10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Audit Internal ...
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Internal...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Internal...
13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Internal Audit
Internal audit adalah suatu kontrol organisasi yang mengukur dan
mengevaluasi efektivitas organisasi. Informasi yang dihasilkan, ditujukan
untuk manajemen organisasi itu sendiri. Auditornya digaji oleh organisasi
tersebut. Auditor sering disebut internal audit dan merupakan karyawan
organisasi tersebut serta bertanggung jawab terhadap pengendalian intern
perusahaan demi tercapainya efesiensi, efektivitas dan ekonomis serta ketaatan
pada kebijakan yang diambil oleh perusahaan atau organisasi. Fungsi internal
audit adalah membantu manajemen dalam meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kegiatan perusahaan atau organisasi.
2.1.1.1 Definisi Internal Audit
Ikatan Auditor Internal (Institute of Internal Auditors – IIA) dikutip
oleh Messier (2005), mendefenisikan Audit internal adalah aktivitas
independen, keyakinan obyektif, dan konsultasi yang dirancang untuk
menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal ini
membantu organisasi mencapai tujuannya dengan melakukan pendekatan
sistematis dan disipilin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas
manajemen resiko, pengendalian, dan proses tata kelola.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa internal audit merupakan
14
suatu aktivitas yang dilakukan untuk membantu manajeman dalam
penyediaan informasi, dengan tujuan akhir yaitu menambah nilai
perusahaan. Pelaksanaan internal audit dilakukan secara independen dan
obyektif yang berarti tidak terpengaruh oleh pihak manapun dan tidak
terlibat dalam pelaksanaan kegiatan yang di audit. Hasil audit yang
diperoleh dari pelaksanaan internal audit secara independen dan obyektif
tersebut akan dapat diandalkan oleh para pengguna informasi.
Menurut Norsain (2014) Salah satu yang merupakan bagian dari
kegiatan pengendalian adalah dengan adanya internal auditor. Internal
auditor merupakan suatu fungsi penilaian yang independen, yang didirikan
dalam sebuah organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan
organisasi tersebut sebagai sebuah pelayanan terhadap organisasi tersebut.
Audit internal merupakan kegiatan penilaian bebas, dipersiapkan
dalam organisasi sebagai suatu jasa terhadap organisasi. Kegiatan ini
mengaudit dan menilai efektivitas kegiatan unit yang lain. Sawyer (2006)
mengemukakan bahwa:
“ Internal Auditing is an independent appraisal function established
within an organization to examine and evaluate it’s activities as a service to
the organization.”
Pengertian service to organization Sawyer (2006):
“ Internal auditing is as systematic, objective appraisal by internal
auditors of the diverse operations and controls within an organization to
determine whether (1) financial and operating information is accurate and
15
reliable, (2) risks to the enterprise are identified and minimized, (3) external
regulations and acceptable internal policies and producers are followed, (4)
satisfactory operating criteria are met, (5) resources are used efficiently
and economically, and (6) the organization objectives are effectively
achieved-all for the purpose of assisting member of the organization in the
effective discharge of the responsibilities.”
Secara spesifik perbedaan antara definisi baru dan definisi lama
dapat diformulasikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Perbedaan definisi baru dan definisi lama audit internal
No Definisi Lama Definisi Baru
1 Fungsi penilaian yang independen
yang dibentuk dalam suatu
organisasi
Suatu aktivitas independen dan
objektif
2 Fungsi penilaian Aktivitas pemberian jaminan
keyakinan dan konsultasi
3 Mengkaji dan mengevaluasi
aktivitas organisasi sebagai bentuk
jasa yang diberikan bagi organisasi
Dirancang untuk memberikan
suatu nilai tambah, serta
meningkatkan kegiatan operasi
organisasi
4 Membantu para anggota organisasi
agar dapat menjalankan tanggung
Membantu organisasi dalam
usaha mencapai tujuannya
16
jawabnya secara efektif
5 Memberi hasil analisis, penilaian,
rekomendasi, konseling dan
informasi yang berkaitan dengan
aktivitas yang dikaji dan
menciptakan pengendalian efektif
dengan biaya wajar
Memberikan suatu pendekatan
disiplin yang sistematis untuk
mengevaluasi dan
meningkatkan keefektifan
manajemen risiko,
pengendalian dan proses
pengaturan dan pengelolaan
organisasi
Sumber: Amin W. Tunggal (2010)
Dari beberapa definisi tentang audit internal di atas, dapat
disimpulkan beberapa poin penting yaitu:
1. Audit internal merupakan suatu fungsi penilaian independen dalam
suatu organisasi. Hal Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan
penilaian tersebut adalah anggota dari organisasi tersebut.
2. Dalam pengukuran yang dilakukan auditor internal, independensi
dan objektivitas harus dipegang.
3. Memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk
mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko
pengendalian dan proses pengelolaan organisasi.
4. Auditor internal memeriksa dan mengevaluasi seluruh kegiatan baik
finansial maupun non finansial.
17
5. Menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan
dijalankan sesuai target dalam mencapai tujuan organisasi.
2.1.1.2 Fungsi Dan Peranan Internal Audit
Menurut Sukrisno Agoes (2004) tujuan pemeriksaan yang dilakukan
oleh internal auditor adalah membantu semua pimpinan perusahaan
(manajemen) dalam melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan
analisa, penelitian, saran, dan komentar mengenai kejadian kegiatan yang
diperiksa. Kemudian dikatakan oleh Effendi (2007) profesi internal audit
mengalami perkembangan cukup berarti pada awal abad 21, dibuktikan
dengan profesi internal auditor ternyata semakin hari semakin dihargai
dalam organisasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan
kegiatan–kegiatan berikut:
Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan
sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan
pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian
yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur-
prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen.
Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan
dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian,
kecurangan dan penyalahgunaan.
18
Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam
organisasi dapat dipercaya.
Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang
diberikan oleh manajemen.
Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka
meningkatkan efisensi dan efektifitas.
Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat
disimpulkan bahwa internal auditor antara lain memiliki peranan dalam:
a. Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention)
b. Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection)
c. Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation)
Peranan internal auditor dalam menemukan indikasi terjadinya
kecurangan dan melakukan investigasi terhadap kecurangan, sangat besar.
Jika auditor internal menemukan indikasi dan mencurigai terjadinya
kecurangan diperusahaan, maka ia harus memberitahukan hal tersebut
kepada top management. Jika indikasi tersebut cukup kuat, manajemen akan
menugaskan suatu tim untuk melakukan investigasi. Tim tersebut biasanya
terdiri dari internal auditor, lawyer, investigator, security dan spesialis dari
luar atau dalam perusahaan (misalkan ahli komputer, ahli perbankan dan
lain-lain). Hasil investigasi tim harus dilaporkan secara tertulis kepada top
management yang mencakup fakta, temuan, kesimpulan, saran dan tindakan
perbaikan yang perlu dilaporkan.
19
2.1.1.3 Wewenang Dan Tanggung Jawab Internal Auditor
Wewenang dan tanggung jawab internal auditor dalam suatu
organisasi juga harus ditetapkan secara jelas oleh pimpinan. Wewenang
tersebut harus memberikan keleluasan auditor intern untuk melakukan audit
terhadap catatan-catatan, harta milik, operasi/aktivitas yang sedang berjalan
dan para pegawai badan usaha. Hudri Chandry (2009)
Menurut Sawyer (2006) menyebutkan bahwa : “Standar for the
professional practice of internal auditing (standards)” menyatakan
tanggung jawab auditor internal adalah dimana internal auditor hendaknya
melaksanakan kecermatan dan keseksamaan profesional dalam
melaksanakan internal audit, dimana kecermatan dan keseksamaan
professional yang diharapkan dari seorang internal auditor disini adalah
kecermatan dan keseksamaan yang bijaksana, hati-hati dan kompeten dalam
situasi yang sama. Yang mana dalam melakukan kecermatan dan
keseksamaan profesional, internal auditor harus mewaspadai kemungkinan
adanya indikasi penyelewengan internal. ”Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
menyatakan secara lebih terperinci mengenai tanggungjawab internal
auditor dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) (2001) internal
auditor bertanggungjawab untuk menyediakan jasa analisis dan evaluasi,
memberikan keyakinan, rekomendasi dan informasi kepada manajemen
entitas dan dewan komisaris atau pihak lain yang setara wewenang dan
tanggungjawabnya tersebut. Internal auditor mempertahankan
objektivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya.
20
Menurut Amin W. Tunggal (2010) tanggung jawab internal auditor
adalah menerapkan program audit internal, mengarahkan personel, dan
aktivitas-aktivitas departemen audit internal juga menyiapkan rencana
tahunan untuk pemeriksaan semua unit perusahaan dan menyajikan program
yang telah dibuat untuk persetujuan. Secara garis besar dan tanggungjawab
seorang internal auditor di dalam melaksanakan tugasnya adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan informasi dan saran-saran kepada manajemen atas
kelemahan-kelemahan yang ditemukannya.
2. Mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas yang ada dalam perusahaan
untuk mencapai tujuan audit dan tujuan organisasi atau perusahaan.
Kedudukan internal auditor dalam struktur organisasi sangat
mempengaruhi keberhasilannya menjalankan tugas, sehingga dengan
kedudukan tersebut memungkinkan internal auditor dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik serta dapat bekerja dengan luwes dalam arti
independen dan objektif. Struktur organisasi penetapan bagian internal
auditor secara jelas disertai dengan job description yang jelas akan
membawa dampak yang positif dalam proses komunikasi antara internal
auditor dengan pihak pemilik perusahaan atau manajer. Namun sebaliknya,
penempatan yang tidak jelas akan menghambat jalannya arus pelaporan dari
internal auditor karena itu perlu ditentukan secara tegas kedudukan internal
auditor ini.
21
Menurut Sawyer (2006) untuk mencapai tujuannya masing-masing,
auditor internal dapat melakukan beberapa pendekatan yang berbeda yakni:
a. Audit Komprehensif, istilah ini pertama kali digunakan oleh General
Accounting Office (GAO) Amerika Serikat untuk menggambarkan audit
atas semua aktivitas yang terdapat pada entitas pemerintah. Audit
komprehensif merupakan perluasan yang dilakukan GAO atas audit
terhadap aktivitas operasi.
b. Audit Berorientasi Manajemen, penelaahan atas semua aktivitas sesuai
dengan perspektif manajer atau konsultan manajemen. Audit
berorientasi manajemen dibedakan dari jenis-jenis lainnya berdasarkan
cara pandangnya, bukan dari segi prosedur audit. Audit berorientasi
manajemen memfokuskan diri pada membantu organisasi mencapai
tujuannya. Hasil yang signifikan adalah membantu manajer mengelola
perusahaan dengan lebih baik dan untuk membuat manajer, bukan
auditor, kelihatan baik. Audit berorientasi manajemen jangan
disamakan dengan “audit manajemen”, yang merupakan audit atas
manajer itu sendiri. Auditor professional menghindari implikasi seperti
ini karena penilai sejati atas manajer adalah atasan mereka sendiri.
c. Audit Partisipatif, proses yang melibatkan bantuan klien dalam
mengumpulkan data, mengevaluasi operasi, dan mengoreksi masalah.
Jadi audit ini merupakan kemitraan untuk menyelesaikan masalah,
sehingga terkadang disebut audit kemitraan.
22
d. Audit Program, penelaahan atas seluruh program, baik perusahaan
publik maupun privat, untuk menentukan apakah manfaat yang
diinginkan telah tercapai. Program dalam istilah ini berarti serangkaian
rencana dan prosedur untuk mencapai hasil akhir yang ditentukan.
Istilah tersebut berbeda dari penelaahan atas aktivitas secara terus-
menerus dalam sebuah perusahaan.
Internal auditor dalam setiap pelaksanaannya menurut Amin W
Tunggal (2010) dituntuk untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar yang
diantaranya:
1) Integritas internal auditor membentuk kepercayaan sehingga memberi
dasar untuk mengandalkan penilaian mereka.
2) Objektivitas internal auditor menampilkan objektivita professional
tertinggi alam mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan
informasi tentang aktivitas atau proses yang sedang diuji. Internal
auditor membuat penilain yang seimbang atas semua kondisi yang
relevan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan mereka atau pihak lain
dalam membuat penilian.
3) Kerahasiaan internal auditor menghargai nilai dan kepemilikan
informasi yang mereka terima dan tidak mengunggkapkan informasi
tanpa wewenang yang tepat kecuali ada kewajiban hukum atau
professional untuk melakukannya.
4) Kompetensi Internal auditor menggunakan pengetahuan, keterampilan,
dan pengalaman yang dibutuhkan dalam kinerja jasa internal audit.
23
2.1.1.4 Tahap-Tahap Auditor
Tahap pekerjaan audit internal menurut Amin W. Tunggal (2010)
terdiri atas lima proses:
a. Audit Planning dan Risk Analysis
Dalam tahap ini proses audit memfokuskan perencanaan bahwa apa
yang seharusnya dilakukan, di mana, dan kapan dilakukan. Adapun poin
penting dalam tahap ini adalah menganalisis penilaian audit, mengumpulkan
fakta tentang wilayah audit, analisis risiko kinerja, mengidentifikasi bukti
audit, menuliskan secara detail objek yang diaudit, mengembangkan
program kerja audit, menentukan jadwal serta membagi pekerjaan kepada
staf.
b. Preliminary Survey
Dalam tahap ini seorang auditor menentukan segala aspek terhadap
wilayah audit yang terdiri dari program, fungsi, entitas atau yang diaudit.
Poin penting dalam tahap ini yaitu: mengetahui latar belakang informasi,
menelusuri wilayah aktivitas, menentukan segala kemungkinan alasan dan
dokumentasi, dan menggunakan hasil survey secara efektif.
c. Audit Field Work
Audit kerja lapangan yaitu usaha yang dilakukan oleh auditor
internal dalam membentuk suatu opini dan menghadirkan, serta
merekomendasikan tentang wilayah audit. Dalam tahap ini terdapat dua hal
utama yaitu: mengevaluasi sistem pengendalian internal, serta mendesain tes
audit.
24
d. Audit Finding dan Recomendation
Adanya temuan merupakan pernyataan dari kondisi yang
menyatakan suatu fakta. Temuan audit yang baik tergantung pada kualitas
kerja lapangan seorang auditor dan dilengkapi dengan kertas kerja. Terdapat
empat poin penting dalam tahap ini: mengembangkan temuan audit,
mendokumentasikan temuan audit, dan melakukan penutupan (closing).
e. Reporting
Reporting merupakan bagian yang terpenting dalam tahap proses
audit internal. Banyak yang mampu menulis sebuah report, tapi tak satupun
yang mampu menulisnya dengan benar. Empat poin penting dalam tahap
ini: outline report, menulis draf awal, mengedit draf dan menuliskan final
report.
f. Follow Up
Dalam tahap ini dilakukan pengoreksian terhadap kontrol yang
lemah yang telah diidentifikasi oleh internal audit dan dilaporkan kepada
manajemen. Ada dua hal penting pada tahap ini: kebutuhan akan follow up
atau tindak lanjut dan melakukan tindak lanjut terhadap audit.
2.1.1.5 Skeptisisme Profesional
Skeptisisme, berasal dari kata skeptis, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Pusat Bahasa, 2008) dan kamus Oxford (Hornby, 1980) berarti
sikap meragukan, mencurigai, dan tidak memercayai kebenaran suatu hal,
teori, ataupun pernyataan. Dalam buku istilah akuntansi dan auditing,
skeptisisme berarti bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang
25
belum cukup kuat dasar-dasar pembuktiannya (Islahuzzaman, 2012).
Sedangkan profesional, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(PusatBahasa, 2008) adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, yang
membutuhkan keahlian khusus untuk menerapkannya. Kata profesional
dalam skeptisisme profesional merujuk pada fakta bahwa auditor telah, dan
terus dididik dan dilatih untuk menerapkan keahliannya dalam mengambil
keputusan sesuai standar profesionalnya (Quadackers, 2009). Skeptisisme
profesional sendiri belum memiliki definisi yang pasti (Quadackers, 2009),
namun dari definisi kata skeptisisme dan profesional tersebut, dapat
disimpulkan bahwa skeptisisme profesional auditor adalah sikap auditor
yang selalu meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, dan menilai
secara kritis bukti audit serta mengambil keputusan audit berlandaskan
keahlian auditing yang dimilikinya. Skeptisisme bukan berarti tidak
percaya, tapi mencari pembuktian sebelum dapat memercayai suatu
pernyataan (Center for Audit Quality, 2010).
Secara khusus dalam audit, Standar Profesional Akuntan Publik
(IAPI, 2011) menjelaskan bahwa skeptisisme profesional adalah sikap yang
selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi bukti audit secara kritis.
Pengertian serupa dipaparkan dalam International Standards on Auditing
(IAASB, 2009), skeptisisme profesional adalah sikap yang meliputi pikiran
yang selalu bertanya-tanya (questioning mind), waspada (alert) terhadap
kondisi dan keadaan yang mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji
material yang disebabkan oleh kesalahan atau kesengajaan (fraud), dan
26
penilaian (assessment) bukti-bukti audit secara kritis. Konsep skeptisisme
profesional yang tercermin dalam standar tersebut adalah sikap selalu
bertanya-tanya, waspada, dan kritis dalam melaksanakan seluruh proses
audit.
Untuk menerapkan skeptisisme profesional yang efektif, perlu
dibentuk persepsi bahwa bahkan sistem pengendalian internal yang paling
baik memiliki celah dan memungkinkan terjadinya fraud (Center for Audit
Quality, 2010). Hanya saja, dalam menerapkan skeptisisme profesional,
auditor tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen klien melakukan
praktik yang bersih, namun tidak juga berprasangka bahwa manajemen
klien melakukan fraud (Anugerah dkk, 2011). Menurut Louwers (2011),
skeptisisme profesional adalah kecenderungan auditor untuk tidak
menyetujui asersi manajemen tanpa bukti yang menguatkan, atau
kecenderungan untuk meminta manajemen memberikan fakta atas asersinya
(disertai bukti). Basu (2009) menambahkan bahwa skeptisisme profesional
auditor hendaknya tidak menjadi kecurigaan yang berlebihan atau membuat
auditor sepenuhnya menjadi skeptis. Dalam hal ini, auditor yang memiliki
skeptisisme profesional akan menerapkan sikap skeptisnya hanya sebatas
melaksanakan tugas profesinya saja, tanpa sepenuhnya menjadi skeptis.
Oleh karena itu, dengan adanya skeptisisme profesional dalam diri auditor
akan mengakibatkan, sebagai contoh, auditor memberikan pertanyaan lebih
dari yang biasa yang bersifat investigatif, menganalisa jawaban-jawaban
27
dengan kritis dan secara hati-hati membandingkan hasil analisisnya dengan
bukti-bukti yang diperoleh.
2.1.1.5.1 Pentingnya Skeptisisme Profesional
Pentingnya skeptisisme profesional banyak ditekankan oleh
berbagai jenis profesi. Umumnya profesi yang membutuhkan skeptisisme
profesional adalah profesi yang berhubungan dengan pengumpulan dan
penilaian bukti-bukti secara kritis, dan melakukan pertimbangan
pengambilan keputusan berdasarkan bukti yang dikumpulkan. Profesi-
profesi yang dirujuk antara lain, detektif, polisi, auditor, pengacara dan
hakim, dan penyelidik. Namun, dari berbagai bidang profesi dan
akademis yang membutuhkan skeptisisme profesional, hanya auditor
yang menyaratkan skeptisisme profesional dalam standar profesionalnya
(Hurtt, 2003).
Seperti yang tercantum dalam SPAP seksi 230 (IAPI, 2011),
skeptisisme profesional merupakan unsur yang terkandung dalam Standar
Umum ketiga mengenai penggunaan kemahiran profesional dengan
cermat dan seksama dalam pelaksanaan pekerjaan auditor (due
professional care). Due professional care merupakan komponen yang
penting dalam proses audit. Banyak diskusi telah dilakukan mengenai
praktik kerja yang dilakukan oleh manajemen audit, supervisor, dan staff
untuk menekankan pentingnya due professional care. Pendapat ini
diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman (dalam
Bawono, 2010) dan Louwers dkk (2008) yang menyimpulkan bahwa due
28
professional care merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
kualitas audit, dan kegagalan audit cenderung disebabkan karena
kurangnya sikap skeptisisme profesional auditor dan due professional
care. Oleh karena itu, skeptisime profesional dan due professional care
adalah prinsip yang fundamental dalam semua tindakan yang dilakukan
auditor eksternal (Center for Audit Quality, 2010). Selain meningkatkan
kualitas audit dan mendeteksi terjadinya fraud, skeptisisme profesional
auditor juga berperan dalam mencegah terjadinya fraud. Penemuan Chen
dkk (2009) mempertegas pentingnya skeptisisme profesional auditor
yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan audit (audit actions) karena
dapat mengurangi kecenderungan manajer untuk melakukan fraud.
Dalam International Standards on Auditing 200 (IAASB, 2009)
juga ditekankan pentingnya skeptisisme profesional. Disebutkan bahwa
auditor harus merencanakan dan melaksanakan proses audit berlandaskan
skeptisisme profesional dengan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan material dalam laporan keuangan. Pekerjaan auditor selalu
berhubungan dengan pembuktian dan pencarian kebenaran bukti-bukti
dari dokumen dan kertas kerja, dan dari prosedur standar yang mereka
anut, namun hal ini bukan berarti auditor hanya bekerja untuk memenuhi
prosedur standar yang ada, terutama saat ditemukannya bukti-bukti yang
penting (Peursem, 2010), karena tanpa keberanian untuk beradu
argumentasi mengenai asersi manajemen, auditor tidak akan dapat
menjalankan fungsinya sebagai pencegah dan pendeteksi fraud (Financial
29
Reporting Council, 2010). Untuk itu auditor harus mampu menerapkan
tingkat skeptisisme profesional yang tepat.
Penerapan tingkat skeptisisme dalam audit sangatlah penting
karena dapat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi audit. Skeptisisme
yang terlalu rendah akan memperburuk efektivitas audit, sedangkan
terlalu tinggi akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan (Financial
Reporting Council, 2010). Oleh karena itu, dalam melaksanakan audit,
auditor seharusnya tidak serta-merta membuat pola pikir bahwa dalam
informasi keuangan yang disediakan manajemen terdapat salah saji
material atau kecurangan yang disengaja. Namun, seiring dengan proses
pengumpulan bukti-bukti audit, auditor dapat meningkatkan
kewaspadaannya jika terdapat kemungkinan informasi keuangan tersebut
memiliki salah saji material atau kecurangan yang disengaja.
Skeptisisme profesional sangat diperlukan untuk meningkatkan
kualitas audit, karena dengan bersikap skeptis, auditor akan lebih
berinisiatif untuk mencari informasi lebih lanjut dari manajemen
mengenai keputusan-keputusan akuntansi yang diambil, dan menilai
kinerjanya sendiri dalam menggali bukti-bukti audit yang mendukung
keputusan-keputusan yang diambil oleh manajemen tersebut (Financial
Reporting Council, 2010). Auditor perlu menerapkan skeptisisme
profesional dalam mengevaluasi bukti audit. Dengan begitu, auditor tidak
menerima bukti-bukti audit tersebut apa adanya, tetapi memperkirakan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, seperti bukti yang
30
diperoleh dapat menyesatkan, tidak lengkap, atau pihak yang
menyediakan bukti tidak kompeten bahkan sengaja menyediakan bukti
yang menyesatkan atau tidak lengkap. Semakin tinggi risiko audit atau
semakin besar risiko salah saji material, maka auditor perlu menerapkan
skeptisisme profesional yang tinggi juga (Financial Reporting Council,
2010).
Faktanya, skeptisisme profesional dalam auditing adalah penting
karena: (1) Skeptisisme profesional merupakan syarat yang harus
dimiliki auditor yang tercantum di dalam standar audit (SPAP), (2).
Perusahaan-perusahaan audit internasional menyaratkan penerapan
skeptisisme profesional dalam metodologi audit mereka, (3). Skeptisisme
profesional merupakan bagian dari pendidikan dan pelatihan auditor, dan
(4). Literatur akademik dan profesional di bidang auditing menekankan
pentingnya skeptisisme profesional (Quadackers, 2009). Selain itu,
banyak studi kasus yang oleh SEC (Security and Exchange
Commissions) dilaporkan sebagai kegagalan auditor dalam mendeteksi
salah saji material sebagai hasil dari kurangnya skeptisisme profesional,
contohnya skandal Enron, WorldCom, Adelphia, dan Global Crossing
(Quadackers, 2009).
2.1.1.6 Independensi Auditor
Menurut Arens (2009) mendefinisikan independensi adalah cara
pandang yang tidak memihak didalam pelaksanaan pegujian evaluasi hasil
pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Dari definisi tersebut dapat
31
diambil kesimpulan mengenai definisi independensi akuntan publik adalah
sikap pikiran dan sikap mental akuntan publik yang jujur dan ahli, serta
bebas dari bujukan, pengaruh, dan pengendalian pihak lain dalam
melaksanakan perencanaan, penilaian, dan pelaporan hasil pemeriksaan.
Menurut Arens dan Loebbecke (2009) mengemukakan bahwa:
“A member in public practice shall be independence in the
performance a professional service as require by standards promulgated by
bodies designated by a council.”
“Anggota yang ada didalam praktik publik harus independen dalam
kinerja layanan professional seperti yang dipersyaratkan oleh standar yang
dikeluarkan oleh badan yang ditunjuk oleh dewan.”
Sedangkan menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009)
mengemukakan independensi sebagai berikut : “Independensi dalam audit
berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian,
evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Sikap mental
independen tersebut harus meliputi Independece in fact dan independence in
appearance.”Independence in fact menurut siti Kurnia Rahayu dan Ely
Suhayati (2009) adalah sebagai berikut : “Independen dalam kenyataan akan
ada apabila pada kenyataan auditor mampu mempertahankan sikap yang
tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu
kejujuran yang tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan
pendapatnya, hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta
yang dipakai sebagai dasar pemberiaan pendapat, auditor harus objektif dan
32
tidak berprasangka.” Independence in appearance menurut siti Kurnia
Rahayu dan Ely Suhayati (2009) adalah sebagai berikut : “Independen
dalam penampilan adalah hasil interpretasi pihak lain mengenai
independensi ini. Auditor akan dianggap tidak independen apabila auditor
tersebut memiliki hubungan tertentu (misalnya hubungan keluarga) dengan
kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa auditor tersebut akan
memihak kliennya atau tidak independen.” Menurut Islahuzzaman (2012)
menyatakan “Auditor yang independen adalah auditor yang tidak
dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam auditor”. Independensi
lebih banyak ditentukan faktor luar diri auditor.
Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli,
independensi adalah sikap pikiran dan sikap mental yang tidak memihak
dan tidak dikendalikan oleh pihak lain didalam pelaksanaan pengujian,
evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit yang sesuai
dengan aturan atau prinsip-prinsip profesionalnya. Lalu menurut Mulyadi
(2006) mengungkapkan keadaan yang sering mengganggu sikap mental
independen seorang auditor adalah :
1) Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor
dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut.
2) Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecendrungan untuk
memuaskan keinginan kliennya.
33
3) Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat
menyebabkan lepasnya klien.
Arens (2009) menyatakan bahwa audit dilakukan oleh orang yang
kompeten, independen dan objektif atau disebut sebagai auditor.
Berdasarkan kelompok atau pelaksana audit, auditor dibagi 3 jenis yaitu:
1) Auditor ekstern/independen bekerja untuk kantor akuntan publik yang
statusnya diluar struktur perusahaan yang mereka audit. Pada
umumnya, auditor ekstern menghasilkan Laporan Hasil Audit atas
Laporan Keuangan.
2) Auditor intern bekerja untuk perusahaan yang mereka audit. Laporan
Hasil Audit Operasional/Manajemen umumnya berguna bagi
manajemen perusahaan yang diaudit dalam melakukan perbaikan
kinerja perusahaan. Oleh karena itu tugas internal auditor biasanya
adalah audit operasional/manajemen.
3) Auditor Pemerintah yaitu auditor yang bekerja untuk kepentingan
pemerintah, misalnya di bidang perpajakan atau audit terhadap dana-
dana yang bersumber dari pemerintah. Auditor yang profesional akan
merencanakan audit sebaik-baiknya, mempertimbangkan risiko yang
timbul dan melakukan pengumpulan serta pengujian bukti secara
cermat.
Supriyono (1988) membuat kesimpulan mengenai pentingnya independensi
akuntan publik sebagai berikut :
34
1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi
akuntan publik untuk memulai kewajaran informasi yang disajikan oleh
manajemen kepada pemakai informasi.
2. Independensi diperlukan oleh akuntan publik untuk memperoleh
kepercayaan dari klien dan masyarakaat, khususnya para pemakai
laporan keuangan.
3. Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang
tertentu.
4. Keterampilan, yaitu kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang
berkaitan dengan fisik dan mental.
Menurut Standar Kompetensi Auditor (BPKP: 2010), disebutkan
bahwa auditor harus memiliki kemampuan mencakup:
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan fakta, informasi, dan keahlian yang
diperoleh seseorang melalui pendidikan, baik secara teori maupun
pemahaman praktis. Kompetensi dalam aspek pengetahuan merupakan
pengetahuan di bidang pengawasan yang harus dimiliki oleh seluruh auditor
di semua tingkat atau jenjang jabatan. Perolehan pengetahuan melibatkan
proses kognitif yang kompleks meliputi: persepsi, pembelajaran,
komunikasi, asosiasi dan argumentasi. Dalam Taksonomi Bloom,
pengetahuan masuk dalam ranah kognitif yangberisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual.
35
2. Keterampilan/Keahlian (Skill)
Keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan tugas
dengan baik atau lebih baik dari rata-rata. Dalam Taksonomi Bloom,
keterampilan masuk dalam ranah psikomotor yang berisi perilaku-perilaku
yang menekankan aspek keterampilan motorik. Kompetensi dari aspek
keterampilan/keahlian merupakan keterampilan/keahlian dibidang bidang
pengawasan yang harus dimiliki oleh seluruh auditor di semua tingkat atau
jenjang jabatan.
3. Sikap Perilaku (Attitude)
Sikap perilaku mewakili rasa suka atau tidak seseorang pada suatu
hal. Dalam Taksonomi Bloom, sikap perilaku masuk dalam ranah afektif
yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi,
seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Kompetensi dari
aspek sikap perilaku merupakan sikap perilaku yang harus dimiliki oleh
seluruh auditor di sumua tingkat atau jenjang jabatan. Selain hal tersebut,
dalam Standar Kompetensi Auditor pasal 3 ayat (2), auditor wajib
mempertahankan Kompetensinya melalui Pendidikan dan Pelatihan
Profesional Berkelanjutan (Continuing Professional Education) guna
menjamin Kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan organisasi
dan perkembangan lingkungan pengawasan. Pendidikan dan Pelatihan
Profesional Berkelanjutan diperoleh melalui keanggotaan dan partisipasi
dalam asosiasi profesi, pendidikan sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor
(JFA), konferensi, seminar, kursus-kursus, program pelatihan di kantor
36
sendiri dan partisipasi dalam proyek penelitian yang memiliki substansi di
bidang pengawasan. Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel kompetensi
auditor internal dalam penelitian dapat diukur dengan beberapa indikator
sebagai berikut:
a. Pengetahuan yang dimiliki
b. Keterampilan/keahlian yang dimiliki
c. Sikap perilaku yang dimiliki
d. Pendidikan dan pelatihan professional berkelanjutan.
2.1.1.7 Keahlian Profesional
Bedard (1986) dalam Lastanti (2005) mengartikan keahlian atau
kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan
prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Sementara
itu dalam artikel yang sama, Shanteau (2005) mendefinisikan keahlian
sebagai orang yang memiliki ketrampilan dan kemampuan pada derajad
yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan
pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif,
cermat dan seksama.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara No. Per/05/M.Pan/03/2008 tanggal 31 maret 2008 menyatakan
auditor harus mempunyai pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan
kompetensi lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung
jawabnya.
37
Pimpinan APIP harus yakin bahwa latar belakang pendidikan dan
kompetensi teknis auditor memadai untuk pekerjaan audit yang akan
dilaksanakan. Oleh karena itu, pimpinan APIP wajib menciptakan kriteria
yang memadai tentang pendidikan dan pengalaman dalam mengisi posisi
auditor di lingkungan APIP.
Auditor APIP harus mempunyai tingkat pendidikan formal minimal
Strata Satu (S-1) atau yang setara. Agar tercipta kinerja audit yang baik
maka APIP harus mempunyai kriteria tertentu dari auditor yang diperlukan
untuk merencanakan audit, mengidentifikasi kebutuhan profesional auditor
dan untuk mengembangkan teknik dan metodologi audit agar sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi unit yang dilayani oleh APIP. Untuk itu
APIP juga harus mengindentifikasi keahlian yang belum tersedia dan
mengusulkannya sebagai bagian dari proses rekrutmen. Aturan tentang
pendidikan formal minimal dan pelatihan yang diperlukan harus dievaluasi
secara periodik guna menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi unit yang dilayani oleh APIP.
Disamping wajib memiliki keahlian tentang standar audit, kebijakan,
prosedur dan praktik – praktik audit, auditor harus memiliki keahlian yang
memadai tentang lingkungan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi unit yang dilayani oleh APIP. Dalam hal auditor melakukan audit
terhadap sistem keuangan, catatan akuntansi dan laporan keuangan, maka
auditor wajib mempunyai keahlian atau mendapatkan pelatihan di bidang
akuntansi sektor publik dan ilmu – ilmu lainnya yang terkait dengan
38
akuntabilitas audit. APIP pada dasarnya berfungsi melakukan audit di
bidang pemerintahan, sehingga auditor harus memiliki pengetahuan yang
berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Auditor harus mempunyai sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor
(JFA) dan mengikuti pendidikan dan pelatihan profesional berkelanjutan
(continuing profesional education) sesuai dengan jenjangnya. Pimpinan
APIP wajib memfasilitasi auditor untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan
serta ujian setifikasi seusai dengan ketentuan. Dalam pengusulan auditor
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan seusai dengan jenjangnya,
pimpinan APIP mendasarkan keputusannya pada formasi yang dibutuhkan
dan persyaratan administrasi lainnya seperti kepangkatan dan pengumpulan
angka kredit yang dimilikinya.
Auditor wajib memiliki pengetahuan dan akses atas informasi
teraktual dalam standar, metodologi, prosedur dan teknik audit. Pendidikan
profesional berkelanjutan dapat diperoleh melalui keanggotaan dan
partisipasi dalam asosiasi profesi, pendidikan sertifikasi jabatan fungsional
auditor, konferensi, seminar, kursus – kursus, program pelatihan di kantor
sendiri dan partisipasi dalam proyek penelitian yang memiliki substansi di
bidang pengauditan.
APIP dapat menggunakan tenaga ahli apabila APIP tidak
mempunyai keahlian yang diharapkan untuk melaksanakan penugasan,
dimana pimpinan APIP menggunakan arahan dan bantuan dari pihak yang
berkompeten dalam hal auditor tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan
39
dan lain – lain kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan seluruh
atau sebagian penugasan. Tenaga ahli yang dimaksud dapat merupakan
aktuaris, penilai (appraiser), pengacara, insinyur, konsultan lingkungan,
profesi medis, ahli statistik maupun geologi. Tenaga ahli tersebut dapat
berasal dari dalam maupun dari luar organisasi.
2.1.1.8 Pengalaman Auditor
Pengalaman kerja seseorang menunjukkan jenis-jenis pekerjaan
yang telah dilakukan seseorang dan memberi peluang besar bagi seseorang
untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. Semakin luas pengalaman kerja
seseorang, semakin trampil seseorang dalam melakukan pekerjaan dan
semakin sempurna pula pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Abriyani Puspaningsih, 2004).
Pengalaman merupakan cara pembelajaran yang baik bagi auditor
internal yang akan menjadikan auditor kaya akan teknik audit. Semakin
tinggi pengalaman auditor, maka semakin mampu dan mahir auditor
menguasai tugasnya sendiri maupun aktivitas yang diauditnya. Pengalaman
juga membentuk auditor mampu menghadapi dan menyelesaikan hambatan
maupun persoalan dalam pelaksanaan tugasnya, serta mampu
mengendalikan kecenderungan emosional terhadap pihak yang diperiksa.
Selain pengetahuan dan keahlian, pengalaman auditor memberi kontribusi
yang relevan dalam meningkatkan kompetensi auditor.
40
2.1.1.9 Pengawasan Intern Pemerintah
Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang
penting dalam penyelengaraan pemerintahan untuk mewujudkan
kepemerintahan yang baik. Dalam rangka mewujudkan kepemerintahan
yang baik, berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab
diperlukan adanya Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang
berkualitas dan auditor yang profesional. Melalui pengawasan intern dapat
diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai
dengan rencana kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. (Standar
Audit Apip, 2008)
Pengawasan intern di lingkungan Departemen Kementrian Dan
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dilaksanakan oleh
Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Utama/Inspektorat untuk kepentingan
Menteri/Pimpinan LPND dalam upaya pemantauan terhadap kinerja unit
organisasi yang ada dalam kendalinya. Pelaksanaan fungsi Inspektorat
Jenderal dan Inspektorat Utama tidak terbatas pada fungsi audit tetapi juga
fungsi pembinaan terhadap pengelolaan keuangan negara. (Standar Audit
Apip, 2008)
Hasil kerja APIP diharapkan bermanfaat bagi pimpina dan unit-unit
kerja sert penguna lainnya untuk meningkatkan kinerja organisasi secara
keseluruhan. Hasil kerja ini akan dapat digunakan dengan penuh keyakinan
jika pemakai jasa mengetahui dan mengakui tingkat profesionalisme auditor
41
yang bersangkutan. Untuk memastikan dan memberi jaminan yang memadai
(quality assurance) apakah audit yang dilaksanakan telah sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan maka perlu dilakukan pengendalian mutu
terhadap mutu audit yang dilakukan oleh APIP. Dengan diikutinya standar
tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan audit akan
memberikan hasil yang dapat diyakini validitas dan keakuratannya. (Standar
Audit Apip, 2008)
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang sistem
Pengendalian Intern Pemerintahan:
“Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu,
evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain terhadap
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan secara efektif
dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam rangka mewujudkan
kepemerintahan yang baik”
“Inspektorat Jenderal dengan nama lain yang secara fungsional
melaksanakan pengawasan intern adalah Aparat Pengawasan Intern
Pemerintahan yang bertanggungjawab langsung kepada menteri/pimpinan
lembaga”
2.1.2 Fraud (Kecurangan)
Dalam literatur akuntansi dan auditing, fraud diterjemahkan sebagai
praktik kecurangan dan fraud sering diartikan sebagai irregularity atau
42
ketidakteraturan dan penyimpangan. Salah satu definisi fraud menurut Black
Law Dictionary (dikutip dalam buku Diaz Priantara, 2013) yaitu :
“ The intentional use of deceit, a trick or some dishonest means to
deprive another of his money, property or legal right, either as a cause of
action or as a fatal element in the action itself ”
Definisi lainnya menurut Black Law Dictionary adalah:
(1) A knowing misrepresentation of the truth or concealment of
material fact to induce another to act to his or her detriment; is usual a tort,
but in some cases (especially when the conduct is willful) it may be a crime; (2)
a misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce
another person to act; (3) a tort arising from knowing misrepresentation,
concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to induce
another to act to his or her detriment.
Sedangkan fraud menurut standar the institute of internal auditors
tahun 2013, yaitu:
Any illegal act characterized by deceit, concealment, or violation of
trust. These acts are not dependent upon the threat of violence or physical
force. Frausds are perpetrate by parties and organizations to obtain : money,
property, or services; to avoid payment or loss of services; or to secure
personal or business advantage.
Fraud itu sendiri merupakan suatu perbuatan melawan hukun yang
dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau luar organisasi, dengan maksud
untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara
43
langsung merugikan pihak lain. Kamus Hukum mengartikan Fraud (Inggris)
atau Fraude (Belanda) sebagai kecurangan atau Frauderen/Verduisteren
(Belanda) yaitu perbuatan menggelapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal
278 KUHP dan 268 KUHP. (Diaz Priantara, 2013)
2.1.2.1 Teori Terjadinya Fraud (Kecurangan)
Fraud pada dasarnya tidak begitu saja terjadi dalam suatu
perusahaan. Namun fraud dapat terjadi karena berbagai penyebab dan
kemungkinan yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan fraud.
Berikut ini teori yang penulis gunakan sebagai referensi untuk melihat
bagaimana fraud itu bisa terjadi.
2.1.2.1.1 Segitiga Fraud (Fraud Triangle)
Gambar 2.1 Segitiga Fraud (Fraud Triangle)
Sumber: Diaz Priantara (2013)
Menurut Diaz Priantara (2013) terdiri dari tiga kondisi yang
umumnya hadir pada saat fraud terjadi:
1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud (pressure)
Tekanan dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu :
44
a. Masalah keuangan
b. Terlibat perbuatan kejahatan atau tidak sesuai dengan norma
c. Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan
d. Tekanan-tekanan lain
2. Peluang atau kesempatan untuk melakukan fraud (opportunity)
a. Sistem pengendalian internal yang lemah
b. Tata kelola organisasi buruk
3. Dalih untuk membenarkan tindakan fraud (rationalization)
Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas
aktifitasnya yang mengandung fraud. Para pelaku fraud meyakini
atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan suatu fraud tetapi
adalah suatu yang memang merupakan haknya, bahkan kadang
pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk
organisasi.
Segitiga Fraud (Fraud Triangle) menurut Tuanakotta (2007)
terdiri dari tiga kondisi yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi:
1. Tekanan (pressure)
Tekanan (pressure) yang dirasakan pelaku kecurangan yang
dipandangnya sebagai kebutuhan keuangan yang tidak dapat
diceritakannya kepada orang lain (percived non-shareble financial need).
Berikut merupakan faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya
tekanan:
45
a. Tingkat persaingan yang kuat atau kejenuhan pasar (market
saturation) yang diiringi dengan menurunnya margin
keuntungan.
b. Kerawanan yang tinggi karena perubahan yang cepat, misalnya
dalam teknologi, keusangan produk, atau tingkat bunga.
c. Permintaan (akan produk atau jasa yang dijual) merosot dan
kegagalan usaha meningkat dalam industri itu atau
perekonimian secara keseluruhan.
d. Kerugian operasional yang mengancam kebangkrutan, penyitaan
aset yang dianggunkan ke bank, atau hostile takeover
(pengambilalihan saham melalui penawaran untuk membeli
saham dari pemegang saham yang bukan pengendali).
e. Arus kas negatif atau ketidak mampuan menghasilkan arus kas
dari kegiatan usaha, meskipun entitas itu melaporkan laba dan
pertumbuhan laba.
f. Pertumbuhan besar-besaran atau tingkat keuntungan yang tidak
biasa, khususnya dibandingkan dengan perusahaan lain dalam
industri yang sama.
g. Persyaratan dan ketentuan akuntansi, ketentuan perundangan,
atau aturan regulator yang baru.
Selain hal-hal di atas manajemen mengalami tekanan yang kuat untuk
memenuhi harapan pihak ke tiga mengenai hal-hal berikut:
46
a. Harapan tentang tingkat keuntungan atau tingkat kecenderungan
(trend level) dari analis penanaman (investment analysts),
penanaman modal institusional (institutional investors), kreditur
utama, atau pihak-pihak lain. Harapan ekspektasi ini bisa
disebabkan oleh manajemen, misalnya press release atau pesan-
pesan dalam laporan tahunan yang optimistis.
b. Kebutuhan akan pembelanjaan dengan tambahan utang atau
modal agar tetap kompetitif termasuk pembelajaan riset dan
pengembangan atau pembelian aset tetap (capital expenditures)
besar-besaran.
c. Kemampuan terbatas untuk memenuhi persyaratan pendaftaran
di pasar modal (exchage listing requirements) atau membayar
kembali utang atau ketentuan lain dalam akan kredit (debt
covenant).
2. Peluang (perceived opportunity)
Peluang (perceived opportunity) adalah peluang untuk melakukan
kecurangan seperti yang dipersepsikan pelaku kecurangan. Sifat industri
atau kegiatan entitas yang berpeluang melakukan pelaporan keuangan
curang melalui:
a. Traksi dengan pihak terkait yang signifikan (significant related-
party transactions) yang tidak merupakan bagian normal bisnis
entitas yang bersangkutan, atau dengan entitas terkait yang tidak
diaudit atau yang diaudit KAP lain.
47
b. Posisi keuangan yang begitu kuat atau kemampuan
mendominasi industri atau sektor tertentu yang memungkinkan
entitas memaksakan syarat atau kondisi tertentu kepada
pemasok (suppliers) atau pelanggan (customers). Ini mungkin
indikasi tidak wajar atau antar pihak yang tidak setara
(inappropriate or non-arm’s-lenght transactions).
3. Pembenaran (Rationalization)
Pembenaran (Rationalization) adalah pembenaran yang dibisikan untuk
melawan hati nurani si pelaku kecurangan. Faktor-faktor yang dapat
mengakibatkan terjadinya pembenaran:
a. Komunikasi, implementasi, dukungan, atau penerapan nilai-nilai
entitas atau standar etika oleh manajemen, yang tidak efektif.
b. Anggota manajemen yang sebenarnya tidak berurusan dengan
bidang keuangan, secara berlebihan ikut melibatkan diri
memilih kebijakan akuntansi atau penentuan estimasi yang
signifikan.
c. Di masa lalu melanggar ketentuan perundangan, atau pernah ada
tuntutan terhadap entitas, pimpinannya, atau TCWG (Those
Charged With Governance) dengan tuduhan melanggar
ketentuan perundangan.
d. Keinginan manajemen yang berlebihan untuk meningkatkan
harga saham yang tinggi atau mempertahankan tren laba.
48
e. Manajemen membuat komitmen kepada analysts, kreditur, dan
pihak ketiga lainnya untuk mencapai ramalan (forcasts) yang
sangat agresif atau tidak realistis.
f. Manajemen gagal atau tidak memperbaiki kelemahan signifikan
yang diketahuinya mengenai pengendalian internal dengan
cepat.
g. Adanya kepentingan manajemen untuk menggunakan cara-cara
yang tidak benar untuk menekan angka laba bagi kepentingan
perpajakan.
h. Suasana kerja yang tidak kondusif (low morale) di antara
pimpinan perusahaan.
i. Pemilik yang sekaligus pengelola perusahaan (owner-manager)
tidak membedakan apa itu transaksi pribadi atau bisnis.
j. Sengketa di antara pemegang saham dalam perusahaan tertutup.
k. Upaya berulang-ulang oleh manajemen untuk membenarkan
penggunaan akuntansi yang tidak tepat dengan alasan
masalahnya tidak material.
2.1.2.1.2 Fraud Diamond
Gambar 2.2 Fraud Diamond
Sumber: Diaz Priantara (2013)
49
Banyak penelitian menunjukkan bahwa terjadinya fraud
kemungkinan dikarenakan terjadi ketika seseorang memiliki insentif
(tekanan) untuk melakukan fraud. Kontrol, tatakelola, atau pengawasan
lemah memberikan kesempatan bagi orang untuk melakukan fraud dan
orang tersebut merasionalisasi perilaku fraud-nya. Ada cara lain yang
disebut Diamond Fraud untuk meningkatkan pencegahan dan mendeteksi
fraud dengan mempertimbangkan elemen keempat selain menangani
peluang atau insentif (tekanan), kesempatan, dan rasional, yaitu
mempertimbangakan kemampuan individu (capacibility).
Menurut David T Wolfe dan Dana Hermanson (2004) dalam Diaz
Priantara (2013) banyak fraud, terutama yang bernilai milyaran tidak
akan terjadi tanpa keberadaan orang yang tepat dengan kemampuan yang
tepat. Peluang, membuka pintu untuk fraud, tekanan dan rasionalisasi
dapat menarik orang melakukan fraud. Tapi, orang tersebut harus
memiliki kemampuan untuk mengenali peluang sebagai sebuah
kesempatan dan mengambil keuntungan tersebut. Menurut Diamond
Theory terdapat 4 elemen penyebab fraud, sebagai berikut:
1. Insentif (Incentive)
Memiliki hubungan atau dorongan yang dapat membuat
seseorang untuk melakukan tindakan fraud.
2. Kesempatan (Opportunity)
Kesempatan yaitu peluang yang menyebabkan pelaku secara
leluasa dapat menjalankan aksinya yang disebabkan oleh pengendalian
50
internal yang lemah, ketidakdisplinan, kelemahan dalam mengakses
informasi, tidak ada mekanisme audit & sikap apatis. Hal yang paling
menonjol di sini adalah pengendalian internal. Pengendalian internal
yang tidak baik akan memberi peluang orang untuk melakukan
kecurangan.
Menurut SAS No.99 menyebutkan bahwa peluang/kesempatan
pada financial statement fraud dapat terjadi pada tiga kategori kondisi
tersebut adalah
a. Nature of industry,
b. Ineffective monitoring, dan
c. Organizational structure
3. Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi menjadi elemen penting dalam terjadinya fraud,
dimana pelaku selalu mencari pembenaran atas perbuatannya. Sikap atau
karakter yang dimiliki pelaku, akan menentukan rasionalisasi atas
pembenaran kecurangan yg dilakukan, contohnya bagi mereka yang
umumnya tidak jujur, mungkin lebih mudah untuk merasionalisasi
penipuan.
4. Kemampuan (Capability)
Dalam kenyataannya ternyata ada satu faktor lain yang perlu
dipertimbangkan, yaitu Individual capability. Individual
capability adalah sifat dan kemampuan pribadi seseorang yang
mempunyai peranan besar yang memungkinkan melakukan suatu tindak
51
kecurangan. Pada elemen Individual Capability terdapat beberapa
komponen kemampuan (Capability) untuk menciptakan fraud yaitu:
a. Posisi/fungsi seseorang dalam perusahaan,
b. Kecerdasan (brain)
c. Tingkat kepercayaan diri/ego (confident/ego),
d. Kemampuan pemaksaan (coercion skills)
e. Kebohongan yang efektif (effective lying), dan
f. Kekebalan terhadap stres (immunity to stress).
Dalam fraud diamond, sifat-sifat dan kemampuan individu
memainkan peran utama dalam terjadinya fraud. Banyak kecurangan-
kecurangan besar tidak akan terjadi tanpa orang-orang yang memiliki
kemampaun individu/capability. Walaupun
peluang/opportunity membuka jalan untuk melakukan fraud dan insentif
dan rasionalisasi dapat menarik orang ke arah itu tapi seseorang harus
memiliki kemampuan untuk melihat celah melakukan fraud sebagai
kesempatan dan untuk mengambil keuntungan dari itu, tidak hanya
sekali, tetapi terus menerus. Dengan demikian, fraud itu terjadi karena
adanya kesempatan untuk melakukannya, tekanan dan rasionalisasi yang
membuat orang mau melakukannya dan kemampuan individu.
Pada intinya fraud diamond adalah alasan seseorang yang
melakukan fraud karena adanya kesempatan, tekanan dan rasionalitas
yang ketiga alasan tersebut dapat terjadi jika seseorang memiliki
kemampuan (capability). Fraud Diamond ini yang dapat menjadi alasan
52
seseorang yang melakukan kecurangan terhadap laporan keuangan
(fianancial statement).
2.1.2.2 Bentuk-Bentuk Fraud
Fraud yang ada dalam pelaporan keuangan terjadi dengan
menggunakan berbagai cara dan bentuk. Dimana seorang auditor akan
terkecoh dalam melakukan pemeriksaan terhadap hal tersebut. Berikut
merupakan bentuk-bentuk fraud menurut para ahli.
Menurut Johnstone et al (2014) bentuk fraud terdiri dari:
1. Misstatements Arising From Misappropriation of Assets (Salah Saji
Timbul Dari Penyalahgunaan Aset)
Asset misappropriation occurs when a perpetrator steals or misuses
an organization’s assets. Asset misappropriations are the dominant fraud
scheme perpetrated against small businesses and the perpetrators are
usually employees. Asset misappropriation commonly occurs when
employees :
a. Gain access to cash and manipulate accounts to cover up cash
thefts
b. Manipulate cash disbursements through fake companies
c. Steal inventory or other assets and manipulate the financial
records to cover up the fraud
Pernyataan di atas menyatakan bahwa penyalahgunaan aset terjadi
ketika pelaku mencuri atau menyalahgunakan suatu aset organisasi.
Penyelewengan aset adalah skema penipuan yang dominan dilakukan
53
terhadap usaha kecil dan para pelaku biasanya karyawan. Penyalahgunaan
aset biasanya terjadi ketika karyawan:
a. Mendapatkan akses ke uang tunai dan memanipulasi akun untuk
menutupi pencurian kas.
b. Memanipulasi pengeluaran kas melalui perusahaan palsu.
c. Mencuri persediaan atau aset lain dan memanipulasi catatan
keuangan untuk menutupi penipuan.
2. Misstatements Arising from Fraudulent Financial Reporting (Salah
Saji Transaksi Penipuan Pelaporan Keuangan)
The intentional manipulation of reported financial results to misstate
the economic condition of the organization is called fraudulent financial
reporting. Three common ways in which fraudulent financial reporting can
take place include:
a. Manipulation, falsification, or alteration of accounting records or
supporting documents
b. Misrepresentation or omission of events, transactions, or other
significant information
c. Intentional misapplication of accounting principles
Pernyataan di atas menyatakan bahwa manipulasi secara sengaja
terhadap laporan hasil keuangan dengan mengutarakan kondisi ekonomi
organisasi yang salah pada pelaporan keuangan. Tiga cara umum kondisi
penipuan laporan keuangan dapat terjadi antara lain:
54
a. Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau
mendukung dokumen.
b. Keliru atau kelalaian dari peristiwa, transaksi, atau orang penting
lainnya informasi.
c. Penyalahgunaan di sengaja prinsip akuntansi.
Menurut Karyono (2013) bentuk fraud terdiri dari:
A. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement)
Kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement)
dilakukan dengan menyajikan laporan keuangan lebih baik dari yang
sebenarnya (over statement) dan menyajikan laporan keuangan lebih buruk
dari yang sebenarnya (under statement). Cara-cara melakukan kecurangan
laporan keuangan ialah sebagai berikut:
a. Penghasilan atau pendapatan fiktif (fictious revenue)
b. Penilaian akhir atas aset, tidak tepat
c. Menyembunyikan kewajiban (concealed liabilities)
d. Mencatat aktiva dan pasiva pendapatan dan biaya pada periode
akuntansi yang tidak tepat (timing deference). Biaya pendapatan
tahun berjalan digeser ke tahun sebelumnya atau sesudahnya.
Sebaliknya pendapatan tahun lalu digeser ke tahun berjalan dan
pendapatan tahun yang akan datang digeser ke tahun berjalan.
e. Menyembunyikan biaya antara lain dengan mengkapitalisasi biaya.
f. Pengungkapan laporan keuangan yang tidak tepat (improper
disclosures) seperti tidak diungkapkannya kewajiban bersyarat
55
(contingence liabilities) kejadian-kejadian penting yang
berpengaruh negatif terhadap pos-pos laporan keuangan. Kejadian
penting yang seharusnya diungkapkan antara lain:
a) Perusahaan pada tahun buku yang dilaporkan dalam laporan
keuangan terlibat perkara di pengadilan dan apabila nanti kalah
terkena kewajiban yang sangat material.
b) Lokasi usaha (misalnya berupa pabrik) terkena ketentuan tata
kota sehingga pabrik harus pindah atau tutup.
c) Penilaian aset tidak tepat (improper asset valuation) yaitu
penilaian yang tidak sesuai prinsip akuntansi yang di terima
umum dengan sengaja agar laporan keuangan tampak lebih
baik dari yang sebenarnya.
B. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)
a. Kecurangan Kas
a) Kecurangan Penerimaan Kas
Pencurian terhadap penerimaan kas yang belum dicatat
(skimming). Bentuk dari skimming itu sendiri seperti:
1. Pendapatan tidak dilaporkan atau dicatat (unrecorded)
atau dilaporkan lebih kecil (understates)
2. Piutang dihapus padahal piutang tersebut sebetulnya
tidak dihapus tetapi ditagih dan tidak dilaporkan (write
off schemes)
56
3. Pengambilan uang hasil penagihan untuk sementara
waktu dengan menunda pencatatan penerimaannya
(lapping schemes)
4. Pengambilan penerimaan cek dari pelanggan Pencurian
yang sudah di catat di pembukuan (cash larceny) antara
lain:
1) Pencurian kas tunai (cash on hand)
2) Pencurian kas di Bank (cash in bank)
3) Mencuri kas dengan membuat kesalahan
perhitungan atau kesalahan pembukuan dengan
sengaja
b) Kecurangan Pengeluaran Kas (faudulent disbursement)
Kecurangan penagihan (billing schemes), dengan
memasukkan dokumen tagihan atau invoice pengadaan
barang, sehingga tagihan lebih tinggi (mark up) atau tagihan
fiktif dengan cara:
1. Menciptakan rekanan fiktif melalui perusahaan dengan
papan nama (Shell Company)
2. Melakukan pembayaran yang ada atas pembayaran yang
lebih tinggi kemudian diminta kembali secara pribadi
kelebihan pembayaran tersebut (pay and return)
3. Meninggikan tagihan dari rekanan (overbilling)
57
Kecurangan penggantian biaya (expense reimbursment
schemes) adalah kecurangan pengeluaran kas dengan
memanipulasi penggantian biaya antara lain dengan cara:
1) Meningkatkan biaya (overslated expense) dari yang
sebenarnya dikeluarkan sehingga penggantian biaya yang
diterima lebih tinggi, dari yang benar-benar dikeluarkan
2) Penggantian biaya atas biaya-biaya fiktif (fictitious expense
scheme) antara lain dengan cara membuat kwitansi palsu
3) Kecurangan penggantian biaya berulang-ulang (Multiple
Reimbursement)
Kecurangan pembayaran gaji atau upah (Payroll Scheme)
dengan cara memalsukan dokumen pendukung pembayaran gaji
atau upah berupa catatan waktu kerja atau memalsukan informasi
yang ada dalam catatan gaji atau upah serta menciptakan pegawai
fiktif.
b. Penyalahgunaan Persediaan dan Asset Lain (Inventory and Other
Assets Misappropriation)
Kecurangan persediaan barang dan aset lainnya terdiri dari
pencurian (larceny) dan penyalahgunaan (misuse). Larceny
scheme dimaksudkan sebagai pengambilan persediaan atau
barang di gudang karena penjualan atau pemakaian, untuk
perusahaan, tanpa ada upaya untuk menutupi pengambilan
58
tersebut dalam akuntansi atau catatan gudang. Berikut ini
merupakan bentuk-bentuk pada bagian ini seperti:
a) Penjualan fiktif (Fictitious Sell) dengan cara:
1. Kolusi dengan pihak ketiga yang mengambil barang tapi
tidak diproses (tanpa pembayaran)
2. Menjual dengan discount tidak wajar.
b) Asset Requisition and Transfer Scheme dengan cara :
1. Pemindahan aset ke lokasi lain dengan dokumen internal
resmi, barang kemudian dicuri.
2. Permintaan material untuk proyek jumlah yang diminta
untuk mark-up.
3. Menciptakan proyek fiktif untuk mencuri material.
4. Memalsukan formulir permintaan barang.
c) Kecurangan pembelian dan penerimaan (Purchasing &
Receiving Scheme) dilakukan dengan:
1. Membeli barang yang tidak diperlukan.
2. Membeli aset kemudian dicuri.
d) Memalsukan penerimaan barang (false inventory receive
recent)
1. Petugas penerima memalsukan catatan penerimaan
(dicatat lebih kecil)
2. Memalsukan penjualan dan pengapalannya (false sales &
shipment scheme)
59
3. Dibuat dokumen penjualan palsu, pelaku mengirim ke
pembeli fiktif.
4. Catatan persediaan dipalsukan agar sama dengan
fisiknya.
e) Membuat jurnal palsu, untuk menutupi ketekoran persediaan.
f) Menghapus persediaan (inventory write off)
C. Korupsi (Corruption)
Korupsi secara umum didefinisikan dengan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum atau publik atau masyarakat luas untuk
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Berikut ini merupakan
bentuk korupsi, bentuk tersebut sebagai berikut:
a. Pertentangan Kepentingan (Conflict of Interest)
Bentuk korupsi ini terjadi ketika karyawan atau manajer
mempunyai kepentingan pribadi pada suatu kegiatan atau
transaksi bisnis pada organisasi dimana ia bekerja, kepentingan
tersebut berlawanan dengan kepentingan organisasinya. Pelaku
dapat melakukan kecurangan sebagai berikut:
a) Mengarahkan secara terus-menerus untuk membeli barang ke
perusahaannya.
b) Mengarahkan spesifikasi teknis barang yang akan dibeli.
c) Membatasi persaingan dengan mengatur prakualifikasi dan
memberikan informasi penting dan rahasia sehingga
60
meskipun dilakukan tender, akan dimenangkan oleh
perusahaannya.
b. Suap (Bribery)
Suap adalah pemberian, permohonan atau penerimaan
atas sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi tindakan seseorang
karena pekerjaannya. Bentuk suap terdiri dari:
a) Komisi (Kick Back) terjadi karena ada penerimaan atau
pemberian sesuatu untuk memengaruhi keputusan bisnis.
b) Kecurangan untuk memenangkan lelang (Bid Rigging),
dilakukan untuk memenangkan salah satu penawar dari
beberapa penawaran yang ikut lelang. Bila kecurangan itu
berhasil, penawar yang menang memberi susuatu yang
bernilai kepada panitia lelang.
c. Pemberian Tidak Sah (Illegal Grativities)
Pemberian tidak sah adalah pemberian sesuatu yang
bernilai kepada seseorang karena keputusan yang di ambil oleh
seseorang. Keputusan itu memberi keuntungan kepada pemberi
sesuatu yang bernilai tersebut.
d. Pemerasan Ekonomi (Economic Ecortion)
Pada bentuk korupsi ini, karyawan meminta pembayaran
dari rekanan (vendor) atas keputusan yang di ambil yang
menguntungkan rekanan (vendor) tersebut. Caranya dengan jalan
menakut-nakuti, dengan ancaman atau bujukan.
61
D. Kecurangan yang Berkaitan dengan Komputer (Computer Fraud)
Kejahatan di bidang komputer adalah sebagai berikut:
a. Menambah, menghilangkan, atau mengubah masukan atau
memasukkan data palsu.
b. Salah memposting atau memposting sebagian transaksi saja.
c. Memproduksi keluaran palsu, menahan, menghancurkan, atau
mencuri keluaran.
d. Merusak program misalnya mengambil uang dari banyak
rekening dalam jumlah kecil.
e. Mengubah dan menghilangkan master file.
f. Mengabaikan pengendalian internal untuk memperoleh akses ke
informasi rahasia.
g. Melakukan sabotase.
h. Mencuri waktu penggunaan komputer.
i. Melakukan pengamatan elekronik dari data pada saat dikirim.
2.1.3 Pendeteksian Fraud (Kecurangan)
Laporan audit oleh pengguna laporan keuangan digunakan sebagai alat
untuk meyakini bahwa perusahaan itu dalam keadaan sehat. Maka dari itu
seorang auditor dalam melakukan audit harus dapat mengungkap salah saji
material dan tindakan fraud yang terjadi di perusahaan yang di audit. Maka
dari itu seorang auditor harus mengetahui cara yang harus dilakukan agar dapat
mendeteksi fraud. Berikut ini adalah cara untuk mendeteksi fraud menurut ahli.
62
Menurut Diaz Priantara (2013) indikasi fraud dapat dikenali atau dideteksi dari
gejala-gejala atau tanda-tanda (red flag) sebagai berikut:
1. Anomali Dokumentasi Bukti Transaksi:
a. Terdapat dokumen sumber transaksi yang hilang atau penggunaan
dokumen tidak asli (foto kopi) atau banyak dijumpai penggantian
dokumen.
b. Nama dan alat penerima pembayaran sama dengan nama dan alat
pembeli atau pegawai perusahaan.
c. Piutang yang telah melewati tanggal jatuh tempo dan berusia sangat
lanjut.
d. Jumlah item penyebab selisih yang direkonsiliasi banyak dan belum
tuntas atau berasal dari periode lalu.
e. Pembayaran dengan bukti transaksi duplikat (salinan).
2. Anomali Akuntansi meliputi antara lain:
a. Ayat (entry) jurnal yang salah atau tidak sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku baik dalam klasifikasi akun maupun salah
dalam pengukuran atau salah dalam saat pengakuan.
b. Buku besar (ledger) yang tidak akurat seperti ledger yang tidak
seimbang dan akun master atau akun kontrol pada buku besar (general
ledger) tidak sama dengan jumlah akun dari customer atau pemasok
secara individual pada buku pembantu (subsidiary ledger).
3. Kelemahan Struktur Pengendalian Internal Baik Level Transaksi Maupun
Level Entitas:
63
a. Tidak ada pemisahan tugas.
b. Tidak ada pengamanan yang memadai untuk aset.
c. Tidak ada pengecekan dan penelaahan independen.
d. Tidak ada otorisasi yang tepat.
e. Mengesampingkan atau mengabaikan pengendalian (control) yang
dibuat.
f. Sistem akuntansi yang tidak memadai.
4. Anomali dari Prosedur Analitis:
a. Pendapatan yang meningkat dengan persediaan yang menurun.
b. Pendapatan yang meningkat dengan piutang yang menurun.
c. Pendapatan yang meningkat dengan arus kas masuk yang menurun.
d. Persediaan yang meningkat dengan utang yang menurun.
e. Volume penjualan yang meningkat dengan penambahan biaya per unit
yang menurun.
f. Volume produksi yang meningkat dengan jumlah scrap yang
menurun
g. Persediaan yang meningkat dengan biaya pergudangan yang menurun
5. Gaya Hidup Mewah
6. Perilaku yang Tidak Biasa
7. Pengaduan dan Komplain.
Pendeteksian dapat dilakukan secara proaktif sebagai berikut:
a. Pelaksanaan internal audit yang menerapkan proaktif fraud auditing
(pembahasan proaktif fraud auditing)
64
b. Pengumpulan data intelijen terhadap gaya hidup dan kebiasaan pribadi
pegawai
c. Penerapan prinsip pengecualian (exception) di dalam pengendalian dan
prosedur item dimana setiap exception harus ditelusuri dengan cermat
d. Pelaksaan review terhadap penyimpangan (variances) dalam kinerja
operasi (standar, tujuan, sasaran, anggaran, rencana)
e. Adanya laporan pengaduan dan keluhan atau whistleblower hotmail
f. Intuisi atasan pegawai atau sesama pegawai melihat kejanggalan atau
kecurigaan.
2.1.3.1 Teknik-Teknik Mendeteksi Fraud (Kecurangan)
a. Prosedur Analitis
Standar auditing seksi 56 ( dikutip dari Diaz Priantara, 2013)
menyatakan prosedur analitis adalah evaluasi dari informasi keuangan yang
didapat auditor dari menganalisis hubungan data keuangan dan non
keuangan. Prosedur analitis ini dipakai tiga tujuan utama, yaitu:
a) Premiminary analytic prosedures. Prosedur analitis digunakan
untuk mendapatkan pemahaman tentang perusahaan dan untuk
memberikan perhatian kepada auditor terhadap area yang beresiko
tinggi (termasuk resiko fraud) pada saaat perencanaan audit.
b) Substantive analytic prosedures. Prosedur analitis digunakan
sebagai metode untuk mendapatkan bukti audit dengan
mengevaluasi saldo akun.
65
c) Final analytic proedures. Proedur analitis digunakan untuk
mendapat kesimpulan audit dari keseluruhan hasil audit dan
penyajian laporan keuangan.
Teknik prosedur analitis yang dapat digunakan untuk mendeteksi fraud,
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Perbandingan data antar perusahaan versus data perusahaan antar
periode:
1) Analisis horizontal yaitu perbandingan anatara periode saat
ini dengan periode sebelumnya (tahun lalu atau bulan lalu)
2) Analisis vertical yang mengkalkulasikan setiap baris item
laporan keuangan sebagai persentase dari baris item yang
lain.
2. Pebandingan data perusahaan (realisasi) versus anggaran atau
proyeksi perusahaan
3. Perbandingan data perusahaan versus industri atau perusahaan
sejenis
4. Perbandingan data finansial perusahaan versus data operasionalnya
5. Perbandingan data perusahaan (realisasi) versus hasil kalkulasi
auditor
6. Analisis rasio keuangan seperti:
1) Rasio likuiditas: current ratio, working capital ratio,
accounts receivable turnover, inventory turnover, acid test
ratio
66
2) Rasio solvabilitas: total bedt to total equity, total debt to total
asset
3) Rasio profitabilitas: return on assets return on invesment,
economic value added, market value added, gross margin
ratio, operating margin ratio, profit margin ratio
b. Analisis data dengan bantuan teknologi (continuous
monitoring/auditing)
Teknik analisis data dengan menggunkaan teknologi dapat dilakukan
antara lain untuk:
1. Menghitung parameter statistik (rata-rata, standar deviasi, nilai
terendah dan tertinggi) untuk mengidentifikasi transaksi yang
janggal (outlier) yang dapat menjadi indikasi fraud
2. Mengklasifikasi untuk pola mengklasifikasi untuk menemukan pola
dan asosiasi diantara grup eleman data
3. Menstratifikasi nilai numerik untuk mengidentifikasi nilai yang
tidak biasa/lasim (unusual) sangat berlebih atau kurang
(execeedingly high or low)
4. Analisis digital menggunakan Hukum Benford untuk
mengidentifikasi secara statistik kejadian yang tidak diinginkan
dari digit-digit yang spesifik pada data yang acak
5. Menggabungkan (joining) sumber data yang berbeda untuk
mencari pencocokan nilai yang tidak tepat diantara sistem yang
terpisah seperti nama, alamat, nomor rekening.
67
6. Pengujian duplikat untuk mengidentifikasi duplikasi yang
sederhana atau komplex dari transakasi bisnis seperti pembayaran,
penggajian, laporan klaim biaya.
7. Gap testing untuk mengidentifikasi angka/nomor yang hilang pada
data yang berurutan (sequential data) sebegai indikator seseorang
mencoba menyembunyikan transaksi yang fraud (fraudulent
transaction)
8. Penjumlahan (suming and totaly) nilai numerik untuk mengecek
nilai total Kontrol (control totals) yang mungkin dipalsukan
9. Memfalidasi tanggal perekaman data (entry dates) untuk mencari
posting atau sewaktu waktu perekaman data yang tidak tepat dan
mencurigakan.
c. Penggunaan Hukum Benford untuk mendeteksi fraud
Benford’s law atau hukum benford adalah hukum yang dapat
memperkirakan frekuensi kemunculan sebuah angka dalam rangkaian
data numerik. Jika data numerik tersebut dihasilkan tanpa ada unsur
kesengajaan, maka freukensi kemunculan angka tersebut akan sesuai
dengan harapan freukensi dalam Hukum Benford. Hal ini juga berarti
jika ada unsur kesengajaan oleh manusia untuk menciptakan sebuah
kombinasi angka dan dimasukan dalam data set tersebut maka hasil
analisa Hukum Benford akan menunjukan bahwa ada angka tertentu
yang lebih banyak muncul dari pada yang diperkirakan. Hukum
Benford banyak digunakan oleh auditor karena kemampuannya untuk
68
mendeteksi anomali data pada sebuah data set. Anomali data tersebut
jika ditelusuri lebih lanjut dapat membantu auditor untuk mendeteksi
fraud. Hukum ini sangat mudah dan efektif untuk digunakan karena
sudah ada software audit yang menyediakan menu Hukum Benford.
d. Penggunaan data mining dan data analytics
Data mining mengkaji dan mencari informasi berharga didalam
data base yag besar. Proses ini, seperti halnya menambang sumber daya
alam, melakukan penyaringan diantara begitu banyaknya data kemudian
dengan cara cerdas mengeksplorasi dimana sebenarnya nilai lebih itu
berada. Data mining memiliki kemampuan sebagai berikut:
a) Automated prediction of trens and behaviors. Data mining
memproses pencariaan informasi yang diprediksi secra otomatis
dalam dtabase yang besar. Pertanyaan yang secara tradisional
memerlukan analisis yang luas, sekarang bisa memperoleh jawaban
langsung dan cepat dari data itu sendiri. Contoh: analisis follow the
money. Gambar dari olahan data dengan jelas menunjukkan
kemana atau kepada siapa arus dana bermuara.
b) Automated discovery of previously unknown pattern. Data mining
akan menyapu database dan mengidentfikasi pola-pola yang
hiilang yang tidak diketahui sebelumnya, dalam satu langkah saja.
Pada tindak pidana pencucian uang perangkat lunak data mining
sengan cepat mengungkapkan perubahan pola pendanaan
69
terorisme, dari pola yang sudah dikenal ke pola yang baru. (Diaz
Priantara, 2013)
2.1.4 Pencegahan Fraud (Kecurangan)
Peran utama dari internal auditor dalam mencegah kecurangan, yaitu
berupaya menghilangkan atau mengeliminir sebab-sebab timbulnya
kecurangan tersebut, penyebab timbulnya kecurangan dapat disebabkan oleh
tiga hal, yaitu adanya unsur keinginan (need), ketamakan (greed), dan
kesempatan (opportunity). Menghilangkan atau menekan need dan greed yang
mengawali terjadinya kecurangan dilakukan sejak menerima seseorang
(recruitment process), meskipun kita tahu bahwa proses itu bukan jaminan
penuh. Ini perlu ditanamkan melalui fraud awareness dan contoh-contoh yang
diberikan pimpinan perusahaan atau lembaga. Contoh yang diberikan atasan
telah terbukti merupakan unsur pencegahan yang penting. Unsur opportunity
dalam ungkapan di atas biasanya ditekan melalui pengendalian internal
(Tuanakotta, 2007).
Lima komponen struktur pengendalian internal dalam membangun
mekanisme sistem pengendalian internal yang efisien dan efektif, dalam
penelitian Amrizal (2004), diantaranya yaitu:
1. Membangun struktur pengendalian internal yang baik.
Dengan semakin banyaknya motif serta bentuk kecurangan yang telah
dibahas sebelumnya maka manajemen harus memiliki sikap penuh kehati-
hatian untuk mencegah kecurangan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu,
manajemen perlu mengadakan struktur pengendalian internal yang baik dan
70
efektif dalam mencegah kecurangan sehingga entitas yang dikendalikan
manajemen terhindar dari kecurangan yang signifikan. Manajemen harus
mengevaluasi setiap komponen-komponen pengendalian internal dan
memonitoring pelaksanaan dari penerapan masing-masing komponen tersebut.
2. Mengefektifkan aktivitas pengendalian
Dalam rangka mencegah atau paling tidak meminimalisir kecurangan
yang mungkin terjadi maka aktivitas pengendalian susatu setiap entitas harus
dapat efektif yang meliputi:
a. Review kinerja
b. Pengolahan informasi
c. Pengendalian fisik
d. Pemisahan tugas
3. Meningkatkan kultur organisasi
Meningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG)
yang saling terkait satu sama lain agar dapat mendorong kinerja sumber-
sumber entitas bekerja secara efisien.
4. Mengefektifkan fungsi internal audit
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh manajemen agar fungsi internal
audit dapat efektif dalam membantu manajemen dalam melaksanakan
tanggungjawabnya adalah:
71
a. Internal audit dalam entitas harus mempunyai kedudukan yang
independen dalam entitas dalam arti kata ia tidak boleh terlibat dalam
kegiatan operasional perusahaan.
b. Internal audit dalam entitas harus mempunyai uraian tugas yang jelas
dan tertulis.
c. Internal audit harus mempunyai internal audit manual yang berguna
untuk mencegah terjadinya penyimpangan tugas, menentukan standar
untuk mengukur dan meningkatkan kinerja.
d. Mendapat dukungan dari top manajemen.
e. Internal audit dalam entitas harus memiliki sumber daya yang
professional, capable, bias bersikap objektif, dan mempunyai
integritas dan loyalitas yang tinggi.
f. Menciptakan struktur penggajian yang wajar.
g. Memberikan sanksi yang tegas kepada yang melakukan kecurangan.
h. Membuat program bantuan kepada pegawai yang mendapatkan
kesulitan pekerjaan.
i. Menetapkan kebijakan entitas terhadap pemberian dan penyampaian
informasi kepada pihak-pihak yang dianggap perlu.
j. Menyediakan sumber-sumber tertentu dalam rangka mendeteksi
kecurangan.
k. Menyediakan saluran untuk melaporkan telah terjadinya kecurangan
hendaknya diketahui oleh staf agar dapat diproses pada jalur yang
benar.
72
2.1.5 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
Menurut Mahmudi (2007) Laporan keuangan pemerintah daerah adalah
gambaran mengenai kondisi dan kinerja keuangan entitas tersebut. Salah satu
pengguna laporan keuangan pemerintah daerah adalah pemerintah pusat.
Pemerintah pusat berkepentingan dengan laporan keuangan pemerintah daerah
karena pemerintah pusat telah menyerahkan sumber daya keuangan kepada
daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
2.1.5.1 Laporan Keuangan Pokok terdiri dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
b. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (Laporan Perubahan
SAL)
c. Neraca;
d. Laporan Operasional (LO)
e. Laporan Arus Kas (LAK)
f. Laporan Perubahan Ekuitas (LPE)
g. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)
2.1.5.2 Komponen Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Komponen dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dikutip
dalam Mahmudi (2007) adalah sebagai berikut:
a. Laporan Realisasi APBD (LRA)
Menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber
daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang
menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam
73
satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung oleh
Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari pendapatan-LRA, belanja,
transfer, dan pembiayaan. Masing-masing unsur dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a) Pendapatan - LRA adalah penerimaan oleh Bendahara Umum
Negara/Bendahara Umum Daerah atau oleh entitas pemerintah
lainnya yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode
tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah,
dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.Pendapatan
(basis akrual) adalah hak pemerintah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih.
b) Belanja adalah semua pengeluaran oleh Bendahara Umum
Negara/Bendahara Umum Daerah yang mengurangi Saldo
Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan
yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
pemerintah.
c) Transfer adalah penerimaan atau pengeluaran uang oleh suatu
entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk
dana perimbangan dan dana bagi hasil.
d) Pembiayaan (financing) adalah setiap penerimaan/pengeluaran
yang tidak berpengaruh pada kekayaan bersih entitas yang perlu
dibayar kembali dan/atau akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya,
74
yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan
untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.
Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman
dan hasil divestasi. Pengeluaran pembiayaan antara lain
digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman,
pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal
oleh pemerintah.
b. Neraca
Menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan
mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas
dana. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut:
a) Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau
dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu
dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan
diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk
sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa
bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara
karena alasan sejarah dan budaya.
b) Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu
yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya
ekonomi pemerintah.
75
c) Ekuitas Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang
merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah.
c. Laporan Arus Kas (LAK)
Laporan Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan
dengan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris yang
menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir
kas pemerintah pusat/daerah selama periode tertentu. Unsur yang
dicakup dalam Laporan Arus Kas terdiri dari penerimaan dan
pengeluaran kas, yang masing-masing didefinisikan sebagai berikut:
a) Penerimaan kas adalah semua aliran kas yang masuk ke
Bendahara Umum Negara/Daerah.
b) Pengeluaran kas adalah semua aliran kas yang keluar dari
Bendahara Umum Negara/Daerah.
d. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL)
Menyajikan informasi kenaikan atau penurunan Saldo Anggaran
Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
e. Laporan Operasional
Menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah
ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah
untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu periode
pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung dalam Laporan
Operasional terdiri dari pendapatan-LO, beban, transfer, dan pos-pos
luar biasa. Masing-masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut:
76
a) Pendapatan-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih.
b) Beban adalah kewajiban pemerintah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih.
c) Transfer adalah hak penerimaan atau kewajiban pengeluaran uang
dari/oleh suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan
lain, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil.
d) Pos Luar Biasa adalah pendapatan luar biasa atau beban luar biasa
yang terjadi karena kejadian atau transaksi yang bukan
merupakan operasi biasa, tidak diharapkan sering atau rutin
terjadi, dan berada di luar kendali atau pengaruh entitas
bersangkutan.
f. Laporan Perubahan Ekuitas
Menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun
pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
g. Catatan atas Laporan Keuangan
Meliputi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera
dalam Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan SAL, Laporan
Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, dan Laporan Arus
Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup informasi tentang
kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan
informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di
dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-ungkapan yang
77
diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara
wajar. Catatan atas laporan keuangan mengungkapkan atau menyajikan
atau menyediakan hal-hal sebagai berikut:
a) Mengungkapkan informasi Umum tentang Entitas Pelaporan dan
Entitas Akuntansi;
b) Menyajikan informasi tentang kebijakan fiskal/keuangan dan
ekonomi makro;
c) Menyajikan ikhtisar pencapaian target keuangan selama tahun
pelaporan berikut kendala dan hambatan yang dihadapi dalam
pencapaian target;
d) Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan
keuangan dan kebijakan-kebijakan akuntansi yang dipilih untuk
diterapkan atas transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian penting
lainnya;
e) Menyajikan rincian dan penjelasan masing-masing pos yang
disajikan pada lembar muka laporan keuangan;
f) Mengungkapkan informasi yang diharuskan oleh Pernyataan
Standar Akuntansi Pemerintahan yang belum disajikan dalam
lembar muka laporan keuangan;
g) Menyediakan informasi lainnya yang diperlukan untuk penyajian
yang wajar, yang tidak disajikan dalam lembar muka laporan
keuangan.
78
2.2 Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu yang digunakan oleh penulis untuk dijadikan sebagai bahan
acuan adalah:
1. Eka Putri Pertiwi (2010)
“Analisis Pengaruh Komponen Keahlian Internal Auditor Terhadap
Pendeteksian Dan Pencegahan Kecurangan Fraud Di Inspektorat Jenderal
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia” Metode analisis data dilakukan
dengan metode analisis regresi linear berganda yang dilakukan sebanyak dua kali
yaitu, analisis pertama dilakukan mencari pengaruh komponen keahlian internal
auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Kedua, analisis regresi dilakukan
untuk mencari pengaruh komponen keahlian internal auditor terhadap pencegahan
kecurangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 49% pendeteksian
kecurangan dijelaskan oleh komponen pengetahuan, ciri-ciri psikologis,
kemampuan berpikir, strategi penentuan keputusan, analisis tugas, pengalaman,
dan perilaku etis. Untuk pencegahan kecurangan dijelaskan sebesar 54.3% oleh
komponen pengetahuan, ciri-ciri psikologis, kemampuan berpikir, strategi
penentuan keputusan, analisis tugas, pengalaman, dan perilaku etis.Dengan
menggunakan signifikasi 0.10, hasil uji t pada analisisregresi pertama
menunjukkan bahwa variabel strategi penentuan keputusan (sig. 0.028), analisis
tugas (sig. 0.057 ), dan perilaku etis (sig. 0.006) memiliki pengaruh yang nyata
dan positif terhadap pendeteksian kecurangan. Hasil uji t pada analisis regresi
kedua menunjukkan bahwa variabel kemampuan berpikir (sig. 0.078) dan perilaku
79
etis (sig. 0.000) memiliki pengaruh yang nyata dan positif terhadap pencegahan
kecurangan.
2. Herty Safitri Yunintasari (2010)
“Pengaruh Independensi Dan Profesionalisme Auditor Internal Dalam
Upaya Mencegah Dan Mendeteksi Terjadinya Fraud” Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh independensi dan profesionalisme auditor internal
dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud. Sampel dalam penelitian
ini sebanyak 60 orang responden auditor internal yang berada di Yayasan
Pendidikan Internal Audit (YPIA). Metode yang digunakan dalam penentuan
sampel dalam penelitian ini adalah Convenience Sampling. Uji statistik yang
digunakan adalah regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel
independensi dan profesionalisme auditor internal berpengaruh signifikan dalam
upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud.
3. Silvy Wahyuni (2010)
“Analisis Peranan Audit Internal Dalam Mendeteksi Kecurangan Pada
Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan” objek pada penelitian terbatas pada
Inspektorat Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, penelitian ini dilakukan untuk
menjawab peran audit internal pemerintah dalam mendeteksi kecurangan pada
pemerintahan provinsi Sulawesi Selatan. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan studi dokumentasi dan wawancara dengan auditor dan pejabat di
Inspektorat Provinsi Sulawesi. Hasil pengumpulan data dianalisis dengan metode
kualitatif menggunakan pendekatan interpretif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa audit internal pemerintah yakni inspektorat provinsi sulawesi Selatan
80
memiliki peran yang mamadai dalam mendeteksi/menemukan dan mencegah
kecurangan dimulai dengan pemberian pendampingan, pembinaan serta
pengawasan dan pemeriksaan secara reguler atau dalam pemeriksaan tertentu.
4. Muhamad Yusuf Aulia (2013)
“Pengaruh Pengalaman, Independensi dan Skeptisisme Profesional
Auditor terhadap Pendeteksian Kecurangan” Penelitian ini memiliki dua tujuan
utama; yaitu pertama, menganalisis pengaruh pengalaman, independensi dan
skeptisme profesional auditor terhadap pendekteksian kecurangan, kedua
menganalisis variabel independen (pengalaman, independensi dan skeptisme
profesional auditor) yang paling dominan mempengaruhi variabel dependen
(pendekteksian kecurangan). Penelitian ini dilakukan pada auditor pada Kantor
Akuntan Publik di wilayah Jakarta Metode pengambilan sampel dengan
menggunakan tekhnik convenience sampling. Uji yang digunakan adalah regresi
berganda Hasil penelitian menunjukan bahwa pengalaman, independensi dan
skeptisme profesional auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pendeteksian kecurangan Berdasarkan hasil uji regresa linier berganda ditemukan
bahwa variabel yang paling dominan adalah variabel skeptisme.
5. Siti Rahayu (2015)
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh skeptisisme
profesional, keahlian profesional, pelatihan audit kecurangan, independensi, dan
pengalaman terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan di kantor
BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metoda
riset campuran dengan desain eksplanatori sequential. Fase kuantitatif melibatkan
81
73 auditor yang memiliki jabatan fungsional auditor (JFA) di kantor BPKP
Perwakilan Kalimantan Barat. Teknik yang digunakan adalah survey kuesioner
untuk selanjutnya kuesioner tersebut dianalisis dengan software smartPLS 2.0.
Hasil dari penelitian ini faktor independensi dan pelatihan audit
kecurangan berpengaruh positif signifikan terhadap kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan di lingkup BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat,
sedangkan faktor skeptisisma profesional, keahlian profesional, dan pengalaman
auditor tidak berpengaruh. Hasil kualitatif menjawab dan memperdalam temuan
tersebut. Adanya perbedaan level skeptisisma profesional, gap/ kesenjangan
keahlian auditor dan kesenjangan pengalaman antara auditor senior dan junior
sebagai dampak dari moratorium PNS menjadi permasalahan yang tanpa disadari
menghambat tugas pendeteksian kecurangan. Sementara itu, independensi dan
pelatihan audit kecurangan yang memang selama menjadi fokus utama
peningkatan kemampuan auditor terbukti mempengaruhi keberhasilan penugasan.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang
tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran
sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari
serangkaian masalah yang ditetapkan (Hamid, 2007)
Secara skematis alur kerangka pemikiran terdapat dalam Gambar 2.3
tersebut adalah sebagai berikut:
82
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
2.4 Hipotesis Penelitian
Sugiyono (2013) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah
penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis dikatakan
sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori.
Berdasarkan kerangka pemikiran pada gambar 2.3 maka penulis
merumuskan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:
Ha1 : Terdapat pengaruh tingkat skeptisisme profesional terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)
Ha2 : Terdapat pengaruh tingkat independensi terhadap kemampuan auditor
dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)
Ha3 : Terdapat pengaruh tingkat keahlian profesional terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)
Ha4 : Terdapat pengaruh tingkat pengalaman auditor terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)
Skeptisisme Profesional (X1)
Independensi (X2) Kemampuan Auditor Internal Dalam Mendeteksi dan
Mencegah Fraud (Y) Keahlian Profesional (X3)
Pengalaman (X4)