BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan...

download BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8313/3/T1_312007058_BAB II.pdfBAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan

If you can't read please download the document

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan...

  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Perlindungan Hukum

    1. Pengertian Perlindungan hukum

    Perlindungan hukum secara etimologi berasal dari 2 kata dasar yaitu

    perlindungan dan hukum. Tidak mudah memberikan pengertian perlindungan

    hukum dengan spesifik karena dalam kepustakaan hukum tidak memberikan

    pengertian secara khusus dan tersendiri untuk perlindungan hukum. Namun

    untuk menemukan pengertian yang relevan dapat di telaah dari beberapa

    pengertian dari 2 ( dua ) kata tersebut.

    Kata perlindungan dalam tata bahasa Indonesia adalah ; tempat berlindung,

    hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungkan1. Sedangkan dalam hukum

    materiil juga ditemukan kata perlindungan yang tertuang dalam dalam

    Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah segala upaya yang ditujukan

    untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak

    keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau

    pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

    Selain itu perlindungan yang tertuang dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah

    suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum

    atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental,

    kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari

    pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,

    penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

    Sementara itu banyak pengertian mengenai hukum, namun yang cukup

    relevan dengan penelitian ini salah satunya yaitu hukum adalah peraturan-

    1 Kamus besar Bahasa Indonesia, Cetakan keempat, Balai Pustaka, 1993, Hal 252

  • peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

    dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan - badan resmi yang

    berwajib. Hukum adalah himpunan peraturan yang di buat oleh yang

    berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang

    mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa

    dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.2

    Pengertian hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono

    Sastropranoto, SH adalah :

    Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan

    tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-

    badan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, Hukum adalah

    himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk

    mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah

    dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi

    hukuman bagi yang melanggarnya.

    Menurut Mochtar Kusumaatmadja,

    Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum

    itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan

    manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan

    proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataannya.3.

    Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan dan hukum dapat

    ditarik suatu pengertian lebih jelas bahwa perlindungan hukum merupakan

    2 Makalah Pengkajian Hukum Perlindungan Hukum Bagi Upaya Menjamin Kerukunan Umat

    Beragama, Kementrian hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), 2011, Jakarta,

    Hal. 44. 3 Putra, 2009, Definisi Hukum Menurut Para Ahli, www. putracenter.net, Download 21 Agustus

    2012, 22.00 WIB.

  • segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman, adil, manfaat,

    damai kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum yang berisi asas-

    asas atau kaidah dibuat oleh badan-badan resmi ( institusi otorita ) yang

    berwajib bekerja secara preventif maupun represif dalam tata kehidupan

    masyarakat yang dengan ciri adanya perintah dan larangan serta mempunyai

    sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

    Dengan itu dapat dapat di artikan bahwa di dalam perlindungan hukum

    terdapat jalinan pokok yang erat antar komponen di dalamnya yaitu asas

    asas atau kaidah ( agar ada kepastian hukum ), otoritas pelaksana ( lembaga/

    institusi ), mekanisme pemberlakuan ( preventif maupun represif ) dan ada

    sanksi ( pidana maupun administrative ) pada tiap peratura perlindungan

    hukum, sehingga kekuatan mengikat hukumnya dapat dipaksakan dan

    dipertangungjawabkan secara hukum.

    2. Konsep Perlindungan Hukum

    Konsep perlindungan hukum adalah implementasi eksistensi hukum

    dalam masyarakat untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

    kepentingan-kepentingan seluruh anggota masyarakat. Pengaturan

    kepentingan-kepentingan ini seharusnya didasarkan pada keseimbangan

    antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi kepentingan

    masyarakat. Tatanan yang diciptakan hukum baru menjadi kenyataan

    manakala subyek hukum diberi hak dan kewajiban.

    Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hak dan kewajiban bukanlah

    merupakan kumpulan kaidah atau peraturan, melainkan perimbangan

    kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin dalam

    kewajiban pada pihak lawan, hak dan kewajiban inilah yang diberikan oleh

    hukum. Secara leksikal, perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, hal

    atau perbuatan, memperlindungi. Perlindungan diartikan sebagai perbuatan

    memberi jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian

    dari pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau resiko yang

  • mengancamnya.4 Terdapat dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat yaitu

    pertama ; perlindungan hukum preventif artinya rakyat diberi kesempatan

    mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk

    yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, kedua ;

    perlindungan hukum represif yang bertujuan menyelesaikan sengketa.5

    Konsep perlindungan hukum dalam pola kerjanya merupakan subsistem

    di dalam suatu sistem hukum dimana sistem hukum adalah suatu susunan atau

    tatanan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian yang

    berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari

    suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan 6.

    Dalam setiap konteks sistem hukum maka di dalamnya terdapat tiga

    komponen yang sangat saling keterkaitan menurut Lawrwnce M Fredmen

    (Ahmad Ali) yaitu 7:

    1. Struktur, yaitu keseluruhan institusi hukum yang menyangkut aparat

    penegak hukumnya yang antara lain polisinya, kejaksaan dengan

    para jaksa dan pengadilan dengan para hakimnya.

    2. Substansi yaitu keseluruhan aturan hukum dan asas hukum, baik

    yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan

    pengadilan.

    3. Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, baik dari

    para penegak hukum maupun warga masyarakat hukum dan

    berkaitan dengan hukum.

    Apabila ketiga faktor tersebut tidak dapat berjalan pada fungsinya masing

    masing akan menimbulkan penyakit hukum dan penyakit hukum itu dapat

    menimpa ketiga komponen tersebut dan juga dapat menimpa satu persatu

    4 http://ilmupengertian.blogspot.com/2013/02/konsep-perlindungan-hukum.html

    5 Ibid, Hal. 45.

    6 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986, hal 27

    7 Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Vol. I, Jakarta: Kencana, 2009, hal 58

  • komponen dari ketiganya. Demikian juga dalam konsep perlindungan hukum

    harus bekerja secara keseluruhan baik kaidah, institusi maupun kultur

    hukumnya.

    B. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SPESIES LANGKA FLORA

    DAN FAUNA LIAR DALAM RANAH HUKUM INTERNASIONAL

    1. Dasar Terbentuknya Perlindungan Hukum

    Perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar

    secara internasional diawali dari adanya perdagangan berbagai spesies flora

    dan fauna untuk dijadikan berbagai kebutuhan hidup seperti : makanan,

    pakaian, hiasan, obat-obatan dll. Dalam kurun waktu yang lama hewan-hewan

    tertentu yang sangat diminati seperti harimau, singa, badak, beruang, ikan

    paus, ikan duyung, burung elang serta masih banyak lagi, semakin lama

    semakin sedikit bahkan beberapa hewan telah dinyatakan punah. Sudah diakui

    oleh manusia bahwa banyak dari spesies -spesies tersebut memiliki nilai yang

    sangat mahal dari berbagai segi. Perdagangan tersebut dilakukan di berbagai

    Negara. Beberapa catatan kasus perdaangan flora dan fauna liar terjadi di

    Afrika 19 cula badak yang dengan sengaja diberi label suku cadangan

    dengan tujuan Eropa pada bulan November 1986, kemudian adanya impor

    gelap kulit buaya dalam jumlah yang amat besar oleh Jepang sebanyak 50

    ton kulit caiman , dan perburuan anjing laut belahan utara di laut bebas yang

    melibatkan Paraguay, Jepang, Sovet Rusia, dan Amerika Serikat pada tahun

    1911 8. Dengan perdagangan spesies tersebut meyebabkan kelangkaan spesies

    tertentu.

    8 Koesnadi Hardjasoemantri, 1991, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam

    Hayati dan Ekosistemnya, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, Hal. 268-270.

  • Indikasi terhadap penurunan populasi berbagai spesies langka akibat

    perdagangan internasional tersebut mendorong masyarakat internasional untuk

    mengatur perdagangan dan pemanenan spesies langka.9

    Keinginan utuk memberikan perlindungan satwa liar dan fauna liar diawali

    dengan berbagai perjanjian internasional yang mengatur masalah hewan (

    khususnya ikan paus ) sejak tahun 1597 namun terbatas pada perjanjian

    bilateral.10

    Perjanjian multilateral baru ditandatangani di tahun 1885 yaitu

    Convention Concerning the Regulation of Salmon Fishing in the Rhine River

    Basin di kota Berlin tanggal 30 Juni 1885. Walaupun perjanjian internasional

    awal hanya mengatur mengenai masalah hewan, tetapi pada dasarnya konsep

    filosofi dasar dari perjanjian tersebut adalah perlindungan terhadap satwa liar

    dan fauna liar. namun perjanjian tersebut perjanjian internasional yang masih

    bersifat sektoral, bilateral dan regional.

    Dibawah ini akan disebutkan data beberapa perjanjian yang ditandatangani

    antar negara antara tahun 1946 1972 :

    Tabel 1

    Perjanjian Internasional terhadap Satwa dan Fauna

    NO

    NAMA PERJANJIAN

    TEMPAT

    PENANDA-

    TANGANAN

    WAKTU

    PENANDA-

    TANGANAN

    1. International Convention for the Regulation of

    Whaling

    Washington 2 - 12 - 1946

    9 Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia (Jakarta: Japan

    International Cooperation Agency, 2003), hal 9 10

    Birnie, Patricia W & Alan E Boyle. 1992. International Law and the Environment, Oxford University Press, New York, Hal 421.

  • 2. International Convention for the Northwest

    Atlantic Fisheries

    Washington 8 - 2 - 1949

    3. International Convention for the Protection of

    Birds

    Paris 18- 10- 1950

    4. Agreement Concerning Measures for the

    Protection of the Stocks of Deep-Sea Prawns,

    European Lobsters, Norway Lobsters and

    Crabs

    Oslo 7- 3 - 1952

    5. Interim Convention on Conservation of North

    Pasific Fur seals

    Washington 9 - 2 - 1957

    6. Agreement Between Hungary and Yugoslavia

    Concerning Fishing in Frontier Waters

    Beograd 25 - 5 - 1957

    7. Agreement Between Norway and the USSR on

    Measures for Regulating the Chatch and

    Conserving Stocks of seals in the North

    Eastern Part of the Atlantic Ocean

    Oslo 22-11-1957

    8. Convention Concerning Fishing in the Waters

    of the Danube

    Bucharest 29- 1 - 1958

    9. Convention on Fishing and Conservation of the

    Living Resources of the High Seas

    Geneva 29- 4 - 1958

    10. Convention Between Cuba and the USA for the

    Conservation of Shrimp

    Havana 1 - 12 - 1959

    11. Agreement Between Norway and Finland

    Regarding New Fishing Regulations of the

    Fishing Area of the Tana River

    Oslo 15- 11- 1960

    12. Agreement on the Protection of the Salmon in

    the Baltic Sea

    Stockhlom 20-12 - 1962

    13. Agreement Between Japan and the USA on Washington 25-11 - 1964

  • King Crab Fishing off Alaska

    14. European Convention for the Protection of

    Animals During International Transport

    Paris 13 -12- 1968

    15. Benelux Convention on the Hunting and

    Protection of Birds

    Brusels 10- 6 - 1970

    16. Convention on Wetlands of International

    Importance, Especially as Waterfowl Habitats

    Ramsar 2 - 2 - 1971

    17. Agreement Between Canada and Norway on

    Sealing and the Conservation of the Seal Stock

    in the North-West Atlantic

    Ottawa 15-7 - 1971

    18. Convention for the Conservation of Antartic

    Seals

    London 2 - 6 - 1972

    19. Convention Between Japan and the USA for

    the Protection of Migratory Birds in Danger of

    Extinction and Their Environment

    Tokyo 4- 3 - 1972

    Sumber Data : Kiss (1976) & Bernie (1994)

    Selain perjanjian, perlindungan terhadap hewan pada mulanya juga sangat

    dipengaruhi oleh beberapa publikasi yang memunculkan tumbuhnya gerakan

    lingkungan hidup. Pada waktu itu studi-studi mengenai kehidupan alam mulai

    tumbuh kembali oleh para penulis naturalis dan menumbuhkan berbagai

    gerakan lingkungan yang mempengaruhi lahirnya berbagai Taman Nasional

    ini kelak akan juga mempengaruhi lahirnya organisasi internasional untuk

    perlindungan dan pelestarian alam.

    Seiring dengan itu tahun 1960-an muncul dorongan internasional

    untuk lebih memperhatikan masalah perdaganga satwa ini dengan

    mengeluarkan seruan yang mengatakan bahwa perdagangan internasional

    satwa adalah perbuatan illegal. Seruan lembaga pemerhati konservasi

  • International Union for Conservation of Nature ( IUCN ) ini secara tidak

    langsung mengarah kepada adanya permintaan untuk menciptakan mekanisme

    kontrol impor untuk mencegah perdagangan yang ilegal, dimana perdagangan

    ilegal diartikan sebagai perdagangan satwa yang dilakukan di dalam/di sektor

    dari negara asal suatu spesies merupakan suatu tindakan pelanggaran dari

    hukum suatu negara. Berdasarkan tekanan IUCN dan Konferensi Stockholm

    dengan didasari premis bahwa perdagangan satwa harus dikontrol atau

    dilarang berdasarkan daftar spesies terancam yang bersifat global, IUCN

    meresponnya dalam General Assembly ke-11 pada September 1972 dengan

    mengajukan rekomendasi dan resolusi yang mendorong semua negara untuk

    berpartisipasi dalam pertemuan di Washington DC pada Februari 1973.

    Akhirnya pada pertemuan delegasi yang jumlahnya sekitar 80 negara di

    Washington D.C. Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, terbentuklah

    CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild

    Fauna and Flora), dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1975. Jika dilihat dari 80

    negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu

    langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara yang menghadiri

    tersebut tersebut diantaranya adalah Argentina, Belgia, Brazil, Kosta Rika,

    Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia,

    Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand,

    Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela.

    CITES merupakan suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional

    dan sebagai media konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah.

    Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan

    memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yang

    akan datang.

    Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan

    memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam

  • satwa dari kepunahan.11

    Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat

    internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional12

    .

    CITES merupakan suatu bentuk perjanjian atau traktat antar dua negara atau

    lebih ( ilateral atau multilateral ) memiliki kekuatan mengikat apabila telah

    diratifikasi oleh Negara pesertanya, dan setelah diratifikasi traktat memiliki

    kekuatan hukum sama dengan undang undang.13

    Traktat atau perjanjian

    internasional termasuk dalam kategori sumber formal yang diartikan sebagai

    tempat dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum14

    . Konvensi

    CITES sudah diratifikasi oleh 173 negara15

    , sejak Oman meratifikasinya pada

    tanggal 13 Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife. Hampir

    semua negara pengimpor dan pengekspor utama bergabung di dalamnya.

    Konvensi ini menerima lebih banyak dukungan administratif serta perhatian

    akan penegakannya dibanding dengan konvensi lainnya tentang konservasi.

    Di bawah CITES, beban pengendalian perdagangan dengan tegas diletakkan

    pada negara anggota. Sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian

    internasional, CITES hanya mempunyai beberapa ketentuan penegakannya,

    meskipun lembaga administrasinya, yaitu Sekretariat CITES, bertanggung

    jawab untuk memonitor pelaksanaannya dan dapat membenkan tekanan

    Internasional kepada pelanggar-pelanggar dengan meninjau pelanggarannya

    dan menyoroti masalah pemenuhan kewajiban lainnya. Negara-negara

    bertanggung jawab atas penegakan CITES dalam batas negaranya. Mereka

    diharapkan untuk menjaga pelabuhan masuk dan kehuar, melaporkan tentang

    perdagangan, dan menghukum pelanggar. CITES tidak berkaitan dengan

    perburuan, perburuan gelap, atau perdagangan yang berlaku di dalam negara

    itu sendiri. Peraturan perundang-undangan nasional serta kegiatan

    11 CITES, Artikel III, Washington DC, 3 Maret 1973

    12 Ibid,

    13 R. Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum ( PIH ) , UKSW, 2000. Hal 83

    14 Ridwan H. R, Hukum Administrasi Neara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006. Hal 61

    15 Parties of the Convention , ,

  • penegakannya adalah amat penting bagi berhasilnya CITES dan bagi

    konservasi spesies yang langka dan dalam bahaya kepunahan, yang

    mempunyai nilai komersial16

    .

    CITES adalah salah satu dari perjanjian Internasional yang dapat

    dibantu oleh semua warganegara. Setiap orang membantu suksesnya CITES

    dengan menolak membeli barang yang dibuat dari spesies yang dibahayakan.

    Disamping itu seruan dari konsep perlindungan yang ada dalam CITES

    adalah pernyataan keperdulian/keperhatian masyarakat adalah sangat kuat

    pula dalam mempengaruhi pengusaha industri satwa liar dan penyusun

    kebijaksanaan perdagangan di semua tingkat. Dukungan surat pembaca di

    mass media yang mempersoalkan masalah perdagangan gelap satwa liar serta

    komunikasi langsung dengan perusahaan yang mengiklankan produksinya

    yang dibuat dari spesies yang dilindungi dan dengan para penjual produk

    tersebut lebih memperkuat perlindungan terhadap spesies satwa dan fauna di

    dunia. Pada akhir bukunya, Fitzgerald menyatakan bahwa ada alasan untuk

    optimisme, meskipun banyak masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan

    CITES.

    Di negara berkembang, pengendalian perdagangan satwa liar dan

    kegiatan konservasi, untuk sebagian besar, perlu meliputi pemberian insentif

    ekonomi dalam menghadapi tekanan bagi penduduk guna mengeksploitasi

    sumber daya satwa liar. Kegiatan peternakan untuk masyarakat setempat dan

    penyelenggaraan taman nasional dengan daya tarik kuat untuk wisatawan

    merupakan suatu kelengkapan yang memperkuat guna membenarkan adanya

    perlindungan spesies, dihadapkan pada peningkatan kebutuhan manusia,

    sehingga dengan demikian perlindungan spesies dapat berjalan serentak

    dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang meningkat

    16 William C. Burns, CITES and the Regulation of International Trade in Endangered Species ofFlora: A

    Critical Appraisal, 8 Dick. J. Int'l L. 203, 208-10 (1990).

  • Melalui konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan

    ketentuan-ketentuan di dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan

    Nasional.

    Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama melalui koordinasi

    internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk

    menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari

    eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional.17

    2. Pengklasifikasian Spesies

    Dalam CITES pengklasifikiasian spesies didasarkan kepada apakah

    suatu spesies terancam punah (ditinjau dari populasi dan lain-lain). Secara

    umum menurut CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :18

    1. Spesies yang ternacam punah yang akan atau bisa saja terpengaruh akibat

    perdagangan yang dilakukan (Annex I)

    2. Spesies yang belum punah tapi jika diperdagangkan secara besar-besaran

    akan mengalami kepunahan (Annex II)

    3. Spesies yang belum punah tapi harus dilindungi untuk mencegah

    kepunahan akibat perdagangan (Annex III)

    3. Pengaturan dan Klasifikasi perdagangan CITES

    Secara keseluruhan, CITES merupakan konvensi yang berlaku sebagai

    panduan umum untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan

    segala jenis tumbuhan dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES

    mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang dapat dilakukan

    oleh Negara anggota, perdagangan yang dilakukan oleh negara non-anggota,

    konferensi Negara peserta, hubungan antara hukum internasional dan

    peraturan domestik, dan amandemen terhadap konvensi itu sendiri. Konvensi

    ini membagi perlindungan ke dalam tiga bagian yang termasuk di dalam

    17

    Butir 4 konsiderans CITES 18

    Pasal 2 CITES

  • appendiks I, II, dan III yang setiap appendiks menunjukan status spesies

    tersebut. Spesies yang di golongkan dalam Appendiks I adalah segala spesies

    yang terancam yang mungkin diakibatkan oleh perdagangan internasional.

    Appendiks II menunjukan spesies ayang pada saat ini belum terancam oleh

    kepunahan namun dapat menjadi terancam apabila tingkat perdagangan

    terhadap spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks III adalah kategori

    spesies yang diatur dalam regulasi atau peraturan nasional negara anggota

    untuk menghindari ancaman terhadap kepunahan.

    C. DASAR HUKUM PERLINDUNGAN FLORA DAN FAUNA DI

    INDONESIA.

    Sejak adanya CITES, Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan

    Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978 yang kemudian memberikan

    penguatan lahirnya perlindungan flora dan fauna di indonesia melalui

    seperangkat peraturan yang satu dengan lainnya saling berkaitan, diantaranya

    adalah :

    1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

    Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

    Dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) dasar hukum yang

    dipakai dalam perlindunngan perlindungan satwa dan fauna liar tertuang

    dalam tiap klausula Pyang meliputi pengambilan/penangkapan Tumbuhan

    dan Satwa Liar (TSL) baik komersial maupun non komersial dari habitat

    alam hanya dapat dilakukan di luar kawasan pelestarian alam (Taman

    Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya), kawasan suaka alam

    (Cagar Alam, Suaka Marga Satwa) atau taman buru, yang semua tercakup

    dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 UUKH.

    2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

    dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UUPLH )

    Peraturan UUPLH ini memberikan daya dukung yang mengatur

    perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga satwa dan

  • fauna liar yang merupakan bagian dari ekosistem lingkungan hidup

    mendapatkan regulasi yang kuat dalam kelestariannya.

    3. Undang - undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

    Hutan merupakan media tinggal dan lingkungan sebagian besar satwa

    liar dan fauna. Untuk memperkuat perlindungan terhadap satwa dan fauna

    liar agar tidak punah harus memperhatikan keseimbangan lingkungan

    ekosistem dalam hutan. Undang undang kehutanan ini mengatur

    perlindungan kawasan hutan mulai dari pemanfaatan, pengendalian,

    konservasi, produksi, pengawasan dan sanksi dalam pemanfaatan hutan.

    4. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan

    Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

    Peraturan pemerintah ini juga berkontribusi dalam memperkuat

    landasan hukum bagi perlindungan satwa dan fauna liar dengan cara

    mengatur dalam pengelolaan kawasan suaka alam, pengelolaan pelestarian

    alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Satwa liar, Peran serta

    masyarakat, Badan usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha

    milik daerah, badan usaha milik swasta dan koperasi yang terkait

    dengan pelestarian alam.

    5. Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang

    Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

    Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai pengawetan,

    pengelolaan, budidaya satwa dan fauna liar.

    6. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan

    Satwa Liar.

    Dalam peraturan pemerintah ini mengatur pengkajian, penelitian,

    pengembangan, penangkapan, perburuan, perdagangan,

    peragaanpertukaran, budidaya, pengangkutan dan sanksi administratif

    terhadap perburuan satwa buru

    7. PP No 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru

  • Peraturan pemerintah ini mengatur perlindungan satwa dan fauna liar

    yang meliputi ; Satwa Buru, Taman Buru, Kebun Buru, Pengusahaan

    kebun buru dan taman buru, Areal buru Musim buru Akta Buru adalah

    akta otentik yang menyatakan bahwa seseorang telah memiliki/ menguasai

    kemampuan dan ketrampilan berburu satwa buru, perijinan, Pungutan izin

    usaha kebun buru dan Iuran hasil usaha perburuan

    8. Peraturan Menteri Kehutanan No : P. 57/Menhut-II/2008

    Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional tahun 2008 2018

    Peraturan menteri ini memberikan delegasi untuk membentuk dan atau

    menunjuk institusi baik dari unsur pemerintahan ataupun swadaya yang

    mendukung terhadap upaya perlindungan satwa dan fauna liar.

    D. HUBUNGAN NORMA PERLINDUNGAN FLORA DAN FAUNA

    INTERNASIONAL DAN NASIONAL

    Dalam konsep perlindungan hukum terhadap flora dan fauna ada keterkaitan dan

    korelasi antara norma perlindungan hukum internasional dan nasional dimana

    kesemuanya terbentuk dalam suatu sistem hukum yang menyiratkan adanya suatu

    susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian

    yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari

    suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan yaitu perlindungan hukum terhadap

    flora dan fauna liar . 19

    Hubungan antara norma internasional dan nasional dalam

    perlindungan hukum terhadap flora dan fauna liar tersebut dapa t diambarkan sebagai

    berikut :

    Skema 1 Hubungan antara norma internasional dan nasional dalam perlindungan

    hukum terhadap flora dan fauna

    19 Loc. Cit Satjipto Raharjo

  • Dari skema diatas dapat digambarkan bahwa ada korelasi antara norma Hubungan

    antara norma internasional dan nasional dalam perlindungan hukum terhadap flora

    dan fauna liar yaitu ahwa norma internasional CITES merupakan pioner atau perintis

    adanya peraturan perlindungan hukum terhadap satwa dan sauna liar nasional yang

    ada di tingkat nasional. Norma internasional tidak akan mempunyai kekuatan

    mengikat dan tidak dapat dipaksakan kalautidak diratifikasi dalam bentuk peraturan

    nasional oleh negara peserta atau pengikut konvensi internasional CITES.

    CITES

    RATIFIKASI :

    - peraturan organik ( UU )

    - peraturan pelaksanaan

    ( PP, Peraturan presiden,

    Peraturan menteri, dll )

    IMPLEMENTASI