BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Internal...

70
13 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Internal Audit Internal audit adalah suatu kontrol organisasi yang mengukur dan mengevaluasi efektivitas organisasi. Informasi yang dihasilkan, ditujukan untuk manajemen organisasi itu sendiri. Auditornya digaji oleh organisasi tersebut. Auditor sering disebut internal audit dan merupakan karyawan organisasi tersebut serta bertanggung jawab terhadap pengendalian intern perusahaan demi tercapainya efesiensi, efektivitas dan ekonomis serta ketaatan pada kebijakan yang diambil oleh perusahaan atau organisasi. Fungsi internal audit adalah membantu manajemen dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kegiatan perusahaan atau organisasi. 2.1.1.1 Definisi Internal Audit Ikatan Auditor Internal (Institute of Internal Auditors – IIA) dikutip oleh Messier (2005), mendefenisikan Audit internal adalah aktivitas independen, keyakinan obyektif, dan konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal ini membantu organisasi mencapai tujuannya dengan melakukan pendekatan sistematis dan disipilin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas manajemen resiko, pengendalian, dan proses tata kelola. Definisi ini mengandung pengertian bahwa internal audit merupakan

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Internal...

13

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Internal Audit

Internal audit adalah suatu kontrol organisasi yang mengukur dan

mengevaluasi efektivitas organisasi. Informasi yang dihasilkan, ditujukan

untuk manajemen organisasi itu sendiri. Auditornya digaji oleh organisasi

tersebut. Auditor sering disebut internal audit dan merupakan karyawan

organisasi tersebut serta bertanggung jawab terhadap pengendalian intern

perusahaan demi tercapainya efesiensi, efektivitas dan ekonomis serta ketaatan

pada kebijakan yang diambil oleh perusahaan atau organisasi. Fungsi internal

audit adalah membantu manajemen dalam meningkatkan efisiensi dan

efektivitas kegiatan perusahaan atau organisasi.

2.1.1.1 Definisi Internal Audit

Ikatan Auditor Internal (Institute of Internal Auditors – IIA) dikutip

oleh Messier (2005), mendefenisikan Audit internal adalah aktivitas

independen, keyakinan obyektif, dan konsultasi yang dirancang untuk

menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal ini

membantu organisasi mencapai tujuannya dengan melakukan pendekatan

sistematis dan disipilin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas

manajemen resiko, pengendalian, dan proses tata kelola.

Definisi ini mengandung pengertian bahwa internal audit merupakan

14

suatu aktivitas yang dilakukan untuk membantu manajeman dalam

penyediaan informasi, dengan tujuan akhir yaitu menambah nilai

perusahaan. Pelaksanaan internal audit dilakukan secara independen dan

obyektif yang berarti tidak terpengaruh oleh pihak manapun dan tidak

terlibat dalam pelaksanaan kegiatan yang di audit. Hasil audit yang

diperoleh dari pelaksanaan internal audit secara independen dan obyektif

tersebut akan dapat diandalkan oleh para pengguna informasi.

Menurut Norsain (2014) Salah satu yang merupakan bagian dari

kegiatan pengendalian adalah dengan adanya internal auditor. Internal

auditor merupakan suatu fungsi penilaian yang independen, yang didirikan

dalam sebuah organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan

organisasi tersebut sebagai sebuah pelayanan terhadap organisasi tersebut.

Audit internal merupakan kegiatan penilaian bebas, dipersiapkan

dalam organisasi sebagai suatu jasa terhadap organisasi. Kegiatan ini

mengaudit dan menilai efektivitas kegiatan unit yang lain. Sawyer (2006)

mengemukakan bahwa:

“ Internal Auditing is an independent appraisal function established

within an organization to examine and evaluate it’s activities as a service to

the organization.”

Pengertian service to organization Sawyer (2006):

“ Internal auditing is as systematic, objective appraisal by internal

auditors of the diverse operations and controls within an organization to

determine whether (1) financial and operating information is accurate and

15

reliable, (2) risks to the enterprise are identified and minimized, (3) external

regulations and acceptable internal policies and producers are followed, (4)

satisfactory operating criteria are met, (5) resources are used efficiently

and economically, and (6) the organization objectives are effectively

achieved-all for the purpose of assisting member of the organization in the

effective discharge of the responsibilities.”

Secara spesifik perbedaan antara definisi baru dan definisi lama

dapat diformulasikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Perbedaan definisi baru dan definisi lama audit internal

No Definisi Lama Definisi Baru

1 Fungsi penilaian yang independen

yang dibentuk dalam suatu

organisasi

Suatu aktivitas independen dan

objektif

2 Fungsi penilaian Aktivitas pemberian jaminan

keyakinan dan konsultasi

3 Mengkaji dan mengevaluasi

aktivitas organisasi sebagai bentuk

jasa yang diberikan bagi organisasi

Dirancang untuk memberikan

suatu nilai tambah, serta

meningkatkan kegiatan operasi

organisasi

4 Membantu para anggota organisasi

agar dapat menjalankan tanggung

Membantu organisasi dalam

usaha mencapai tujuannya

16

jawabnya secara efektif

5 Memberi hasil analisis, penilaian,

rekomendasi, konseling dan

informasi yang berkaitan dengan

aktivitas yang dikaji dan

menciptakan pengendalian efektif

dengan biaya wajar

Memberikan suatu pendekatan

disiplin yang sistematis untuk

mengevaluasi dan

meningkatkan keefektifan

manajemen risiko,

pengendalian dan proses

pengaturan dan pengelolaan

organisasi

Sumber: Amin W. Tunggal (2010)

Dari beberapa definisi tentang audit internal di atas, dapat

disimpulkan beberapa poin penting yaitu:

1. Audit internal merupakan suatu fungsi penilaian independen dalam

suatu organisasi. Hal Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan

penilaian tersebut adalah anggota dari organisasi tersebut.

2. Dalam pengukuran yang dilakukan auditor internal, independensi

dan objektivitas harus dipegang.

3. Memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk

mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko

pengendalian dan proses pengelolaan organisasi.

4. Auditor internal memeriksa dan mengevaluasi seluruh kegiatan baik

finansial maupun non finansial.

17

5. Menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan

dijalankan sesuai target dalam mencapai tujuan organisasi.

2.1.1.2 Fungsi Dan Peranan Internal Audit

Menurut Sukrisno Agoes (2004) tujuan pemeriksaan yang dilakukan

oleh internal auditor adalah membantu semua pimpinan perusahaan

(manajemen) dalam melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan

analisa, penelitian, saran, dan komentar mengenai kejadian kegiatan yang

diperiksa. Kemudian dikatakan oleh Effendi (2007) profesi internal audit

mengalami perkembangan cukup berarti pada awal abad 21, dibuktikan

dengan profesi internal auditor ternyata semakin hari semakin dihargai

dalam organisasi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan

kegiatan–kegiatan berikut:

Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan

sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan

pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian

yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.

Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur-

prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen.

Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan

dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian,

kecurangan dan penyalahgunaan.

18

Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam

organisasi dapat dipercaya.

Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang

diberikan oleh manajemen.

Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka

meningkatkan efisensi dan efektifitas.

Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat

disimpulkan bahwa internal auditor antara lain memiliki peranan dalam:

a. Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention)

b. Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection)

c. Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation)

Peranan internal auditor dalam menemukan indikasi terjadinya

kecurangan dan melakukan investigasi terhadap kecurangan, sangat besar.

Jika auditor internal menemukan indikasi dan mencurigai terjadinya

kecurangan diperusahaan, maka ia harus memberitahukan hal tersebut

kepada top management. Jika indikasi tersebut cukup kuat, manajemen akan

menugaskan suatu tim untuk melakukan investigasi. Tim tersebut biasanya

terdiri dari internal auditor, lawyer, investigator, security dan spesialis dari

luar atau dalam perusahaan (misalkan ahli komputer, ahli perbankan dan

lain-lain). Hasil investigasi tim harus dilaporkan secara tertulis kepada top

management yang mencakup fakta, temuan, kesimpulan, saran dan tindakan

perbaikan yang perlu dilaporkan.

19

2.1.1.3 Wewenang Dan Tanggung Jawab Internal Auditor

Wewenang dan tanggung jawab internal auditor dalam suatu

organisasi juga harus ditetapkan secara jelas oleh pimpinan. Wewenang

tersebut harus memberikan keleluasan auditor intern untuk melakukan audit

terhadap catatan-catatan, harta milik, operasi/aktivitas yang sedang berjalan

dan para pegawai badan usaha. Hudri Chandry (2009)

Menurut Sawyer (2006) menyebutkan bahwa : “Standar for the

professional practice of internal auditing (standards)” menyatakan

tanggung jawab auditor internal adalah dimana internal auditor hendaknya

melaksanakan kecermatan dan keseksamaan profesional dalam

melaksanakan internal audit, dimana kecermatan dan keseksamaan

professional yang diharapkan dari seorang internal auditor disini adalah

kecermatan dan keseksamaan yang bijaksana, hati-hati dan kompeten dalam

situasi yang sama. Yang mana dalam melakukan kecermatan dan

keseksamaan profesional, internal auditor harus mewaspadai kemungkinan

adanya indikasi penyelewengan internal. ”Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)

menyatakan secara lebih terperinci mengenai tanggungjawab internal

auditor dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) (2001) internal

auditor bertanggungjawab untuk menyediakan jasa analisis dan evaluasi,

memberikan keyakinan, rekomendasi dan informasi kepada manajemen

entitas dan dewan komisaris atau pihak lain yang setara wewenang dan

tanggungjawabnya tersebut. Internal auditor mempertahankan

objektivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya.

20

Menurut Amin W. Tunggal (2010) tanggung jawab internal auditor

adalah menerapkan program audit internal, mengarahkan personel, dan

aktivitas-aktivitas departemen audit internal juga menyiapkan rencana

tahunan untuk pemeriksaan semua unit perusahaan dan menyajikan program

yang telah dibuat untuk persetujuan. Secara garis besar dan tanggungjawab

seorang internal auditor di dalam melaksanakan tugasnya adalah sebagai

berikut:

1. Memberikan informasi dan saran-saran kepada manajemen atas

kelemahan-kelemahan yang ditemukannya.

2. Mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas yang ada dalam perusahaan

untuk mencapai tujuan audit dan tujuan organisasi atau perusahaan.

Kedudukan internal auditor dalam struktur organisasi sangat

mempengaruhi keberhasilannya menjalankan tugas, sehingga dengan

kedudukan tersebut memungkinkan internal auditor dapat melaksanakan

fungsinya dengan baik serta dapat bekerja dengan luwes dalam arti

independen dan objektif. Struktur organisasi penetapan bagian internal

auditor secara jelas disertai dengan job description yang jelas akan

membawa dampak yang positif dalam proses komunikasi antara internal

auditor dengan pihak pemilik perusahaan atau manajer. Namun sebaliknya,

penempatan yang tidak jelas akan menghambat jalannya arus pelaporan dari

internal auditor karena itu perlu ditentukan secara tegas kedudukan internal

auditor ini.

21

Menurut Sawyer (2006) untuk mencapai tujuannya masing-masing,

auditor internal dapat melakukan beberapa pendekatan yang berbeda yakni:

a. Audit Komprehensif, istilah ini pertama kali digunakan oleh General

Accounting Office (GAO) Amerika Serikat untuk menggambarkan audit

atas semua aktivitas yang terdapat pada entitas pemerintah. Audit

komprehensif merupakan perluasan yang dilakukan GAO atas audit

terhadap aktivitas operasi.

b. Audit Berorientasi Manajemen, penelaahan atas semua aktivitas sesuai

dengan perspektif manajer atau konsultan manajemen. Audit

berorientasi manajemen dibedakan dari jenis-jenis lainnya berdasarkan

cara pandangnya, bukan dari segi prosedur audit. Audit berorientasi

manajemen memfokuskan diri pada membantu organisasi mencapai

tujuannya. Hasil yang signifikan adalah membantu manajer mengelola

perusahaan dengan lebih baik dan untuk membuat manajer, bukan

auditor, kelihatan baik. Audit berorientasi manajemen jangan

disamakan dengan “audit manajemen”, yang merupakan audit atas

manajer itu sendiri. Auditor professional menghindari implikasi seperti

ini karena penilai sejati atas manajer adalah atasan mereka sendiri.

c. Audit Partisipatif, proses yang melibatkan bantuan klien dalam

mengumpulkan data, mengevaluasi operasi, dan mengoreksi masalah.

Jadi audit ini merupakan kemitraan untuk menyelesaikan masalah,

sehingga terkadang disebut audit kemitraan.

22

d. Audit Program, penelaahan atas seluruh program, baik perusahaan

publik maupun privat, untuk menentukan apakah manfaat yang

diinginkan telah tercapai. Program dalam istilah ini berarti serangkaian

rencana dan prosedur untuk mencapai hasil akhir yang ditentukan.

Istilah tersebut berbeda dari penelaahan atas aktivitas secara terus-

menerus dalam sebuah perusahaan.

Internal auditor dalam setiap pelaksanaannya menurut Amin W

Tunggal (2010) dituntuk untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar yang

diantaranya:

1) Integritas internal auditor membentuk kepercayaan sehingga memberi

dasar untuk mengandalkan penilaian mereka.

2) Objektivitas internal auditor menampilkan objektivita professional

tertinggi alam mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan

informasi tentang aktivitas atau proses yang sedang diuji. Internal

auditor membuat penilain yang seimbang atas semua kondisi yang

relevan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan mereka atau pihak lain

dalam membuat penilian.

3) Kerahasiaan internal auditor menghargai nilai dan kepemilikan

informasi yang mereka terima dan tidak mengunggkapkan informasi

tanpa wewenang yang tepat kecuali ada kewajiban hukum atau

professional untuk melakukannya.

4) Kompetensi Internal auditor menggunakan pengetahuan, keterampilan,

dan pengalaman yang dibutuhkan dalam kinerja jasa internal audit.

23

2.1.1.4 Tahap-Tahap Auditor

Tahap pekerjaan audit internal menurut Amin W. Tunggal (2010)

terdiri atas lima proses:

a. Audit Planning dan Risk Analysis

Dalam tahap ini proses audit memfokuskan perencanaan bahwa apa

yang seharusnya dilakukan, di mana, dan kapan dilakukan. Adapun poin

penting dalam tahap ini adalah menganalisis penilaian audit, mengumpulkan

fakta tentang wilayah audit, analisis risiko kinerja, mengidentifikasi bukti

audit, menuliskan secara detail objek yang diaudit, mengembangkan

program kerja audit, menentukan jadwal serta membagi pekerjaan kepada

staf.

b. Preliminary Survey

Dalam tahap ini seorang auditor menentukan segala aspek terhadap

wilayah audit yang terdiri dari program, fungsi, entitas atau yang diaudit.

Poin penting dalam tahap ini yaitu: mengetahui latar belakang informasi,

menelusuri wilayah aktivitas, menentukan segala kemungkinan alasan dan

dokumentasi, dan menggunakan hasil survey secara efektif.

c. Audit Field Work

Audit kerja lapangan yaitu usaha yang dilakukan oleh auditor

internal dalam membentuk suatu opini dan menghadirkan, serta

merekomendasikan tentang wilayah audit. Dalam tahap ini terdapat dua hal

utama yaitu: mengevaluasi sistem pengendalian internal, serta mendesain tes

audit.

24

d. Audit Finding dan Recomendation

Adanya temuan merupakan pernyataan dari kondisi yang

menyatakan suatu fakta. Temuan audit yang baik tergantung pada kualitas

kerja lapangan seorang auditor dan dilengkapi dengan kertas kerja. Terdapat

empat poin penting dalam tahap ini: mengembangkan temuan audit,

mendokumentasikan temuan audit, dan melakukan penutupan (closing).

e. Reporting

Reporting merupakan bagian yang terpenting dalam tahap proses

audit internal. Banyak yang mampu menulis sebuah report, tapi tak satupun

yang mampu menulisnya dengan benar. Empat poin penting dalam tahap

ini: outline report, menulis draf awal, mengedit draf dan menuliskan final

report.

f. Follow Up

Dalam tahap ini dilakukan pengoreksian terhadap kontrol yang

lemah yang telah diidentifikasi oleh internal audit dan dilaporkan kepada

manajemen. Ada dua hal penting pada tahap ini: kebutuhan akan follow up

atau tindak lanjut dan melakukan tindak lanjut terhadap audit.

2.1.1.5 Skeptisisme Profesional

Skeptisisme, berasal dari kata skeptis, dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (Pusat Bahasa, 2008) dan kamus Oxford (Hornby, 1980) berarti

sikap meragukan, mencurigai, dan tidak memercayai kebenaran suatu hal,

teori, ataupun pernyataan. Dalam buku istilah akuntansi dan auditing,

skeptisisme berarti bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang

25

belum cukup kuat dasar-dasar pembuktiannya (Islahuzzaman, 2012).

Sedangkan profesional, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(PusatBahasa, 2008) adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, yang

membutuhkan keahlian khusus untuk menerapkannya. Kata profesional

dalam skeptisisme profesional merujuk pada fakta bahwa auditor telah, dan

terus dididik dan dilatih untuk menerapkan keahliannya dalam mengambil

keputusan sesuai standar profesionalnya (Quadackers, 2009). Skeptisisme

profesional sendiri belum memiliki definisi yang pasti (Quadackers, 2009),

namun dari definisi kata skeptisisme dan profesional tersebut, dapat

disimpulkan bahwa skeptisisme profesional auditor adalah sikap auditor

yang selalu meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, dan menilai

secara kritis bukti audit serta mengambil keputusan audit berlandaskan

keahlian auditing yang dimilikinya. Skeptisisme bukan berarti tidak

percaya, tapi mencari pembuktian sebelum dapat memercayai suatu

pernyataan (Center for Audit Quality, 2010).

Secara khusus dalam audit, Standar Profesional Akuntan Publik

(IAPI, 2011) menjelaskan bahwa skeptisisme profesional adalah sikap yang

selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi bukti audit secara kritis.

Pengertian serupa dipaparkan dalam International Standards on Auditing

(IAASB, 2009), skeptisisme profesional adalah sikap yang meliputi pikiran

yang selalu bertanya-tanya (questioning mind), waspada (alert) terhadap

kondisi dan keadaan yang mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji

material yang disebabkan oleh kesalahan atau kesengajaan (fraud), dan

26

penilaian (assessment) bukti-bukti audit secara kritis. Konsep skeptisisme

profesional yang tercermin dalam standar tersebut adalah sikap selalu

bertanya-tanya, waspada, dan kritis dalam melaksanakan seluruh proses

audit.

Untuk menerapkan skeptisisme profesional yang efektif, perlu

dibentuk persepsi bahwa bahkan sistem pengendalian internal yang paling

baik memiliki celah dan memungkinkan terjadinya fraud (Center for Audit

Quality, 2010). Hanya saja, dalam menerapkan skeptisisme profesional,

auditor tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen klien melakukan

praktik yang bersih, namun tidak juga berprasangka bahwa manajemen

klien melakukan fraud (Anugerah dkk, 2011). Menurut Louwers (2011),

skeptisisme profesional adalah kecenderungan auditor untuk tidak

menyetujui asersi manajemen tanpa bukti yang menguatkan, atau

kecenderungan untuk meminta manajemen memberikan fakta atas asersinya

(disertai bukti). Basu (2009) menambahkan bahwa skeptisisme profesional

auditor hendaknya tidak menjadi kecurigaan yang berlebihan atau membuat

auditor sepenuhnya menjadi skeptis. Dalam hal ini, auditor yang memiliki

skeptisisme profesional akan menerapkan sikap skeptisnya hanya sebatas

melaksanakan tugas profesinya saja, tanpa sepenuhnya menjadi skeptis.

Oleh karena itu, dengan adanya skeptisisme profesional dalam diri auditor

akan mengakibatkan, sebagai contoh, auditor memberikan pertanyaan lebih

dari yang biasa yang bersifat investigatif, menganalisa jawaban-jawaban

27

dengan kritis dan secara hati-hati membandingkan hasil analisisnya dengan

bukti-bukti yang diperoleh.

2.1.1.5.1 Pentingnya Skeptisisme Profesional

Pentingnya skeptisisme profesional banyak ditekankan oleh

berbagai jenis profesi. Umumnya profesi yang membutuhkan skeptisisme

profesional adalah profesi yang berhubungan dengan pengumpulan dan

penilaian bukti-bukti secara kritis, dan melakukan pertimbangan

pengambilan keputusan berdasarkan bukti yang dikumpulkan. Profesi-

profesi yang dirujuk antara lain, detektif, polisi, auditor, pengacara dan

hakim, dan penyelidik. Namun, dari berbagai bidang profesi dan

akademis yang membutuhkan skeptisisme profesional, hanya auditor

yang menyaratkan skeptisisme profesional dalam standar profesionalnya

(Hurtt, 2003).

Seperti yang tercantum dalam SPAP seksi 230 (IAPI, 2011),

skeptisisme profesional merupakan unsur yang terkandung dalam Standar

Umum ketiga mengenai penggunaan kemahiran profesional dengan

cermat dan seksama dalam pelaksanaan pekerjaan auditor (due

professional care). Due professional care merupakan komponen yang

penting dalam proses audit. Banyak diskusi telah dilakukan mengenai

praktik kerja yang dilakukan oleh manajemen audit, supervisor, dan staff

untuk menekankan pentingnya due professional care. Pendapat ini

diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman (dalam

Bawono, 2010) dan Louwers dkk (2008) yang menyimpulkan bahwa due

28

professional care merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap

kualitas audit, dan kegagalan audit cenderung disebabkan karena

kurangnya sikap skeptisisme profesional auditor dan due professional

care. Oleh karena itu, skeptisime profesional dan due professional care

adalah prinsip yang fundamental dalam semua tindakan yang dilakukan

auditor eksternal (Center for Audit Quality, 2010). Selain meningkatkan

kualitas audit dan mendeteksi terjadinya fraud, skeptisisme profesional

auditor juga berperan dalam mencegah terjadinya fraud. Penemuan Chen

dkk (2009) mempertegas pentingnya skeptisisme profesional auditor

yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan audit (audit actions) karena

dapat mengurangi kecenderungan manajer untuk melakukan fraud.

Dalam International Standards on Auditing 200 (IAASB, 2009)

juga ditekankan pentingnya skeptisisme profesional. Disebutkan bahwa

auditor harus merencanakan dan melaksanakan proses audit berlandaskan

skeptisisme profesional dengan menyadari kemungkinan terjadinya

kesalahan material dalam laporan keuangan. Pekerjaan auditor selalu

berhubungan dengan pembuktian dan pencarian kebenaran bukti-bukti

dari dokumen dan kertas kerja, dan dari prosedur standar yang mereka

anut, namun hal ini bukan berarti auditor hanya bekerja untuk memenuhi

prosedur standar yang ada, terutama saat ditemukannya bukti-bukti yang

penting (Peursem, 2010), karena tanpa keberanian untuk beradu

argumentasi mengenai asersi manajemen, auditor tidak akan dapat

menjalankan fungsinya sebagai pencegah dan pendeteksi fraud (Financial

29

Reporting Council, 2010). Untuk itu auditor harus mampu menerapkan

tingkat skeptisisme profesional yang tepat.

Penerapan tingkat skeptisisme dalam audit sangatlah penting

karena dapat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi audit. Skeptisisme

yang terlalu rendah akan memperburuk efektivitas audit, sedangkan

terlalu tinggi akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan (Financial

Reporting Council, 2010). Oleh karena itu, dalam melaksanakan audit,

auditor seharusnya tidak serta-merta membuat pola pikir bahwa dalam

informasi keuangan yang disediakan manajemen terdapat salah saji

material atau kecurangan yang disengaja. Namun, seiring dengan proses

pengumpulan bukti-bukti audit, auditor dapat meningkatkan

kewaspadaannya jika terdapat kemungkinan informasi keuangan tersebut

memiliki salah saji material atau kecurangan yang disengaja.

Skeptisisme profesional sangat diperlukan untuk meningkatkan

kualitas audit, karena dengan bersikap skeptis, auditor akan lebih

berinisiatif untuk mencari informasi lebih lanjut dari manajemen

mengenai keputusan-keputusan akuntansi yang diambil, dan menilai

kinerjanya sendiri dalam menggali bukti-bukti audit yang mendukung

keputusan-keputusan yang diambil oleh manajemen tersebut (Financial

Reporting Council, 2010). Auditor perlu menerapkan skeptisisme

profesional dalam mengevaluasi bukti audit. Dengan begitu, auditor tidak

menerima bukti-bukti audit tersebut apa adanya, tetapi memperkirakan

kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, seperti bukti yang

30

diperoleh dapat menyesatkan, tidak lengkap, atau pihak yang

menyediakan bukti tidak kompeten bahkan sengaja menyediakan bukti

yang menyesatkan atau tidak lengkap. Semakin tinggi risiko audit atau

semakin besar risiko salah saji material, maka auditor perlu menerapkan

skeptisisme profesional yang tinggi juga (Financial Reporting Council,

2010).

Faktanya, skeptisisme profesional dalam auditing adalah penting

karena: (1) Skeptisisme profesional merupakan syarat yang harus

dimiliki auditor yang tercantum di dalam standar audit (SPAP), (2).

Perusahaan-perusahaan audit internasional menyaratkan penerapan

skeptisisme profesional dalam metodologi audit mereka, (3). Skeptisisme

profesional merupakan bagian dari pendidikan dan pelatihan auditor, dan

(4). Literatur akademik dan profesional di bidang auditing menekankan

pentingnya skeptisisme profesional (Quadackers, 2009). Selain itu,

banyak studi kasus yang oleh SEC (Security and Exchange

Commissions) dilaporkan sebagai kegagalan auditor dalam mendeteksi

salah saji material sebagai hasil dari kurangnya skeptisisme profesional,

contohnya skandal Enron, WorldCom, Adelphia, dan Global Crossing

(Quadackers, 2009).

2.1.1.6 Independensi Auditor

Menurut Arens (2009) mendefinisikan independensi adalah cara

pandang yang tidak memihak didalam pelaksanaan pegujian evaluasi hasil

pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Dari definisi tersebut dapat

31

diambil kesimpulan mengenai definisi independensi akuntan publik adalah

sikap pikiran dan sikap mental akuntan publik yang jujur dan ahli, serta

bebas dari bujukan, pengaruh, dan pengendalian pihak lain dalam

melaksanakan perencanaan, penilaian, dan pelaporan hasil pemeriksaan.

Menurut Arens dan Loebbecke (2009) mengemukakan bahwa:

“A member in public practice shall be independence in the

performance a professional service as require by standards promulgated by

bodies designated by a council.”

“Anggota yang ada didalam praktik publik harus independen dalam

kinerja layanan professional seperti yang dipersyaratkan oleh standar yang

dikeluarkan oleh badan yang ditunjuk oleh dewan.”

Sedangkan menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009)

mengemukakan independensi sebagai berikut : “Independensi dalam audit

berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian,

evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Sikap mental

independen tersebut harus meliputi Independece in fact dan independence in

appearance.”Independence in fact menurut siti Kurnia Rahayu dan Ely

Suhayati (2009) adalah sebagai berikut : “Independen dalam kenyataan akan

ada apabila pada kenyataan auditor mampu mempertahankan sikap yang

tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu

kejujuran yang tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan

pendapatnya, hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta

yang dipakai sebagai dasar pemberiaan pendapat, auditor harus objektif dan

32

tidak berprasangka.” Independence in appearance menurut siti Kurnia

Rahayu dan Ely Suhayati (2009) adalah sebagai berikut : “Independen

dalam penampilan adalah hasil interpretasi pihak lain mengenai

independensi ini. Auditor akan dianggap tidak independen apabila auditor

tersebut memiliki hubungan tertentu (misalnya hubungan keluarga) dengan

kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa auditor tersebut akan

memihak kliennya atau tidak independen.” Menurut Islahuzzaman (2012)

menyatakan “Auditor yang independen adalah auditor yang tidak

dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor dalam

mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam auditor”. Independensi

lebih banyak ditentukan faktor luar diri auditor.

Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli,

independensi adalah sikap pikiran dan sikap mental yang tidak memihak

dan tidak dikendalikan oleh pihak lain didalam pelaksanaan pengujian,

evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit yang sesuai

dengan aturan atau prinsip-prinsip profesionalnya. Lalu menurut Mulyadi

(2006) mengungkapkan keadaan yang sering mengganggu sikap mental

independen seorang auditor adalah :

1) Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor

dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut.

2) Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecendrungan untuk

memuaskan keinginan kliennya.

33

3) Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat

menyebabkan lepasnya klien.

Arens (2009) menyatakan bahwa audit dilakukan oleh orang yang

kompeten, independen dan objektif atau disebut sebagai auditor.

Berdasarkan kelompok atau pelaksana audit, auditor dibagi 3 jenis yaitu:

1) Auditor ekstern/independen bekerja untuk kantor akuntan publik yang

statusnya diluar struktur perusahaan yang mereka audit. Pada

umumnya, auditor ekstern menghasilkan Laporan Hasil Audit atas

Laporan Keuangan.

2) Auditor intern bekerja untuk perusahaan yang mereka audit. Laporan

Hasil Audit Operasional/Manajemen umumnya berguna bagi

manajemen perusahaan yang diaudit dalam melakukan perbaikan

kinerja perusahaan. Oleh karena itu tugas internal auditor biasanya

adalah audit operasional/manajemen.

3) Auditor Pemerintah yaitu auditor yang bekerja untuk kepentingan

pemerintah, misalnya di bidang perpajakan atau audit terhadap dana-

dana yang bersumber dari pemerintah. Auditor yang profesional akan

merencanakan audit sebaik-baiknya, mempertimbangkan risiko yang

timbul dan melakukan pengumpulan serta pengujian bukti secara

cermat.

Supriyono (1988) membuat kesimpulan mengenai pentingnya independensi

akuntan publik sebagai berikut :

34

1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi

akuntan publik untuk memulai kewajaran informasi yang disajikan oleh

manajemen kepada pemakai informasi.

2. Independensi diperlukan oleh akuntan publik untuk memperoleh

kepercayaan dari klien dan masyarakaat, khususnya para pemakai

laporan keuangan.

3. Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang

tertentu.

4. Keterampilan, yaitu kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang

berkaitan dengan fisik dan mental.

Menurut Standar Kompetensi Auditor (BPKP: 2010), disebutkan

bahwa auditor harus memiliki kemampuan mencakup:

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan fakta, informasi, dan keahlian yang

diperoleh seseorang melalui pendidikan, baik secara teori maupun

pemahaman praktis. Kompetensi dalam aspek pengetahuan merupakan

pengetahuan di bidang pengawasan yang harus dimiliki oleh seluruh auditor

di semua tingkat atau jenjang jabatan. Perolehan pengetahuan melibatkan

proses kognitif yang kompleks meliputi: persepsi, pembelajaran,

komunikasi, asosiasi dan argumentasi. Dalam Taksonomi Bloom,

pengetahuan masuk dalam ranah kognitif yangberisi perilaku-perilaku yang

menekankan aspek intelektual.

35

2. Keterampilan/Keahlian (Skill)

Keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan tugas

dengan baik atau lebih baik dari rata-rata. Dalam Taksonomi Bloom,

keterampilan masuk dalam ranah psikomotor yang berisi perilaku-perilaku

yang menekankan aspek keterampilan motorik. Kompetensi dari aspek

keterampilan/keahlian merupakan keterampilan/keahlian dibidang bidang

pengawasan yang harus dimiliki oleh seluruh auditor di semua tingkat atau

jenjang jabatan.

3. Sikap Perilaku (Attitude)

Sikap perilaku mewakili rasa suka atau tidak seseorang pada suatu

hal. Dalam Taksonomi Bloom, sikap perilaku masuk dalam ranah afektif

yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi,

seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Kompetensi dari

aspek sikap perilaku merupakan sikap perilaku yang harus dimiliki oleh

seluruh auditor di sumua tingkat atau jenjang jabatan. Selain hal tersebut,

dalam Standar Kompetensi Auditor pasal 3 ayat (2), auditor wajib

mempertahankan Kompetensinya melalui Pendidikan dan Pelatihan

Profesional Berkelanjutan (Continuing Professional Education) guna

menjamin Kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan organisasi

dan perkembangan lingkungan pengawasan. Pendidikan dan Pelatihan

Profesional Berkelanjutan diperoleh melalui keanggotaan dan partisipasi

dalam asosiasi profesi, pendidikan sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor

(JFA), konferensi, seminar, kursus-kursus, program pelatihan di kantor

36

sendiri dan partisipasi dalam proyek penelitian yang memiliki substansi di

bidang pengawasan. Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel kompetensi

auditor internal dalam penelitian dapat diukur dengan beberapa indikator

sebagai berikut:

a. Pengetahuan yang dimiliki

b. Keterampilan/keahlian yang dimiliki

c. Sikap perilaku yang dimiliki

d. Pendidikan dan pelatihan professional berkelanjutan.

2.1.1.7 Keahlian Profesional

Bedard (1986) dalam Lastanti (2005) mengartikan keahlian atau

kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan

prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Sementara

itu dalam artikel yang sama, Shanteau (2005) mendefinisikan keahlian

sebagai orang yang memiliki ketrampilan dan kemampuan pada derajad

yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan

pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif,

cermat dan seksama.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara No. Per/05/M.Pan/03/2008 tanggal 31 maret 2008 menyatakan

auditor harus mempunyai pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan

kompetensi lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung

jawabnya.

37

Pimpinan APIP harus yakin bahwa latar belakang pendidikan dan

kompetensi teknis auditor memadai untuk pekerjaan audit yang akan

dilaksanakan. Oleh karena itu, pimpinan APIP wajib menciptakan kriteria

yang memadai tentang pendidikan dan pengalaman dalam mengisi posisi

auditor di lingkungan APIP.

Auditor APIP harus mempunyai tingkat pendidikan formal minimal

Strata Satu (S-1) atau yang setara. Agar tercipta kinerja audit yang baik

maka APIP harus mempunyai kriteria tertentu dari auditor yang diperlukan

untuk merencanakan audit, mengidentifikasi kebutuhan profesional auditor

dan untuk mengembangkan teknik dan metodologi audit agar sesuai dengan

situasi dan kondisi yang dihadapi unit yang dilayani oleh APIP. Untuk itu

APIP juga harus mengindentifikasi keahlian yang belum tersedia dan

mengusulkannya sebagai bagian dari proses rekrutmen. Aturan tentang

pendidikan formal minimal dan pelatihan yang diperlukan harus dievaluasi

secara periodik guna menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang

dihadapi unit yang dilayani oleh APIP.

Disamping wajib memiliki keahlian tentang standar audit, kebijakan,

prosedur dan praktik – praktik audit, auditor harus memiliki keahlian yang

memadai tentang lingkungan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan

fungsi unit yang dilayani oleh APIP. Dalam hal auditor melakukan audit

terhadap sistem keuangan, catatan akuntansi dan laporan keuangan, maka

auditor wajib mempunyai keahlian atau mendapatkan pelatihan di bidang

akuntansi sektor publik dan ilmu – ilmu lainnya yang terkait dengan

38

akuntabilitas audit. APIP pada dasarnya berfungsi melakukan audit di

bidang pemerintahan, sehingga auditor harus memiliki pengetahuan yang

berkaitan dengan administrasi pemerintahan.

Auditor harus mempunyai sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor

(JFA) dan mengikuti pendidikan dan pelatihan profesional berkelanjutan

(continuing profesional education) sesuai dengan jenjangnya. Pimpinan

APIP wajib memfasilitasi auditor untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan

serta ujian setifikasi seusai dengan ketentuan. Dalam pengusulan auditor

untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan seusai dengan jenjangnya,

pimpinan APIP mendasarkan keputusannya pada formasi yang dibutuhkan

dan persyaratan administrasi lainnya seperti kepangkatan dan pengumpulan

angka kredit yang dimilikinya.

Auditor wajib memiliki pengetahuan dan akses atas informasi

teraktual dalam standar, metodologi, prosedur dan teknik audit. Pendidikan

profesional berkelanjutan dapat diperoleh melalui keanggotaan dan

partisipasi dalam asosiasi profesi, pendidikan sertifikasi jabatan fungsional

auditor, konferensi, seminar, kursus – kursus, program pelatihan di kantor

sendiri dan partisipasi dalam proyek penelitian yang memiliki substansi di

bidang pengauditan.

APIP dapat menggunakan tenaga ahli apabila APIP tidak

mempunyai keahlian yang diharapkan untuk melaksanakan penugasan,

dimana pimpinan APIP menggunakan arahan dan bantuan dari pihak yang

berkompeten dalam hal auditor tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan

39

dan lain – lain kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan seluruh

atau sebagian penugasan. Tenaga ahli yang dimaksud dapat merupakan

aktuaris, penilai (appraiser), pengacara, insinyur, konsultan lingkungan,

profesi medis, ahli statistik maupun geologi. Tenaga ahli tersebut dapat

berasal dari dalam maupun dari luar organisasi.

2.1.1.8 Pengalaman Auditor

Pengalaman kerja seseorang menunjukkan jenis-jenis pekerjaan

yang telah dilakukan seseorang dan memberi peluang besar bagi seseorang

untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. Semakin luas pengalaman kerja

seseorang, semakin trampil seseorang dalam melakukan pekerjaan dan

semakin sempurna pula pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Abriyani Puspaningsih, 2004).

Pengalaman merupakan cara pembelajaran yang baik bagi auditor

internal yang akan menjadikan auditor kaya akan teknik audit. Semakin

tinggi pengalaman auditor, maka semakin mampu dan mahir auditor

menguasai tugasnya sendiri maupun aktivitas yang diauditnya. Pengalaman

juga membentuk auditor mampu menghadapi dan menyelesaikan hambatan

maupun persoalan dalam pelaksanaan tugasnya, serta mampu

mengendalikan kecenderungan emosional terhadap pihak yang diperiksa.

Selain pengetahuan dan keahlian, pengalaman auditor memberi kontribusi

yang relevan dalam meningkatkan kompetensi auditor.

40

2.1.1.9 Pengawasan Intern Pemerintah

Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang

penting dalam penyelengaraan pemerintahan untuk mewujudkan

kepemerintahan yang baik. Dalam rangka mewujudkan kepemerintahan

yang baik, berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab

diperlukan adanya Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang

berkualitas dan auditor yang profesional. Melalui pengawasan intern dapat

diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan

sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai

dengan rencana kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. (Standar

Audit Apip, 2008)

Pengawasan intern di lingkungan Departemen Kementrian Dan

Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dilaksanakan oleh

Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Utama/Inspektorat untuk kepentingan

Menteri/Pimpinan LPND dalam upaya pemantauan terhadap kinerja unit

organisasi yang ada dalam kendalinya. Pelaksanaan fungsi Inspektorat

Jenderal dan Inspektorat Utama tidak terbatas pada fungsi audit tetapi juga

fungsi pembinaan terhadap pengelolaan keuangan negara. (Standar Audit

Apip, 2008)

Hasil kerja APIP diharapkan bermanfaat bagi pimpina dan unit-unit

kerja sert penguna lainnya untuk meningkatkan kinerja organisasi secara

keseluruhan. Hasil kerja ini akan dapat digunakan dengan penuh keyakinan

jika pemakai jasa mengetahui dan mengakui tingkat profesionalisme auditor

41

yang bersangkutan. Untuk memastikan dan memberi jaminan yang memadai

(quality assurance) apakah audit yang dilaksanakan telah sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan maka perlu dilakukan pengendalian mutu

terhadap mutu audit yang dilakukan oleh APIP. Dengan diikutinya standar

tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan audit akan

memberikan hasil yang dapat diyakini validitas dan keakuratannya. (Standar

Audit Apip, 2008)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang sistem

Pengendalian Intern Pemerintahan:

“Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu,

evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain terhadap

penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan

keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan secara efektif

dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam rangka mewujudkan

kepemerintahan yang baik”

“Inspektorat Jenderal dengan nama lain yang secara fungsional

melaksanakan pengawasan intern adalah Aparat Pengawasan Intern

Pemerintahan yang bertanggungjawab langsung kepada menteri/pimpinan

lembaga”

2.1.2 Fraud (Kecurangan)

Dalam literatur akuntansi dan auditing, fraud diterjemahkan sebagai

praktik kecurangan dan fraud sering diartikan sebagai irregularity atau

42

ketidakteraturan dan penyimpangan. Salah satu definisi fraud menurut Black

Law Dictionary (dikutip dalam buku Diaz Priantara, 2013) yaitu :

“ The intentional use of deceit, a trick or some dishonest means to

deprive another of his money, property or legal right, either as a cause of

action or as a fatal element in the action itself ”

Definisi lainnya menurut Black Law Dictionary adalah:

(1) A knowing misrepresentation of the truth or concealment of

material fact to induce another to act to his or her detriment; is usual a tort,

but in some cases (especially when the conduct is willful) it may be a crime; (2)

a misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce

another person to act; (3) a tort arising from knowing misrepresentation,

concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to induce

another to act to his or her detriment.

Sedangkan fraud menurut standar the institute of internal auditors

tahun 2013, yaitu:

Any illegal act characterized by deceit, concealment, or violation of

trust. These acts are not dependent upon the threat of violence or physical

force. Frausds are perpetrate by parties and organizations to obtain : money,

property, or services; to avoid payment or loss of services; or to secure

personal or business advantage.

Fraud itu sendiri merupakan suatu perbuatan melawan hukun yang

dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau luar organisasi, dengan maksud

untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara

43

langsung merugikan pihak lain. Kamus Hukum mengartikan Fraud (Inggris)

atau Fraude (Belanda) sebagai kecurangan atau Frauderen/Verduisteren

(Belanda) yaitu perbuatan menggelapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal

278 KUHP dan 268 KUHP. (Diaz Priantara, 2013)

2.1.2.1 Teori Terjadinya Fraud (Kecurangan)

Fraud pada dasarnya tidak begitu saja terjadi dalam suatu

perusahaan. Namun fraud dapat terjadi karena berbagai penyebab dan

kemungkinan yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan fraud.

Berikut ini teori yang penulis gunakan sebagai referensi untuk melihat

bagaimana fraud itu bisa terjadi.

2.1.2.1.1 Segitiga Fraud (Fraud Triangle)

Gambar 2.1 Segitiga Fraud (Fraud Triangle)

Sumber: Diaz Priantara (2013)

Menurut Diaz Priantara (2013) terdiri dari tiga kondisi yang

umumnya hadir pada saat fraud terjadi:

1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud (pressure)

Tekanan dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu :

44

a. Masalah keuangan

b. Terlibat perbuatan kejahatan atau tidak sesuai dengan norma

c. Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan

d. Tekanan-tekanan lain

2. Peluang atau kesempatan untuk melakukan fraud (opportunity)

a. Sistem pengendalian internal yang lemah

b. Tata kelola organisasi buruk

3. Dalih untuk membenarkan tindakan fraud (rationalization)

Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas

aktifitasnya yang mengandung fraud. Para pelaku fraud meyakini

atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan suatu fraud tetapi

adalah suatu yang memang merupakan haknya, bahkan kadang

pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk

organisasi.

Segitiga Fraud (Fraud Triangle) menurut Tuanakotta (2007)

terdiri dari tiga kondisi yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi:

1. Tekanan (pressure)

Tekanan (pressure) yang dirasakan pelaku kecurangan yang

dipandangnya sebagai kebutuhan keuangan yang tidak dapat

diceritakannya kepada orang lain (percived non-shareble financial need).

Berikut merupakan faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya

tekanan:

45

a. Tingkat persaingan yang kuat atau kejenuhan pasar (market

saturation) yang diiringi dengan menurunnya margin

keuntungan.

b. Kerawanan yang tinggi karena perubahan yang cepat, misalnya

dalam teknologi, keusangan produk, atau tingkat bunga.

c. Permintaan (akan produk atau jasa yang dijual) merosot dan

kegagalan usaha meningkat dalam industri itu atau

perekonimian secara keseluruhan.

d. Kerugian operasional yang mengancam kebangkrutan, penyitaan

aset yang dianggunkan ke bank, atau hostile takeover

(pengambilalihan saham melalui penawaran untuk membeli

saham dari pemegang saham yang bukan pengendali).

e. Arus kas negatif atau ketidak mampuan menghasilkan arus kas

dari kegiatan usaha, meskipun entitas itu melaporkan laba dan

pertumbuhan laba.

f. Pertumbuhan besar-besaran atau tingkat keuntungan yang tidak

biasa, khususnya dibandingkan dengan perusahaan lain dalam

industri yang sama.

g. Persyaratan dan ketentuan akuntansi, ketentuan perundangan,

atau aturan regulator yang baru.

Selain hal-hal di atas manajemen mengalami tekanan yang kuat untuk

memenuhi harapan pihak ke tiga mengenai hal-hal berikut:

46

a. Harapan tentang tingkat keuntungan atau tingkat kecenderungan

(trend level) dari analis penanaman (investment analysts),

penanaman modal institusional (institutional investors), kreditur

utama, atau pihak-pihak lain. Harapan ekspektasi ini bisa

disebabkan oleh manajemen, misalnya press release atau pesan-

pesan dalam laporan tahunan yang optimistis.

b. Kebutuhan akan pembelanjaan dengan tambahan utang atau

modal agar tetap kompetitif termasuk pembelajaan riset dan

pengembangan atau pembelian aset tetap (capital expenditures)

besar-besaran.

c. Kemampuan terbatas untuk memenuhi persyaratan pendaftaran

di pasar modal (exchage listing requirements) atau membayar

kembali utang atau ketentuan lain dalam akan kredit (debt

covenant).

2. Peluang (perceived opportunity)

Peluang (perceived opportunity) adalah peluang untuk melakukan

kecurangan seperti yang dipersepsikan pelaku kecurangan. Sifat industri

atau kegiatan entitas yang berpeluang melakukan pelaporan keuangan

curang melalui:

a. Traksi dengan pihak terkait yang signifikan (significant related-

party transactions) yang tidak merupakan bagian normal bisnis

entitas yang bersangkutan, atau dengan entitas terkait yang tidak

diaudit atau yang diaudit KAP lain.

47

b. Posisi keuangan yang begitu kuat atau kemampuan

mendominasi industri atau sektor tertentu yang memungkinkan

entitas memaksakan syarat atau kondisi tertentu kepada

pemasok (suppliers) atau pelanggan (customers). Ini mungkin

indikasi tidak wajar atau antar pihak yang tidak setara

(inappropriate or non-arm’s-lenght transactions).

3. Pembenaran (Rationalization)

Pembenaran (Rationalization) adalah pembenaran yang dibisikan untuk

melawan hati nurani si pelaku kecurangan. Faktor-faktor yang dapat

mengakibatkan terjadinya pembenaran:

a. Komunikasi, implementasi, dukungan, atau penerapan nilai-nilai

entitas atau standar etika oleh manajemen, yang tidak efektif.

b. Anggota manajemen yang sebenarnya tidak berurusan dengan

bidang keuangan, secara berlebihan ikut melibatkan diri

memilih kebijakan akuntansi atau penentuan estimasi yang

signifikan.

c. Di masa lalu melanggar ketentuan perundangan, atau pernah ada

tuntutan terhadap entitas, pimpinannya, atau TCWG (Those

Charged With Governance) dengan tuduhan melanggar

ketentuan perundangan.

d. Keinginan manajemen yang berlebihan untuk meningkatkan

harga saham yang tinggi atau mempertahankan tren laba.

48

e. Manajemen membuat komitmen kepada analysts, kreditur, dan

pihak ketiga lainnya untuk mencapai ramalan (forcasts) yang

sangat agresif atau tidak realistis.

f. Manajemen gagal atau tidak memperbaiki kelemahan signifikan

yang diketahuinya mengenai pengendalian internal dengan

cepat.

g. Adanya kepentingan manajemen untuk menggunakan cara-cara

yang tidak benar untuk menekan angka laba bagi kepentingan

perpajakan.

h. Suasana kerja yang tidak kondusif (low morale) di antara

pimpinan perusahaan.

i. Pemilik yang sekaligus pengelola perusahaan (owner-manager)

tidak membedakan apa itu transaksi pribadi atau bisnis.

j. Sengketa di antara pemegang saham dalam perusahaan tertutup.

k. Upaya berulang-ulang oleh manajemen untuk membenarkan

penggunaan akuntansi yang tidak tepat dengan alasan

masalahnya tidak material.

2.1.2.1.2 Fraud Diamond

Gambar 2.2 Fraud Diamond

Sumber: Diaz Priantara (2013)

49

Banyak penelitian menunjukkan bahwa terjadinya fraud

kemungkinan dikarenakan terjadi ketika seseorang memiliki insentif

(tekanan) untuk melakukan fraud. Kontrol, tatakelola, atau pengawasan

lemah memberikan kesempatan bagi orang untuk melakukan fraud dan

orang tersebut merasionalisasi perilaku fraud-nya. Ada cara lain yang

disebut Diamond Fraud untuk meningkatkan pencegahan dan mendeteksi

fraud dengan mempertimbangkan elemen keempat selain menangani

peluang atau insentif (tekanan), kesempatan, dan rasional, yaitu

mempertimbangakan kemampuan individu (capacibility).

Menurut David T Wolfe dan Dana Hermanson (2004) dalam Diaz

Priantara (2013) banyak fraud, terutama yang bernilai milyaran tidak

akan terjadi tanpa keberadaan orang yang tepat dengan kemampuan yang

tepat. Peluang, membuka pintu untuk fraud, tekanan dan rasionalisasi

dapat menarik orang melakukan fraud. Tapi, orang tersebut harus

memiliki kemampuan untuk mengenali peluang sebagai sebuah

kesempatan dan mengambil keuntungan tersebut. Menurut Diamond

Theory terdapat 4 elemen penyebab fraud, sebagai berikut:

1. Insentif (Incentive)

Memiliki hubungan atau dorongan yang dapat membuat

seseorang untuk melakukan tindakan fraud.

2. Kesempatan (Opportunity)

Kesempatan yaitu peluang yang menyebabkan pelaku secara

leluasa dapat menjalankan aksinya yang disebabkan oleh pengendalian

50

internal yang lemah, ketidakdisplinan, kelemahan dalam mengakses

informasi, tidak ada mekanisme audit & sikap apatis. Hal yang paling

menonjol di sini adalah pengendalian internal. Pengendalian internal

yang tidak baik akan memberi peluang orang untuk melakukan

kecurangan.

Menurut SAS No.99 menyebutkan bahwa peluang/kesempatan

pada financial statement fraud dapat terjadi pada tiga kategori kondisi

tersebut adalah

a. Nature of industry,

b. Ineffective monitoring, dan

c. Organizational structure

3. Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi menjadi elemen penting dalam terjadinya fraud,

dimana pelaku selalu mencari pembenaran atas perbuatannya. Sikap atau

karakter yang dimiliki pelaku, akan menentukan rasionalisasi atas

pembenaran kecurangan yg dilakukan, contohnya bagi mereka yang

umumnya tidak jujur, mungkin lebih mudah untuk merasionalisasi

penipuan.

4. Kemampuan (Capability)

Dalam kenyataannya ternyata ada satu faktor lain yang perlu

dipertimbangkan, yaitu Individual capability. Individual

capability adalah sifat dan kemampuan pribadi seseorang yang

mempunyai peranan besar yang memungkinkan melakukan suatu tindak

51

kecurangan. Pada elemen Individual Capability terdapat beberapa

komponen kemampuan (Capability) untuk menciptakan fraud yaitu:

a. Posisi/fungsi seseorang dalam perusahaan,

b. Kecerdasan (brain)

c. Tingkat kepercayaan diri/ego (confident/ego),

d. Kemampuan pemaksaan (coercion skills)

e. Kebohongan yang efektif (effective lying), dan

f. Kekebalan terhadap stres (immunity to stress).

Dalam fraud diamond, sifat-sifat dan kemampuan individu

memainkan peran utama dalam terjadinya fraud. Banyak kecurangan-

kecurangan besar tidak akan terjadi tanpa orang-orang yang memiliki

kemampaun individu/capability. Walaupun

peluang/opportunity membuka jalan untuk melakukan fraud dan insentif

dan rasionalisasi dapat menarik orang ke arah itu tapi seseorang harus

memiliki kemampuan untuk melihat celah melakukan fraud sebagai

kesempatan dan untuk mengambil keuntungan dari itu, tidak hanya

sekali, tetapi terus menerus. Dengan demikian, fraud itu terjadi karena

adanya kesempatan untuk melakukannya, tekanan dan rasionalisasi yang

membuat orang mau melakukannya dan kemampuan individu.

Pada intinya fraud diamond adalah alasan seseorang yang

melakukan fraud karena adanya kesempatan, tekanan dan rasionalitas

yang ketiga alasan tersebut dapat terjadi jika seseorang memiliki

kemampuan (capability). Fraud Diamond ini yang dapat menjadi alasan

52

seseorang yang melakukan kecurangan terhadap laporan keuangan

(fianancial statement).

2.1.2.2 Bentuk-Bentuk Fraud

Fraud yang ada dalam pelaporan keuangan terjadi dengan

menggunakan berbagai cara dan bentuk. Dimana seorang auditor akan

terkecoh dalam melakukan pemeriksaan terhadap hal tersebut. Berikut

merupakan bentuk-bentuk fraud menurut para ahli.

Menurut Johnstone et al (2014) bentuk fraud terdiri dari:

1. Misstatements Arising From Misappropriation of Assets (Salah Saji

Timbul Dari Penyalahgunaan Aset)

Asset misappropriation occurs when a perpetrator steals or misuses

an organization’s assets. Asset misappropriations are the dominant fraud

scheme perpetrated against small businesses and the perpetrators are

usually employees. Asset misappropriation commonly occurs when

employees :

a. Gain access to cash and manipulate accounts to cover up cash

thefts

b. Manipulate cash disbursements through fake companies

c. Steal inventory or other assets and manipulate the financial

records to cover up the fraud

Pernyataan di atas menyatakan bahwa penyalahgunaan aset terjadi

ketika pelaku mencuri atau menyalahgunakan suatu aset organisasi.

Penyelewengan aset adalah skema penipuan yang dominan dilakukan

53

terhadap usaha kecil dan para pelaku biasanya karyawan. Penyalahgunaan

aset biasanya terjadi ketika karyawan:

a. Mendapatkan akses ke uang tunai dan memanipulasi akun untuk

menutupi pencurian kas.

b. Memanipulasi pengeluaran kas melalui perusahaan palsu.

c. Mencuri persediaan atau aset lain dan memanipulasi catatan

keuangan untuk menutupi penipuan.

2. Misstatements Arising from Fraudulent Financial Reporting (Salah

Saji Transaksi Penipuan Pelaporan Keuangan)

The intentional manipulation of reported financial results to misstate

the economic condition of the organization is called fraudulent financial

reporting. Three common ways in which fraudulent financial reporting can

take place include:

a. Manipulation, falsification, or alteration of accounting records or

supporting documents

b. Misrepresentation or omission of events, transactions, or other

significant information

c. Intentional misapplication of accounting principles

Pernyataan di atas menyatakan bahwa manipulasi secara sengaja

terhadap laporan hasil keuangan dengan mengutarakan kondisi ekonomi

organisasi yang salah pada pelaporan keuangan. Tiga cara umum kondisi

penipuan laporan keuangan dapat terjadi antara lain:

54

a. Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau

mendukung dokumen.

b. Keliru atau kelalaian dari peristiwa, transaksi, atau orang penting

lainnya informasi.

c. Penyalahgunaan di sengaja prinsip akuntansi.

Menurut Karyono (2013) bentuk fraud terdiri dari:

A. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement)

Kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement)

dilakukan dengan menyajikan laporan keuangan lebih baik dari yang

sebenarnya (over statement) dan menyajikan laporan keuangan lebih buruk

dari yang sebenarnya (under statement). Cara-cara melakukan kecurangan

laporan keuangan ialah sebagai berikut:

a. Penghasilan atau pendapatan fiktif (fictious revenue)

b. Penilaian akhir atas aset, tidak tepat

c. Menyembunyikan kewajiban (concealed liabilities)

d. Mencatat aktiva dan pasiva pendapatan dan biaya pada periode

akuntansi yang tidak tepat (timing deference). Biaya pendapatan

tahun berjalan digeser ke tahun sebelumnya atau sesudahnya.

Sebaliknya pendapatan tahun lalu digeser ke tahun berjalan dan

pendapatan tahun yang akan datang digeser ke tahun berjalan.

e. Menyembunyikan biaya antara lain dengan mengkapitalisasi biaya.

f. Pengungkapan laporan keuangan yang tidak tepat (improper

disclosures) seperti tidak diungkapkannya kewajiban bersyarat

55

(contingence liabilities) kejadian-kejadian penting yang

berpengaruh negatif terhadap pos-pos laporan keuangan. Kejadian

penting yang seharusnya diungkapkan antara lain:

a) Perusahaan pada tahun buku yang dilaporkan dalam laporan

keuangan terlibat perkara di pengadilan dan apabila nanti kalah

terkena kewajiban yang sangat material.

b) Lokasi usaha (misalnya berupa pabrik) terkena ketentuan tata

kota sehingga pabrik harus pindah atau tutup.

c) Penilaian aset tidak tepat (improper asset valuation) yaitu

penilaian yang tidak sesuai prinsip akuntansi yang di terima

umum dengan sengaja agar laporan keuangan tampak lebih

baik dari yang sebenarnya.

B. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)

a. Kecurangan Kas

a) Kecurangan Penerimaan Kas

Pencurian terhadap penerimaan kas yang belum dicatat

(skimming). Bentuk dari skimming itu sendiri seperti:

1. Pendapatan tidak dilaporkan atau dicatat (unrecorded)

atau dilaporkan lebih kecil (understates)

2. Piutang dihapus padahal piutang tersebut sebetulnya

tidak dihapus tetapi ditagih dan tidak dilaporkan (write

off schemes)

56

3. Pengambilan uang hasil penagihan untuk sementara

waktu dengan menunda pencatatan penerimaannya

(lapping schemes)

4. Pengambilan penerimaan cek dari pelanggan Pencurian

yang sudah di catat di pembukuan (cash larceny) antara

lain:

1) Pencurian kas tunai (cash on hand)

2) Pencurian kas di Bank (cash in bank)

3) Mencuri kas dengan membuat kesalahan

perhitungan atau kesalahan pembukuan dengan

sengaja

b) Kecurangan Pengeluaran Kas (faudulent disbursement)

Kecurangan penagihan (billing schemes), dengan

memasukkan dokumen tagihan atau invoice pengadaan

barang, sehingga tagihan lebih tinggi (mark up) atau tagihan

fiktif dengan cara:

1. Menciptakan rekanan fiktif melalui perusahaan dengan

papan nama (Shell Company)

2. Melakukan pembayaran yang ada atas pembayaran yang

lebih tinggi kemudian diminta kembali secara pribadi

kelebihan pembayaran tersebut (pay and return)

3. Meninggikan tagihan dari rekanan (overbilling)

57

Kecurangan penggantian biaya (expense reimbursment

schemes) adalah kecurangan pengeluaran kas dengan

memanipulasi penggantian biaya antara lain dengan cara:

1) Meningkatkan biaya (overslated expense) dari yang

sebenarnya dikeluarkan sehingga penggantian biaya yang

diterima lebih tinggi, dari yang benar-benar dikeluarkan

2) Penggantian biaya atas biaya-biaya fiktif (fictitious expense

scheme) antara lain dengan cara membuat kwitansi palsu

3) Kecurangan penggantian biaya berulang-ulang (Multiple

Reimbursement)

Kecurangan pembayaran gaji atau upah (Payroll Scheme)

dengan cara memalsukan dokumen pendukung pembayaran gaji

atau upah berupa catatan waktu kerja atau memalsukan informasi

yang ada dalam catatan gaji atau upah serta menciptakan pegawai

fiktif.

b. Penyalahgunaan Persediaan dan Asset Lain (Inventory and Other

Assets Misappropriation)

Kecurangan persediaan barang dan aset lainnya terdiri dari

pencurian (larceny) dan penyalahgunaan (misuse). Larceny

scheme dimaksudkan sebagai pengambilan persediaan atau

barang di gudang karena penjualan atau pemakaian, untuk

perusahaan, tanpa ada upaya untuk menutupi pengambilan

58

tersebut dalam akuntansi atau catatan gudang. Berikut ini

merupakan bentuk-bentuk pada bagian ini seperti:

a) Penjualan fiktif (Fictitious Sell) dengan cara:

1. Kolusi dengan pihak ketiga yang mengambil barang tapi

tidak diproses (tanpa pembayaran)

2. Menjual dengan discount tidak wajar.

b) Asset Requisition and Transfer Scheme dengan cara :

1. Pemindahan aset ke lokasi lain dengan dokumen internal

resmi, barang kemudian dicuri.

2. Permintaan material untuk proyek jumlah yang diminta

untuk mark-up.

3. Menciptakan proyek fiktif untuk mencuri material.

4. Memalsukan formulir permintaan barang.

c) Kecurangan pembelian dan penerimaan (Purchasing &

Receiving Scheme) dilakukan dengan:

1. Membeli barang yang tidak diperlukan.

2. Membeli aset kemudian dicuri.

d) Memalsukan penerimaan barang (false inventory receive

recent)

1. Petugas penerima memalsukan catatan penerimaan

(dicatat lebih kecil)

2. Memalsukan penjualan dan pengapalannya (false sales &

shipment scheme)

59

3. Dibuat dokumen penjualan palsu, pelaku mengirim ke

pembeli fiktif.

4. Catatan persediaan dipalsukan agar sama dengan

fisiknya.

e) Membuat jurnal palsu, untuk menutupi ketekoran persediaan.

f) Menghapus persediaan (inventory write off)

C. Korupsi (Corruption)

Korupsi secara umum didefinisikan dengan perbuatan yang

merugikan kepentingan umum atau publik atau masyarakat luas untuk

kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Berikut ini merupakan

bentuk korupsi, bentuk tersebut sebagai berikut:

a. Pertentangan Kepentingan (Conflict of Interest)

Bentuk korupsi ini terjadi ketika karyawan atau manajer

mempunyai kepentingan pribadi pada suatu kegiatan atau

transaksi bisnis pada organisasi dimana ia bekerja, kepentingan

tersebut berlawanan dengan kepentingan organisasinya. Pelaku

dapat melakukan kecurangan sebagai berikut:

a) Mengarahkan secara terus-menerus untuk membeli barang ke

perusahaannya.

b) Mengarahkan spesifikasi teknis barang yang akan dibeli.

c) Membatasi persaingan dengan mengatur prakualifikasi dan

memberikan informasi penting dan rahasia sehingga

60

meskipun dilakukan tender, akan dimenangkan oleh

perusahaannya.

b. Suap (Bribery)

Suap adalah pemberian, permohonan atau penerimaan

atas sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi tindakan seseorang

karena pekerjaannya. Bentuk suap terdiri dari:

a) Komisi (Kick Back) terjadi karena ada penerimaan atau

pemberian sesuatu untuk memengaruhi keputusan bisnis.

b) Kecurangan untuk memenangkan lelang (Bid Rigging),

dilakukan untuk memenangkan salah satu penawar dari

beberapa penawaran yang ikut lelang. Bila kecurangan itu

berhasil, penawar yang menang memberi susuatu yang

bernilai kepada panitia lelang.

c. Pemberian Tidak Sah (Illegal Grativities)

Pemberian tidak sah adalah pemberian sesuatu yang

bernilai kepada seseorang karena keputusan yang di ambil oleh

seseorang. Keputusan itu memberi keuntungan kepada pemberi

sesuatu yang bernilai tersebut.

d. Pemerasan Ekonomi (Economic Ecortion)

Pada bentuk korupsi ini, karyawan meminta pembayaran

dari rekanan (vendor) atas keputusan yang di ambil yang

menguntungkan rekanan (vendor) tersebut. Caranya dengan jalan

menakut-nakuti, dengan ancaman atau bujukan.

61

D. Kecurangan yang Berkaitan dengan Komputer (Computer Fraud)

Kejahatan di bidang komputer adalah sebagai berikut:

a. Menambah, menghilangkan, atau mengubah masukan atau

memasukkan data palsu.

b. Salah memposting atau memposting sebagian transaksi saja.

c. Memproduksi keluaran palsu, menahan, menghancurkan, atau

mencuri keluaran.

d. Merusak program misalnya mengambil uang dari banyak

rekening dalam jumlah kecil.

e. Mengubah dan menghilangkan master file.

f. Mengabaikan pengendalian internal untuk memperoleh akses ke

informasi rahasia.

g. Melakukan sabotase.

h. Mencuri waktu penggunaan komputer.

i. Melakukan pengamatan elekronik dari data pada saat dikirim.

2.1.3 Pendeteksian Fraud (Kecurangan)

Laporan audit oleh pengguna laporan keuangan digunakan sebagai alat

untuk meyakini bahwa perusahaan itu dalam keadaan sehat. Maka dari itu

seorang auditor dalam melakukan audit harus dapat mengungkap salah saji

material dan tindakan fraud yang terjadi di perusahaan yang di audit. Maka

dari itu seorang auditor harus mengetahui cara yang harus dilakukan agar dapat

mendeteksi fraud. Berikut ini adalah cara untuk mendeteksi fraud menurut ahli.

62

Menurut Diaz Priantara (2013) indikasi fraud dapat dikenali atau dideteksi dari

gejala-gejala atau tanda-tanda (red flag) sebagai berikut:

1. Anomali Dokumentasi Bukti Transaksi:

a. Terdapat dokumen sumber transaksi yang hilang atau penggunaan

dokumen tidak asli (foto kopi) atau banyak dijumpai penggantian

dokumen.

b. Nama dan alat penerima pembayaran sama dengan nama dan alat

pembeli atau pegawai perusahaan.

c. Piutang yang telah melewati tanggal jatuh tempo dan berusia sangat

lanjut.

d. Jumlah item penyebab selisih yang direkonsiliasi banyak dan belum

tuntas atau berasal dari periode lalu.

e. Pembayaran dengan bukti transaksi duplikat (salinan).

2. Anomali Akuntansi meliputi antara lain:

a. Ayat (entry) jurnal yang salah atau tidak sesuai dengan standar

akuntansi yang berlaku baik dalam klasifikasi akun maupun salah

dalam pengukuran atau salah dalam saat pengakuan.

b. Buku besar (ledger) yang tidak akurat seperti ledger yang tidak

seimbang dan akun master atau akun kontrol pada buku besar (general

ledger) tidak sama dengan jumlah akun dari customer atau pemasok

secara individual pada buku pembantu (subsidiary ledger).

3. Kelemahan Struktur Pengendalian Internal Baik Level Transaksi Maupun

Level Entitas:

63

a. Tidak ada pemisahan tugas.

b. Tidak ada pengamanan yang memadai untuk aset.

c. Tidak ada pengecekan dan penelaahan independen.

d. Tidak ada otorisasi yang tepat.

e. Mengesampingkan atau mengabaikan pengendalian (control) yang

dibuat.

f. Sistem akuntansi yang tidak memadai.

4. Anomali dari Prosedur Analitis:

a. Pendapatan yang meningkat dengan persediaan yang menurun.

b. Pendapatan yang meningkat dengan piutang yang menurun.

c. Pendapatan yang meningkat dengan arus kas masuk yang menurun.

d. Persediaan yang meningkat dengan utang yang menurun.

e. Volume penjualan yang meningkat dengan penambahan biaya per unit

yang menurun.

f. Volume produksi yang meningkat dengan jumlah scrap yang

menurun

g. Persediaan yang meningkat dengan biaya pergudangan yang menurun

5. Gaya Hidup Mewah

6. Perilaku yang Tidak Biasa

7. Pengaduan dan Komplain.

Pendeteksian dapat dilakukan secara proaktif sebagai berikut:

a. Pelaksanaan internal audit yang menerapkan proaktif fraud auditing

(pembahasan proaktif fraud auditing)

64

b. Pengumpulan data intelijen terhadap gaya hidup dan kebiasaan pribadi

pegawai

c. Penerapan prinsip pengecualian (exception) di dalam pengendalian dan

prosedur item dimana setiap exception harus ditelusuri dengan cermat

d. Pelaksaan review terhadap penyimpangan (variances) dalam kinerja

operasi (standar, tujuan, sasaran, anggaran, rencana)

e. Adanya laporan pengaduan dan keluhan atau whistleblower hotmail

f. Intuisi atasan pegawai atau sesama pegawai melihat kejanggalan atau

kecurigaan.

2.1.3.1 Teknik-Teknik Mendeteksi Fraud (Kecurangan)

a. Prosedur Analitis

Standar auditing seksi 56 ( dikutip dari Diaz Priantara, 2013)

menyatakan prosedur analitis adalah evaluasi dari informasi keuangan yang

didapat auditor dari menganalisis hubungan data keuangan dan non

keuangan. Prosedur analitis ini dipakai tiga tujuan utama, yaitu:

a) Premiminary analytic prosedures. Prosedur analitis digunakan

untuk mendapatkan pemahaman tentang perusahaan dan untuk

memberikan perhatian kepada auditor terhadap area yang beresiko

tinggi (termasuk resiko fraud) pada saaat perencanaan audit.

b) Substantive analytic prosedures. Prosedur analitis digunakan

sebagai metode untuk mendapatkan bukti audit dengan

mengevaluasi saldo akun.

65

c) Final analytic proedures. Proedur analitis digunakan untuk

mendapat kesimpulan audit dari keseluruhan hasil audit dan

penyajian laporan keuangan.

Teknik prosedur analitis yang dapat digunakan untuk mendeteksi fraud,

antara lain adalah sebagai berikut:

1. Perbandingan data antar perusahaan versus data perusahaan antar

periode:

1) Analisis horizontal yaitu perbandingan anatara periode saat

ini dengan periode sebelumnya (tahun lalu atau bulan lalu)

2) Analisis vertical yang mengkalkulasikan setiap baris item

laporan keuangan sebagai persentase dari baris item yang

lain.

2. Pebandingan data perusahaan (realisasi) versus anggaran atau

proyeksi perusahaan

3. Perbandingan data perusahaan versus industri atau perusahaan

sejenis

4. Perbandingan data finansial perusahaan versus data operasionalnya

5. Perbandingan data perusahaan (realisasi) versus hasil kalkulasi

auditor

6. Analisis rasio keuangan seperti:

1) Rasio likuiditas: current ratio, working capital ratio,

accounts receivable turnover, inventory turnover, acid test

ratio

66

2) Rasio solvabilitas: total bedt to total equity, total debt to total

asset

3) Rasio profitabilitas: return on assets return on invesment,

economic value added, market value added, gross margin

ratio, operating margin ratio, profit margin ratio

b. Analisis data dengan bantuan teknologi (continuous

monitoring/auditing)

Teknik analisis data dengan menggunkaan teknologi dapat dilakukan

antara lain untuk:

1. Menghitung parameter statistik (rata-rata, standar deviasi, nilai

terendah dan tertinggi) untuk mengidentifikasi transaksi yang

janggal (outlier) yang dapat menjadi indikasi fraud

2. Mengklasifikasi untuk pola mengklasifikasi untuk menemukan pola

dan asosiasi diantara grup eleman data

3. Menstratifikasi nilai numerik untuk mengidentifikasi nilai yang

tidak biasa/lasim (unusual) sangat berlebih atau kurang

(execeedingly high or low)

4. Analisis digital menggunakan Hukum Benford untuk

mengidentifikasi secara statistik kejadian yang tidak diinginkan

dari digit-digit yang spesifik pada data yang acak

5. Menggabungkan (joining) sumber data yang berbeda untuk

mencari pencocokan nilai yang tidak tepat diantara sistem yang

terpisah seperti nama, alamat, nomor rekening.

67

6. Pengujian duplikat untuk mengidentifikasi duplikasi yang

sederhana atau komplex dari transakasi bisnis seperti pembayaran,

penggajian, laporan klaim biaya.

7. Gap testing untuk mengidentifikasi angka/nomor yang hilang pada

data yang berurutan (sequential data) sebegai indikator seseorang

mencoba menyembunyikan transaksi yang fraud (fraudulent

transaction)

8. Penjumlahan (suming and totaly) nilai numerik untuk mengecek

nilai total Kontrol (control totals) yang mungkin dipalsukan

9. Memfalidasi tanggal perekaman data (entry dates) untuk mencari

posting atau sewaktu waktu perekaman data yang tidak tepat dan

mencurigakan.

c. Penggunaan Hukum Benford untuk mendeteksi fraud

Benford’s law atau hukum benford adalah hukum yang dapat

memperkirakan frekuensi kemunculan sebuah angka dalam rangkaian

data numerik. Jika data numerik tersebut dihasilkan tanpa ada unsur

kesengajaan, maka freukensi kemunculan angka tersebut akan sesuai

dengan harapan freukensi dalam Hukum Benford. Hal ini juga berarti

jika ada unsur kesengajaan oleh manusia untuk menciptakan sebuah

kombinasi angka dan dimasukan dalam data set tersebut maka hasil

analisa Hukum Benford akan menunjukan bahwa ada angka tertentu

yang lebih banyak muncul dari pada yang diperkirakan. Hukum

Benford banyak digunakan oleh auditor karena kemampuannya untuk

68

mendeteksi anomali data pada sebuah data set. Anomali data tersebut

jika ditelusuri lebih lanjut dapat membantu auditor untuk mendeteksi

fraud. Hukum ini sangat mudah dan efektif untuk digunakan karena

sudah ada software audit yang menyediakan menu Hukum Benford.

d. Penggunaan data mining dan data analytics

Data mining mengkaji dan mencari informasi berharga didalam

data base yag besar. Proses ini, seperti halnya menambang sumber daya

alam, melakukan penyaringan diantara begitu banyaknya data kemudian

dengan cara cerdas mengeksplorasi dimana sebenarnya nilai lebih itu

berada. Data mining memiliki kemampuan sebagai berikut:

a) Automated prediction of trens and behaviors. Data mining

memproses pencariaan informasi yang diprediksi secra otomatis

dalam dtabase yang besar. Pertanyaan yang secara tradisional

memerlukan analisis yang luas, sekarang bisa memperoleh jawaban

langsung dan cepat dari data itu sendiri. Contoh: analisis follow the

money. Gambar dari olahan data dengan jelas menunjukkan

kemana atau kepada siapa arus dana bermuara.

b) Automated discovery of previously unknown pattern. Data mining

akan menyapu database dan mengidentfikasi pola-pola yang

hiilang yang tidak diketahui sebelumnya, dalam satu langkah saja.

Pada tindak pidana pencucian uang perangkat lunak data mining

sengan cepat mengungkapkan perubahan pola pendanaan

69

terorisme, dari pola yang sudah dikenal ke pola yang baru. (Diaz

Priantara, 2013)

2.1.4 Pencegahan Fraud (Kecurangan)

Peran utama dari internal auditor dalam mencegah kecurangan, yaitu

berupaya menghilangkan atau mengeliminir sebab-sebab timbulnya

kecurangan tersebut, penyebab timbulnya kecurangan dapat disebabkan oleh

tiga hal, yaitu adanya unsur keinginan (need), ketamakan (greed), dan

kesempatan (opportunity). Menghilangkan atau menekan need dan greed yang

mengawali terjadinya kecurangan dilakukan sejak menerima seseorang

(recruitment process), meskipun kita tahu bahwa proses itu bukan jaminan

penuh. Ini perlu ditanamkan melalui fraud awareness dan contoh-contoh yang

diberikan pimpinan perusahaan atau lembaga. Contoh yang diberikan atasan

telah terbukti merupakan unsur pencegahan yang penting. Unsur opportunity

dalam ungkapan di atas biasanya ditekan melalui pengendalian internal

(Tuanakotta, 2007).

Lima komponen struktur pengendalian internal dalam membangun

mekanisme sistem pengendalian internal yang efisien dan efektif, dalam

penelitian Amrizal (2004), diantaranya yaitu:

1. Membangun struktur pengendalian internal yang baik.

Dengan semakin banyaknya motif serta bentuk kecurangan yang telah

dibahas sebelumnya maka manajemen harus memiliki sikap penuh kehati-

hatian untuk mencegah kecurangan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu,

manajemen perlu mengadakan struktur pengendalian internal yang baik dan

70

efektif dalam mencegah kecurangan sehingga entitas yang dikendalikan

manajemen terhindar dari kecurangan yang signifikan. Manajemen harus

mengevaluasi setiap komponen-komponen pengendalian internal dan

memonitoring pelaksanaan dari penerapan masing-masing komponen tersebut.

2. Mengefektifkan aktivitas pengendalian

Dalam rangka mencegah atau paling tidak meminimalisir kecurangan

yang mungkin terjadi maka aktivitas pengendalian susatu setiap entitas harus

dapat efektif yang meliputi:

a. Review kinerja

b. Pengolahan informasi

c. Pengendalian fisik

d. Pemisahan tugas

3. Meningkatkan kultur organisasi

Meningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan

mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG)

yang saling terkait satu sama lain agar dapat mendorong kinerja sumber-

sumber entitas bekerja secara efisien.

4. Mengefektifkan fungsi internal audit

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh manajemen agar fungsi internal

audit dapat efektif dalam membantu manajemen dalam melaksanakan

tanggungjawabnya adalah:

71

a. Internal audit dalam entitas harus mempunyai kedudukan yang

independen dalam entitas dalam arti kata ia tidak boleh terlibat dalam

kegiatan operasional perusahaan.

b. Internal audit dalam entitas harus mempunyai uraian tugas yang jelas

dan tertulis.

c. Internal audit harus mempunyai internal audit manual yang berguna

untuk mencegah terjadinya penyimpangan tugas, menentukan standar

untuk mengukur dan meningkatkan kinerja.

d. Mendapat dukungan dari top manajemen.

e. Internal audit dalam entitas harus memiliki sumber daya yang

professional, capable, bias bersikap objektif, dan mempunyai

integritas dan loyalitas yang tinggi.

f. Menciptakan struktur penggajian yang wajar.

g. Memberikan sanksi yang tegas kepada yang melakukan kecurangan.

h. Membuat program bantuan kepada pegawai yang mendapatkan

kesulitan pekerjaan.

i. Menetapkan kebijakan entitas terhadap pemberian dan penyampaian

informasi kepada pihak-pihak yang dianggap perlu.

j. Menyediakan sumber-sumber tertentu dalam rangka mendeteksi

kecurangan.

k. Menyediakan saluran untuk melaporkan telah terjadinya kecurangan

hendaknya diketahui oleh staf agar dapat diproses pada jalur yang

benar.

72

2.1.5 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)

Menurut Mahmudi (2007) Laporan keuangan pemerintah daerah adalah

gambaran mengenai kondisi dan kinerja keuangan entitas tersebut. Salah satu

pengguna laporan keuangan pemerintah daerah adalah pemerintah pusat.

Pemerintah pusat berkepentingan dengan laporan keuangan pemerintah daerah

karena pemerintah pusat telah menyerahkan sumber daya keuangan kepada

daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

2.1.5.1 Laporan Keuangan Pokok terdiri dari:

a. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

b. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (Laporan Perubahan

SAL)

c. Neraca;

d. Laporan Operasional (LO)

e. Laporan Arus Kas (LAK)

f. Laporan Perubahan Ekuitas (LPE)

g. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)

2.1.5.2 Komponen Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Komponen dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dikutip

dalam Mahmudi (2007) adalah sebagai berikut:

a. Laporan Realisasi APBD (LRA)

Menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber

daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang

menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam

73

satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung oleh

Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari pendapatan-LRA, belanja,

transfer, dan pembiayaan. Masing-masing unsur dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a) Pendapatan - LRA adalah penerimaan oleh Bendahara Umum

Negara/Bendahara Umum Daerah atau oleh entitas pemerintah

lainnya yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode

tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah,

dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.Pendapatan

(basis akrual) adalah hak pemerintah yang diakui sebagai

penambah nilai kekayaan bersih.

b) Belanja adalah semua pengeluaran oleh Bendahara Umum

Negara/Bendahara Umum Daerah yang mengurangi Saldo

Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan

yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh

pemerintah.

c) Transfer adalah penerimaan atau pengeluaran uang oleh suatu

entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk

dana perimbangan dan dana bagi hasil.

d) Pembiayaan (financing) adalah setiap penerimaan/pengeluaran

yang tidak berpengaruh pada kekayaan bersih entitas yang perlu

dibayar kembali dan/atau akan diterima kembali, baik pada tahun

anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya,

74

yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan

untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.

Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman

dan hasil divestasi. Pengeluaran pembiayaan antara lain

digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman,

pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal

oleh pemerintah.

b. Neraca

Menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan

mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.

Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas

dana. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut:

a) Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau

dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu

dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan

diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun

masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk

sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa

bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara

karena alasan sejarah dan budaya.

b) Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu

yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya

ekonomi pemerintah.

75

c) Ekuitas Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang

merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah.

c. Laporan Arus Kas (LAK)

Laporan Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan

dengan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris yang

menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir

kas pemerintah pusat/daerah selama periode tertentu. Unsur yang

dicakup dalam Laporan Arus Kas terdiri dari penerimaan dan

pengeluaran kas, yang masing-masing didefinisikan sebagai berikut:

a) Penerimaan kas adalah semua aliran kas yang masuk ke

Bendahara Umum Negara/Daerah.

b) Pengeluaran kas adalah semua aliran kas yang keluar dari

Bendahara Umum Negara/Daerah.

d. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL)

Menyajikan informasi kenaikan atau penurunan Saldo Anggaran

Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

e. Laporan Operasional

Menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah

ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah

untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu periode

pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung dalam Laporan

Operasional terdiri dari pendapatan-LO, beban, transfer, dan pos-pos

luar biasa. Masing-masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut:

76

a) Pendapatan-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai

penambah nilai kekayaan bersih.

b) Beban adalah kewajiban pemerintah yang diakui sebagai

pengurang nilai kekayaan bersih.

c) Transfer adalah hak penerimaan atau kewajiban pengeluaran uang

dari/oleh suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan

lain, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil.

d) Pos Luar Biasa adalah pendapatan luar biasa atau beban luar biasa

yang terjadi karena kejadian atau transaksi yang bukan

merupakan operasi biasa, tidak diharapkan sering atau rutin

terjadi, dan berada di luar kendali atau pengaruh entitas

bersangkutan.

f. Laporan Perubahan Ekuitas

Menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun

pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

g. Catatan atas Laporan Keuangan

Meliputi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera

dalam Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan SAL, Laporan

Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, dan Laporan Arus

Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup informasi tentang

kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan

informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di

dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-ungkapan yang

77

diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara

wajar. Catatan atas laporan keuangan mengungkapkan atau menyajikan

atau menyediakan hal-hal sebagai berikut:

a) Mengungkapkan informasi Umum tentang Entitas Pelaporan dan

Entitas Akuntansi;

b) Menyajikan informasi tentang kebijakan fiskal/keuangan dan

ekonomi makro;

c) Menyajikan ikhtisar pencapaian target keuangan selama tahun

pelaporan berikut kendala dan hambatan yang dihadapi dalam

pencapaian target;

d) Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan

keuangan dan kebijakan-kebijakan akuntansi yang dipilih untuk

diterapkan atas transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian penting

lainnya;

e) Menyajikan rincian dan penjelasan masing-masing pos yang

disajikan pada lembar muka laporan keuangan;

f) Mengungkapkan informasi yang diharuskan oleh Pernyataan

Standar Akuntansi Pemerintahan yang belum disajikan dalam

lembar muka laporan keuangan;

g) Menyediakan informasi lainnya yang diperlukan untuk penyajian

yang wajar, yang tidak disajikan dalam lembar muka laporan

keuangan.

78

2.2 Tinjauan Pustaka

Penelitian terdahulu yang digunakan oleh penulis untuk dijadikan sebagai bahan

acuan adalah:

1. Eka Putri Pertiwi (2010)

“Analisis Pengaruh Komponen Keahlian Internal Auditor Terhadap

Pendeteksian Dan Pencegahan Kecurangan Fraud Di Inspektorat Jenderal

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia” Metode analisis data dilakukan

dengan metode analisis regresi linear berganda yang dilakukan sebanyak dua kali

yaitu, analisis pertama dilakukan mencari pengaruh komponen keahlian internal

auditor terhadap pendeteksian kecurangan. Kedua, analisis regresi dilakukan

untuk mencari pengaruh komponen keahlian internal auditor terhadap pencegahan

kecurangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 49% pendeteksian

kecurangan dijelaskan oleh komponen pengetahuan, ciri-ciri psikologis,

kemampuan berpikir, strategi penentuan keputusan, analisis tugas, pengalaman,

dan perilaku etis. Untuk pencegahan kecurangan dijelaskan sebesar 54.3% oleh

komponen pengetahuan, ciri-ciri psikologis, kemampuan berpikir, strategi

penentuan keputusan, analisis tugas, pengalaman, dan perilaku etis.Dengan

menggunakan signifikasi 0.10, hasil uji t pada analisisregresi pertama

menunjukkan bahwa variabel strategi penentuan keputusan (sig. 0.028), analisis

tugas (sig. 0.057 ), dan perilaku etis (sig. 0.006) memiliki pengaruh yang nyata

dan positif terhadap pendeteksian kecurangan. Hasil uji t pada analisis regresi

kedua menunjukkan bahwa variabel kemampuan berpikir (sig. 0.078) dan perilaku

79

etis (sig. 0.000) memiliki pengaruh yang nyata dan positif terhadap pencegahan

kecurangan.

2. Herty Safitri Yunintasari (2010)

“Pengaruh Independensi Dan Profesionalisme Auditor Internal Dalam

Upaya Mencegah Dan Mendeteksi Terjadinya Fraud” Penelitian ini bertujuan

untuk menganalisis pengaruh independensi dan profesionalisme auditor internal

dalam upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud. Sampel dalam penelitian

ini sebanyak 60 orang responden auditor internal yang berada di Yayasan

Pendidikan Internal Audit (YPIA). Metode yang digunakan dalam penentuan

sampel dalam penelitian ini adalah Convenience Sampling. Uji statistik yang

digunakan adalah regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel

independensi dan profesionalisme auditor internal berpengaruh signifikan dalam

upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud.

3. Silvy Wahyuni (2010)

“Analisis Peranan Audit Internal Dalam Mendeteksi Kecurangan Pada

Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan” objek pada penelitian terbatas pada

Inspektorat Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, penelitian ini dilakukan untuk

menjawab peran audit internal pemerintah dalam mendeteksi kecurangan pada

pemerintahan provinsi Sulawesi Selatan. Teknik pengumpulan data dilakukan

dengan studi dokumentasi dan wawancara dengan auditor dan pejabat di

Inspektorat Provinsi Sulawesi. Hasil pengumpulan data dianalisis dengan metode

kualitatif menggunakan pendekatan interpretif. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa audit internal pemerintah yakni inspektorat provinsi sulawesi Selatan

80

memiliki peran yang mamadai dalam mendeteksi/menemukan dan mencegah

kecurangan dimulai dengan pemberian pendampingan, pembinaan serta

pengawasan dan pemeriksaan secara reguler atau dalam pemeriksaan tertentu.

4. Muhamad Yusuf Aulia (2013)

“Pengaruh Pengalaman, Independensi dan Skeptisisme Profesional

Auditor terhadap Pendeteksian Kecurangan” Penelitian ini memiliki dua tujuan

utama; yaitu pertama, menganalisis pengaruh pengalaman, independensi dan

skeptisme profesional auditor terhadap pendekteksian kecurangan, kedua

menganalisis variabel independen (pengalaman, independensi dan skeptisme

profesional auditor) yang paling dominan mempengaruhi variabel dependen

(pendekteksian kecurangan). Penelitian ini dilakukan pada auditor pada Kantor

Akuntan Publik di wilayah Jakarta Metode pengambilan sampel dengan

menggunakan tekhnik convenience sampling. Uji yang digunakan adalah regresi

berganda Hasil penelitian menunjukan bahwa pengalaman, independensi dan

skeptisme profesional auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap

pendeteksian kecurangan Berdasarkan hasil uji regresa linier berganda ditemukan

bahwa variabel yang paling dominan adalah variabel skeptisme.

5. Siti Rahayu (2015)

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh skeptisisme

profesional, keahlian profesional, pelatihan audit kecurangan, independensi, dan

pengalaman terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan di kantor

BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metoda

riset campuran dengan desain eksplanatori sequential. Fase kuantitatif melibatkan

81

73 auditor yang memiliki jabatan fungsional auditor (JFA) di kantor BPKP

Perwakilan Kalimantan Barat. Teknik yang digunakan adalah survey kuesioner

untuk selanjutnya kuesioner tersebut dianalisis dengan software smartPLS 2.0.

Hasil dari penelitian ini faktor independensi dan pelatihan audit

kecurangan berpengaruh positif signifikan terhadap kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan di lingkup BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat,

sedangkan faktor skeptisisma profesional, keahlian profesional, dan pengalaman

auditor tidak berpengaruh. Hasil kualitatif menjawab dan memperdalam temuan

tersebut. Adanya perbedaan level skeptisisma profesional, gap/ kesenjangan

keahlian auditor dan kesenjangan pengalaman antara auditor senior dan junior

sebagai dampak dari moratorium PNS menjadi permasalahan yang tanpa disadari

menghambat tugas pendeteksian kecurangan. Sementara itu, independensi dan

pelatihan audit kecurangan yang memang selama menjadi fokus utama

peningkatan kemampuan auditor terbukti mempengaruhi keberhasilan penugasan.

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang

tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran

sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari

serangkaian masalah yang ditetapkan (Hamid, 2007)

Secara skematis alur kerangka pemikiran terdapat dalam Gambar 2.3

tersebut adalah sebagai berikut:

82

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis Penelitian

Sugiyono (2013) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban

sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah

penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis dikatakan

sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori.

Berdasarkan kerangka pemikiran pada gambar 2.3 maka penulis

merumuskan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

Ha1 : Terdapat pengaruh tingkat skeptisisme profesional terhadap kemampuan

auditor dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)

Ha2 : Terdapat pengaruh tingkat independensi terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)

Ha3 : Terdapat pengaruh tingkat keahlian profesional terhadap kemampuan

auditor dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)

Ha4 : Terdapat pengaruh tingkat pengalaman auditor terhadap kemampuan

auditor dalam mendeteksi dan mencegah fraud (kecurangan)

Skeptisisme Profesional (X1)

Independensi (X2) Kemampuan Auditor Internal Dalam Mendeteksi dan

Mencegah Fraud (Y) Keahlian Profesional (X3)

Pengalaman (X4)