BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teori 1 ...
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4507/3/BAB...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4507/3/BAB...
13
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Teori Agensi
Jensen dan Meckling (1976) dalam Kusrinan (2012)
mendefinisikan Agency theory sebagai hubungan antara pihak prinsipal
dan agen, dimana prinsipal adalah pihak yang memberikan mandat
kepada pihak agen. Prinsipal mendelegasikan tanggung jawab
pengambilan keputusan kepada agen dimana hak dan kewajiban kedua
belah pihak diuraikan dalam suatu perjanjian kerja yang saling
menguntungkan yang mendasari teori agensi adalah bahwa aktor
rasional, merupakan individu yang memaksimalkan utilitasnya. Jika
hubungan antara agen dan prinsipal adalah memaksimalkan utilitas, ada
alasan untuk percaya bahwa agen tidak selalu bertindak untuk
kepentingan yang terbaik bagi prinsipal. Didalam kerangka teori
keagenan, terdapat tiga macam hubungan keagenan, yaitu: hubungan
keagenan antara manajer dengan pemilik (Bonus Plan Hypothesis),
hubungan keagenan antara manajer dengan kreditur (Debt/Equity
Hypothesis) dan hubungan keagenan antara manajer dengan pemerintah
(Political Cost Hypothesis).
14
2. Teori Sinyal
Signaling Theory mengemukakan tentang bagaimana seharusnya
sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan
keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah
dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik.
sinyal dapat berupa informasi lain yang menyatakan perusahaan memiliki
posisi lebih baik daripada perusahaan lain.
Selain itu berdasar teori sinyal, sebagian besar perusahaan berusaha
untuk menambah modal mereka dengan lebih dari satu sumber daya, dan
salah satu upayanya adalah menerbitkan saham baru. Perusahaan, yang
membutuhkan pembiayaa baru, akan berusaha untuk mengungkapkan
informasi lebih lanjut tentang situs web mereka untuk menarik lebih
banyak investor dan meningkatkan kepercayaan mereka tentang posisi
perusahaan (Ezat dan El-Masry, 2009).
Menurut Wolk et al., (2000) dalam Hanny dan Chariri (2005)
kerangka teori sinyal disebutkan bahwa dorongan perusahaan untuk
memberikan informasi antara manajer perusahaan dan pihak luar karena
manajer perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan
prospek yang akan datang daripada pihak luar.
3. Teori Stewardship
Teori Stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi
dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu
15
tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan
organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi
yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi
untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal, selain itu
perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya
sebab steward berusaha mencapai sasaran organisasinya. Teori ini
didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi dimana para eksekutif
dalam perusahaan sebagai pelayan dapat termotivasi untuk bertindak
dengan cara terbaik pada principalnya (Donaldson dan Davis, 1989, 1991
dalam Anton, 2010)
4. Teori Stakeholders
Teori stakeholder mengalami perubahan definisi selama beberapa
dekade terakhir. Friedman (1962) mengatakan bahwa tujuan utama
perusahaan adalah untuk memaksimumkan kemakmuran pemiliknya. Hal
ini menunjukkan bahwa definisi stakeholder pada awalnya hanya
mengacu pada pemilik perusahaan. Namun demikian Freeman (1983)
memperluas definisi stakeholder dengan memasukkan konstituen yang
lebih banyak, termasuk kelompok yang tidak menguntungkan bagi
perusahaan.
Stakeholder pada dasarnya adalah pihak yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi
yang berkaitan dengan perusahaan (Ghozali dan Chariri, 2000). Karena
16
kemampuan stakeholder ini maka organisasi akan memilih stakeholder
yang dianggap penting dan dapat menghasilkan hubungan yang harmonis
antara perusahaan dengan stakeholdernya (Ullman,1985).
Menurut Ghozali dan Chariri (2000) teori stakeholder mengatakan
bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
kepentingannya sendiri namun juga harus memberikan manfaat bagi
stakeholdernya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier,
pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain).
Menurut Budiarto (dalam Nugroho, 2014), untuk menunjukkan
keselarasan hubungan ini, setiap perusahaan diharapkan memiliki
perhatian dan tanggung jawab yang seimbang antara kepentingan
ekonomi dan kepentingan sosial. Menurut Gray, Kouhy dan Adams
(dalam Ghazali dan Chariri, 2000), kelangsungan hidup perusahaan
tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus
dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari aktivitas
tersebut.
Menurut Rahardja,dkk (dalam Nugroho, 2014) perusahaan, harus
mempertanggungjawabkan kepada semua kelompok dalam komunitas
dan masyarakat yang berkepentingan dengan bisnis sebab perusahaan
mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya masyarakat mempengaruhi
perusahaan. Meskipun stakeholder theory dapat memperluas perspektif
pengelolaan perusahaan dan mengenalkan hubungan antara perusahaan
17
dengan stakeholdernya, teori stakeholder belum mampu menjelaskan
pengaruh masyarakat secara luas terhadap perusahaan.
Hubungan perusahaan dengan kelompok stakeholder seperti
kreditor, investor, pemerintah, karyawan dan masyarakat sekitarnya
menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas perusahaan.
Diperlukan keselarasan diantara kelompok–kelompok ini agar tercipta
situasi yang harmonis antara kepentingan ekonomi dan kepentingan
sosial perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik akan mendorong
perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya pada internal dan eksternal
perusahaan. Peningkatan kinerja ini diharapkan akan meningkatkan
profitabilitas laba perusahaan.
5. Good Corporate Governance
Menurut Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI) 2001
pengertian Good Corporate Governance adalah sebagai berikut:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata
lain suatu sistem yang mengatur mengendalikan perusahaan”.
Good Corporate Governance sesuai Peraturan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor : PER-01/MBU/2011
tanggal 1 Agustus 2011 yang diperbarui dengan Nomor : PER-
09/MBU/2012 tanggal 6 Juli 2012 adalah:
“Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
18
memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.”
Sedangkan Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai system yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
Definisi GCG menurut Bank Dunia (dalam Edi Wibowo, 2010)
adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur
perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan
penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada
investor (pemegang saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah
untuk menciptakan sistem pengendaliaan dan keseimbangan (check and
balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan
dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.
Berdasarkan definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Good Corporate Govenance adalah sistem yang mengatur dalam
pengendalian dan pengkoordinasian berbagai partisipan yang terlibat
dalam menjalankan bisnis suatu perusahaan guna pencapaian tujuan
perusahaan, mencegah berbagai hal yang tidak diinginkan yang berkaitan
dengan pihak luar seperti investor dan masyarakat.
a. Prinsip Good Corporate Governance
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 oleh Kementrian Hukum
dan HAM Republik Indonesia tentang perseroan teratas dan tata
kelola perseroan yang baik dalam menjalankan perusahaan dan
sesuai PER-01/MBU/2011 dan PER-09/MBU/2012 tentang
19
prinsip-prinsip Good Corporate Governance harus mencerminkan
pada hal-hal sebagai berikut :
1) Transparansi (Transparency)
Perusahaan harus menyediakan informasi relevan
dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan, tepat waktu, jelas dan dapat
diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan
pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan.
2) Akuntabilitas (Accountability)
Prinsip ini menjelaskan peran dan tanggung jawab,
serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan
kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana
yang diawasi Dewan Komisaris (dalam Two Tiers System).
Realisasi dari prinsip ini dapat berupa pendirian dan
pengembangan komite audit yang dapat mendukung
terlaksananya fungsi audit internal. Khusus untuk bidang
akuntansi yang berlaku serta diterbitkan tepat waktu juga
jelas merupakan perwujudan dari prinsip akuntabilitas ini.
3) Pertanggungjawaban (Responsibility)
Perusahaan harus memathui perturan perundang-
undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
masyarkat dan lingkungan sehingga dapat terpeliharan
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
20
pengakuan sebagai good corporate citizen. Responsibilitas
menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur
mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada
pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai
yaitu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang
berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah,
asosiasi bisnis dan pihak-pihak lainnya. prinsip ini
penekanannya diberikan kepada kepentingan stakeholders
perusahaan.
4) Kemandirian (Idenpendency)
Keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan prinsip-prnsip korporasi yang sehat
5) Keadilan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus
senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lainnya, menjamin perlindungan hak,
serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor
berdasarkan asas keadilan.
21
b. Tujuan dan manfaat Good Corporate Governance
Corporate Governance yang baik diakui membantu
mengebalkan perusahaan dari kondisi-kondisi yang tidak
menguntungkan. Dalam banyak hal GCG yang baik telah terbukti
juga meningkatkan kinerja korporat dan peningkatan
pengembangan ekonomi. Good Corporate Governance adalah
mesinnya pertumbuhan global, pertanggungjawaban penyedia
kerja, pelayanan publik dan privat, pengadaan barang dan jasa serta
infrastruktur. Sekarang ini efisiensi akan pertanggungjawaban
organisasi tidak perduli apakah organisasi publik atau privat. Good
Governance telah menjadi agenda pokok internasional.
Tujuan good corporate governance diterbitkan adalah agar
suatu perusahaan dapat dikelola dengan baik dan benar sehinga
pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan baik shareholders maupun stakeholders. Selain
tujuan diberlakukan corporate governance tersebut, penerapan
good corpoarate governance juga akan memberkan manfaat, baik
bagi perusahaan itu sendiri maupun bagi para stakeholders.
Setidaknya ada 4 manfaat praktis dalam penerapan good
coporporate governance menurut (Tjager et al. 2003:96 dalam
bambang, 2013) yaitu :
1) Untuk meminimalkan agency cost, yaitu biaya yang timbul
sebagai akibat dari pendelegasian kewenangan kepada
22
manajemen, termasuk biaya penggunaan sumber daya
perseroan oleh manajemen untuk kepentingan pribadi
maupunm dalam rangka pengawasan terhadap perilaku
manajemen itu sendiri.
2) Untuk meminimalkan cost of capital, yaitu biaya modal yang
harus ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman
kepada kreditur.
3) Untuk meningkatkan nilai saham perusahaan, dengan
pengelolaan perusahaan tentu akan dapat menarik minat dan
kepercayaan para investor sehingga sangat membantu usaha
perseroan.
4) Untuk mengangkat citra perusahaan, dengan berhasilnya
peningkatan harga saham maka akan menimbulkan image
positif terhadap opini yang berkembang di masyarakat.
Sejalan dengan itu, Forum for Corporate Governance in
Indonesia (FCGI) juga mengemukakan bahwa setidaknya ada 4
manfaat yang dapat diambil dari penerapan GCG yang baik, antara
lain:
1) Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses
pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan
efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholders.
23
2) Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih
murah yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate
value
3) Mengembalikan kepercayaan investor untuk kembali
menanamkan modalnya di Indonesia
4) Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja
perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan
shareholders’s value dan deviden
c. Mekanisme Good Corporate Governance
Mekanisme corporate governance merupakan suatu aturan
main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang
mengambil keputusan dengan baik yang melakukan kontrol/
pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme corporate
governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya
sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsd dan Seward,
1990 dalam Arifin, 2005). Menurut Boediono (2005) mekanisme
corporate governance merupakan suatu sistem yang mampu
mengendalikan dan mengarahkan kegiatan operasional perusahaan
serta pihak-pihak yang terlibat didalamnya, sehingga dapat
digunakan untuk menekan terjadinya masalah agency. Maka untuk
meminimalkan konflik kepentingan antara principal dan agent
akibat adanya pemisahan pengelolaan perusahaan, diperlukan suatu
24
cara efektif untuk mengatasi konflik kepentingan(conflict of
interest) tersebut.
Menurut Iskandar & Chamlao (2000) dalam Lastanti (2004),
mekanisme dalam pengawasan corporate governance dibagi dalam
dua kelompok yaitu mekanisme internal dan eksternal. Mekanisme
internal adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan
menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum
pemegang saham, komposisi dewan direksi, komposisi dewan
komisaris dan pertemuan dengan board of director. Sedangkan
mekanisme eksternal adalah cara mempengaruhi perusahaan selain
dengan menggunakan mekanisme internal, seperti pengendalian
perusahaan dan mekanisme pasar.
Mekanisme internal dilakukan oleh dewan direksi, dewan
komisaris, komite audit, serta kepemilikan manajerial, sedangkan
mekanisme eksternal terdiri dari kepemilikan institusional (Beiner
et.al. 2003). Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem
pengelolaan internal perusahaan memiliki peranan terhadap
aktivitas pengawasan. Komite audit bertanggung jawab untuk
mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal, dan
mengamati sistem pengendalian internal. Komite audit ditempatkan
dalam mekanisme pengawasan manajemen dengan pihak eksternal
(Karmilayani dan I Gusti, 2016).
25
1) Kepemilikan Manjerial
Kepemilikan manajerial adalah proporsi pemegang
saham oleh pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam
pengambilan keputusan perusahaan, yaitu direksi
dan komisaris (Pujiati dan Widanar, 2009 dalam Maria, 2013).
Menurut Jensen dan Meckling (1976) kepemilikan saham oleh
manajer dapat mensejajarkan kepentingan manajer dan
pemegang saham karena dengan memiliki saham perusahaan,
manajer akan merasakan langsung manfaat dari setiap
keputusan yang diambilnya, begitu pula bila terjadi kesalahan
maka manajer juga akan menanggung kerugian sebagai salah
satu konsekuensi kepemilikan saham. Hal ini merupakan
insentif bagi manajer untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
2) Kepemilikan Institusional
Menurut Wiranata dan Nugrahanti (2013), kepemilikan
saham institusional merupakan kepemilikan yang dimiliki oleh
pihak institusi yaitu perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi maupun perusahaan swasta. Lembaga institusi
memiliki proporsi kepemilikan yang cukup besar terhadap
perusahaan. Dengan adanya investor institusional kinerja
manajemen serta keputusan-keputusan yang diambil oleh
manajemen dapat dimonitor atau diawasi. Menurut Haryono
(2005), pada umumnya pemegang saham institusional
26
memiliki proporsi kepemilikan yang tinggi. Kepemilikan
institusional diukur dengan menggunakan rasio perbandingan
antara jumlah lembar saham yang dimiliki institusi dengan
jumlah saham yang beredar.
3) Kepemilikan Asing
Kepemilikan asing merupakan proporsi kepemilikan
saham perusahaan yang dimiliki oleh perorangan, badan
hukum, pemerintah serta bagian-bagiannya yang berstatus luar
negeri atau perorangan, badan hukum, pemerintah yang bukan
berasal dari Indonesia melalui pembelian langsung pada
perusahaan maupun melalui Bursa Efek. Kepemilikan asing
dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern
terhadap peningkatan good corporate governance (Fauzi,
2006).
Kepemilikan asing dapat menjadi salah satu pendukung
mekanisme corporate governance, di mana perusahaan dengan
kepemilikan asing ini akan meningkatkan persaingan pasar di
Indonesia. Peningkatan persaingan ini memaksa perusahaan
untuk selalu melakukan peningkatan teknologi dan perbaikan
di dalam corporate governance sehingga terdapat keselarasan
antara kepentingan manajer, investor, dan stakeholders
lainnya.
27
Kepemilikan asing didalam sebuah perusahaan baik
institusi maupun individual dianggap sebagai suatu hal yang
penting. Hal ini dikarenakan pembelian saham oleh pihak
asing mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut mengalami
pertumbuhan pendapatan yang stabil sehingga menjadi tolok
ukur bagi investor lain untuk ikut berinvestasi (Rakhmardi,
2011). Keuntungan lain dari adanya kepemilikan asing adalah
mereka dapat memengaruhi keputusan manajemen perusahaan
termasuk dalam penentuan harga saham perusahaan, sehingga
harga saham perusahaan tersebut akan mengalami peningkatan
begitu pula dengan tingkat pengembalian yang diterima.
Sejalan dengan pendapat Lee (2008) yang mengemukakan
bahwa kepemilikan asing dan kepemilikan institusional lebih
mampu mengendalikan kebijakan manajemen karena memiliki
kemampuan dan pengalaman yang baik di bidang keuangan
dan bisnis. Menurut Wang (2007), peran asing dalam pasar
sekunder (pasar modal) dapat dilihat dari dua aspek yaitu
aktivitas perdagangan dan kepemilikan saham dan keduanya
akan memberikan dampak berbeda bagi pergerakan harga
saham di bursa. Peningkatan harga saham dalam jangka
pendek akan meningkatkan transaksi di pasar modal sehingga
memberikan dampak peningkatan fluktuasi pergerakan harga
saham yang signifikan, karena ada potensi penarikan dana
28
setiap saat. Ini menyebabkan tingkat pengembalian yang
diterima investor tidak menentu. Menurut Farooque et al.,
2007 (dalam Yulius dan Yeterina, 2013) rumus perhitungan
kepemilikan asing adalah:
KA = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑃𝑖ℎ𝑎𝑘 𝐴𝑠𝑖𝑛𝑔
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐵𝑒𝑟𝑒𝑑𝑎𝑟𝑋 100%
4) Dewan Direksi
Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas Pasal 1 Direksi adalah organ perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar. Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara
efektif, salah satu prinsip yang perlu dipenuhi adalah
komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat
dan cepet serta dapat bertindak independen (Komite Nasional
Kebijakan Governance, 2006)
5) Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris
yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan
komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta
bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat
29
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen
atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan
(Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006).
Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa
Efek Jakarta melalui peraturan BEJ Tanggal 1 Juli 2000.
Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di bursa harus
mempunyai komisaris independen yang secara profesional
sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham
minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan
ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah
30% dari seluruh anggota dewan komisaris.
6) Dewan Komisaris
Menurut Mulyadi dalam Nadah Nahdiah, 2009 mengenai
dewan komisaris yaitu:
Dewan komisaris adalah wakil pemegang saham dalam
perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas. Dewan ini
berfungsi mengawasi pengelolaan data perusahaan yang
dilaksanakan oleh manajemen (direksi). Dengan demikian,
Dewan Komisaris yang aktif menjalankan fungsinya dapat
mencegah pengendalian yang terlalu banyak di tangan
manajemen (direksi).
7) Komite Audit
Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan
komite audit sebagai suatu komite yang bekerja secara
profesional dan independen yang dibentuk oleh dewan
komisaris, dengan demikian tugasnya adalah membantu dan
30
memperkuat fungsi dewan komisaris dalam menjalankan
fungsi pengawasan atas proses pelaporan keuangan,
manajemen risiko, pelaksanaan audit, dan implementasi dari
corporate governance di perusahaan-perusahaan. Bapepam
melalui Surat terhadap investasi yang dilakukan termasuk
investasi saham sehingga biasanya institusi menyerahkan
tanggung jawab kepada divisi tertentu untuk mengelola
investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau
secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat
pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi
sehingga potensi kecurangan dapat ditekan (Murwaningsari,
2009).
Bathala et al. (1994) menyatakan bahwa kepemilikan
saham oleh institusi merupakan salah satu monitoring agents
penting yang memainkan peranan aktif dan konsisten dalam
melindungi investasi saham yang ditanamkan dalam
perusahaan. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin
peningkatan kemakmuran pemegang saham.
6. Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan merupakan suatu gambaran tentang kondisi
keuangan suatu perusahaan yang dianalisis dengan alat-alat analisis
keuangan, sehingga dapat diketahui mengenai baik buruknya keadaan
31
keuangan suatu perusahaan yang mencerminkan prestasi kerja dalam
periode tertentu. Hal ini sangat penting agar sumber daya digunakan
secara optimal dalam menghadapi perubahan lingkungan. Penilaian
kinerja keuangan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
oleh pihak manajemen agar dapat memenuhi kewajibannya terhadap
para penyandang dana dan juga untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh perusahaan (Cahyani, 2009).
Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan
untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu
organisasi pada suatu periode dengan referensi pada jumlah standar
seperti biaya biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar
efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan
semacamnya (Ceacilia Srimindarti, 2004).
Sebelum memahami masalah penilaian kinerja lebih jauh, maka
ada beberapa pengertian kinerja yaitu keberhasilan personel, tim, atau
unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik yang telah
ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. (Mulyadi,
2007)
Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur
pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission
accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk,
jasa ataupun suatu proses. Pengukuran kinerja yang didefinisikan
sebagai “performing measurement“ adalah kualifikasi dan efisiensi
32
perusahaan atau segmen atau keefektifan dalam pengoperasian bisnis
selama periode akuntansi. (Darmawati, 2005)
a. Pengukuran Kinerja
Perusahaan membutuhkan sistem pengukuran kinerja yang
mampu menyediakan informasi yang berguna untuk membantu
mengelola, mengonrol, merencanakan dan melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan
adanya pengukuran kinerja maka diharapkan perusahaan mampu
bertahan dan mengikuti persaingan serta perkembangan yang ada.
Rasio-rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja
perusahaan (Ang, 1977) :
1) Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)
Menurut Sartono (2011:114), Rasio Likuiditas adalah
rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban finansial yang berjangka pendek tepat
pada waktunya. Dalam kelompok ini terdapat tiga rasio yang
biasa digunakan yaitu :
a) Rasio lancar (current ratio)
Rasio lancar atau current ratio (CR) merupakan
rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
membayar kewajiban jangka pendek atau utang yang
segera jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan.
Rasio lancar dapat dikatakan sebagai bentuk untuk
33
mengukur tingkat keamanan (margin of safety) suatu
perusahaan. Perbandingan antara aktiva lancar dengan
kewajiban jangka pendek (hutang lancar). Rumus yang
digunakan :
Rasio Lancar = 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
𝐾𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟𝑋 100%
Aktiva lancar meliputi : kas, surat berharga,
piutang, dan persediaan. Utang lancar meliputi : utang
pajak, utang bunga, uang wesel, utang gaji, dan utang
jangka pendek lainnnya. Semakin besar jumlah aktiva
yang dimiliki oleh perusahaan, maka semakin besar
prosentase yang terdapat di perusahaan tersebut,
sehingga kemampuan perusahaan untuk membayar
kewajiban jangka pendeknya semakin besar. Demikian
juga sebaliknya, jika jumlah hutang lancar yang dimiliki
perusahaan lebih besar daripada jumlah aktiva lancar
yang dimiliki perusahaan, maka semakin kecil prosentase
yang terdapat di perusahaan tersebut maka kemampuan
perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya
akan semakin kecil
b) Rasio Cepat (Quick Ratio)
Rasio ini dihitung dengan mengurangkan
persediaan dari aktiva lancer dan kemudian membagi
34
hasilnya dengan kewajiban lancar. Karena persediaan
adalah aktiva lancar yang paling tidak likuid, sehingga
apabila terjadi likuidasi maka persediaan merupakan
aktiva yang paling sering mengalami kerugian, oleh
karena itu pengukuran kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban jangka pendeknya tanpa
mengandalkan persediaan. Rumus yang digunakan untuk
rasio cepat adalah :
Rasio Cepat = 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑙𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 − 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛
𝐾𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟𝑋 100%
c) Rasio Kas (cash ratio)
Cash ratio merupakan kemampuan untuk
membayar utang yang segera harus dipenuhi dengan kas
yang tersedia dalam perusahaan dan efek yang dapat
segera diuangkan yaitu dengan membandingkan antara
uang kas yang ada pada perusahaan dengan utang lancar.
Semakin besar ratio ini maka semakin baik. Pengertian
Rasio Kas menurut Munawir (2001:76) Rasio Kas
merupakan perbandingan antara kas dengan total hutang
lancar. Dapat juga dihitung dengan mengikutsertakan
surat-surat berharga (Marketable Securities). Rumua
yang digunakan adalah :
Rasio Kas = 𝐾𝑎𝑠
𝐾𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟𝑋 100%
35
2) Rasio Aktivitas (Activity Ratio)
Rasio aktivitas adalah rasio yang menunjukkan
bagaimana sumber daya telah dimanfaatkan secara optimal,
dengan menggambarkan efektivitas perusahaan dalam
mengelola aset dalam hal ini mengubah aset nonkas menjadi
aset kas. Menurut Sartono (2011:114), Rasio aktivitas adalah
rasio yang menunjukkan sejauh mana efisiensi perusahaan
dalam menggunakan aset untuk memperoleh penjualan. Yang
termasuk dalam rasio aktivitas adalah :
a) Rasio perputaran persediaan (inventory turnover ratio)
Rasio perputaran persediaan mengukur berapa kali
persediaan perusahaan telah dijual selama periode
tertentu, misalnya selama tahun tertentu. Angka ini
mengukur efisiensi pengelolaan persediaan dalam
perusahaan. Rumus yang digunakan:
ITO = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛𝑋 1 𝐾𝑎𝑙𝑖
b) Fixed Asset Turn Over (FATO)
Merupakan rasio antara penjualan dengan aktiva
tetap netto. Rasio ini menunjukkan bagaimana
perusahaan menggunakan aktiva tetapnya seperti
gedung, kendaraan, mesin-mesin, dan perlengkapan
kantor. Rumus yang digunakan :
36
FATO = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ𝑋 1 𝐾𝑎𝑙𝑖
c) Total asset turnover (TATO)
Perputaran total aktiva menunjukkan bagaimana
tingkat efektivitas perusahaan dalam menggunakan
seluruh aktiva untuk menciptakan penjualan dalam
menggunakan seluruh aktiva untuk menciptakan
penjualan dan pendapatan laba. Tingkat perputaran ini
ditentukan oleh perputaran elemen aktiva itu sendiri.
Rumus yang digunakan:
TATO = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎𝑋 1 𝐾𝑎𝑙𝑖
d) Average collection period (ACP)
Periode pengumpulan piutang yaitu ratarata yang
diperlukan untuk mengubah piutang menjadi kas.
Biasanya ditentukan dengan membagi piutang dengan
rata-rata penjualan harian.
Rumus yang digunakan adalah :
ACP = 𝑃𝑖𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑋 360 𝑘𝑎𝑙𝑖
e) Rasio perputaran piutang (receivables turnover ratio)
Perputaran piutang menunjukkan kualitas piutang
perusahaan dan kesuksesan perusahaan dalam
mengumpulkan piutang. Semakin cepat perputaran
piutang, maka current ratio dan quik ratio semakin bagus
37
dalam analisis keuangan. Rumus yang digunakan:
RTO = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡
𝑃𝑖𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔𝑋 1 𝑘𝑎𝑙𝑖
f) Working Capital Turn Over (WCTO)
Digunakan untuk menghitung berapa kali dana
yang tertanam dalam modal kerja perusahaan dalam satu
tahun. Makin cepat perputaran modal kerja maka current
ratio dan quick ratio yang dimiliki akan semakin bagus.
Rumus yang digunakan :
WCTO = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
𝑃𝑖𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔𝑋 1𝐾𝑎𝑙𝑖
3) Rasio Solvabilitas (Leverage)
Financial leverage menunjukkan proporsi atas
penggunana utang untuk membiayai investasinya. Perusahaan
yang tidak mempunyai leverage, berarti menggunakan modal
sendiri 100% dalam usahanya. Menurut Sartono (2011:114),
Rasio Solvabilitas adalah rasio yang menunjukkan kapasitas
perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek
maupun jangka panjang. Rasio yang biasa digunakan yaitu :
a) Debt ratio (DR)
Rasio ini memperlihatkan proporsi antara
kewajiban yang dimiliki dan seluruh kekayaan yang
dimiliki. Semakin tingi hasil persentasenya,
38
cenderung semakin besar resiko keuangannya bagi
kreditur maupun pemegang saham. Selain itu,
Merupakan rasio yang menghitung persentase total dana
yang disediakan kreditur. Rumus yang digunakan adalah:
DR = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑈𝑡𝑎𝑛𝑔
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎𝑋 100%
b) Debt to equity ratio (DER)
Merupakan rasio perbandingan antara total utang
dengan modal sendiri yang berupa saham dan surat-surat
berharga lainnya. Rumus yang digunakan :
DER = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑈𝑡𝑎𝑛𝑔
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑋 100%
c) Long-term debt to equity (LTDE)
Digunakan untuk menghitung seberapa besar
modal sendiri yang digunakan untuk menjamin utang
jangka panjang. Rumus yang digunakan :
LTDE = 𝑈𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑋 100%
d) Times interest-earned ratio (TIER) / Interest coverage
ratio
Menunjukkan besarnya jaminan keuntungan untuk
membayar bunga hutang jangka panjang. Rasio ini
mengukur sejauh mana laba perusahaan boleh menurun
tanpa mencoreng wajah keuangan perusahaan. Rumus
yang digunakan adalah (Hanafi dan Halim, 1992) :
39
TIER = 𝐸𝑏𝑖𝑡
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎
4) Rasio Profitabilitas
Rasio profitabilitas dapat mengukur seberapa besar
kemampuan perusahaan memperoleh laba, baik itu yang
berhubungan dengan penjualan, aset, maupun laba bagi
modal sendiri. Menurut Sartono (2011:114), Rasio
Profitabilitas adalah rasio yang dapat mengukur kemampuan
perusahaan memperoleh laba, baik dalam hubungan dengan
penjualan, asset maupun modal sendiri. Rasio yang biasa
digunakan yaitu :
a) Net Profit Margin (NPM)
Adalah ukuran persentase dari tiap rupiah
penjualan yang dihasilkandalam laba bersih. Net Profit
Margin (NPM) merupakan rasio keuangan yang
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
net income dari kegiatan operasional pokok perusahaan.
Net Profit Margin (NPM) berfungsi untuk mengukur
tingkat kembalian keuntungan bersih terhadap penjualan
bersihnya. NPM menunjukkan perbandingan antara laba
bersih dengan penjualan (Hanafi dan Halim, 2005).
Rasio ini digunakan untuk menghitung sejauh mana
kemampuan perusahaan yang bersangkutan dalam
40
menghasilkan laba bersih ditinjau dari sudut total
penjualannya.Profit margin dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
NPM = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛𝑋 100%
b) Return On Investmen (ROI)
ROI atau tingkat pengembalian atas investasi dan
efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan yaitu
mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan
dana yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan
untuk operasi dalam rangka untuk menghasilkan laba.
Rumus yang digunakan :
ROI = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎𝑋 100%
c) Return On Equity (ROA)
Menurut Hanafi dan Halim (2009; 157), analisis
Return On Asset (ROA) mengukur kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan
total asset (kekayaan) yang dipunyai perusahaan setelah
disesuaikan dengan biaya-biaya untuk mendanai aset
tersebut. Return On Assets (ROA) sering juga disebut
sebagai Return On Investment (ROI) yang digunakan
untuk mengukur efektifitas perusahaan di dalam
menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva
41
yang dimilikinya. Rasio ini merupakan rasio terpenting
diantara rasio rentabilitas/profitabilitas yang lainnya.
ROA atau ROI diperoleh dengan cara membandingkan
antara laba setelah pajak terhadap rata-rata total aset.
Laba bersih setelah pajak merupakan pendapatan bersih
sesudah pajak, tetapi kalau ada keuntungan hak minoritas
harus ikut diperhitungkan. Rata-rata total aset merupakan
rata-rata total asset awal tahun dan akhir tahun. Semakin
besar ROA/ROI menunjukkan kinerja yang semakin
baik, karena tingkat kembalian saham semakin besar.
Untuk memperoleh nilai ROA dapat dihitung dengan
rumus :
ROA = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎𝑋 100%
d) Return On Equity (ROE)
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba yang tersedia bagi
pemegang saham perusahaan. Rasio ini merupakan
ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang
saham. Untuk memperoleh nilai ROE dapat dihitung
dengan rumus:
ROE = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑋 100%
42
5) Rasio Pasar (Market Ratio)
Rasio ini menunjukkan informasi penting perusahaan
yang diungkapkan dalam basis per saham. Rasio pasar
merupakan rasio yang menghubungkan harga saham terhadap
laba, arus kas, dan nilai buku per sahamnya. Rasio ini
menunjukkan apa yang dipikirkan investor atas kinerja masa
lalu dan prospek masa depan perusahaan. Yang termasuk
dalam rasio nilai pasar, antara lain:
a) Earnings Per Share (EPS)
Earning per share (EPS) yaitu laba bersih dibagi
jumlah saham yang beredar. Rasio ini menunjukkan
berapa besar keuntungan (return) yang diperoleh
investor atau pemegang saham per saham (Darmadji dan
Fakhruddin, 2001). Semakin tinggi nilai EPS tentu saja
menggembirakan pemegang saham karena semakin besar
laba yang disediakan untuk pemegang saham. Earning
Per Share (EPS) secara matematis dirumuskan sebagai
berikut:
EPS = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝐵𝑒𝑟𝑒𝑑𝑎𝑟
b) Dividend Payout Ratio (DPR)
Rasio ini melihat bagian pendapatan yang
dibayarkan sebagai deviden kepada investor. Bagian lain
yang tidak dibagikan akan diinvestasikan kembali ke
43
perusahaan (Hanafi: 2004). Perusahaan yang mempunyai
tingkat pertumbuhan yang tinggi akan mempunyai rasio
pembayaran deviden yang rendah. Sebaliknya
perusahaan yang tingkat pertumbuhan rendah akan
mempunyai rasio yang tinggi. Pembayaran deviden juga
merupakan kebijakan deviden perusahaan. Menurut Alwi
(2003), semakin besar rasio Dividend Payout Ratio
(DPR) maka semakin lambat atau kecil partum uhan
pendapatan perusahaan. Rumus perhitungan yang
digunakan untuk menentukan Dividend Payout Ratio
adalah:
DPR = 𝐷𝑒𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛𝑑 𝑝𝑒𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
c) Price Earnings Ratio (PER)
Price Earning Ratio (PER) adalah perbandingan
antara harga pasar per lembar saham dengan laba per
lembar saham. Rumus perhitungan Price earnings ratio
menurut (Moeljadi, 2006) adalah:
PER = 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑃𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑝𝑒𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
d) Deviden Yield (DY)
Deviden Yield (DY) merupakan sebagian dari total
return yang akan diperoleh investor. Perusahaan yang
mempunyai prospek pertumbuhan yang tinggi akan
44
mempunyai dividend yield yang rendah. Karena deviden
sebagian besar akan diinvestasikan kembali. Kemudian
karena perusahaan dengan prospek yang tinggi akan
mempunyai harga per saham yang tinggi, yang berarti
pembagiannya tinggi. Rumus perhitungan dividend yield
menurut (Hanafi: 2004) adalah:
DY = 𝐷𝑒𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛𝑑 𝑝𝑒𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
e) Price to Book Value Ratio (PBV)
Robert Ang (1997) secara sederhana menyatakan
bahwa Price to Book Value (PBV) merupakan rasio
pasar (market ratio) yang digunakan untuk mengukur
kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya. Price
to Book Value (PBV) ditunjukkan dengan perbandingan
antara harga saham terhadap nilai buku dihitung sebagai
hasil dari ekuitas pemegang saham dengan jumlah saham
yang beredar.
Secara matematis Price to Book Value dapat
dirumuskan sebagai berikut (Toto Prihadi, 2010) :
PBV = 𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 𝑝𝑒𝑟 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒
𝐵𝑜𝑜𝑘 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑝𝑒𝑟 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒
Dimana :
Price per share = Harga per saham
Book value per share = Nilai buku per saham
45
Rasio ini menunjukkan seberapa jauh sebuah
perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan relatif
terhadap jumlah modal yang diinvestasikan, sehingga
semakin tinggi rasio Price to Book Value (PBV) yang
menunjukkan semakin berhasil perusahaan menciptakan
nilai bagi pemegang saham (Ang, 1997).
Price to Book Value adalah angka rasio yang
menjelaskan seberapa kali seorang investor bersedia
membayar sebuah saham untuk setiap nilai buku per
sahamnya. Perusahaan yang aktifitasnya berjalan dengan
baik, umumnya memiliki rasio PVB mencapai di atas
satu (>1), yang menunjukkan bahwa nilai pasar saham
lebih besar dari nilai bukunya. Semakin besar rasio PBV
semakin tinggi perusahaan dinilai oleh para pemodal
(investor) relatif dibandingkan dengan dana yang telah
ditanamkan di perusahaan.
b. Manfaat Penilaian Kinerja Perusahaan
Penilaian kinerja adalah salah satu faktor penting dalam
keberhasilan perusahaan, adapun manfaat penilaian perusahaan
adalah sebagai berikut:
46
1) Untuk mengukur prestasi yang dicapai oleh suatu organisasi
dalam suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat
keberhasilan pelaksanaan kegiatannya.
2) Selain digunakan untuk melihat kinerja organisasi secara
keseluruhan, maka pengukuran kinerja juga dapat
digunakan untuk menilai kontribusi suatu bagian dalam
pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan.
3) Dapat digunakan sebagai dasar penentuan strategi
perusahaan untuk masa yang akan datang.
4) Memberi petunjuk dalam pembuatan keputusan dan
kegiatan
organisasi pada umumnya dan divisi atau bagian organisasi
pada khususnya.
5) Sebagai dasar penentuan kebijaksanaan penanaman modal
agar dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
perusahaan. (Rafriny, 2012)
c. Tujuan Penilaian Kinerja Perusahaan
Tujuan penilaian kinerja perusahaan adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui tingkat likuiditas, yaitu kemampuan
perusahaan untuk memperoleh kewajiban keuangannya
yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan
untuk memenuhi keuangannya pada saat ditagih.
47
2) Untuk mengetahui tingkat solvabilitas, yaitu kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya
apabila perusahaan tersebut dilikuidasi baik kewajiban
keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.
3) Untuk mengetahui tingkat rentabilitas atau profitabilitas,
yaitu menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba selama periode tertentu.
4) Untuk mengetahui tingkat stabilitas usaha, yaitu
kemampuan perusahaan untuk melakukan usahanya dengan
stabil, yang diukur dengan mempertimbangkan kemampuan
perusahaan untuk membayar beban bunga atas hutang-
hutangnya termasuk membayar kembali pokok hutangnya
tepat pada waktunya serta kemampuan membayar deviden
secara teratur kepada para pemegang saham tanpa
mengalami hambatan atau krisis keuangan. (Serli, 2011)
7. Corporate Social Responsibility
Kesadaran dalam menjaga lingkungan hidup di Indonesia
sudah mulai berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
peraturan yang menyangkut tentang hal tersebut dalam Undang-
undang Perseroan Terbatas No. 40 Pasal 74 Tahun 2007 yang mulai
diberlakukan pada tanggal 16 Agustus 2007. Undang-undang ini
mengatur perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang atau yang
48
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan Corporate
Social Responsibility (CSR).
Di Indonesia praktek pengungkapan tanggung jawab sosial di
atur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 Paragraf 9, yang meyatakan
bahwa:
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti
laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai
tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana
factor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi
industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna
laporan yang memegang peranan penting”.
Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial ini juga
terdapat dalam keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam) No. kep-38/PM/1996 peraturan No. VIII.G.2 tentang
Laporan Tahunan. Peraturan ini berisi mengenai kebebasan bagi
perusahaan untuk memberikan penjelasan umum mengenai
perusahaan, selama hal tersebut tidak menyesatkan dan bertentangan
dengan informasi yang disajikan dalam bagian lainnya. Penjelasan
umum tersebut dapat berisi uraian mengenai keterlibatan perusahaan
dalam kegiatan pelayanan masyarakat, program kemasyarakatan,
amal, atau bakti sosial lainnya, serta uraian mengenai program
perusahaan dalam rangka pengembangan SDM.
Pengambilan keputusan ekonomi dengan hanya melihat kinerja
suatu kinerja keuangan perusahaan, saat ini sudah tidak relevan lagi.
Dalam Anggraini (2006), menyatakan bahwa investor individual
49
tertarik pada informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan
tahunan. Karena itu diperlukan sarana untuk dapat memberikan
informasi mengenai aspek sosial, lingkungan dan keuangan secara
sekaligus. Dalam hal ini perusahaan tidak hanya berperan dalam
entitas ekonomi yang bertanggung jawab bukan hanya kepada para
stakeholder namun juga kepada masyarakat luas (Kurniawan, 2007).
Menjalankan suatu bisnis tidak hanya memberikan manfaat bagi para
pemilik modal namun juga bagi masyarakat disekitar perusahaan
ataupun masyarakat luas.
Program CSR merupakan suatu investasi bagi suatu
perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan dan
bukan lagi dilihat dari segi biaya melainkan sebagai sarana meraih
keuntungan. Menurut konsep CSR sebuah perusahaan dalam
menjalankan aktivitas dan pengambilan keputusan tidak hanya
berdasarkan faktor keuangan semata melainkan juga harus
berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini
maupun yang akan datang. CSR merupakan suatu bentuk
pertanggungjawaban yang dilakukan perusahaan dalam memperbaiki
kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai
akibat dari aktivitas operasional yang dilakukan perusahaan.
Semakin banyak pertanggungjawaban yang dilakukan perusahaan
maka semakin baik juga citra perusahaan menurut pandangan
masyarakat. Investor lebih berminat kepada perusahaan yang
50
memiliki citra yang baik di masyarakat karena semakin baiknya
citra perusahaan, maka semakin tinggi juga loyalitas konsumen.
Seiring meningkatnya loyalitas konsumen dalam waktu lama maka
penjualan perusahaan akan membaik dan pada akhirnya diharapkan
tingkat profitabilitas perusahaan juga meningkat. Secara teoritis,
suatu perusahaan dikatakan mempunyai nilai yang baik jika kinerja
keuangan perusahaan juga baik (Syahnaz, 2012).
Dalam pengertian CSR merupakan suatu cara agar manajemen
mengelola perusahaan tidak hanya untuk kepentingan para pemegang
saham tetapi juga untuk pihak-pihak lain di luar perusahaan. Pihak-
pihak yang dimaksud dalam hal ini yaitu masyarakat atau komunitas
lokal, pemerintah, para pekerja, lembaga swadaya masyarakat serta
lingkungan. Seluruh pemegang saham atau pemangku kepentingan
mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap
aktivitas atau operasional perusahaan disekitarnya (Geace, 2012
dalam Yeni dan Atmaja, 2014). Menurut Global Compact Initiative
(2002) menyatakan pemakaian CSR dengan 3P (profit, people,
planet). Nugroho (2007) mengemukakan konsep 3P ini memberikan
pengertian tentang bisnis tidak hanya sekedar mencari keuntungan
(profit) tetapi juga kesejahteraan orang (people) dan menjamin
kelangsungan hidup (planet). CSR menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kinerja perusahaan, karena menjadi salah satu dasar
pemikiran yang melandasi etika bisnis suatu perusahaan. Semakin
51
banyak perusahaan mengungkapkan tanggungjawab sosial
dalam laporan tahunan, maka semakin baik pula citra perusahaan
dimata investor dan masyarakat luas.
52
B. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Penulis Judul Variabel Hasil
1 Fessy Febriyani (2017) Pengaruh Struktur Good
Corporate Governance
terhadap kinerja
keuangan perusahaan
pada sektor
pertambangan di Bursa
Efek Indonesia
Variabel Dependen:
Kinerja Keuangan (ROA)
Variabel Independen:
Kepemilikan Institusional,
Kepemilikan Manajerial,
Independensi Komite Audit
Kepemilikan Institusional, kepemilikan
Manajerial, Independensi Komite Audit
masing-masing serta secara simultan
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja keuangan (ROA).
2 Brigitta Clarabella P dan
Josua Tarigan
(2017)
Pengaruh Kepemilikan
Institusional terhadap
Kinerja Keuangan
Melalui Struktur Modal
sebagai Variabel
Intervening pada
perusahaan manufaktur
yang terdafatr di Bursa
Efek Indonesia
Variabel Dependen:
Kinerja Keuangan (ROA dan
ROE)
Variabel Independen:
Kepemilikan Institusional
Variabel Intervening:
Struktur Modal (DAR dan
DER)
Kepemilikan Institusional berhubungan
positif signifikan terhadap kinerja
keuangan.
Kepemilikan Institusional berhubungan
negatif signifikan terhadap struktur modal.
Struktur modal berhubugan negatif
signifikan terhadap kinerja keuangan.
Struktur modal memiliki pengaruh dalam
memediasi kepemilikan institusional
terhadap kinerja keuangan
3 Astri Aprianingsih(2016) Pengaruh Penerapan
Good Corporate
Governance, Struktur
Kepemilikan dan Ukuran
Perusahaan terhadap
kinerja keuangan
Variabel Dependen:
Kinerja Keuangan (ROA)
Variabel Independen:
Dewan Komisaris
Independen, Dewan Direksi,
Dewan komisaris independen berpengaruh
negatif dan tidak signifikan terhadap
kinerja keuangan;
Dewan direksi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja keuangan
perbankan;
53
perbankan Komite Audit, Kepemilikan
manajerial, Kepemilikan
institusional dan ukuran
perusahaan
Komite audit berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja keuangan
perbankan;
Kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif dan tidak signifikan terhadap
kinerja keuangan;
Kepemilikan institusional berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap kinerja
keuangan;
Ukuran perusahaan erpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja keuangan;
Secara simultan variabel independen
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja keuangan
4 Muhammad Makhrus
(2013)
Pengaruh Komite Audit
terhada kinerja
perusahaan melalui
manajemen laba sebagai
variabel intervening
Variabel Dependen:
Kinerja Perusahanan (Tobins-
Q)
Variabel Independen:
Komite Audit
Variabel Intervaning:
Manajemen Laba
Komite audit (KA) tidak mempunyai
pengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan;
Komite audit (KA) tidak mempunyai
pengaruh signifikan terhadap
manajemen laba;
Manajemen laba (DTACC) tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap
kinerja perusahaan;
Manjemen laba merupakan variabel
intervening sebagian pada pengaruh
komite audit terhadap kinerja perusahaan.
5 Ivana Nina E.B (2016) Pengaruh GCG terhadap
Kinerja Keuangan
dengan CSR sebagai
Pemoderasi di
perusahaan
Variabel Dependen:
Kinerja Keuangan ROE
Variabel Independen:
GCG
GCG secara tidak signifikan tidak
berpengaruh terhadap kinerja keuangan
ROE;
CSR berpengaruh dan signifikan terhadap
kinerja keuangan (ROE);
54
Pertambangan
Variabel Moderasi:
CSR
Good Corporate Governance dan
corporate social responsibility dan
moderat secara bersama-sama tidak
berpengaruh terhadap kinerja
keuangan
6 Keyong-Hwa Yeon
(2016)
Moderating Effect of
Corporate Governance
Structure between
Corporate Social
Responsibility and
Performance
Variabel Dependen:
CSR
Variabel Independen:
Kinerja perusahaan (ROA)
Variabel Moderasi:
Corporate Governance
CSR secara tidak signifikan berpengaruh
positif terhadap kinerja perusahaan
(ROA);
Ada pengaruh moderasi corporate
governance antara CSR dan kinerja
perusahaan (ROA)
7 Ni Kadek Karmilayani
dan I.G Ayu Eka
Darmayanthi (2016)
Corporate Social
Responsibility sebagai
Pemoderasi Pengaruh
Kepemilikan Manajerial
dna Kepemilikan
Institusional pada kinerja
keuangan
Varibel Dependen:
Kinerja perusahaan
(ROE)
Variabel Independen:
Kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional
Variabel moderasi:
CSR
Kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif pada kinerja perusahaan;
Kepemilikan institusional tidak
berpengaruh pada kinerja perusahaan;
CSR dapat memoderasi pengaruh
kepemilikan manajerial pada kinerja
perusahaan;
CSR dapat memoderasi pengaruh
kepemilikan institusional pada kinerja
perusahaan.
8 I.B Made Puniayasa dan
Nyoman Triaryati (2016)
Pengaruh Good
Corporate Governance,
Struktur Kepemilikan
dan Modal Intelektual
terhadap Kinerja
Keuangan Perusahaan
yang masuk dalam
Indeks CGPI
Variabel Dependen:
Kinerja Keuangan (ROE)
Variabel Independen:
GCG, Kepemilikan
institusional, Kepemilikan
manajerial, Modal Intelektual
GCG tidak berpengaruh signifikan
terhadap kinerja keuangan (ROE);
Kepemilikan institusional tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja
keuangan perusahaan (ROE);
Kepemilikan manajerial berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja
keuangan peruasaan;
Modal Intelektual berpengaruh positif dan
55
signifikan terhadap kinerja keuangan
9 Tutut Istiana, Leonardo
Budi H, dan Azis Fathoni
(2018)
Analisis Pengaruh
Penerapan Struktur Good
Corporate Governance
terhadap Kinerja
Perusahan
(Stdi kasus di perusahaan
yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia)
Variabel Dependen:
Kinerja Keuangan (ROA dan
Tobin’Q)
Variabel Independen:
Proporsi dewan komisaris,
Dewan direksi, Kepemilikan
institusional
Proporsi komisaris independen
berpengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan (ROA, Tobin’Q);
Dewan direksi berpengaruh positif
terhadap kinerja perusahaan(ROA,
Tobin’Q);
Kepemilikan institusional berpengaruh
positif terhadap kinerja perusahaan (ROA,
Tobin’Q)
10 Yulius Ardy Wiranata
dan Yeterina Widi
Nugrahanti (2013)
Pengaruh Struktur
kepemilikan terhadap
Profitabilitas Perusahaan
Manufaktur di Indonesia
Variabel Dependen:
Profotabilitas (ROA)
Variabel Independen:
Kepemilikian Asing
Kepemilikan Pemerintah
Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Keluarga
Variabel Kontrol:
Total Asset
Laveragel
Kepemilikan Asing berpengaruh positif
signifikan terhadap kinerja perusahaan;
Kepemilikan pemerintah tidak
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan;
Kepemilikan Institusional tidak
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan;
Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan;
Kepemilikan keluarga berpengaruh negatif
terhadap kinerja perusahaan;
Ukuran perusahaan tidak berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan;
Laverge berpengaruh positif terhadap
kinerja kinerja perusahaan.
56
C. Pengembangan Hipotesis
1. Kepemilikan Institusional terhadap Kinerja Perusahaan
Menurut Jesen dan Meckling (1976), terdapat hubungan positif
antara kepemilikan institusional terhadap kinerja keuangan. Kepemilikan
institusional dapat meminimalisasi adanya konflik kepentingan antara
prinsipal dengan agen. Dengan adanya pengawasan dari institusional
dapat mengoptimalkan pengawasan kinerja manajemen untuk
menghindari adanya perilaku penyelewengan yang dilakukan
manajemen. Sehingga dengan adanya keterlibatan institusi dengan
perusahaan dapat berpengaruh untuk meningkatkan kinerja perusahaan
yang lebih baik. Hasil penelitian Brigitta dan Josua (2017) menunjukan
bahwa kepemilikan intitusional berpengaruh positif terhadap kinerja
keuangan perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Evi
Elisetiawati dan Budi (2016) menunjukan bahwa kepemilikan
institusional berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan.
Presentase saham perusahaan yang dimiliki oleh pihak institusi
seperti LSM, perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi maupun
perusahaan swasta menjunjukan keberadaan kepemilikan institusional.
Kepemilikan institusional pada umumnya memiliki proporsi kepemilikan
dalam jumlah yang besar sehingga proses monitoring terhadap manajer
menjadi lebih baik. Usaha pengawasan yang dilakukan oleh pihak
investor terhadap tingkat kepemilikan institusional akan semakin besar
apabila tingkat kepemilikan institusional tinggi. Usaha ini dimaksudkan
57
agar dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Berdasarkan
penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan
2. Kepemilikan Manajerial terhadap Kinerja Perusahaan
Kepemilikan manajerial merupakan keadaan dimana pihak
manjemen perusahaan memiliki rangkap jabatan yaitu sebagai
manajemen perusahaan dan juga sebagai pemegang saham dan berperan
aktif dalam pengambilan keputusan yang dilaksanakan. Menurut Jensen
dan Meckling (1967) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan
saham oleh manajemen makan akan semakin kuat kecenderungan
manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga
akan mengakibatkan kenaikan kinerja perusahaan. Penelitian yang
dilakukan oleh I Bagus Made Puniayasa dan Nyoman Triaryati (2016)
menunjukkan bahwa kepemilikan manjerial berpengaruh positif dengan
kinerja perusahaan. Penelitian tersebut bertolak belakang dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ni Kadek Karmilayani dan I Gusti Ayu
Darmayanthi (2016) yaitu kepemilikan manajerial berpengaruh negatif
terhadap kinerja perusahaan. Oleh karena itu Berdasarkan penjelasan
diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2: Kepemilikan Manajerial berpengaruh terhadap Kinerja
Perusahaan
58
3. Komite Audit terhadap Kinerja Perusahaan
IKAI (2013) menyatakan tugas pokok komite audit adalah
membantu dewan komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan atas
kinerja perusahaan. Hal tersebut berkaitan dengan review sistem
pengendalian intern perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan,
dan meningkatkan efektivitas fungsi audit. Tugas komite audit juga erat
kaitannya dengan penelaahan terhadap risiko yang dihadapi perusahaan,
dan juga ketaatan terhadap peraturan.
Komite audit dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
jumlah komite audit. Semakin banyak jumlah komite audit yang dimiliki
oleh suatu perusahaan akan memberikan perlindungan dan kontrol yang
lebih baik terhadap proses akuntansi dan keuangan dan pada akhirnya
akan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan
(Anderson et al., 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Fessy Febriyani (2017) dan Astri
Aprianingsih (2017), keduanya menunjukan bahwa komite audit
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H3: Komite Audit berpengaruh terhadap Kinerja Perusahaan
59
4. Coporate Social Responsibility memoderasi pengaruh Kepemilikan
Intitusional terhadap Kinerja perusahaan
Febrianto (2013) menyatakan struktur kepemilikan yang
terkonsentrasi oleh institusi akan memudahkan pengendalian terhadap
perusahaan, sehingga akan berdampak pada peningkatan kinerja
perusahaan. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin baik
juga kinerja perusahaan. Investor institusional akan memantau secara
profesional perkembangan investasi yang ditanamkan pada perusahaan
dan memiliki tingkat pengendalian yang tinggi terhadap tindakan
manajemen. Dalam hal ini memperkecil tindakan yang akan dilakukan
manajemen, dengan demikian dapat menyelaraskan kepentingan
manajemen dan stakeholders lainnya untuk meningkatkan kinerja
perusahaan.
Adanya CSR dalam suatu perusahaan memungkinkan terjadinya
perbaikan kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas
operasional perusahaan. Pelaksanaan aktivitas CSR secara berkala
tentunya akan meningkatkan citra dan kepercayaan bagi perusahaan
dalam jangka panjang yang mana sebagai perwujudan dari prinsip moral
dan etis yaitu memperoleh hasil terbaik tanpa merugikan kelompok
masyarakat sekitar.
Penelitian yang dilakukan oleh Ni Kadek Karmilayani dan I.G.
Ayu Eka Darmayanthi (2016) menunjukkan bahwa CSR dapat
memoderasi pengaruh kepemilikan institusional pada kinerja perusahaan.
60
Penelitian ini bertolak belakang dengan teori diatas. Berdasarkan
penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4: Coporate Social Responsibility memoderasi pengaruh
Kepemilikan Intitusional terhadap Kinerja perusahaan
5. Coporate Social Responsibility memoderasi pengaruh Kepemilikan
Manajerial terhadap Kinerja perusahaan
Diah dan Erman (2009) menyatakan kepemilikan manajerial
merupakan proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang aktif
dan ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan
komisaris). Menurut Febrianto (2013), besarnya jumlah saham yang
dimiliki oleh manajemen dari total saham yang beredar disebut
kepemilikan manajerial. Suatu kepemilikan saham yang besar dari segi
nilai ekonominya memiliki insentif menyelaraskan kepentingan
manajemen dan principal. Menurut Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen
maka akan semakin kuat kecenderungan manajemen untuk
mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga akan mengakibatkan
kenaikan kineja perusahaan. Menurut Belkaoi (1986) dan Patten (1990)
dalam Nurdin dan Cahyandito (2006) menyatakan bahwa dalam proses
pengambilan keputusan investasi, investor akan memperhatikan variabel
yang berkaitan dengan masalah sosial dan kelestarian lingkungan.
Investor cenderung berinvestasi pada perusahaan yang mempunyai etika
bisnis yang baik, praktek karyawan yang baik, peduli terhadap dampak
61
lingkungan dan mempunyai CSR. Tujuan dari perusahaan salah satunya
yaitu adanya peningkatan kinerja perusahaan. Seperti yang dijelaskan
terdapat beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa secara
signifikan semakin besar persentase kepemilikan manajerial, maka
kinerja perusahaan semakin meningkat. Di sisi lain dengan adanya CSR
maka perusahaan juga akan memiliki kinerja keuangan yang baik (Arsoy
et al., 2012). Pengungkapan corporate social responsibility yang
dilakukan oleh perusahaan akan meningkatkan citra perusahaan di
lingkungan masyarakat sekitar sehingga dapat meningkatkan kinerja
perusahaan dan meningkatkan minat investor untuk menanamkan
sahamnya pada perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Kadek
Karmilayani dan I.G. Ayu Eka Darmayanthi (2016) menunjukkan bahwa
CSR dapat memoderasi pengaruh kepemilikan manajerial pada kinerja
perusahaan, hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan teori
diatas. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H5: Coporate Social Responsibility memoderasi pengaruh
Kepemilikan Manajerial terhadap Kinerja perusahaan
6. Coporate Social Responsibility memoderasi pengaruh Komite Audit
terhadap Kinerja perusahaan
Komite audit yang dimiliki oleh suatu perusahaan akan
memberikan perlindungan dan kontrol yang lebih baik terhadap proses
akuntansi dan keuangan dan pada akhirnya akan memberikan pengaruh
62
terhadap kinerja keuangan perusahaan. CSR sebagai bagian dari
perusahaan dapat membantu dalam peningkatan kinerja perusahaan
karena para investor tertarik untuk berinvestasi dalam perusahaan yang
memiliki hubungan baik terhadap lingkugan sekitar.
Penelitian yang dilakukan oleh Fessy Febriyani (2017) dan Astri
Aprianingsih (2017), keduanya menunjukan bahwa komite audit
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
H6: Coporate Social Responsibility memoderasi pengaruh Komite
Audit terhadap Kinerja perusahaan
63
D. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
H1
H4
H2
H5
H3
H6
Keterangan:
= Pengaruh interaksi masing-masing variabel independen terhadap
Kinerja Perusahaan serta pengaruh interaksi variabel moderasi
terhadap variabel independen dengan variabel dependen
Kepemilikan
Institusional (X1)
Kinerja Perusahaan
(ROE) (Y)
CSR (Z)
Kepemilikan
Manajerial (X2)
Kinerja Perusahaan
(ROE) (Y)
CSR (Z)
Komite Audit
(X1)
Kinerja Perusahaan
(ROE) (Y)
CSR (Z)