BAB II LANDASAN TEORI A. 1. - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/18406/4/BAB II 10401244011.pdf ·...

38
17 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Pendidikan Kewarganegaraan Dalam tinjauan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan akan dijelaskan beberapa pengertian mengenai Pendidikan Kewarganegaraan, sejarah Pendidikan Kewarganegaraan, tujuan pendidikan Kewarganegaraan, ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, strategi dan metode pembelajaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan, serta Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembentukan karakter kebangsaan. Penjelasan mengenai pengertian Pendidikan Kewarganegaraan diuraikan sebagai berikut: a. Pengertian Pendidikan Kewarganegraan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education” (Sunarso, dkk, 2006: 1). Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan karakter warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. 1. - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/18406/4/BAB II 10401244011.pdf ·...

17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Tinjauan tentang Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam tinjauan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan akan

dijelaskan beberapa pengertian mengenai Pendidikan Kewarganegaraan,

sejarah Pendidikan Kewarganegaraan, tujuan pendidikan Kewarganegaraan,

ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan, pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan, strategi dan metode pembelajaran dalam Pendidikan

Kewarganegaraan, serta Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembentukan

karakter kebangsaan. Penjelasan mengenai pengertian Pendidikan

Kewarganegaraan diuraikan sebagai berikut:

a. Pengertian Pendidikan Kewarganegraan

Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah

satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”

(Sunarso, dkk, 2006: 1). Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006

tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan karakter

warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan

kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,

terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD

1945.

18

Secara konseptual Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai

penyiapan generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang

memiliki pengetahuan, kecakapan dan nilai-nilai yang diperlukan untuk

berpartisipasi aktif dalam masyarakat (Samsuri, 2011: 28). Selanjutnya

Nu‟man Sumantri mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian

PKn, yaitu Pkn adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi

politik, yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya,

positive influence pendidikan sekolah, masyarakat, orang tua, yang

kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-palajar berpikir kritis,

analitis, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup

demokrasi dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (Cholisin,

2000: 1.8).

Dari pendapat-pendapat di atas penulis sepakat dengan pendapat

Nu‟man Sumantri yang mana pada intinya PKn adalah suatu mata

pelajaran yang berisi pendidikan politik, yang diperluas dengan sumber-

sumber pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah,

masyarakat, orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih

peserta didik berpikir kritis, analitis, dan bertindak demokratis dalam

mempersiapkan hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan

UUD 1945.

19

b. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan diatur dalam Lampiran

Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah. Tujuannya adalah agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut.

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak

secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara, serta anti-korupsi

3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri

berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat

hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia

secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan

teknologi informasi dan komunikasi.

Sementara itu, Ahmad Sanusi mengemukakan konsep-konsep

pokok yang lazimnya merupakan tujuan Civic Education pada umumnya

adalah sebagai berikut ( Cholisin (2000: 1.17).

1) Kehidupan kita di dalam jaminan-jamnan konstitusi.

2) Pembinaan bangsa menurut syarat-syarat konstitusi.

3) Kesadaran warga negara melalui pendidikan dan komunikasi

politik.

4) Pendidikan untuk (ke arah) warga negara yang betanggung jawab.

5) Latihan-latihan berdemokrasi.

6) Turut serta secara aktif dalam urusan-urusan politik.

7) Sekolah sebagai laboratorium demokrasi.

8) Prosedur dalam pengambilan keputusan.

9) Latihan-latihan kepemimpinan.

10) Pengawasan demokrasi terhadap lembaga-lembaga eksekutif dan

legislatif.

11) Menumbuhkan pengertian dan kerja sama internasional.

Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil benang merahnya

(inti) dan keterkaitannya satu sama lain dari tujuan PKn itu sendiri yaitu

20

untuk membentuk warga negara yang baik tentunya warga negara yang

baik di sini yang memahami dan mampu melaksanakan peranannya

sebagai warga negara untuk ikut serta membangun negara yang

demokratis, berkemanusiaan dan berkeadilan sosial atau yang dalam istilah

reformasi adalah warga negara yang mampu ikut serta dalam membangun

masyarakat madani (civil society) sebagai karakter masyarakat Indonesia

baru yang berpedoman dengan Pancasila dan UUD 1945.

c. Ruang Lingkup PKn

Cakupan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang digagas

dalam satuan kurikulum nasional dalam lampiran Permendiknas No. 22

tahun 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1) Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam

perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,

Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Partisipasi dalam pembelaan Negara, Sikap positif terhadap Negara

Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan

2) Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan

keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat,

Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional,

Hukum dan peradilan internasional

3) Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan

kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional

HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM

4) Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri

sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan

mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri,

Persamaan kedudukan warga Negara

5) Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi

yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di

Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi

6) Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,

Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan

sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat

madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi

21

7) Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan

ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,

Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,

Pancasila sebagai ideologi terbuka

8) Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri

Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan

internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi

globalisasi.

Dari pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa ruang lingkup

PKn tidak hanya memuat aspek kognitif semata, tetapi juga memuat aspek

afektif dan psikomotorik. Materi pokok PKn selalu berkaitan dengan nilai-

nilai dasar sebagai syarat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang

dicita-citakan, yang menyadari akan hak dan kewajiban sebagai warga

negara yang demokratis. Misalnya ideologi, hak-hak asasi manusia, hak

dan kewajiban warga negara, proses pemerintahan sendiri, nilai-nilai masa

lampau yang dianggap luhur dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk

mempersiapkan warga negara untuk masa depan. Dan nilai-nilai dasar itu

dikembangkan dari tingkat individual, keluarga, lokal, regional, nasional

sampai internasional. Kesemuanya ini tidak hanya melibatkan substansi

pengetahuan semata, tetapi keterampilan dan karakter kewarganegaraan

juga diikutsertakan.

d. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai mata pelajaran

yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami

dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya untuk

menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter

yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

22

Kecenderungan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang

hanya berorientasi pada pemahaman tentang civic knowledge yang

sebatas mengajarkan konsep-konsep ilmuan Pendidikan

Kewarganegaraan yang sifatnya hafalan. Oleh karena itu, orientasi pada

civic knowledge harus dilanjutkan pada pengembangan sub ranah civic

skills sebab pada dasarnya civic skills siswa tidak dapat dipisahkan

dengan civic knowledge. Ada asumsi bahwa dengan mengembangkan

pemahaman civic knowledge, maka pengembangan civic skills akan

berkembang juga, namun tidak demikian termasuk juga dalam

pengembangan pemahaman civic disposition (Winarno, 2013: 166).

Dalam mengembangkan ketiga komponen Pendidikan Kewarganegaraan

tersebut diperlukan desain pembelajaran khusus yang di dalamnya tetap

memperhatikan ranah kognitif, psikomotorik dan afektif.

Secara umum desain pembelajaran tersebut memuat, pertama,

merumuskan tujuan yang ingin dicapai; kedua, merumuskan materi

Pendidikan Kewarganegaraan yang nantinya akan dijadikan bahan

belajar; ketiga, merumuskan model sekaligus didalamnya metode

pembelajaran yang sesuai; keempat, mengembangkan media

pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan mengarah pada

pencapaian tujuan; dan kelima, mengembangkan alat evaluasi yang

mampu mengembangkan civic skills dan civic disposition (Winarno,

2013: 167-168).

23

Permasalahan klasik yang dihadapi dalam pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan adalah guru yang sulit untuk melepaskan diri dari

metode ceramah, ekspositori, dan metode yang berbau indoktrinatif.

Selain karena metode ini mudah dijalankan, bahan ajar Pendidikan

Kewarganegaraan pada umumnya lebih bersifat hafalan dan lebih

menekankan pada pengetahuan kewarganegaraan (Winarno, 2013: 85).

Pembelajaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan merupakan

proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual

untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, ketrampilan, dan

karakter warga negara Indonesia. Pendekatan belajar kontekstual ini

antara lain dengan metode seperti kooperatif, penemuan, inquiry,

interaktif, eksploratif, berpikir kritis, dan pemecahan masalah (Winarno,

2013: 92). Metode-metode tersebut merupakan metode yang sesuai

dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang menekankan

pada ranah civic knowledge, civic skills, dan civic disposition.

Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar,

kecepatan belajar, dan hasil efektif. Tipikal berpikir berkaitan dengan

ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan

tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Kemudian sikap

merupakan salah satu ranah amat menentukan keberhasilan seseorang

dalam belajar. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran,

satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif (Winarno, 2013:

194).

24

Pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terdapat model

pembelajaran yang dilihat dari pendekatan dalam pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan. Adapun pendekatan yang mendukung

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan Berbasis Nilai

Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia berlandaskan pada nilai-

nilai dasar yang diyakini bangsa Indonesia dalam hal ini adalah

Pancasila yang turunannya ada dalam UUD 1945. Pendidikan yang

berbasis nilai cenderung individualis dan liberalis karena

pengembangan itu nantinya akan selalu diharapkan mendasarkan pada

nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945, muatan materi dalam

Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan dikaitakan dengan nilai-nilai

Pancasila (Winarno, 2013: 97)

2) Pendekatan Berpikir Kritis

Karakteristik berpikir kritis diupayakan dalam pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan agar terwujud warga

negara yang partisipatif dan bertanggungjawab dalam negara

demokrasi. Berpikir kritis termasuk dalam keterampilan

kewarganegaraan (civic skill), misalnya kemampuan mengidentifikasi,

keterampilan berargumen, dan keterampilan mengambil posisi. Untuk

melatih berpikir kritis Pendidikan Kewarganegaraan dihadirkan

melalui kasus dan pengalaman-pengalaman nyata, tidak dibuat-buat,

dan tidak berisi kebohongan. Kenyataan sosial akan membangkitkan

25

kemampuan berpikir kritis yang pada gilirannya akan mampu

memberikan kontribusi berharga bagi pemecahan masalah (Winarno,

2013: 97-98).

3) Pendekatan Inquiry

Melalui pendekatan Inquiry diharapkan guru dapat menciptakan

pembelajaran yang menantang, sehingga melahirkan interaksi antara

gagasan yang diyakini siswa sebelumnya dengan suatu bukti baru

untuk mencapai pemahaman barau yang lebih scientific melalui proses

eksplorasi atau pengujian gagasan baru. Pendekatan ini melibatkan

beragam sikap ilmiah seperti, menghargai gagasan orang lain, terbuka

terhadap gagasan baru, berpikir kritis, jujur, kreatif, dan berpikir

lateral (berpikir yang tak lazim, di luar kebiasaan, atau yang mungkin

dianggap anah) (Winarno, 2013: 99).

4) Pendekatan Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan pada

kelompok kecil, siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai pada

pengalaman belajar yang optimal baik pengalaman individu maupun

pengalaman kelompok. Esensi pembelajaran kooperatif itu adalah

tanggung jawab individu dan tanggung jawab kelompok. Pada

pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif antar

anggota kelompok. Siswa saling bekerja sama untuk mendapatkan

hasil belajar yang lebih baik. Keberhasilan kelompok dalam mencapai

26

tujuan tergantung pada kerja sama yang kompak dan serasi dalam

kelompok itu (Winarno, 2013: 99-100).

Setelah selesainya proses pembelajaran diperlukan penilaian untuk

mengetahui keberhasilan hasil pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan. Penilaian dalam pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan memiliki kekhasan yang berkenaan dengan

karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan yaitu sebagai “value based

education”. Pendidikan Kearganegaraan merupakan mata pelajaran

kewarganegaraan dan kepribadian (Winarno, 2013: 219).

Berkenaan dengan hal tersebut maka penilaian dalam Pendidikan

Kewarganegaraan dinyatakan dan diarahkan sebagai penilaian

kepribadian. Penilaian kepribadian yang merupakan perwujudan

kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warga

negara yang baik, sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku

dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa adalah bagaian dari

penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian

oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan (Winarno, 2013: 220).

Ada berbagai 7 (tujuh) teknik penilaian yang berbasis kelas yang

dapat digunakan, yaitu penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian

tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penggunaan porto folio, dan

penilaian diri (Puskur, 2006). Berdasarkan ketujuh teknik penilaian

tersebut, teknik penilaian sikap tampaknya lebih dekat dengan

27

karakteristik dari Pendidikan Kewarganegaraan sebagai value based

education (Winarno, 2013: 223).

e. Strategi dan Model pembelajaran dalam Pendidikan

Kewarganegaraan

Made Wena menyatakan bahawa strategi pembelajaran

didefinisikan sebagai cara dan seni untuk menggunakan semua sumber

belajar dalam upaya membelajarkan siswa (Winarno, 2013: 73).

Sedangkan medel pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk

pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan

khas oleh guru (Winarno, 2013: 75).

Model pembelajaran dalam civic education menurut Murray Print

yaitu mengkonseptualisasikan model pembelajaran ke dalam empat

kategori utama yang terbagi dalam dua dimensi. Dimensi pertama

adalah tingkat orientasi aktivitas pelajar, yaitu antara aktif partisipasi

dan pasif kognitif. Dimensi kedua adalah cerminan dari konteks

pembelajaran yang dilakukan oleh guru, yaitu antara pembelajaran di

dalam kelas dan pembelajaran di luar kelas (Winarno, 2013: 85-86).

Menurut Murry Print jika dua dimensi dihubungkan satu sama

lain, maka tersaji adanya empat strategi (Winarno, 2013: 86-87).

a) Class based-passive cognitive pedagoggies. Dalam model ini

dicirikan dengan adanya pelajar yang pasif. Guru merencanakan

pelajaran yang bersifat mendorong siswa menjalankan keterampilan

kognitif. Di dalam kelas, strategi ini menekankan pada pembelajaran

28

tradisional, dan adanya ekspositori dari guru. Contoh-contoh model

dalam kategori ini mencakup ekspositori, analisis dokumen, studi

kasus, diskusi, presentasi video dan film. Strategi ini lebih bersifat

teacher centered, menekankan pada mengalirnya pengetahuan dari

guru kepada pelajar (siswa). Dalam tradisi sosial studies, kategori ini

diberi label sebagai pendekatan “transmission”. Dalam

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terjadi “citizenship

transmission” (Winarno, 2013: 86).

b) School based, passive cognitive pedagogies. Kategori ini masih

dicirikan dengan orientasi yang bersifat kognitif dan pelajar yang

pasif. Bedanya bahwa pembelajaran menekankan pada

pengelompokkan siswa tidak sebatas dalam ruang kelas, tetapi

kelompok kelompok dalam satu tahun. Misalnya, menyambut hari

Kemerdekaan Nasional, siswa kelas VIII mendengarkan ceramah

umum dari seorang mantan pejuang bangsa. Dalam strategi ini, siswa

masih bersifat pasif, menerima dan aktivitas belajarnya masih dalam

pengertian tradisional. Meskipun demikian, strategi ini telah

membelajarkan siswa untuk menyatu sebagai komunitas. Hal ini

tentu saja merupakan kebaikan bagi siswa (Winarno, 2013: 86).

c) Class based-participative active pedagogies. Menekankan pada

participatory activities seperti simulasi, debat, role play, dan

pembelajaran kooperatif. Ciri-ciri mendasar dari strategi ini di dalam

kelas adalah guru menyeleksi aktivitas dan merancangnya sehingga

29

siswa bisa berpartisipasi aktif, tugas dirancang sebagai masalah

untuk dipecahkan, siswa bekerja sama untuk menemukan dan

memecahkan masalah, dan aktivitas yang dijalankan kelas di bawah

pengawasan guru (Winarno, 2013: 87).

d) School based-participative active pedagogies. Sebagai strategi

pedagogi yang menekankan pada partisipasi aktif dari siswa dalam

konteks yang lebih luas, tidak hanya dalam kelas. Misalnya,

mengajak siswa melakukan perjalanan ke gedung parlemen. Strategi

ini juga dicirikan dari adanya partisipasi siswa dalam jumlah yang

lebih besar. Kegiatan ekstrakurikuler juga bisa ditemukan dalam

strategi ini. Strategi ini tidak lagi dominan dari seorang guru, tetapi

telah menjadi dominan kegiatan sekolah (Winarno, 2013: 87).

f. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembentukan Karakter

Kebangsaan

Salah satu misi yang diemban Pendidikan Kewarganegaraan adalah

sebagai pendidikan karakter. Misi lainnya adalah sebagai pendidikan

politik/ pendidikan demokrasi, pendidikan bela negara, pendidikan HAM,

pendidikan multikultural, pendidikan lingkungan hidup, pendidikan

hukum, dan pendidikan anti-korupsi (Winarno, 2013: 22). Sebagai

pendidikan politik/pendidikan demokrasi, Pendidikan Kewarganegaraan

bertujuan untuk membentuk karakter demokratis warga negara. Hal ini

tersirat dalam kalimat-kalimat sebagai berikut.

“Indonesia harus menghindari sistem pemerintahan otoriter yang

memasung hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip-prinsip

30

demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

benegara.”

Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di

lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan

organisasi-organisasi non-pemerintah perlu dikenal, dipahami,

diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan

prinsip-prinsip demokrasi.” (Bagian Pendahuluan bidang studi PKn

dalam lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006)

Artinya dalam hal ini, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai

pendidikan demokrasi esensinya adalah untuk meningkatkan kemampuan

partisipasi warga negara dalam memelihara dan mengembangkan sistem

politik demokrasi Pancasila. Selanjutnya Winarno (2013: 22) menyatakan

bahwa kehidupan demokrasi akan tumbuh kuat tidak hanya oleh bentuk

pemerintahan yang demokratis, tetapi juga didukung oleh kehidupan

demokratis dalam diri warga negara. Kehidupan demokratis ini hanya bisa

dilakukan melalui pendidikan yang mampu menanamkan dan

menyampaikan nilai-nilai demokratis dalam diri setiap warga negara.

Pendidikan akan pentingnya demokrasi ini dapat dilakukan melalui mata

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata

pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang

memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk

menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter

yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini,

pembentukan warga negara yang dimaksud sesuai dengan ketiga

komponen yang termuat dalam Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu

pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan

31

kewarganegaraan (civic skills), dan sikap kewarganegaraan (civic

disposition).

Ketiga komponen Pendidikan Kewarganegaraan tersebut berkaitan

erat dengan sasaran pembentukan karakter pribadi warga negara. Warga

negara yang memiliki pengetahuan akan menjadi warga negara yang

cerdas, warga negara yang memiliki keterampilan kewarganegaraan akan

menjadi warga negara yang partisipatif, warga negara yang memiliki sikap

kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang bertanggung jawab,

dan pada akhirnya warga negara yang memiliki pengetahuan, sikap dan

keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang cerdas

dan baik (smart and good citizenship). Pembentukan karakter pribadi

warga negara yang demokratis (partisipatif) , cerdas, mandiri, bertanggung

jawab, mampu, serta berkomitmen inilah yang merupakan nilai-nilai

karakter kebangsaan warga negara Indonesia, yang dari karakter

kebangsaan ini dapat dijadikan sebagai identitas nasional suatu bangsa.

Amanat yang dijadikan pedoman dalam pembentukan kepribadian

warga negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu

pembentukan karakter kebangsaan dalam Pendidikan Kewarganegaraan

bersumber pada lima sila karakter luhur bangsa Indonesia yang mencakup

unsur transendensi (Ketuhanan Yang Maha Esa), humanisasi

(kemanusiaan yang adil dan beradab), kebhinekaan (persatuan),

demokratisasi (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/

perwakilan), keadilan (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

32

Mengacu pada pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut

Standar Isi, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan karakter

memiliki tujuan untuk membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan

nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (nation and character building).

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan karakter dalam

membentuk karakter kebangsaan juga dijelaskan dalam bagian penjelasan

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

sebagai pengganti UUSPN No. 2 Tahun 1989 dinyatakan bahwa

pendidikan kewarganegaraan sebagai sesuatu yang wajib dalam kurikulum

pendidikan nasional dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi

manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Penjelasan

atas pasal 37).

Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk

membentuk karakter kebangsaan yang nantinya dapat mengajarkan kepada

peseta didik untuk menunjukkan sikap cinta dan rasa bangga terhadap

bangsa, negara, dan tanah air Indonesia yang cerdas, mampu, mandiri,

serta bertanggung jawab. Menyimak lebih jauh pada bagian Pendahuluan

Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan dalam Lampiran Permendiknas

No. 22 Tahun 2006 maka Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sekolah

memiliki misi sebagai pendidikan kebangsaan Indonesia. Hal ini seperti

terlihat dari kalimat-kalimat sebagai berikut.

Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta

didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan

konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.”

33

Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat

kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945, perlu ditingkatkan terus menerus untuk memberikan

pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan republik

Indonesia..” (Bagian pendahuluan bidang studi PKn dalam Lampiran

Permendiknas No. 22 Tahun 2006).

Dari rumusan-rumusan dalam bagian pendahuluan tersebut secara

jelas mengamanatkan pentingnya peserta didik sebagai generasi muda

memiliki komitmen kuat terhadap negara kebangsaan modern Indonesia

serta prinsip dan semangat kebangsaan yang kuat dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Sebab negara Indonesia sebagai negara

kebangsaan modern merupakan konsensus bersama yang perlu

dipertahankan dan pengalaman bersama pula telah banyak berbagai

peristiwa yang mengancam keutuhan bangsa. Sikap dan komitmen

kebangsaan itu dapat ditumbuhkembangkan melalui mata pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan.

2. Tinjauan tentang Pembentukan Karakter Kebangsaan

Untuk memahami tentang pembentukan karakter kebangsaan berikut

akan diuraikan pengertian tentang karakter kebangsaan, nilai-nilai

pembentukan karakter kebangsaan, pilar-pilar pembentukan karakter

keabangsaan, dan faktor-faktor pembentukan karakter kebangsaan, serta

langkah-langkah pembentukan karakter kebangsaan.

a. Pengertian Karakter Kebangsaan

Karakter di sini berasal dari bahasa Yunani dan Latin character

yang berasal dari kata charassein yang artinya „mengukir corak yang

34

tetap dan tidak terhapuskan‟. Watak atau karakter merupakan perpaduan

dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda

khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain (Daryanto,

2013: 9).

Lebih lanjut lagi Lickona (2013: 81-82) menjabarkan bahwa

karakter terdiri dari nilai operatif, nilai dalam tindakan. Kita berproses

dalam karakter kita, seiring suatu nilai menjadi suatu kebaikan, suatu

disposisi batin yang dapat diandalkan untuk menanggapi situasi dengan

cara yang menurut moral itu baik. Karakter yang terasa demikian

memiliki tiga bagian yang saling berhubungan: pengetahuan moral,

perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari

mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan

hal yang baik-kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan

kebiasaan dalam tindakan.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

karakter merupakan kepribadian seseorang yang menggambarkan

kualitas moral tiap-tiap individu yang tercermin dalam setiap tingkah

lakunya yang menjadi ciri khasnya masing-masing dalam bersikap dan

berperilaku.

Sedangkan pengertian Kebangsaan/Nasionalisme adalah cinta

tanah air, nasionalisme adalah semangat pemujaan dan kesetian kepada

tanah air nusa dan bangsa. Nasionalisme adalah patriotisme.

Nasionalisme adalah doktrin ideologis untuk mengutamakan kepentingan

35

nasional. Nasionalisme adalah suatu gerakan untuk meraih atau

mempertahankan kemerdekaan, independency dan kemandirian.

Nasionalisme adalah kesadaran kebangsaan, harga diri, dan identitas diri

sebagai suatu bangsa (Swasono, 2012: 9).

Kebangsaan/nasionalisme di sini bukan seperti nasionalisme ala

eropa. Yang mana menurut Soekarno menulis di Suluh Indonesia, 12

Agustus 1928 dalam Latif ( 2011: 68) menyatakan bahwa pembeda

antara nasionalisme ala Eropa dan Indonesia adalah sebagai berikut.

Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali

bukanlah nasionalisme ke-baratan yang menurut perkataan C. R.

Das adalah suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu

nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu

nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.

Selanjutnya Soekarno menyatakan bahwa Kebangsaan yang

dimaksud di sini bukan kebangsaan yang menyendiri (chauvinism)

melainkan kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa

(internasionalisme) (Latif, 2011: 126). Kekeluargaan di sini menurut Sri

Edi Swasono (Cholisin, 2013: 102) maksudnya yaitu watak sosial

Indonesia tidak bertolak dari makna kedaulatan rakyat paham Barat ala

Rousseau yang berdasar pada individualisme. Watak sosial Indonesia

menolak individualisme ini. watak sosial kita berdasar rasa bersama

(kolektiviteit) dan mutualisme. Oleh karena itu, lebih mengutamakan

konsensus sosial yang mencerminkan kesepakatan sebagai inti persatuan.

Jadi watak sosial bukan „watak dermawan‟, tetapi watak mengutamakan

kepentingan publik.

36

Bagi Soekarno bangsa, kebangsaan atau nasionalisme dan tanah

air merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan (Abidin 2013:

51-52). Nasionalisme Soekarno dapat dinyatakan sebagai nasionalisme

yang kompleks, yaitu nasionalisme yang dapat beriringan dengan

Islamisme yang pada hakekatnya relaitf bergerak secara leluasa di

dataran marginalitas yang mengesampingkan pada intrik ras dan etnisitas.

Dalam memandang masalah kebangsaan, M. Hatta menunjuk

teori-teori Sarjana Barat Ernest Renan, Otto Bauer dan Lothrop Stoddard.

Menurut Hatta dikatakan bahwa memang sulit memperoleh kriteria yang

tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada

kesamaan asal, persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta

“bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan

yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas

persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh

karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang

sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama,

pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang

tertanam dalam hati dan otak” (Abidin, 2013: 54).

Dari berbagai pendapat di atas penulis sepakat dengan pendapat

Soekarno, di mana pada intinya kebangsaan yang dimaksud di sini bukan

kebangsaan yang menyendiri, bukan “chauvinisme”, melainkan

kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa

(internasionalisme), yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Hatta yang

37

menyatakan bahwa kebangsaan menurut beliau adalah kebangsaan yang

tidak membenci bangsa lain. Semua bangsa hendaknya menjalin

persaudaraan. Artinya, kebangsaan di sini adalah kebangsaan yang tidak

saling serang-meyerang, melainkan kebangsaan yang timbul karena

adanya persamaan nasib dan tujuan yang mempererat rasa kekeluargaan

dan gotong royong sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai

persatuan dan kesatuan Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu, dari berbagai pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa karakter kebangsaan merupakan kesadaran dan

semangat kecintaan terhadap tanah air. Artinya, semua komponen dari

bangsa tersebut harus sepakat melalui kesadaran diri sendiri untuk

menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan dan ideologi kebangsaan ke

dalam mindset masing-masing individu atau kelompok. Setiap individu

dan kelompok harus bersikap proaktif untuk memperkaya kepribadian

masing-masing dengan nilai-nilai ideologi negara dan filosofi

kebangsaan. Termasuk, cerdas menghapus nilai-nilai kehidupan yang

berpotensi merusak karakter kebangsaan, sehingga dalam hal ini karakter

kebangsaan merupakan karakter yang menceminkan perilaku yang khas-

baik, yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, serta

olah raga seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara. Melalui penyadaran akan wawasan nusantara dan

wawasan kebangsaan yang dipadukan dengan pendidikan karakter

kebangsaan secara berkelanjutan, maka jati diri dan kebajikan yang

38

terkandung dalam nilai-nilai Pancasila bisa dinampakkan dalam

kehidupan sehari-hari berupa kerakter kebangsaan.

b. Nilai-Nilai Pembentukan Karakter Kebangsaan

Nilai-nilai pembentukan karakter kebangsaan yang berlandaskan

pada Pancasila dapat dijabarkan melalui sila-sila Pancasila. Menurut

Soekarno negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan

kebangsaan yang jelas dan visioner. Sebagai basis moralitas dan haluan

kenegaraaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis,

epistimologi, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi

historitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, ditaati,

dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-

pencapaian agung peradaban bangsa (Latif , 2011: 42-46). Pokok-pokok

moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila

dapat dilukiskan sebagai berikut.

Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan

(religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat

vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik

kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara

sekuler yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” dan

berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas.

Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan

mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa

memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial.

39

Tetapi saat yang sama, Indonesia juga bukan “negara agama”, yang

hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan

agama untuk mendikte negara (Latif, 2011: 42-43).

Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan

universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat

sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai

fundamen etik-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.

Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia

itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar,

bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang

dimilikinya untuk bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Ke

dalam, bangsa Indonesia mengaku dan memuliakan hak-hak dasar warga

dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan

universal ini adalah “adil” dan “beradab”( Latif, 2011: 43).

Ketiga, menurut alam Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis

kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar luat dalam lingkungan

pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan

dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan

kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang

mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari

kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi

kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan

40

keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan

dengan ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Di satu sisi, ada wawasan

kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik temu dari segala

kebhinekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila),

UUD, dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan,

bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada

wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi

aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa

daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya

(Latif, 2011: 44).

Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai

kemanusiaan, dan nilai-nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam

aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam

semangat permusyaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.

Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh

kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik

berkeadilan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat

persaudaraan dalam kerangka “musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip

musyawarah-mufakat, keputusan tidak didekte oleh golongan mayoritas

(mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha

(minorokrassi), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang

memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga

tanpa pandang bulu (Latif, 2011: 45).

41

Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai

kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi

permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat

mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu

harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain,

otentitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan

keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan

sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara

pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran

manusia sebagai makhluk individu (yang terlembaga dalam pasar) dan

peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam negara),

juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak

ekonomi, sosial, dan budaya (Latif, 2011: 45-46).

Demikianlah, para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita

suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara-yang menjiwai

penyusunan UUD-yang begitu visioner dan tahan banting (durable).

Suatu dasar yang memiliki landasan ontologis, epistimologis, dan

aksiologis yang kuat, yang jika dipahami secara mendalam, diyakini

secara teguh, dan diamalkan secara konsisten dapat mendekati

perwujudan “Negara Paripurna”. Kemudian dari sila-sila Pancasila ini

dapat dijadikan pedoman dalam menanamkan nilai-nilai karakter,

sehingga nantinya dapat membentuk karakter kebangsaan yang sesuai

dengan kondisi dan alam negara Indonesia (Latif, 2011: 46-47).

42

Dari pandangan Soekarno itulah banyak memberikan pencerahan

kepada tokoh-tokoh perjuangan yang sampai saat ini masih terus dipakai

sebagai landasan dan arah pendidikan nasional kita. Seperti nilai-nilai

pembentukan karakter secara umum yang dijelaskan oleh Narwati (2011:

27-28) yang mengemukakan ada beberapa nilai pembentuk (integrasi)

karakter yang utuh yaitu menghargai, berkreasi, memiliki keimanan,

memiliki dasar keilmuan, melakukan sintesa dan melakukan sesuai etika.

Selain itu juga pada dasarnya pendidikan karakter itu bersifat ubiquitous,

karena pertama melekat kepada pola asuh dalam sebuah keluarga. Kedua

tidak pada prosesnya harus mengalami proses pembelajaran di sekolah.

Ketiga setelah melalui proses pertama dan kedua baru biasa terbentuk

pendidikan karakter pada masyarakat bahkan pemerintahan.

Nilai-nilai pembentukan karakter yang dijelaskan oleh Narwati

tersebut secara lebih rinci sudah termuat dalam Panduan Pelaksanaan

Pendidikan Karakter, Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2011: 7-8) satuan

pendidikan yang sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan

melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program

operasional satuan pendidikan masing-masing. Dalam rangka lebih

memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan

telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila,

budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3)

Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)

Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta

43

Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14)

Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli

Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan

dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:

9-10).

Tabel 1. Nilai-nilai pembentuk karakter dijabarakan dalam tabel

berikut:

No. Nilai Deskripsi

1. Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,

toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama

lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama

lain.

2. Jujur

Perilaku yang dilaksanakan pada upaya

menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu

dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan

pekerjaan.

3. Toleransi

Sikap dan tindakan yang menghargai

perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap,

dan tindakan orang lain yang berbeda dari

dirinya.

4. Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib

dan patuh pada berbagai ketentuan dan

peraturan.

5. Kerja Keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-

sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan

belajat dan tugas, serta menyelesaikan tugas

dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif

Berfikir dan melakukan sesuatu untuk

menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu

yang telah dimiliki.

7. Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah

tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis

Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang

menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan

orang lain.

9. Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk

mengetahui lebih mendalam dan meluas dari

sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan

44

didengar.

10. Semangat Kebangsaan

Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang

menempatkan kepentingan bangsa dan negara

di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air

Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang

menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan

penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,

lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan

politik bangsa.

12. Menghargai Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya

untuk menghasilkan sesuai yang berguna bagi

masyarakat, dan mengakui, serta menghormati

keberhasilam orang lain.

13. Bersahabat/Komunika

tif

Tindakan yang memperhatikan rasa senang

berbicara, bergaul. Dan bekerja sama dengan

orang lain.

14. Cinta Damai

Sikap, perkataan, dan tindakan menyebabkan

orang lain merasa senang dan aman atas

kehadiran dirinya.

15. Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca

berbagai bacaan yang memberikan kebajikan

bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya

mencegah kerusakan lingkungan alam di

sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya

untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah

terjadi.

17. Peduli sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi

bantuan pada orang lain dan masyarakt yang

membutuhkan.

18. Tanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang

seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,

masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan

budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

(Sumber Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan

Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9-10).

Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa,

namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya

untuk melanjutkan nilai-nilai pra-kondisi yang telah dikembangkan.

Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi

45

satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis

konteks, sehingga dalam implementasinya dimungkinkan terdapat

perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah

dan atau daerah yang satu dengan lainnya. Implementasi nilai-nilai

karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang

esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan, seperti: bersih, rapi,

nyaman, disiplin, sopan dan santun.

Dari berbagai pendapat di atas, nilai-nilai pembentukan karakter

kebangsaan yang dapat dijadikan landasan adalah nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila, di mana telah dijelaskan secara mendalam

oleh Soekarno bahwa Pancasila merupakan landasan moralitas yang kuat

bagi pembentukan karakter kebangsaan kita. Nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila inilah yang nantinya dapat dijadikan acuan bagi

pendidik dalam hal ini guru dalam membentuk karakter kebangsaan

peserta didiknya. Di mana nantinya dari pembentukan karakter

kebangsaan ini dapat mewujudkan negara kebangsaan yang demokratis.

c. Pilar-Pilar Pembentukan Karakter Kebangsaan

Menurut Indonesia Herigate Foundation ada banyak kualitas

karakter yang harus dikembangkan, namun ada 9 pilar karakter utama

yaitu:

1) Cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya

2) Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian

3) Kejujuran

4) Hormat dan santun

5) Kasih sayang, kepedulain, dan kerjasama

6) Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah

46

7) Keadilan dan kepemimpinan

8) Baik dan rendah hati

9) Toleransi, cinta damai, dan persatuan (Narwati, 2011: 25-26)

Berdasarkan sembilan (9) pilar karakter utama tersebut dapat

disimpulkan bahwa pilar-pilar pembentukan karakter kebangsaan yang

dimaksud di sini adalah dengan berpedoman Pancasila, UUD 1945,

NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Di mana ke sembilan (9) pilar karakter

utama tersebut sebenarnya sudah temuat dalam sila-sila Pancasila. Oleh

karena itu, pilar-pilar pembentukan karakter kebangsaan tidak lepas dari

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia ini sendiri. Sehingga

Pancasila menjadi landasan moral bagi setiap orang khususnya peserta

didik dalam mengembangkan sikap dan perilaku sebagai peserta didik

yang nantinya dapat mewujudkan masayarakat demokratis.

d. Faktor-Faktor Pembentukan Karakter Kebangsaan

Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan

pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan

(nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku

berkarakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi

Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spritual Quotient

(SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang.

Sedangkan seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada

dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidiq, amanah, fathonah, dan

tabligh. Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang

memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang teraktualisasi

47

dalam kehidupannya. Adapun menurut teori sosial, seseorang yang

berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan

intrapersonal, dan hubungan interpersonal dalam kehidupan

bermasyarakat (Kemendiknas, 2010: 8).

Sedangkan menurut Dwiyanto (2012: 42-47) pihak-pihak yang

terlibat dalam pembentukan karakter seseorang meliputi keluarga, teman

sebaya, media masa, dan pendidikan forrmal. Pendidikan formal dalam

hal ini lembaga sekolah merupakan institusi pendidikan kedua setelah

keluarga, yang berperan besar dalam pembentukan dan pengembangan

pengetahuan keterampilan dan kepribadian bagi para siswa. Selain itu

menurut Sri Wening anak-anak menghabiskan sebagian waktunya di

sekolah sehingga apa yang didapatkan di sekolah akan mempengaruhi

pembentukan karakternya (Dwiyanto, 2012: 50).

Mengacu pada berbagai pendapat di atas, dapat dilihat bahwa

semua komponen yang berperan dalam pembentukan karakter

kebangsaan seseorang memerlukan benang merah untuk saling

menghubungkan dan untuk saling mengontrol atau mengawasi satu sama

lainnya. Hal ini dikarenakan pembentukan karakter kebangsaan

seseorang bukanlah sebuah proses yang instan, tetapi sebuah proses

panjang yang membutuhkan perhatian khusus dari semua pihak. Mulai

dari keluarga, sekolah, lingkungan, teman sebaya, bahkan media masa.

Menanamkan sikap cinta dan rasa bangga terhadap bangsa, negara dan

tanah air sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas. Misalnya

48

dalam lembaga sekolah, guru merupakan agen utama dalam

pembentukan karakter kebangsaan bagi peserta didiknya.

Pendidik/guru di sini menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) adalah

Pamong (pembimbing) sekaligus pemimpin. Oleh sebab itu, ia harus

mampu memberi teladan: Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi

teladan), Ing madya mbangun karsa (mampu memberi motivasi), dan Tut

wuri handayani (mampu memberi dorongan) (Dwiyanto, 2012: 24).

Oleh karena itu, dari keteladanan seorang Pamong dapat

memberikan contoh bagi peserta didiknya, di mana peserta didik

nantinya dapat melihat dan mempelajari bagaimana seorang Pamong

dalam bersikap dan berperilaku yang tugasnya adalah sebagai seorang

pembimbing. Kemudian dari tauladan ini diharapkan nantinya setiap

peserta didik dapat bangga karena memiliki seorang Pamong yang dapat

memberi contoh yang baik (demokratis), sehingga Pamong ini dapat

menanamkan sikap cinta dan bangga terhadap bangsa, negara dan tanah

air Indonesia dalam jiwa peserta didik.

49

e. Langkah-Langkah Pembentukan Karakter Kebangsaan

Pendekatan pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2010: 14)

disebutkan bahwa terdapat beberapa pendekatan dalam pendidikan

kewarganegaraan, yaitu:

1) Keteladanan

2) Pembelajaran

3) Pemberdayaan dan Pembudayaan

4) Penilaian

Pendidikan karakter yang dalam hal ini salah satu fungsinya adalah

sebagai pembentukan karakter itu sebaiknya diajarkan secara sistematis

dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the

good, feeling the good, dan action the good. Knowing the good bisa

mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah

knowing the good harus ditumbuhkan feeling the good, yakni bagaimana

merasakan dan mencintai kebjikan menjadi engine yang bisa membuat

orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan, sehingga tumbuh

kesadaran bahwa orang mau melakuakan perilaku kebajikan karena cinta

dengan perilaku kabajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan,

action the good itu akan berubah menjadi kebiasaan (Suyanto dalam

Darmiyati, 2011: 32)

Menurut Zulhan untuk mengimplementasikan metode pendidikan

karakter melalui knowing the good, feeling the good, dan action the good

50

dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut Darmiyati

(2011: 33).

1) Memasukkan pendidikan karakter dalam semua mata pelajaran

di sekolah, termasuk dalam pendidikan jasmani dan olahraga.

2) Membuat slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan

kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku

yang baik, misalnya slogan yang berbunyi kebersihan bagian

dari iman, tolong menolonglah dalam kebaikan dan jangan

tolong menolong dalam kejelekan, katakan yang jujur walau itu

pahit, hormati guru sayangi teman, sesungguhnya Allah

bersama orang yang sabar, keselamatan manusia terletak pada

mulutnya, dan sebagainya.

3) Melakukan pemantauan secara kontinyu. Beberapa hal yang

perlu dipantau antara lain adalah kedisiplinan masuk

sekolah,kebiasaan saat makan di kantin, kebiasaan saat di kelas,

kebiasaan dalam berbicara.

Selanjutnya Bompa menyatakan bahwa setiap individu pasti akan

melakukan interaksi dengan individu lainnya, hal ini merupakan kodrat

manusia disamping sebagai makhluk sosial juga sebagai makhluk

individu yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Selama

berintekasi dengan berbagai pihak inilah akan terjadi proses

pembentukan berbagai aspek seperti peningkatan fisik, penguasaan

teknik, penguasaan taktik, dan pembentukan mental termasuk di

dalamnya pembentukan karakter (Darmiyati, 2011: 33).

Pembentukan karakter tidak dapat dilakukan dengan waktu sekejap,

melainkan melalui proses yang lama dan kontinyu. Di sinilah peran guru

dituntut mampu mentransfer cara berpikir, bersikap, dan bertindak

dengan mendasarkan pada etika moral yang baik. Ucapan guru,

kedisiplinan guru, kasih sayang guru, dan petuah baik dari guru akan

51

diperhatikan dan ditiru oleh para siswa. Keteladanan guru akan menjadi

pondasi dasar dalam pembentukan karakter anak didiknya.

Lebih jauh lagi proses pembentukan karakter menurut Azra (2002:

174-175) yang menyatakan bahwa pembentukan dan pendidikan karakter

melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan.

Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah menurut

beliau bisa dilakukan setidaknya melalui pendekatan sebagai berikut:

Pertama, menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau

uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan

sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan

moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga

kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi

uswah hasanah yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik.

Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta

didik tentang berbagai nilai yang baik tersebut (Azra, 2002: 174)

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik

secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.

Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi

penghargaan (Prizing) dan menumbuhsuburkan (Cherising) nilai-nilai

yang baik, dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging)

berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan

buruk secara terbuka dan berkelanjutan; memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan

52

berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang

dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan;

membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn

al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak

dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus-menerus dan

konsisten (Azra, 2002: 174-175)

Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-

based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan karakter

character-based approach dalam setiap mata pelajaran yang ada

disamping mata pelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan

karakter, seperti pelajaran agama, sejarah, Pancasila, dan sebagainya.

Memandang kritik terhadap mata pelajaran-mata pelajaran terakhir ini,

maka perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan

pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan

sekadar hafalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan

karakter (Azra 2002: 175)

Oleh karena itu, pembentukan karakter kebangsaan peserta didik

merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab guru

sebagai pendidik di sekolah, tetapi semua pihak yang terlibat dalam

proses pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik itu. Hal ini

dapat dilakukan dengan langkah menerapkan pendekatan modelling atau

exemplary atau uswah hasanah. menjelaskan atau mengklarifikasikan

kepada peserta didik secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang

53

baik dan yang buruk. Kemudian menerapkan pendidikan berdasarkan

karakter (character-based education) yang mana hal ini bisa dilakukan

dengan menerapkan karakter character-based approach dalam setiap

mata pelajaran yang ada seperti mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan, sehingga dapat membentuk karakter peserta didik

yang dapat diterapkan dalam kehisupan sehari-hari secara berulang-ulang

dan menjadi suatu pembiasaan nantinya.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Lysa Hapsari pada tahun 2013 yang

berjudul “Peran Pembelajaran PKn dan Kegiatan Kepramukaan dalam

Membentuk Karakter Siswa di MAN 1 Yogyakarta”. Hasil penelitian ini

menunjukkan peran pembelajaran PKn dalam membentuk karakter pada

siswa di MAN 1 Yogyakarta terletak pada strategi guru dalam

menciptakan berbagai metode pembelajaran yang interaktif antara lain

diskusi, ceramah bervariasi, membuat film dan bermain peran. Adapun

peran guru sebagai fasilitator, motivator, telan dan pendidik. Walaupun

belum sepenuhnya semua peran dapat dilaksankan dengan maksimal.

Kemudian peran kegiatan kepramukaan yang menggunakan metode

pendidikan kepramukaan antara lain kode kehormatan, learning by doing,

serta penghargaan berupa tanda kecakapan. Selanjutnya terkait hambatan

dan upaya yang dialami baik dari guru PKn maupun dari pembina

pramuka.

54

Persamaan penelitian yang dilakukan penulis adalah tema yang

diambil mengenai pembelajaran PKn dalam membentuk karakter siswa

yang dilihat dari tiga proses penting mulai dari Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP), pelaksanaan pembelajaran dan teknik evaluasi hasil

pembelajaran. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pemilihan lokasi

penelitian, kajian masalahnya di mana peneliti Lysa Hapsari tidak hanya

melalui pembelajaran PKn dalam membentuk karakter siswa tetapi dengan

menambahkan peran kegiatan kepramukaan dalam membentuk karakter

siswa. Perbedaan selanjutnya terletak pada pembentukan karakter yang

diteliti, jika Lysa Hapsari yang dilihat karakter secara umum sedangkan

penulis lebih di fokuskan dalam membentuk karakter kebangsaan siswa.