BAB II LANDASAN TEORI A. Autis 1. Pengertian Autis · 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Autis 1....

69
14 BAB II LANDASAN TEORI A. Autis 1. Pengertian Autis Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu Autosyang berarti sendiri. Istilah autisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, pada tahun 1906. Anak-anak dengan gangguan autisme dahulu dideskripsikan sebagai atypical children, symbiotic psychotic children, dan childhood schizophrenia. Istilah “psikosis” kemudian dihilangkan dan diganti dengan istilah gangguan perkembangan pervasive. Kelompok gangguan perkembangan pervasive ditandai oleh abnormal kualitatif yang merupakan gambaran gangguan meluas dari fungsi individu dalam segala situasi. Berbeda dengan gangguan spesifik, anak-anak yang mengalami gangguan pervasive menunjukkan gangguan kualitatif berat yang tidak normal bagi setiap tahap perkembangan manapun, karena gangguannya berupa penyimpangan dalam perkembangan. Gaya berpikir autistik merupakan kecenderungan memandang diri sendiri sebagai pusat dunia dan percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Psikiater Leo Kanner, pada tahun 1943, dalam tulisannya Autistic Disturbance of Affective Contact” memunculkan istilah “autisme infantile awal” yang digunakan untuk sekelompok anak dengan ciri utama

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Autis 1. Pengertian Autis · 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Autis 1....

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Autis

1. Pengertian Autis

Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu “Autos” yang berarti sendiri.

Istilah autisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada gaya berpikir yang

aneh pada penderita skizofrenia oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, pada

tahun 1906. Anak-anak dengan gangguan autisme dahulu dideskripsikan

sebagai atypical children, symbiotic psychotic children, dan childhood

schizophrenia. Istilah “psikosis” kemudian dihilangkan dan diganti dengan

istilah gangguan perkembangan pervasive. Kelompok gangguan

perkembangan pervasive ditandai oleh abnormal kualitatif yang merupakan

gambaran gangguan meluas dari fungsi individu dalam segala situasi. Berbeda

dengan gangguan spesifik, anak-anak yang mengalami gangguan pervasive

menunjukkan gangguan kualitatif berat yang tidak normal bagi setiap tahap

perkembangan manapun, karena gangguannya berupa penyimpangan dalam

perkembangan.

Gaya berpikir autistik merupakan kecenderungan memandang diri sendiri

sebagai pusat dunia dan percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu

pada diri sendiri. Psikiater Leo Kanner, pada tahun 1943, dalam tulisannya

“Autistic Disturbance of Affective Contact” memunculkan istilah “autisme

infantile awal” yang digunakan untuk sekelompok anak dengan ciri utama

15

tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam

dunia mereka sendiri. Penjelasan bahwa anak-anak tersebut “hidup didunia

mereka sendiri” menggambarkan keterpisahan dan sikap mereka yang tidak

bisa dimengerti (Nevid, 2003).

PPDGJ (1993) mendefinisikan autis sebagai gangguan perkembangan

pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan atau hendaya

perkembangan, dengan ciri fungsi abnormal dalam bidang interaksi sosial,

komunikasi serta perilaku yang terbatas dan berulang. Gangguan ini muncul

sebelum usia 3 tahun dan dijumpai 3 sampai 4 kali lebih banyak pada laki-laki

dibanding dengan anak perempuan. Pendapat senada dikemukakan oleh

Santrock (2009), bahwa gangguan autistik adalah gangguan perkembangan

parah yang dimulai pada 3 tahun pertama kehidupan dalam bentuk

keterbatasan hubungan sosial; komunikasi yang abnormal; serta pola perilaku

yang terbatas, repetitif dan tetap.

Yatim (2003) berpendapat bahwa autis merupakan suatu kumpulan gejala

kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan sehinga menyebabkan

penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, kepedulian

terhadap sekitar, hidup dalam dunianya sendiri, kelainan emosi, intelektual

dan kemauan. Durand (2007) menuliskan gangguan autis sebagai gangguan

masa kanak-kanak yang ditandai hendaya signifikan dalam interkasi sosial,

dan komunikasi dan oleh pola-pola perilaku, interes, dan aktivitas yang

terbatas. Tidak berbeda jauh, Balai Pengembangan Pendidikan Khusus Dinas

Pendidikan Provinsi Jawa Tengah (2013) mendefinisikan autis sebagai

16

gangguan perkembangan pervasif pada anak ditandai dengan adanya

gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,

komunikasi dan interaksi sosial.

Pengertian autis dengan penjelasan yang lebih mendalam diberikan oleh

Handojo (2008). Handojo (2008) memberi pengertian bahwa autis merupakan

salah satu jenis kelainan pada anak-anak dengan kebutuhan khusus yang

disertai dengan gejala-gejala seperti perilaku selektif berlebihan terhadap

rangsang, tidak mempunyai keinginan untuk menjelajahi lingkungan baru,

respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial dan respon unik

terhadap imbalan (reinforcement). Imbalan yang dimaksud disini adalah

imbalan berupa hasil pengindraan terhadap dari perilaku stimulasi diri. Hal

inilah yang menyebabkan muncul perilaku berulang yang khas pada anak

autis.

Turkington (2007) dalam bukunya yang berjudul “The Encyclopedia of

Autism Spectrum Disorder” menjelaskan banyak hal tentang gangguan

autistik. Turkington (2007) menuliskan bahwa gangguan autis adalah sebuah

gangguan perkembangan yang berat sehingga mempengaruhi kemampuan

seseorang untuk berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, dan berespon

dengan tepat pada stimulus dari lingkungan. Gangguan autis merupakan

sebuah “spektrum gangguan” yang berarti bahwa gejala dan karakteristiknya

dapat muncul variasi kombinasi yang sangat luas, dari ringan sampai dengan

berat. Gangguan autis merupakan sebuah “gangguan perkembangan” yang

17

berarti bahwa gejalanya biasa muncul selama tiga tahun pertama masa kanak-

kanak dan berlangsung sepanjang hidup.

Banyak ahli mulai menyadari bahwa autis bukan hanya merupakan

gangguan perkembangan pervasif, tetapi juga merupakan gangguan

neurobiologis. Tahun 2005, Triantoro menuliskan autis sebagai gangguan

neurobiologis yang disertai dengan beberapa masalah seperti autoimunitas,

gangguan pencernaan, dysbiosis pada usus, gangguan integrasi sensoris, dan

ketidakseimbangan susunan asam amino. Pendapat yang tidak berbeda jauh

juga dikemukakan oleh Smith (2006). Smith menjelaskan bahwa autis adalah

suatu kelainan neurologis yang seringkali mengakibatkan ketidakmampuan

interaksi komunikasi dan sosial. Anak autis seringkali menunjukkan sifat-sifat

kelainan yang dimulai sejak masa bayi, beberapa sifat tersebut adalah tidak

tanggap terhadap orang lain, gerakan yang diulang-ulang (seperti bergoyang,

berputar, dan memilin tangan), menghindari kontak mata dengan orang lain,

tetap dalam rutinitas, sikap-sikap yang ritualitas.

Yayasan Penyandang Anak Cacat (2013) mempunyai pendapat bahwa

Anak autis adalah salah satu jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang

mengalami gangguan dalam fungsi komunikasi, motorik sosial dan perhatian

disebabkan oleh adanya hambatan secara neurobiologis yaitu fungsi syaraf

otak. Sutadi (2002) dalam YPAC (2013) menyebutkan autistik sebagai

gangguan perkembangan neurobiologis berat yang mempengaruhi cara

seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan dengan orang lain).

Ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan mengerti perasaan orang lain

18

menyebabkan penyandang autis memiliki gangguan pada interaksi sosial,

komunikasi (baik verbal maupun non-verbal), imajinasi, pola perilaku repetitif

dan resistensi terhadap perubahan pada rutinitas. Penyandang autisme juga

memiliki gangguan untuk membangun hubungan dengan orang lain sehingga

tidak dapat membentuk hubungan yang berarti.

Organisasi peduli autis di Australia bernama Amaze, pada tahun 2015

menjelaskan bahwa gangguan autistik merupakan salah satu jenis gangguan

perkembangan pervasif dalam DSM-IV (APA, 1994) namun yang sekarang

berada pada diagnosis neuro developmental problems (NDP) dalam DSM V

(APA, 2013). autis adalah kondisi yang berlangsung sepanjang hayat,

sehingga tidak memungkinkan individu untuk keluar dari gangguan autis dan

belum diketahui obat penyembuhnya. Terapi dan dukungan efektif hanya

membantu untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh

gangguan autis, mengendalikan berbagai karakteristik dan membantu

memastikan bahwa orang dengan gangguan autis menjalani kehidupan yang

bahagia.

Berdasar pemaparan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa

terdapat banyak pengertian autis dengan beragam penekanan menurut sudut

pandang setiap ahli. Autis merupakan sebuah gangguan perkembangan

pervasif yang juga merupakan gangguan neurobiologis sehingga menyebabkan

hendaya signifikan dalam interaksi sosial, kemampuan berbahasa, motorik

sosial, kepedulian terhadap sekitar, hidup dalam dunianya sendiri, kelainan

emosi, intelektual serta pola-pola perilaku, interes, dan aktivitas yang terbatas.

19

2. Kriteria Diagnosis

Berikut ini merupakan kriteria diagnostik untuk gangguan autistik dalam

DSM-V (APA 2013). Kriteria diagnostiknya adalah sebagai berikut:

a. Kekurangan yang menetap dalam komunikasi dan interaksi sosial

dalam bermacam-macam konteks, seperti ditunjukkan berikut ini, masa

kini atau masa lampau (contoh merupakan ilustrasi, tidak mendalam

lihat teks):

1) Kurangnya kemampuan timbal balik sosial-emosional, sebagai

contoh, dari pendekatan sosial yang tidak normal, kegagalan

dalam percakapan; berkurangnya saling berbagi minat, emosi

atau perasaan; gagal untuk memulai atau merespon suatu

interaksi sosial.

2) Kurang dalam perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan

untuk interaksi sosial, sebagai contoh, dari komunikasi verbal

dan non-verbal yang sangat buruk; sampai ketidaknormalan

dalam kontak mata dan bahasa tubuh atau kurangnya

pemahaman dan pengguanaan dari gestur ; hingga sangat

kurangnya ekspresi wajah dan komunikasi non-verbal.

3) Kurang dalam mengembangkan, mempertahankan, dan

memahami suatu hubungan, sebagai sontoh, kesulitan dalam

menyesuaikan perilaku dalam menghadapi bermacam-macam

situasi sosial; kesulitan dalam berbagai permainan imajinatif

20

atau dalam mencari teman; tidak adanya minat terhadap

temannya.

b. Pola kebiasaan, minat, atau aktivitas yang terbatas, berulang,

dinyatakan paling sedikit dua dari berikut ini, masa kini atau masa

lampau (contoh merupakan ilustrasi, tidak mendalam lihat teks):

1) Gerakan motorik stereotip atau berulang, penggunaan dari benda-

benda, atau kemampuan berbicara (contoh gerakan stereotip

sederhana, mengurutkan mainan atau memutar-mutar benda,

ekolalia, kaya-kata yang aneh).

2) Bersikeras pada persamaan, kepatuhan yang kaku terhadap

kebiasaan sehari-hari, pola yang menetap pada perilaku verbal atau

non-verbal (contoh, reaksi yang berlebihan pada perubahan kecil,

kesulitan terhadap peralihan, pola pikir yang kaku, kebutuhan

untuk melakukan suatu kegiatan atau makan makanan yang sama

setiap hari).

3) Minat yang sangat terbatas, terpaku yang tidak normal dalam

intensitas dan fokus (contoh, kelekatan yang kuat kepada atau

keasyikan terhadap objek yang tidak biasa, minat yang berlebihan).

4) Hiper atau hiporeaktif terhadap rangsangan sensoris atau minat

yang tidak biasa pada aspek sensoris terhadap lingkungan (contoh,

ketidakacuhan terhadap rasa sakit/suhu, respon yang buruk

terhadap suara atau tekstur tertentu, berlebihan dalam mencium

21

atau menyentuh suatu objek, daya Tarik visual terhadap cahaya

atau gerakan).

c. Simptom harus ada pada periode perkembangan awal (tapi bisa

menjadi tidak sepenuhnya membuktikan sampai kebutuhan sosial

mencapai batasnya, atau mungkin dapat ditutupi oleh cara belajar pada

perkembangan berikutnya).

d. Simptom menyebabkan gangguan klinis yang signifikan pada

kemampuan sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya yang

berfungsi.

e. Gangguan ini sebaiknya tidak dijelaskan dengan gangguan intelektual

(gangguan perkembangan intelektual) atau hambatan perkembangan

secara umum. Gangguan intelektual dan gangguan spectrum autistik

sering sekali terjadi; untuk membuat diagnosis komorbiditas dari

gangguan spectrum autistik dan gangguan intelektual, komunikasi

sosial harus di bawah yang diharapkan untuk tingkatan perkembangan

pada umumnya.

3. Karakteristik gangguan autis

Frith dan kawan-kawan tahun 1991 pertama kali melakukan studi

tentang pendekatan untuk memetakan gangguan autis berdasarkan aspek

biologi, kognisi, perilaku dan sosial. Adapun penjelasan lebih lanjut tentang

pendekatan gangguan autis adalah sebagai berikut:

a. Biologi

22

Faktor biologis memainkan peran terhadap penyebab adanya

gangguan autis. Anak autis diketahui memiliki kondisi medis yang

beragam sebagai faktor latar belakang. 37% dari keseluruhan kasus autis

muncul dengan kondisi abnormal secara medis seperti gen X rapuh,

tuberous sclerosis, neurofibromatosis, sindrom Rett dan hidrosefalus

kongenital. Pengaruh genetik selama ini menjadi kandidat kuat tentang

penyebab gangguan autis. Penyebab lain yang mungkin adalah

permasalahan kelahiran, kelemahan imun, dan penyakit yang disebabkan

virus.

Individu normal memiliki sistem otak tertentu yang diperlukan

untuk mencapai perkembangan normal, sedangkan anak autis memiliki

gangguan dalam sistem tersebut sehingga memunculkan abnormalitas

neurologis. Kerusakan otaklah yang memungkinkan timbulnya

keterbelakangan intelektual umum, sebagai mana kondisi penyerta yang

sering muncul dalam autis.

b. Kognisi

Banyak teori telah berusaha untuk memberikan penjelasan yang

meyakinkan tentang karakteristik fungsi kognitif yang menjadi ciri autis.

Beberapa teori yang menonjol akan dibahas disini merupakan gabungan

dari beberapa penelitian, tidak hanya penelitian dari Frith (1991) saja, teori

tersebut meliputi: Mindblindness, yang mempunyai hipotesis bahwa

individu dengan autism tidak memiliki "teori pikiran" (Theory of Mind)

yaitu mereka tidak mempunyai anggapan tentang keyakinan mental orang

23

lain; Disfungsi Eksekutif, yang menunjukkan bahwa individu dengan

autism memiliki defisit dalam fungsi eksekutif seperti perencanaan,

fleksibilitas mental, dan penghambatan impuls; dan lemahnya koherensi

sentral, yang menyatakan bias terhadap hal lokal dan bukannya

pengolahan informasi global (Kunde & Goel, 2008). Anak autis sekalipun

memiliki kelemahan dalam fungsi kognitif, mereka juga memiliki

kelebihan yaitu mereka merupakan pemikir visual. Grandin merupakan

salah satu contoh anak autis yang berhasil dalam teknik pemeliharaan

hewan ternak karena dapat memvisualkan sirkulasi kandang ternak

melebihi peneliti yang lainnya. Adapun penjelasan dari beberapa teori

diatas adalah sebagai berikut:

1) Theory of Mind (ToM)

Anak-anak dengan gangguan autis mengalami kesulitan tentang

atribusi sosial dan juga pemahaman tentang keyakinan serta niat yang

dimiliki orang lain. ToM adalah istilah digunakan pertama kali oleh

Simon Baron-Cohen yang mengacu pada keterampilan yang diperlukan

untuk menafsirkan sudut pandang orang lain (Liberi, 2012). Frith

(1991) mendeskripsikan ToM atau mentalisasi sebagai kemampuan

individu untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku individu lain

dalam konteks keadaan mental mereka. Kemampuan manusia untuk

bermentalisasi diungkap melalui penggunaan dan pemahanaman

manusia terhadap kepercayaan, pengetahuan, keingininan, harapan,

24

niatan dan pura-pura. Anak autis memiliki kekurangan dalam

kemampuan tersebut.

Kemampuan untuk bermentalisasi bergantung pada mekanisme

spesifik yang tidak muncul begitu saja saat manusia lahir, melainkan

sesuatu yang dapat dipelajari. Pada usia 1 tahun, bayi mulai berperilaku

dan merepresentasikan keadaan fisik dunia. Inilah representasi pertama

manusia. Kemudian, manusia dapat merepresentasikan keadaan mental

sebagaimana keadaan fisik. Lebih lanjut, Happe (1994) menjelaskan

bahwa anak-anak normal pada usia 18 bulan dapat tertawa ketika orang

dewasa berpura-pura memakai pisang sebagai telepon dengan tanpa

menampilkan kebingungan antara kenyataan dan pura-pura. Anak yang

berkembang normal memiliki kapasitas untuk berpura-pura; ini

melibatkan dua jenis representasi: representasi primer dari hal-hal yang

sebagaimana adanya dan meta-representasi untuk menangkap pura-

pura. Anak-anak dengan gangguan autis mungkin tidak memiliki

keterampilan meta-representasi yang menghalangi kepura-puraan dan

keterampilan lainnya seperti merepresentasi kondisi mental orang lain.

Mereka mengalami kebutaan pikiran, yaitu ketidakmampuan untuk

menyimpulkan pikiran dan perasaan lain.

Untuk menguji teori tentang kebutaan pikiran, Frith (1991)

melakukan penelitian ToM dengan menggunakan tes "Kepercayaan

Palsu". Tes ini berisi cerita singkat tentang Sally, kelerengnya, dan

Anne. Sally mempunyai kelereng dan dia meletakannya dalam sebuah

25

keranjang lalu meninggalkan ruangan. Anne, datang lalu mengambil

kelereng tersebut dari keranjang dan meletakkannya dalam sebuah

kotak. Sally kemudian kembali ke ruangan dan dia ingin memainkan

kelereng miliknya. Pertanyaan yang kemudian diajukan kepada testee

adalah “Kemana Sally akan mencari kelereng tersebut?”. Individu tanpa

gangguan perkembangan mengetahui bahwa Sally akan mencari

kelerengnya di tepat dimana dia menyembunyikannya, meskipun

individu tersebut tau bahwa kelereng Sally tidak berada disitu.

Hal ini berarti bahwa individu normal mampu merepresentasikan

kepercayaan Sally yang salah sebagaimana representasi dari keadaan

yang sesungguhnya. Anak normal tidak memiliki kesulitan untuk

menyelesaikan tugas tersebut saat berusia 4 tahun. Anak Down

Syndrome dengan usia mental 6 tahun juga mampu menjawab dengan

benar. Akan tetapi, sekelompok anak autis yang berisi 20 anak dengan

rata-rata usia mental 9 tahun, 16 diantaranya gagal menjawab

pertanyaan dengan benar. Mereka mengabaikan ide bahwa keadaan

mental Sally akan berbeda dari keadaan mental mereka sendiri (Frith,

1991).

ToM memungkinkan individu untuk menyimpulkan perasaan

orang lain dan mengantisipasi perilaku orang lain dengan melakukan

penyesuaian perilaku diri sendiri. ToM mendasari kemampuan untuk

membaca isyarat nonverbal untuk memfasilitasi pengenalan emosi.

Anak autis mengalami kesulitan memahami penyebab emosi komplek

26

dan gagal untuk mengenali wilayah mata serta wajah sebagai indikasi

apa seseorang pikirkan dan inginkan. Mereka juga gagal untuk

memahami metafora, sarkasme dan ironi yang merupakan contoh dari

niat, komunikasi non literal yang mencerminkan defisit ToM pada

individu dengan autis (Liberi, 2012).

27

3) Fungsi Eksekutif

Griffith, et al. (1999) menjelaskan fungsi eksekutif sebagai

kemampuan untuk mempertahankan seperangkat pemecahan masalah

untuk pencapaian tujuan. Fungsi eksekutif mendeskripsikan

kemampuan dasar otak yang mulai berkembang dalam awal tahun

kehidupan. Robinson (2009) mendeskripsikan fungsi eksekutif sebagai

sebuah proses kontrol yang lebih tinggi yang diperlukan untuk

mengarahkan perilaku pada lingkungan yang terus berubah. Konsep ini

meliputi menyusun rencana, menahan respon, mengontrol impuls dan

memantau tindakan.

Tidak berbeda jauh, Hill (2004) memberi pengertian bahwa fungsi

eksekutif merupakan istilah yang memayungi fungsi-fungsi seperti

membuat rencana, ingatan yang bekerja, control impuls, sifat menahan

diri, dan peralihan sebagaimana inisiasi dan memantau perilaku.

Disfungsi eksekutif merupakan karakteristik kunci dari autis baik dalam

area sosial maupun non-sosial. Permasalahan perilaku yang muncul

menurut teori ini adalah sifat kaku yang dijelaskan oleh kurangnya

inisiasi perilaku baru diluar rutinitas dan tendensi untuk terjebak dalam

seperangkat tugas yang diberikan.

Studi perilaku dan neuropsikologis semula menghubungkan fungsi

eksekutif pada lobus frontalis, secara khusus pada daerah pre-frontal

cortex. Akan tetapi, studi neuroimaging terkini menunjukkan bahwa

fungsi eksekutif diasosiasikan dengan area yang berbeda dari lobus

28

frontalis, dengan hubungan antara area frontal dan posterior. Disfungsi

eksekutif telah dihubungkan dengan beberapa gangguan perkembangan

termasuk gangguan autis. Kesamaan perilaku antara pasien dengan luka

pada lobus frontal dan individu dengan gangguang autis memunculkan

pemikiran bahwa beberapa perilaku sosial maupun non-sosial sehari-

hari yang terlihat pada individu dengan autis mungkin merefleksikan

disfungsi eksekutif spesifik. Perilaku yang terhitung sebagai disfungsi

eksekutif adalah: kebutuhan akan kesamaan, kesukaan yang kuat pada

perilaku berulang, kelemahan mengontrol impuls, kesulitan

menginisiasi tindakan yang tidak sesuai rutinitas dan kesulitan pada

peralihan tugas.

a) Membuat rencana

Membuat rencana merupakan perilaku yang kompleks,

dinamis pada urutan rencana perilaku harus secara konstan

dipantau, evaluasi dan diperbaharui. Hal ini membutukan

perubahan konseptualisasi dari situasi saat ini, melihat kedepan

dengan mengambil pendekatan objektif untuk mengidentifikasi

alternatif, membuat keputusam dan kemudian menerapkan rencana

serta merevisi rencana yang telah diterapkan.

“Tower of Hanoi” atau “Tower of London” merupakan tes

yang biasa diberikan untuk mengukur ketrampilan membuat

rencana dan pemecahan masalah. Pada tes ini, testee harus

memindahkan manik-manik dari urutan yang sebelumnya untuk

29

mencapai tujuan yang ditentukan oleh tester. Anak dengan

gangguan autis mendapat nilai batas paling bawah dari range

normal.

b) Fleksibilitas mental

Fleksibilitas mental merupakan salah satu dari fungsi

eksekutif dan biasanya diistilahkan dengan “seperangkat

perubahan” atau fleksibilitas kognitif. Istilah ini mengacu pada

kemampuan untuk berpindah kepada pemikiran atau tindakan yang

berbeda menurut perubahan situasi. Fleksibilitas mental yang

rendah dijelaskan melalui perilaku stereotip dan kesulitan untuk

regulasi dan modulasi dari motorik.

“The Wisconsin Card Sorting Task” adalah tes fleksibilitas

mental yang membutuhkan testee untuk mengurutkan kartu

berdasarkan tiga kemungkinan aturan (warna, bentuk atau angka).

Kesulitan untuk berubah pada prosedur pengurutan yang baru

merupakan indikasi utama dari disfungsi eksekutif. Individual

dengan autis dilaporkan mengalami kesulitan pada tes ini

dibandingkan dengan individu dengan gangguan perkembangan

tipikal seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder, gangguan

bahasa, sindrom Tourrete dan disleksia.

c) Menahan respon

Menahan diri merupakan kemampuan untuk menekan

informasi atau impuls yang tidak relevan atau yang mengganggu.

30

Ketidakmampuan untuk menahan respon ditunjukkan anak autis

dalam tes “Window Task”. Tes ini berisi 2 kotak yang tembus

pandang, kotak yang satu kosong dan kotak yang satu berisi objek

yang diinginkan anak, misalnya coklat. Dalam tes ini, testee

diminta untuk menunjuk pada kotak kosong untuk mendapatkan

objek yang ada pada kotak satunya. Performansi buruk yang terus

menerus pada tes ini mengindikasikan kesulitan untuk menahan

respon.

d) Memantau diri sendiri

Memantau diri adalah kemampuan untuk memantau pikiran

dan perilaku diri sendiri. Kelemahan dalam memantau diri

dilaporkan terjadi pada anak autis seperti, kesalahan koreksi diri,

perilaku menghindar dan ingatan perilaku (Hill, 2004; Robinson,

2009).

3) Kelemahan Koherensi Sentral

Koherensi sentral yang pertama kali dikemukan oleh Frith (1989)

adalah salah satu teori psikologi kognitif yang terkemuka dalam

gangguan autis. Anak autis memiliki ketidakmampuan untuk

mengalami keseluruhan tanpa berfokus penuh pada unsur pokok

sebagai satu karakteristik kesamaan. Jika komponen yang paling kecil

itu dipindahkan atau dihilangkan, situasi keseluruhan tidak lagi

menjadi sama dan karenanya tidak dapat diterima sebagai keseluruhan

lagi. Kelemahan koherensi sentral merupakan tendensi untuk

31

memproses makna dan bentuk global (gestalt) dari informasi yang

masuk (Happe, F. & Frith, U., 2006).

Penjelasan juga datang dari Noens & Berckelaer-Onnes (2007),

koherensi sentral mengacu pada tendensi normal untuk memproses

informasi yang datang secara global dan dalam konteks, sehingga

membantu manusia untuk berpikir secara masuk akal dan melihat

struktur serta makna. Individu dengan gangguan autis memperlihatkan

kelemahan koherensi sentral, sebuah tendensi untuk lebih fokus pada

informasi lokal daripada informasi global. Bias pemrosesan ini tidak

seharusnya dipertimbangkan sebagai kelemahan tetapi gaya pemikiran

yang spesifik.

Kelemahan koherensi sentral sedikit banyak didukung oleh faktor

neurobiologis. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan autis

mengalami perkembangan yang baik pada hemisfer kiri dan kurang

berkembang pada hemisfer kanan. Hemisfer kiri berfungsi untuk

memproses kristaliasasi pengetahuan sedangkan hemisfer kanan

terlibat dalam pemrosesan global.

Kelemahan koherensi sentral mungkin mendasari kesulitan yang

dimiliki oleh anak autis dalam komunikasi non-literal dan bahasa

pragmatis. Daripada memasukkan informasi kontekstual, mereka

mungkin fokus pada pernyataan literal dalam percakapan dan gagal

untuk memahami makna tersirat dari sebuah pembicaraan. Pengolahan

32

detail dari kegiatan sosial dapat menghambat pemahaman sosial situasi

dalam cara yang bermakna global (Liberi, 2012).

33

4) Pembelajar visual

Bukti lain yang ditemukan peneliti tentang sistem kognisi individu

dengan gangguan autis adalah bahwa mereka merupakan visual thinker

atau pembelajar visual. Rao & Gagie (2006), menyatakan bahwa

autisme adalah visual daripada mendengar / pelajar auditori dan lebih

memilih moda alternatif komunikasi, seperti gambar, bukan kata-kata

tertulis. Pendidik dapat memberikan banyak arahan secara lisan tetapi

itu tidak berarti bahwa siswa mengerti.

Temple Grandin (1995) merupakan individu autis yang memiliki

fungsi tinggi (high functioning autism) sekaligus seorang dosen dengan

gelar PhD yang terkenal dengan autobiografinya Thinking in Pictures

and Other Reports from My Life with Autism. Grandin (1995)

menuliskan bahwa dirinya dan individu-individu autis lainnya

merupakan individu yang berpikir dalam gambar. Bahasa verbal

seperti bahasa kedua dan ketika seseorang berbicara, ucapannya

diterjemahkan oleh otak Grandin ke dalam gambar.

Delphie (2009), menuliskan tentang beberapa karakteristik orang

dengan gaya belajar visual. Karakteristik tersebut adalah: individu

membutuhkan informasi visual untuk memahami sesuatu, memiliki

kepekaan yang kuat terhadap warna dan masalah artistik, serta

kesulitan berdialog secara langsung. Individu dengan gaya belajar

visual juga terlalu reaktif terhadap suara, sulit mengikuti anjuran lisan

dan sering salah mengintepretasikan kata atau ucapan verbal.

34

Pendekatan yang sering digunakan untuk memaksimalkan

pembelajaran dengan gaya visual adalah menggunakan perangkat

grafis sepeti tayangan, gambar ilustrasi, coretan dan hal lain yang

bersifat visual.

Pembelajar visual membuat individu dengan autis memiliki

performa yang sangat baik dalam kemampuan visual spasial dan sangat

buruk dalam kemampuan verbal. Mayoritas anak autis yang

merupakan pembelajar visual, merespon lebih efektif rangsangan

visual daripada stimulus pendengaran. Menyajikan informasi dengan

cara visual dapat membantu dan mendorong kemampuan komunikasi,

perkembangan bahasa serta kemampuan untuk memproses informasi

bagi individu dengan gangguan autis (Elliot, 2013).

Organisasi autis Inggris, Autism Westmidlands (2014) menuliskan

beberapa alasan kenapa bantuan visual dapat sangat berguna bagi

orang-orang dengan gangguan autis. Alasan tersebut antara lain:

a) Banyak anak autis merupakan pemikir visual sehingga informasi

dapat lebih mudah untuk diproses dan dipahami jika informasi

tersebut disajikan secara visual.

b) Hal yang bersifat visual lebih permanen daripada kata-kata. Setelah

sesuatu dikatakan, kata-kata tersebut dapat dengan cepat dilupakan

atau disalahartikan, sedangkan hal yang bersifat visual yang akan

selalu tetap sama dan dapat digunakan ulang sebanyak yang

diperlukan.

35

c) Anak autis merasakan bahwa komunikasi verbal sulit dipahami

karena ada begitu banyak informasi yang berbeda untuk diproses

sekaligus. Hal yang bersifat visual memungkinkan seseorang untuk

fokus hanya pada apa yang sedang dikomunikasikan, daripada

harus menguraikan nada suara, kontak mata, bahasa tubuh dll.

d) Hal yang bersifat visual dapat membantu orang dengan gangguan

autis untuk mengekspresikan kebutuhan mereka. Seseorang yang

mengalami kesulitan untuk berkomunikasi secara verbal dapat

menggunakan hal yang bersifat visual untuk membantu mereka

memberitahu orang lain apa yang mereka inginkan dan butuhkan.

e) Hal yang bersifat visual dapat membantu meningkatkan

kemandirian seseorang. Misalnya jika individu dengan gangguan

autis mencoba untuk berpakaian di pagi hari, bantuan visual

membantu mereka memahami langkah-langkah apa saja yang harus

mereka kerjakan.

c. Perilaku

Autis merupakan gangguan perkembangan yang membuat individu

membutuhkan hampir seumur hidup dukungan dan pendidikan khusus.

Terdapat ciri utama dalam gangguan autis yaitu kelemahan sosial, yang

berarti kelemahan spesifik dalam kualitas hubungan timbal-balik interaksi,

kemudian kelemahan bahasa, yang berarti penundaan akuisisi bahasa,

sedikit penggunaan bahasa verbal dan non verbal dalam komunikasi.

36

Terakhir, kelemahan imaginasi, yang berarti kelemahan dalam melakukan

premainan pura-pura dengan spontan.

d. Sosial

Anak autis, dalam konteks sosial seringkali dideskripsikan

memperlakukan manusia sama seperti memperlakukan objek. Perilaku

sosial anak autis dapat bervariasi dari sama sekali menarik diri sampai

mengganggu orang lain secara berulang. Sangat jelas, anak autis tidak

menyadari dampak dari perilaku mereka pada orang lain dan sekalipun

memiliki kesadaran, maka interaksi sosial anak autis tersebut tetaplah

aneh. Permasalahan dalam interaksi sosial ini kemudian memunculkan

konsekuensi seperti permasalahan interpersonal, permasalahan dalam

keluarga, permasalahan dengan teman sebaya. Anak autis juga memiliki

permasalahan sosial seperti tidak memiliki teman, tidak menikah,

mengalami penolakan secara sosial serta melakukan penghindaran sosial.

Kapplan & Sadock (1997) memberikan gambaran klinis tentang

individu-individu yang mengalami gangguan autis. Gambaran klinis terbagi

menjadi dua kelompok yaitu etiologi gangguan dan karakteristik perilaku.

Adapun penjelasan lebih dalam dari pendapat tersebut adalah:

a. Etiologi gangguan

Gangguan autis memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan

prognosis yang terbatas. Sekitar dua per tiga dari individu yang mengalami

autis tetap berada dalam kondisi kecacatan yang parah dan hidup dengan

ketergantungan penuh atau setengah tergantung. Prognosis membaik jika

37

lingkungan keluarga dan pendidik bersifat supportif dan memenuhi semua

kebutuhan anak autis. Terapi membantu menurunkan gejala perilaku dan

mengembangkan perkembangan fungsi yang terlambat, seperti

ketrampilan bahasa dan merawat diri sendiri.

b. Karakteristik perilaku

1) Gangguan kualitatif pada interaksi sosial

Anak autis gagal membentuk keakraban, perilaku melekat pada

orang-orang penting dalam kehidupan seperti orang tua, saudara

kandung dan guru. Individu autis saat kanak-kanak gagal bermain

bersama teman sebaya dan gagal membentuk empati. Setelah remaja,

mereka tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk

mengmbangkan hubungan seksual dengan lawan jenis.

2) Gangguan komunikasi dan bahasa

Anak autistik sedikit menggunakan arti dalam daya ingat dan

proses berpikir. Penyandang autis tipe verbal lebih banyak berkata

dibandingkan yang dimengertinya.

3) Perilaku stereotipik

Memanipulasi mainan dalam cara yang tidak semestinya, dengan

sedikit variasi, kreativitas dan imaginasi. Anak-anak autis tidak dapat

meniru atau menggunakan pantomin abstrak. Aktivitas dan permainan

bersifat kaku, berulang dan monoton.

38

4) Ketidakstabilan mood dan afek

Anak autis tidak mengekspresikan pikiran yang sesuai dengan

afek dan menunjukkan perubahan emosi yang tiba-tiba. Tangisan atau

tawa anak autis sering terlihat tanpa alasan.

5) Respon terhadap stimuli sensorik

Anak autis memiliki peningkatan ambang nyeri atau perubahan

respon terhadap nyeri.

6) Gejala perilaku lain

Agresivitas, tantrum, perilaku melukai diri sendiri sering terlihat

dengan alasan yang tidak jelas atau karena perubahan lingkungan.

Gejala perilaku lain adalah ketidakmampuan memusatkan perhatian,

insomnia dan masalah pemberian makanan.

Puspita (2010) berpendapat bahwa individu dapat dikatakan mengalami

gangguan autis apabila memiliki gejala-gejala berikut:

a. Gangguan komunikasi

Anak autis mengalami berbagai bentuk gangguan komunikasi antara

lain: hambatan mengekspresikan diri, hambatan komunikasi dua arah,

membeo, menirukan ucapan orang lain dan bahkan hambatan bicara total.

b. Gangguan perilaku

Adanya perilaku stereotipi / khas pada anak autis seperti mengepakkan

tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar

atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain,

39

obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk

masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya.

c. Gangguan interaksi

Individu autis secara umum memiliki keengganan untuk berinteraksi

secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan keberadaan orang

lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain serta lebih

senang menyendiri.

Dikutip dari Puspita (2010), Siegel (1996) melaporkan bahwa individu

autis memiliki berbagai ciri khas, antara lain:

a. Pemikiran visual

Ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk “video” atau

gambar yang membuat individu autis lebih mudah memahami hal konkrit

(dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Proses berpikir seperti

ini jelas lebih lambat daripada proses berpikir verbal sehingga penyadang

autis perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas

pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih

menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika.

b. Masalah pemrosesan

Individu autis mengalami kesulitan saat diminta mengingat sesuatu

sambil mengerjakan hal lain, sulit memahami bahasa verbal/lisan serta

sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkaian instruksi).

40

c. Sensitivitas sensori

Kurang optimalnya perkembangan neurobiologis mempengaruhi

perkembangan panca indra individu autis. Permasalahan ini biasanya

menyebabkan kurang peka atau kepekaan berlebihan pada sensor suara,

sentuhan dan ritme. Keabnormalan sensori memunculkan masalah perilaku

pada individu autis, antara lain: ketakutan pada suara, mendengung atau

bergumam, menolak sentuhan, berbicara terus menerus dan bahkan

memotong pembicaraan orang lain.

d. Frustrasi dalam komunikasi

Gangguan perkembangan berbicara membuat individu autis sulit

untuk mengekspresikan diri secara efektif, mereka tidak tahu bagaimana

mengungkapkan diri dan memahami tuntutan lingkungan. Kesulitan

mengungkapkan diri menimbulkan perilaku negatif individu autis sehingga

mereka seringkali tidak dimengerti oleh lingkungan dan menimbulkan

frustrasi.

e. Permasalahan sosial dan emosional

Ciri khas penyandang autis adalah kekakuan pada rutinitas dan

ketakutan pada perubahan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk

beradaptasi dalam berbagai situasi sosial seperti tata cara pergaulan dan

bermasyarakat. Individu autis juga mengalami kesulitan untuk memahami

sudut pandang orang lain karena tidak mempunyai “Theory of Mind”

sehingga menimbulkan empati yang rendah.

41

f.Masalah dalam kontrol

Akibat permasalahan neurologis, individu autis mengalami kesulitan

mengontrol perilaku sehingga menimbulkan banyak permasalahan

perilaku. Permasalahan perilaku antara lain seperti tantrum saat rutinitas

berubah, kecemasan yang besar, keterpakuan pada objek tertentu dan

masih banyak lainnya.

g. Masalah dalam toleransi

Kepekaan berlebihan terhadap rangsangan membuat anak autis kurang

dapat mentolerir rangsangan sehingga membuatnya menarik diri dari

lingkungan. Mereka bingung dan cemas bila tidak dapat memahami pesan-

pesan emosi yang terjadi saat bergaul.

h. Masalah dalam penalaran

Berbagai masalah yang terjadi pada penyandang autis berkaitan

dengan penalaran antara lain: masalah pemusatan perhatian, masalah

proses persepsi, sistem integrasi otak yang tunggal, dan masalah left-right

hemisphere-integration. Berbagai masalah tersebut membuat anak autis

menjadi mudah terdistraksi, bingung sehingga menghindari orang lain,

sulit memproses beberapa hal sekaligus dan tidak sepenuhnya sadar pada

apa yang sedang terjadi.

Sastry (2014) menuliskan tentang lima ciri-ciri anak autis, ciri-ciri tersebut

adalah:

a. Persoalan indrawi

42

Banyak anak autis yang mempunyai kepekaan ekstrem yang

membuatnya sulit untuk memberi perhatian pada lebih dari satu input

rangsangan sekaligus. Tactile defensiveness merupakan salah satu contoh

akibat kepekaan ekstrim dimana anak autis bertahan dan tidak mau

disentuh karena merasakan sentuhan sebagai sesuatu yang menyiksa.

b. Stiming

Istilah “stim” mengacu pada perilaku atau aktivitas menenangkan (self-

calming) maupun memicu diri (self-stimulation) yang dianggap bisa

mempertahankan tingkat pembangkitan diri (self-arousal) yang tepat.

Anak autis mungkin menepuk-nepuk tangan, memelintir atau mengeraskan

tubuh, melompat atau menjilat-jilat sesuatu sebagai upaya stiming untuk

menenangkan diri.

c. Perilaku bermasalah

Anak autis memperlihatkan perilaku ganjil sebagai upaya untuk

mengkomunikasikan atau mengontrol apa yang mereka rasakan. Ketika

rangsangan indrawi terlalu besar bagi anak autis, mereka akan cenderung

menarik diri dari lingkungan atau memunculkan perilaku mengganggu,

perilaku merusak dan perilaku yang tidak bisa diterima secara sosial.

Beberapa anak autis ada yang sampai menunjukkan perilaku melukai diri

sendiri seperti membentur-benturkan kepala ke tembok, atau melukai

matanya sendri.

43

d. Minat yang tidak lazim

Anak autis memiliki minat tidak lazim yang terfokus dan terbatas.

Minat yang sempit membatasi kemampuan anak autis untuk bermain,

belajar dari dan bersenang-senang dengan teman sebaya.

e. Tantangan dalam interaksi sosial dan komunikasi

anak autis kurang mampu menyimpulkan, memahami dan

menindaklanjuti emosi orang lain saat berada dalam sebuah interaksi

sosial. Pemahaman pengguanaan norma-norma budaya, gambar-gambar

ujaran, idiom, gesture, kontak mata dan bahasa tubuh adalah hal-hal yang

sulit dipahami anak autis, karenanya menyulitkan mereka untuk

berkomunikasi dua arah.

4. Klasifikasi autis

Dikutip dari YPAC (2013), klasifikasi autis dapat dibagi berdasarkan

berbagai pengelompokan kondisi. Klasifikasi tersebut adalah:

a. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan

1) Autisme infantile adalah anak autis yang sudah dari sejak lahir nampak

kelainannya.

2) Autisme fiksasi adalah anak yang terlahir normal namun kemudian

memunculkan tanda-tanda autis setelah berumur dua tiga tahun.

44

b. Klasifikasi berdasarkan intelektual

1) Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat yang memiliki

IQ dibawah 50. Sebanyak 60% dari anak autis berada pada klasifikasi

ini.

2) Autis dengan keterbelakangan mental ringan yang memiliki IQ 50-70.

Sebanyak 20% dari anak autis berada pada klasifikasi ini.

3) Autis tanpa mengalami keterbelakangan mental yang memiliki tingkat

Intelegensi diatas 70. Sebanyak 20% dari anak autis berada pada

klasifikasi ini.

c. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian:

1) Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis)

2) Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan

walaupun problem perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis).

3) Prognosis baik; mempunyai kehidupan sosial yang normal atau

hampir normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat

kerja. (1/10 dari penyandang autis).

DSM-V (APA, 2013) juga memberikan klasifikasi autis yang didasarkan

pada tingkat keparahannya. Berdasarkan tingkat keparahannya, individu autis

diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Tingkatan 1, individu yang memerlukan dukungan

Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini

adalah: kelemahan komunikasi sosial terlihat saat tidak ada dukungan,

kesulitan memulai interaksi sosial dan penurunan ketertarikan dalam

45

interaksi sosial. Contohnya adalah individu autis yang mampu berbicara

dengan lancar namun gagal mempertahankan komunikasi dan gagal

membentuk jalinan pertemanan. Gambaran perilaku berulang untuk

penyandang autis pada level ini adalah: mengalami kesulitan dalam

peralihan aktivitas, permasalahan dalam mengorganisasi dan membuat

perencanaan sehingga menghambat kemandirian.

b. Tingkatan 2, individu memerlukan dukungan yang kuat

Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini

adalah: terlihat kelemahan dalam ketrampilan komunikasi sosial verbal

dan non-verbal, kelemahan sosial jelas terlihat bahkan saat disertai

dukungan, inisiatif interaksi sosial yang terbatas dan respon abnormal

pada stimulus sosial. Gambaran perilaku berulang untuk penyandang

autis pada level ini adalah: perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan

menghadapi perubahan, perilaku berulang atau terbatas dengan frekuensi

tinggi sehingga menganggu fungsi individu dalam banyak konteks,

distress dan atau kesulitan saat mengganti fokus atau kegiatan.

c. Tingkatan 3, individu sangat memerlukan dukungan kuat

Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini

adalah: kekurangan yang parah dalam ketrampilan komunikasi sosial

verbal dan non-verbal mengakibatkan kelemahan yang parah dalam

fungsi, inisiatif interaksi sosial sangat terbatas dan respon yang sangat

minim pada rangsangan sosial. Contohnya adalah seseorang dengan

sedikit berbicara yang jarang berinteraksi, hanya berinteraksi jika

46

membutuhkan sesuatu, pendekatan yang aneh dan tidak biasa saat

berinteraksi. Gambaran perilaku berulang untuk penyandang autis pada

level ini adalah: perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan yang ekstrim

dalam menghadapi perubahan, perilaku berulang dan terbatas

mengganggu fungsi dalam semua bidang.

5. Penyebab Autis

Handojo (2008) menjelaskan bahwa terdapat 3 penyebab munculnya

gangguan autis, yaitu :

a. Kelainan otak

Ada tiga lokasi pada otak anak autis yang dijumpai kelainan neuro-

anatomis yaitu lobus parietalis, cerebellum dan sistem limbik. Kelainan

pada lobus parietalis menyebabkan anak acuh terhadap lingkungan.

Kelainan pada cerebellum menyebabkan gangguan lalu-lalang impuls,

sensori, daya ingat, berpikir, berbahasa dan atensi. Gangguan sistem

limbik mengakibatkan individu autis mengalami berbagai kesulitan yang

berhubungan dengan tanggung jawab sistem limbik, seperti kontrol fungsi

agresi emosi, fungsi belajar dan rangsangan sensoris kelima panca indera.

b. Faktor prenatal dan post natal

Terdapat kelainan kromosom pada anak autis, namun kelainan itu

tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Faktor pemicu seperti

infeksi, logam berat, alergi berat, obat-obatan, jamu peluntur, muntah-

muntah hebat, pendarahan berat pada kehamilan trisemester pertama

berperan dalam timbulnya gejala autis. Kejadian-kejadian sesudah

47

kelahiran banyak yang menjadi pemicu munculnya autis, antara lain

oksigenasi janin, infeksi bayi, logam berat, pemakaian antibiotika berlebih,

serta gangguan nutrisi.

c. Sensory Interpretation Errors

Rangsangan sensori dari reseptor visual, auditori dan taktil

mengalami proses yang kacau pada otak anak autis sehingga menimbulkan

persepsi kacau yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan

ketakutan. Perasaan bingung dan takut membuat anak menarik diri dari

lingkungan sekitar.

Senada dengan pendapat Handojo, Triantoro (2005) menjelaskan bahwa

beberapa penyebab autis diketahui, antara lain keracunan logam berat dan

masalah neurologis. Penjelasan dari pendapat tersebut yaitu:

a. Anak yang masih berada dalam kandungan dapat mengalami

keracunan yang disebabkan oleh logam berat seperti timbal, merkuri,

cadmium, spasma infantile, rubella kongenital, sclerosis tuberosa,

lipidosis serebral, dan animali kromosom X rapuh.

b. Anak yang menderita autis ditemukan adanya masalah neurologis

dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang

otak, spons, hipotalamus, hipofisis, medulla dan saraf-saraf panca

indera seperti saraf penglihatan, atau saraf pendengaran.

Nevid (2003) menyebutkan bahwa penyebab autisme belum diketahui dan

tetap menjadi misteri. Kemungkinan faktor penyebab autis antara lain:

48

a. Penyebab majemuk yang melibatkan lebih dari satu tipe abnormalitas

otak. Abnormalitas otak yang terpindai pada anak laki-laki dan pria

dewasa penyandang autis adalah membesarnya ventrikel yang

mengindikasi hilangnya sel-sel otak.

b. Kerusakan gen atau pengaruh racun terhadap bayi dalam kandungan.

Turkington (2007) menjelaskan bahwa belum diketahui penyebab pasti

yang secara spesifik menimbulkan gangguan autis. Penelitian sekarang

mengasosiasikan gangguan autis dengan kelainan biologis atau neurologis

pada otak. Lebih lanjut, Turkington menjelaskan penyebab gangguan autis

yaitu:

a. Hereditas

Genetika memainkan peran penting dalam munculnya gangguan

autis. Terdapat 0,2 persen kemungkinan kelahiran anak dengan

gangguan autis pada populasi dan presentasi meningkat 10 sampai 20

persen untuk resiko memiliki anak kedua dengan gangguan autis.

Sampai sekarang belum ada gen yang secara spesifik menandai

gangguan autis.

b. Gangguan sistem imun

Banyak studi menemukan bahwa individu dengan gangguan autis

memiliki sistem imun yang lemah. Sistem imun melemah dikarenakan

kelainan genetik atau pemicu seperti paparan bahan kimia sewaktu

lahir.

c. Vaksinasi

49

Vaksinasi yang menyebabkan gangguan autis merupakan hal yang

masih kontroversial dikalangan peneliti. Beberapa ahli percaya bahwa

imunisasi MMR dan hepatitis B menyebabkan autis. Ahli lain percaya

bahwa Thimerosal, sebuah vaksin hepatitis B yang berbasis merkuri

dapat meracuni anak dan menyebabkan simptom yang sangat identik

dengan simptom gangguan autis.

d. Masalah lingkungan

Anak yang kekurangan magnesium, yodium, potassium mungkin

dapat terkena gangguan autis. Ibu hamil yang memakan olahan hasil

laut yang mengandung banyak merkuri dapat meracuni janin

dikandungan sehingga memunculkan gangguan autis.

Durand (2007) memaparkan bahwa secara garis besar penyebab gangguan

autis adalah: penyebab dimensi biologis, pengaruh genetik dan pengaruh

neurobiologis. Penyebab dimensi psikososial seperti pola asuh yang buruk

agaknya tidak bertanggung jawab atas terjadinya autisme. Adapaun penjelasan

lebih lanjut mengenai pendapat tersebut antara lain:

a. Dimensi biologis

Kondisi medis yang dikaitkan dengan autisme adalah congentital

rubella (campak Jerman), hypsarrythmia, tuberous sclerosis,

cytomegalovirus, dan berbagai masalah kehamilan serta persalinan.

b. Pengaruh genetik

Gen-gen yang secara pasti terlibat dalam perkembangan autis

masih belum jelas. Keluarga yang memiliki seorang anak autis

50

mempunyai resiko lebih tinggi untuk melahirkan anak dengan

gangguan yang sama.

c. Pengaruh neurobiologis

Sekitar 30% sampai 75 % anak autis memperlihatkan abnormalitas

neurobiologis tertentu seperti kekakuan, postur atau cara berjalan yang

abnormal. Pemindaian menggunakan CI dan MRI memberikan hasil

bahwa serebelum anak autis jauh lebih kecil secara abnormal

dibandingkan dengan ukuran serebelum anak-anak yang tidak

memiliki gangguan autis.

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pemaparan diatas adalah

bahwa ada tiga faktor utama yang dapat menimbulkan gangguan autis.

Pertama, faktor kerusakan otak dimana ditemukan bukti keabnormalan otak

penyandang autis. Kedua, faktor genetik yang walaupun belum diketemukan

gen spesifik namun kerusakan gen jelas ditemukan pada anak autis. Terakhir,

autis disebabkan karena adanya pengaruh lingkungan baik saat anak masih

dalam kandungan (keracunan logam, infeksi virus, dan lain-lain) maupun

setelah kelahiran (gangguan nutrisi, pengaruh obat-obatan, dan lain-lain).

6. Model Pengajaran

Penanganan sejak dini untuk individu autis mutlak diperlukan.

Penanganan yang diberikan dapat berupa pengajaran pendidikan serta

intervensi. YPAC (2013) menjelaskan terdapat 5 model pengajaran untuk anak

autis, antara lain:

51

a. Terstruktur

Pengajaran terstruktur berarti memberikan materi pengajaran mulai dari

yang mudah dan dapat dipahami, terstruktur secara waktu, dalam ruangan

yang nyaman sehingga tidak menimbulkan perilaku negatif serta struktur

kegiatan yang disukai oleh individu autis. Pembelajaran untuk anak autis

mungkin dapat memakan waktu yang lama oleh karenanya pendidik harus

memiliki kesabaran dan ketelatenan dalam mendidik anak autis.

b. Terpola

Kegiatan anak autis terbentuk dari rutinitas terpola dan terjadwal mulai

dari bangun tidur sampai tidur kembali. Anak autis adalah tipe anak yang

monoton, mereka kurang dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan

baik sekecil apapun dalam rutinitas kehidupannya. Perubahan yang baru

dapat menimbulkan kecemasan dalam diri anak sehingga memunculkan

agresivitas, berontak atau marah.

c. Terprogram

Materi pendidikan dilakukan secara bertahap dan berdasar pada

kemampuan anak autis. Pembelajaran yang dipersiapkan haruslah benar-

benar mematangkan konsepnya.

d. Konsisten

Konsisten berarti pembelajaran harus selaras dengan perilaku anak autis.

Anak autis yang berperilaku positif harus mendapatkan respon positif dari

pendidik seperti reward atau penguatan-penguatan. Hal tersebut juga

52

dilakukan dalam ruang dan waktu lain yang berbeda (maintenance) secara

tepat.

e. Kontinyu

Kontinyu meliputi kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran,

program pendidikan dan pelaksanaanya. Pengajaran mutlak memerlukan

prinsip kesinambungan sehingga pengajaran tidak terputus dan dapat

mencapai tujuan pengajaran.

YPAC (2013) menambahkan beberapa jenis terapi yang dapat diberikan

untuk individu autis, antara lain:

a. Terapi perilaku

Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapi yang dilaksanakan untuk

mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat

dan untuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan

menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat.

Terapi perilaku yang biasanya diberikan pada individu autis adalah ABA

yang diciptakan oleh Lovaas, TEACCH serta Son-rise.

b. Terapi okupasi

Dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan

keterampilan otot pada anak autis dengan kata lain untuk melatih motorik

halus anak. Terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan

otot -otot halusnya dengan benar, contohnya Floortime.

c. Terapi fisik

53

Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong

untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuh

anak autis. Hydroterapi, merupakan salah satu contoh terapi fisik yang

dapat membantu anak autistik untuk melepaskan energi yang berlebihan

pada diri anak.

d. Terapi bermain

Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi

dan interaksi sosial. Terapi bermain ini bertujuan selain untuk

bersosialisasi juga bertujuan untuk terapi perilaku, bermain sesuai aturan.

e. Terapi pengobatan

Pemberian farmakoterapi hanya boleh dilakukan oleh dokter yang

berkompeten sehingga tidak menimbulkan masalah baru bagi individu

autis. Kemajuan perbaikan perkembangan individu autis akan lebih baik

apabila dilakukan gabungan terapi dari luar dan dari dalam, yaitu

farmakoterapi.

f. Terapi sosial

Individu autis mengalami kekurangan dalam ketrampilan berkomunikasi

dan bersosialisasi. Terapi sosial mengajarkan individu autis bagaimana

cara bersosialisasi seperti misalnya mengucapkan salam, lalu bermain

bersama, membagi makanan yang dia punya dan sebagainya.

g. Media visual

54

Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual

thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan

metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar,misalnya dengan

metode PECS ( Picture Exchange Communication System), computer

picture serta pictorial activity schedule. Beberapa video games bisa juga

dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.

Pemilihan terapi tersebut diatas yang diberikan pada anak, tergantung dari

kondisi kemampuan dan kebutuhan anak. Jadi tidak semua terapi sesuai

dengan kebutuhan anak.

B. Interaksi Sosial Anak Autis

1. Definisi

Interaksi sosial merupakan salah satu dari tiga serangkai karakteristik

kelemahan perilaku yan dimiliki anak autis. Perilaku interaksi sosial

melibatkan penggunaan tindakan non verbal (mencapai orang lain) untuk

memperoleh atau mempertahankan interaksi tatap muka di mana fokus dari

mitra sosial ada pada anak autis. Pengembangan perilaku interaksi sosial

ditandai dengan peningkatan kapasitas untuk mengkoordinasikan kontak mata

dengan tindakan seperti mencapai atau menyentuh orang lain (Mundy,

Sigman, Ungerer & Sherman, 1986).

Peeters (2004) memberi pengertian interaksi sosial anak autis sebagai

kemampuan anak autis untuk melakukan kontak dengan orang lain secara

efektif. Kelemahan anak autis untuk melakukan interaksi sosial telah ada

55

sejak lahir. Anak autis datang ke dunia dengan ketidakmampuan bawaan

untuk melakukan kontak dengan orang lain secara efektif yang ditentukan

secara biologis.

Kelemahan interaksi sosial anak autis meliputi kurangnya interaksi dengan

anggota keluarga. Anak autis terlihat tidak “terhubung” dengan orang lain

termasuk dengan orang tua. Anak autis tidak tersenyum dan berespon pada

inisiasi interaksi sosial orang dewasa. Anak normal kebanyakan suka untuk

melihat mata orang dewasa dan berlindung saat ketakutan, namun anak autis

tidak terlihat melakukan itu saat bayi. Anak autis juga tidak tertarik untuk

bermain dengan anak lainnya (Nolen-Hoeksema, 2004).

Anak autis juga memiliki kekurangan orientasi pada stimulus sosial dan

kontak mata yang tidak memadai, permasalahan memulai interaksi sosial,

kesulitan mengartikan bahasa verbal maupun non verbal, respon emosional

yang kurang tepat dan kurang empati pada kesukaran orang lain. (Rao, Beidel

& Murray, 2008).

Anak autis menampilkan perbedaan secara kualitatif dalam interaksi sosial

dan sering kali mempunyai kesulitan dalam membangun dan

mempertahankan sebuah hubungan. Mereka mungkin mempunyai

keterbatasan interaksi sosial atau cara yang kaku dalam berinteraksi. Hal ini

tidak disebabkan karena kurang ketertarikan atau ketidakinginan untuk

berinteraksi tetapi ketidakmampuan untuk menyaring informasi sosial dari

interaksi sosial dan mengunakan kemampuan berkomunikasi untuk berespon

secara tepat.

56

Memahami situasi sosial membutuhkan pemrosesan bahasa dan

komunikasi non-verbal yang adalah kelemahan bagi individu autis. Mereka

mungkin tidak menyadari petunjuk sosial yang penting seperti nada suara,

ekspresi wajah. Mereka seperti memiliki kesulitan menggunakan perilaku

non-verbal dan gestur dalam berinterksi seperti kontak mata, postur badan

dan mereka mungkin memiliki kesulitan dalam membaca perilaku non-verbal

orang lain.

Anak autis sering kali tidak mampu untuk memahami sudut pandang orang

lain atau bahkan mengerti bahwa orang lain memiliki sudut pandang yang

mungkin berbeda dengan yang mereka miliki. Mereka juga mungkin

memiliki permasalahan dalam memahami hubungan antara keadaan mental

dengan perilaku. Mereka memiliki kesulitan dalam memahami kepercayaan,

keinginan, niatan, pengetahuan dan persepsi diri sendiri dan orang lain.

Sebagai contoh, anak autis mungkin tidak dapat memahami bahwa anak yang

lain sedang merasa sedih atau bahkan saat menangis karena mereka tidak

sedang merasa sedih pada saat itu (Alberta Learning, 2003).

Berdasarkan beberapa definisi yang disebutkan oleh beberapa ahli, maka

dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial anak autis merupakan kemampuan

anak autis untuk melakukan kontak dengan orang lain secara efektif yang

melibatkan penggunaan tindakan non verbal atau mempertahankan interaksi

tatap muka dimana fokus dari mitra sosial ada pada anak autis.

2. Karakteristik

57

Berbeda dengan individu tanpa gangguan autis, individu autis mempunyai

pola perilaku sosial khusus yang sering kali membuat mereka kehilangan

kesempatan memiliki interaksi sosial yang positif. Wing dan Gould (1987)

dalam Scheeren dan Koot (2012) membagi karakteristik perilaku sosial

individu dengan gangguan autis menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Aloof

Aloof memiliki arti bersikap menyendiri, mengacu pada anak-anak

autis yang senantiasa berusaha untuk menarik diri dan lebih banyak

menghabiskan waktu untuk sendiri daripada bersama orang lain.

Mereka tampak pendiam serta tidak berespon pada ajakan orang

disekitarnya. Anak autis aloof enggan untuk berinteraksi dan bahkan

terkadang takut, marah serta menjauhi orang yang berusaha mendekat.

Mereka cenderung untuk memisahkan diri dari kelompok teman

sebaya, terkadang berdiri atau duduk dipojok sudut ruangan. Peeters

(2004) menyebut aloof sebagai menjauhkan diri secara sosial. Anak

autis dalam golongan ini mempunyai karakteristik perilaku meliputi

menyendiri dan tidak peduli pada sebagian besar situasi sosial,

interaksi terutama dilakukan secara fisik, minat yang rendah dalam

interaksi sosial, sedikit pertanda dalam komunikasi verbal dan non

verbal secara timbal balik. Sedikit pertanda dalam kegiatan bersama,

kontak mata yang rendah, kemungkinan adanya perilaku repetitif dan

stereotip defiensi kognitif (kurang kesadaran) tingkat sedang sampai

berat juga merupakan karakteristik perilaku anak autis aloof

58

b. Pasif

Anak autis dalam kategori ini tidak tampak peduli dengan orang

lain, tetapi lebih mudah ditangani dibanding anak autis dengan

kategori aloof. Mereka patuh dan masih mengikuti ajakan orang lain

untuk berinteraksi. Peeters (2004) menambahkan, anak autis pasif

memiliki keterbatasan pendekatan sosial secara spontan akan tetapi

menerima pendekatan sosial orang lain. Anak atis pasif memiliki

sedikit kesenangan yang berasal dari kontak sosial tapi tidak menolak

kontak sosial secara aktif, mungkin berkomunikasi secara verbal atau

non verbal, membeo yang segera serta berbagai tingkatan kekurangan

kognitif.

c. Aktif tetapi aneh

Anak autis dalam kategori ini sudah mulai memiliki usaha untuk

mendekati orang lain dan berinteraksi, tetapi cara yang digunakannya

“tidak biasa” atau “aneh”. Mereka tidak berpartisipasi aktif dalam

bermain, lebih suka bermain sendiri, tiba-tiba menyentuh orang yang

tidak dikenalinya, memposisikan diri terlalu dekat sehingga membuat

orang tidak nyaman. Anak autis kategori ini, sama seperti anak autis

aloof, kurang memiliki kemampuan untuk membaca isyarat sosial

yang penting untuk berinteraksi secara efektif. Peeters (2004)

menuliskan anak autis dalam golongan ini memunculkan karakteristik

perilaku adanya pendekatan sosial secara spontan, interaksi yang

melibatkan keasyikan yang bersifat repetitif dan idiosinkratik (aneh),

59

bahasa yang bersifat komunikatif atau non komunikatif. Anak autis

golongan ini memiliki kemampuan mengambil peran yang rendah,

yang berarti memiliki persepsi yang rendah terhadap kebutuhan

pendengar, tidak ada modifikasi kerumitan atau jenis bahasa, masalah

dalam penggantian topik pembicaraan. Minat terhadap rutinitas

interaksi yang lebih besar daripada terhadap isi interaksi, waspada

terhadap reaksi orang lain, kurang bisa diterima secara sosial juga

merupakan ciri-ciri anak autis aktif tetapi aneh.

Kesempatan untuk interaksi sosial dengan orang lain sangat penting bagi

perkembangan semua anak. Melalui interaksi sosial, anak mulai membentuk

konsep tentang “diri” dan belajar apa yang orang lain harapkan dari mereka.

Meskipun interaksi sosial untuk anak-anak pertama kali terjadi dalam

keluarga, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan, mereka menjadi

sangat tertarik untuk bermain dan berinteraksi dengan anak-anak lain. Ketika

bermain dengan orang lain, anak-anak belajar perilaku sosial yang sesuai,

seperti berbagi, bekerja sama, dan menghormati milik orang lain. Anak-anak

juga belajar tentang komunikasi, kognitif, dan keterampilan motorik saat

berinteraksi dengan orang lain (Changnon, 2007).

Anak-anak yang belajar keterampilan sosial yang tepat memiliki harga diri

lebih tinggi dan menunjukkan kesediaan yang lebih besar untuk berinteraksi

dengan lingkungan seiring dengan pertumbuhan mereka. Kesempatan untuk

interaksi sosial tidak hanya meningkatkan perkembangan di masa awal

kehidupan, tetapi juga penting bagi masa depan individu dengan gangguan

60

autis. Kemampuan untuk berinteraksi kompeten adalah keterampilan yang

diperlukan sepanjang hidup dan dapat mempengaruhi masa depan pendidikan

dan pekerjaan. Membantu individu autis untuk belajar melalui interaksi sosial

yang positif dapat membantu mereka memperoleh keterampilan yang berguna

sepanjang hidup mereka (Changnon, 2007).

Interaksi sosial juga memiliki peran yang penting bagi perkembangan

kehidupan manusia karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap

pembentukan kognisi dan perilaku. Teori yang terkenal menekankan

pentingnya interaksi sosial terhadap perkembangan kognisi adalah teori

kognisi sosial Vygotsky. Vygotsky mengemukakan teori bahwa interaksi

sosial dan budaya menuntun perkembangan kognisi seseorang (Santrock,

2007).

Perkembangan seorang anak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan

dari aktivitas sosial dan budaya. Vygotsky percaya bahwa perkembangan

ingatan, atensi dan penalaran menggunakan penemuan masyarakat seperti

budaya menghitung dan harus disertai interaksi aktivitas sosial dengan

pengajar. Pengetahuan tidak dihasilkan dari dalam individu melainkan

dibangun melalui interaksi dengan orang lain dan benda budaya. Pemahaman

juga dapat ditingkatkan melalui interaksi sosial dalam aktivitas yang

kooperatif. Interaksi sosial anak dengan orang dewasa serta teman sebaya

mempunyai peranan dalam meningkatkan perkembangan kognisi. Melalui

interaksi, anak yang tidak mengerti dibantu untuk beradaptasi dan berhasil di

masyarakat (Santrock, 2007).

61

Proses belajar yang dimaksudkan disini bukan hanya proses kognisi

tentang hal-hal akademis yang ada di sekolah, melainkan kegiatan belajar

terampil melakukan sesuatu pada fase perkembangan tertentu atau yang biasa

disebut tugas perkembangan. Semua orang melewati periode perkembangan

yang pada setiap fasenya memiliki harapan-harapan sosial yang biasa dikenal

dengan tugas perkembangan. Harapan sosial menunjukkan hal yang

diharapkan masyarakat pada individu untuk dikuasai di periode kehidupan

tertentu. Hurlock (2006) menuliskan beberapa tugas perkembangan masa

kanak-kanak yang dapat dikelompokkan dalam:

a. Perkembangan biologis

1) Belajar kecakapan fisik untuk permainan anak-anak

b. Perkembangan psikologis

1) Membangun sikap menyeluruh terhadap diri sendiri

2) Mengembangkan kecakapan membaca, menulis, dan menghitung

3) Mengembangkan nurani, moralitas dan nilai

c. Perkembangan sosial

1) Belajar bergaul dengan teman sebaya

2) Belajar memainkan peran sesuai jenis kelamin

3) Mencapai kemandirian pribadi

4) Membentuk sikap terhadap kelompok dan lembaga sosial

Harapan sosial ini menjadi pedoman yang membantu mengetahui apa yang

harus dipelajari individu pada usia tertentu. Menguasai tugas perkembangan

ini menjadi penting karena kegagalan dalam menguasai tugas perkembangan

62

membuat individu menjadi rendah diri, mengakibatkan ketidaksetujuan sosial,

penolakan sosial serta menyulitkan tugas perkembangan selanjutnya. Interaksi

sosial, oleh karenanya penting untuk dikembangkan karena individu belajar

ketrampilan memenuhi tugas perkembangan melalui interaksi sosial dengan

orang lain.

3. Aspek-aspek interaksi sosial anak autis

Carpenter (2013) menulis tentang break down kriteria diagnosis dari DSM

V tentang gangguan autis. Kriteria gangguan autis dalam DSM V (APA,

2013) meliputi kekurangan yang menetap dalam komunikasi dan interaksi

sosial dalam bermacam-macam konteks, serta pola kebiasaan, minat, atau

aktivitas yang terbatas dan berulang. Aspek interaksi sosial pada penelitian ini

didapat dari break down kekurangan menetap dalam interaksi sosial DSM V

(APA, 2013). Aspek interaksi sosial anak autis adalah :

a. Inisiasi dan respon sosial

Inisiasi sosial dan respon sosial anak autis termasuk dalam

kemampuan timbal balik sosial-emosional yang meliputi pendekatan

sosial, percakapan, saling berbagi minat, emosi atau perasaan, serta

memulai atau merespon suatu interaksi sosial. Adapun penjelasan lebih

lanjut, pendekatan sosial yang dilakukan anak autis merupakan

pendekatan sosial tidak normal. Anak autis menggunakan orang lain

hanya sebagai alat pemenuh kebutuhan serta melakukan inisiasi sosial

yang tidak biasa, misalnya mengganggu, menyentuh, menjilati orang

lain. Anak autis juga memiliki kegagalan dalam percakapan, yang

63

meliputi penggunaan bahasa secara sosial yang miskin (misalnya, tidak

menjelaskan jika tidak paham, tidak memberikan latar belakang

informasi), kegagalan berespon ketika nama anak autis dipanggil, tidak

memulai pembicaraan serta percakapan satu pihak atau monolog.

Anak autis memiliki kekurangan saling berbagi minat, yang

meliputi tidak berbagi, tidak menunjuk, menunjukkan dan membawa

objek yang menarik bagi orang lain, kegagalan dalam join attention

(perhatian bersama). Kekurangan saling berbagi emosi atau perasaan

meliputi kurang responsif terhadap senyum orang lain, kegagalan

untuk berbagi kenikmatan, kegembiraan, atau prestasi dengan orang

lain, kegagalan untuk menanggapi pujian, tidak menunjukkan

kesenangan dalam interaksi sosial, kegagalan untuk menghibur orang

lain, ketidakpedulian atau keengganan terhadap kontak fisik dan kasih

sayang. Anak autis juga mengalami kegagalan memulai atau merespon

interaksi, yang meliputi keterbatasan dalam inisiasi sosial, hanya

melakukan inisisasi sosial untuk mendapatkan sesuatu.

b. Kesadaran sosial, pengetahuan serta konsep hubungan sosial

Aspek ini meliputi menyesuaikan perilaku dalam menghadapi

bermacam-macam situasi sosial, perilaku dalam permainan imajinatif

atau dalam mencari teman, serta minat terhadap teman. Adapun

penjelasan lebih lanjut, anak autis mengalami kelemahan dalam

mengembangkan dan mempertahankan hubungan sedikit banyak

dipengaruhi oleh ToM. Anak autis mengalami kesulitan dalam

64

menyesuaikan perilaku saat menghadapi bermacam-macam situasi

sosial yang meliputi tidak melihat ketidaktertarikan orang lain dalam

suatu kegiatan, kurang respon terhadap isyarat kontekstual (misalnya

isyarat sosial dari orang lain menunjukkan perubahan perilaku pada

permintaan yang implisit), ekspresi emosi yang kurang pantas

(misalnya tertawa atau tersenyum saat orang lain sedih), mengajukan

pertanyaan atau pernyataan yang tidak pantas secara sosial, tidak

menyadari saat tidak diterima dalam sebuah permainan dan

percakapan, kurang mampu mengenali emosi sosial (misalnya tidak

melihat ketika orang lain sedang menggoda).

Anak autis mengalami kesulitan dalam permainan imajinatif

dengan teman sebaya serta kesulitan dalam membuat pertemanan.

Anak autis tidak mencoba untuk mempertahankan pertemanan, jarang

yang memiliki sahabat, kurang dalam permainan yang membutuhkan

kerjasama, tidak menyadari dirinya diejek oleh anak-anak lain, tidak

bermain dengan kelompok anak yang sedang bermain. Anak autis,

jarang terlihat bermain dengan anak-anak yang sesuai dengan usia

perkembangan, kebanyakan bermain dengan anak yang usia

perkembangannya lebih tua atau lebih muda. Sebenarnya, anak autis

memiliki minat dalam persahabatan tetapi tidak memiliki pemahaman

tentang konvensi interaksi sosial (misalnya sangat direktif atau kaku;

terlalu pasif) serta tidak menanggapi pendekatan sosial anak-anak lain.

65

Anak autis tidak memiliki minat terhadap orang lain, hal ini

meliputi tidak memiliki minat terhadap teman sebaya, menarik diri dan

suka menyendiri, tidak mencoba untuk menarik perhatian orang lain,

tidak menyadari kehadiran anak-anak lain atau orang dewasa. Anak

autis juga memiliki interaksi yang terbatas dengan orang lain serta

lebih menyukai kegiatan soliter.

4. Pengukuran interaksi sosial anak autis

Witt dan kawan-kawan (1998) berpendapat bahwa terdapat dua macam

asesmen, yaitu asesmen langsung dan asesmen tidak langsung. Asesmen tidak

langsung (indirect assessment) merupakan pengukuran perilaku berdasarkan

pengukuran indikator atau wakil dari karakteristik perilaku (intelegensi,

persepsi, memori, dan lain sebaginya). Tes intelegensi, tes perseptual-motor

merupakan contoh dari asesmen tidak langsung. Asesmen langsung

merupakan pengukuran perilaku pada waktu dan tempat aktual saat perilaku

tersebut muncul. Pengukuran interaksi sosial anak autis dalam penelitian

menggunakan observation based assesment (OBA) atau asesmen berdasarkan

observasi yang merupakan asesmen langsung. Asesmen berdasarkan observasi

memiliki pengertian pengukuran sistematis dari perilaku individu yang dapat

diamati dalam sebuah situasi. Semua perilaku yang dapat langsung diamati,

dapat diukur menggunakan metode observasi.

Teradapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam

menggunakan asesmen berdasarkan observasi. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Definisi operasional perilaku

66

Definisi operasional mengacu pada pendefinisian perilaku secara

jelas, istilah eksplisit sehingga tidak menimbulkan ambiguitas.

Pendefinisian semacam ini dikatakan sebagai definisi operasional

karena membuat spesifik operasional yang akan digunakan untuk

memberi definisi perilaku. Definisi operasional harus bersifat objektif,

jelas dan lengkap. Objektif berarti definisi harus mengacu pada

perilaku yang dapat diamati dan atau kejadian yang terjadi. Jelas

berarti definisi operasional dapat dibaca, diulang dan diparafrasekan

oleh orang yang mengobservasi. Lengkap berati definisi operasional

membuat spesifik batas kondisi yang termasuk perilaku dalam definisi

dan menggambarkan perilaku yang tidak dianggap sebagai bagian dari

definisi.

b. Dimensi perilaku yang akan diukur

Perilaku dapat dideskripsikan dan diukur melalui empat dimensi,

yaitu frekuensi, temporari, intensitas dan produk permanen. Frekuensi

perilaku mengacu pada seberapa sering perilaku muncul. Dimensi

temporari dari perilaku memiliki dua aspek, yaitu durasi dan latensi.

Durasi mengacu pada berapa lama perilaku muncul dan latensi

mendeskripsikan jumlah waktu yang berlalu antar perilaku. Intensitas

mengacu pada jumlah tenaga saat perilaku dimunculkan. Terakhir,

produk permanen merupakan pengukuran terhadap hasil dari perilaku

misalnya nilai ujian, jumlah jawaban salah dan lain sebagainya.

c. Jumlah perilaku yang diukur

67

Beberapa anak autis memunculkan permasalahan perilaku yang

mungkin terbatas hanya pada satu atau dua perilaku saja. Anak autis

yang lain mungkin akan memperlihatkan permasalahan perilaku yang

lebih banyak misalnya lima atau sepuluh perilaku bermasalah dalam

kelas.

d. Jumlah sesi observasi

Pertimbangan lain saat menggunakan observasi adalah

permasalahan berapa kali anak harus diobservasi. Observasi yang

dilakukan harus benar-benar merepresentasikan perilaku anak autis,

saat merumuskan asesmen observasi. Observasi tidak bisa hadir dalam

kelas setiap menit setiap hari. Oleh karenanya, observer harus

mengambil sampel perilaku yang representatif dari data observasi.

e. Metode pencatatan

Metode pencatatan yang digunakan bergantung pada dimensi

perilaku yang ingin diukur. Adapun metode-metode pencatatan beserta

penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Pencatatan event based

Metode pencatatan ini didesain untuk mengukur frekuensi

perilaku. Paling baik metode ini digunkan untuk perilaku yang

memiliki awal dan akhir yang jelas. Misalnya, jumlah anak

memukul teman, jumlah komentar positif yang dilontarkan

anak dan lain sebagainya.

2) Pencatatan interval based

68

Mengacu pada pencatatan perilaku sebagaimana yang

terjadi maupun tidak terjadi selama interval waktu yang

spesifik. Sebuah unit waktu misalnya satu menit dibagi

kedalam enam interval waktu yang berisi sepuluh detik.

Kemudian perilaku diobservasi sebagaimana muncul atau tidak

muncul dalam interval waktu enam kali sepuluh detik tersebut.

69

3) Pencatatan time based

Mengacu pada pengukuran aspek temporal dari perilaku

yaitu durasi dan latensi. Aspek temporal dari perilakulah yang

diukur dan bukan jumlah waktu dari perilaku yang muncul.

4) Pencatatan permanent product

Mengacu pada pengukuran produk yang fisik yang aktual

dari perilaku. Contohnya, pekerjaan tertulis, coretan dinding

sekolah, kamar mandi yang kotor dan lain sebaginya.

C. Pictorial Activity Schedule

1. Definisi

Sudah sejak lama, para ahli perilaku mengunakan bantuan visual seperti

gambar atau foto untuk mengajar anak dengan keterbatasan intelektual.

Dikutip dari MacDuff, McClannahan dan Krantz (1993), terdapat 3 penelitian

di tahun 80-an yang menggunakan petunjuk visual. Pertama, Wacker dan Berg

(1983) menggunakan foto dan gambar garis untuk mengajarkan remaja

retardasi mental untuk melakukan susunan tugas yang komplek terdiri dari 18-

30 langkah. Kedua, Johnson dan Cuvo (1981) menggunakan resep masakan

bergambar untuk membantu orang dewasa dengan gangguan perkembangan

untuk memasak, merebus dan memanggang. Ketiga, studi oleh Sowers, Rusch,

Connis dan Cummings (1980) mengajarkan dewasa dengan retardasi mental

untuk secara mandiri beralih dari perilaku bekerja ke perilaku makan siang.

Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, mulailah untuk pertama kali MacDuff,

70

McClannahan dan Krantz (1993) merancang sebuah penelitian yang

merangkai petunjuk visual menjadi sebuah prosedur dalam serangkaian

aktivitas dengan subjek penelitian empat anak laki-laki gangguan autis.

McClannahan dan Krantz (1999) mendefinisikan pictorial activity

schedule sebagai strategi bantuan visual yang menggunakan petunjuk-

petunjuk visual seperti foto, gambar, serta tulisan untuk mengajari individu

mengikuti rangkaian tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas secara mandiri.

Bantuan visual sendiri didefinisikan oleh Loring (2011) sebagai penggunaan

gambar atau item bergambar untuk berkomunikasi dengan anak yang

mempunyai kesulitan memahami dan menggunakan bahasa.

Pendapat senada dikemukanan oleh Gruarin dan kawan-kawan (2013),

yang menuliskan bahwa pictorial activity schedule sebagai sistem bantuan

visual yang mengkombinasikan foto, gambar atau contoh gambar dalam

sebuah format rangkaian untuk merepresentasikan rangkaian kegiatan tertentu.

Stromer dan kawan-kawan (2006) berpendapat bahwa pictorial activity

schedule dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajar siswa mengatur

pekerjaan, permainan dan membangun ketrampilan beraktivitas secara

mandiri.

Pictorial activity schedule merupakan salah satu jenis dari activity

schedule yang didefinisikan Giles (2011) sebagai jadwal bergambar, dapat

diambil dari foto, kartun atau gambar yang menunjukkan aktivitas-aktivitas

yang harus dilakukan oleh siswa selama satu hari penuh atau selama sesi

tertentu. Tujuan pictorial activity schedule adalah untuk memberitahu siswa

71

tentang apa yang kemudian harus dilakukan melalui serangkaian kegiatan.

Tidak berbeda jauh, Loring (2011) mendefinisikan pictorial activity schedule

sebagai jadwal bergambar atau representasi visual tentang hal yang akan

terjadi dalam sebuah tugas atau yang akan terjadi dalam satu hari. Elemen

pictorial activity schedule menurut pendapat Berger (2009) adalah:

a. Menunjukkan serangkaian langkah yang dibutuhkan untuk melengkapi

sebuah aktivitas.

b. Daftar kejadian dari peristiwa sehari-hari atau rutinitas sehari-hari.

c. Memberi struktur pada kegiatan yang tidak terstruktur.

2. Penelitian yang relevan

Hermansen (2014) memberikan tinjauan tentang 4 studi yang

menggunakan jadwal aktivitas bergambar. Penjelasan lebih lanjut tentang

tinjauan tersebut adalah:

a. McClannahan dan kawan-kawan (1993) mengajarkan 4 anak autis

untuk terikat pada berbagai aktivitas. Peneliti menemukan bahwa saat

individu sibuk melakukan jadwal aktivitas maka permasalahan

perilaku seperti agresi, tantrum, berlari-larian serta perilaku merusak

menjadi berkurang. 3 hal penting yang perlu diperhatikan dari studi ini

adalah:

1) Mengatur ulang susunan gambar agar kemudian jadwal tidak

menjadi rutinitas yang diingat.

2) Mengenalkan individu pada aktivitas yang baru sehingga

muncul generalisasi cara menggunakan jadwal aktivitas.

72

3) Mengajarkan individu untuk menunjuk pada gambar lalu

mendorongnya untuk melakukan aktivitas yang ada pada

gambar.

b. Anderson, Sherman, Sheldon, dan McAdams (1997) menggunakan

jadwal bergambar pada setting rumah untuk dewasa dengan

keterbelakangan mental usia 21-37 tahun. Jadwal aktivitas yang

digunakan adalah gambar dan contoh gambar orang melakukan

aktivitas. Perilaku maladaptif yang dimiliki oleh subjek penelitian

menurun dan perilaku melakukan aktivitas pada rangkaian kegiatan

meningkat.

c. Scheur (2002) menggunakan jadwal aktivitas dalam program sehari

untuk dewasa dengan cerebral palsy usia 27-49 tahun. Diberikan

instruksi “tolong lakukan pekerjaan anda” lalu individu diberi arahan

untuk melakukan hal yang ada pada jadwal aktivitas. Dorongan dan

token digunakan tetapi kemudian dihilangkan secara bertahap. Seluruh

subjek penelitian melakukan 80% pekerjaan secara mandiri.

d. Watanabe dan Sturmey (2003) berhasil meningkatkan perilaku

beraktivitas secara mandiri menggunakan jadwal aktivitas. Subjek

penelitian adalah individu autis dengan usia 22-40 tahun. Guru atau

pengajar memberikan dorongan apabila setelah 40 menit partisipan

tidak melakukan aktivitas pada activity schedule. Semua partisipan

dilaporkan mengalami peningkatan dalam perilaku beraktivitas.

73

3. Tujuan pictorial activity schedule

Giles dan Stephenson (2011) mengemukakan tujuan jadwal visual

adalah untuk membantu kesulitan individu autis berhubungan dengan transisi

perubahan dengan memperlihatkan jadwal dalam bentuk visual. Individu

dengan gangguan autis sering merespon dengan baik informasi atau intruksi

yang diberikan secara visual. Informasi visual juga efektif karena bertahan

lebih lama daripada informasi yang diberikan secara verbal.

Lebih lanjut, Loring (2011) berpendapat bahwa penggunaan gambar

membantu mengatasi tiga aspek kelemahan individu autis, yaitu:

a. Individu autis kurang dapat mengerti petunjuk sosial dalam

berinteraksi, tidak tau bagaimana memulai interaksi sosial dan

berespon pada stimulus sosial. Alat bantu visual membantu mengajari

mereka ketrampilan sosial seperti mengucapkan salam lalu kemudian

bermain bersama.

b. Individu autis sulit memahami dan mengikuti arahan verbal dan

instruksi yang diucapkan oleh pengajar. Bantuan visual membantu

mengkomunikasikan instruksi sehingga menjadi cara yang efektif

unutk berkomunikasi.

c. Alat bantu visual membantu individu autis untuk mengerti hal yang

harus dilakukan dan hal yang akan terjadi karenanya akan menurunkan

kecemasan. Individu autis sering kali merasa cemas saat rutinitas

sehingga membuat mereka memiliki pola perilaku yang berulang dan

terbatas.

74

4. Manfaat

Koyama dan Wang (2011) memberikan tinjauan tentang efektivitas

penggunaan jadwal aktivitas yang ada pada 23 penelitian. Penelitian-penelitian

dilakukan pada partisipan dengan beragam usia dari usia pra sekolah sampai

dewasa. 59,4% dari jumlah keseluruhan 69 partisipan merupakan individu

dengan gangguan autis, sisanya adalah individu dengan kelemahan intelektual

dan keterbelakangan mental.

Perilaku luaran dari hasil perlakuan pemberian jadwal aktivitas dapat

digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:

a. Meningkatkan angka perilaku melakukan aktivitas atau perilaku

on-task

Perilaku on task mengacu pada keadaan dimana partisipan sibuk

melakukan aktivitas yang telah direncanakan atau yang

dideskripsikan pada jadwal. Hal ini penting karena para ahli

berpendapat bahwa tingkat perilaku melakukan aktivitas

berkorelasi positif dengan perkembangan ketrampilan komunikasi

dan sosial sekaligus mengurangi perilaku stereotip.

b. Penurunan perilaku merusak dan perilaku melukai diri sendiri

Waktu yang dihabiskan untuk perilaku on-task membuat

penurunan waktu untuk melakukan perilaku maladaptif. Beberapa

perilaku maladaptif yang dimunculkan oleh partisipan adalah

perilaku agresif, tantrum, melukai diri sendiri, perilaku stereotipik

serta ekolalia.

75

c. Pengetahuan pada jadwal pribadi

Penelitian berhasil membuat partisipan membuat jadwal pribadi

mereka. Partisipan tidak hanya mengikuti rangkaian jadwal tetapi

juga membuat jadwal untuk diri sendiri dengan cara memilih

aktivitas yang ingin dilakukan. Manfaat lain mengajarkan

penjadwalan pribadi adalah menambah efektivitas activity schedule

karena aktivitas yang mereka lakukan berdasarkan pilihan minat

partisipan sendiri.

d. Memulai melaksanakan tugas dan transisi tugas secara mandiri

Individu dengan gangguan autis terkenal bermasalah dengan

peralihan dan memiliki resistensi pada perubahan lingkungan.

Penelitian menyimpulkan bahwa activity schedule adalah alat yang

efektif untuk membantu peralihan aktivitas secara halus, tidak

mencolok dan lancar karena aktivitas berada pada sebuah

rangkaian yang tidak terputus.

Giles dan Stephenson (2011) mengemukakan pendapat yang tidak jauh

berbeda. Bantuan visual dalam bentuk jadwal bermanfaat untuk:

a. Meningkatkan perilaku on-task dan menurunkan permasalahan

perilaku seperti tantrum dan agresifitas.

b. Bermanfaat untuk aktivitas sehari-hari, mengajarkan ketrampilan

activity daily living (ADL), aktivitas saat rekreasi dan aktivitas saat

waktu senggang.

76

c. Menggeneralisasi cara menggunakan jadwal aktivitas pada setting

lingkungan berbeda serta gambar yang baru sehingga memungkinkan

individu mempelajari berbagai ketrampilan.

5. Prosedur

Tahapan penggunaan jadwal visual menurut Loring (2011) antara lain

sebagai berikut:

a. Mengajarkan murid untuk melakukan tugas yang terlihat pada jadwal

visual. Berikan jadwal visual dengan instruksi verbalnya, misalnya

“pertama, pakai sepatu.” Pastikan murid melakukan aktivitas memakai

sepatu dengan benar.

b. Lanjutkan dengan instruksi verbal lain sesuai dengan jadwal visual.

Contohnya “tugas pertama selesai, lalu bermain ayunan.”

c. Pastikan murid memahami konsep penggunaan jadwal visual lalu

kemudian pilih aktivitas yang akan dilakukan.

d. Susunlah jadwal visual dengan aktivitas yang sudah pernah diajarkan

oleh pengajar.

e. Berilah bantuan instruksi verbal untuk memulai menggunakan jadwal

visual, misal “periksa jadwal.”

f. Arahkan murid untuk beralih pada jadwal aktivitas berikutnya.

Berger (2009) menjelaskan 8 langkah prosedur pemberian pictorial

activity schedule, yaitu:

a. Pilih prioritas kegiatan yang akan dilakukan oleh anak, jangan memilih

aktivitas yang dilakukan dalam waktu bersamaan.

77

b. Berikan arahan verbal “waktunya melihat jadwal.”

c. Berikan prompt atau dorongan kepada anak untuk membuka jadwal

dan menunjuk pada gambar aktivitas yang pertama muncul

d. Berikan panduan pada anak untuk melakukan aktivitas sesuai gambar.

e. Pastikan anak mengambil peralatan dan melakukan aktivitas secara

mandiri

f. Pantau anak sampai muncul kemandirian melakukan aktivitas

g. Ajarkan anak untuk merapikan dan mengembalikan material yang

telah digunakan

h. Ajarkan anak untuk membuka lembar aktivitas yang lain.

Prosedur penggunaan pictorial activity schedule dapat diringkas dari

penelitian Spriggs (2007) yang berjudul “Using Picture Activity Schedule

Books to Increase On-Schedule and On-Task Behaviors” , yaitu:

a. Fase awal, berikan instruksi verbal untuk murid mengambil dan

membuka jadwal aktivitas bergambar. Tunggu 10 detik, bila perilaku

mengambil dan membuka tidak muncul, berikan prompt.

b. Berikan panduan pada murid untuk melakukan aktivitas sesuai yang

tergambarkan pada jadwal aktivitas.

c. Berikan instruksi untuk membuka lembaran jadwal aktivitas untuk

melakukan aktivitas yang baru. Tunggu 10 detik apabila perilaku yang

dimaksud tidak muncul, berikan prompt. Ada 6 jenis prompt ang

diberikan, yaitu: gestur, model, langsung secara verbal, mengarahkan

78

murid pada material, sentuhan halus dan terakhir asistensi hand-to-

hand.

D. Pengaruh Pelatihan Pictorial Activity Schedule terhadap

Pengembangan Interaksi Sosial Anak Autis di SLB Yayasan Bina

Asih Surakarta

Autis merupakan gangguan neurobiologis yang muncul sebelum usia 3

tahun. Kelainan neurologis mengakibatkan abnormalitas dan hendaya

perkembangan dengan ciri abnormal dalam bidang interaksi sosial, kemampuan

komunikasi, perilaku berulang serta minat terfiksasi dan terbatas. Kelemahan

sosial individu autis beraneka ragam, meliputi kurang respon pada emosi orang

lain, interaksi timbal balik sosio-emosional yang rendah, kelemahan dalam

membaca petunjuk-petunjuk sosial, kesulitan dalam memulai interaksi, berbagi

kesenangan serta menyimpulkan ketertarikan orang lain (Liberi, 2012; Bellini,

Peters, Benner & Hopf, 2007).

Turkington (2007) menuliskan bahwa kelemahan interaksi sosial membuat

individu mengalami kesulitan dalam menciptakan dan mempertahankan hubungan

sosial yang bermakna. Dampaknya adalah individu autis menghindari situasi

sosial sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mempelajari fungsi penting

perkembangan mental. Anggapan bahwa individu dengan gangguan autis tidak

memiliki ketertarikan untuk melakukan interaksi sosial tidaklah tepat. Bauminger

& Kasari (2000) individu autis sangat ingin terlibat secara sosial tetapi mereka

tidak memiliki keterampilan untuk berinteraksi secara efektif. Kemudian menjadi

79

penting untuk mencari cara menjembatani antara keinginan berinteraksi dan

kelemahan interaksi sosial agar dapat membantu individu mengembangkan

hubungan sosial yang bermakna.

Upaya penanganan peningkatan interaksi sosial individu dengan gangguan

autis memerlukan langkah awal yaitu proses idenifikasi menyeluruh tentang

dimensi biopsikososial individu sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan

intervensi. Dilihat dari dimensi biologis, individu autis memiliki beberapa

karakteristik, yaitu abnormalitas otak (lobus parietalis, cerebellum dan sistem

limbik), kemunculan yang dipicu oleh pengaruh genetik, paparan bahan kimia

yang kemudian menyebabkan gangguan sistem imun. Karakteristik perilaku

gangguan autis adalah kelemahan dalam komunikasi dan interaksi sosial serta

pola kebiasaan, minat, aktivitas yang terbatas dan berulang. Dilihat dari dimensi

sosial, individu autis memiliki beberapa gambaran permasalahan antara lain,

permasalahan hubungan interpersonal, hubungan keluarga, hubungan teman

sebaya, jarang yang memiliki teman dan kehidupan perkawinan serta

penghindaran kehidupan sosial.

Gambaran dimensi psikologis individu autis dapat dilihat dari karakteristik

kognitif yang berbeda dengan individu tanpa gangguan autis. Karakteristik

kognitif individu autis meliputi: Mindblindness, yang mempunyai hipotesis bahwa

individu dengan autism tidak memiliki "teori pikiran" (Theory of Mind) yaitu

mereka tidak mempunyai anggapan tentang keyakinan mental orang lain;

Disfungsi Eksekutif, yang menunjukkan bahwa individu dengan autis memiliki

defisit dalam fungsi eksekutif seperti perencanaan, fleksibilitas mental, dan

80

penghambatan impuls; dan lemahnya koherensi sentral, yang menyatakan bias

terhadap hal lokal dan bukannya pengolahan informasi global (Kunde & Goel,

2008).

Rao & Gagie (2006), menambahkan bahwa individu autis memiliki satu

karakteristik pemikiran yang khas yaitu pembelajar visual. Individu autis adalah

pembelajar visual daripada pembelajar auditori dan lebih memilih moda alternatif

komunikasi, seperti gambar, bukan kata-kata tertulis. Pendidik dapat memberikan

banyak arahan secara lisan tetapi itu tidak berarti bahwa siswa mengerti.

Pembelajar visual membuat individu dengan autis memiliki performa yang sangat

baik dalam kemampuan visual spasial dan sangat buruk dalam kemampuan verbal.

Mayoritas individu autis yang merupakan pembelajar visual, merespon lebih

efektif rangsangan visual daripada stimulus pendengaran. Menyajikan informasi

dengan cara visual dapat membantu dan mendorong kemampuan komunikasi,

perkembangan bahasa serta kemampuan untuk memproses informasi bagi

individu dengan gangguan autis (Elliot, 2013).

Kesemua dimensi biologis, psikologis dan sosial ini saling pengaruh

mempengaruhi dalam rendahnya interaksi sosial individu autis. Padahal, sesuai

dengan teori kognisi sosial Vygotsky, interaksi sosial berpengaruh terhadap

perkembangan kognisi yang nantinya berpengaruh juga pada pencapaian tugas

perkembangan seseorang. Tugas perkembangan masa kanak-kanak menurut

Santrok (2007) antara lain ketangkasan fisik, bergaul bersama teman sebaya,

belajar memainkan peran, kecakapan berhitung dan lain sebagainya. Oleh

karenanya menjadi penting untuk mengajarkan ketrampilan interaksi sosial

81

sehingga meningkatkan interaksi sosial individu autis untuk membantu mereka

mencapai tugas perkembangan.

Tidak ada satu model pembelajaran terbaik untuk mengajarkan ketrampilan

pada individu autis, namun ada satu model pembelajaran yang banyak diterapkan

secara luas untuk membantu mereka, yaitu pembelajaran dengan bantuan visual

(Rao & Gagie, 2006). Intervensi dengan menggunakan bantuan visual didasarkan

pada karakteristik kognisi individu autis yang merupakan pembelajar visual. Salah

satu bentuk bantuan visual yang dapat dijadikan media pengajaran ketrampilan

bagi individu autis adalah pictorial activity schedule. Pictorial activity schedule

atau jadwal aktivitas bergambar mengkombinasikan foto, gambar atau contoh

gambar dalam sebuah rangkaian untuk merepresentasikan rangkaian kegiatan

tertentu (Gruarin dan kawan-kawan, 2013). Aktivitas yang dirangkai menjadi

pictorial activity schedule dapat beraneka macam tema, misalnya tema memasak,

mengajarkan individu autis untuk merebus telur kemudian tema motorik,

mengajarkan meronce kalung, serta tema sosial, mengajarkan bermain puzzle

bersama teman dan tema lainnya.

Pictorial activity schedule merupakan sebuah strategi pembelajaran dengan

menggunakan metode visual. Strategi pembelajan menurut Sanjaya 2006 (dalam

Majid, 2013) berarti rencana tindakan atau rangkaian kegiatan termasuk

menggunakan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan

dalam pembelajaran. Majid (2013) sendiri, menuliskan strategi pembelajran

sebagai strategi yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran sebagai upaya

pendidik untuk melakukan kegiatan belajar agar terwujud efisiensi dan efektivitas

82

kegiatan belajar. Strategi pembelajaran, dalam implementasinya menggunakan

metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan penyajian efektif dari

konten tertentu suatu mata pelajaran sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti

dan dipahami dengan baik oleh peserta didik.

Pemberian strategi pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan bertujuan

untuk meningkatkan ketrampilan anak autis dalam melakukan interaksi sosial.

Sebagaimana pengertian pelatihan menurut Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974

(dalam Kamil 2012) merupakan bagian pendidikan yang menyangkut proses

belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan, dalam waktu yang

relatif singkat, dan menggunakan metode yang lebih mengutamakan praktik

daripada teori. Pemberian intervensi dalam penelitian ini, oleh karenanya

dikatakan sebagai pelatihan karena bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan.

Pictorial activity schedule dapat menjadi salah intervensi yang diterapkan di

SLB Yayasan Bina Asih Surakarta untuk membantu anak autis mempelajari jenis

keterampilan interaksi sosial langkah demi langkah. Ketrampilan berinteraksi

yang telah diajarkan kemudian diharapkan dapat meningkatkan interaksi sosial

individu autis di SLB Yayasan Bina Asih Surakarta.

E. Kerangka Pemikiran

Adapun skema kerangka pemikiran yaitu :