BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan...

44
1 1 BAB II LANDASAN TEORI A. Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SD 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan secara teori dapat dinyatakan sebagai; ”seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu tujuan IPS “ (Somantri, 2001:159). Labih lanjut Muhammad Nu’man Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa: “ Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara’. Sedangkan Djahiri (2002:91) menjelaskan secara lebih luas tentang makna PKn sebagai berikut: ”PPKN sebagai bagian pendidikan ilmu kewarganegaraan atau PKn di manapun dan kapanpun sama/mirip, yakni program dan rekayasa pendidikan untuk membina dan membelajarkan anak menjadi warganegara yang baik, iman, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta mampu membina serta melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law) , demokratis dan partisipatif, aktif-kreatif-positif dalam kebhinnekaan kehidupan masyarakat- bangsa-negara madani (civil sociaty) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan modern tanpa melupakan jati diri masyarakat bangsa dan negaranya”.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

1

1

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SD

1. Pengertian

Pendidikan Kewarganegaraan secara teori dapat dinyatakan sebagai;

”seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan,

humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara

psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu tujuan IPS “ (Somantri,

2001:159).

Labih lanjut Muhammad Nu’man Somantri (2001:154) mengemukakan

bahwa:

“ Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta

didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan

hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan bela negara agar

menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara’.

Sedangkan Djahiri (2002:91) menjelaskan secara lebih luas tentang makna

PKn sebagai berikut:

”PPKN sebagai bagian pendidikan ilmu kewarganegaraan atau PKn di manapun dan kapanpun sama/mirip, yakni program dan rekayasa pendidikan untuk membina dan membelajarkan anak menjadi warganegara yang baik, iman, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta mampu membina serta melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law) , demokratis dan partisipatif, aktif-kreatif-positif dalam kebhinnekaan kehidupan masyarakat-bangsa-negara madani (civil sociaty) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan modern tanpa melupakan jati diri masyarakat bangsa dan negaranya”.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

2

2

Pendapat lain tentang Pedidikan Kewarganegaraan dijelaskan Sanusi (1999)

dengan menawarkan model pendidikan yang didasarkan pada sepuluh pilar

demokrasi meliput: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Hak Asasi Manusia, (3)

Kedaulatan rakyat, (4) Kerakyatan yang cerdas, (5) Pembagian kekuasaan negara,

(6) Otonomi Daerah, (7) Rule of law, (8) Pengadilan yang merdeka, (9)

Kemakmuran umum, dan (10) Keadilan sosial.

Sedang menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 39 ditegaskan bahwa :

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik

dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara

warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar

menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara.

Sementara dalam Kurikulum 2004 disebutkan bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan (citizenship), adalah merupakan mata pelajaran yang

memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio

kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa yang menjadi warganegara Indonesia yang

cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945

(Depniknas, 2003:7).

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan adalah merupakan bagian dari ilmu pendidikan sosial (IPS)

yang dipersiapkan untuk membekali peserta didiknya dengan pengetahuan dan

keterampilan dasar yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara

dengan negara yang dilaksanakan dengan proses pembinaan dan pembelajaran

agar menjadi warganegara yang baik, iman, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

3

3

mampu melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga

masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law), demokratis

dan partisipatif, aktif serta kreatif dalam kebhinekaan kehidupan masyarakat-

bangsa-negara madani (civil sociaty) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia

serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan modern tanpa melupakan

jati diri masyarakat bangsa dan negaranya.

1. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Dilihat dari segi materi dan tujuan pembelajarannya, Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) merupakan bagian atau salah satu tujuan Pendidikan IPS,

yaitu bahan pendidikan yang diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari

berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, pancasila, UUD 1945,

dan perundang-undangan negara, dengan tekanan, bahan pendidikan pada

hubungan warga negara dengan negara dan bahan pendidikan yang berkenan

dengan bela negara (Soemantri,2001: 161)

Labih lanjut Nu’man Somantri (2001:166) menjelaskan tentang fungsi

Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai:

“Usaha sadar yang dilakukan secara ilmiah dan psikologis untuk memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik agar terjadi internalisasi moral Pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan untuk melandasi tujuan pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan prilaku sehari-hari”.

Sematara itu secara teoretik keilmuan, Djahiri (1994:1) menyatakan bahwa:

‘Target harapan dan isi utama PKn adalah memanusiakan dan mendewasakan serta membudayakan anak manusia (siswa) secara paripurna berdasarkan nilai, moral Pancasila, agama dan budaya luhur bangsa Indonesia sehingga kelak di kemudian hari akam hidup suatu generasi “Manusia Indonesia Pancasila Sejati” dalam tatanan kehidupan budaya pancasila”

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

4

4

Kemudian secara rinci A. Kosasih Djahiri (1994:10) menjelaskan

tujuan PKn adalah sebagai berikut:

a. Secara umum, tujuan PKn harus ajeg dan medukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu: “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan “.

b. Secara khusus, tujuan PKn yaitu; “membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepen-tingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat ataupun kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22

Tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

adalah sebagai berikut bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegraan adalah:

1) Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi

3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi dan komunikasi.

Sejalan dengan isi dari petikan peraturan Permendiknas di atas Bunyamin

Maftuh (2008:96) menjelaskan tentang tujuan utama Pendidikan

Kewarganegaraan, “adalah untuk mendidik siswa yang baik dan bertanggung

jawab, mampu memecahkan masalah mereka sendiri dan masalah masyarakatnya,

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

5

5

termasuk memecahkan konflik antar pribadi dan antar kelompok, dalam cara-cara

yang damai dan demokratis”.

Berdasarkan dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan mengenai tujuan

dari Pendidikan Kewarganegaraan dapat di bagi pada sekala umum, adalah

merupakan bagian dari tujuan Ilmu Pendidikan Sosial yaitu bahan pendidikan

yang diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu

sosial, humaniora, dokumen negara, pancasila, UUD 1945, dan perundang-

undangan negara, dengan tekanan, bahan pendidikan pada hubungan warga

negara dengan negara dan bahan pendidikan yang berkenan dengan bela negara.

Sedangkan dalam sekala khusus adalah tujuan yang bangun dalam bingkai

pembinaan, pengajaran dan pembelajaran terhadap anak didik (di tingkat

pendidikan dasar dan menengah) yaitu bertujuan untuk mendidik siswa yang baik

dan bertanggung jawab, mampu memecahkan masalah mereka sendiri dan

masalah masyarakatnya, termasuk memecahkan konflik antar pribadi dan antar

kelompok, dalam cara-cara yang damai dan demokratis.

Adapun karakter peserta didik setelah mengikuti pendidikan

kewarganegaraan tersebut adalah, diharapkan mampu mengembangkan peserta

didik yang berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan, berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab serta

bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

serta anti korupsi, berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk

diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat agar dapat hidup bersama dengan

bangsa-bangsa lain, serta mampu berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

6

6

percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi dan

komunikasi.

2. Metode Pembelajaran PKn

Dalam membelajarkan siswa, guru dituntut untuk menggunakan metode

yang bervariasi agar tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan para siswa.

Kosasih Djahiri (1995) memaparkan beberapa metode yang digunakan dalam

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yakni: metode ceramah, metode

ekspositorik, metode pengajaran konsep, metode tanya jawab, metode

partisipatori, metode diskusi dan kelompok belajar, metode inquiri dan pemecahan

masalah serta pengajaran VCT.

Demikian pula dalam Suplemen PKN dan Kurikulum Berbasis Kompetensi,

Kosasih Djahiri (2002), mengembangkan pendekatan pembelajaran kontekstual

menjadi beberapa metode pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam

Pendidikan Kewarganegaraan antara lain:

”Pola Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning), Penemuan (discovery), Metode Pemecahan Masalah (problem solving), Inquiry, Interactif, Eksploratif, Berpikir Kritis, Catatan Kegiatan, Skala Sikap, Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan Praktikum PKn. Sejalan dengan pendapat di atas, Depdiknas (2003:5) menyatakan sebagai

berikut:

”Pembelajaran dalam mata pelajaran PKn merupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan dan karakter warga negara. Pendekatan belajar kontekstual dapat diwujudkan antara lain dengan metode: 1) kooperatif, 2) penemuan, 3) inkuiri, 4) interaktif, 5) eksloratif, 6) berpikir kritis dan 7) pemecahan masalah”.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

7

7

Dengan beberapa metode pembelajaran di atas, diharapkan dapat

menjadikan strategi alternatif sehingga para guru mampu meningkatkan motivasi,

kreasi berpikir bahkan partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan, tentunya tidak secara serempak semua metode itu

dipergunakan dalam setiap pelaksanaan proses pembelajaran, melainkan sangat

ditentukan oleh tingkat/jenjang pendidikan bahkan usia pekembangan peserta

didik.

Akhirnya dengan tetap memperhatikan berbagai aspek yang terkait guna

terciptanya proses pembelajaran yang efektif, dan kompetitif, salah satunya

adalah dengan pemilihan metode pembelajaran yang tepat, produktif dan

kualitatif sehingga tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat

tercapai secara maksimal.

B. Hakekat Metode Pembelajaran Pemecahan Masalah (Problem Solving)

1. Pengertian metode pemecahan masalah (problem solving)

Problem solving atau memecahkan masalah adalah suatu istilah yang biasa

terjadi dalam kehidupan manusia termasuk didalamnya memecahkan masalah di

sekolah, karena di sekolah senantiasa para siswa dihadapkan dengan berbagai

masalah terutama bekaitan dengan kesulitan, gangguan dalam mengikuti proses

pembelajaran.

Berkaitan dengan proses pembelajaran teresebut Metode Pemecahan

masalah (problem solving) dapat didefinisikan sebagai penyajian bahan pelajaran

dengan menjadikan masalah tersebut sebagai titik tolak pembahasan untuk

dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan masalah atau

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

8

8

jawabannya oleh siswa (Sudirma dkk, 1987 :146). Pemasalahan itu dapat diajukan

atau diberikan guru kepada siswa, dari siswa bersama guru,atau dari siswa

sendiri,yang kemudian dijadikan pembahasan dan dicari pemecahannya sebagai

kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut pula

sebagai problem solving method, reflective thinking methode,atau scientific

method.

Lalu apa sebenarnya masalah itu ? Masalah ialah segala sesuatu yang

mengandung keragu-raguan, ketidak pastian atau kesulitan yang harus

dipecahkan, dikuasai dan dijinakan

Ada dua pandangan tentang pengertian pemecahan masalah (problem

solving); pertama, sebagai system atau metode ilmiah untuk memecahkan

masalah, hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Cormik (1990) yang

mengartikan problem solving kedalam empat pengertian; " a) a teaching method

that ancourages active learning, b) a generic ability to deal with problem

solution, a) method used subject as mathematics and science or d) an empirical

investigation" (Syariful, 2004: 26).

Berkaitan dengan problem solving sebagai sistem atau metode ilmiah, secara

mendalam John Dewey (1970) menggambarkan metode problem solving kedalam

pengetian metode ilmiah dengan berdasarkan lima langkah yaitu :

"a) felt difficulty, b) clarification of the problem, c) identification of possible

solution, d) testing the suggested solution, and e) verification of the result.

Tokoh lain Polya (1957) menyatakan empat langkah dalam pemecahan

masalah yaitu; "a) understanding the problem , b) devising a plan, c) carring out

plan, and d) looking back-checking the result and evaluating the solution "

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

9

9

Kedua pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran, dijelaskan

oleh Sellwod (1989) "..The problem solving immerses student in active, and

investigation learning". Hal itu menunjukan bahwa problem solving dipahami

bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode

berpikir, sebab dalam problem solving dapat pula menggunakan metode-metode

lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan

(Sudjana, 2005:85).

Lebih jelasnya lagi Sudirman dkk (1987: 146 ) mengemukakan bahwa :

"Metode problem solving adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam upaya mencari pemecahan masalah atau jawabannya oleh siswa. Permasalahan itu dapat diajukan kepada siswa, dari siswa bersama guru, atau dari siswa sendiri, yang kemudian dijadikan pembahasan yang dicari pemecahannya dalam sebuah kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut pula sebagai problem solving method, reflective thinking method, atau scientific method."

Dengan demikian Metode Pemecahan Masalah (problem solving) adalah

merupakan suatu strategi pemecahan untuk menghasilkan suatu jawaban

(kesimpulan) tentang suatu permasalahan yang dihadapi seseorang, adapun

metode pemecahan masalah dapat dilakukan dengan langkah-langkah penelitian

tertentu dalam bentuk, pendidentifikasian, pencarian, penetapan hipotesis dan

pengujian kembali tentang hipotesis sehingga menghasilkan tesa-tesa yang baru.

2. Langkah-langkah Pelaksanaan Metode Pemecahan Masalah (problem

solving)

Guna mencapai hasil (keputusan) yang tepat, sesuai dengan tujuan yang

diharapkan, maka dalam pelaksanaan metode pemecahan masalah ini harus

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

10

10

melalui beberapa langkah yang teratur. John Dewey dalam Nasution (1982: 47)

menjelaskan beberapa langkah dalam memecahkan masalah secara sederhana

adalah sebagai berikut :

1) Merumuskan dan menegaskan masalah

2) Mencari fakta pendukung dan meneruskan hipotesis

3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan

4) Mengadakan pengujian atau verifikasi

Selanjutnya Gagne yang dikutip Winatapura (1993:159) mengemukakan

bahwa dalam prakteknya proses pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah

yang harus dilakukan, yaitu:

1) Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas; 2) Menyatakan masalah dralam bentuk yang lebih operasional; 3) Menyusun hipotesis alternative dan prosedur kerja yang diperkirakan baik; 4) Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memeroleh hasilnya; 5) Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh

3. Pelaksanaan Metode Pemecahan Masalah (problem solving) dalam Proses

Pembelajaran

Model pengajaran dengan menggunakan metode pemecahan masalah pada

dasarnya adalah model pengajaran yang menekankan pada upaya peningkatan

kemampuan siswa untuk mengatasi masalah dengan cara-cara sistematis dan

ilmiah. Berkenaan dengan hal tersebut maka harus dilakukan langkah-langkah

strategis dalam pelaksanaannya.

Frederiksen dalam Slavin (1991: 187) mengusulkan enam elmen dalam

suatu strategi menagajarkan Pemecahan Masalah yaitu;

1) Allow time for incubation; yang terpenting disini adalah jangan cepat menuju pada suatu solusi, tetapi lebih tepatnya adanya ketenangan,

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

11

11

menerawang dan memikirkan pada masalah melalui beberapa solusi alternatif sebelum memilih suatu tindakan.

2) Suspens judgment; dalam pemecahan masalah kreatif, siswa harus didorong untuk mendukung penilaian, dan mempertimbangkan semua kemungkinan sebelum mencoba suatu solusi.

3) Establish approriate climates; pemecahan masalah bisa dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang tenang (rileks)

4) Analize and juxtapose elemen; mendata karakteristik utama atau elmen-elmen spesifik dari suatu masalah.

5) Teach the underlying cognitive abilities; para siswa dapat diajari strategi-strategi spesifik untuk mendekati probel solving secara kreatif, seperti pemikiran tentang gagasan-gagasan baru, munculnya gagasan/ide-ide, merencanakan, memetakan kemungkinan, merangkai kata-kata, atau memasukan mesalah yang sudah jelas/benar kepada pikiran kita.

6) Provide practice with feedback; yaitu dengan banyak memberikan praktik dan umpan balik kepada siswa sebagai cara yang paling efektif untuk mengajarkan pemecahan masalah.

Dalam kaitanya dengan pemecahan masalah maka menurut John Dewey

(dalam Nana Syaodih, 1997:43) dapat dilakukan dengan langkah-langkah berpikir

reflektif yaitu:

1) Merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah, 2) Mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis), 3) Mengadakan penelitian atau menggunakan data yang cermat, 4) Memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif, 5) Hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.

Kelima langkah di atas oleh John Dewey dalam Abin Syamsuddin (1996)

disebut sebagai proses belajara masalah, yaitu:

1) Become a ware of the problem, dalam hal ini individu menyadari masalah kalau ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan, sehingga merasakan adanya semacam kesulitan,

2) Clarifeing and defining problem, yaitu invidu melokalisasikan di mana letak kesulitan tersebut untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan dengan menggunakan prinsip atau dalil atau rule yang diketahui sebagai pegangan,

3) Searching for fact and formulating hypotesis, yaitu individu menghimpun berbagai informasi yang relevan, termasuk bagaimana pengalaman orang lain dalam mengdapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasikan dengan berbagai alternatif kemungkinan

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

12

12

pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan atau pernyataan jawaban sementara bagi pembuktian (hipotesys).

4) Evaluating proposed solution, yaitu setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya, dan selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.

5) Experimental verification, dalam hal ini alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktekan. Dari hasil pelaksanaan itu akan diperoleh informasi untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan.

Selajan dengan pendapat diatas, Sudjana (2005:86) menjelaskan tentang

metode problem solving untuk tujuan proses pembelajaran harus menempuh

langkah-langkah sebagai berikut:

1) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan, masalah tersebut harus tumbuh dari siswa sesuai dengan tarap kemampuannya;.

2) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut, misalnya dengan membaca buku-buku, meneliti, bertanya berdiskusi, dal lain-lain;

3) Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas;

4) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut, dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jabawaban tersebut itu betul-betul cocok. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan metode-metode lainnya seperti; demontrasi, tugas diskusi dan lain-lain;

5) Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada simpulan terahir tentang jawaban dari masalah tadi.

Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa untuk mengaplikasikan

metode pemecahan masalah dalam proses pembelajaran seperti telah dijelaskan di

atas, hal yang paling prinsip adalah upaya pendekatan guru dalam ikut mendorong

para siswa untuk mampu berpikir lebih maju, kritis dan rasional, sehingga

berbagai pemasalahan (kesulitan) yang mereka hadapi terutama berbagai masalah

yang bekaitan dengan aktivitas belajar-mengajar secara bertahap mampu ia

pecahkan dan akhirnya mereka mampu memahami, mengkoreksi dan

menyimpulkanya.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

13

13

Hal tersebut paling tidak sesuai dengan penjelasan Sapriya (2002 :87) tentang

langkah-langkah proses pembelajaran dengan teknik problem solving yang harus

dilakukan dengan tahapan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengenali adanya masalah

2) Mencari alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah tersebut.

3) Memilih dan menerapkan pendekatan

4) Mencapai kesimpulan

C. Hakekat Motivasi Belajar

1. Pengertian Motivasi

Istilah motivasi menunjukan kepada semua gelaja yang terkandung dalam

stimulasi tindakan di mana sebelumnya tidak ada gerakan menjadi timbulnya

dorongan-dorongan dasar atau internal dan intensif menuju ke arah tujuan

tertentu .

Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang

memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi

aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi

pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang

motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali

dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas

manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap

(attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984).

Motivasi berasal dari kata motif diartikan sebagai daya upaya yang

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Hal itu seperti yang

dikemukakan oleh Mc. Donald, mendifinisikan motivasi adalah : ”Motivasi is a

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

14

14

energy change within the person characterized by affective arousal and

anticipatory goal reactions.” Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam

pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk

mencapai tujuan (Hamalik, 2004: 173)

Dari definisi yang dikemukakan Mc. Donald di atas mengandung tiga

elmen penting yaitu :

1) Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap

individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa

perubahan neurophysiological yang ada pada organisme manusia. Walaupun

motivasi itu muncul dari dalam diri manusia, namun penampakannya akan

menyangkut kegiatan fisik manusia.

2) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa/feeling, afeksi seseorang dalam hal

ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan,afeksi dan emosi

yang dapat menentukan tingkahlaku manusia.

3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini

sebagai respon dari satu aksi (tujuan). Motivasi itu mucul karena

terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain yaitu tujuan yang dibutuhkan

(Sardiman AM, 2008 :74).

Sementara itu, komponen motivasi memiliki dua komponen, yaitu

komponen dalam (inner component) dan komponen luar (outer component).

Komponen dalam ialah perubahan di dalam diri seseorang, seperti keadaan merasa

tidak puas, dan ketegangan psikologis. Sedangkan komponen luar ialah apa yang

diinginkan seseorang, yakni tujuan yang menjadi arah prilakunya. Dengan

demikian komponen dalam berarti kebutuhan-kebutuhan yang hendak dipuaskan,

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

15

15

sedangkan komponen luar adalah tujuan yang hendak dicapai. (Hamalik, 2004:

174)

2. Motivasi Dalam Belajar

Pentingnya peranan motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami

oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan

kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor

dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna memenuhi/

memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan

tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran.

Peran motivasi dalam proses pembelajaran, motivasi belajar siswa dapat

dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin motivasi belajar

yang memadai akan mendorong siswa berperilaku aktif untuk berprestasi dalam

kelas, tetapi motivasi yang terlalu kuat justru dapat berpengaruh negatif terhadap

kefektifan usaha belajar siswa.

Dengan demikian esensi dari motivasi belajar adalah apa yang memberikan

energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas

belajar siswa. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan Sardiman A.M

(2008:75) bahwa kaitannya dengan kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan

sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan,

menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga tujuan

yang diharapkan oleh subyek belajar itu dapat tercapai.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

16

16

Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat

mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk

belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa.

Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan

sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social

learning, dan social cognition. (http://iwanps.wordpress.com/2008/04/17/teori-

motivasi).

3. Teori-teori Motivasi Kaitannya Dengan Pelaksanaan Belajar

a. Teori-teori Behavioral

Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan

Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang

menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja

(performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan

rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan

menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat

rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).

Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang

menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah

penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga

stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,

walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya

(Budiningsih, 2005).

Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup

menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

17

17

kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup

ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response).

Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement

bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang

sesuai (Wortman, 2004).

Pada periode 1935 - 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang

dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa

perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment (E):

Behaviour = f (P, E)

Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai

suatu tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor:

tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan

jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e). Force = f (t, G)/e

Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik

dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan

tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang

sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau mendekati garis finish.

Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang

untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner &

Calfee, 1996).

b. Teori-teori Cognitive

Berkaitan dengan Teori Cognitive maka terdapat beberapa pendapat,

daiantarnyan; pertama, pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive

Dissonance Theory yang menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

18

18

keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan

bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal

ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah

tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian

mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt,

2001).

Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution

Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971),

dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu

mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan diri sendiri atau orang lain

dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat

internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti

tampak pada diagram berikut.

Internal Eksternal

Tidak terkontrol Kemampuan (ability) Keberuntungan (luck)

Terkontrol Usaha (effort) Tingkat kesulitan tugas

Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa

mengembangkan atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa memiliki

atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa mengalami

kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang melemah

(Huitt, 2001).

Ketiga, pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang

secara matematis dituliskan dalam persamaan: Motivation = Perasaan berpeluang

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

19

19

sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality) ×

Nilai dari tujuan (Value)

Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga

variabel, maka jika salah satu variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh

karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada supaya terdapat motivasi.

Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada

suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan

kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai,

maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.

c. Teori-teori Psychoanalytic

Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah

Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud

(1856 - 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku merupakan

hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu

hidup (sexual) dan mati (aggression). Selanjutnya Erik Erikson yang merupakan

murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of

Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling

mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial

(Huitt, 1997).

d. Teori-teori Humanistic

Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah

diantaranya: Theory of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham

Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia,

yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

20

20

Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis,

kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan

akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus

dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs

meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan

kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak

ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki

kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara

motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson,

1983).

Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba

mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor

yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation),

misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995).

Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi,

yaitu 1) instrumental motivation (reward dan punishment), 2) Intrinsic Process

Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3) Goal Internalization (nilai-

nilai tujuan), 4) Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5)

External Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).

e. Teori-teori Social Learning

Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh

perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah

alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan pilihan, atau arah

tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama dalam

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

21

21

psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan

cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation

dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement merujuk pada tingkat preferensi

terhadap reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996).

f. Teori Social Cognition

Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui

berbagai eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi

tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui

proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain.

Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang

mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu: (1)

Attention, memperhatikan dari lingkungan; (2) Retention, mengingat apa yang

pernah dilihat atau diperoleh; (3) Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara

meniru dari apa yang dilihat; dan (4) Motivation, lingkungan memberikan

konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi

(reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).

g. Teori Curiosity Berlyne

Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity

atau rasa ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita

mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan

menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon

manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan

curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada

perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

22

22

Dari berbagai penjelasan teori tersebut diatas maka jelaslah dengan

demikian bahwa motivasi itu bisa dikembangkan dalam berbagai sudut psikologi

belajar, misalnya dari teori behavioral, motivasi itu akan timbul manakan

ditumbuhkannya rangsangan belajar dan pemenuhan kepuasan (biologis) dengan

demikian proses pembelajaran harus lebih menyentuh kenyamanan pisik maupun

psikis peserta didik, bila itu dipenuhi maka akan timbul motivasi belajar yang

terus berkembang.

Dilihat dari teori cognitif, pembelajaran harus dibangun pada penemuan

konsep-konsep baru yang meyakinkan akan kebenarannya, sehingga siswa tidak

dibuatnya ragu dalam mengikuti, memahami sebuah konsep dari proses

pembelajaran. Selain itu harus lebih bersifat rasional matematis, sehingga

persoalan dan jawaban dalam proses pembelajaran bisa diselesaikan dengan jelas

dan tepat serta penuh dengan argumen.

Dilihat dari teori Psychoanalytic, menyatakan bahwa motivasi belajar akan

timbul manakala terpenuhuinya i naluri (instinct) biologis internal yang terdiri

dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Sementara

Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) menyebutkan bahwa yang paling

mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial.

Dipandang dari Teori-teori Humanistic, motivasi bisa timbul manakala

memenuhi kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta

dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Motivasi itupun akan

tumbuh bila memperdulikan pertumbuhan kebutuhan anak (growth needs)

meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan

kebutuhan self-transcendence.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

23

23

Sementara bila dilihat dari sudut teori Social Learning, motivasi akan tubuh

manakala adanya pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan

pendekatan cognitive atau fiel, kemudian lebih dijelaskan lagi oleh Social

Cognition Theory karya Albert Bandura bahwa Pembelajaran dapat terjadi melalui

proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain. Yaitu dengan

penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan pandangan kognitif

dan pandangan belajar operan, yaitu: (1) Attention, memperhatikan dari

lingkungan, (2) Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau diperoleh, (3)

Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat, (4)

Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan

perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement and punishment)

Disudut lain motivasi belajar itu akan tumbuh manakala tumbuh rasa

keingintahuannya secara mendalam, hal tersebut merupakan prinsip Teori

Curiosity yang menganggap bahwa ketidakpastian muncul ketika kita mengalami

sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan

menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon

manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan

curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada

perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian.

4. Fungsi Motivasi dalam belajar

Sehubungan dengan keberhasilan proses pembelajaran, maka paling tidak

motivasi mempunyai beberapa fungsi diantaranya:

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

24

24

1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang

melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari

setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan

demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan

sesuai dengan rumusan tujuannya.

3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus

dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-

perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seorang siswa yang akan

menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan

belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain atau membaca

komik, sebab tudak serasi dengan tujuannya. (Sardiman AM, 2008 :85)

Dengan memperhatikan pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa diantara fungsi motivasi dalam proses belajar adalah:

1) Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan, seperti timbulnya

dorongan untuk belajar.

2) Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan ke

pencapaian tujuan yang diinginkan.

3) Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya besar kecilnya motivasi akan

menentukan cepat atau lambatnya suatu perbuatan.

5. Cara-cara Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa

Adapun beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi siswa

(Sardiman, 2008: 92-95) menjelaskanya sebagai berikut:

1) Memberikan Angka (Nilai)

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

25

25

Banyak siswa belajar, tujuan utamanya ialah mendapatkan angka/nilai dari

hasil ulangan atau yang tertera dalam rapot adalah nilai yang baik. Oleh

karenanya, guru harus menempuh langkah-langkah evalutif yang

mengedepankan pemrolehan hasil belajar bermakna, salah satunya ialah

dengan memberikan angka/nilai yang baik dari hasil tes proses pebelajaran

siswanya. Supaya lebih vareatif, maka bagaimana cara guru memberikan

angka-angka yang dikaitkan dengan values yang terkadung dalam setiap

pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak sekedar dari aspek kognitif

saja, melainkan juga menyentuk aspek keterampilan dan afeksi siswa.

2) Memberi Hadiah

Hadiah mungkin saja bisa juga membagkitkan motivasi belajar siswa,

walaupun tidak secara merata hadiah itu bisa dimiliki oleh semua siswa.

Misalnya guru kesenian akan memberikan hadiah kepada siswa yang

menghasilkan gambar terbaik, nyanyian merdu dan seterusnya, bagaimana

halnya dengan mereka yang tidak berbakat melukis maupu menyanyi secara

baik.

3) Persaingan/ kompetensi

Persaingan juga bisa mendorong siswa untuk berprestasi, namun

persaingan yang dimaksud adalah persaingan yang sehat, akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan

4) Ego- involvement

Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi

baiknya dan manjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

26

26

simbol kebangga dan harga dirinya, begitupun dengan siswa, mereka akan

belajar dengan keras bisa jadi karena mempertaruhkan harga dirinya

5) Memberi Ulangan

Para siswa akan menjadi giat belajar manakala telah mengetahui akan ada

ulangan. Oleh karena itu memberi ulangan ini juga merupakan sarana

meningkatkan motivasi belajar. Namun harus diingat jangan terlalu sering

(misalnya setiap hari ulangan) karena akan membuat siswa menjadi jenuh. Hal

lain yang juga harus diperhatikan adalah guru harus terbuka dan komunikatif;

yaitu memberitahukan dulu rencana ulangan kepada siswa pada saat

sebelumnya.

6) Mengetahui Hasil Belajar siswa

Dengan mengetahui hasil belajar siswa, apalagi kalau terjadi kemajuan,

akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa

grafik hasil belajarnya meningkat, maka akan ada motivasi pada diri siswa

untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat

7) Memberi Pujian

Dengan pujian yang tepat (reinforcement yang positif) pada setiap siswa

yang sukses menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka akan memupuk

suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar sekaligus akan

membangkitkan harga dirinya.

8) Memberi Hukuman

Dengan memberikan hukuman (reinforcement yang negatif) secara tepat

dan bijak, maka bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu guru harus

memahami prinsip-prinsip hukuman.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

27

27

9) Hasrat untuk belajar

Hasrat untuk belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk

belajar. Hal ini akan lebih baik dibanding segala sesuatu kegiatan yang tanpa

tujuan. Hasrat untuk belajar berarti tumbuh pada diri anak didik untuk ingin

belajar, sehingga hasilnyapun dipastikan akan lebih baik.

10) Minat

Minat itu berarti kebutuhan, dan motivasi itu akan timbul manakala adaya

rasa butuh, begitupun belajar akan berjalan lancar kalau disertai minat yang

tinggi. Minat itu akan bangkit apabila dilakukan dengan cara-cara:

a. Membangkitkan adanya suatu kebutuhan

b. Menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau

c. Memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik

d. Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar

11) Tujuan yang diakui

Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan

merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan

yang harus dicapai dalam suatu proses pembelajaran, maka gairah belajar akan

terus tebangun.

Dengan demikian makin jelaslah bahwa taugas guru harus senantiasa

mampu untuk mencoba menganalisa, memahami, menguji coba, bahkan

mengelaborasikan ke 11 unsur di atas yang banyak berpengaruh dalam

membangkitkan motivasi siswa untuk mengikuti proses pembelajarannya.

Akan tetapi yang harus menjadi catatan tidak setiap siswa sama akan

merespon terhadap semua unsur motivasi di atas, karena masing-masing siswa

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

28

28

akan sangat tergantung dari segi kematangannya dalam mengikuti proses

pembelajaran baik secara pisik maupun psikis. Oleh karenanya guru harus

jeli, sadan penuh tanggung jawab dalam menjalankan program pengajarannya.

Hal lain yang menarik dari penjelasan diatas adalah bahwa motivasi belajar

siswa juga bisa tumbuh apabila gurunya mampu menggunakan berbagai macam

bentuk mengajar, termasuk didalamnya memiliki keterampilan yang cukup untuk

mempraktekan berbagai metode dalam pelaksanaan proses pembelajarannya.

6. Prinsip-prinsip Motivasi Belajar.

Sebagai dasar pijakan untuk menumbuhkembangkan motivasi belajar siswa,

guru senantiasa harus mengetahui dan memahami beberapa prinsip dari motivasi

belajar.

Merujuk pada pendapat Keller (1983) dijelaskan bahwa prinsip-prinsip

motivasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, yang disebut sebagai

model ARCS, yaitu:

a. Attention (Perhatian)

Perhatian peserta didik muncul karena didorong rasa ingin tahu. Oleh sebab

itu, rasa ingin tahu ini perlu mendapat rangsangan, sehingga peserta didik akan

memberikan perhatian selama proses pembelajaran. Rasa ingin tahu tersebut dapat

dirangsang melalui elemen-elemen yang baru, aneh, lain dengan yang sudah ada,

kontradiktif atau kompleks.

Apabila elemen-elemen tersebut dimasukkan dalam rencana pembelajaran,

hal ini dapat menstimulus rasa ingin tahu peserta didik. Namun, perlu

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

29

29

diperhatikan agar tidak memberikan stimulus yang berlebihan, untuk menjaga

efektifitasnya.

b. Relevance (Relevansi)

Relevansi menunjukkan adanya hubungan materi pembelajaran dengan

kebutuhan dan kondisi peserta didik. Motivasi peserta didik akan terpelihara

apabila mereka menganggap bahwa apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan

pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang.

Kebutuhan pribadi (basic need) dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu

motif pribadi, motif instrumental dan motif kultural. Motif nilai pribadi

(personal motif value), menurut McClelland mencakup tiga hal, yaitu (1)

kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement), (2) kebutuhan untuk

berkuasa (needs for power), dan (3) kebutuhan untuk berafiliasi (needs for

affiliation).

c. Confidence (Percaya diri)

Merasa diri kompeten atau mampu, merupakan potensi untuk dapat

berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Prinsip yang berlaku dalam hal ini

adalah bahwa motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan

untuk berhasil. Harapan ini seringkali dipengaruhi oleh pengalaman sukses di

masa lampau. Motivasi dapat memberikan ketekunan untuk membawa

keberhasilan (prestasi), dan selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan

memotivasi untuk mengerjakan tugas berikutnya.

d. Satisfaction (Kepuasan)

Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan.

Kepuasan karena mencapai tujuan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima,

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

30

30

baik yang berasal dari dalam maupun luar individu. Untuk meningkatkan dan

memelihara motivasi peserta didik, dapat menggunakan pemberian penguatan

(reinforcement) berupa pujian, pemberian kesempatan, dsb.

D. Hakekat Bepikir Kritis

1. Pengertian Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir dengan mengemukakan penilain

dan menerapkan norma dan standar yang tepat (Sapriya dan Winataputra,

2003:196).

Adapun Spliter (1992:90-93) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah:

Keterampilan bernalar dan berpikir reflektif yang difokuskan untuk memutuskan hal-hal yang diyakini dan dilakukan, selain itu keterampilan berpikir kritis adalah keterampilan yang terarah pada tujuan, yaitu menghubung kognitif dengan dunia luar sehingga mampu membuat keputusan, pertimbangan, tindakan dan keyakinan. Pendapat lain Suryati (2001:11) mengemukakan bahwa; ”keterampilan

berpikir kritis adalah kemampuan menganalisis terhadap berbagai persoalan yang

menyangkut mata pelajaran, memberikan argumentasi memunculkan wawasan

dan memberikan interpretasi”.

Berfikir kritis merupakan proses bertanya dan bernalar secara dinamik,

proses pengajuan dan pencarian pertanyaan tentang pernyataan dan kesimpulan

yang dibuat sendiri dan dibuat orang lain tentang keyakinan dan tindakan, yang

dalam pelaksanaannya kita melihat masa lampau dan masa yang akan datang,

dengan mempertimbangkan apa yang sudah ada dalam diri manusia. Jadi berpikir

kritis mencerminkan sifat atau kualitas pikiran, jiwa wan kritis atau skeptisme

reflektif (Cornbleth, 1982:3)

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

31

31

Kemampuan berpikir kritis merupakan istilah yang memiliki berbagai

sinonim. Para pakar psikologi lebih sering menggunakan istilah kemampuan

memecahkan masalah, sedangkan para pendidik cenderung menggunakan istilah

kemampuan berfikir (Khailir, 1996:3).

Arthur L. Costa (1985:310) menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah :

"using basic thinking processes to analyze arguments and generate insight into

particular meanings and interpretation; also known as directed thinking"

R.Matindas (1996:71) menyatakan bahwa: "Berpikir kritis adalah aktivitas

mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan.

Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau

meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan".

Matindas (1996:71) juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak

terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada

perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis dilakukan untuk

membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan untuk membuat

kesimpulan. Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran logis

yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.

Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir kritis, misalnya

Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving ";

Ennis (dalam L.Costa,1985): "the process of reasonably deciding what to

believe"; atau juga dapat didefinisikan sebagai :"... a search for meaning, not the

acquisition of knowledge" (Arendt,1977)

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

32

32

Ennis (dalam L.Costa,1985) dalam bentuk working definition

menggambarkan bahwa : "critical thinking is reasonable, reflective thinking that

is focused on deciding what to believe"

Gega (1977:78) Orang yang berpikir kritis adalah ".... who base sugesstion

and conclusions on evidence ..." yang ditandai dengan: menggunakan bukti untuk

mengukur kebenaran kesimpulan,,menunjukkan pendapat yang kadang

kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika ternyata ada bukti kuat yang

bertentangan dengan pendapatnya.

Senada dengan apa yang dikemukakan Gega, The Statewide History-social

science Assesment Advisory commitee (USA) mendefinisikan berpikir kritis

sebagai " ... those behaviors associated with deciding what to believe and do"

Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis itu

melipuri dua langkah besar yakni melakukan proses berpikir nalar (reasoning)

yang diikuti dengan pengambilan keputusan/ pemecahan masalah

(deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tanpa

kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif, induktif dan

reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses berpikir kritis secara benar.

2. Ciri-ciri Berpikir Kritis

Berfikir kritis merupakan fenomena yang abstrak, oleh karenanya sangat

sulit untuk menentukan seseorang telah berpikir kritis atau belum. Oleh karenanya

perlu adanya kriteria-kriteria yang menentukannya. LM Sartorelli dalam Zaleha

(2004:110) menyusun daftar penilaian terhadap tindakan bersifat kritis tersebut.

Kriteria-kriteria seseorang dapat dikatakan berpikir kiritis adalah apabila:

1) Menghadapi tantatangan demi tantangan dengan alasan-alasan

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

33

33

2) Memberikan contoh-contoh dan argumen yang berbeda dari yang sudah ada

3) Menerima saran dari orang lain untuk mengembangkan ideu-ideu baru 4) Mencari dan memaparkan hubungan antara masalah atau pengalaman lain

yang relevan 5) Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subyek diskusi dengan

prinsip yang lebih bersifat umum 6) Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan beraturan 7) Meminta klarifikasi 8) Meminta elaborasi 9) Menanyakan sumber informasi 10) Berusaha untuk memahami 11) Mendengarkan dengan hati-hati 12) Mendengarkan agar pikiran terbuka 13) Berbicara bebas 14) Bersikap sopan 15) Mencari dan memberi ide pilihan variasi

Sementara itu Keterampilan perpikir kritis, sebagaimana di jelaskan oleh

Bayer (Andriani, 2005 :41) dikembangkan dengan beberapa indikator yaitu:

1) Mampu membedakan antara fakta yang dapat diverifikasi dan

tuntutan nilai yang sulit diverifakasi (diuji kebenarannya)

2) Membedakan antara informasi, tuntutan atau alasan yang relevan

dengan yang tidak relevan

3) Menentukan kecermatan factual (kebenaran) dari suatu pernyataan

4) Menentukan kredibilitas (dapat dipercaya) dari suatu pernyataan

5) Mengidentifikasi tuntutan atau argument yang mendua

6) Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan

7) Mendeteksi bias (menemukan penyimpangan)

8) Mengidentifikasi kekeliruan logika

9) Mengenali ketidak konsistenan logika dalam suatu alur

10) Menemukan kekuatan suatu argument atau tuntutan

3. Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

34

34

Seperti yang dijelaskan Panner, L.M Sartorelli dan R. Swatz dalam Zaleha

(2004:95) ada beberapa cara dan strategi dalam melatih siswa untuk berpikir kritis

diantaranya:

1) Membaca dengan kritis 2) Meningkatkan daya analisis 3) Mengembangkan kemampuan observasi 4) Meningkatkan rasai ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi 5) Metakognisi (merencankan cara berpikir, menyadari dan mengawasi cara

berpikir, menerima proses berpikir khusus, menjelaskan tahapan-tahapan berpikir untuk setiap proses yang dilalui dan mengevaliasi tahap berpikir menuju efesiensi

6) Mengamati model berpikir 7) Diskusi yang kaya

4. Langkah-langkah berpikir kritis

The Statewide History-social science Assesment Advisory commitee

(Kneedler dalam L. Costa,1985) mengemukakan bah wa langkah berpikir kritis itu

dapat dikelompokkan menjadi tiga langkah yaitu: pengenalan masalah masalah

(defining/ clarifying problems), menilai informasi (judging informations) dan

memecahkan masalah atau menarik kesimpulan (solving problems/drawing

conclusion).

Lebih rinci lembaga ini pun mengungkapkan bahwa untuk melakukan

langkah-langkah itu diperlukan keterampilan-keterampilan yang oleh mereka

dinamai Twelve Essential critical thinking skills (12 keterampilan essensial dalam

berpikir kritis), sebagai berikut:

a. Mengenali masalah (defining and clarifying problem):

1) Mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok.

2) Membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan

3) Memilih informasi yang relevan

Page 35: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

35

35

4) merumuskan/memformulasi masalah.

b. Menilai informasi yang relevan:

1) Menyeleksi fakta, opini, hasil nalar /judgment.

2) Mengecek konsistensi

3) Mengidentifikasi asumsi

4) Mengenali kemungkinan faktor stereotip

5) Mengenali kemungkinan bias, emosi, propaganda, salah penafsiran kalimat

(semantic slanting)

6) Mengenali kemungkinan perbedaan orientasi nilai dan ideologi.

c. Pemecahan Masalah/ Penarikan kesimpulan:

1) Mengenali data-data yang diperlukan dan cukup tidaknya data

2) Meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan/ pemecahan

masalah/kesimpulan yang diambil

Dengan lebih operasional dan sederhana Matindas (1996) menguraikan

langkah-langkah berpikir kritis berikut (contoh-contoh bukan sepenuhnya dari

Matindas):

1) Pahami dengan seksama pernyataan yang ada. Apa mungkin ditafsirkan lain ?

Contoh:"Pers pancasilais adalah pers yang bebas dan bertanggungjawab"

kalimat ini pendek dan sederhana tapi telah terbukti selama Orde Baru, kalimat

pendek itu telah membawa korban pembreidelan banyak penerbitan akibat

"penafsiran yang kompleks", yakni penafsiran pemerintah beda dengan penafsiran

kalangan pers , ya khan ?

2) Cermati maksud di balik pernyataan (sekedar informasi, mempengaruhi sikap,

ajakan dll.)

Page 36: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

36

36

Cermati kalimat berikut: Seseorang yang diidentifikasi sebagai anggota

salah satu parpol mengatakan : " Telah terbukti bahwa sangat banyak pejabat yang

korupsi, dan mereka adalah anggota golkar" , dapatkah anda menebak apa maksud

dibalik pernyataannya ?

3) Cermati alasan yang diajukan untuk mendukung pernyataan. (gunakan logika)

Perhatikan pernyataan ini : "Orde baru menghendaki pelaksanaan Pancasila

dan UUD'45 secara murni dan konsekuen, karena itu maka menggugat ORBA

sama dengan menggugat Pancasila dan UUD'45",dalam era reformasi kini,

nalar apa tidak pernyataan tersebut ? (Pada masa ORBA walupun banyak

penyimpangan tentu logis, ya khan ?)

4) Cermati alasan dengan mengklasifikasikan alasan itu ke dalam: fakta,

penafsiran, keinginan,atau kesimpulan ahli atau bahkan mungkin ajaran agama.

Coba renungkan ungkapan seorang mantan pejabat: "Untuk menjaga

integritas negara dan bangsa Peristiwa tanjung Priok adalah masa lalu yang

tidak perlu diungkapkan lagi" Tafsirkan sendiri, ini fakta, keinginan, tafsiran

atau ungkapan ketakutan ? bingung ?

5) Ambil keputusan. Setelah menjalani proses-proses di atas silakan ambil

keputusan terima atau tolak; setuju atau tidak setuju. Selalu ada pilihan, dan

anda merdeka untuk memilih yang anda mau, tentu dengan resiko yang anda

perhitungkan. O'K ? selamat berpikir kritis dan nikmati kemerdekaan anda.

Contoh kasus: Dalam kasus meninggalnya aparat saat mengamankan

demonstrasi. Ada pihak tertentu yang mengeluarkan pernyataan bahwa

penyebab meninggalnya aparat tersebut adalah karena dianiaya oleh

Page 37: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

37

37

mahasiswa. (Lakukan proses berpikir kritis, apakah anda dapat menerima

pernyataan tersebut ?)

d. Bagaimana upaya untuk mengembangkan berpikir kritis kita ?

Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dapat dilakukan hal-hal

berikut:

a. Kuasai terlebih dahulu kemampuan-kemampuan berpikir dasar.(induktif,

deduktif dan reflektif)

b. Selalu bersikap skeptis tentang segala sesuatu!, benar/tidak ?,

cocok/tidakdll

c. Tanamkan dalam diri kita bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak selain

yang datang dari Allah.

d. Latihlah hal-hal berikut:

• Mengenali inti sebuah pernyataan

• Mengulang pernyataan dalam kalimat sendiri

• Mencari contoh untuk mengilustrasikan pernyataan

• Mengenali maksud di balik pernyataan

• Mencari kemungkinan penafsiran lain dari pernyataan

• Membedakan antara inti pernyataan dengan alasannya

• Memeriksa antara pernyataan denggan alasannya

• Merumuskan pertanyaan dengan jelas dan benar

• Membedakan antara fakta dengan opini atau penafsiran.

e. Yakini bahwa selalu ada kemungkinan kekeliruan atau kesalahan dari suatu

pernyataan.

Page 38: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

38

38

f. Yakini bahwa tidak ada larangan untuk berpikir kritis dan berpendapat lain.

g. Yakini bahwa pendapat orang banyak belum tentu benar.

h. Yakini bahwa berpikir kritis adalah juga kunci untuk maju

i. Selalu dahului keputusan yang kita ambil sekecil apapun dengan berpikir

nalar (menggunakan logika).

j. Jika kita ingin berpikir kritis, jangan lupa pula bahwa orang lain pun mau.

siapkah ?

E. Dampak Pemnggunaan Metode Pemecahan Masalah Terhadap

Keterampilan Berpikir Siswa dalam Pembelajaran PKn

Dengan penggunaan metode masalah tentunya akan memberikan dampak

suatu efek yang positif terhadap siswa. Hal tersebut karena dengan metode

pemecahan masalah siswa diajak untuk mencari, menganalis dan memecahkan

permasalah berdasarkan prinsifnya sendiri. Penggunaan prinsif berpikir menurut

masing-masing siswa, menimbulkan adanya perbedaan persepsi diantara mereka.

Dengan perbedaan persepsi tersebut akan menimbulkab suatu rangsangan

(stimulus) terhadap kemampuan dan keterampilan berpikir kritis.

Metode pemecahan masalah dengan keterampilan berpikir kritis memiliki

kaitan yang sangat erat. Hal ini dapat dilihat dari manfaat metode pemecahan

masalah yang menurut Djahiri (1983:133) yakni:

a. Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta mengambil keputusan secara obyektif dan mandiri

b. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa, dengan anggapan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan bertambah. Dan proses berpikir itu terdiri dari serentetan keterampilan (mengumpulkan informasi/data, membaca data dan lain-lain) yang penerapannya membutuhkan latihan serta pembiasaan/pemberlakuan.

Page 39: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

39

39

c. Melalui inkuiri/problem solving, kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi/keadaan yang benar-benar dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam alternatif.

d. Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir obyektif-mandiri,kritis-analitis, baik secara individual maupun kelompok.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan metode

pemecahan masalah akan mengantarkan pada kemampuan siswa untuk berpikir

kritis dalam mengikuti proses pembelajaran PKn. Karena karakter dari

penggunaan metode pemecahan masalah menekankan adanya kemampuan siswa

untuk; (1) Mengenali adanya masalah, (2) Mencari alternatif pendekatan untuk

memecahkan masalah tersebut, (3) Memilih dan menerapkan pendekatan, (4)

Mencapai kesimpulan.

Dengan pembiasaan menggunakan ke 4 tahapan tahapan tadi, maka secara

otomatis siswa telah melakukan proses kemampuan berpikir kritis, pada sehingga

akhirnya akan mengembangkan pengetahuan siswa dalam materi-materi

pembelajaran PKn menjadi lebih kritis, analitis dan dapat menyimpulkan pada

suatu jawaban (pernyataan) yang argumentatif dan konprehensif

Untuk menjadi pengangan selaras dengan teori Peaget (Muhammad Ali,

2008: 13) bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis pada usia SD usia 7-

11 tahun) maka termasuk pada tahap konkrit-operasional, mereka baru mampu

berpikir sistematis mengenai benda-benda yang konkrit saja. Sementara untuk

memikirkan benda-benda yang abstrak anak baru mampu menguasaainya pada

tahap formal-operasional yaitu usia (11-15 tahun).

Dengan demikian untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada

usia kelas V SD baru pada tahap yang paling mendasar, dengan demikian guru

Page 40: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

40

40

seyogianya memahami lebih dini dalam pengembangan berpikir kiritis jangan

mempolitisir pemikirannya sehingga harus berpikir seperti orang dewasa.

F. Penelitian Yang Relevan

Albert Richard Singal (2005) dalam penelitiannya “Kemapuan Menerapkan

Problem Solving dalam Proses Mengajar IPS” menyimpulkan bahwa :

(1) Adanya keterikatan tingkat pemahaman siswa, bahwa semakin baik siswa

memahami konsep problem solving akan membawa dampak positif bagi

siswa, karena siswa semakin aktif, responsive dan interaktif partisipatif dalam

kegiatan belajarnya di kelas

(2) Metode Problem Solving adalah strategi pembelajaran yang memposisikan

siswa sebagai titik pusat (student centerid), oleh karenanya guru lebih

berperan sebagai fasilitator dan mediator belajar siswa, memberikan

kemudahan siswa mendapatkan pengalaman belajarnya sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuannya sehuingga terjadi interaktif yang aktif.

(3) Dengan problem solving diharapkan siswa mampu menghadapi permasalahan

dan memecahkannya sendiri atau secara bersama-sama dengan teman dengan

berusaha mengerahkan segala kemampuannnya yang dimiliki siswa berupa

pikiran, kemampuan, perasaan serta semangat untuk mencari pemecahannya

sampai pada suatu kesimpulan yang diharapkan.

Nanang Rijono (200) dalam penelitiannya “Mengajarkan Strtegi Belajar

dan Berpikir kepada Siswa” yang menyimpulkan bahwa :

(1) Guru dan sekolah seharusnya melatihkan dan mengajarkan bagaimana cara

belajar (how to learn) dan bagaiamana cara berpikir (how to think) kepada

Page 41: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

41

41

siswa semenjak sekolah dasar. Tanpa adanya kemampuan bagaimana cara

belajar dan bagaimana cara berpikir, siswa akan kemandegan dalam belajar

dan berpikir, sehingga mereka tidak akan dapat mengembangkan dirinya

sendiri di kemudian hari dan kurang kreatif karena kurang terlatih berpikir.

(2) Diantara cara mengikuti pembelajaran siswa harus bisa mempuh langkah-

langkah seperti:

- Bagaimana cara membaca buku

- Bagaimana cara mengikuti pelajaran, mendengarakn sajian guru, dan

membuatcatatan

- Bagimana cara bertanya dan menjawab

- Bagaimana cara mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan

(3) Diantara bagaimana cara siswa berpikir adalah dengan melakukan langkah-

langkah:

- Bagaimana cara menyimpan informasi dalam ingatan dan menyusun

informasi

- Bagaimana cara menghapal

- Bagaimana cara mencari kembali informasi yang telah disimpan dalam

ingatan dan menggunakannya untuk ditransfer ke pihak lain

Benny Ahmad Benyamin (2003) dalam penelitiannya “Efektivitas

Penggunaan Metode Problem Solving terhadap Peningkatan Motivasi Belajar

Siswa dalam Pembelajaran PPKn (Suatu Studi Penelitian Tindakan Kelas di

SMUN 1 Cianjur ) “, menyimpulkan bahwa:

(1) Penggunaan metode problem solving dengan menggunakan isu-isu

kontroversial sangat efektif dalam meningkatkan motivasi belajar siswa, hal

Page 42: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

42

42

itu akan membangkitkan pro dan kontra dalam mengikuti pembahasan isu-isu

kontoversi tadi.

(2) Metode problem solving dapat melibatkan aktivitas dan kreatifitas siswa

dalam proses berpikir untuk memecahkan permasalahan yang ada karena

mereka terdorong untuk saling berargumentasi dan saling menguji pendapat

temannya.

(3) Metode problem solving, juga bisa memposisikan guru menjadi penengah,

pengarah dan pembimbing dalam proses pembelajaran

(4) Metode problem solving, mengodisikan suasana kelas menjadi lebih

demokratis.

(5) Penggunaan metode problem solving efektif membantu anak untuk belajar

berfikir kritis, karena setiap pendapat siswa yang di ajukan dalam proses

pendalaman pembahasan materi akan diuji secara kolektif, biasanya dapat

ditemukan dalam pelaksanaan diskusi sesama teman di kelas.

Tin Rustini (2005) dalam penelitiannya; “Penerapan Model Problem

Solving untuk Meningkatkan Pengembangan Potinsi Berpikir dalam

Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas pada KelasV

SDN Marga Endah Kecamatan Cimahi Kota Cimahi) menyimpulkan bahwa:

b) Penerapan strategi model problem solving mampu mengembangkan

kemampuan berpikir reflektif, kritis dan kreatif.

c) Model problem solving akan lebih berhasil dengan baik apabila dalam

pelaksanaanya menggunakan strategi pembelajaran yang bervareatif.

Page 43: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

43

43

d) Model problem solving dapat memberikan kemudahan kepada guru dalam

melaksanakan pembelajaran.

e) Penerapan model pembelajaran problem solving , dapat meningkatkan

kualitas proses maupun hasil belajar.

Page 44: BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan …a-research.upi.edu/operator/upload/t_pkn_0704887_chapter3.pdf · Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan

44

44