yang luas terancam rusak, jika perpindahan Limbah

B3 menggunakan sarana kapal laut sangat berpotensi untuk mencemari

lautan akibat zat beracun dan berbahaya dari kapal tersebut.

2.3 Konsekuensi bagi Negara yang Meratifikasi Konvensi Basel

Konvensi Basel merupakan salah satu Konvensi yang mengatur sejumlah

instrumen kebijakannya dengan bersifat lemah atau soft law. Sebagian besar

pedoman teknis tentang pengelolaan limbah yang diatur oleh pihak ahli teknis

42 “Konvensi Basel, Loc.Cit., 43 Kepres No.61 Tahun 1993 Tentang Pengesahan Basel Convenstion On The Control of

Transboundary Movement of Hazardous Waste and Their Disposal.

40

pemerintahan dan disetujui oleh COP (The Conference of the Parties) yang

merupakan badan pelaksanaan Konvensi Basel yang terdiri dari Competent

Authorities dan Sekretariat tetap yang berkedudukan di Jenewa, Switzerland.

Instrumen yang tidak mengikat ini, dirancang untuk digunakan pada seluruh

tingkatan masyarakat serta para pemangku kepentingan dengan panduan yang

praktis untuk menfasilitasi pengelolaan limbah dengan relevan.44

Pada tahun 2002, pihak Konvensi Basel membentuk COP 6 dengan

mengadopsi rencana strategis dalam membantu jalannya pelaksanaan Konvensi

Basel untuk periode tahun 2002-2010. COP 6 ini dibentuk untuk membantu negara-

negara berkembang dan negara-negara yang dalam masa transisi ekonomi untuk

mengimplementasikan ketentuan-ketentuan Konvensi Basel. COP 10 dibentuk

pada tahun 2011 dengan mengadopsikan kerangka kerja strategis Konvensi Basel

yang baru untuk periode tahun 2011-2021 dimana hal ini mendefinisikan tujuan

dan prioritas yang mendasar dari Konvensi Basel secara relevan untuk beberapa

dekade mendatang serta mempertimbangkan perubahan-perubahan yang akan

datang. 45

Terdapat aturan yang telah ditetapkan oleh Konvensi Basel terhadap

pembatasan perpindahan Limbah berbahaya lintas negara. Pertama, lalu lintas

limbah antar negara pihak yang meratifikasi Konvensi Basel, dimana setiap pihak

yang melakukan lalu lintas limbah harus melapor kepada pihak sekretariat

Konvensi (Pasal 4 ayat 1 (a), Pasal 13 ayat 2 (c)). Negara pihak tidak dapat

44 Katrina Kummer Peiry, Op.Cit., 45 ibid

41

mengizinkan pengiriman limbah berbahaya terhadap negara yang melarang adanya

impor limbah (Pasal 4 ayat 1 (b)). Negara pihak juga harus melarang adanya impor

limbah kepada negara yang tergabung dalam kelompok perhimpunan ekonomi atau

politik yang melarang adanya impor limbah serta undang-undang nasional yang

melarang adanya impor limbah (Pasal 4 ayat 2 (e)). Hal ini juga berlaku pada

kegiatan ekspor limbah dimana dilakukan sesuai dengan sistem peraturan Konvensi

Basel (Pasal 4 ayat 1 (c), Pasal 9 ayat 1). Kedua, lalu lintas limbah antar negara

pihak yang meratifikasi Konvensi Basel dengan negara Non-pihak, dimana dalam

pasal 4 ayat 5 menetapkan negara pihak tidak diizinkan ekspor ataupun impor

limbah kenegara yang non-pihak. Transit limbah berbahaya melalui negara pihak

diizinkan jika dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi (Pasal 4, ayat 5 e

contario; dan pasal 7), namun konsep ini dimodifikasi dikarenakan perjanjian

multilateral, bilateral maupun regional menyetujui adanya perpindahan limbah

berbahaya dengan pihak Konvensi maupun Non-Konvensi. Jika ketentuan

Konvensi tidak terpenuhi dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dalam perjanjian

asalakan tetap melapor kepada sekretariat Konvensi. Ketiga, larangan untuk

membuang limbah ke Antartika, dimana Konvensi Basel melarang ekspor Limbah

berbahaya ke daerah di selatan 60º lintang selatan (Pasal 4 ayat 6).46

46 Khatrina Kummer, 1992 Op.Cit., Hal 541-543

42

Konvensi Basel mendesain suatu aturan untuk mengatur gerakan lalu lintas

limbah berbahaya yang disebut dengan PIC (Prior Informed Consent). Prosedur

PIC ini dibagi menjadi empat tahapan utama yaitu :47

1. Tahap pemberitahuan

Pada tahap ini eksportir harus mengkonfirmasi kepada Competen

Authority (CA) dari negara eksportir. Sebelum terjadinya pengiriman

limbah negara eksportir dan importir harus menandatangani kontrak

pembuangan limbah terlebih dahulu. Berdasarkan Konvensi Basel,

dalam kontrak ini harus memastikan pembuangan limbah harus

dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan. Dengan adanya

dokumen pemberitahuan yang dikeluarkan CA dapat memberikan

informasi yang detail dan akurat mengenai Limbah yang diterima oleh

negara impor maupun negara transit. Berdasarkan Annex V A, dokumen

pemberitahuan harus dalam bahasa yang dapat diterima oleh pihak

negara pengimpor serta negara transit.

2. Tahap Persetujuan dan penerbitan dokumen perjalanan

Tahap ini untuk memastikan pihak importir menyetujui adanya

pengiriman limbah yang diusulkan sesuai dengan dokumen. Saat

menerima dokumen pemberitahuan Pihak CA importir harus

memberikan persetujuan tertulis (dengan ataupun tanpa ketentuan)

ataupun penolakan (dapat meminta klarifikasi lebih lanjut). Pihak CA

47 Basel Convention,” Controlling transboundary movement of hazardous waste” diakses pada

http://www.Basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/pub/leaflets/leaflet-control-procedures-

en.pdf, (07/12/2018, 11.23 WIB)

43

importir juga harus mengkonfirmasi kepada pemberi notifikasi adanya

kontrak antara eksportir dan disposer. Dengan adanya prosedur

notifikasi verifikasi keberadaan kontrak antara eksportir dan disposer

dapat terikat secara hukum. Jika persyaratan terpenuhi maka CA dari

negara eksportir dapat menerbitkan dokumen perjalan dan mengesahkan

pengiriman. Dokumen perjalanan berisi informasi rinci tentang

pengiriman dan harus selalu ada dari waktu keberangkatan hingga

sampai pada negara disposer.

3. Tahap perpindahan lintas batas

Pada tahap ini akan menjelaskan langkah selanjutnya yang perlu diikuti

sejak dimulainya perpindahan lintas batas hingga limbah sampai pada

disposer. Dokumen perjalanan memberikan informasi yang relevan

seperti petugas barang yang diangkut, petugas bea cukai yang dilewati,

jenis limbah dan bagaimana limbah tersebut dikemas. Hal tersebut juga

membawa informasi yang akurat tentang otoritas CA untuk ususan

pergerakan limbah. Setiap negara pihak Konvensi Basel harus selalu

menyertakan dokumen perjalanan yang lengkap dan resmi, namun

beberapa negara dokumen perjalanannya masih memerlukan

pemberitahuan asli, dicap, ditandatangani oleh CA

4. Konfirmasi pembuangan

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari lalu lintas perpindahan yaitu

pihak generator dan negara pengekspor diberi konfirmasi bahwa limbah

yang telah melewati lintas batas telah dibuang oleh disposer sesuai

44

dengan yang direncanakan dan sesuai ramah lingkungan. Konvensi

memerlukan konfirmasi dari disposer ketika pembuangan telah terjadi,

sesuai dengan ketentuan kontrak dan sebagaimana yang telah ditentukan

dalam dokumen pemberitahuan. Jika CA dari negara pengekspor belum

menerima konfirmasi bahwa pembuangan telah selesai, pihak CA

pengimpor harus mengkonfirmasi ulang kepada CA pengekspor.

Walaupun Indonesia telah terikat dalam Konvensi Basel dan Jepang yang

berjanji akan taat pada ketentuan peraturan yang ditetapkan Konvensi Basel, pada

kenyataanya kedua negara tersebut melakukan perjanjian perdagangan bilateral

yaitu IJEPA, yang didalamnya memasukan limbah dari manufaktur, hasil

pengolahan industri dan dari konsumsi sebagai barang yang dapat diperjual belikan

atau diperdagangkan. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab III.