BAB II LANDASAN TEORI II.1 Tinjauan Umum Laporan …library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/Bab...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1 Tinjauan Umum Laporan …library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/Bab...
9
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Tinjauan Umum Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan salah satu sarana untuk memperoleh informasi
mengenai kondisi, posisi, serta arus kas perusahaan pada periode tertentu. Pengertian
laporan keuangan menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2007, p2)
adalah:
“Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara, misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.”
Komponen laporan keuangan yang lengkap menurut Ikatan Akuntan Indonesia
dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2007, p2) terdiri dari:
1. Neraca, merupakan gambaran dari posisi keuangan perusahaan pada tanggal
tertentu yang meliputi harta, utang dan modal.
2. Laporan Laba Rugi, merupakan laporan keuangan yang menyajikan pendapatan
dan beban suatu perusahaan pada periode tertentu.
3. Laporan Perubahan Ekuitas, merupakan laporan yang menggambarkan perubahan
ekuitas perusahaan selama suatu periode tertentu.
4. Laporan Arus Kas, merupakan laporan yang menggambarkan arus kas masuk dan
arus kas keluar selama periode tertentu
10
5. Catatan atas Laporan Keuangan, merupakan laporan yang menginformasikan
kebijakan akuntansi yang mempengaruhi posisi keuangan dari hasil keuangan
perusahaan.
Lebih lanjut, menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007, p9), laporan keuangan
terbagi menjadi dua unsur menurut karakteristik ekonominya, yaitu unsur yang
berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan (meliputi aset,
kewajiban, dan ekuitas) dan unsur yang berkaitan dengan pengukuran kinerja dalam
laporan laba rugi (meliputi pendapatan dan beban).
Menurut Sulistyanto dalam bukunya Manajemen Laba (2008, p12) laporan
keuangan berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengambil
keputusan dan bagi manajemen untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber
daya perusahaan yang dipercayakan kepadanya. Oleh karenanya, laporan ini haruslah
relevan dan akurat. Pihak-pihak yang berkepentingan di sini dapat dibedakan menjadi
dua pihak, yaitu pihak intern seperti pemilik, pemegang saham, manajer, karyawan
dan pihak ekstern seperti kreditur, investor, pemerintah, serikat buruh, konsumen dan
pemasok.
II.2 Tinjauan Umum Laba
Wild, Subramanyam, dan Halsey dalam bukunya Financial Statement Analysis
(2007, p297) menyatakan bahwa: “An earnings (also referred as income) is the net of
revenues and gains less expenses and losses. It is determined using accrual basis of
accounting and annually reported into income statement.”
11
Apabila diterjemahkan adalah sebagai berikut:
“Laba adalah pendapatan bersih dan keuntungan dikurangi dengan beban-beban dan
kerugian. Laba tersebut ditentukan dengan menggunakan dasar akrual dan secara
tahunan dilaporkan dalam laporan laba rugi.”
Laba meringkas aktivitas operasi bisnis perusahaan. Wild, et al (2007, p298)
berkomentar bahwa laba merupakan informasi perusahaan yang paling diinginkan
dalam pasar keuangan. Laba memberikan baik pengukuran terhadap perubahan
ekuitas perusahaan pada suatu periode maupun estimasi kekuatan laba perusahaan di
masa mendatang.
Schroeder, Clark, dan Myrtle dalam bukunya yang berjudul Financial Accounting
Theory and Analysis (2005, p126) menyatakan bahwa “Income statement does aid
economic society in variety ways.” Schroeder, et al menguraikan kegunaan laba
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu dasar penentuan besarnya pengenaan pajak 2. Sebagai alat ukur kesuksesan operasi perusahaan 3. Sebagai kriteria untuk menentukan pembagian dividen 4. Sebagai alat bagi otoritas pengatur tarif untuk menentukan apakah tarif telah
dikenakan dengan adil dan wajar 5. Sebagai panduan bagi manajemen perusahaan dalam melaksanakan tugasnya
II.3 Akuntansi Akrual
II.3.1 Pengertian dan Klasifikasi Akrual
Laporan keuangan biasanya disajikan dengan menggunakan basis akrual. Hal ini
dikarenakan basis akrual lebih baik daripada basis kas dalam mengukur kinerja dan
kondisi keuangan perusahaan.
Statement of Financial Accounting Concepts No. 1 (2006 , p3) menyatakan bahwa:
12
“information about enterprise earnings based on accrual accounting generally provides a better indication of enterprises’ present and continuing ability to generate cash flows that information limited to the financial aspects of cash receipts and payments.”
Apabila diterjemahkan adalah sebagai berikut:
“Informasi mengenai laba perusahaan yang didasarkan pada azas akrual secara
umum lebih memberikan indikasi yang lebih baik mengenai kemampuan
perusahaan saat ini dan kelangsungannya untuk menghasilkan arus kas dimana
biasanya informasi terbatas pada penerimaan kas dan pengeluaran kas.”
Menurut Sulistyanto (2008, p22) prinsip akuntansi telah dibuat dengan
sebaik-baiknya, namun prinsip ini memiliki keterbatasan yang dikarenakan
fleksibitas yang diperbolehkannya. Laporan keuangan dengan basis akrual
meliputi banyak estimasi dan pertimbangan. Menurut Teoh, Wong, dan Rao
dalam Workingpaper (1997, p33), ada dua konsekuensi bagi akuntansi akrual
dengan diperbolehkannya pertimbangan manajemen dalam pelaporan laba, yaitu
manajer bisa menggunakan pertimbangan tersebut untuk meningkatkan
informativeness laporan keuangan atau menggunakannya secara opportunistic
untuk keuntungan pribadinya atau perusahaan.
Suharli dalam jurnal Balance (2005, pp44-45) membagi tipe akrual menjadi
dua, yaitu:
1. Discretionary accrual yaitu pengakuan akrual laba atau beban yang bebas,
tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan manajemen
2. Nondiscretionary accrual yaitu pengakuan akrual laba yang wajar, yang
didasarkan pada prinsip akuntansi yang berlaku umum
13
Gumanti (2000), Sulistyanto (2003), dan Midiastuty & Machfoeds (2003)
juga menyetujui bahwa discretionary accrual memberikan manajer fleksibilitas
untuk menentukan besarnya transaksi akrual, seperti penentuan pencadangan
piutang tak tertagih, biaya garansi, nilai persediaan, dan penentuan saat serta
jumlah extraordinary items. Akibatnya, discretionary accruals ini seringkali
digunakan sebagai proksi dilakukannya manajemen laba. Sementara itu,
nondiscretionary accrual meliputi pemilihan metode akuntansi akrual oleh
manajer yang diharapkan akan digunakan secara konsisten dalam menyajikan
laporan keuangan. Contohnya adalah pemilihan metode depresiasi dan kebijakan
akuntansi untuk pengakuan pendapatan.
II.3.2 Asimetri Informasi dan Akuntansi Akrual
Rahmawati dan Baridwan dalam Jurnal Akuntansi dan Bisnis (2007, p173)
menyatakan bahwa umumnya di dalam pasar terdapat suatu kelompok orang tertentu
(misalnya penjual) yang mengetahui sesuatu hal tentang aset yang hendak
diperjualbelikan, yang tidak diketahui oleh kelompok orang yang lainnya (misalnya
pembeli). Jika situasi ini terjadi, maka pasar dikatakan tidak efisien dan terjadi
asimetri informasi yang berarti bahwa distribusi informasi tidak sama kepada semua
peserta dalam pasar. Hal yang sama juga berlaku dalam manajemen laba, dimana
manajer mengetahui informasi dalam perusahaan yang tidak diketahui para
stakeholders. Adanya asimetri informasi ini dan fleksibilitas yang diberikan oleh
akuntansi akrual kepada manajer menyebabkan dapat dilakukannya praktik
manajemen laba.
14
Richardson dalam Working Paper (1998) dalam penelitiannya terhadap
perusahaan yang terdaftar di New York Stock Exchange (NYSE) periode 1988-1992
menemukan bahwa terdapat hubungan sistematis antara asimetri informasi dengan
earnings management.
II.4 Manajemen Laba
II.4.1 Pengertian Manajemen Laba
Beberapa ahli telah mencoba mengemukakan pendapat mereka mengenai
manajemen laba, di antaranya adalah:
1. Scott dalam Financial Accounting Theory (2006, p369), yang menyatakan bahwa
“Earnings Management is the choice by manager of accounting policies so as to
achieve some specific objectives.” Definisi tersebut dibagi menjadi dua yaitu:
a. Earnings management dipandang sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak
hutang dan political costs (Oportunistic Earnings Management).
b. Earnings management dipandang sebagai efficient contracting, dimana
manajemen laba memberi manajer fleksibilitas untuk melindungi perusahaan
dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga dan untuk
keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (Efficient Earnings
Management).
2. Wild, et al (2007, p86) mengatakan earnings management sebagai ”a
purposeful intervention by management in the earnings determination process,
usually to satisfy selfish objectives.”
15
Apabila diterjemahkan adalah sebagai berikut:
“Manajemen laba merupakan suatu cara bagi manajemen untuk melakukan
intervensi dalam penentuan laba perusahaan. Manajemen laba biasa dilakukan
untuk tujuan pribadi manajemen”
3. Assih dan Gudono dalam Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (2000, p36),
manajemen laba adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam
batasan Generally Accepted Accounting Principles (GAAP) untuk mengelola
pelaporan laba.
Dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen laba
adalah penggunaan pertimbangan manajemen dalam pemilihan kebijakan
akuntansi perusahaan untuk pelaporan keuangan dalam batasan prinsip akuntansi
yang berlaku umum, untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya maupun nilai
perusahaan.
II.4.2 Jenis Manajemen Laba
Menurut Suharli (2005, p46) manajemen laba terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Income Increasing Earnings Management
Jika laba masa kini relatif rendah dan diperkirakan laba masa depan tinggi,
manajer akan menggunakan pilihan prosedur akuntansi untuk meningkatkan
discretionary accruals masa kini.
2. Income Decreasing Earnings Management
Jika laba masa kini relatif tinggi dan diperkirakan laba masa depan rendah,
manajer akan menggunakan pilihan prosedur akuntansi untuk menurunkan
discretionary accruals masa kini.
16
II.4.3 Motivasi Manajemen Laba
Menurut Scott (2006, pp86-88) terdapat beberapa motivasi seseorang untuk
melakukan manajemen laba:
1. Bonus Purposes
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
secara opportunistic untuk melakukan manajemen laba, untuk
memaksimalkan bonus mereka berdasarkan rencana bonus perusahaan.
2. Political Motivation
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan besar yang aktivitasnya mempengaruhi banyak pihak, dengan
tujuan untuk mengurangi tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah
menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3. Taxation Motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan untuk tujuan penghematan pajak
pendapatan.
4. Pergantian Chief Executive Officer (CEO)
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan buruk, mereka
akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar. Hal ini
meningkatkan kemungkinan manajer perusahaan tersebut melakukan
17
manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan
harga saham perusahaan.
6. Untuk Memberikan Informasi kepada Investor
Manajer memiliki informasi dalam terbaik mengenai prospek laba
perusahaan. Jika laba yang dilaporkan dikelola sedemikian rupa sehingga
mencerminkan estimasi terbaik manajemen atas kekuatan laba perusahaan,
dan pasar menyadari hal ini, harga saham akan dengan cepat merefleksikan
informasi tersebut. Manajemen laba yang dapat mengungkap informasi dalam
perusahaan, dapat meningkatkan informativeness pelaporan keuangan.
Motivasi dilakukannya manajemen laba menurut Wild, et al (2007, p94)
adalah sebagai berikut:
1. Contracting Incentives
Banyak kontrak yang menggunakan dasar angka akuntansi, misalnya kontrak
kompensasi manajer yang menawarkan bonus berdasarkan laba. Kontrak ini
memiliki batas atas dan batas bawah. Apabila batas bawah tidak tercapai,
maka manajer tidak akan mendapatkan bonus, sebaliknya apabila laba
melebihi batas atas maka manajer tidak akan memperoleh tambahan bonus.
Hal ini menyebabkan manajer memiliki insentif untuk menaikkan atau
menurunkan laba berkaitan dengan batas atas dan batas bawah. Manajer
mengatur angka yang digunakan dalam kontrak (misalnya kontrak
kompensasi) untuk mempengaruhi kesejahteraan manajer.
18
2. Stock Prices Effects
Earnings management dilakukan untuk mempengaruhi harga saham untuk
kepentingan pribadi seperti saat akan dilakukan merger, penawaran opsi atau
saham.
3. Other Incentives
Earnings management dilakukan untuk mempengaruhi:
a. Government favors
Manajemen laba dilakukan untuk mempengaruhi tindakan politik, yaitu
untuk mengurangi biaya politis dan pengawasan dari pemerintah,
dilakukan dengan cara menurunkan laba; untuk memperoleh kemudahan
dan fasilitas dari pemerintah, misalnya subsidi dan perlindungan dari
pesaing luar negeri, dilakukan dengan cara menurunkan laba; serta
manajer berusaha menurunkan laba untuk mengurangi beban pajak yang
harus dibayar (taxation motivation).
b. Permintaan tenaga kerja
Untuk meminimalkan tuntutan serikat buruh, dilakukan dengan cara
menurunkan laba.
c. Pergantian manajer
Manajer yang habis masa penugasannya atau pensiun akan melakukan
strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian
pula dengan manajer yang kinerjanya kurang baik, ia akan cenderung
memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya.
19
d. Initial Public Offerings (IPO)
Saat perusahaan akan go public, informasi keuangan yang ada dalam
prospektus merupakan sumber informasi yang paling penting. Informasi
ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai
perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor, maka
manajer berusaha menaikkan earnings yang dilaporkan.
e. Debt Covenant
Semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka
manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat
“memindahkan” laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga
dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran
kontrak.
II.4.4 Faktor Penyebab Timbulnya Earnings Management
Salah satu penyebab earnings management adalah adanya kompensasi untuk
eksekutif perusahaan yang didasarkan pada pencapaian laba. Gumanti dalam Seminar
Nasional Akuntansi (2000, p46) menyatakan terdapat teori maupun bukti-bukti
empiris yang menunjukkan bahwa earnings atau laba telah dijadikan sebagai suatu
target dalam proses penilaian prestasi usaha suatu departemen secara khusus
(manajer) atau perusahaan (organisasi) secara umum. Keuntungan atau perolehan
secara akuntansi (accounting income) berperan penting dalam pembuatan keputusan
bagi banyak pihak, seperti investor, penyedia dana (kreditur), manajer, pemilik atau
pemegang saham, dan pemerintah. Pentingnya laba ini bagi berbagai pihak dan
20
adanya asimetri informasi, membuat manajemen berkesempatan untuk melakukan
manajemen laba.
II.4.5 Mekanisme Manajemen Laba
Menurut Wild, et al (2007, p88), mekanisme dilakukannya earnings management
adalah:
1. Income Shifting
Income Shifting yaitu proses earnings management dengan memindahkan income
dari satu periode ke periode lain. Income Shifting dilakukan dengan mempercepat
atau menunda pengakuan pendapatan atau beban. Contohnya mempercepat atau
menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode
akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai
periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan,
mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah disepakati, dan lain sebagainya.
2. Classificatory Earnings Management
Earnings management juga dapat dilakukan dengan cara mengklasifikasikan
pendapatan dan beban di bagian tertentu dalam laporan laba rugi. Bentuk paling
umum dari classificatory earnings management yaitu memindahkan beban ke
urutan bawah agar kurang diperhatikan.
II.4.6 Strategi Manajemen Laba
Strategi dilakukannya earnings management, menurut Wild, et al (2007, p87),
adalah sebagai berikut:
21
1. Increasing Income
Increasing Income dilakukan dengan mempercepat pencatatan pendapatan,
menunda beban, dan memindahkan beban ke periode lain untuk meningkatkan
laba.
2. Big Bath
Strategi ini dilakukan ketika keadaan yang tidak menguntungkan tidak bisa
dihindari pada periode berjalan. Caranya adalah dengan mengakui beban dan
kerugian periode berjalan serta periode yang akan datang pada periode berjalan.
Biasanya hal ini dilakukan ketika perusahaan memiliki performa yang buruk
(umumnya ketika terjadi resesi dimana kebanyakan perusahaan melaporkan laba
yang rendah) atau ketika terjadi kejadian yang tidak biasa seperti pergantian
manajer, merger, atau restrukturisasi.
3. Income Smoothing
Income Smoothing merupakan bentuk earnings management yang paling sering
dilakukan dan paling populer. Dengan strategi ini, manajer menurunkan atau
menaikkan laba yang dilaporkan untuk mengurangi gejolak pelaporan laba
sehingga perusahaan terlihat stabil atau tidak berisiko tinggi.
II.4.7 Faktor Perilaku Manajer
Rahmawati dalam Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (2007, p71) menyatakan
bahwa ada tiga faktor yang dikaitkan dengan perilaku manajer dalam pengaturan
tingkat keuntungan, yang dikenal dengan tiga hipotesa, yaitu:
22
1. Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya,
yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang diberikan bonus besar
berdasarkan laba lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang
meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kontrak kredit
cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan
laba.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut
dikarenakan dengan laba yang tinggi, pemerintah akan segera mengambil
tindakan, misalnya menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
II.4.8 Permainan Manajerian dalam Manajemen Laba
Upaya penyelewengan informasi dilakukan dengan mempermainkan komponen-
komponen dalam laporan keuangan, baik dengan mempermainkan besar kecilnya
maupun menyembunyikan atau menunda pengungkapan komponen tertentu.
Menariknya upaya ini dapat dilakukan tanpa harus melanggar standar akunansi yang
selama ini digunakan secara umum. Hanya dengan mengganti metode dan prosedur
akuntansi tertentu dengan metode dan prosedur akuntansi yang lain besar kecilnya
komponen laporan keuangan dapat diatur sesuai keinginan manajer perusahaan.
23
Selain itu manajer juga dapat mempermainkan komponen-komponen laporan
keuangan dengan menentukan atau mengubah nilai estimasi yang dipakainya, dan
banyak pihak yang menyatakan bahwa upaya mempermainkan laporan keuangan ini
dapat dilakukan justru karena diakomodasi dan difasilitasi oleh prinsip akuntansi
sendiri.
Menurut Sulistyanto dalam bukunya Manajemen Laba (2008, p33) menyatakan
ada beberapa cara yang sering digunakan manajerial untuk memainkan besar kecilnya
laba, yaitu:
1. Mengakui dan mencatat pendapatan terlalu cepat atau sebaliknya
2. Mengakui dan mencatat pendapatan palsu
3. Mengakui biaya periode berjalan menjadi biaya periode sebelum atau sesudahnya
4. Tidak mengungkapkan semua kewajiban
5. Mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode sebelumnya
6. Mengakui pendapatan masa depan menjadi pendapatan periode berjalan.
II.4.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba
Telah banyak penelitian empiris terdahulu yang menguji faktor-faktor yang
mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba. Namun, temuan empiris yang
didapat masih menunjukkan bervariasinya kesimpulan mengenai berpengaruh atau
tidaknya beberapa faktor terhadap manajemen laba. Berikut disajikan penelitian-
penelitian empiris terdahulu yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi dan
tidak mempengaruhi manajemen laba.
24
II.4.9.1 Struktur Kepemilikan dan Manajemen Laba
Menurut Tri Widyastuti dalam Jurnal Maksi (2009, p33) struktur kepemilikan
adalah susunan kepemilikan saham perusahaan oleh berbagai pihak. Dalam
pandangan teoritis, beberapa peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan
perusahaan berpengaruh terhadap jalannya perusahaan. Veronica dan Utama dalam
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (2006, p309) menyatakan bahwa tujuan perusahaan
sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi dan pemegang surat utang,
corporate governance, dan proses insentif yang membentuk motivasi manajer.
Struktur kepemilikan terbagi menjadi dua, yaitu kepemilikan manajerial (insider
ownership) dan kepemilikan institusional (institutional ownership). Kepemilikan
manajerial (insider ownership) dapat diartikan sebagai seberapa besar andil manajer
terhadap keseluruhan modal suatu perusahaan publik. Hal tersebut dapat dinyatakan
dengan persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh dewan komisaris, direksi,
maupun manajer.
Jensen dan Meckling dalam Journal of Financial Economic (1996, p305) dengan
hipotesis pemusatan kepentingannya (convergence of interest hypothesis) menyatakan
kepemilikan manajerial dapat mengurangi praktik manajemen laba karena adanya
penyatuan tujuan atau kepentingan manajemen dengan tujuan para pemegang saham.
Rahmawati dalam Jurnal Akuntansi dan Bisnis (2007, p175) menyatakan bahwa
kepemilikan institusional (institutional ownership) adalah besarnya kepemilikan
investor di luar perusahaan atau perusahaan lain terhadap keseluruhan modal suatu
perusahaan publik. Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang
memonitor perusahaan dan pencegahan terhadap pemborosan atau penyelewengan
25
yang mungkin dilakukan oleh manajemen (Veronica et al, 2006). Semakin besar
kepemilikan institusional, maka semakin besar peran pihak institusional tersebut
dalam pengambilan keputusan perusahaan. Hal ini menyebabkan semakin kecil
kemungkinan dilakukannya manajemen laba oleh pihak manajemen karena adanya
pengawasan yang ketat oleh investor institusional.
II.4.9.2 Good Corporate Governance
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2002)
mendefinisikan corporate governance sebagai:
“seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka.”
Tujuan corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua
pihak yang berkepentingan. Corporate governance merupakan suatu cara untuk
menjamin bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan stakeholders
(Veronica et al, 2006). Pelaksanaan good corporate governance menuntut adanya
perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemegang saham, terutama pemegang
saham minoritas.
Penerapan good corporate governance dapat dilihat dari beberapa faktor, di
antaranya proporsi dewan komisaris independen dan keberadaan komite audit di
dalam perusahaan.
Hubungan antara proporsi dewan komisaris independen dengan manajemen laba
tersirat dari fungsi dewan komisaris itu sendiri yaitu untuk memastikan bahwa
perusahaan telah melakukan tanggung jawab sosial dan mempertimbangkan
26
kepentingan berbagai stakeholders perusahaan sebaik memonitor efektivitas
pelaksanaan good corporate governance (FCGI, 2002). Wedari dalam Simposium
Nasional Akuntansi VII (2004, P965) menyatakan bahwa masuknya dewan komisaris
yang berasal dari luar perusahaan akan meningkatkan efektivitas dewan tersebut
dalam mengawasi manajemen untuk mencegah kecurangan dalam laporan keuangan.
Keberadaan komite audit juga merupakan salah satu bentuk penerapan good
corporate governance. Komite audit merupakan komite yang dibentuk oleh dewan
komisaris yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh dewan komisaris.
Menurut Wedari (2004, p966) tujuan dibentuknya komite audit adalah untuk
membantu dewan komisaris melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap
perlu terhadap pelaksanaan tugas direksi dalam pengelolaan perusahaan. Sedangkan
tujuan dibentuknya komite audit menurut Veronica, et al (2006) meliputi aspek
pengawasan independen atas proses penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan
audit ekstern, proses pengelolaan risiko dan kontrol, dan proses pelaksanaan
corporate governance. Dengan demikian, keberadaan komite audit dalam perusahaan
akan mengurangi praktik manajemen laba.
II.4.9.3 Financial Leverage dan Manajemen Laba
Menurut Veronica, et al (2006), financial leverage merupakan suatu ukuran yang
membandingkan jumlah hutang perusahaan dengan jumlah aktiva yang dimilikinya.
Hal ini bertujuan untuk melihat seberapa bagian aktiva yang digunakan untuk
menjamin hutang.
Hubungan antara manajemen laba dengan financial leverage dapat dilihat dari
salah satu motivasi manajemen laba yang dikemukakan oleh Tri Widyastuti (2009,
27
p39) yaitu debt convenant hypothesis, yang menyatakan semakin dekat suatu
perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih
metode akuntansi yang dapat “memindahkan” laba periode mendatang ke periode
berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami
pelanggaran kontrak.
Menurut Midiastuty dan Machfoeds dalam Simposium Nasional Akuntansi VI
(2003, P179), perusahaan yang mempunyai rasio leverage tinggi diduga melakukan
earnings management karena perusahan terancam default yaitu tidak dapat memenuhi
kewajiban pembayaran hutang pada waktunya. Perusahan akan berusaha
menghindarinya dengan membuat kebijakan yang dapat memberikan perusahan
posisi bargaining yang relatif lebih baik dalam negosiasi atau penjadwalan ulang
hutang dagang.
II.4.9.4 Ukuran Perusahaan dan Manajemen Laba
Ukuran perusahaan merupakan cerminan seberapa besar suatu perusahaan yang
dapat diukur dengan menggunakan total aktiva, penjualan (sales), dan market
capitalization (Rahmawati, 2007). Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi
manajemen laba dimana perusahan besar menghadapi public demand atas informasi
yang tinggi sehingga perusahan harus mengungkapkan lebih banyak informasi yang
berakibat menurunnya asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang
saham. Menurunnya asimetri informasi ini berakibat pada mengecilnya kemampuan
manajemen untuk melakukan manajemen laba karena pemegang saham mengetahui
hampir semua informasi perusahaan.
28
II.4.9.5 Kualitas Audit dan Manajemen Laba
Nuraini dan Zain dalam Jurnal Maksi (2007, p22) menyatakan bahwa kualitas
audit dapat dilihat dalam dua dimensi:
1. Auditor harus mampu mendeteksi salah saji materi
Kemampuan untuk mendeteksi salah saji materi sangat dipengaruhi oleh
kemampuan teknologi dari auditor, prosedur audit, dan jumlah sampling yang
digunakan.
2. Salah saji tersebut harus dilaporkan
Kemampuan untuk melaporkan salah saji material secara tepat tergantung pada
sikap independensi auditor, jika auditor berada pada tekanan personal, emosional,
dan keuangan maka auditor akan kehilangan independensi.
Lebih lanjut menurut Nuraini, et al (2007, p22) audit yang berkualitas akan
mampu mengurangi faktor ketidakpastian yang berkaitan dengan laporan keuangan
yang disajikan oleh pihak manajemen. Karena itu, wajar jika kemudian kualitas audit
menjadi topik yang selalu memperoleh perhatian mendalam dari profesi akuntan,
pemerintah, masyarakat serta investor. Bukti menunjukkan beberapa indikasi bahwa
kualitas audit telah mengalami penurunan pada tahun 1990an berkaitan dengan kasus
Enron dan Worldcom. Jatuhnya KAP Arthur Andersen merupakan saat yang tepat
untuk mempertanyakan kualitas audit yang diberikan oleh KAP big International.
Kritik tersebut telah melahirkan perubahan terhadap undang-undang di Amerika
Serikat dengan berlakunya Sarbanes-Oxley Act pada bulan Juni tahun 2002 diikuti
dengan KMK No.423/KMK-06/2002 di Indonesia. Undang-undang tersebut
diantaranya mengatur tentang rotasi wajib bagi auditor serta KAP tidak
29
diperbolehkan memberikan jasa non-audit disamping pemberian jasa audit pada klien
karena dapat mengganggu independensi auditor. Kualitas audit akan selalu diragukan
jika jasa-jasa lain yang diberikan dianggap membahayakan keobjektifan dan
independensi auditor.
Sehubungan dengan kualitas audit terhadap manajemen laba, Krishnan dan
Gopal dalam Accounting Horizon (2003, p1) menemukan bahwa kualitas audit
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, perusahaan dengan auditor non-big six
melaporkan discretionary accruals yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan perusahaan auditor big six. Hal ini merefleksikan bahwa accounting flexibility
telah diijinkan oleh auditor non big six. Krishnan et al (2003) juga menemukan
bahwa auditor non-big six secara signifikan memiliki variasi yang lebih banyak dalam
discretionary accruals dibandingkan dengan auditor big six.
II.4.10 Cara Mendeteksi Manajemen Laba
Menurut Sulistyanto (2008, p43) terdapat beberapa cara mendeteksi manajemen
laba yaitu:
1. Manajemen tidak jujur
Munculnya permasalahan antara manajer dan pemilik perusahaan, khususnya
untuk perusahaan yang kepemilikkannya menyebar disebabkan karena pada tipe
kepemilikan seperti ini tidak ada pemegang saham mayoritas yang dapat
mengintervensi wewenang manajer perusahaan. Akibatnya adalah pemegang
saham kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan manajer. Manajer
mempunyai kekuasaan penuh untuk mengelola perusahaan sesuai dengan
kepentingannya. Manajer tidak lagi bekerja untuk untuk kepentingan dan
30
kesejahteraan pemegang saham tetapi bekerja untuk kesejahteraannya sendiri.
Lemahnya posisi pemegang saham pada akhirnya mengakibatkan akses dan
sumber terhadap informasi mengenai keuangan, manajemen, dan operasional
perusahaan menjadi sangat terbatas.
2. Lingkungan pengendalian yang tidak mencukupi
Lingkungan pengendalian yang tidak memadai seperti lemahnya pengendalian
internal dan lemahnya penerapan Good Corporate Govarnance memberikan
peluang yang lebih besar kepada manajemen untuk melakukan manajemen laba.
3. Perubahan auditor, konsultan hukum atau CFO
Perubahan auditor, konsultan hukum ataupun CFO yang bertugas dalam suatu
perusahaan mengindikasikan ada suatu masalah yang terjadi dalam perusahaan
tersebut.
4. Perubahan prinsip akuntansi dan estimasi
Manajemen mempunyai kebebasan untuk mengubah atau mengganti metode
akuntansi yang selama ini dipakai dengan metode akuntansi lain. Hal inilah yang
mendorong seorang manajer untuk mengoptimalkan kepentingan dan
kesejahteraan pribadi. Seorang manajer hanya mau menggunakan suatu metode
akuntansi tertentu apabila ada manfaat yang bisa diperoleh. Metode akuntansi
yang tidak memberi manfaat tidak akan digunakan atau diganti dengan metode
lain.
5. Defisit yang cukup besar dalam arus kas operasi relatif terhadap laba bersih
Baik buruknya kinerja suatu perusahaan tidak hanya dapat dilihat dari laba bersih
yang dihasilkannya karena meskipun laba yang dihasilkan suatu perusahaan itu
31
sangat besar belum tentu diikuti dengan penerimaan kas dari aktivitas operasinya.
Hal ini disebakan karena adanya dasar akrual yang melandasi pembuatan laporan
laba rugi.
6. Perbedaan subtansial antara pertumbuhan penjualan dan penerimaan
Besarnya pertumbuhan penjualan seharusnya juga diiringi oleh pertumbuhan
penerimaan kasnya. Jika hal ini tidak terjadi terdapat kemungkinan manajer
mencatat pendapatan palsu sehingga pendapatan ini tidak akan pernah terealisir
sampai kapanpun. Upaya ini mengakibatkan pendapatan periode berjalan menjadi
lebih besar daripada pendapatan sesungguhnya sehingga laba priode berjalan juga
lebih besar daripada laba sesungguhnya.
7. Kenaikan atau penurunan laba kotor yang besar
Kenaikan laba kotor yang sangat besar bisa dilakukan manajer dengan
mempercepat pencatatan pendapatan atau menunda beban sehingga kinerja
perusahaan terlihat optimal, sedangkan penurunan laba kotor yang besar juga bisa
dilakukan manajer untuk menghindari pajak atau bahkan agar kinerja tahun
berikutnya terlihat sangat baik.
8. Mencatat pendapatan dari pembeli yang berisiko
Jika penjualan terjadi dari pembeli yang berisiko mengindikasikan perusahaan
berusaha untuk meningkatkan pendapatan perusahaan sehingga performa
perusahaan terlihat baik dan menarik perhatian investor.
9. Keberadaan komitmen dan kontijensi
Komitmen menunjukkan suatu ikatan atau kontrak berupa janji yang tidak dapat
dibatalkan secara sepihak. Sedangkan kontijensi menunjukkan suatu keadaan yang
32
diliputi ketidakpastian mengenai kemungkinan diperolehnya laba atau rugi oleh
suatu perusahaan yang baru akan terselesaikan dengan terjadi atau tidak terjadinya
satu atau lebih peristiwa di masa yang akan datang. Adanya komitmen dan
kontijensi ini jika berjumlah besar dapat mempengaruhi posisi keuangan dan
kinerja perusahaan.
II.4.11 Implikasi Manajemen Laba bagi Pemakai Laporan Keuangan
Menurut Sulistyanto (2008, p115) praktik manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen suatu perusahaan membuat setiap pihak harus menanggung implikasinya.
Pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut:
1. Manajer perusahaan, harus menanggung implikasi manajemen laba yang berupa
kemungkinan kesulitan keuangan dan kebangkrutan di masa depan.
2. Investor, harus menanggung implikasi berupa hilangnya kesempatan memperoleh
return dan kehilangan modal yang telah ditanamkannya.
3. Pemerintah, harus menanggung implikasi berupa kehilangan kesempatan untuk
memperoleh pajak.
4. Regulator, harus menanggung implikasi berupa hilangnya integritas dan
kredibilitas karena regulasinya mudah dipermainkan.
5. Kreditur, harus menanggung implikasi berupa hilangnya kesempatan untuk
memperoleh return dan dana yang dipinjamkan kepada perusahaan yang
bersangkutan.
6. Masyarakat, juga harus menanggung implikasi berupa hancurnya perekonomian.
33
II.4.12 Model Empiris Manajemen Laba
Model empiris bertujuan untuk mendeteksi manajemen laba. Menurut Sulistanto
(2008, p216) model empiris manajemen laba pertama kali dikembangkan oleh Healy
lalu dilanjutkan oleh De Angelo dan Jones.
a. Model Healy
Model Healy merupakan model pertama yang digunakan untuk mendeteksi
manajemen laba dengan menghitung nilai total akrual, yaitu dengan mengurangi
laba akuntansi yang diperoleh selama periode tertentu dengan arus kas operasi
periode bersangkutan. Untuk menghitung nondiscretionary accruals model Healy
membagi rata-rata total akrual dengan total aktiva periode sebelumnya.
Kelemahan dalam model Healy adalah tidak adanya pemisahan antara
discretionary accruals dan nondiscretionary accruals padahal non discretionary
accruals merupakan komponen total akrual yang tidak bisa dikelola dan di atur
oleh manajemen. Pada model ini nilai nondiscretionary accruals dianggap
konstan.
b. Model De Angelo
Secara umum model De Angelo menghitung total akrual sebagai selisih antara
laba akuntansi yang diperoleh selama satu periode dengan arus kas periode
bersangkutan. Model ini mengukur manajemen laba dengan nondiscretionary
accruals yang dihitung dengan menggunakan total akrual akhir periode yang
diskala dengan total aktiva periode sebelumnya. Sama sepeti model Healy, model
De Angelo juga tidak memisahkan antara discretionary accruals dan
nondiscretionary accruals padahal nondiscretionary accruals merupakan
34
komponen total akrual yang tidak bisa dikelola dan di atur oleh manajemen. Pada
model ini nilai nondiscretionary accruals dianggap konstan.
c. Model Jones Dimidifikasi
Model Jones tidak lagi menggunakan asumsi bahwa nondiscretionary accruals
adalah konstan. Model ini banyak digunakan dalam penelitian-penelitian akuntansi
karena dinilai merupakan model yang paling baik dalam mendeteksi manajemen
laba. Model ini memecah komponen akrual menjadi discretionary accruals dan
nondiscretionary accruals.
II.5. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode
pengolahan data secara elektronik (electronic data processing) dengan bantuan
software EViews 5.1. Kelebihan penggunaan software Eviews 5.1 adalah output dari
EViews 5.1 dapat menampilkan hasil dari pengolahan data dan pengujian hipotesis
secara bersamaan. Menurut Winarno dalam Analisis Ekonometrika dan Statistika
dengan Eviews (2007) teknik pengolahan data dilakukan dengan :
1. Uji Statistik Deskriptif
Analisis ini berguna sebagai alat untuk menganalisa data dengan cara
menggambarkan sampel yang telah ada tanpa maksud membuat kesimpulan yang
berlaku umum. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik sampel
yang diujikan. Analisis ini menghitung nilai minimum, maksimum, mean, standar
deviasi, dan keterangan lainnya.
35
2. Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik untuk menguji kelayakan penggunaan model regresi dan
kelayakan variabel bebas. Tujuan pengujian asumsi klasik adalah agar dapat
menghasilkan nilai parameter yang baik sehingga hasil penelitian dapat lebih
diandalkan. Menurut Winarno (2007, p51), pengujian asumsi klasik dalam
penelitian ini, yang dilakukan dengan bantuan EViews 5, terdiri dari tiga jenis,
yaitu:
a. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan adanya korelasi antara variabel independen, model regresi yang baik
seharusnya tidak mengandung multikolinearitas. Jika korelasi kuat terjadi
antara variabel independen maka terjadi masalah multikolinearitas. Dalam
penelitian ini uji multikolinearitas dilakukan dengan correlation matrix test.
Suatu data dikatakan tidak mengalami atau bebas dari multikolinearitas jika
memiliki koefisien korelasi antarvariabel lebih kecil dari 0,5. Jika terjadi
multikolinearitas maka akan dibuat pemodelan khusus untuk setiap variabel
independen.
b. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual dari suatu pengamatan ke
pengamatan lain. Jika variance dan residual dari suatu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap maka disebut homoskedastisitas, dan jika berbeda
36
disebut heteroskedastisitas. Suatu model regresi yang baik adalah regresi yang
tidak terjadi heteroskedastisitas.
Untuk mendeteksi terdapat heteroskedastisitas pada model regresi dapat
dilakukan uji white. Dasar pengambilan keputusan dapat dilihat dari nilai
probabilitas untuk Obs*R-squared, jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0.05
maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut bersifat heteroskedastis.
c. Uji Autokorelasi
Pengujian Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model
regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pengganggu pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan
ada masalah autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang
berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena
residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu pengamatan ke
pengamatan lainnya.
Hal ini sering ditemukan pada data time series atau urutan waktu karena
gangguan pada satu individu atau kelompok cenderung mempengaruhi
gangguan pada individu atau kelompok yang sama pada periode berikutnya.
Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Panduan
yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi akan dipakai
besaran Durbin-Watson (D-W). Secara umum dapat diambil patokan :
1) angka D – W; 0 - 1,10 berarti ada autokorelasi yang positif
2) angka D-W; 1,54 - 2,46 berarti tidak ada autokorelasi
3) angka D-W; 2,90 – 4 berarti ada autokorelasi yang negatif
37
d. Uji Normalitas
Salah satu asumsi dalam analisis statistika adalah data berdistribusi normal.
Dalam analisis multivariat, para peneliti menggunakan pedoman kalau tiap
variabel terdiri dari 30 data, maka data sudah berdistribusi normal. Meskipun
demikian, untuk menguji dengan lebih akurat, diperlukan alat analisis dan
Eviews menggunakan dua cara, yaitu dengan cara melihat koefisien Jarque
Bera dan probabilitasnya:
1) Bila nilai Jarque Bera tidak signifikan (lebih kecil dari 2), maka data
berdistribusi normal
2) Bila probabilitas lebih besar dari 5%, maka dara berdistribusi normal
II.6 Hipotesis
Menyusun landasan teori merupakan langkah penting untuk membangun suatu
hipotesis. Landasan teori yang dipilih haruslah sesuai dengan ruang lingkup
permasalahan yang akan menjadi suatu asumsi dasar peneliti dan sangat berguna pada
saat menentukan suatu hipotesis penelitian.
Peneliti harus selalu bersikap terbuka terhadap fakta dan kesimpulan terdahulu
baik yang memperkuat maupun yang bertentangan dengan prediksinya. Jadi, dalam
hal ini telaah teoritik dan temuan penelitian yang relevan berfungsi menjelaskan
permasalahan dan menegakkan prediksi akan jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan penelitian.
Kesimpulan yang diambil adalah hipotesis penelitian dapat dirumuskan melalui
jalur:
38
1. Membaca dan menelaah ulang (review) teori dan konsep-konsep yang membahas
variabel-variabel penelitian dan hubungannya dengan proses berfikir deduktif.
2. Membaca dan menelaah ulang (review) temuan-temuan penelitian terdahulu yang
relevan dengan permasalahan penelitian lewat berfikir induktif.
Menurut Ghozali (2007, p84) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis
menyatakan hubungan apa yang dicari atau ingin dipelajari. Hipotesis adalah
keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks. Oleh
karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah penelitian.
Menurut Ghozali (2007, p84) ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam
penelitian antara lain :
1. Hipotesis kerja atau alternatif (Ha)
Hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau
adanya perbedaan antara dua kelompok.
2. Hipotesis nol atau null hypotheses (Ho)
Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau tidak
adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y
II.6.1 Teknik Pengujian Hipotesis
Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh adalah
analisis kuantitatif. Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji analisa regresi linier
berganda dengan model interaksi metode Least Squares. Selanjutnya dari output
software Eviews 5.1, perlu diperhatikan nilai dari probabilitas dari setiap variabel
independen untuk mengetahui apabila semua variabel independen yang dimasukkan
39
ke dalam model mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Dasar
pengambilan keputusannya adalah jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak, jika
probabilitas < 0,05 maka Ha diterima.
Selain melihat nilai probabilitas di atas, untuk menentukan apakah suatu model
sudah baik maka perlu diperhatikan nilai koefisien determinasi (adjusted R2).
Koefisien korelasi (R) sendiri digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Nilai dari R berkisar dari 0 sampai dengan 1.
Jika R semakin mendekati 1 maka hubungan yang terjadi semakin kuat, tetapi jika R
semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi semakin lemah. Hal tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
1) 0,00 – 0,199 = sangat lemah
2) 0,20 – 0,399 = lemah
3) 0,40 – 0,599 = sedang
4) 0,60 – 0,799 = kuat
5) 0,80 – 1,000 = sangat kuat.
Analisis koefisien determinasi (adjusted R2) dilakukan untuk mengetahui berapa
besar presentase dari variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai
adjusted R2 yang mendekati seratus persen berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel dependen.