BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Umumeprints.umm.ac.id/58466/3/BAB II.pdf · 2020. 1. 23. · Tabel 2. 1...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Umumeprints.umm.ac.id/58466/3/BAB II.pdf · 2020. 1. 23. · Tabel 2. 1...
-
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Umum
Indonesia adalah negara kepulauan terluas di dunia dimana mencakup
17.000 pulau, dan terletak di garis khatulistiwa yang memiliki pancaran sinar
matahari sepanjang tahun. Indonesia terletak diantara jajaran benua besar di dunia
yaitu asia dan australia. Pulau-pulau tersebut juga terletak diantara selat bahkan
lautan besar seperti samudra hindia dan pasifik. Akumulasi dengan daratan
indonesia adalah sekitar 1,9 juta km2. Indonesia adalah negara terbesar diantara
negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Filiphina, Papua
Nugini. Populasi di indonesia adalah 222 juta berdasar data Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia tahun 2006. Tak hanya itu, indonesia juga memiliki panjang
sungai yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu persebaran sungai
terpanjang di Indonesia adalah di pulau Kalimantan yaitu sungai Kapuas sepanjang
1143 km, sungai Mahakam sepanjang 920 km, sungai Barito sepanjang 900 km.
Kondisi daerah yang bervariasi yang dipisahkan oleh lembah dan sungai
menyebabkan kebutuhan akan jembatan sebagai sarana transportasi jembatan akan
sangat bermanfaat untuk menghubungkan daerah satu dengan yang lainnya.
Jembatan adalah suatu konstruksi yang gunanya meneruskan konektivitas
suatu rintangan yang tidak sebidang dan berada lebih rendah. Rintangan ini
biasanya berupa jalan air (sungai) atau jalan lalu lintas biasa (Struyk dan Veen,
1984). Dalam perencanaan dan perancangan jembatan sebaiknya juga
mempertimbangkan fungsi kebutuhan transportasi, persyaratan teknik dan estetika
arsitektural (supriyadi dan muntohar, 2007). Dalam merencanakan sebuah jembatan
terdapat beberapa pertimbangan dari segi ekonomis maupun teknik yang
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan. Pada perkembangannya, berbagai macam
dan bentuk material jembatan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi konstruksi terkini.
-
2.2. Pekembangan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang telah melakukan pemerataan
infrastruktur penghubung seperti jalan dan jembatan selama beberapa dekade
terakhir. Berdasar dari UU No 38 tahun 2004 tentang jalan menyatakan bahwa
jalanan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan
penting dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan
dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai
keseimbangan dan pemerataan pembangunan daerah, membentuk dan
memperkukuh kesatuan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka
mewujudkan sasaran pembangunan nasional yang merata. Hingga saat ini,
transportasi darat adalah moda transportasi yang paling dominan diantara yang
tersedia. Di Indonesia sekitar 90% dari 95 barang yang di distribusikan di Indonesia
ditopang oleh jalur darat. Dengan demikian, sejak tahun 1971 perkembangan jalan
di Indonesia telah mencapai 85.000 km menjadi sekitar 437.759 km pada akhir
tahun 2008 (Data Badan Pusat Statistik Indonesia). Adapun disepanjang jalan
nasional tersebut terdapat sekitar 88.000 jembatan dengan panjang total jembatan
mencapai 1000 km. terlepas dari hal tersebut, terdapat 28.000 jembatan berada di
sepanjang jalan nasional dan provinsi serta 60.000 jembatan lainnya terdapat di
jalan lokal dan perkotaan. Dari pandangan tersebut, sudah sangat jelas bahwa
jembatan memiliki peran yang strategi terhapad fungsi O&M (Operation and
Maintenance) sehingga dalam mengembangkan jembatan perlu investasi yang
begitu besar. Untuk mempercepat pengembangan tersebut dalam hal pemenuhan
infrastruktur, kebijakan pemerintah harus terarah pada pengembangan standarisasi
struktur atas jembatan (superstructure) dengan menyediakan standar perencanaan
yang final serta baku. Sehingga kedepan output yang dihasilkan merupakan hasil
karya berupa gambar konstruksi teknis dan dapat mudah di implementasikan di
lokasi konstruksi.
Tujuan utama standarisasi struktur atas jembatan (superstructure) adalah
menjamin bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh perencana dan memenuhi
persyaratan keamanan konstruksi jembatan. Alasan ini juga untuk menjawab
tantangan karena Indonesia memilik 88.000 jembatan yang sebagian besar
-
8
menyebrangi sungai kecil. Dari semua jembatan yang ada di sepanjang ruas jalan
nasional dan provinsi, jumlah jembatan yang menyebrangi sungai dengan lebar
sungai lebih dari 100 m kurang dari 2% dari total keseluruhan. Meskipun tidak
begitu banyak sungai dengan lebar yang besar dibandingkan dengan negara lainnya.
Maka dari itu, Indonesia telah lama mengembangkan teknologi struktural seperti
yang di implementasikan oleh penerapan struktur beton pratekan, struktur kabel,
rangka, dll. Untuk jembatan dengan bentang 60 m, konstruksi bangunan atas di
Indonesia biasanya mengikuti standar jembatan bina marga yang normal.
Sedangkan apabila jembatan yang memiliki bentang tidak standar memilki standar
perencanaan yang berbeda yang mengadopsi peraturan dari negara maju namun
tentunya standar tersebut tetap menyesuaikan kondisi geografis dengan negara
Indonesia. Pembangunan jembatan bentang panjang di Indonesia dimulai tahun
1960-an yaitu jembatan Ampera, jembatan panjang sistem gelagar menerus
dibangun dari tahun 1962 hingga 1965 di Palembang, Sumatra Selatan.
Pembangunan jembatan Danau Bingkuang di Riau juga memperkenalkan
konstruksi gelagar baja komposit menerus dari tahun 1968 sampai 1970 (Chen dan
Duan, 2014).
Konstruksi jembatan bentang panjang di Indonesia mengalami perkembangan
yang sangat signifikan dan menggunakan berbagai jenis konstruksi yang masih
tergolong baru, antara lain jembatan box girder, PCI Girder, jembatan pelengkung
beton (concrete arch bridge), jembatan pelengkung baja (steel arch bridge),
jembatan gantung, jembatan suspensi (suspension bridge). Jembatan jenis ini
adalah jembatan yang khusus dirancang untuk menjadi jembatan yang ekonomis
dan juga meninjau dari aspek estetika dan komprebilitas jembatan terhadap
lingkungan di sekitarnya (ramah lingkungan). Tren ini terus berkembang sesuai
dengan karakteristik geografis dan kebutuhan lalu lintas lokal. Sebagai contoh, lalu
lintas di pulau Jawa umumnya dirancang untuk melayani lalu lintas yang sangat
padat, menyebrangi sungai atau tepian sungai yang relatif lebih pendek atau sedang.
Sedangkan untuk beberapa wilayah di Kalimantan dan beberapa bagian di pulau
Sumatra, ada banyak sungai dengan bentang lebar serta memiliki lalu lintas air yang
padat. Namun lalu lintas jalan tidak sebesar di pulau Jawa sehingga karakteristik
-
9
jembatan harus mengakomodir ketersediaan jembatan dengan bentang dan
ketinggian yang cukup untuk mengakomodasi lalu lintas pelayaran. Berikut ini
perkembangan jembatan bentang panjang di Indonesia disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Perkembangan jembatan bentang panjang di Indonesia
No Nama jembatan Lokasi
Bentang
utama
(main
span)
Total
panjang
Tahun
Pembuatan
1
Jembatan beton menerus
(continuous concrete
bridge)
Rantau berangin Riau 121 201 1972-1974
Rajamandala Jawa Barat 132 222 1972-1979
Serayu Kegugihan Jawa Tengah 128 274 1978-1985
Mojokerto Jawa Timur 62 230 1975-1977
Arakundo Aceh 96 210 1987-1990
Tonton-Nipah Riau Kepulauan 160 420 1995-1998
Setoko-Rempang Riau Kepulauan 145 365 1994-1997
Siti Nurbaya Sumatra Barat 76 156 1995-2002
Tukad Bangkung Bali 120 360 2006
Air Teluk II Sumatra Selatan 104 214 2006
Perawang Riau 180 1473 2007
2
Jembatan Baja Menerus
(Continuous Steel Bridge)
Ampera Sumatra Selatan 75 1100 1962-1965
Danau Bingkuang Riau 120 200 1968-1970
Siak I Riau 52 350 1975-1977
Kapuas Timpah Kalimantan Tengah 105 255 2010
3
Jembatan Pelengkung
Beton (Concrete Arch
Bridges)
Karebbe Sulawesi Selatan 60 60 1996
Serayu Cindaga Jawa Tengah 90 214 1993-1998
Rempang-Galang Riau Kepulauan 245 385 1995-1998
Besuk Koboan Jawa Timur 80 125 2000
Pangkep Sulawesi Selatan 60 84 2006
Bajulmati Jawa Timur 60 90 2007
4
Jembatan Pelengkung baja
(Steel Arch Bridges)
Malo Jawa Timur 128 178 2007
Ogan Pelengkung Sumatra Selatan 100 100 2008
Kahayan Hulu Kalimantan Tengah 80 160 2007
Kahayan Kalimantan Tengah 150 640 1995-2000
Rumbai Jaya Riau 150 780 2003
-
10
Tabel 2. 2 Perkembangan jembatan bentang panjang di Indonesia (lanjutan)
No Nama jembatan Lokasi
Bentang
utama
(main
span)
Total
panjang
Tahun
Pembuatan
Barito Hulu Kalimantan Tengah 150 561 2008
Martadipura Kalimantan Timur 200 560 2004
Mahulu Kalimantan Timur 200 800 2003
Palu IV Sulawesi Tengah 125 300 2006
Rumpian Kalimantan Selatan 200 754 2008
Batanghari II Jambi 150 1351 2009
Teluk Majid Riau 250 1650 2012
Siak III Riau 120 518 2011
Pela Kalimantan Timur 150 420 2010
Sei Tayan Kalimantan Barat 200 1420 2010
5
Jembatan Kabel (Cable-
Stayed Bridges)
Teuku Fisabilillah Riau Kepulauan 350 642 1998
Pasupati Jawa barat 106 2282 2005
Grand Wisata Overpass Jawa Barat 81 81 2007
Siak Indrapura Riau 200 1196 2007
Siak IV Riau 156 699 2009-2019
Sukarno Sulawesi Utara 120 622 2003-2015
Melak Kalimantan Timur 340 680 2008-sekarang
Galalapoka Maluku 150 1065 2011-2016
6
Jembatan Suspensi (
Suspension Bridges)
Bantar Lama Yogyakarta 80 235 1932
Membramo Papua 235 1082 1996
Barito Hulu Kalimantan Selatan 240 714 1997
Kutai Kertanegara Kalimantan Timur 270 1344 2001
Balang/Teluk Balikpapan Kalimantan Timur 708 1344 DED
7
Jembatan
Khusus/gabungan (Special
Bridge Project)
Kelok 9 Sumatra Barat 90 5000 2013
Jalan Layang Jakarta Utara Jawa Varies Varies Preliminary
Design
Suramadu Jawa Timur 434 5438 2005-2009
Selat Bali (Bali Strait) Jawa Timur-Bali 2000 2000 Preliminary
Design
Selat Sunda (Sunda Strait) Banten-Lampung 2200 29000 Preliminary
Design
Sumber: Buku Handbook of Bridge engineeering, Second Edition (2014)
Dari sekian banyak jenis jembatan yang memiliki bentang panjang (long
span bridge), salah satu yang masih menjadi andalan pemilihan jembatan bentang
panjang adalah jembatan pelengkung (arch bridge) terutama di daerah Kalimantan
yang secara geografis memiliki lebar sungai yang tidak biasa.
-
11
2.3. Klasifikasi Jembatan
Jenis jembatan berdasar fungsi, lokasi, bahan konstruksi, dan tipe struktur
sampai saat ini mengalami perubahan yang signifikan sesuai dengan perkembangan
zaman dan teknologi 4.0 yang semakin cepat, perkembangan tersebut dimulai dari
yang sederhana sampai yang rumit dan mutakhir. Adapun beberapa klasifikasi
jembatan adalah sebagai berikut:
1. Berdasar fungsinya, dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Jembatan jalan raya (highway bridge)
b. Jembatan jalan kereta api (railway bridge)
c. Jembatan pejalan kaki atau penyebrangan orang (pedestrian bridge)
2. Berdasar lokasinya, dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Jembatan diatas sungai, danau atau laut
b. Jembatan diatas lembah
c. Jembatan diatas jalan yang ada (flyover)
d. Jembatan diatas saluran irigasi/drainase (culvert)
e. Jembatan di dermaga (jetty)
3. Berdasar bahan konstruksinya, dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Jembatan kayu (log bridge)
b. Jembatan beton (concrete bridge)
c. Jembatan beton prategang (presstressed concrete bridge)
d. Jembatan baja (steel bridge)
e. Jembatan komposit (composite bridge)
4. Berdasar tipe strukturnya, dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Jembatan pelat (slab bridge)
b. Jembatan pelat berongga (voided slab bridge)
c. Jembatan gelagar (girder bridge)
d. Jembatan rangka (truss bridge)
e. Jembatan pelengkung (arch bridge)
f. Jembatan gantung (suspension bridge)
g. Jembatan kabel (cabble stayed bridge)
h. Jembatan kantilever (cantilever bridge)
-
12
5. Berdasar bentangnya, dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Bentang pendek (small span bridge), panjang bentang hingga 15 m.
b. Bentang sedang (medium span bridge), panjang bentang hingga 75 m.
c. Bentang menengah (large span bridge), panjang bentang antara 50-150 m.
d. Bentang panjang (extra large span bridge), panjang bentang > 150 m.
6. Berdasar position-moveable
Berdasar buku bridge engineering, classification, design loading, and
analysis methods 2017. Jembatan bergerak adalah jembatan yang dapat bergerak
sesuai dengan lalu lintas pelayaran kapal tongkang dibawahnya (schneider, 1907).
Kentungan membuat jembatan ini adalah bentang utama dalam melakukan
pergerakan naik dan turun, sehingga dengan tipe jembatan seperti ini menyebabkan
biaya konstruksi semakin rendah karena tidak adanya dermaga yang tinggi dan
panjang (Teruhiko, 2017) . Adapun tipe jembatan position-moveable adalah sebagai
berikut:
a. Bascule bridge
b. Swing bridge
c. Lift bridge
7. Berdasar interspan relation, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Simply supported bridges
b. Continuous bridges
c. Cantilever bridges
8. Berdasar kondisi geometrik jembatan (geometric shape), jembatan dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Straight bridges
b. Skewed bridges
c. Curved bridges
2.4. Definisi Jembatan Busur Rangka (Arch Bridge)
Secara umum, jembatan busur rangka adalah sebuah jembatan yang
mempunyai bentuk struktur setengah parabola dengan abutmen di kedua sisi
jembatan. Struktur setengah parabola tersebut merupakan rangka utama dari
-
13
jembatan yang fungsinya menerima semua gaya-gaya yang bekerja pada jembatan.
Pada prinsipnya, konstruksi dari jembatan busur dapat memberikan reaksi
horizontal akibat beban vertikal yang bekerja. Desain lengkung akan mengalihkan
beban yang diterima lantai kendaraan jembatan menuju abutmen yang menjaga
kedua sisi jembatan agar tidak bergerak ke samping. Selain itu, bentuk busur
setengah parabola dimaksudkan untuk memungkinkan konstruksi tersebut dapat
menerima momen lentur lebih efisien bila dibandingkan dengan gelagal paralel
(diktat perkuliahan ITS jembatan bentang panjang, 2007). Jembatan busur sangat
cocok untuk lintasan dalam, dengan tebing curam berbatu, yang dapat berfungsi
sebagai tembok pangkal alami yang efisien, terutama dalam menerima komponen
horisontal dari reaksi busur.
Perencanaan jembatan tentunya harus memenuhi aspek ekonomis sebagai
acuan awal perencanaan. Adapun pada jembatan busur memiliki bentang yang
ekonomis sebesar ±300 m (soegihardjo, 2016). Maka jembatan ini merupakan tipe
jembatan yang umum digunakan untuk menyebrangi sungai-sungai di Indonesia
yang pada umumnya memiliki lebar ±300 m. Terlihat beberapa jembatan di
Indonesia yang sudah dibangun menggunakan tipe pelengkung yaitu jembatan
Ponulele di Palu yang membentang diatas Teluk Talise, jembatan di Riau dan yang
terakhir diresmikan di Pontianak yaitu jembatan Sei Tayan serta masih banyak lagi
jenis jembatan bentang panjang di Indonesia seperti yang sudah di jelaskan pada
sub bab sebelumnya.
2.5.Tata Cara Pemilihan Jembatan
Merencanakan sebuah jembaatn tentunya mempertimbangkan kondisi geografis
dan juga bentang yang cocok untuk dilakukan proses desain/preliminary design.
Berikut ini tata cara praktis pemilihan bentuk jembatan berdasar tipe dan bentang
(bridge engineering, classification, design loading, and analysis methods 2017)
-
14
Gambar 2. 1 Tata cara praktis pemilihan tipe jembatan berdasar bentang jembatan
(sumber: Bridge engineering, classification, design loading, and analysis methods 2017)
2.6. Sejarah Jembatan Pelengkung Baja di Indonesia (Steel Arch Bridge)
Berdasar buku Handbook of International Bridge Engineering, 2013,
survey yang telah dilakukan di beberapa negara perihal jembatan bentang panjang
memberikan informasi jembatan yang pernah dibangun di beberapa negara di dunia
salah satunya di Indonesia. Berikut ini beberapa jembatan bentang panjang tipe
busur rangka baja yang ada di Indonesia antara lain:
1. Jembatan Kahayan (640 m), Palangkaraya, Kalimantan Tengah (2000)
Jembatan Kahayan (Gambar 2.2), terletak di Kalimantan Tengah dimana
menghubungkan Palangkaraya-Buntok, konstruksi jembatan melintasi sungai
Kahayan, palangkaraya, Kalimantan Tengah. Jembatan ini di bangun dari tahun
1995 sampai 2002 dimana menghubungkan kota Palangkaraya ke Kabupaten Barito
Selatan dan Kabupaten Barito Utara. Jembatan memiliki panjang 640 m dengan
lebar 9 m ( 7 m untuk kendaraan dan 1 meter untuk pejalan kaki di kedua sisinya).
Jembatan ini memiliki 12 segmen dengan segmen utama jembatan terpanjang 150
m dimana berfungsi sebagai jalur pelayaran. Sungai Kahayan merupakan alur
pelayaran yang sibuk dengan kapal tongkang sehingga memerlukan tinggi bebas
jembatan setinggi 14 m dari ketinggian muka air maksimum dan 18 m dari muka
air normal.
-
15
Gambar 2. 2 Jembatan Kahayan (640 m), Palangkaraya, Kalimantan Tengah
(Sumber : pegipegi.com)
Gambar 2. 3 Tampak dan elevasi jembatan Kahayan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah
(sumber: Handbook of International Bridge Engineering)
2. Jembatan Rumbai Jaya (710 m), Indragiri Hilir, Riau (2004)
Jembatan Rumbai Jaya (Gambar 2.4), membentang di sungai Indragiri pada
hulu sungai Indragiri, dimana jembatan ini menghubungkan Pekanbaru-
Tembilahan, jembatan ini adalah salah satu jembatan terpanjang yang berada di
provinsi Riau.
Gambar 2. 4 Jembatan Rumbai Jaya (710 m), Indragiri Hilir, Riau
(sumber: youtube.com, diakses 21 oktober 2019 )
Gambar 2. 5 Tampak jembatan Rumbai Jaya, Indragiri Hilir, Riau
(sumber: Handbook of International Bridge Engineering)
-
16
Jembatan Rumbai Jaya memiliki panjang total 710 m, dengan bentang
terpanjang adalah 120 m dengan lebar jembatan 7 m. struktur atas jembatan
menggunakan struktur pelengkung rangka baja (steel truss arch bridge). Jembatan
ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 13 maret, 2004.
3. Jembatan Martadipura (569 m), Kota Bangun, Kalimantan Timur (2004)
Jembatan Martadipura (Gambar 2.6), berada di Kota Bangun, Kalimantan
Timur, merupakan jembatan ketiga yang memotong sungai Mahakam. Jembatan
Martadipura adalah jembatan kedua yang dibangun di Indonesia dengan jenis yang
sama, setelah jembatan Rumbai di Riau, dan jembatan dengan bentang terpanjang
yang pernah dibuat, bentang utama jembatan adalah 200 m. Jembatan memiliki
lebar 9 m dengan total panjang keseluruhan ditambah jembatan pendekat adalah
569 m. Tinggi clearance jembatan utama adalah 15 m. struktur atas jembatan
menggunakan konstruksi rangka baja (SM 490 YB) dengan tinggi tampang
lengkung 36 m. lantai jembatan menggunakan beton bertulang K-350 dan struktur
bawah menggunakan pile diameter 1000 mm.
Gambar 2. 6 Jembatan Martadipura (569), Kota Bangun, Kalimantan Timur
(sumber: wikipedia.org)
Gambar 2. 7 Tampak jembatan Martadipura, Kota Bangun, Kalimantan Timur
(sumber: Handbook of International Bridge Engineering)
4. Jembatan Barito Hulu (561 m), Puruk Cahu, Kalimantan Tengah (2008)
-
17
Jembatan Barito Hulu (Gambar 2.10), yang sekarang disebut sebagai
jembatan Merdeka, dimana melintasi sungai Barito, Puruk Cahu, Kota Murung
Raya (Mura), Kalimantan Tengah. Jembatan ini menghubungkan kota Puruk Cahu
dengan Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara. Total panjang jembatan adalah 561
m dengan lebar lantai kendaraan 9 m, dengan konfigurasi busur rangka baja.
Jembatan didesain oleh PT. Perencanan Jaya, Jakarta, dan konstruksi dilaksanakan
selama 5 tahun (2003-2008). Struktur utama menggunakan jembatan busur rangka
baja, dengan bentang 62 m + 153 m + 62 m. Jembatan ini sepintas mirip dengan
jembatan Batanghari II, Jambi, Sumatra.
Gambar 2. 8 Jembatan Merdeka (561 m), Puruk Cahu, Kalimantan Tengah
(sumber: kompas.com)
Gambar 2. 9 Tampak jembatan Merdeka, Puruk Cahu, Kalimantan Tengah
(sumber: Handbook of International Bridge Engineering)
5. Jembatan Rumpiang (754 m), Barito Kuala, Kalimantan Selatan (2008)
Jembatan Rumpiang (Gambar 2.10) terletak di Sungai Barito, Kabupaten
Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Konstruksi jembatan dimulai pada 1
Desember 2003, dan proyek selesai pada 25 April 2009. Total panjang jembatan
adalah 754 m dengan lebar jembatan 9 m.
Secara umum jembatan ini menggunakan tipe rangka, bagian busur
jembatan dilakukan proses erection dengan menggunakan metode kantilever, maka
-
18
dari itu menggunakan metode tower sementara dengan memanfaatkan kabel
sebagai penerima beban sementara dengan metode kantilver
Gambar 2. 10 Jembatan Rumpiang (754 m), Barito Kuala, Kalimantan Selatan
(sumber: wikipedia.org)
Gambar 2. 11 Tampak jembatan Rumpiang, Barito Kuala, Kalimantan Selatan
(sumber: Handbook of International Bridge Engineering)
Pada bentang tengah jembatan dilakukan konstruksi tipe kantilever, setelah
rangkaian rangka busur telah selesai dikerjakan, selanjutnya dilakukan pemasangan
lantai jembatan beserta elemen pendukungnya.
6. Jembatan Mahulu (800 m), Samarinda, Kalimantan Timur (2008)
Jembatan Mahakam Ulu (Gambar 2.14), melintasi Sungai Mahakam,
menghubungkan antara Desa Loa Buah dan Sungai Kujang di Kabupaten
Sengkotek, Kalimantan Timur. Jembatan ini adalah salah satu dari lima jembatan
yang melintasi Sungai Mahakam, Jembatan Martadipura, Jembatan Kertanegara,
Jembatan Ulu Mahakam, Jembatan Mahkota I dan II (adalah merupakan jembatan
yang dilakukan proses konstruksinya pada April 2013). Jembatan ini memiliki
bentang 800 m dengan bentang tengah 200 m dengan lebar lantai kendaraan 11 m.
Jarak antara jembatan dengan elevasi permukaan air adalah 18 m. Proses konstruksi
jembatan terbagi menjadi dua segmen pekerjaan yaitu jembatatan pendekat
(approach span) dari Loa Janan (240 m), dan dari Loa Buah (360 m) dimana
-
19
menggunakan I-Girder Prategang, dan bentang utama jembatan menggunakan
busur rangka baja (200 m)
Gambar 2. 12 Jembatan Mahulu (800 m), Samarinda, Kalimantan Timur
(sumber: detik.com)
7. Jembatan Sei Tayan (1420 m), Tayan, Kalimantan Barat (2019)
Jembatan Sei Tayan (Gambar 2.15), adalah proyek jembatan yang berada di
Kecamatan Tayan, di desain untuk melintasi Sungai Kapuas dan menghubungkan
Kota Tayan dan Piasak, Kabupaten Sanggau, memiliki jarak sekitar 112 km dari
Kota Pontianak. Jembatan ini melintasi Pulau Tayan, dimana pulau ini merupakan
pulau kecil dengan luas 58 ha dengan penduduk sekitar 2100 jiwa. Jembatan ini
mengakomodasi alur transportasi kapal ferry. Jembatan ini merupakan rangkaian
jalan lingkar Kalimantan Selatan, dimana menghubungkan Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah.
Jembatan Sei Tayan memiliki 2 bagian, dengan panjang total 1420 m
dengan lebar lantai kendaraan 11 m (4 lajur). Bagian jembatan yang pertama dapat
diakses dari sisi utara dari Pulau Tayan dengan bentang 280 m. Jembatan kedua,
dimana jembatan utama berada, menghubungkan Pulau Tayan dan Piasak dengan
bentang 1074 m. Jembatan utama menggunakan busur rangka baja dengan bentang
350 m, bentang jembatan di desain sebagai alur pelayaran yang sibuk pada sungai
ini. Jembatan ini telah diresmikan pada tahun 2019 oleh Presiden Republik
Indonesia Ir. Joko Widodo pada tahun 2019.
-
20
Gambar 2. 13 Jembatan Sei Tayan (1074 m), Pontianak, Kalimantan Barat
(sumber: kompas.com)
Gambar 2. 14 Tampak jembatan Sei Tayan, Pontianak, Kalimantan Barat
(sumber: Handbook of International Bridge Engineering)
2.7. Jembatan Busur Penyebrangan Orang Muara Teweh-Jingah
Pembangunan jembatan penyebrangan orang Muara Teweh-Jingah adalah
salah satu proyek yang digagas oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Provinsi Kalimantan Tengah. Secara geografis pembanguanan jembatan ini
menghubungkan Kota Muara Teweh ke wilayah Jingah, jembatan ini bertujuan
untuk meningkatkan laju ekonomi pada daerah Jingah sehingga arus orang dan
barang menjadi lebih cepat dan murah. Jembatan ini memliki bentang total 300
meter dengan tinggi 29,3 meter serta lebar lantai kendaraan 6,2 meter. Secara
servicebility jembatan Muara Teweh-Jingah merupakan jalan yang difungsikan
hanya untuk pejalan kaki dan kendaraan roda 2. Tipe jembatan yang digunakan saat
ini adalah rangka busur baja tipe A Half Through Arch.
-
21
Gambar 2. 15 Proses konstruksi jembatan Muara Teweh-Jingah
(sumber: Hidayat, 2019)
2.8 Jenis-Jenis Jembatan Busur
Seperti jembatan lainnya, jembatan busur juga memiliki jenis-jenis yang
diklasifikasikan dengan beberapa jenis (O’Conor 1971). Dimana dalam beberapa
kasus dapat di klasifikasikan berdasar pengaturan strukturalnya, dll.
a) Menurut posisi relatif dek kendaraan
a. Deck arch bridges
Jembatan busur tipe deck arch, adalah jembatan yang memiliki lantai
kendaraan diatas puncak (crown) busur itu sendiri sehingga transfer beban langsung
disalurkan melalui sprandel ke pelengkung. Jembatan jenis ini dapat menahan gaya-
gaya dalam aksial dan lentur yang terjadi akibat beban lalu lintas diatasnya.
Jembatan jenis ini adalah tipe busur yang ideal digunakan untuk melintasi viaduk
dengan konstruksi batu gunung atau beton. Jarak antara lantai kendaraan dan busur
disebut dengan sparandel. Pemilihan jembatan ini juga berdasar dari jenis tanah
yang cukup untuk mengakomodasi perletakan jepit pada jembatan.
Gambar 2. 16 Deck arch bridge
(sumber: Chen dan Duan,2014)
-
22
b. Through arch bridges
Jembatan busur tipe Through arch bridge adalah jembatan yang memiliki
lantai kendaraan yang berada diantara springline busur. Secara umum gaya dari
girder jembatan disalurkan ke busur melalui hanger dengan menggunakan kabel/tie
rod. Jembatan jenis ini biasanya dipilih berdasar kondisi tanah eksisting yang
buruk. Girder dari jembatan biasanya menggunakan steel box girder atau
prestressed concrete girder, tergantung dari kekakuan dalam memikul beban yang
terjadi.
Gambar 2. 17 Through arch bridge
(sumber: Chen dan Duan, 2014)
c. A-Half – Through arch bridges
Jembatan busur tipe A-Half through arch, adalah jembatan yang memiliki
dek yang terletak diantara ketinggian busur. Dimana setengah busur terletak di atas
dek jembatan dan dibawah dek jembatan sehingga lantai kendaraan pada bentuk
busur ini berada diantara puncak dari busur dan kaki busur. Pada kasus seperti ini
sering dilakukan modifikasi dengan penambahan struktur setengah busur pada
bagian bawah jembatan sebagai pengaku dari busur utama jembatan.
Gambar 2. 18 A Half Through Arch
(sumber: Chen dan Duan, 2014)
-
23
Gambar 2. 19 Deck arch dan A half through arch (jembatan Komagata, Tokyo)
(sumber: Lin, 2017)
Gambar 2. 20 A through arch, jembatan Kachidoki-Bashi, Tokyo)
(sumber: Lin,2017)
b) Menurut perletakan
Menurut buku bridge engineering handbook second edition, fundamental
2014, jembatan busur dapat dikasifikasikan menjadi beberapa jenis perletakan
antara lain :
a. Three-hinged arch
b. Two-hinged arch
c. Multi-hinged arch
d. Fixed arch
Gambar 2. 21 (a) three hinged arch, (b) two hinged arch, (c) Fixed arch
(sumber: teruhiko, 2017)
-
24
Gambar 2. 22 Multi-hinged arch
(sumber: Teruhiko, 2017)
c) Menurut pengaturan hanger
Menurut buku bridge engineering handbook second edition, Fundamental
2014, jembatan busur dapat diklasifikasikan berdasar pengaturan hanger, dengan
beberapa tipe antara lain:
a. Vertical-hanger arch
b. Nielsen arch
c. Network arch
Gambar 2. 23 Klasifikasi jembatan busur berdasar pengaturan hanger (a) vertical-hanger arch
bridge, (b) nielsen arch bridge, (c) network arch bridge,
(sumber: Bridge engineering handbook second edition, fundamentals, 2014)
d) Menurut rib form
Menurut buku bridge engineering handbook second edition, Fundamental
2014, jembatan busur dapat diklasifikasikan berdasar rib form busur dengan
beberapa tipe antara lain :
a. Paralel-rib arch bridge
b. Single-rib arch bridge
c. Open arch bridge
d. Backet-handle-like arch bridge
-
25
Gambar 2. 24 Klasifikasi jembatan busur berdasar rib form (a) paralel-rib arch bridge, (b) single-
rib arch bridge, (c) open arch bridge dan (d) basket-handle-like arch bridge
(sumber: Bridge engineering handbook second edition, fundamentals, 2014)
2.9. Tata Cara Pemilihan Bentuk Busur
Sebelum melakukan proses preliminary design terhadap bentuk busur yang
akan diterapkan pada saat proses konstruksi, maka ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan antara lain sebagai berikut :
a) Kondisi Geologi Tanah Dasar
Ditinjau dari segi geologi tanah dasar dari jembatan yang akan dibangun
maka terdapat beberapa pertimbangan antara lain sebagai berikut :
a. Tebing yang memiliki ketinggian yang curam, tinggi serta kondisi tanah
yang bagus maka lebih cocok mengguanakn tipe busur dengan lantai
kendaraan diatas (deck arch)
b. Bila kaki busur dari jembatan yang dikehendaki terendam air, maka
jembatan yang cocok digunakan adalah A Half Through arch
c. Kondisi tanah yang kurang baik, untuk menerima gaya lateral sebaiknya
menggunakan jembatan jenis A Half Through Arch.
b) Bentang Jembatan
Kondisi panjang rentang jembatan menentukan tipe jembatan yang akan
digunakan, berikut ini beberapa pertimbangan antara lain :
a. Bentang jembatan 60-250 meter, sebaiknya menggunakan busur dinding
penuh (box girder) atau rangka.
b. Bentang jembatan 250-500 meter, sebaiknya menggunakan tipe rangka pada
busur.
-
26
c) Tingkat Beban
Penentuan kelas jembatan juga berpengaruh terhadap bentuk busur yang
digunakan, berikut ini beberapa pertimbangan pemilihan bentuk busur berdasar
tingkat beban.
a. Apabila beban yang ditopang oleh jembatan besar, maka dapat
menggunakan busur rangka baja.
b. Apabila beban yang ditopang oleh jembatan tidak terlalu besar, maka dapat
menggunakan busur dengan tipikal dinding penuh atau profil box.
d) Keindahan/estetika
Secara fungsi/serviceability jembatan tidak hanya mengakomodir sebagai
alat penunjang transportasi, namun juga harus memberikan estitka yang baik
sehingga bisa menjadi landmark. Berikut ini beberapa pertimbangan pemilihan
bentuk busur berdasar keindahan/ estetika:
a. Busur dengan penampang tengah lebih kecil memberikan kesan langsing
b. Penambang busur yang berupa dinding penuh memberikan kesan tenang
c. Struktur busur yang berupa rangka baja kantilever memberikan kesan
megah pada jembatan.
e) Clearance Jembatan
Ditinjau dari clearance jembatan, terbagi menjadi dua antara lain clearance
diatas jembatan utama dan clearance dibawah jembatan. Clearance diatas
permukaan jembatan adalah untuk mengakomodasi ketinggian dari kendaraan yang
akan melintasi jembatan. Sedangkan clearance dibawah jembatan secara umum
diukur dari permukaan air dibawah jembatan (atau tanah,jika jembatan tidak
menyebrangi sungai), ke bagian bawah struktur jembatan. Dalam merencanakan
jembatan harus meninjau mean highest high water (MHHW) sebagai pengukuran
clearance yang paling konservatif. Selain itu, perhitungan yang bisa dilakukan
dalam merencanakan clearance jembatan adalah keamanan jembatan terhadap lalu
lintas pelayaran dibawahnya (Tehuriko, 2017).
-
27
2.10. Elemen Struktur Atas (Superstructure) Jembatan Busur
Terdapat beberapa elemen pendukung yang menyusun struktur atas
(superstucture) dari jembatan busur A-Half Through Arch antara lain sebagai
berikut:
a. Trotoar
b. Tiang railing dan pipa sandaran
c. Lantai kendaraan jembatan
d. Gelagar memanjang
e. Gelagar melintang/diafragma
f. Ikatan angin/Ikatan lateral
g. Tali penggantung/hanger
h. Rangka utama (rangka busur)
i. Tumpuan/bearing
j. Sambungan
2.11. Karakteristik material
Jembatan tipe A-Half Through Arch merupakan jembatan rangka yang
memiliki material penyusun seperti baja dan beton, tentunya dalam merencanakan
sebuah jembatan penting untuk mengetahui perilaku material tersebut terhadap
hasil pengujian yang dipersyaratkan.
2.11.1. Baja (Steel)
Kriteria perencanaan struktur adalah memenuhi syarat kekuatan, kekakuan
dan daktilitas. Kekuatan terkait dengan besarnya tegangan yang mampu di pikul
tanpa mengalami kerusakan, baik berupa deformasi (yielding) atau fracture
(terpisah). Parameternya berupa tegangan leleh dan tegangan ultimate. Faktor
kekakuan adalah besarnya gaya yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit
deformasi, parameternya adalah modulus elastisitas. Faktor daktilitas terkait
dengan besarnya deformasi sebelum keruntuhan (failure) terjadi, satu faktor
penting dalam perencanaan struktur dengan pembebanan tak terduga atau sulit
diprediksi (gempa atau angin). Maka dari itu dengan parameter kekuatan, kekakuan
-
28
dan daktilitas digunakan untuk pemilihan material konstruksi maka dapat dengan
mudah ditentukan bahwa material baja adalah material yang unggul dibandingkan
beton atau kayu. Selain itu baja merupakan produk turunan industri sehingga
kualitas produk material dapat dikontrol sebaik mungkin.
Secara umum, karakteristik material baja dapat diukur berdasar kurva
engineering stress-strain adalah kurva σ-ε yang umum dipakai dalam perencanaan
rekayasa. Kurva didapat melalui konversi data pengujian (P-Δ) dengan data
geometri (A dan L) kondisi awal. Dari kurva tersebut maka dapat ditentukan
parameter berikut ini:
Gambar 2. 25 Parameter penting kurva σ-ε
(sumber: diktat struktur baja UGM, 2016)
Gambar 2. 26 Kurva stress-strain beberapa jenis material
(sumber: Barker, 2007)
-
29
Kurva engineering stress-strain, selanjutnya disebut kurva σ-ε atau kurva
tegangan-regangan saja. Pada kurva tersebut, segmen OA berupa garis lurus,
kemiringannya adalah modulus elastis, E= σ-ε, atau konstanta numerik yang
menunjukkaan besarnya kekakuan elastis. Kondisi elastis jika deformasinya tidak
permanen, dapat kembali ke kondisi awalnya jika beban dihilangkan. Oleh karena
itu ,umumnya batas elastis disamakan dengan batas proporsional. Jika batas elastis
tercapai,selanjutnya kondisinya menjadi plastis, atau inelastis, dimana jika terjadi
deformasi akan bersifat permanen. Kurva σ-ε berasal dari hasil pengujian dimana
titik regangan lelehnya tidak jelas. Oleh sebab itu, untuk menentukan perlu dibuat
garis bantu baru sejajar OA, offset sebesar 0,2% (0,002), sampai memotong kurva
σ-ε dititik fy, sehingga pada titik inilah yang disepakati sebagai tegangan leleh atau
kuat leleh.
Jika diperhatikan, karakter perilaku material baja konstruksi pada dasarnya
mirip, bahkan untuk kondisi elastis adalah sama. Perbedaan baru akan terlihat
ketika kondisi inelastis mulai terjadi, yaitu terjadinya leleh (yielding). Oleh sebab
itu perbedaan mutu baja ditentukan oleh kuat leleh (fy) dan kuat tarik (fu)
materialnya. Fenomena leleh (yield) berperan penting pada daktilitas struktur, dan
dapat menyebabkan redistribusi tegangan saat inelastis. Oleh sebab itu pemakaian
baja mutu tinggi, yang terbatas kemampuan lelehnya, harus dihindari dipakai pada
bagian yang beresiko tinggi yang mengalami inelastis (gempa). Maka dari itu salah
satu alasan mengapa analisis plastis dibatasi untuk baja mutu sampai 450 MPa saja
(AISC 2010 dan AASHTO 2017).
Gambar 2. 27 Kurva σ-ε tipikal baja konstruksi
(sumber: engrzohaibahmed.com)
-
30
Untuk semua jenis baja, modulus elastis (E) adalah 200.000 MPa, dan
tangent modulus kondisi strain-hardening, adalah sekitar 1/30 an kali kondisi
elastisitasnya, yaitu 6700 MPa. Kurva σ-ε mewakili baja mutu biasa, dimana
kondisi leleh terlihat jelas, sebagai segmen horisontal pada kurva. Kondisi elastis
dibatasi sampai tegangan leleh, fy. Jika ditentukan kondisi tegangannya konstan,
hanya ada pertambahan regangan sampai mulai terjadi strain-hardening. Jika beban
diteruskan maka tegangannya akan meningkat sampai leleh maksimum, dan disebut
kuat tarik atau kuat batas (ultimate) fu.
Adapun sifat mekanis dari material baja dalam perencanaan harus
memenuhi persyaratan minimum sesuai yang disajikan pada tabel dibawah ini
(RSNI T-03-2005).
Tabel 2. 3 Sifat mekanis baja
Jenis Baja Tegangan Putus minimum,
fu (Mpa)
Tegangan leleh
minimum, fy (Mpa)
Peregangan minimum
(%)
BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
BJ 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 55 550 410 13
Sumber : RSNI T-03-2005
Tabel 2. 4 Sifat mekanis baja lainnya
Indikator Nilai
Modulus elastisitas (E) 200.000 Mpa
Modulus geser (G) 80.000 Mpa
Angka poisson () 0,3
Koefisien pemuaian () 12 x 10-6 per C
Sumber : RSNI T-03-2005
2.11.2. Beton (Concrete)
Beton (concrete) merupakan material konstruksi yang paling banyak
digunakan di Indonesia. Material ini merupakan campuran agregat kasar serta
agregat halus yang diikat oleh campuran komposisi kimia seperti semen.
Penggunaan material beton banyak digunakan di Indonesia karena material yang
tersedia di alam sangat melimpah. Secara umum, beton memiliki karakteristik
memiliki daya tahan terhadap tekan sangat baik dan rendah terhadap tarik. Kuat
tekan beton dapat bervariasi tergantung dari perbandingan campuran antara semen,
-
31
agregat kasar, agregas halus, dan air serta berbagai jenis campuran (admixures) dan
juga lama serta kualitas perawatan. Faktor lain adalah FAS (faktor air semen)
merupakan faktor utama didalam menentukan kekuatan beton. Untuk beton normal,
maka kekuatan uji yang tersedia disepakati sebesar 80 % dari kekuatan uji yang
terjadi (ACI,2014).
Gambar 2. 28 Proses transfer gaya yang terjadi pada beton
(sumber: civilengineeringforum.me)
Dalam uji tarik beton itu sendiri biasanya sekitar 10 % sampai dengan 20 %
dari kuat tekan tersedia, dimana proses pengujian tarik dilakukan dengan tes
pembelahan silinder. Sedangkan modulus elastisitas dari beton juga tergantung dari
mutu beton. Modulus elastisitas beton juga berpengaruh terhadap umur beton, sifat-
sifat dari agregat dan semen, kecepatan pembebanan, jenis dan ukuran benda uji.
Untuk lebih jelasnya, maka karakteristik beton biasanya diimplementasikan dalam
bentuk diagram tipikal regangan beton dengan modulus awal beton secara praktis
dianggap linear atau disebut dengan tangent modulus.
Gambar 2. 29 Diagram tipikal tegangan dan regangan uji tarik dan tekan beton
(sumber: hindawi.com)
Modulus elastis dari beton biasanya terjadi pada 25% sampai 50 % dari
kekuatan hancur beton (fc), sehingga diambil sebagai modulus elastis beton, setelah
-
32
mendekati 70 % kekuatan hancur (fc), maka material beton memiliki banyak
kehilangan kekuatannya sehingga diagram tegangan dan regangan tidak linear lagi.
Pada beban batas, terjadi retak yang searah beban dengan benda uji silinder akan
hancur dan selanjutnya kekuatan beton akan turun secara tajam dan regangan batas
umurnya berkisar antara 0,003 sampai 0,004.
2.12. Filosofi Desain (Metode LRFD/ Load Factor Resistance Design)
Konsep Load Resistance Factor Design (LRFD), pada struktur baja
menyatakan bahwa beban yang dipakai pada LRFD adalah beban yang telah
dikalikan dengan suatu load factor tertentu yang didapatkan dari hasil penelitian
secara statistik serta telah dijadikan peraturan/code sesuai dengan instansi yang
berwenang. Penggunaan faktor beban tentunya tergantung dari tingkat resiko dari
beban tersebut sehingga faktor beban nilainya selalu ≥ 1,0. Demikian juga dengan
kekuatan dari material/ struktur itu perlu dilakukan reduksi terhadap kekuatan
material/ struktur. Pengurangan kekuatan material disebabkan karena
ketidaksempurnaan proses fabrikasi/ instalasi dsb. Maka dari itu, faktor reduksi
kekuatan material nilainya selalu < 1,0. Adapun analisa struktur dapat dilakukan
secara elastis maupun plastis. Namun tetap merujuk kondisi keadaaan batas struktur
(ultimate) berupa : kondisi leleh, tekuk, dan putus/fraktur. Adapun perencanaan
struktur dan komponen-komponen dilakukan dengan memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
ϕRn ≥ Σ ηi γi Qi ........................................................................................... (2.1)
Dimana :
Rn` : adalah kuat nominal dari struktur, diambil dari skenario kegagalan
(kondisi ultimate) yang paling mungkin terjadi.
ϕ : faktor keamanan untuk kekuatan nominal struktur (faktor reduksi struktur)
Σ ηi γi Qi: adalah kombinasi jenis beban yang dipikul oleh struktur rencana.
Dimana faktor keamanan diberlakukan baik terhadap beban maupun
kekuatan struktur.
-
33
2.13. Pembebanan Jembatan
Pembebanan pada jembatan harus direncanakan sesuai dengan peraturan
yang berlaku, adapun standar pembebanan yang digunakan adalah SNI 1725:2016
dan disesuaikan dengan AASHTO LRFD Bridge Design Spesifications 8th Edition
2017. Pada perencanaan jembatan, pembebanan harus memperhitungkan aksi
beban rencana yang digabungkan satu dengan yang lainnya sesuai dengan
kombinasi perencanaan yang diisyaratkan dalam perencanaan jembatan. Aksi yang
terjadi pada jembatan akan memberikan gaya-gaya dalam pada sebuah struktur
sehingga dengan hasil reaksi tersebut dapat diperkirakan dimensi rencana yang
ekonomis dari jembatan sesuai dengan beban yang bekerja. Maka dari itu dalam
penentuan faktor pembebanan dan kombinasi dari pembebanan harus memenuhi
persamaan (SNI 1725:2016 pasal 5) :
Q = Σ ηi γi Qi ............................................................................................... (2.2)
Dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
Untuk beban-beban dengan nilai maksimum γi , maka faktor pengubah
respon digunakan sebesar:
ηi =ηD ηR ηI ≥ 0,95 ...................................................................................... (2.3)
Untuk beban-beban dengan nilai minimum γi maka faktor pengubah reson
digunakan sebesar:
ηi = 1
ηD
ηR
ηI
≤ 1................................................................................................ (2.4)
Dimana:
ηi : adalah faktor pengubah respon, termasuk daklititas, redudansi dan
kepentingan operasional
ηD : adalah faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas
ηR : adalah faktor pengubah respons berkaitan dengan redudansi
ηI : adalah faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas
γi : adalah faktor beban
Qi : adalah gaya yang bekerja pada jembatan
-
34
1. Daktilitas
Jembatan harus diporsi agar perilaku deformasi inelastis pada keadaan batas
ultimit dan ekstrim sebelum mengalami kegagalan. Perangkat disipasi energi
gempa dapat digunakan untuk menggantikan sistem pemikul beban gempa, maka
dari perhitungan faktor pengubah respon sebaiknya dipertimbangkan pada keadaan
batas ultimit, maka (SNI 1725:2016):
ηD = 1,05 (untuk komponen tidak daktail dan sambungan)
ηD = 1,00 (untuk perencanaan konvensional serta pedetailan yang mengikuti
peraturan)
ηD = 0,95 (untuk komponen-komponen dan sambungan yang telah dilakukan
tindakan tambahan untuk meningkatkan daktilitas lebih dari peraturan
yang diisyaratkan pada peraturan ini)
ηD = 1,00 (untuk keadaan batas lain yang termasuk keadaan batas ekstrim/gempa)
2. Redudansi
Jenis pembebanan yang terjadi secara terus menerus harus digunakan
kecuali dengan alasan kuat yang mengharuskan untuk tidak menggunakan struktur
tersebut. Untuk keadaaan batas ultimit maka:
ηR = 1,05 (untuk komponen no redundan)
ηR = 1,00 (untuk komponen dengan redudansi konvensional)
ηR = 0,95 (untuk komponen dengan redudansi melampaui kontiunitas girder
dan penampang torsi tertutup)
ηR = 1,00 (untuk keadaan batas lain yang termasuk keadaan batas ekstrim/
gempa)
3. Kepentingan operasional
Dalam menentukan jenis kepentingan operasional harus dilakukan oleh
otoritas yang berwenang terhadap jaringan transportasi dan mengetahui kebutuhan
operasional:
-
35
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηI = 1,05 (untuk jembatan penting atau sangat penting)
ηI = 1,00 (untuk jembatan tipikal)
ηI = 0,95 (untuk jembatan kurang penting)
ηI = 1,00 (untuk jembatan kurang penting)
2.13.1. Beban Permanen
Berdasar AASHTO 2017, beban permanen adalah beban penyusun dari
jembatan yang sifatnya tetap atau tidak berubah, beban permanen termasuk
didalamnya adalah komponen struktur, beban mati tambahan/utilitas, wearing
surface/lapisan permukaan jalan, overlay aspal jembatan, dan rencana pelebaran
jembatan (planned widenings). Berat dari bagian tersebut adalah massa dikalikan
dengan percepatan gravitasi. Kerapatan massa memberikan unit kg/m3 dan kg/mm.
untuk konversi satuan menjadi N/m3 maka kerapatan massa harus dikalikan dengan
percepatan gravitas g = 9,8066 m/sec2 dan satuan akan menjadi kg m/sec2 sebagai
satuan newton. Adapun besarnya kerapatan massa material secara umum dijelaskan
pada tabel 2.4.
Tabel 2. 5 Berat jenis permanen
No Bahan Berat isi
(kN/m3)
Kerapatan Massa
(Kg/m3)
1 Lapisan permukaan beraspal (bituminous
wearing coarse) 22 2245
2 Besi Tuang (cast iron) 71 7240
3 Timbunan tanah dipadatkan (compacted sand,
silt or clay) 17,2 1755
4 Kerikil dipadatkan (rolled gravel, macadam
or ballast) 18,8-22,7 1920-2315
5 Beton aspal (asphalt concrete) 22 2245
6 Beton ringan (light concrete) 12,25-19,60 1250-2000
7 Beton F'c ≤ 35 MPa 2320
35 < F'c ≤ 150 MPa 2240 + 2,29 F'c
8 Baja (steel) 78,5 7850
9 Kayu (wood) 7,8 800
10 Kayu keras (hard wood) 11,0 1125
Sumber: SNI 1725:2016
-
36
2.13.1.1. Berat Sendiri (MS)
Berdasar SNI 1725:2016, berat sendiri adalah berat bagian dari elemen-
elemen struktural lain yang dipikulnya, termasuk dalam hal ini adalah berat dari
material jembatan yang merupakan elemen struktural jembatan. Adapun elemen
nonstruktural jembatan juga termasuk dalam pembebanan ini. Berikut ini faktor
pembebanan yang digunakan terhadap berat sendiri disajikan pada tabel 2.5.
Tabel 2. 6 Faktor beban untuk berat sendiri
Tipe
Beban Bahan
Faktor Beban (γMS)
Keadaaan Batas Layan
(γSMS)
Keadaan Batas Ultimit (γUMS)
Biasa Terkurangi
Tetap
Baja 1,00 1,10 0,90
Aluminium 1,00 1,10 0,90
Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85
Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75
Kayu 1,00 1,40 0,70
Sumber: SNI 1725:2016
2.13.1.2. Beban Mati Tambahan/ Utilitas (MA)
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen nonstruktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. semua jembatan harus direncanakan untuk bisa
memikul beban tambahan yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisan
kembali di kemudian hari kecuali ditentukan oleh instansi berwenang. Selanjutnya
pengaruh alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada jembatan harus
dihitung seakurat mungkin. Berat pipa saluran air bersih, saluran air kotor dan
lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh sehingga dapat
diperhitungkan kondisi paling berbahaya pada jembatan. berikut ini faktor
pembebanan untuk beban mati tambahan/ utilitas (MA) disajikan dalam tabel 2.6.
Tabel 2. 7 Faktor beban untuk beban mati tambahan/utilitas
Tipe
Beban Bahan
Faktor Beban (γMA)
Keadaaan Batas Layan (γSMA)
Keadaan Batas Ultimit
(γUMA)
Biasa Terkurangi
Tetap Umum 1,00(1) 2,00 0,70
Khusus (terawasi) 1,00 1,40 0,80
Catatan (1) : Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas
Sumber: SNI 1725:2016
-
37
2.13.1.3. Beban Tetap Pelaksanaan
Beban tetap pelaksanaan adalah beban yang disebabkan oleh metode dan
urutan pelaksanaan pekerjaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai kaitan
terhadap beban aksi lainnya. Maka dari itu beban ini harus dikombinasikan terhadap
pengaruh beban yang terjadi. Berikut ini faktor pembebanan beban tetap
pelaksanaan yang disajikan dalam tabel 2.7.
Tabel 2. 8 Faktor beban akibat pengaruh pelaksanaan
Tipe
Beban
Faktor Beban (γPL)
Keadaaan Batas Layan (γSPL) Keadaan Batas Ultimit (γUPL)
Biasa Terkurangi
Tetap 1,00 1,00 1,00
Sumber: SNI 1725:2016
2.13.2. Beban Lalu Lintas
Beban lalu lintas pada perencanaan jembatan terdiri dari beban lajur “D”
dan beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh jembatan lebar kendaraan
dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu iring-
iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja
tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 gandar yang
ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar
terdiri atas dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi
pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan per lajur lalu lintas
rencana.
Secara umum, beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan
jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban “T”
digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan. Dalam keadaan tertentu
beban “D” yang nilainya telah diturunkan atau dinaikkan dapat digunakan kembali.
2.13.2.1. Beban Lajur “D” (TD)
Beban lajur “D” terdiri atas beban terbagi rata (BTR) yang digabung dengan
beban garis (BGT). Dalam menentukan nilai itensitas beban pada “D”, terbagi
-
38
menjadi dua yaitu beban terbagi rata (BTR) yang mempunyai itensitas q kPa dengan
besaran q tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu sebagai berikut:
jika L ≤ 30 m: q = 9,0 kPa………………………………………………....(2.5)
jika L > 30 m: q = 9,0 (0,5+15
L) kPa ........................................................... (2.6)
Dimana:
q : adalah itensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang
jembatan (kPa)
L : adalah panjang total jembatan yang dibebani (m)
Sedangkan beban garis terpusat (BGT) dengan itensitas p kN/m harus
ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. besarnya itensitas
p adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada
jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam
arah melintang jembatan pada bentang lainnya. Berikut ini ilustrasi beban “D” pada
gambar 2.33.
Gambar 2. 30 Ilustrasi beban lajur "D"
(sumber: Penulis)
Distribusi beban dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh
momen geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan. Hal ini dilakukan
dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebar pada seluruh lebar balok
(tidak termasuk parapet, kerb dan trotoar) dengan itensitas 100 % untuk panjang
bentang terbebani. Adapun faktor beban yang digunakan untuk beban lajur “D”
yang disajikan dalam tabel 2.8.
-
39
Tabel 2. 9 Faktor beban untuk lajur "D"
Tipe
Beban Jembatan
Faktor Beban (γTD)
Keadaaan Batas Layan (γSTD) Keadaan Batas Ultimit
(γUTD)
Transien Beton 1,00 1,80
Boks Girder Baja 1,00 2,00
Sumber: SNI 1725:2016
2.13.2.2. Beban Truk “T” (TT)
Beban truk “T” adalah beban lalu lintas yang bekerja pada struktur lantai.
Beban truk “T” menurut peraturan SNI 1725:2016 tidak dapat digunakan
bersamaan dengan beban “D”. penggunaan beban truk hanya terbatas untuk
perencanaan pelat lantai. Adapun faktor beban untuk beban “T” disajikan dalam
tabel berikut ini.
Tabel 2. 10 Faktor beban untuk beban "T"
Faktor beban untuk beban lajur "T"
Tipe Beban Jembatan
Faktor Beban (γTT)
Keadaaan batas layan
(γSTT) Keadaan batas ultimit (γUTT)
Transien Beton 1,00 1,80
Boks Girder Baja 1,00 2,00
Sumber: SNI 1725:2016
Gambar 2. 31 Pembebanan truk "T" (500 kN)
(Sumber: SNI 1725:2016)
-
40
Besarnya pembebanan truk “T” pada struktur lantai yang terdiri atas truk
semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat gandar seperti pada gambar xx.
Berat tiap-tiap gandar disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang
merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai, dimana jarak antar
gandar dapat dimodifikasi dari 4 m sampai 9 m.
Adapun posisi penyebaran dari pembebanan truk “T” dalam arah melintang
dapat diletakkan pada satu jalur lalu lintas rencana. Sedangkan untuk jembatan
bentang panjang dapat diletakkan lebih dari satu lalu lintas rencana. Ban dari
kendaraan yang menyentuh permukaan struktur pelat lantai terdiri dari satu atau
dua yang diasumsikan mempunyai bentuk persegi panjang dengan panjang 750 mm
dan lebar 250 mm. tekanan ban harus diasumsikan terdistribusi secara merata pada
permukaan bidang kontak.
2.13.2.3. Faktor Beban Dinamis (FBD)
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan
yang bergerak pada jembatan. Besarnya FBD tergantung pada frekuensi dasar dari
suspensi kendaraan yang biasanya antara 2 Hz sampai 5 Hz untuk kendaraan berat,
dan frekuensi dari getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dapat
dinyatakan sebagai beban statis ekivalen. Besarnya BGT dari pembebanan lajur
“D” dan beban roda dari pembebanan truk “T” harus cukup untuk memberikan
terjadinya interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan dikali FBD.
Untuk pembebanan “D” FBD merupakan fungsi panjang bentang ekivalen
seperti tercantum pada gambar 2.33. Untuk bentang tunggal panjang bentang
akuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang
menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan rumus :
LE = √𝐿𝑎𝑣𝐿𝑚𝑎𝑥 ........................................................................................... (2.7)
Dimana :
Lav : adalah panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang
disambungkan secara menerus
Lmax : adalah panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang
disambungkan secara menerus
-
41
Gambar 2. 32 Faktor beban dinamis untuk beban lajur "D"
(Sumber: SNI 1725:2016)
Sedangkan untuk pembebanan truk “T” secara teoritis nilai FBD dapat
diambil 30 %. Nilai FBD yang dihitung digunakan pada seluruh bagian bangunan
yang berada di atas permukaan tanah.
2.13.2.4. Gaya Rem (TB)
Gaya rem harus ditempatkan di semua lajur rencana yang dimuati sesuai
dengan lalu lintas dengan arah yang sama. Gaya ini harus diasumsikan bekerja
secara horizontal pada jarak 1800 mm diatas permukaan jalan pada masing-masing
arah longitudinal dan dipilih yang paling menentukan. Untuk jembatan yang dimasa
depan akan dirubah menjadi satu arah, maka semua jalur rencana harus dibebani
secara simultan pada saat menghitung besarnya gaya rem. Gaya rem tidak boleh
bekerja bersamaan dengan beban dinamis. Adapun gaya rem yang harus diambil
yang terbesar dari:
a. 25 % dari berat gandar truk desain atau,
b. 5 % dari berat trus rencana ditambah beban lajur terbagi rata BTR
Gambar 2. 33 Beban rem yang terjadi pada struktur lantai kendaraan
(sumber: Gongkang, 2013)
-
42
2.13.2.5. Gaya Sentrifugal (TR)
Untuk tujuan menghitung gaya radial atau efek guling dari beban roda,
pengaruh gaya sentrifugal pada beban hidup harus diambil sebagai hasil kali dari
berat gandar truk rencana dengan faktor C sebagai berikut :
C=f V2
gRI........................................................................................................ (2.8)
Keterangan:
V : adalah kecepatan rencana jalan raya (m/detik)
f : adalah faktor dengan nilai 4/3 untuk kombinasi beban selain
keadaaan batas fatik 1,0 untuk keadaan batas fatik
g : adalah percepatan gravitasi 9,8 (m/detik2)
RI : adalah jari-jari kelengkungan lajur lalu lintas (m)
Gaya sentrigal harus diberlakukan secara horisontal pada jarak ketinggian
1800 mm diatas permukaan jalan. Dalam hal ini, perencana harus menyediakan
mekanisme untuk meneruskan gaya sentrifugal dari permukaan jembatan menuju
struktur bawah jembatan. pengaruh superelevasi yang mengurangi momen guling
akibat gaya sentrifugal akibat beban roda dapat dipertimbangkan dalam
perencanaan.
Gambar 2. 34 Generation sentrifugal force
(sumber: Gongkang, 2013)
2.13.2.6. Beban Pejalan Kaki (TP)
Semua komponen trotoar yang lebih besar dari 600 mm harus direncanakan
untuk memikul beban pejalan kaki dengan itensitas 5 kPa dan dianggap bekerja
secara bersamaan dengan beban kendaraan pada masing-masing lajur kendaraan.
-
43
Jika trotoar dapat dinaiki maka beban pejalan kaki tidak perlu dianggap bekerja
secara bersamaan dengan beban kendaraan. Jika ada kemungkinan trotoar berubah
fungsi di masa depan menjadi lajur kendaraan, maka beban hidup kendaraan harus
diterapkan pada jarak 250 mm dari tepi dalam parapet untuk perencanaan
komponen jembatan lainnya. Dalam hal ini, faktor beban dinamis tidak perlu
dipertimbangkan.
Gambar 2. 35 Gaya sentrifugal dari kendaraan pada jembatan akibat superelevasi
(sumber: Gongkang, 2013)
2.13.2.7. Beban Akibat Tumbukan Kendaraan (TC)
Fungsi utama dari railing adalah memberikan keamanan kepada pengguna
jalan. Seluruh sistem pengaman lalu lintas, railing, dan railing kombinasi secara
struktur dan geometrik harus tahan terhadap benturan, adapun dalam pemilihan
mekanisme beban dari railing dari jembatan dipilih berdasar kinerja dari jembatan
antara lain:
a. Kinerja 1 : Digunakan pada jalan dengan kecepatan rencana rendah dan
volume kendaraan yang sangat rendah, jalan lokal dengan
kecepatan rencana rendah.
b. Kinerja 2 : Digunakan pada jalan lokal dan kolektor dengan kondisi baik
seperti jumlah kendaraan berat yang sedikit dan rambu
kecepatan sedikit.
-
44
c. Kinerja 3 : Digunakan pada jalan arteri dengan kecepatan rencana tinggi
dengan campuran kendaraan berat yang sangat rendah dan
kondisi jalan yang baik.
d. Kinerja 4 : Digunakan pada jalan arteri dengan kecepatan rencana tinggi,
jalan bebas hambatan, jalan ekspress, dan jalan antar kota
dengan campuran truk dan kendaraaan berat.
e. Kinerja 5 : Digunakan sesuai dengan kriteria 4 dan jika kendaraan berat
memiliki porsi besar terhadap lalu lintas harian atau saat
kondisi jalan mengharuskan kriteria kinerja railing yang
tinggi.
f. Kinerja 6 : Digunakan pada jalan yang dapat dilalui truk tipe tanker atau
kendaraan dengan beban gravitasi yang cukup besar.
Berikut ini beban rencana yang akibat tumbukan kendaraan pada railing
jembatan disajikan pada tabel 2.10.
Tabel 2. 11 Kriteria kinerja railing dan kinerja terhadap tumbukan
Karakteristik
Kendaraan Mobil
Truk
Pickup
Satu Unit
Truk Van
Truk Trailer
Tipe Van
Truk Trailer Tipe
Traktor-Tanker
W (N) 7000 8000 20000 80000 220000 355000 355000
B (mm) 1700 1700 2000 2300 2450 2450 2450
G (mm) 550 550 700 1250 1630 1850 2050
Sudut tumbuk (θ) 20 20 25 15 15 15 15
Kriteria kinerja Kecepatan (km/jam)
KK-1 50 50 50 N/A N/A N/A N/A
KK-2 70 70 70 N/A N/A N/A N/A
KK-3 100 100 100 N/A N/A N/A N/A
KK-4 100 100 100 80 N/A N/A N/A
KK-5 100 100 100 N/A N/A 80 N/A
KK-6 100 100 100 N/A N/A N/A 80
Sumber: SNI 1725:2016
2.13.3. Beban Aksi Lingkungan
Beban aksi lingkungan adalah pengaruh temperatur, angin, banjir, gempa
dan penyebab alamiah lainnya. Besarnya beban rencana yang diberikan dalam
standar SNI 1725:2016 adalah berdasar analisis statistik dari kejadian-kejadian
umum yang tercatat tanpa memperhitungkan hal khusus yang mungkin akan
memperbesar pengaruh setempat.
-
45
2.13.3.1. Beban Angin
Tekanan angin pada jembatan harus direncanakan dengan kecepatan angin
angin dasar (VB) sebesar 90 hingga 126 km/jam. Beban angin harus diasumsikan
terdistribusi merata pada permukaan yang terekspos oleh angin. Luas area yang
diperhitungkan adalah luas area dari semua komponen, termasuk sistem lantai dan
railing yang diambil tegak lurus terhadap angin. Namun luasan yang tidak memberi
kontribusi dapat diabaikan dalam perencanaan.
Untuk jembatan atau bagian jembatan dengan elevasi lebih tinggi dari
10000 mm diatas permukaan tanah atau permukaan air, kecepatan angin rencana,
VDZ, harus dihitung dengan persamaan berikut:
VDZ =2,5 V0 (V10
VB) ln (
Z
Z0) ............................................................................. (2.10)
Keterangan:
VDZ : adalah kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)
V10 : adalah kecepatan angin pada elevasi 10000 mm di atas permukaan
tanah atau di atas permukaan air rencana (km/jam)
VB : adalah kecepatan angin rencana yaitu 90 hingga 126 km/jam pada
elevasi 1000 mm.
Z : adalah elevasi struktur diukur dari permukaan tanah atau dari
permukaan air dimana beban angin dihitung (Z > 10000 mm)
Vo : adalah kecepatan gesekan angin, yang merupakan karakteristik
meteorologi, sebagaimana ditentukan pada tabel 2.13, untuk berbagai
macam tipe permukaan di hulu jembatan (km/jam)
Zo : adalah panjang gesekan di hulu jembatan, yang merupakan karakterisik
meteorologi.
V10 dapat diperoleh dari :
a. Grafik kecepatan angin dasar untuk berbagai periode ulang
b. Survey angin pada lokasi jembatan
c. Jika tidak ada data yang lebih baik, perencana dapat mengasumsikan V10 =
VB = 90 s/d 126 km/jam.
-
46
Tabel 2. 12 Nilai V0 dan Z0 untuk berbagai variasi kondisi permukaan hulu
Kondisi Lahan Terbuka Sub Urban Kota
Vo (km/jam) 13,2 17,6 19,3
Zo (mm) 70 1000 2500
Sumber: SNI 1725:2016
Berikut ini tekanan angin rencana (MPa) dapat ditetapkan dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :
PD=PB ( VDZ
VB)
2
............................................................................................ (2.11)
Dimana :
PB : adalah tekanan angin dasar seperti pada tabel 2.14.
Tabel 2. 13 Tekanan Angin Dasar
Komponen Bangunan Atas Angin Tekan (MPa) Angin Hisap (MPa)
Rangka, Kolom, dan Pelengkung 0,0024 0,0012
Balok 0,0024 N/A
Permukaan Datar 0,0019 N/A
Sumber: SNI 1725:2016
Adapun gaya total beban angin tidak boleh diambil kurang dari 4,4 kN/mm
pada bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap pada struktur rangka dan
pelengkung, serta tidak kurang dari 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar.
Beban angin pada struktur kendaraan juga harus diperhitungkan sebagai
gaya-gaya yang akan berpengaruh pada struktur jembatan, dimana tekanan tersebut
harus diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak lurus dan
bekerja 1800 mm diatas permukaan jalan. Adapun beban sudut serang pada
kendaraan disajikan pada tabel 2.14.
Tabel 2. 14 Komponen beban angin yang bekerja roda kendaraan
Sudut Komponen Tegak Lurus Komponen Sejajar
Derajat N/mm N/mm
0 1,46 0,00
15 1,26 0,18
30 1,20 0,35
45 0,96 0,47
60 0,50 0,55
Sumber: SNI 1725:2016
-
47
Gambar 2. 36 Ilustrasi beban angin pada kendaraan
(sumber: Gongkang, 2013)
Apabila jembatan dengan rasio panjang bentang terhadap lebar jembatan
lebih besar dari 30 dianggap sebagai jembatan yang rentan terhadap pengaruh
aeroelastik angin. Sehingga, jembatan harus mampu memikul beban garis
memanjang jembatan yang mempresentasikan gaya angin vertikal ke atas sebesar
9,6 x 10-4 MPa dikalikan lebar jembatan, termasuk parapet dan trotoar. Namun,
gaya ini harus ditinjau hanya untuk keadaan Batas Kuat III dan Layan IV yang tidak
melibatkan angin pada kendaraan, dan hanya ditinjau untuk kasus pembebanan
dimana arah angin dianggap bekerja tegak lurus terhadap sumbu memanjang
jembatan. gaya memanjang tersebut mempunyai titik tangkap pada seperempat
lebar jembatan dan bekerja secara bersamaan dengan angin horizontal.
Gambar 2. 37 Pengaplikasian tekanan angin vertikal
(sumber: Gongkang, 2013)
-
48
Gambar 2. 38 Beban angin pada struktur atas (longitudinal dan lateral)
(sumber: Gongkang, 2013)
2.13.4. Beban Aksi Lainnya
Beban aksi lainnya adalah pembebanan yang sifatnya hanya
sementara/temporary sepeti halnya pada saat dilakukan proses konstruksi dari
jembatan berdasar metode kerja yang dikehendaki dan disetujui oleh pihak
berwenang yang didasakan pada keamanan terhadap konstruksi jembatan tersebut
contohnya beban pelaksanaan.
2.13.4.1. Beban Pelaksanaan
Beban pelaksanaan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Beban yang disebabkan oleh aktivitas pelaksanaan itu sendiri dan;
b. Aksi lingkungan yang mungkin timbuk selama waktu pelaksanaan
Cara dan urutan metode kerja yang direncanakan harus dianalisis berdasar
kejadian-kejadian pada waktu pelaksanaan secara bersamaan. Perencana harus
menentukan tingkat kemungkinan kejadian dan menggunakan faktor beban sesuai
untuk aksi lingkungan yang bersangkutan. Namun tidak perlu mempertimbangkan
pengaruh gempa selama pelaksanaan konstruksi.
2.13.5. Beban Kombinasi
Faktor kombinasi pembebanan pada jembatan harus diperhitungkan untuk
mendapatkan hasil aksi dari jembatan yang paling berpengaruh dan disesuaikan
dengan kebutuhan dari jembatan itu sendiri. Berikut ini kombinasi pembebanan
yang disajikan pada Tabel 15 dan pada penjelasan penggunaan batas pada Tabel 16.
-
49
Tabel 2. 15 Faktor kombinasi jembatan
Keadaan
Batas
MS
MA
TA
PR
PL
SH
TT
TD
TB
TR
TP
EU EWs EWL BF EUn TG ES
Digunakan salah
satu
EQ TC TV
Kuat I γp 1,8 1,0
0 - - 1,00
0,50/
1,20 γTG γES - - -
Kuat II γp 1,4 1,0
0 - - 1,00
0,50/
1,20 γTG γES - - -
Kuat III γp - 1,0
0 1,40 - 1,00
0,50/
1,20 γTG γES - - -
Kuat IV γp - 1,0
0 - - 1,00
0,50/
1,20 - - - - -
Kuat V γp - 1,0
0 0,40 1,00 1,00
0,50/
1,20 γTG γES - - -
Ekstrem I γp γEQ 1,0
0 - - 1,00 - - -
1,0
0 - -
Ekstrem II γp 0,50 1,0
0 - - 1,00 - - - -
1,0
0
1,0
0
Daya
Layan I
1,0
0 1,00
1,0
0 0,30 1,00 1,00
1,00/
1,20 γTG γES - - -
Daya
Layan II
1,0
0 1,30
1,0
0 - - 1,00
1,00/
1,20 - - - - -
Daya
Layan III
1,0
0 0,80
1,0
0 - - 1,00
1,00/
1,20 γTG γES - - -
Daya
Layan IV
1,0
0 -
1,0
0 0,70 - 1,00
1,00/
1,20 -
1,0
0 - - -
Fatik (TD
dan TR) - 0,75 - - - - - - - - - -
Catatan : γp dapatberupa γMS, γMA, γTA, γPR, γPL, γSH, tergantung beban yang ditinjau
γEQ adalah faktor beban hidup kondisi gempa
Sumber: SNI 1725:2016
2.14. Geometrik Jembatan Busur
Komponen utama dari jembatan adalah bagian jembatan yang menerima
gaya-gaya dalam yang disalurkan dari kendaraan dan diteruskan ke tumpuan harus
memiliki bentuk geometrik yang sesuai dengan batasan-batasan paling optimum
yang telah ditentukan, dimana menurut Bridge Engineering Handbook, Second
Edition:Fundamental 2014, beberapa persyaratan yang biasanya digunakan dalam
perencanaan geometrik jembatan busur sebagai persamaan parabola yaitu:
-
50
Tabel 2. 16 Penjelasan penggunaaan keaadaan batas
Keadaaan Batas Penjelasan
Kuat I
Kombinasi pembebanan yang memperhitungkan gaya-gaya yang timbul
pada jembatan dalam keadaan normal tanpa memperhitungkan beban
angin. Pada keadaan batas ini, semua gaya nominal yang terjadi dikalikan
dengan faktor beban yang sesuai
Kuat II
Kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan penggunaan jembatan
untuk memikul beban kendaraan khusus yang ditentukan pemilik tanpa
memperhitungkan beban angin
Kuat III Kombinasi pembebanan dengan jembatan dikenai beban angin
berkecepatan 90 km/jam hingga 126 km/jam
Kuat IV Kombinasi pembebanan untuk memperhitungkan kemungkinan adanya
rasio beban mati dengan beban hidup yang besar
Kuat V
Kombinasi pembebanan berkaitan dengan operasional normal jembatan
dengan memperhitungkan beban angin berkecepatan 90 km/jam hingga
126 km/jam
Ekstrem I
Kombinasi pembebanan gempa. Faktor beban hidup γEQ yang
mempertimbangkan bekerjanya beban hidup pada saat gempa
berlangsung harus ditentukan berdasar kepentingan jembatan
Ekstrem II
Kombinasi pembebanan yang meninjau kombinasi antara beban hidup
terkurangi dengan beban yang timbul akibat tumbukan kapal, tumbukan
kendaraan, banjir atau beban hidrolika lainnya, kecuali untuk kasus
pembebanan akibat tumbukan kendaraan (TC). Kasus pembebanan akibat
banjir tidak boleh dikombinasikan dengan beban akibat tumbukan
kendaraan dan tumbukan kapal
Daya Layan I
Kombinasi pembebaban yang berkaitan dengan operasional jembatan
dengan semua beban mempunyai nilai nominal serta memperhitungkan
adanya beban angin berkecepatan 90 km/jam hingga 126 km/jam.
Daya Layan II
Kombinasi pembebanan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya
pelelehan pada struktur baja dan selip pada sambungan akibat beban
kendaraan
Daya Layan III
Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada area
memanjang jembatan beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol
besarnya retak dan tegangan utama tarik pada bagian badan dari jembatan
beton segmental
Daya Layan IV Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada kolom
beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol besarnya retak
Fatik (TD dan TR) Kombinasi beban fatik dan fraktur sehubungan dengan umur fatik akibat
induksi beban yang waktunya tak terbatas
Sumber: SNI 1725:2016
Gambar 2. 39 Penentuan tinggi busur
(sumber: Penulis)
-
51
a. Tinggi busur (f )
Penentuan tinggi busur (f ) dari jembatan harus memenuhi persyaratan :
1
7 ≤
f
L ≤
1
4 ..................................................................................................... (2.21)
Dimana :
f : tinggi busur jembatan
L : bentang busur jembatan
b. Tinggi tampang busur rangka (a)
Penentuan tinggi tampang busur (a) dari jembatan harus memenuhi
persyaratan :
1
40 ≤
𝑡
𝐿 ≤
1
25 ............................................................................................... (2.22)
Dimana :
t : tinggi tampang busur jembatan
L : bentang busur jembatan
c. Lebar segmen
Penentuan lebar segmen jembatan (λ) dari jembatan harus memenuhi
peryaratan :
𝜆 ≤ 𝐿
15 ....................................................................................................... (2.23)
Dimana :
λ : Lebar segmen jembatan
L : Bentang busur jembatan
d. Lebar jembatan
Penentuan lebar jembatan (b), harus memenuhi persyaratan :
𝑏
𝐿 ≤
1
10 ......................................................................................................... (2.24)
Dimana :
λ : lebar segmen jembatan
L : bentang busur jembatan
-
52
e. Panjang penggantung busur
Panjang penggantung busur dapat dicari dengan menggunakan rumus
parabola sebagai berikut :
yn=
4 . f . x . (L-x)
L2 ............................................................................................ (2.25)
Dimana :
f : tinggi busur jembatan
x : beda tinggi antar kabel jembatan
L : bentang busur jembatan
2.15. Batang Tarik (Tension Member)
Secara umum, material baja mempunyai kemampuan yang baik dalam
memilkul gaya tarik dan tekan. Namun, secara teori dapat menahan gaya tarik yang
lebih baik dibandingkan gaya tekan yang terjadi. Adapun . Batang tarik, secara
umum terbagi menjadi dua (AASHTO,2017 dan Bridge Engineering Handbook,
Second Edition:Fundamental 2014) yaitu kuat tarik nominal berdasar penampang
bruto (gross section yielding) dan kuat tarik nominal berdasar fraktur pada
penampang efektif (Net section fracture) dimana pada perencanaan diambil nilai
terkecil diantara kuat tarik nominal berikut:
a. Kuat tarik nominal kondisi leleh pada penampang bruto (Gross section
yielding)
Pr = ϕy Pny = ϕy Fy Ag .................................................................................. (2.26)
Dimana:
Fy : adalah tegangan leleh baja (MPa)
Ag : adalah luas penampang bruto pada batang/member (mm2)
ϕy : faktor tahanan untuk kondisi leleh, dapat diambil sebesar 0,95
Adanya konsentrasi tegangan yang bekerja pada batang beberapa kali lebih
besar dari tegangan rencana sehingga dapat diatasi dengan material daktail (pada
tegangan leleh Fy. Perilaku tersebut menyebabkan tegangan tidak merusak lubang,
Namun hanya menyebabkan deformasi saat tegangan leleh tercapai. Teori inilah
-
53
yang menyebabkan redistribusi tegangan (gaya) ke bagian lubang baut dianggap
belum meleleh.
b. Kuat tarik nominal kondisi leleh pada penampang efektif (Net section
fracture)
Pr = ϕu Pnu = ϕu Fu An Rp U ................................................................... (2.27)
Dimana:
Fu : adalah tegangan tarik putus baja (MPa)
An : adalah luas penampang bersih (netto) dikurangi lubang (mm2)
Rp : Faktor reduksi untuk lubang baut, dimana 0,9 pada kondisi ulir baut masuk
area lubang baut dan 1,0 untuk kondisi ulir baut tidak masuk area lubang.
U : Faktor Shear Lag
ϕu : Faktor tahanan untuk kondisi fraktur 0,80
Kuat tarik pada penampang berlubang (di area sambungan) tentunya akan
memanfaatkan perilaku dari sifat mekanis baja yaitu stain-harderning (peningkatan
tegangan) yang dipicu oleh peningkatan tegangan yang terkonsentrasi disekitar
lubang. Maka dari itu pola keruntuhan yang dipakai adalah Fu sehingga faktor
tahanan yang dipersyaratkan tentunya juga berbeda.
Gambar 2. 40 Ilustrasi tinjauan kapasitas tarik pada penampang bruto (gross section yielding) dan
netto (net section fracture)
(sumber : Bridge Engineering Handbook Second Edition, 2014)
-
54
2.15.1. Faktor Shear Lag
Faktor shear lag (U) pada batang tarik digunakan untuk mengantisipasi
adanya ketidaksempurnaan pada saat proses penyambungan, sehingga distribusi
tegangan tidak merata dan beberapa terjadi konsentrasi tegangan terpusat. Tentunya
hal tersebut mengurangi kinerja pada batang tarik. Besar atau kecilnya shear lag
dari batang tarik ditentukan berdasar bentuk sambungan yang digunakan. Tentunya
pemilihan sambungan juga mempertimbangkan kemudahan dalam metode
pelaksanaan dan biaya pembuatannya. Berikut ini faktor shear lag (U) pada batang
tarik (AASHTO 2017 dan SNI 1729:2015).
Tabel 2. 17 Faktor Shear-Lag (U) batang tarik
Sumber: SNI 1729: 2015 dan AASHTO 2017
Kasus Deskripsi Elemen Faktor Shear lag (U) Contoh
1
Semua komponen struktur tarik
dimana beban tarik disalurkan
secara langsung ke setiap dari
elemen profil melintang melalui
sarana penyambung atau las-las
(kecuali seperti dalam Kasus 4,5
dan 6)
U = 1,0 _____
2
Semua komponen struktur tarik ,
kecuali pelat dan PSB, dimana
beban tarik disalurkan ke beberapa
tetapi tidak semua dari elemen
profil melintang melalui sarana
penyambung atau las longitudinal
atau melalui las longitudinal
dalam kombinasi , dengan las
transversal. (secara alternatif,
untuk W, M, S dan HP, Kasus 7
𝑈 = 1 −�̅�
𝐿
3
Semua komponen struktur tarik
dimana beban tarik hanya
disalurkan melalui las transversal
ke beberapa tetapi tidak semua
dari elemen profil melintang
U = 1,0
dan
An = luas dari elemen
yang disambung langsung
_____
4
Pelat dimana beban tarik
disalurkan melalui hanya las
longitudinal
L ≥ 2w…U = 1,0
2w > L ≥ 1,5w…U = 0,87
1,5w > L > w…U = 0,75
5 PSB bundar dengan sebuah pelat
buhul konsentrik tunggal.
L ≥ 1,3D…U = 1,0
D ≤ L < 1,3D…U = 1 −�̅�
𝐿
�̅� −𝐷
𝜋
-
55
Tabel 2. 18 Faktor Shear-Lag (U) batang tarik (lanjutan)
Sumber: SNI 1729: 2015 dan AASHTO 2017
Kasus Deskripsi Elemen Faktor Shear lag (U) Contoh
6 PSB Persegi
Dengan sebuah
pelat buhul
konsentris tunggal
L ≥ H…U = 1 −�̅�
𝐿
�̅� −𝐵2 + 2𝐵𝐻
4 (𝐵 + 𝐻)
Dengan dua sisi
pelat buhul
L ≥ H…U = 1 −�̅�
𝐿
�̅� −𝐵2
4 (𝐵 + 𝐻)
7
Bentuk W, M, S
atau HP atau T
memotong dari
bentuk-bentuk
ini (jika U
dihitung dalam
kasus 2, nilai
yang lebih besar
diizinkan untuk
digunakan )
Dengan sayap
disambungkan
dengan 3 atau
lebih sarana
penyambung per
baris di arah
pembebanan
bf ≥ 2
3𝑑…U = 0,90
bf < 2
3𝑑…U = 0,85
_____
Dengan badan
disambungkan
dengan 4 atau
lebih sarana
penyambung per
baris di arah
pembebanan
U = 0,70 _____
8
Siku tunggal dan
ganda (jika U
dihitung dalam
kasus 2, nilai
yang lebih besar
diizinkan untuk
digunakan).
Dengan 4 atau
lebih sarana
penyambung per
baris di arah
pembebanan
U = 0,80 _____
Dengan 3 sarana
penyambung per
baris di arah
pembebanan
(dengan lebih
sedikit dari 3
sarana
penyambung per
baris di arah
pembebanan,
gunakan kasus 2).
U = 0,60 _____
L = panjang sambungan (mm) ; w = lebar pelat (mm) ; �̅� = eksentrisitas sambungan (mm) ; B = lebar keseluruhan dari komponen struktur PSB persegi, diukur 90o terhadap bidang sambungan
(mm) ; H = tinggi keseluruhan dari komponen struktur PSB persegi, diukur pada bidang
sambungan (mm).
-
56
2.15.2. Batasan Rasio Kelangsingan Batang Tarik
Mutu material baja yang sangat tinggi menyebabkan dimensi batang bisa
sangat langsing. Secara teoritis, batasan rasio kelangsingan hanya digunakan untuk
batang tekan. Karena kelangsingan diperuntukkan untuk batang tekan yang
mengalami tekuk. Namun menurut AASHTO 2017 tetap disarankan menggunakan
rasio kelangsingan karena struktur yang langsing cenderung bergoyang dan
bergetar dan apabila berlebih akan menyebabkan ketidaknyamanan pada saat proses
service. Adapun batasan rasio kelangsingan sebagai berikut :
a. Untuk batang utama
L
r ≤ 200 .................................................................................................. (2.28)
a. Untuk batang sekunder
L
r ≤ 240 .................................................................................................. (2.29)
Dimana :
L : panjang batang (mm)
r : jari-jari girasi penampang (mm)
Penggunaan rasio batasan kelangsingan ini tidak berlaku pada hanger yang
menggunakan material solid strand/rod. Karena materal rod memang didesain
hanya untuk menahan gaya tarik semata selama masa layan. Penggunaan hanger
(struktur gantung) juga secara teoritis akan meningkat kekakuannya sesuai dengan
beban yang bekerja dan dapat mempertahankan struktur geometrinya. Maka dari itu
rasio kelangsingan struktur kabel terdapat persyaratan tersendiri dari produk yang
ditentukan.
2.16. Batang Tekan (Compression Member)
Batang tekan pada jembatan ditujukan untuk komponen struktur yang menerima
beban tekan sentris yang tepat pada titik sentris batang/titik berat penampang
(ujung-ujung). Namun tentunya sangat sulit pada tingkat presisi pemasangan
sehingga menimbulkan eksentrisitas pada batang. Eksentrisitas pada batang
tentunya menimbulkan momen pada batang. Namun tentunya dengan persyaratan-
-
57
peryaratan umum, adanya eksentrisitas pada sebuah struktur batang relatif kecil dan
dapat diabaikan sehingga prosedur desain dapat dipergunakan. Penentuan kapasitas
dari batang tekan tentunya berbeda dengan batang tarik, dimana batang tarik
menggunakan parameter material Fu dan Fy, namun untuk penentuan kapastitas
batang tekan hanya menggunakan Fy karena Fu tidak pernah tercapai pada batang
tekan. Selain material dari itu sendiri penentuan kapasitas batang tekan juga
dipengaruhi oleh parameter lain, yaitu konfigurasi bentuk fisik (panjang batang)
dan geometri dari potongan batang tekan. Maka dari itu pada batang tekan, rasio
kelangsingan batang harus diperhitungkan untuk mencegah tekuk lokal (local
buckling) dan tekuk global (global buckling). Untuk itu pada AASHTO 2017
mengatur klasifikasi untuk memisahkan penampang langsing dan tidak langsing
penampang.
2.16.1. Batasan Rasio Kelangsingan Batang Tekan
Rasio kelangsingan batang menjadi parameter penting perencanaan, serta
menjadi batasan kinerja terhadap perilakunya. Parameter yang menjadi penentu
dalam perencanaan adalah luar penampang, pengaruh bentuk penampang terhadap
kekauan lentur (Imin) serta panjang batang yang ditumpu yang diformulasikan
dengan panjang efektif dengan kondisi tumpuan (KL). Berikut ini batasan rasio
kelangsingan batang tekan menurut AASHTO 2017:
a. Untuk batang utama
KL
r ≤ 120 ............................................................................................... (2.30)
b. Untuk batang sekunder
KL
r ≤ 140 ............................................................................................... (2.31)
Dimana :
K : faktor panjang efektif batang (Gambar 2.45)
L : panjang batang (mm)
r : jari-jari girasi penampang (mm)
-
58
Gambar 2. 41 Faktor panjang efektif batang tekan
(sumber: ASSHTO, 2017)
2.16.2. Klasifikasi Penampang Batang Tekan
Perilaku tekuk yang terjadi pada batang tekan terbagi menjadi dua yaitu
tekuk lokal (local buckling) dan tekuk global (global buckling), tentunya perilaku
atau kejadian tersebut harus dihindari agar struktur yang