BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1...

28
8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 Pengertian Konseling Behavior Konseling pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup berbagai pendekatan yang spesifik yang artinya terdapat banyak teknik di mana setiap dari sekian banyak teknik yang ada dalam pendekatan behavior lebih berfokus pada suatu permasalahan yang dihadapi . Kelompok pendekatan ini biasa juga disebut terapi behavior dan modifikasi perilaku ( behavior modification). Terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F. Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk menanggulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan perkataan lain bahwa perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan. Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi- koneksi dan metode-metode Stimulus-Respons (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

8

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konseling Behavior

2.1.1 Pengertian Konseling Behavior

Konseling pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup berbagai

pendekatan yang spesifik yang artinya terdapat banyak teknik di mana setiap dari

sekian banyak teknik yang ada dalam pendekatan behavior lebih berfokus pada suatu

permasalahan yang dihadapi . Kelompok pendekatan ini biasa juga disebut terapi

behavior dan modifikasi perilaku (behavior modification). Terapi behavioral berasal

dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F.

Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk

menanggulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari

perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan perkataan lain bahwa

perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan.

Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan

eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi-

koneksi dan metode-metode Stimulus-Respons (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi

terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

9

dibidang psikoterapi. Yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa

lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku.

Dasar teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai

hasil kombinasi: (1) belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan yang

serupa; (2) keadaan motivasiional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan terhadap

lingkungan; (3) perbedaan-perbedaan fisiologik baik secara genetik atau karena

gangguan fisiologik. Dengan eksperimen- eksperimen terkontrol secara seksama

maka menghasilkan hukum-hukum yang mengontrol perilaku tersebut.

Konseling Behavior berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat

manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu

: a) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.

Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah.

Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal

keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri

has dari kepribadiannya; b) Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya

sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol

perilakunya sendiri; c) Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri

pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar; d) Manusia dapat

mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinyapun dipengaruhi oleh perilaku orang

lain.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

10

Sejalan dengan keyakinan-keyakinan itu, bagi seorang konselor behavior

perilaku konseling merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman hidupnya dalam

berinteraksi dengan lingkungan. Kalau perilaku konseling ditinjau dari sudut

pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya atau

tidak tepat dan salah, harus dikatakan bahwa baik tingkah laku tepat maupun tingkah

laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan

hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan

tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar.

Beberapa penulis membedakan terapi tingkah laku dan modifikasi tingkah laku,

tetapi mereka juga sering menggunakannya silih berganti dengan arti yang sama.

Pendekatan behavior berkembang di atas dalil-dalil (construct) berikut :

1. Semua perilaku adalah pengaruh lingkungan.

2. Perilaku dilestarikan (maintained) oleh respons;

3. Tingkah laku lebih banyak ditentukan oleh penyebab yang dekat daripada oleh

penyebab yang jauh;

4. Tingkah laku mendapat penguatan (reinforced) lebih banyak mungkin berulang

daripada yang tidak mendapat penguatan;

5. Penguatan positif berpotensi membiasakan (conditioning) lebih kuat daripada

penguatan negatif;

6. Penguatan hendaknya segera datang sesuai tingkah laku;

7. Penguatan dapat bersifat kongkret atau sosial;

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

11

8. Tingkah laku dapat berkurang dengan hilangnya penguatan;

9. Tingkah laku dapat dibentuk dengan memberikan penguatan kepada untaian

tingkah laku yang dikehendaki.

(Kazdin, 1978) Definisi lain menyebutkan bahwa modifikasi perilaku adalah “

penerapan dari penelitian dan teori dasar dari psikologi eksperimental untuk

mempengaruhi perilaku dengan tujuan untuk mengatasi problema sosial dan

individual dan menggalakan berfungsinya sifat manusia.”

Terapi behavioral kontemporer bisa dipahami dengan jalan

mempertimbangkan tiga kawasan perkembangan utama, yaitu : kondisioning klasik,

kondisioning operan, dan terapi kognitif. Pada kondisioning klasik, dimana perilaku

tertentu dari responden dirangsang oleh organisme pasif. Pada pendekatan

kondisioning operan, perilaku operan terdiri dari perbuatan yang beroperasi dalam

lingkungan untuk mencapai konsekuensi. Apabila perubahan lingkungan yang

dihasilkan oleh perilaku itu memberi penguatan, maka kemungkinannya perilaku itu

akan terulang lagi. Dan kecenderungan kognitif dalam terapi perilaku merupakan

konsep mediator (proses berfikir, sikap, dan nilai), yang memungkinkan sebagai

reaksi terhadap pendekatan psikodinamika yang berorientasi pada pemahaman.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

12

2.1.2 Tujuan Konseling Behavior

Tujuan konseling behavioral adalah untuk membantu klien membuang

respon-respon yang lama merusak diri, dan mempelajari respon-respon yang baru

yang lebih sehat. Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan ini ditandai

oleh

(1) Fokusnya pada perilaku yang tampak dan spesifik.

(2) Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment (perlakuan).

(3) Formulasi prosedur treatment khusus sesuai dengan masalah khusus.

(4) Penilaian objektif mengenai hasil konseling.

Tujuan lain terapi behavioral adalah untuk memperoleh perilaku baru,

mengeleminasi perilaku yang maladatif dan memperkuat serta mempertahankan

perilaku yang diinginkan. Kemudian tujuan umum konseling yang menggunakan

pendekatan behavior menurut Christiani (1986) ialah :

(1) Mengubah perilaku yang tidak selaras dengan tuntutan masyarakat dan

kebutuhan pribadi.

(2) Membantu mempelajari proses pengambilan keputusan yang lebih efisien.

(3) Mencegah timbulnya masalah di waktu yang akan datang.

(4) Memecahkan masalah tingkah laku yang diusulkan klien.

(5) Mengadakan perubahan tingkah laku untuk masa yang akan datang.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

13

Tujuan khusus konseling dirumuskan dari kesepakatan konselor dengan konsele.

Rumusan tersebut hendaknya spesifik, konkret, dan mudah dinilai. Setelah diperoleh

kesepakatan tentang tujuan, konselor menawarkan teknik dan strategi yang akan

digunakan. Dijelaskan secara umum cara melaksanakan teknik dan strategi tersebut,

waktu yang diperlukan, dan sebagainya. Jika disepakati, jalankan dan susul dengan

evaluasi bersama.

2.1.3 Sifat-Sifat Dasar dan Asumsi Konseling Behavior

Teori behavior memiliki beraneka ragam pendekatan yang sulit untuk

disebutkan satu persatu sebagai sebuah perangkat yang premis serta sebagai bentuk

umum yang bisa diaplikasikan pada seluruh bidangnya. Ciri yang berikut ini bisa

diaplikasikan secara luas, pada pendekatan behavior.

(1) Terapi perilaku yang didasarkan pada prinsip belajar yang bersumber pada

eksperimen yang secara sistematis diaplikasikan untuk menolong orang agar

bisa mengubah perilaku maladaptive.

(2) Terapi yang berfokus pada problema klien yang sekarang ada serta pada

factor-faktor yang mempengaruhinya.

(3) Terapi ini menekankan pada perubahan perilaku yang terbuka sebagai kriteria

utama yang dengan kriteria itu perlakuan seharusnya dievaluasi, namun

dengan melibatkan proses-proses kognitif.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

14

(4) Terapi ini menspesifikasikan sasaran perlakuan dalam arti yang kongkrit dan

objektif agar bisa dimungkinkan dibuatnya replica dari intervensi perlakuan.

(5) Karakteristik yang menonjol dari para praktisi behavior adalah sikap mereka

yang secara sistematis mengaitkan diri pada spesifikasi dan pengukuran.

Sepanjang perjalanan terapi ada penilaian terhadap perilaku bermasalah serta

kondisi yang mendukungnya.

(6) Terapi behavior banyak bersifat mendidik. Ada penekanan dalam

mengajarkan klien suatu keterampilan untuk menangani diri sendiri, dengan

harapan mereka bisa bertanggung jawab untuk mentransfer apa yang telah

mereka pelajari ke kehidupan sehari-hari

(7) Prosedur behavior disesuaikan agar bisa cocok dengan kebutuhan yang unik

dari setiap klien.

Asumsi dasar yang melandasi pendekatan behavior, menurut T. Wilson

(Corey;1986) ialah bahwa gangguan-gangguan yang memerlukan layanan psikoterapi

hendaknya dipahami melalui perspektif psikologi eksperimental. Diatas asumsi dasar

ini dibangun asumsi-asumsi yang spesifik sesuai dengan pendekatan spesifik masing-

masing. Asumsi-asumsi yang melandasi sebagian besar pendekatan tersebut :

(1) Terfokus pada pemberian pengaruh-pengaruh nyata (Current Influences),

bukan pada penentu-penentu historis.

(2) Menekankan pengamatan pada perubahan tingkah laku lahiriah sebagai

kriteria penilaian.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

15

(3) Mengkhususkan pada tujuan perlakuan yang konkret dan objektif supaya

dapat direplikasikan.

(4) Mempercayai riset dasar untuk mendapatkan hipotesis tentang perlakuan dan

teknik-teknik konseling.

(5) Merumuskan secara spesifik masalah-masalah yang akan ditangani untuk

memudahkan perlakuan dan pengukuran.

2.1.4 Teknik dan Prosedur Konseling Behavior

Salah satu kekuatan terbesar dari pendekatan behavior pada konseling dan

psikoterapi adalah pengembangan dari prosedur terapeutik yang spesifik yang mau

menerima adanya penyulingan lewat metode ilmiah. Teknik behavior haruslah efektif

lewat sarana objektif, dan terus ada usaha untuk memperbaikinya. Temuan utama

yang dihasilkan oleh penelitian terapi behavior adalah hasil akhir dari suatu

penanganan adalah memiliki facet ganda. Perubahan itu bukanlah bersifat

keseluruhan ataupun tidak ada perubahan sama sekali. Perbaikan mungkin bisa terjadi

pada suatu kawasan tetapi tidak terjadi pada kawasan yang lain. Semua perbaikan

tidak muncul secara bersamaan, dan keberhasilan di suatu kawasan mungkin ada

kaitannya dengan problema yang muncul di kawasan lain. (Kazdin, 1982: Voltz &

Evans, 1982).

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

16

Dalam terapi behavior kontemporer teknik apapun dapat ditunjukkan untuk

mengubah perilaku yang mungkin dilibatkan dengan rencana penanganan. Lazarus

(1980) mendukung penggunaan teknik yang beraneka ragam, tanpa memperhatikan

asal teori itu. Diberikan olehnya garis besar rentang teknik yang luas yang telah ia

gunakan dalam praktek klinisnya sebagai suplemen dari metode behavior. Menurut

pandangannya, makin ekstensif rentangan teknik terapi itu, secara potensial terapis itu

makin efektif. Jelas bahwa terapi behavior tidak harus membatasi diri pada metode

yang berasal dari teori belajar. Demikian pula teknik behavior dapat dimasukkan

dalam kegiatan pendekatan yang lain. Berikut ini dikemukakan beberapa teknik

konseling behavioral.

1. Assertive training

Assertive training, merupakan teknik dalam konseling behavioral yang dengan

cepat mencapai popularitas yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi

interpersonal, di mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan

bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.

Assertive training adalah suatu teknik untuk membantu klien dalam hal-hal berikut:

a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung.

b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk

mendahuluinya.

c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

17

d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif

lainnya.

e. Merasa tidak punya hak uintuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran

sendiri.

Didalam assertive training konselor berusaha memberikan keberanian kepada

klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang lain. Pelaksanaan teknik ini ialah

dengan role playing (bermain peran).

2. Aversion therapy

Teknik ini bertujuan untuk menghukum prilaku yang negatif dan memperkuat

perilaku positif. Hukuman bisa dengan kejutan listrik, atau memberi ramuan yang

membuat orang muntah. Secara sederhana anak yang suka marah dihukum

dengan membiarkannya. Perilaku maladjustive diberi kejutan listrik, misalnya

anak yang suka berkata bohong. Perilaku homoseksual dihukum dengan memberi

pertunjukan film yang disenanginya lalu dilistrik tangannya dan film mati.

3. Home-work.

Yaitu suatu latihan rumah bagi klien yang kurang mampu menyesuaikan diri

terhadap situasi tertentu. Caranya ialah dengan memberi tugas rumah untuk satu

minggu. Misalnya tugas klien adalah; tidak menjawab jika dimarahi ibu tiri. Klien

menandai hari apa dia yang menjawab dan hari apa dia tak menjawab. Jika selama

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

18

seminggu dia tak menjawab selama lima hari, berarti ia diberi lagi tugas tambahan

sehingga selama tujuh hari tak menjawab jika dimarahi.

4. Desensitiasi sistematik (systematic desensitization).

Teknik ini dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa semua

perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Respon terhadap kecemasan

dapat dieliminasi dengan menemukan respon yang antagonistik. Perangsangan

yang menimbulkan kecemasan secara berulang-ulang di pasangkan dengan

relaksasi sehingga hubungan antara perangsangan dengan respon terhadap

kecemasan dapat dieliminasi. Teknik desensitisasi sistematik bermaksud

mengajar klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan

kecemasan yang dialami klien. Teknik ini tak dapat berjalan tanpa teknik

relaksasi. Adapun prosedur pelaksanaan teknik ini dapat diikuti lebih lanjut di

bawah ini:

a. Analisis perilaku yang menimbulkan kecemasan.

b. Menyusun hierarkhi atau jenjang-jenjang situasi yang menimbulkan kecemasan

dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan klien.

c. Memberi latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki. Kaki

klien diletakkan di atas bantal atau kain wool. Secara terinci relaksasi otot dimulai

dari lengan, kepala, kemudian leher dan bahu, bagian belakang, perut dan dada, dan

kemudian anggota bagian bawah.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

19

d. Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkannya sepereti di pantai,

ditengah taman yang hijau dan lain-lain.

e. Klien disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan situasi yang

kurang mencemaskan. Bila klien sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti situasi

tersebut dapat diatasi klien. Demikian seterusnya hingga ke situasi yang paling

mencemaskan.

f. Bila pada suatu situasi klien cemas dan gelisah, maka konselor memerintahkan

klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan

kecemasan yang baru terjadi.

g. Menyusun hierarkhi atau jenjang kecemasan harus bersama klien, dan konselor

menuliskannya di kertas.

2.2 Konsep Dasar Desensitisasi Sistematik

Desensitisasi sistematik ( Systematic Desensitization ) dikembangkan dalam

tradisi prosedur behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe. Asumsi

dasar teknik ini adalah respons ketakutan ( sebagai contoh respon ketakutan akan

ketinggian ) merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan

menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respons

khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini adalah kecemasan-

kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan, dan respons yang sering

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

20

dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penenangan.

Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai ketakutan terhadap ketinggian dan merasa

sangat khawatir dan tidak nyaman setiap saat dia masuk ke sebuah gedung yang

tinggi dan naik lift ke tingkat 4, kita akan dapat membantunya dengan menghambat

kekhawatiran pada situasi ini dengan mengerjakannya untuk rileks dan tenang. Dan

kita juga akan dapat melatih ketidak pekaannya atau melawan ketakutannya terhapa

ketinggian.

Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal

kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan

aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya. Pembongkaran terhadap

rangsangan stimulus dapat berlangsung baik di dalam fantasi orang tersbut ketika dia

dimintai untuk membayangkan situasi yang serba menakutkan, atau hal ini dapat

terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Wolpe mengistilahkan prinsip yang mendasari

proses ketidakpekaan tersebut dengen reciporal inhibition. Dia menjelaskan prinsip

dasar tersebut sebagai berikut, “ Jika respon inhibitori terhadap kekhawatiran dapat

dipaksa terjadi di keberadaan rangsang kekhawatiran, hal tersebut akan melemahkan

hubungan antara rangsangan-rangsangan tersebut terhadap kekhawatiran “. ( Wolpe

1958).

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

21

Menurut Wolpe (dalam Corey,2007) menguraikan secara terperinci mengenai

prosedur pelaksanaan teknik Desensitisasi Sistematis yang dapat dijelaskan sebagai

berikut.

1. Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu analisis perilaku atas

stimulus-stimulus yang dapat membangkitkan kecemasan keramaian.

Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan konseli

dalam area tertentu.

2. Konselor dan konseli mendaftar hasil-hasil apa saja yang menyebabkan

konseli diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara

hirarkis. Konselor menyusun suatu daftar yang bertingkat mengenai

situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau

penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang

membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah hingga situasi

yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh konseli.

3. Konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks atau santai.

Latihan ini dilakukan melalui suatu prosedur khusus yang disebut

relaksasi yang berupaya mengkondisikan konseli dalam keadaan santai

penuh. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama konseli diberi

latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengendoran

otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

22

Sebelum latihan relaksasi dimulai, konseli diberitahu tentang cara

relaksasi dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-

bagian tubuh tertentu.

4. Konselor melatih konseli untuk membentuk respon-respon antagonistik

yang dapat menghambat perasaan cemas. Latihan relaksasi berdasarkan

teknik yang digariskan oleh Jacobson dan diuraikan secara rinci oleh

Wolpe. Pemikiran dan pembayangan (imagery) situasi-situasi yang

membuat santai seperti duduk di pinggir danau atau berjalan-jalan di

taman yang indah sering digunakan. Hal yang penting adalah bahwa

konseli mencapai keadaan tenang dan damai. Konseli diajari bagaimana

mengendurkan segenap otot dan bagian tubuh dengan titik berat pada otot-

otot wajah. Otot-otot tangan terlebih dahulu, diikuti oleh kepala, leher dan

pundak, punggung, perut, dada dan kemudian anggta-anggota badan

bagian bawah. Konseli diminta untuk mempraktekkan relaksasi di luar

pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari. Apabila

konseli telah dapat belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur

desensitisasi dapat dimulai.

5. Pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis. Proses desensitisasi

melibatkan keadaan di mana konseli sepenuhnya santai dengan mata

tertutup. Pada tahap ini konselor mula-mula mengarahkan konseli agar

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

23

mencapai keadaan rileks. Setelah konseli dapat mencapai keadaan rileks,

konselor memverbalisasikan (menyajikan) secara berurutan dari atas ke

bawah situasi-situasi yang menimbulkan perasaan cemas sebagaimana

tersusun dalam hirearki dan meminta konseli untuk membayangkannya.

Konselor menceritakan serangkaian situasi dan meminta konseli untuk

membayangkan dirinya berada dalam situasi yang diceritakan oleh

konselor tersebut. Situasi yang netral diungkapkan, dan konseli diminta

untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi didalamnya. Jika

konseli mampu tetap santai, maka dia diminta untuk membayangkan

situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.

Konselor bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat

sampai konseli menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada

saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai

lagi, dan konseli kembali membayangkan dirinya berada dalam situasi-

situasi yang diungkapkan konselor. Treatmen diangggap selesai apabila

konseli mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang

sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan. Jika

konseli dapat membayangkan situasi tersebut tanpa mengalami

kecemasan, konselor menyajikan situasi berikutnya dan ini terus

dilakukan dengan cara yang sama sehingga seluruh situasi dalam hirarki

telah disajikan dan kecemasan bias dihilangkan. Jika dengan sikap santai

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

24

tidak cukup, maka konselor dapat mengulangi dengan cara meminta

membayangkan situasi lain yang menyenangkan ketika ia menyajikan

situasi yang menimbulkan perasaan cemas (Wolpe,1982).

2.3 Kecemasan terhadap keramaian

2.3.1 Pengertian kecemasan

Kecemasan adalah perasaan yang di alami seseorang ketika berfikir bahwa

sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Priest menggambarkan kecemasan

sebagai ketakutan, tidak tentu, bingung, dan ketiakpastian merupakan suatu keadaan

umum yang dialami oleh individu dari waktu ke waktu sebagai tanggapan terhadap

situasi yang mengancam atau khayal ( Priest, 1994). Seseorang bisa menjadi cemas

bila dalam kehidupannya terancam oleh sesuatu yang tidak jelas karena kecemasan

dapat timbul pada banyak hal yang berbeda-beda. Kecemasan adalah keadaan takut

terus menerus namun berbeda dengan ketakutan biasa yang merupakan respon

terhadap kesukaran yang sedang terjadi, (Mahmud, 1990). Pendapat ini didukung

oleh Sulaeman (1995) yang menyebutkan sebagai keadaan. Psikologis yang

ditimbulkan oleh adanya rasa khawatir terus menerus yang ditimbulkan oleh adanya

Inner conflict dan merupakan perasaan yang samar-samar atau tidak jelas yang

bersumber dari ketakutan individu terhadap suatu yang akan terjadi. Kecemasan

adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

25

terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak

diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).

Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari

konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk

mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan

menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka

kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai

simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikodinamik

menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup

manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi

masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan

kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila

ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat

restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang

ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-

konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak

terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan

muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun,

desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-

kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

26

Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus

khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk

stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan

mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.

2.3.2 Macam-macam Kecemasan

Menurut Freud ( Hall dan Lindzey, 1993 ) ada tiga macam kecemasan :

a. Kecemasan realita

Dari ketiga macam kecemasan itu yang paling pokok adalah kecemasan realita

atau takut akan bahaya-bahaya dari luar. Bahaya dalam setiap keadaan dalam

lingkungan seseorang yang bisa membuat celaka, misalnya takut dirinya celaka

jika berada di suatu keramaian atau lalu lalang orang di suatu tempat.

b. Kecemasan neurotis

Kecemasan neurotis adalah rasa takut apabila insting-insting akan lepas dari

kendali dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang bisa membuatnya

dihukum. Kecemasan neurotis bukanlah ketakutan terhadap insting itu sendiri

melainkan ketakutan terhadap yang mungkin terjadi jika suati insting dipuaskan.

Kecemasan neurotis mempunyai dasar dalam kenyataan, sebab dunia

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

27

sebagaimana diwakili oleh orang tua dan berbagai otoritas lain akan menghukum

anak bila ia melakukan tindakan implusif.

c. Kecemasan moral

Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang super ego

berkembang dengan baik cenderung merasa bersalah jika mereka melakukan

sesuatu atau bahkan berfikir untuk melakukan yang bertentangan dengan norma

moral dimana dirinya dibesarkan. Kecemasan moral juga mempunyai dasar

dalam realistis, dimasa lampau sang pribadi pernah mendapat hukuman karena

melanggar norma moral dan bisa dihukum lagi.

a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang

mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dilihat sebagai rasa takut,

karena sumbernya jelas terlihat dalam pikiran.

b. Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.

Misalnya orang merasa cemas karena menyangka akan terjadi sesuatu

yang tidak menyenangkan, sehingga orang itu merasa terancam.

c. Rasa cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-

hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.

Cattel dan Scheier (dikutip oleh De Clerg, 1994) membagi kecemasan

dalam dua jenis, yaitu:

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

28

a. State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi

tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. State anxiety beragam

dalam hal intensitas dan waktu. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan

ketegangan yang subyektif.

b. Trait anxiety menunjukkan seseorang untuk menginterprestasikan

keadaan sebagai suatu ancaman yang disebut dengan anxiety proness

(kecenderungan akan kecemasan). Orang tersebut cenderung untuk

merasakan berbagai macam keadaan sebagai keadaan yang

membahayakan atau mengancam dan cenderung untuk menanggapi

dengan reaksi kecemasan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

kecemasan terhadap keramaian dapat dikategorikan pada bentuk kecemasan

realita.

2.3.3 Gejala-gejala Kecemasan

Kecemasam sulit diketahui, hanya dapat dilihat dari gejala-gejala yang

ditimbulkannya. Menurut Daradjat (1990) gejal-gejala cemas ada yang bersifat

fisiologis yaitu ujung-ujung jari terasa dingin, gangguan pada pencernaan, detak

jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyanyak, nafsu makan hilang, kepala

pusing, nafas sesak, serta sakit perut. Gejala-gejala psikologis antara lain sangat takut,

merasa akan ditimpa bahaya atau kecelakaan, keadaan tidak berdaya, tidak bisa

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

29

memusatkan perhatian, hilang kepercayaan pada diri sendiri, tidak tentram, ingin lari

dari kenyataan hidup.

Suardiman (1987) memberikan ciri-ciri individu yang mengalami kecemasan

sebagai berikut: tidak bisa tidur, mudah marah, gelisah, istirahat dan makan tidak

teratur, tidak dapat berkonsentrasi, tidak berani mengambil keputusan, terlalu peka

atau sensitive, mudah mengeluarkan keringat terus-menerus. Sedangkan gejala-gejala

fisiologis yang makin timbul pada orang yang mengalami kecemasan menurut De

Clerq (1994) antara lain bernafas lebih cepat, berkeringat, jantung berdebar-debar.

Hal di atas sesuai dengan pendapat Coon dan Raymont (Yetty Fitriasari ,

1999) bahwa ciri-ciri kecemasan adalah ketidak stabilan emosi, perasaan tidak aman,

sulit mengambil keputusan, hilangnya perhatian, mudah pusing atau mual,

tenggorokan tersekat, sulit tidur dan hilang konsentrasi. Jadi gejala-gejala kecemasan

dapat bersifat fisiologis dan psikologis. Bersifat fisiologis bila ditandai dengan detak

jantung menjadi lebih cepat, istirahat tidak teratur, nafsu makan hilang, gangguan

pada pencernaan, tidur tidak nyenyak, mudah mengeluarkan keringat, nafas sesak dan

pusing. Sedangkan gejala psikologis ditandai dengan merasa tertekan, mudah marah,

selalu khawatir, bingung, tidak berani mengambil keputusan, dan sulit berkonsentrasi.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

30

2.4 Keramaian

Keramaian bukan hanya terjadi di stadion sepakbola, tapi keramaian juga

dapat terjadi di mana-mana. Tempat ibadah, pasar tradisional, lokalisasi pelacuran,

gelaran kampanye partai politik, konser musik atau acara jalan santai. Contoh terakhir

menarik untuk dijadikan pembanding. Misalnya, pengurus rukun tetangga di suatu

perumahan menyelenggarakan acara “jalan santai”. Pesertanya penghuni perumahan.

Ramai dan membentuk keramaian. Anggota keramaian adalah peserta acara jalan

santai. Keramaian terbentuk disebabkan alat pembentuk keramaian yang tidak

tunggal. Misalnya seseorang ikut jalan santai karena undian berhadiah

(semacam doorprize) telepon genggam “BlackBerry”. Individu lain datang ke acara

yang sama karena ada “pentas musik” di akhir acara. ”Undian berhadiah” serta

”pentas musik” adalah sedikit contoh dari alat pembentuk keramaian suatu acara jalan

santai. “Objek” dari motivasi merupakan alat pembentuk keramaian. Manusia adalah

makhluk yang bisa dimobilisasi membentuk keramaian.

Dalam sebuah keramaian pasti banyak sekali ditemui beberapa kelompok.

Dalam suatu kelompok banyak sekali ditemui suatu makna pertemanan dari setiap

individu. Keramaian mempunyai makna tersendiri yaitu, merupakan kumpulan dari

sekelompok orang-orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan tertentu. dimana ada

sebuah organisasi yang menyusun berbagai pekerjaan atau kegiatan guna

menghasilkan sebuah pencapaian tujuan. dalam keramaian diperlukan interaksi

bersama dan adanya karakteristik yang berbeda agar dapat menciptakan suatu

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

31

keragaman. dalam psikologi kelompok, kelompok dapat menunjang perkembangan

optimal masing-masing individu untuk membentuk suatu kumpulan yang dapat

disebut juga dengan keramaian. menurut Homans (1950) keramaian adalah sejumlah

individu berkomunikasi satu dengan yang lain dalam jangka waktu tertentu yang

jumlahnya tidak dapat ditentukan. Jadi pengertian kecemasan keramaian adalah

perasaan yang dialami seseorang ketika berfikir bahwa akan terjadi hal yang tidak

menyenangkan terhadap sekumpulan dari sekelompok orang-orang atau lebih yang

disebut keramaian itu sendiri.

2.4.1 Faktor-faktor yang mendasari manusia berkelompok dan membentuk

keramaian.

1. Adanya persamaan senasib

2. Tujuan yang sama

3. Ideologi yang sama

4. Musuh bersama

5. Suku bangsa yang sama atau kelompok etnik

2.4.2 Bentuk-bentuk kelompok sosial yang mendasari timbulnya keramaian

menurut para ahli.

1. In Group dan Out Group

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

32

Summer membedakan antara in group dan out group. In

Group merupakan kelompok social yang dijadikan tempat oleh individu-

individunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Out Group merupakan

kelompok sosial yang oleh individunya diartikan sebagai lawan in Group.

Contoh: Istilah “kita” atau “kami” menunjukkan adanya artikulasi in

group, sedangkan “mereka” berartikulasi out group.

2. Kelompok primer dan sekunder

Charles Horton Cooley mengemukakan tentang kelompok primer yang

ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya, kerja

sama yang erat dan bersifat pribadi,interaksi sosial dilakukan secara tatap

muka (face to face). Kelompok sekunder adalah kelompok sosial yang

terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungannya tidak perlu

berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga sifatnya tidak begitu

langgeng.

3. Gemainschaft dan gesellschaft

Ferdinand Tonnies mengemukakan tentang hubungan antara individu-

individu dalam kelompok sosial sebagai Gemainschaft (paguyuban)

dan gesellschaft (patembayan). Gemainschaft merupakan bentuk-bentuk

kehidupan yang di mana para anggota-anggotanya diikat oleh hubungan

batin yang murni, bersifat ilmiah, dan kekal. Contoh: keluarga, kelompok

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

33

kekerabatan, rukun tetangga, dll.Gesellschaft (patembayan) merupakan

ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu tertentu (yang

pendek) atau bersifat kontraktual. Contoh: hubungan perjanjian

perdagangan, organisasi formal, organisasi suatu perusahaan, dll.

4. Kelompok Formal dan Informal

J.A.A. Van Doorn membedakan kelomok Formal dan Informal.

Kelompok Formal mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja

diciptakan oleh para anggotanya untuk mengatur hubungan mereka,

misalnya pemerintah memilih ketua, iuran anggota, dll. Kelompok

Informal tidak mempunyai struktur atau organisasi tertentu . Kelompok ini

terbentuk karena pertemuan berulang-ulang, misal kelompok dalam

belajar.

5. Membership group dan reference group

Robert K. Merton membedakan kelompok membership dengan

kelompok reference. Kelompokmembership merupakan kelompok yang

para anggotanya tercatat secara fisik sebagai anggota, sedangkan

kelompok reference merupakan kelompok sosial yang dijadikan acuan

atau rujukan oleh individu-individu yang tidak tercatat dalam anggota

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

34

kelompok tersebut untuk membentuk atau mengembangkan

kepribadiannya atau dalam berperilaku.

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keramaian yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah kerumunan sekelompok orang yang menimbulkan

kebisingan dan kegaduhan yang tidak hanya terjadi di dalam sekolah atau di dalam

kelas saja, tetapi juga dapat terjadi di manapun yang bisa menimbulkan rasa cemas

terhadap siswa itu sendiri.

2.5 Penerapan Konseling Kelompok Melalui Teknik Desensitisasi Sistematik

untuk Mengatasi Kecemasan Terhadap Keramaian.

Desensitisasi sistematik merupakan tehnik yang cocok untuk menangani

fobia, tetapi merupakan suatu konsepsi yang keliru kalau tehnik ini dapat

diaplikasikan hanya untuk menangani kecemasan. Comier & Cormier ( Corey, 1995 )

menyatakan bahwa secara historis desensitisasi merupakan tehnik yang memiliki

catatan sejarah yang paling panjang sebagai tehnik untuk menangani rasa takut dan

hasilnya telah didokumentasikan.

(Abimanyu & Thayeb, 1996) mengemukakan bahwa desensitisasi sistematik

digunakan untuk menurunkan kemaarahan, menambah rasa toleransi pada orang lain

mengatasi situasi kehilangan dan keduka citaan, menghilangkan berbagai fobia,

menghilangkan berbagai kecemasan dan menghilangkan berbagai rasa takut. Dalam

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/1683/3/T1_132007034_BAB II.pdf · Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan

35

penerapannya teknik desensitisasi ini menggunakan berbagai tahap-tahap pelaksanaan

sesuai dengan langkah-langkah prosedur yang efektif.

Seperti studi penelitian yang sudah dilakukan oleh Hekmat Hamid (2006)

yang mengemukakan bahwa teknik desensitisasi sistematis efektif untuk menurunkan

kecemasan berbicara di depan umum.

2.6 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Konseling kelompok

melalui pendekatan behavioral secara signifikan dapat menurunkan kecemasan

keramaian siswa kelas VIII B SMP Negeri 10 Salatiga