Maxillary Injection Techniques. Anatomy Atraumatic Injection Protocol.
BAB II LANDASAN TEORI - UKSW...10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Atraumatic Care 2.1.1. Definisi...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - UKSW...10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Atraumatic Care 2.1.1. Definisi...
10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Atraumatic Care
2.1.1. Definisi Atraumatic Care
Dalam pediatrik, kebutuhan untuk memberikan
atraumatic care dikenal secara luas. Atraumatic care
merupakan filosofi dari penyediaan perawatan
terapeutik melalui penggunaan intervensi yang
menghilangkan atau mengurangi distres psikologi
maupun fisik yang dialami oleh anak dan keluarga
(Wong & Hockenberry, 2003).
Meskipun kemajuan luar biasa telah dibuat
dalam perawatan anak, banyak hal yang telah
dilakukan terhadap anak dalam menyembuhkan
penyakit dan memperpanjang kehidupan, tetap saja
bersifat traumatis, menyakitkan, menjengkelkan, dan
menakutkan. Sayangnya, pengurangan trauma dari
intervensi medis tidak sejalan dengan kemajuan
teknologi. Dengan pengetahuan stressor diterapkan
pada anak yang sakit dan keluarganya dan
bersenjatakan intervensi yang aman dan efektif dalam
mengeliminasi dan mengurangi stressor, tenaga
kesehatan profesional harus mengarahkan
11
perhatiannya terhadap pemberian atraumatic care
(Hockenberry & Wilson, 2007).
Atraumatic care melibatkan bimbingan anak
dan keluarganya untuk melewati pengalaman layanan
kesehatan menggunakan pendekatan yang berpusat
pada keluarga (Kyle, 2008).
2.1.2. Komponen Dalam Atraumatic Care
Tujuan utama dalam memberikan atraumatic
care adalah: tidak membahayakan. Tiga prinsip dalam
memberikan kerangka untuk mencapai tujuan ini: (1)
mencegah atau meminimalisir perpisahan anak dari
keluarganya, (2) mendorong rasa pengendalian diri,
dan (3) mencegah atau meminimalisir cedera fisik dan
nyeri. Contoh dalam memberikan atraumatic care
termasuk mendorong hubungan antara anak dan
orang tua selama hospitalisasi, mempersiapkan anak
sebelum melaksanakan perawatan dan prosedur yang
tidak biasa, mengontrol nyeri, menghargai privasi
anak, memberikan kegiatan bermain untuk
mengekspresikan rasa takut dan agresi, memberikan
pilihan pada anak, dan menghargai perbedaan kultur
(Hockenberry & Wilson, 2007).
12
Atraumatic care melibatkan bimbingan anak
dan keluarganya untuk melewati pengalaman layanan
kesehatan menggunakan pendekatan yang berpusat
pada keluarga dengan mempromosikan peran
keluarga, membina dukungan keluarga, dan
menyediakan informasi yang tepat. Perawat juga
membantu mereka mengatasi masalah tersebut
dengan menggunakan intervensi yang spesifik untuk
dan anak dan sesuai dengan usia. Persiapan dapat
membantu anak dan keluarga untuk menyesuaikan diri
terhadap penyakit dan hospitalisasi. Perawat
menggunakan teknik yang tepat untuk komunikasi
terapeutik (tujuan yang terarah, fokus, komunikasi
yang terarah), permainan terapeutik (jenis permainan
yang menyediakan outlet emosional atau
meningkatkan kemampuan anak untuk mengatasi
stres penyakit dan hospitalisasi), dan pendidikan
pasien untuk membantu anak dan keluarga
memahami alasan dari hospitalisasi dan uji yang
diperlukan dan prosedur-prosedur yang ada.
Persiapan lain juga dapat dengan membantu keluarga
dan anggota layanan kesehatan lainnya untuk
13
memperoleh sumber dan hubungan yang diperlukan
untuk layanan yang optimal (Kyle, 2008).
Keperawatan bayi dan anak konsisten dengan
definisi keperawatan sebagai "diagnosis dan
pengobatan respon manusia terhadap masalah
kesehatan aktual atau potensial." Definisi ini
menggabungkan sifat penting empat dari praktek
keperawatan modern:
i. Memperhatikan berbagai pengalaman dan
tanggapan masyarakat terhadap kesehatan dan
penyakit tanpa batasan orientasi fokus masalah
ii. Integrasi data yang obyektif dengan
pengetahuan yang diperoleh dari pemahaman
pasien atau pengalaman subyektif kelompok
iii. Penerapan pengetahuan ilmiah terhadap proses
diagnosis dan pengobatan
iv. Penyediaan hubungan perawatan yang
memfasilitasi kesehatan dan penyembuhan.
Pembentukan hubungan terapeutik adalah
dasar penting untuk memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas tinggi. Perawat anak perlu
berhubungan dengan anak-anak dan keluarganya dan
harus dapat memisahkan antara perasaan dan
14
kebutuhan mereka. Dalam hubungan terapeutik,
caring, batasan yang didefinisikan dengan baik,
memisahkan perawat dari anak dan keluarga. Batasan
ini bersifat positif dan profesional dan meningkatkan
kendali keluarga atas perawatan kesehatan anak.
Keduanya, baik perawat dan keluarga dimampukan
dan komunikasi yang terbuka dapat dipertahankan.
Dalam hubungan yang tidak terapeutik, batasan-
batasan ini tidak terlihat dengan jelas, dan banyak
tindakan keperawatan dilakukan hanya untuk
memenuhi kepentingan pribadi, seperti kepentingan
untuk dilibatkan dan merasa dibutuhkan, dibandingkan
hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Kyle,
2008).
2.1.3. Prinsip-Prinsip Atraumatic Care
2.1.3.1. Mencegah atau mengurangi stressor fisik,
termasuk nyeri, rasa tidak nyaman, imobilitas,
kurang tidur, ketidakmampuan untuk makan
atau minum, dan perubahan eliminasi.
i. Menghindari atau mengurangi prosedur
yang menggangu atau menyakitkan,
seperti injeksi, tusukan-tusukan,
kateterisasi uretra.
15
ii. Menghindari atau mengurangi berbagai
macam distres fisik, seperti kebisingan,
bau, gemetar, restrain, trauma kulit.
iii. Mengontrol nyeri melalui pengkajian yang
sering dan intervensi farmakologi dan
non-farmakologi.
2.1.3.2. Mencegah atau mengurangi perpisahan
orang tua dan anak.
i. Mendukung perawatan yang berfokus
pada keluarga, memperlakukan keluarga
sebagai pasien.
ii. Menggunakan perawatan inti.
iii. Mempertimbangkan hasil penelitian yang
berhubungan dengan preferensi orang
tua dan anak dan apakah tidak saling
berhubungan.
2.1.3.3. Mendukung rasa kendali
i. Memperoleh pengetahuan keluarga
tentang anak dan kondisi kesehatannya,
mempromosikan kemitraan,
keberdayaan, dan kemampuan.
ii. Mengurangi rasa takut yang tidak
diketahui melalui pendidikan, artikel yang
16
dikenal, dan mengurangi ancaman
lingkungan.
iii. Memberikan kesempatan untuk kontrol,
seperti berpartisipasi dalam perawatan,
mencoba untuk menormalkan jadwal
harian, dan memberikan saran secara
langsung (Hockenberry & Wilson, 2007).
2.2. Hospitalisasi
2.2.1. Hospitalisasi Pada Anak
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang
karena suatu alasan yang terencana atau darurat,
mengharuskan anak tinggal di rumah sakit, menjalani
terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali
ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang
tua dapat mengalami kejadian yang menurut beberapa
penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang
sangat traumatik dan penuh dengan kecemasan
(Supartini, 2004).
Rentang sehat-sakit merupakan batasan yang
dapat diberikan bantuan pelayanan keperawatan pada
anak, adalah suatu kondisi anak berada dalam status
kesehatan yang meliputi sejahtera, sehat optimal,
sehat, sakit, sakit kronis, dan meninggal. Rentang ini
17
suatu alat ukur dalam menilai status kesehatan yang
bersifat dinamis dalam setiap waktu, selama dalam
batas rentang tersebut anak membutuhkan bantuan
perawat baik secara langsung maupun tidak langsung,
seperti apabila anak berada pada rentang sehat, maka
upaya perawat untuk meningkatkan derajat kesehatan
sampai mencapai taraf kesejahteraan baik fisik, sosial
maupun spiritual. Demikian sebaliknya, apabila kondisi
anak dalam kondisi kritis atau meninggal maka
perawat selalu memberikan bantuan dan dukungan
pada keluarga (Supartini, 2004).
2.2.2. Dampak Hospitalisasi Pada Anak
Kyle, 2008 menyatakan stressor yang dialami
oleh anak selama hospitalisasi dapat menyebabkan
berbagai reaksi. Anak dapat bereaksi menjadi stres
karena hospitalisasi sebelum mereka masuk, selama
hospitalisasi, dan setelah keluar dari rumah sakit.
Pertahanan perilaku seperti marah, perasaan
bersalah, regresi, dan berakting dapat terjadi. Banyak
faktor yang mempengaruhi jumlah dan tingkat reaksi
anak, mungkin pengalaman, dan faktor ini dapat
meningkatkan atau mengurangi rasa takut pada anak.
Respon anak pada stressor rasa takut, kecemasan
18
saat perpisahan, dan kehilangan kendali juga akan
beragam tergantung pada umur dan tingkat
perkembangan mereka. Anak dengan penyakit kronis
yang mempunyai berbagai pengalaman selama
hospitalisasi mungkin mempunyai reaksi yang
berbeda.
Bayi
Bayi baru lahir dan bayi beradaptasi untuk hidup di luar
rahim dan masih bergantung pada orang lain untuk
diasuh dan dijaga. Sayangnya, selama sakit dan
hospitalisasi, pola penting dari makan, kontak, rasa
nyaman, tidur, eliminasi, dan stimulasi terganggu,
mengakibatkan ketakutan, kecemasan saat
perpisahan, dan kehilangan kendali. Pada usia lima
sampai enam bulan, bayi telah mengembangkan
kesadaran diri sebagai yang terpisah dari ibunya.
Sebagai hasil, bayi pada umur ini sadar akan adanya
pengasuh utama mereka dan menjadi takut terhadap
orang yang tidak dikenal (Kyle, 2008).
Balita
Balita lebih sadar terhadap diri sendiri dan dapat
mengomunikasikan keinginan mereka. Karena anatomi
mereka sedang berkembang, balita membutuhkan
19
guru untuk mengurangi perkembangan rasa malu dan
ragu. Balita sering takut terhadap orang asing dan
dapat mengingatkan mereka kepada peristiwa-
peristiwa traumatis. Hanya berjalan menuju ruang
perawatan dimana peristiwa traumatis sebelumnya
terjadi dapat mengakibatkan gangguan ekstrim pada
balita. Ketika balita berpisah dari orang tua atau
pengasuhnya di lingkungan yang asing, kecemasan
saat pemisahan akan semakin parah. Respon untuk
kecemasan ini, balita akan mendemonstrasikan
perlakuan seperti memohon agar orang tuanya tetap
tinggal, secara fisik mencoba pergi setelah orang
tuanya, melemparkan amarah, menolak untuk
memenuhi rutinitas biasanya (Kyle, 2008).
Anak Usia Prasekolah
Anak usia prasekolah mempunyai kemampuan
perkembangan dan verbal yang lebih baik untuk
beradaptasi terhadap situasi yang bervariasi, namun
sakit dan hospitalisasi tetap menjadi tekanan. Anak
usia sekolah dapat memahami bahwa mereka
mengalami hospitalisasi karena mereka sakit, namun
mereka tidak dapat memahami penyebab penyakit
yang mereka alami. Secara keseluruhan, anak usia
20
prasekolah berpikir konkret, egosentris, dan berpikiran
magis (jenis pemikiran yang memungkinkan untuk
berfantasi dan kreatif) membatasi mereka untuk
memahami, jadi komunikasi dan intervensi harus
dalam tingkat pemahaman mereka (Kyle, 2008).
Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah mampu berpisah dengan orang tua.
Meskipun mereka tidak sepenuhnya bebas dari
kecemasaan saat perpisahan, mereka lebih
berorientasi terhadap realita. Jika ditangani dengan
baik, hospitalisasi akan dipandang oleh anak usia
sekolah sebagai petualangan dimana mereka dapat
belajar banyak hal dan mempunyai teman baru. Untuk
mengurangi rasa takut, perawat dapat memberikan
penjelasan prosedural, memperbolehkan anak untuk
berpartisipasi dalam perencanaan, melakukan
perawatan sendiri, dan memberikan instruksi dan
jawaban yang jujur tentang sakit dan perjalanan
penyakit yang dialami oleh anak (Kyle, 2008).
Remaja
Remaja mungkin dapat atau bahkan tidak
mengekspresikan ketakutannya. Perawat diharapkan
mendidik remaja dengan jujur. Remaja yang lebih
21
muda lebih membutuhkan penjelasan yang konkret,
sedangkan remaja yang lebih tua dapat memproses
konsep yang abstrak dengan lebih baik (Kyle, 2008).
2.3. Penelitian-Penelitian Terkait
2.3.1. Hospitalisasi Pada Anak Dan Atraumatic Care
Pet-therapy (terapi menggunakan hewan
peliharaan) juga termasuk salah satu atraumatic care.
Dalam penelitian Kaminski, Pellino & Wish (2002)
menyatakan anak-anak dan orang tua atau care givers
melihat kehidupan anak dan terapi hewan peliharaan
sebagai pengalaman yang positif. Anak-anak dalam
kelompok terapi hewan peliharaan tampaknya
mengalami kegembiraan antisipatif ketika mereka
melihat anjing; pre-intervensi nadi lebih tinggi dalam
kelompok ini dibandingkan kelompok terapi kehidupan
anak. Anak-anak yang berada dalam kelompok terapi
hewan peliharaan cenderung mengatakan ingin
bersama binatang peliharaan dan menginginkan untuk
bermain lebih sering daripada kelompok terapi
kehidupan anak. Penggunaan terapi hewan
memberikan pengalihan perhatian yang diperlukan
atau juga berupa persahabatan tanpa syarat untuk
22
beberapa pasien, seperti mereka yang beberapa kali
masuk atau mungkin untuk mereka yang dirawat di
rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Hewan
dapat membuat rumah sakit yang asing lebih seperti
suasana di rumah, meningkatkan persepsi keluarga,
dan mungkin meningkatkan pemulihan.
Penelitian Hendon & Bohon (2007)
menyatakan atraumatic care dengan menggunakan
terapi musik mendapatkan hasil yang signifikan
(M=12.43, SD=4.83) dimana anak lebih banyak
tersenyum selama tiga menit dibandingkan dengan
menggunakan terapi bermain (M=5.74, SD=3.10).
Terapi musik juga membantu agar pengalaman saat
dihospitalisasi dapat menjadi hal yang positif bagi anak
dengan memberikan mereka kenyamanan bersama
orang yang menyenangkan, melalui upaya dukungan
koping, dan menyediakan saluran komunikasi agar
rasa takut, marah, sedih, dan kesepian dapat
diungkapkan (McDonnell, 1983).
Dalam penelitiannya, Bossert (1994)
menghasilkan enam kategori peristiwa tekanan:
peristiwa mengganggu, gejala fisik, intervensi
23
terapeutik, aktivitas terbatas, perpisahan, dan
lingkungan.
Ketika penyakit sudah cukup serius untuk
memerlukan perawatan seseorang di rumah sakit,
proses dari hospitalisasi dapat menghasilkan stres
(bagi semuanya) yang independen yang ditimbulkan
oleh penyakit itu sendiri. Penyakit mungkin dapat
menjadi situasi yang menimbulkan stres tidak hanya
terhadap orang yang diserang, tetapi juga terhadap
anggota keluarganya (Skipper et al.).
2.3.2. Dampak Hospitalisasi Pada Anak
Pengumpulan data yang dilakukan Kennedy et
al. (2004) dalam penelitiannya di Cina umumnya
terjadi kemudian dalam urutan sementara ini, ketika
balita lebih cenderung menunjukkan perilaku menarik
diri. Anak prasekolah yang dihospitalisasi
menunjukkan masalah, secara signifikan berupa
kecemasan.
Jessee, Strickland, Lipper & Hudson (1986)
mengatakan stres yang dialami oleh anak-anak karena
hospitalisasi terus menjadi perhatian utama dari
spesialis kehidupan anak. Kemampuan untuk
mengatasi stres ini dapat ditingkatkan dengan positif,
24
kegiatan produktif mengundang keterlibatan sensorik
serta memuaskan rasa ingin tahu alami anak tentang
dunianya. Empat kegiatan khusus juga telah
direncanakan untuk mempromosikan keterlibatan lebih
jauh dengan alam di luar rumah sakit. Empat kegiatan
tersebut antara lain belajar mengenai tanaman,
melukis keadaan luar, merancang sebuah kolase
alam, dan meneliti lingkaran pohon. Sebagai satu unit,
pengalaman ini memberikan pendekatan yang
komprehensif terhadap terapi bagi anak yang sedang
dihospitalisasi dan menambahkan hal positif.
Stres dihasilkan oleh hasil hospitalisasi dan
pembedahan dari kesepian, duka cita, rasa
ditinggalkan, rasa terpenjara, dan ancaman dari luka
fisik, seperti halnya kebutuhan lebih untuk cinta, kasih
sayang, dan perlindungan dari seorang ibu (Skipper et
al.). Serupa dengan studi terbaru tentang distres
emosional pada anak usia sekolah yang menjalani
hospitalisasi pediatrik, temuan dalam penelitian Mabe,
Treiber, & Rilley (1991) menyatakan bahwa anak yang
dihospitalisasi akan mengalami distres yang tidak lebih
besar dari yang dicatat untuk anak-anak di populasi
umum. Faktanya, dari 80 anak yang diteliti, hanya
25
tujuh yang melaporkan gejala-gejala depresi yang
menunjukkan distres yang signifikan (yaitu,
memperoleh skor 19 atau lebih tinggi pada CDI) dan
hanya lima yang melaporkan gejala-gejala kecemasan
yang menunjukkan distres yang signifikan (yaitu,
memperoleh t-skor 70 atau lebih pada CMAS-R).
Penelitian yang dilakukan oleh Moghaddam,
Moghaddam, Sadegmoghaddam, & Ahmadi (2011)
menunjukkan bahwa hospitalisasi anak dapat
membawa perubahan negatif dan tekanan mental dan
spiritual pada anak dan orang tua, dan dapat
membahayakan kesehatan mereka. Walaupun anak
pada usia menuju sekolah dapat beradaptasi lebih
baik dalam hal perpisahan, stres dari penyakit atau
hospitalisasi memaksa mereka untuk dapat
meningkatkan kebutuhan perlindungan dan bimbingan
dari orang tua mereka. Anak usia sekolah (usia
sekolah menengah pertama dan menengah atas)
menunjukkan reaksi lebih besar dalam perpisahan dari
aktivitas mereka saat ini seperti halnya aktivitas sosial
dari pada perpisahan dengan orang tua. Perasaan
kesepian, perpisahan, depresi, dan kekesalan
merupakan hal yang biasa. Hal tersebut penting untuk
26
membedakan apakah reaksi tersebut disebabkan oleh
perpisahan dibandingkan penyakit atau penyembuhan
atau oleh kondisi rumah sakit.
2.3.3. Peran Dan Implementasi Perawat Tentang Atraumatic
Care
Penelitian Brown & Ritchie (1990)
menunjukkan bahwa pemberdayaan keluarga,
partisipasi orang tua dalam perawatan dan
pengambilan keputusan, dan mendukung komunikasi
perawat-orang tua yang selaras dengan lingkungan
rumah sakit yang telah membatasi pola komunikasi,
meningkatkan kontrol orang tua oleh perawat, dan
dimana model medis bantuan berlaku. Perubahan
akan terjadi jika perawat menerima pendidikan dasar
dan berkelanjutan yang relevan, jika mereka
mempraktikkan penggunaannya dan memberdayakan
model perawatan, dan jika mereka berlatih dalam
lingkungan yang secara aktif mempromosikan dan
mendukung komunikasi perawat-orang tua, perawatan
holistik, dan pemberdayaan keluarga. Penelitian ini
juga menemukan bahwa dalam banyak situasi perawat
mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya
terhadap orang tua anak-anak dirawat di rumah sakit.
27
Semua perawat mengakui bahwa merawat orang tua
adalah bagian dari peran mereka, dan bahwa
perawatan mereka terhadap anak-anak didasarkan
pada apa yang mereka percaya adalah terbaik untuk
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perawat mungkin
bersedia menemukan cara untuk merawat keluarga
dimana perawatan psikososial orang tua harus
didahulukan daripada kebutuhan dalam kontrol orang
tua. Namun, perawat hanya dapat membuat
perubahan ini dengan peluang pendidikan yang
sesuai, dan jika mereka mampu untuk berlatih di
lingkungan yang mendukung dan memungkinkan
mereka untuk memberikan pemberdayaan perawatan
berpusat pada keluarga.
Studi Danemon, Macaluso, & Guzzetta (2003)
mengungkapkan bahwa sikap pemberi layanan
kesehatan anak yang multidisiplin menerima ke arah
partisipasi keluarga dalam perawatan. Perbedaan
dalam sikap ditemukan diantara bagian PPAS terpilih
dan di antara responden yang berhubungan dengan
jenis kelamin, jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan,
dan tipe bagian (umum, bidang khusus, atau
perawatan kritis) dimana pemberi layanan kesehatan
28
bekerja. Dalam studi ini, wanita lebih menerima
partisipasi keluarga dibandingkan pria; biarpun kedua
kelompok masuk dalam jangkauan sikap penerimaan.
Seperti dalam studi terbaru, peneliti menemukan sikap
mendukung yang lebih didasarkan pada tingkat
pendidikan tertinggi, namun secara keseluruhan, sikap
yang menerima ke arah partisipasi keluarga tanpa
memperhatikan pendidikan. Berdasarkan hasil, dapat
disebutkan bahwa orang tua dalam penelitian ini
menerima tingkat dukungan yang tinggi (4.1 ± 0.7) dari
perawat.
Dalam penelitian ini, dukungan instrumental
dan satu dari pertanyaan, “perasaan optimis anak,’
mempunyai nilai tertinggi. Disebutkan sebelumnya,
subskala ini mencakup jenis dukungan yang termasuk
pemberian perawatan, dukungan finansial, waktu,
tenaga kerja, dan modifikasi lingkungan. Hasil studi
saat ini menunjukkan bahwa beberapa lingkungan
yang melekat dan faktor budaya (seperti reaksi
emosional yang berat oleh orang tua selama prosedur)
dapat menghambat perawat pediatrik dalam membina,
tetapi tidak semua, komponen dari peran orang tua.
Temuan penelitian ini juga mengungkapkan bahwa
29
orang tua dengan tingkat pendidikan rendah dikatakan
menerima dukungan emosional yang tinggi.
Penemuan lain menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan antara dukungan instrumental dan jenis
kelamin dari orang tua, dengan ayah menerima
dukungan lebih dibandingkan ibu. Hasil ini
menyarankan ayah dapat menemukan dukungan
finansial, waktu, dan faktor lingkungan yang lebih
penting sebagai pendukung (Sanjari, Shirazi, Heidari,
Salemi, Rahmani, & Shoghi, 2009).
Temuan Stratton (2004) memiliki kesamaan
dengan badan dari literatur pada perawatan kualitas
kesehatan untuk anak. Penemuan penelitian saat ini
menyatakan bahwa hubungan antara pemberi layanan
kesehatan yang lain dan keluarga/anak sama penting.
Dalam pembicaraan tentang pemberi layanan
kesehatan, penelitian ini menemukan bahwa orang tua
tidak tertuju pada kemampuan teknik pemberi layanan
kesehatan kecuali kecelakaan spesifik yang
menimbulkan ketidak nyamanan, distres atau nyeri.
Pada penelitian Kennedy, Kools, Kong, Chen,
Franck, & Wong (2004) menyatakan pola perilaku
nampak menjadi spesifik dalam stase perkembangan.
30
Anak-anak mempunyai masalah yang lebih besar
ketika keluarganya menunjukkan keterlibatan yang
cenderung kurang. Sebelum anak memasuki rumah
sakit, sudah ada kepercayaan yang mungkin hadir jika
orang tua akrab dengan atau memiliki pengalaman
yang baik sebelumnya dengan rumah sakit, dan/atau
jika mereka sudah memiliki keyakinan dalam penyedia
layanan kesehatan (Thompson, Hupcey, & Clark,
2003).
Orang tua yang berpartisipasi dalam studi yang
dilakukan Espezel & Canam (2003) memiliki interaksi
umum yang positif dengan perawat yang merawat
anak-anak mereka, tetapi interaksi ini tidak
digolongkan sebagai hubungan kolaboratif. Orang tua
dan perawat sering dapat mengadakan hubungan dan
berbagi dalam memberikan perawatan anak.
Pengalaman hospitalisasi pada anak dapat
mempertimbangkan proses upaya untuk
mengembalikan kesehatan, secara keseluruhan,
mendapatkan kembali status individu di dunia.
Perawat dapat mendorong proses ini dengan
menunjukkan pentingnya pengalaman dan perasaan
individu pada saat hospitalisasi dan membantu orang-
31
orang untuk mengadaptasikan diri terhadap
lingkungan barunya (Moghaddam et al., 2011).
Kemampuan tim medis untuk berkomunikasi
dengan pasien, sangat penting untuk proses
perawatan kesehatan. Kualitas hubungan dan
komunikasi dengan pasien anak dan keluarga
mempengaruhi semua aspek perawatan pasien,
seperti proses diagnostik, keputusan pengobatan,
kepatuhan dengan rekomendasi. Selain itu, pediatrik
berbeda dan tidak hanya membutuhkan komunikasi
antara pasien dan keterampilan dokter, tetapi juga
komunikasi dengan orang tua dan anggota keluarga
lainnya, dan pemahaman keluarga dinamika dan tahap
kognitif dan perkembangan anak (Rider, Volkan &
Hafler, 2008).
2.4. Kerangka Konseptual
Berdasarkan studi literatur yang telah dipaparkan,
maka dapat disimpulkan bahwa anak yang menjalani
perawatan di rumah sakit atau hospitalisasi akan mengalami
dampak dari hospitalisasi tersebut. Dampak yang terjadi dapat
berupa dampak yang buruk yaitu berupa stres yang dapat
menimbulkan trauma pada anak. Selama hospitalisasi, anak
32
akan didukung dan didampingi oleh orang tua/primary care
giver. Dari dampak-dampak yang muncul perawat akan
memberikan perawatan yang dapat mengurangi hingga tidak
menimbulkan trauma pada anak atau dapat disebut dengan
atraumatic care. Dalam pelaksaannya, orang tua/primary care
giver tetap dilibatkan. Akan tetapi fenomena yang terjadi
adalah saat perawat sudah melakukan prinsip atraumatic
care, anak masih saja menangis bahkan takut ketika
berhadapan dengan perawat dan tidak mau bertemu perawat.
Maka dari itu peneliti merasa penting untuk melakukan
penelitian tentang pelaksanaan atraumatic care oleh perawat
terhadap anak selama hospitalisasi dilihat dari pandangan
orang tua/primary care giver.
Sakit Hospitalisasi
Dampak yang
terjadi saat
hospitalisasi
Penerapan
atraumatic care
Anak tidak mau menemui
perawat
Anak masih menangis
Yang akan diteliti: Pelaksanan atraumatic care
perawat dilihat dari pandangan orang
tua/primary care givers